Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 19


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 19


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   "Susiok, aku merasa kita sudah berhasil mengetahui Siau-yau-kok yang misterius ini. Lebih baik kita mengundurkan diri sekarang,"   Sahutnya menyarankan. Suaranya keras sekali, tapi tidak dapat mengalahkan suara gemuruh air terjun itu. Yan Cong-tian menolehkan kepalanya 804 dan mendelikkan matanya lebar-lebar.   "Apa? Sudah sampai tahap begini, kau baru memikirkan untuk mundur!"   Bentaknya marah.   "Kita hanya berdua. Keadaan di balik air terjun ini belum kita ketahui dengan jelas. Lebih baik kita pulang dulu ke Bu-tongsan dan mengerahkan para murid lainnya baru menyerbu ke sini,"   Sahut Fu Giok-su.   Padahal dia memang sengaja memancing kemarahan Yan Cong-tian.   Dia sudah paham sekali sifat orang ini, mana mungkin dia mau menuruti nasihatnya untuk mengundurkan diri.   Malah semangatnya semakin menyala.   "Seberapa tinggi kepandaian bocah-bocah Bu-tong itu, meminta mereka menyerbu kemari sama saja menyuruh mereka menyambut kematian.   Kau dan aku berdua saja sudah lebih dari cukup!"   Wajah Yan Cong-tian terlihat kurang senang.   "Pihak lawan hanya gerombolan tikus. Apa yang kau takuti?"   Fu Giok-su tertawa getir. Padahal dalam hatinya senang sekali.   "Susiok, setidaknya nama orang-orang ini pernah menggetarkan dunia Kangouw,"   Fu Giok-su masih pura-pura bimbang mengambil keputusan.   "Hanya lagak mereka saja yang besar. Kalau tidak, buat apa menyembunyikan diri di tempat kura-kura seperti ini. Tidak usah terlalu khawatir!"   Akhirnya Fu Giok-su tampak seperti mengalah. Dia 805 menganggukkan kepalanya berkali-kali.   "Ada Susiok yang menemani, Tecu sama sekali tidak khawatir, Susiok, siapa tahu di balik air terjun itu ada daratan atau rumah. Mari kita menerjang ke sana!"   Katanya menyarankan.   "Aku memang bermaksud demikian!"   Yan Cong-tian berteriak lantang.   Tubuhnya tiba-tiba mencelat dan menerobos melewati air terjun tersebut.   Sebentar saja bayangan tubuhnya sudah menghilang dari pandangan.   Fu Giok-su tidak dapat menahan dirinya lagi.   Dia tertawa terbahak-bahak.   Dia tidak usah khawatir suaranya akan terdengar karena gemuruh air terjun itu pasti dapat menutup suaranya.   "Tua bangka, hari ini kau benar-benar terperangkap!"   Sambil tertawa tubuhnya berkelebat dan ikut menerobos melewati air terjun yang deras.   Gerakan tubuh Fu Giok-su demikian ringan.   Air terjun yang deras itu sama sekali tidak memengaruhinya.   ***** Bunga air memercik ke mana-mana.   Setelah menerobosi air terjun itu, tubuh Yan Cong-tian masih melesat ke depan.   Sinar matanya mengedar dengan tajam.   Tubuhnya mendarat di atas batu persegi di mana Thian-ti berdiri tempo hari.   806 Suasana sekitarnya mencekam.   Rembulan semakin pudar.   Di bawah cahaya rembulan, air terjun itu tampak semakin berkilauan.   Dalam pandangan mata malah menambah ketegangan di hati.   Air yang mengalir turun bagai makhluk aneh yang bergulingan lalu jatuh ke dalam sungai.   Suara gemuruh air terjun, suara aliran sungai, bagai irama yang membetot sukma.   Di kedua tepian terdapat hutan yang lebat.   Mata Yan Cong- tian mengedar.   Suara terjangan air terjun terdengar di belakangnya.   Fu Giok-su melayang turun di sampingnya.   Anak muda itu ikut-ikutan celingak-celinguk.   Seakan merasa asing dengan keadaan sekitarnya.   "Giok-su, di sini benar-benar ada daratan lain.   Tapi tidak terlihat seorang pun,"   Nada suara Yan Cong-tian terdengar rada penasaran.   "Mungkin mereka masih belum sadar kalau kita sudah mengetahui rahasianya.   Oleh karena itu mereka juga tidak mengadakan persiapan apa-apa.   Tetapi kalau ditilik dari suasananya, mungkin tidak salah lagi, inilah Siau-yau-kok yang misterius bagi orang-orang dunia Kangouw,"   Sahut Fu Giok-su dengan wajah kelam.   "Setitik penerangan pun tidak ada. Apakah tempat tinggal mereka juga persis seperti mereka sendiri yang tidak berani menghadapi terang!"   Sindir Yan Cong-tian sambil tertawa sumbang. Belum lagi tawanya sirep, di kedua tepian terdengar suara "bles!"   Tiba-tiba tempat itu menjadi terang.   Beberapa obor menyala sekitar tempat itu.   Seratus lebih anak buah Siau-yau-807 kok muncul dalam waktu yang bersamaan.   Di tanah bebatuan yang terdapat di bawah air terjun juga menyala beberapa batang obor.   Thian-ti berdiri berkacak pinggang di tengah-tengah.   Di kiri-kanannya berdiri Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat.   Cahaya api yang menerangi sekitar itu bagaikan sebuah lukisan putih.   Tanpa dapat menahan diri lagi, Thian-ti, Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat tertawa terbahak-bahak.   Suara tawa mereka berbeda-beda, tapi sama memekakkan gendang telinga.   Gemuruhnya ibarat kilat menyambar, mengalahkan suara air terjun yang deras.   Yan Cong-tian mendongakkan wajahnya.   Alisnya bertaut sekilas kemudian biasa kembali.   Thian-ti masih tertawa terbahak-bahak beberapa saat.   Tiba-tiba suara tawanya terhenti.   "Tua bangka! Kami sudah menunggu sejak tadi!"   Wajah Yan Cong-tian tidak memperlihatkan rasa gentar sedikit pun.   "Aku yang tua hanya dapat mengucapkan sepatah kata. Maaf kalau menunggu terlalu lama!"   Sahutnya tenang. Thian-ti tertawa lebar.   "Kau hanya mencari kematian bagi dirimu sendiri!"   Katanya. Yan Cong-tian tertawa dingin.   "Kau sendiri yang terkurung dalam telaga dingin selama dua puluh tahun saja masih belum mati-mati. Bagaimana aku bisa mati dengan demikian mudah?"   Sindirnya tajam. Di ngatkan akan penderitaannya selama terkurung dalam telaga dingin, hawa kemarahan Thian-ti meluap seketika.   "Tua 808 bangka! Kalau hari ini kau bisa meloloskan diri hidup-hidup dari tempat ini, maka Lohu akan bunuh diri sebagai rasa malu terhadap leluhur kami!"   "Manusia sepertimu mati juga tidak perlu disayangkan!"   Sepasang telapak tangan Yan Cong-tian terangkat.   "Siapa duluan yang ingin menerima kematian?"   Bentaknya garang.   "Aku dulu yang pertama-tama menyambut kedatanganmu!"   Terdengar sahutan dari hutan sebelah kanan.   Manusia tanpa wajah menerjang keluar dari kerumunan anak buah Siau-yau- kok.   Tubuhnya meluncur dengan pedang panjang di tangan.   Yan Cong-tian tertawa dingin.   "Seorang Bu-beng-siau-cut juga berani banyak lagak di hadapanku?"   Serunya sambil merentang sepasang telapak tangan.   Deru angin keras segera terpancar dari kedua telapak tangannya.   Dia tidak menunggu sampai manusia tanpa wajah itu mencapai ke dekatnya.   Dia sudah mengerahkan tenaga membalas menyerang.   Tubuh manusia tanpa wajah yang sedang melayang terhantam deruan angin telapak tangan Yan Cong-tian.   Tubuhnya terpental ke belakang sejauh satu depa.   Cepat- cepat dia berjungkir balik dan menutul di atas sebuah batu yang terdapat di tengah sungai.   Untung saja dia sempat mendarat dengan selamat dan tidak terpeleset jatuh ke dalam air sungai.   Thian-ti segera menggunakan kesempatan itu untuk melesat ke depan.   Sepasang telapak tangannya mengembang.   Yan Cong-tian tertawa terbahak-bahak.   Secepat kilat dia menarik 809 kembali tangannya dan mengumpulkan hawa murni.   Dalam waktu sekejap telapak tangannya sudah terentang kembali menyambut hantaman Thian-ti.   Tubuh Thian-ti tergetar dan mencelat mundur terkena getaran dari benturan sepasang telapak tangan Yan Cong-tian.   Ilmunya lebih tinggi dari manusia tanpa wajah.   Dengan mudah dia hinggap kembali di atas batu semula.   "Yan Cong-tian! Kalau berani naik ke atas ini dan kita buktikan siapa yang lebih hebat di antara kita!"   Tantangnya.   Dua kali berturut-turut Yan Cong-tian berhasil mendesak pihak mereka.   Semangatnya semakin menyala.   Pada dasarnya dia memang selalu ingin menang.   Tentu saja dia menerima tantangan tersebut.   Tubuhnya berkelebat, sekejap mata sudah sampai di daratan tempat Thian-ti berdiri.   Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat bergerak dalam waktu yang bersamaan.   Gerakan tubuh Angin paling cepat.   Dia sampai duluan di hadapan Yan Cong-tian.   Lengan bajunya dikibas ke arah wajah Yan Cong-tian.   Pada saat itu juga Thian-ti mengembangkan sepasang telapak tangannya mengincar dada Yan Cong-tian.   Dengan menggeser sedikit tubuhnya Yan Cong-tian berhasil menghindari kibasan lengan baju Angin, kemudian berjungkir balik dan menyambut sepasang telapak tangan Thian-ti.   Kali ini Thian-ti hanya terdesak mundur dua langkah.   Rupanya tenaga telapak tangan Thian-ti lebih keras satu kali lipat dari sebelumnya.   Makhluk itu langsung tertawa "Tua bangka! Apakah kali ini kau tidak terjerat dalam jebakan kami?" 810 Baru saja ucapannya selesai, tubuhnya sudah membentuk bayangan mencelat mundur beberapa tindak.   Yan Cong-tian bermaksud mengejar, tapi Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat sudah mengadang di depannya.   "Sekarang biar kau rasakan dulu kehebatan barisan Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat ini!"   Kata Thian-ti sambil tertawa terbahak-bahak.   Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun Hujan, pedang Kilat, dan golok Geledek menyerang dari empat arah.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Yang ini maju, yang itu menggeser.   Yang ini menggeser, yang itu maju.   Empat orang dengan ilmu dan senjata yang berbeda mengeroyok Yan Cong-tian.   Golok Geledek mengandung kekejian, pedang Kilat bergerak berubah-ubah, kibasan lengan baju Angin datang dengan cepat, dan yang paling mengerikan justru jarum beracun Hujan yang memercik bagai bunga salju.   Jenis senjata rahasia yang digunakannya kecil tapi jumlahnya banyak.   Sulit sekali menghindarkan diri dari hujan senjata rahasia tersebut.   Apalagi dari bagian kiri, kanan, dan belakang ada pihak lawan yang menunggu kesempatan pula.   Beberapa kali Yan Cong- tian hampir terkena timpukan senjata rahasia Hujan.   Sejak kembalinya Thian-ti ke Siau-yau-kok, keempat orang ini berlatih keras membentuk barisan Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek.   Tujuannya memang untuk menghadapi Yan Cong- tian.   Meskipun belum mencapai kesempurnaan, tapi kekompakan keempat orang itu sudah lumayan.   Mereka sudah bisa membagi tugas dengan rata.   Siapa yang menyerang dan siapa yang berjaga-jaga.   811 Keempat orang itu menyerang secara bergiliran bagai kincir angin yang berputar tanpa berhenti.   Yan Cong-tian tidak memiliki kesempatan untuk beristirahat sejenak pun.   Siapa pun di antara Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat, apabila turun tangan sendiri-sendiri menghadapi Yan Cong-tian, tidak ada satu pun dari mereka yang dapat menandinginya.   Tapi dengan bergabung, kekuatan mereka bagai terpadu.   Yan Cong-tian malah lama-kelamaan terdesak di bawah angin.   Apalagi gabungan mereka demikian kompak! Sementara di sebelah sana masih ada Thian-ti.   Dia selalu mencari tempat lowong dari serangan keempat orang anak buahnya.   Setiap ada kesempatan, dia langsung menyerang Yan Cong-tian.   Di lain pihak, Yan Cong-tian sendiri menyadari.   Apabila bertarung dengan cara begini terus-menerus, yang rugi tentu diri sendiri.   Tapi setiap kali dia berusaha menerobos keluar, selalu terdesak kembali di dalam kurungan barisan tersebut.   Di sebelah sana Fu Giok-su sedang bertarung seru dengan manusia tanpa wajah.   Tentu saja pertempuran itu hanya sebuah kamuflase yang dipertunjukkan untuk Yan Cong-tian.   Dua macam senjata saling berbenturan.   Beberapa kali terlihat Fu Giok-su berusaha mendekati tempat Yan Cong-tian untuk memberikan bantuan, tapi selalu berhasil diadang oleh manusia tanpa wajah.   Sementara itu para anak buah Siau-yau-kok sebelumnya memang sudah dapat kisikan dari Thian-ti.   Mereka menerjang mengeroyok Fu Giok-su.   Yan Cong-tian mana tahu semua itu hanya siasat yang dijalankan anak muda itu sendiri.   Melihat keadaan Fu Giok-su, hatinya semakin panik.   812 Mereka hanya berdua saja.   Apalagi mereka berada di tempat musuh.   Tampaknya lebih banyak bahaya daripada menguntungkan.   Yan Cong-tian juga tidak lupa, bahwa tenaga dalamnya kadang-kadang ada, kadang-kadang hilang.   Dia tidak boleh bertempur terlalu lama.   Apabila kelemahannya itu menyerang secara mendadak, tamatlah riwayatnya.   Tadinya dia mengira di dalam Siau-yau-kok hanya Thian-ti yang ilmu silatnya paling tinggi.   Selain makhluk tua itu, tidak ada jago lainnya.   Dengan mengandalkan kepandaiannya dan Fu Giok- su berdua, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka.   Sambil menghindar dan balas menyerang, otaknya juga bekerja terus.   Dia harus mencari akal untuk menerobos keluar dari kepungan barisan tersebut dan bergabung dengan Fu Giok-su.   Thian-ti, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek seakan dapat membaca pikiran Yan Cong-tian.   Serangan mereka semakin gencar.   Kepungan semakin diperketat.   Yan Cong-tian sudah menerima serangan sebanyak tujuh ratusan jurus.   Napasnya mulai tersengal-sengal.   Dia segera mencari kesempatan.   Telapak tangannya dibentangkan dan tenaga dikumpulkan.   Senjata rahasia yang dilemparkan oleh Hujan, diempas oleh deruan angin dari telapak tangannya dan menggeser mengancam Geledek.   Golok Geledek berputaran.   Dia menyapu senjata rahasia yang tadinya ditujukan kepada Yan Cong-tian dengan kalang kabut.   Yan Cong-tian segera mempergunakan sedikit celah yang terbuka itu.   Kedua lengan bajunya dikibaskan dan menangkis hantaman telapak tangan Thian-ti.   Angin segera membuka serangan.   Tapi karena Geledek yang sedang memutar goloknya mengibaskan senjata rahasia Hujan berdiri di sampingnya, gerakan Angin menjadi terhalang.   Hanya pedang Kilat yang meluncur mengancam punggung Yan Cong-tian 813 yang sudah melesat ke depan.   Yan Cong-tian sudah berhasil menerobos barisan tersebut.   Dia mendengar deru suara angin mengancam di belakang punggungnya.   Dia tidak berani ayal.   Kakinya menutul dan mengentak ke udara.   Tubuhnya berjungkir balik dua kali lalu mendarat turun.   Serangan pedang Kilat menemui kekosongan.   Dia hanya sempat menyayat sedikit lengan baju Yan Cong-tian.   Tiba-tiba terdengar teriakan Fu Giok-su.   Dia menerjang keluar dari kerumunan anak buah Siau-yau-kok.   Lengan kanannya berdarah.   Rupanya dia sempat tergores pedang manusia tanpa wajah.   Anak muda itu mencelat ke udara dan melayang turun di samping Yan Cong-tian.   Sekarang mereka berdiri bahu-membahu.   Para anak buah Siau-yau-kok berteriak lantang dan menyerbu bagai kesetanan.   Fu Giok-su membelakangi Yan Cong-tian.   Punggung mereka saling menempel.   Anak muda itu membalikkan tubuhnya.   "Susiok, bagaimana keadaanmu?"   Tanyanya menyelidik. Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya. Dia menatap bahu Fu Giok-su yang berdarah.   "Apakah bahumu terluka?"   Nada suaranya rada bergetar. Sekarang Fu Giok-su yang menggelengkan kepalanya.   "Hanya luka kecil."   Dia sudah melihat tubuh Yan Cong-tian yang bergetar. Anak muda itu pura-pura cemas sekali.   "Susiok, apakah kau terserang senjata rahasia mereka?"   Tanyanya dengan penuh perhatian. 814 "Tidak ...."   Sahut Yan Cong-tian.   Dia menarik napas dalam- dalam.   Pada saat itulah, dia merasakan hawa murninya sudah buyar.   Dia tidak bertenaga sama sekali.   Pada saat itu para anak buah Siau-yau-kok sudah mengepung dari sekitar.   Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat berada di hadapan orang-orang itu.   Thian-ti berdiri kira-kira lima langkah dari hadapan Yan Cong-tian.   Makhluk tua itu tertawa terkekeh.   "Tua bangka, meskipun sekarang kau tumbuh sayap, tetap tidak dapat meloloskan diri lagi dari tempat ini!"   Bentaknya lantang.   Yan Cong-tian tidak menyahut.   Dia pura-pura tidak memandang sebelah mata.   Tapi tubuhnya bergetar semakin hebat.   Keringat dingin pun mulai menetes.   Hal ini tidak luput dari pandangan Fu Giok-su.   Dia segera merasa heran.   Tiba-tiba Yan Cong-tian membisikinya.   "Giok-su, seandainya mereka menyerang, tolong hadapi dulu beberapa jurus."   Fu Giok-su semakin heran.   "Susiok, sebetulnya apa yang terjadi denganmu?"   Desaknya penasaran.   "Sejak berlatih ilmu Tian-can-kiat, tenaga dalamku kadang- kadang ada dan kadang-kadang menghilang.   Hawa murni tidak dapat dikumpulkan.   Apalagi setelah melalui pertarungan panjang, aku harus beristirahat sejenak baru dapat mengumpulkan hawa murniku kembali,"   Kata Yan Cong-tian dengan suara semakin rendah.   Mendengar kata-kata itu, Fu Giok-su tertegun.   Sejenak kemudian terlihat senyuman licik tersungging di ujung bibirnya.   815 "Baik, Susiok.   Kau atur saja hawa murnimu tenang-tenang, aku akan menghadapi mereka,"   Mulutnya berkata demikian, tapi tubuhnya mencelat ke udara lalu melayang turun untuk menghantam punggung Yan Cong-tian dengan sepasang telapak tangannya.   Selama ini diam-diam Fu Giok-su berlatih Bu-tong-liok-kiat dengan giat.   Ilmu Pik-lek-ciang miliknya bahkan jauh lebih matang dari Cia Peng.   Tenaga dalamnya terlebih-lebih tidak usah diragukan lagi.   Hantaman Fu Giok-su kali ini disertai tenaga sebanyak sepuluh bagian, sedangkan pada saat itu hawa murni Yan Cong-tian sedang buyar, bagaimana orang tua ini dapat menahan hantaman sekeras itu.   Dalam saat yang bersamaan, tubuhnya terpental jauh ke depan.   Mencelatnya tubuh Yan Cong-tian ternyata mencapai beberapa depa dan jatuh tepat di hadapan Thian-ti.   Mulutnya terbuka dan segumpal darah kental langsung muncrat keluar.   Tubuhnya bahkan bergulingan di tanah beberapa kali.   Sayangnya di belakang punggung Yan Cong-tian tidak tumbuh mata.   Tapi para anak buah Siau-yau-kok dapat melihat jelas perbuatan Fu Giok-su.   Hati Thian-ti saat itu langsung berbunga-bunga.   Perlu diketahui bahwa dua puluh tahun yang lalu saja dia bukan tandingan Yan Cong-tian.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Apalagi selama dua puluh tahun ini dia berlatih ilmu Tian-can-kiat.   Meskipun belum kebal terhadap senjata tajam, tapi ilmunya tentu sudah tinggi sekali dan hampir tidak berani dibayangkan olehnya.   Dengan mengandalkan ilmu Fu Giok-su yang masih rendah itu ternyata berhasil membokong Yan Cong-tian sampai terluka demikian parah, bagaimana hatinya tidak menjadi senang dan bangga? Tentu saja dia tidak tahu bahwa hawa murni Yan Cong-tian sedang buyar.   Kalau tidak meskipun bokongan Fu 816 Giok-su berhasil mencapai sasaran, tapi tenaga dalam orang itu sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan.   Asalkan dia masih mempunyai sedikit tenaga dan langsung membalikkan tubuh lalu menyerang Fu Giok-su kembali, tentu anak muda itu lebih banyak celakanya daripada selamatnya.   Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat juga sudah memikirkan kemungkinan itu.   Sekarang melihat Fu Giok-su berhasil dengan mudah dan Yan Cong-tian malah tidak memberikan perlawanan, mereka malah termangu-mangu.   Rasa terkejut mereka masih belum sirna, bayangan tubuh Fu Giok-su sudah berkelebat kembali dan sekaligus menutuk dua puluh tujuh jalan darah penting di tubuh Yan Cong-tian.   Sedikit pun hawa murni Yan Cong-tian belum dapat dihimpun, sudah tergetar kembali oleh tutukan Fu Giok-su.   Isi perut dan empat anggota tubuhnya terguncang parah.   Dia jatuh terkulai kembali di atas tanah.   Sama sekali tidak mampu memberikan perlawanan.   Meskipun sempat ceroboh beberapa waktu, sekarang dia sudah mengerti apa yang telah terjadi.   Matanya mendelik lebar-lebar ke arah Fu Giok-su.   Anak muda itu sama sekali tidak gentar.   Dia bahkan mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.   "Susiok, bagaimana pendapatmu tentang Pik-lek-ciang yang kulatih ini?"   Yan Cong-tian tambah mengerti beberapa bagian.   "Ternyata selama ini kau yang main gila. Siapa kau sebenarnya?"   "Cucuku!"   Thian-ti yang menyahut pertanyaan itu. Yan Cong-tian menolehkan kepalanya memandang Thian-ti. Wajahnya berubah hebat. Dia memaling kembali memandang Fu Giok-su.   "Sejak semula seharusnya aku sudah melihat 817 bahwa kau ini rada kurang beres. Lalu siapa Wan Fei-yang? Apa dia merupakan komplotan kalian juga?"   "Masa? Bukankah sejak semula kau justru yang paling percaya padaku? Malah kau sendiri yang memaksa untuk datang ke tempat ini. Mengenai Wan Fei-yang, bocah tolol itu, sayangnya dia hanya pantas menjadi kambing hitam. Kalau kau mau tahu siapa dia, nanti saja di akhirat kau tanyakan kepada Ci Siong si hidung kerbau,"   Sahut Fu Giok-su seraya tertawa dingin. Yan Cong-tian tertegun.   "Murid murtad!"   Bentaknya marah. Fu Giok-su pura-pura tidak mendengar. Dia membalikkan tubuhnya menghadap Thian-ti.   "Kali ini keinginan Yaya benar-benar terkabul. Sun-ji seharusnya mengucapkan selamat!"   "Bagus, bagus!"   Thian-ti tiba-tiba memandang Fu Giok-su dengan heran.   "Bagaimana kau bisa merobohkannya dengan cara semudah itu?"   "Rupanya sejak tua bangka ini berlatih ilmu Tian-can-kiat, tenaga dalamnya kadang-kadang ada dan kadang-kadang menghilang. Dia tidak bisa bertarung lama-lama. Hawa murninya akan buyar seketika kalau terlalu dipaksakan."   "Kalau sejak semula kau sudah tahu, mengapa tidak cepat- cepat membokongnya? Malah membiarkan kami menguras tenaga begitu lama,"   Gerutu Thian-ti kesal.   "Benar, mengapa?"   Tukas Hujan.   818 "Sebetulnya ini sebuah rahasia besar.   Di Bu-tong-san, mungkin kecuali Ci Siong Tojin yang sudah mampus itu, tidak ada orang kedua lagi yang mengetahuinya.   Kalau tadi hawa murninya tidak tiba-tiba buyar dan meminta Sun-ji menghadapi kalian untuk sementara, sampai sekarang pun masih aku belum tahu."   "Tua bangka ini memang licik sekali!"   "Biar bagaimana pun liciknya orang ini, sekarang dia tidak bisa apa-apa lagi.   Dan tidak ada lagi yang perlu kita khawatirkan,"   Kata Fu Giok-su sambil menarik ikat pinggang Yan Cong-tian.   Tubuh Tosu tua itu segera terangkat dan menghadap ke arah Thian-ti.   Yan Cong-tian sama sekali tidak ada tenaga lagi untuk melawan.   Apalagi seluruh jalan darahnya yang penting sudah ditutuk oleh Fu Giok-su.   Thian-ti tidak mengulurkan tangannya menyambut.   Dia mengangkat sebelah kakinya dan menendang tubuh Yan Cong-tian.   Orang itu mental ke arah Angin.   Lengan baju Angin dikibaskan.   Belum lagi tubuhnya mendarat di tanah, gagang golok Geledek sudah menyambutnya.   Orang itu kembali mengentakkan tubuh Yan Cong-tian ke udara, sedangkan Hujan di sebelah sana sudah menunggu.   Yan Cong-tian tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk melawan.   Dia menjadi bulan-bulanan kelima orang tersebut.   Hanya Fu Giok-su yang menyaksikan dari samping.   Dari wajah sampai seluruh tubuhnya sudah berlumuran darah, tapi dia masih sadar.   Matanya menatap Fu Giok-su dengan penuh kebencian.   Tanpa sadar tatapan anak muda itu juga 819 kebetulan sedang menoleh ke arahnya.   Tubuhnya tergetar seketika melihat tatapan dingin dan marah Yan Cong-tian yang menatapnya penuh kebencian.   Thian-ti dan empat anak buahnya malah kesenangan.   Mereka menjadikan tubuh Yan Cong-tian sebagai permainan yang mengasyikkan.   Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.   Tampaknya gerakan mereka sangat ringan, tapi bagi orang yang ilmu silatnya sudah tidak berfungsi seperti Yan Cong-tian, menjadi bulan-bulanan mereka merupakan penderitaan yang tidak terkirakan.   Beberapa saat kemudian, Yan Cong-tian sudah muntah darah sebanyak lima kali.   Akhirnya Thian-ti menyadari keadaan itu.   Dia tertegun sesaat.   "Berhenti semuanya!"   Bentak makhluk tua itu lantang.   Pada saat itu, tubuh Yan Cong-tian sedang mendarat ke arah Geledek.   Mendengar bentakan Thian-ti, golok Geledek segera ditarik kembali.   Tidak tertahan lagi, tubuh Yan Cong-tian ibarat seonggok daging bergabrukan di atas tanah.   "Kita toh sedang bersenang-senang, mengapa harus dihentikan?"   Tanya Geledek penasaran. Thian-ti menggelengkan kepalanya.   "Kalau kita permainkan dia dengan cara demikian, dalam waktu yang singkat tua bangka ini pasti akan mampus!"   Katanya. Hujan merasa tidak mengerti.   "Memangnya kita akan membiarkan tua bangka ini hidup terus?"   Thian-ti menganggukkan kepalanya.   "Membiarkan dia mati dengan cara seperti ini, bukankah terlalu enak baginya?" 820 "Maksudmu ....?"   Thian-ti tidak menjelaskan, dia hanya tertawa terbahak-bahak.   Suara tawa itu sungguh menggidikkan hati.   Kesadaran Yan Cong-tian masih ada.   Mendengar suara tawa itu, dia menyadari bahwa masih banyak cara kejam yang harus dilaluinya sebelum menerima kematian.   Thian-ti maju menghampirinya.   Dia langsung menarik Yan Cong-tian bangun dari atas tanah.   "Tua bangka! Tahukah kau apa yang akan kulakukan terhadapmu?"   Tanyanya seraya tertawa licik. Yan Cong-tian mengertakkan gigi-giginya menahan rasa sakit. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Thian-ti menunggu beberapa saat kemudian dia tertawa dingin.   "Seharusnya kau sudah dapat menduganya!"   Bentak Thian-ti sambil mengguncang-guncangkan tubuh Yan Cong-tian. Segumpal darah kembali muncrat dari mulut Tosu tua itu. Dia berusaha mempertahankan diri sebisanya.   "Kalau mau bunuh, silakan. Tidak usah banyak bicara!"   Sahutnya sambil meludah ke arah pipi Thian-ti.   Sayangnya semburan ludah itu tidak cukup kuat untuk mengenai Thian-ti.   Kalau tidak, mungkin pada saat itu juga Thian-ti sudah membunuhnya.   Dengan demikian dia juga terhindar dari berbagai siksaan.   Rupanya Thian memang menghendaki lain.   Thian-ti tertawa terkekeh-kekeh.   821 "Aku pasti akan membunuhmu!"   Dia merandek sejenak.   "Tapi, paling tidak kau harus menderita dulu selama dua puluh tahun!"   Kembali dia tertawa terbahak-bahak.   Dalam waktu yang bersamaan, Yan Cong-tian jatuh tidak sadarkan diri.   ***** Entah berapa lama sudah berlalu, akhirnya Yan Cong-tian tersadar juga dari pingsan.   Tiba-tiba dia merasa kaki dan tangannya terikat dengan rantai.   Rasa nyeri dan ngilu segera menyerang.   Tenaganya hilang sama sekali.   Yan Cong-tian langsung sadar bahwa urat kaki serta tangannya sudah diputuskan semua.   Sedangkan sepasang kakinya terendam dalam telaga dingin.   Setelah memerhatikan keadaan sekitarnya dengan saksama, tanpa sadar dia tertawa getir.   Telaga itu bukan telaga dingin, tapi dibuat persis dengan telaga dingin yang terdapat di Bu- tong-san.   Hal ini membuktikan bahwa Thian-ti memang sudah merencanakan untuk meringkusnya hidup-hidup lalu menyiksanya dengan cara yang sama.   Tentu memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuat telaga seperti ini.   Segulungan suara tawa yang aneh tertangkap oleh telinganya.   Yan Cong-tian mengedarkan pandangannya mencari.   Akhirnya dia melihat Thian-ti duduk di atas sebuah batu 822 berbentuk persegi.   Letaknya di seberang telaga buatan tersebut.   Suara tawanya lebih mirip suara anak kecil yang bersorak kegirangan.   Sepasang telapak tangannya terus menepuk tiada henti.   Mulutnya menyeringai.   "Tua bangka! Bagaimana penilaianmu atas hasil karyaku? Miripkah dengan telaga dingin di Bu-tong-san?"   Yan Cong-tian mulai merasa putus asa. Sepasang giginya mengertak erat-erat. Dia tidak menyahut sepatah kata pun.   "Kau tidak boleh terlalu kesal. Kalau sampai mati karena jengkel, bukankah menyia-nyiakan hasil karya kami yang besar ini?"   Kata Thian-ti selanjutnya.   Yan Cong-tian sengaja menundukkan kepalanya.   Dia enggan melihat tampang makhluk tua yang menyebalkan itu.   "Meskipun aku harus sembahyang memasang hio menyembah Buddha agar kau dapat diberi kehidupan dua puluh tahun lagi, aku rela melakukannya.   Aku ingin kau merasakan bagaimana penderitaanku selama dua puluh tahun terkurung dalam telaga dingin,"   Thian-ti masih juga tertawa terbahak-bahak.   Tiba-tiba tangannya bergerak.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Seutas cambuk panjang sudah tergenggam olehnya.   Dia menggerakkan cambuk itu untuk memecut tubuh Yan Cong-tian.   Rasa sakit tidak terkirakan.   Tubuhnya tergetar hebat.   Kulitnya terkelupas dan mengeluarkan darah.   Rasa nyeri bahkan menyusup ke dalam tulang sumsum.   Dia tidak merintih sedikit pun.   Sebisanya dia menahan diri.   823 Cambuk di tangan Thian-ti bergerak terus.   Ratusan kali sudah berlalu.   Pakaian Yan Cong-tian compang-camping tidak keruan.   Darah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.   "Tua bangka! Tidak pernah tersangka bahwa kau akan mengalami semua ini, bukan?"   Cambuknya diletakkan di samping. Thian-ti berdiri tegak dan kembali tertawa terbahak- bahak. Suaranya bergema di seluruh gua buatan itu.   "Hari ini cukup sekian permainan kita, besok aku akan kembali lagi untuk melayanimu sebaik-baiknya. Harap jangan bosan menjadi tamu agung di sini."   Yan Cong-tian mendongakkan wajahnya.   Matanya mendelik ke arah Thian-ti.   Seakan ada bara api yang berkobar-kobar di mata Tosu tua itu.   Melihat sinar mata Yan Cong-tian, Thian-ti semakin senang.   Sepasang tangannya dilipat di belakang.   Dia melangkah keluar dari tempat itu sambil tertawa terbahak- bahak tiada hentinya.   Yan Cong-tian memandangi kepergian Thian-ti.   Hatinya merasa putus asa.   Terkurung di tempat seperti ini, entah kapan baru dia dapat melihat sinar matahari lagi.   Apalagi kalau dia mengingat keselamatan Lun Wan-ji yang dianggapnya belum tahu apa-apa, hatinya semakin cemas.   Jilid 18 Sejak kecil Lun Wan-ji sudah yatim piatu.   Kedua orang tuanya meninggal karena desa kelahiran mereka tertimpa bencana alam.   Sejak kecil dia diasuh oleh Yan Cong-tian.   Laki-laki itu sudah menganggap Lun Wan-ji seperti anak kandungnya 824 sendiri.   Kalau melihat cara Fu Giok-su yang demikian keji, tentu dia juga tidak akan melepaskan Lun Wan-ji begitu saja.   Dia semakin mengkhawatirkan keadaan gadis itu.   Pikirannya melayang kepada Wan Fei-yang.   Seharusnya dia sadar bahwa bocah itu selalu jujur.   Namun satu hal yang membingungkan hatinya, kenyataannya Wan Fei-yang juga menguasai Bu-tong-liok-kiat.   Dari mana bocah itu mempelajarinya? Dia tidak habis pikir.   Rasanya dia juga tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengetahui semua hal yang tidak dimengertinya lagi.   Sedangkan nyawanya sendiri saat ini sulit dipertahankan.   ***** Thian-ti kembali ke ruang utama, Fu Giok-su sudah menunggu di sana.   Pakaiannya masih yang tadi juga.   Semakin diperhatikan, hati Thian-ti semakin senang terhadap Fu Giok- su.   Bibirnya tersenyum terus.   Dia merasa bangga mempunyai cucu seperti Fu Giok-su.   Fu Giok-su segera berdiri menyambutnya.   "Yaya, bagaimana keadaan tua bangka Yan Cong-tian itu?"   Thian-ti tertawa lebar.   "Hm .... Tua bangka itu? Paling tidak aku akan mengurungnya selama dua puluh tahun. Biar dia rasakan penderitaan yang Yaya alami. Dengan demikian kejengkelan hati Yaya baru bisa terlampiaskan."   Fu Giok-su tersenyum manis.   "Terserah Yaya saja. Sun-ji hanya menurut apa yang Yaya anggap baik."   Thian-ti kembali tertawa terbahak-bahak.   825 "Bagaimanapun, kau memang cucu yang paling bisa diandalkan.   Bukan saja kau berhasil menyelamatkan Yaya keluar dari telaga dingin malah sanggup memancing Yan Cong-tian masuk dalam perangkap kita sehingga Yaya bisa melampiaskan dendam kesumat ini."   Dia merandek sejenak.   "Sekarang kau sudah menjadi Ciangbunjin Bu-tong-pay.   Kau harus bisa mempergunakan kesempatan ini baik-baik untuk menonjolkan kembali partai kita kelak.   Suruh para murid Bu- tong itu berlatih dengan giat.   Kelak kita akan memerlukan tenaga mereka."   "Yaya ingin menggunakan tenaga mereka untuk menggempur Bu-ti-bun?"   Tanya Fu Giok-su yang langsung dapat menerka maksud hati Thian-ti.   "Tidak salah!"   Thian-ti meremas-remas jari tangannya sendiri dengan wajah penuh semangat.   "Biar mereka saling membunuh dengan pihak Bu-ti-bun. Dan kita tinggal memungut hasilnya saja."   "Sun-ji juga mempunyai niat yang sama."   "Oleh sebab itu, untuk sementara ini kau harus tetap merahasiakan asal usulmu."   Sinar mata Thian-ti menerawang jauh.   "Aku dengar, budak perempuan yang bernama Lun Wan- ji itu juga ikut datang. Di mana dia sekarang?"   Fu Giok-su terperanjat mendengar pertanyaan itu. Dia berusaha menenangkan hatinya.   "Masih ada di Piaukiok."   Diam-diam Fu Giok-su mengerling sekilas kepada Thian-ti. Hatinya tergetar. 826 "Budak perempuan itu tidak boleh dibiarkan hidup. Kelak akan menjadi masalah bagi kita. Lebih baik kau membunuhnya saja!"   "Yaya ...."   Fu Giok-su hanya dapat memanggil kakeknya saja. Dia tidak dapat meneruskan kata-katanya.   "Kenapa? Kau tidak sampai hati?"   Bentak Thian-ti dengan wajah berubah.   "Yaya, Wan-ji sudah ...."   "Sudah apa?"   "Pokoknya, Sun-ji memohon Yaya melepaskannya ...."   Fu Giok-su menjatuhkan diri berlutut di depan Thian-ti. Makhluk tua itu tertegun sekian lama. Matanya menyorotkan kemarahan.   "Kalau tidak keji, tidak pantas disebut laki-laki sejati. Lihat tingkah lakumu ini, bagaimana kau bisa menangani urusan besar. Kalau kau tidak tega, biar Yaya yang turun tangan sendiri!"   Fu Giok-su terpaku di tempat.   Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada kakeknya.   Hatinya galau sekali.   Bagaimanapun hubungannya dengan Wan-ji sudah demikian dalam.   Dia tidak tega turun tangan membunuh gadis itu.   Apalagi kalau mengingat anak dalam perut Wan-ji yang merupakan darah dagingnya sendiri.   Fu Hiong-kun juga tertegun.   Saat itu dia berada di luar ruangan utama.   Setiap patah kata yang mereka ucapkan sudah didengarnya dengan jelas.   Soal Yan Cong-tian yang 827 dipancing ke Siau-yau-kok lalu dibokong dengan cara yang keji juga sudah diketahuinya.   Hal itu memang sedang hangat dibicarakan setiap anak buah Siau-yau-kok.   Otomatis dia juga ikut mendengar kabar itu.   Justru karena hal inilah, dia bermaksud mencari Fu Giok-su dan menanyakannya.   Dalam hati kecilnya, Koko yang selama ini dikenalnya adalah orang yang tahu membalas budi dan tidak sekeji Hujan, Angin, dan Geledek maupun Kilat.   Kembali dia mendengar suara bentakan Thian-ti.   "Coba kau pertimbangkan baik-baik. Budak perempuan itu adalah murid Bu-tong-pay. Lagi pula dia adalah murid Yan Cong-tian. Kalau dia sampai tahu bahwa kau adalah orang Siau-yau-kok, biarpun kau tidak membunuhnya, ia juga tidak akan melepaskan dirimu begitu saja!"   Mendengar ucapan itu, Fu Giok-su sadar tidak ada gunanya banyak bicara.   Bukan saja Thian-ti tetap tidak mau mengerti, malah kakeknya itu akan marah besar dan kemungkinan akan pergi ke Kian-wei-piaukiok lalu membunuh Lun Wan-ji saat ini juga.   Pikirannya bekerja dengan cepat.   Tiba-tiba dia membusungkan dadanya dan pura-pura tersadar.   "Apa yang Yaya katakan memang benar!"   Fu Hiong-kun mana tahu isi hati Fu Giok-su. Dia terkejut sekali mendengar jawaban abangnya itu.   "Begitu baru betul,"   Kata Thian-ti memuji.   "Tidak usah khawatir kekurangan kaum perempuan. Yaya bisa mencarikan istri yang tercantik di dunia ini untukmu. Sekarang kau harus segera kembali ke sana dan jangan menunda waktu lagi. Bunuh gadis itu lalu kembali ke Bu-tong serta persiapkan apa yang Yaya katakan tadi." 828 Fu Giok-su menganggukkan kepalanya lalu mengundurkan diri. ***** Sesampainya di luar ruangan, dia langsung melihat Fu Hiong- kun yang berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.   "Hiong-kun ...."   Panggilnya seraya mengejar.   Fu Hiong-kun pura-pura tidak mendengar.   Dia meneruskan langkah kakinya.   Fu Giok-su tertegun sesaat, kemudian mengejarnya lebih cepat.   Dia melesat dan mengadang di depan gadis itu.   Akhirnya Fu Hiong-kun menghentikan langkah kakinya.   Dia menatap Fu Giok-su dengan pandangan dingin.   Seakan melihat seorang asing yang sama sekali tidak dikenalnya.   Fu Giok-su semakin heran.   "Hiong-kun, kau tidak mengenali Toako lagi?"   Tanyanya lembut. Fu Hiong-kun tertawa dingin. Dia tidak menyahut.   "Baru dua tahun tidak bertemu. Lagi pula wajah Toako juga rasanya tidak berubah banyak,"   Kata Fu Giok-su kembali.   "Wajah memang tidak berubah, hatinya bagai orang yang berbeda!"   "Oh?"   Giok-su tampaknya masih tidak mengerti apa yang diucapkan Hiong-kun. 829 "Ciangbunjin Bu-tong-pay seperti engkau ini rasanya terlalu keji dan tidak berperasaan sama sekali,"   Sindir Hiong-kun.   Fu Giok-su menundukkan kepalanya.   Dia tidak tahu bagaimana harus menyahut makian adiknya itu.   Dia merasa sunyi dan tak berdaya.   Hiong-kun menatapnya lekat-lekat.   Kemudian gadis itu menarik napas panjang.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Rasanya aku tidak mungkin menemukan Toakoku yang dulu lagi.   Oh ya, kau sudah berhasil menjabat sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay, seharusnya aku mengucapkan selamat kepadamu,"   Dia menjura satu kali kemudian mengibaskan tangannya dan melenggang pergi.   Fu Giok-su terpaku di tempatnya.   Setelah beberapa saat baru dia melangkahkan kakinya menuju ke luar.   Meskipun di mulut dia mengabulkan permintaan Thian-ti untuk membunuh Lun Wan-ji, tapi dalam hatinya dia sudah merencanakan bagaimana mengungsikan gadis itu ke tempat yang aman agar bayinya dapat terlahir dengan selamat dan mereka masih bisa berhubungan tanpa diketahui oleh pihak ketiga.   Harimau yang buas saja tidak pernah memangsa anaknya sendiri, apalagi manusia.   Meskipun hatinya sangat keji dan licik, tapi dia toh masih mempunyai perikemanusiaan.   Di dalam hatinya masih tersisa sedikit kesadaran.   Sambil berjalan dia memikirkan rencananya.   Akhirnya dia berhasil menemukan jalan keluar yang baik.   Satu hal yang tidak tersangka olehnya ialah Lun Wan-ji sudah mengetahui rahasianya dan meninggalkan Kian-wei-piaukiok.   ***** 830 Lun Wan-ji termenung di atas tempat tidur.   Hatinya gelisah memikirkan keselamatan Yan Cong-tian.   Sedikit banyak dia sudah dapat meraba siapa adanya Fu Giok-su.   Wajah Wan Fei-yang yang ketolol-tololan melintas di depan pelupuk matanya.   Dulu dia selalu mengagumi anak muda itu sebagai orang yang jujur.   Sejak kedatangan Fu Giok-su, kepercayaannya mulai luntur.   Mungkinkah orang seperti Wan Fei-yang sampai hati membunuh Susioknya, Ci-siong Tojin? ***** Bagaimana kalau Fu Giok-su yang membunuh orang tua itu? Hatinya sakit sekali, juga dibayangi ketakutan.   Apa jadinya kalau yang dibayangkan semua merupakan kenyataan? Apakah benar anak yang dikandungnya ini merupakan darah daging dari seorang pembunuh berdarah dingin? Seribu pertanyaan menggelayuti pikiran Lun Wan-ji.   Setelah mempertimbangkan bolak-balik akhirnya dia bangkit dari tempat tidurnya dan membereskan perbekalannya.   Dia tidak sanggup berpikir panjang lagi.   Dia merasa menyesal menuduh Wan Fei-yang sebagai pembunuh.   Tapi dia juga merasa tidak ada muka lagi untuk mencari anak muda itu dan menjelaskan segalanya.   Nasi sudah menjadi bubur.   Hanya satu hal yang dapat dilakukannya sekarang.   Hatinya pun bertekad mengambil keputusan tersebut.   ***** Sesampainya Fu Giok-su di Kian-wei-piaukiok, hari sudah menjelang senja.   Suma Hung segera menceritakan peristiwa menghilangnya Lun Wan-ji kepada anak muda itu.   Tadinya Fu 831 Giok-su curiga jangan-jangan Suma Hung secara diam-diam telah menerima perintah dari Thian-ti untuk membunuh gadis itu.   Tapi setelah dia mendengarkan dengan saksama dan menyelidiki secara teliti, kenyataannya bukan.   Di dalam kamar Lun Wan-ji, dia menemukan sepucuk surat.   Surat itulah yang dilemparkan oleh Kiang Cin dan Li Bu ke dalam kamar gadis itu.   Fu Giok-su segera sadar bahwa gadis itu sudah mengetahui rahasianya.   Malah sebelum dia meninggalkan Piaukiok tersebut bersama Yan Cong-tian.   Saat itu dia baru mengerti sikap Lun Wan-ji yang aneh tadi malam.   Di atas meja hanya terdapat surat dari Kiang Cin dan Li Bu.   Lun Wan-ji sendiri tidak meninggalkan sepatah kata pun untuk Fu Giok-su.   Anak muda itu berdiri di dalam kamar termangu- mangu.   Dia seperti kehilangan sesuatu yang amat berharga bagi hidupnya.   Dia sama sekali tidak dapat menerka ke mana perginya Lun Wan-ji, tapi dia ragu apakah dia masih memiliki kesempatan untuk bertemu lagi dengan gadis itu selama hidupnya ini.   Yang pasti gadis itu tentu sangat membencinya sekarang.   ***** Senja hari yang sama.   Tok-ku Hong mengajak Wan Fei-yang kembali ke kantor pusat Bu-ti-bun.   Mengetahui kepulangan gadis itu, yang paling gembira tentu saja Kongsun Hong.   Tapi gadis itu tidak memedulikannya.   Sikapnya masih dingin dan angkuh.   Kongsun Hong yang melihat Tok-ku Hong membawa pulang Wan Fei-yang merasa tidak senang, namun dia tidak berani 832 mengatakan apa-apa.   Entah mengapa, semakin memerhatikan Wan Fei-yang, hatinya semakin tidak suka.   Belum sempat dia menanyakan apa-apa, Tok-ku Hong sudah menjelaskan.   "Dia bernama Siau Yang. Dia pernah menolongku. Kau cari salah seorang anak buah kita dan suruh dia urus Siau Yang baik-baik."   "Tapi ... selamanya kita belum pernah melayani tamu di sini ...."   "Tamu?"   Sifat pemarah Tok-ku Hong meledak lagi.   "Orang yang kuajak pulang apa terhitung tamu. Ada urusan apa, aku yang tanggung jawab!"   Kongsun Hong mana berani banyak bicara lagi.   Kepalanya tertunduk.   Seorang anggota Bu-ti-bun menghampiri dengan tergesa-gesa dan melaporkan bahwa Buncu mengundang Tok-ku Hong masuk ke dalam kamar pribadinya.   Tok-ku Hong tampak bimbang sesaat, namun akhirnya dia menganggukkan kepalanya dan berjalan pergi.   Baru beberapa langkah dia menolehkan kepalanya kepada Wan Fei-yang.   "Sebentar aku akan kembali lagi,"   Katanya sambil tersenyum.   Hati Kongsun Hong semakin mendongkol.   Dia melengos ke arah lain.   ***** Matahari mulai tenggelam.   Cahayanya menyorot lewat jendela sebelah barat.   Tok-ku Bu-ti berdiri membelakangi jendela.   Seluruh wajahnya hampir tidak kelihatan karena memunggungi cahaya.   833 Tok-ku Hong sudah melihatnya dari luar pintu ruangan pribadi tersebut.   Langkah kakinya terhenti.   Hatinya angkuh dan cepat tersinggung.   Dia paling tidak sanggup mendengar ocehan orang.   Mengingat Tok-ku Bu-ti mungkin akan memakinya habis-habisan, rasanya dia sudah enggan masuk ke dalam.   Dia mempertimbangkan sesaat, akhirnya mengertakkan gigi dan membalikkan tubuhnya.   Baru saja dia berniat meninggalkan tempat itu, Tok-ku Bu-ti sudah memandang ke arahnya.   Sinar matanya demikian lembut.   Cahaya mentari pudar.   Rambut di kepala Tok-ku Bu-ti yang setengahnya sudah memutih berkilauan.   Walaupun dilihat dari sudut mana, dia tampak seperti orang yang penuh perasaan.   Dua pasang mata saling menatap.   Tok-ku Hong tertegun.   Sedangkan Tok-ku Bu-ti segera mengembangkan seulas senyuman.   Seulas senyuman yang penuh kerinduan dan kesepian.   Tok-ku Hong mengeraskan hatinya menghampiri.   "Tia ...."   Sapanya dengan suara lirih.   "Kau sudah pulang,"   Tok-ku Bu-ti tersenyum lagi.   "Bagaimana rasanya bermain-main di luar sana?"   "Lumayan,"   Suara Tok-ku Hong masih dingin dan datar.   "Kadang-kadang berjalan-jalan keluar rumah ada baiknya juga."   Tok-ku Hong tidak menyahut. 834 "Apa kau sanggup menghadapi berbagai penderitaan di luar sana?"   Tanya Tok-ku Bu-ti kembali.   "Apanya yang menderita?"   Sahut Tok-ku Hong kurang senang. Dia menganggap Tok-ku Bu-ti sedang menertawakannya.   "Sifatmu persis dengan orang itu. Baik ...."   Nada suara Tok-ku Bu-ti berubah menjadi kurang sabar.   Perasaan Tok-ku Hong menjadi kurang senang seketika.   Tok- ku Bu-ti malah tersenyum lagi.   Kadang-kadang Tok-ku Hong sendiri kurang mengerti sikap ayahnya.   "Tia lain kali tidak akan memarahimu lagi,"   Dia menarik napas panjang.   "Anak sudah besar. Dimarahi sedikit saja langsung bertekad pergi dari rumah,"   Dia berhenti sejenak kemudian menarik napas lagi. Tok-ku Hong semakin tidak tenang. Tok-ku Bu-ti juga tidak mengatakan apa-apa lagi. Keduanya terdiam beberapa saat. Akhirnya Tok-ku Hong juga yang membuka suara.   "Apakah tidak ada hal lainnya lagi?"   Kepala gadis itu tertunduk rendah-rendah. Tok-ku Bu-ti memandangnya lekat-lekat.   "Masih marah kepada Tia?"   Tanyanya apa boleh buat. Tok-ku Hong menggelengkan kepalanya. Tok-ku Bu-ti menghampiri dan mengelus-elus kepala gadis itu.   "Tahukah kau bahwa Tia sangat merindukanmu?"   Mendengar kata-kata itu, tanpa dapat menahan keharuan 835 hatinya lagi Tok-ku Hong menyusupkan kepalanya ke dalam dada Tok-ku Bu-ti.   Kemudian dia terbatuk-batuk beberapa kali.   Alis Tok-ku Bu-ti segera berkerut mendengar suara batuk itu.   "Apakah kau pernah mendapatkan luka dalam?"   Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya.   "Sudah hampir sembuh,"   Sahutnya.   "Siapa yang turun tangan terhadapmu?"   "Bocah Kuan Tiong-liu dari Go-bi-pay itu!"   Nada suaranya terdengar marah.   "Lagi-lagi bocah itu!"   Wajah Tok-ku Bu-ti menjadi kalem.   "Suatu hari nanti, aku akan memberi pelajaran pahit kepadanya."   "Kali ini untung saja ada Hwesio itu yang kebetulan lewat dan menolong aku."   "Hwesio yang mana?"   "Dia tidak menyebutkan gelarnya.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tapi tampangnya aneh sekali.   Tubuhnya pendek, kepalanya ada sembilan lubang dan jenggotnya sudah putih semua ...."   Apa yang dikatakan Tok-ku Hong sebenarnya hanya meniru keterangan Wan Fei-yang saja. Tok-ku Bu-ti mengerutkan keningnya.   "Mungkinkah ...."   "Siapa?"   Desak Tok-ku Hong.   "Apa yang dilakukannya setelah berhasil menolongmu?"   Tanya 836 Tok-ku Bu-ti kembali.   "Tanpa mengucapkan apa-apa langsung pergi."   "Kalau begitu bukan dia,"   Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya.   "Kong-kong Hwesio dari Siau-lim-pay memang mempunyai tampang seperti yang kau uraikan tadi. Tapi orang ini terkenal hidung belang. Tidak mungkin dia akan melepaskanmu begitu saja."   Wajah Tok-ku Hong menjadi merah padam mendengar keterangan itu.   "Lalu bagaimana?"   Tanya Tok-ku Bu-ti masih penasaran.   "Kebetulan seorang bocah laki-laki lewat di tempat itu.   Dia melihat aku terluka cukup parah.   Tanpa pikir panjang lagi dia mengeluarkan obat buatan resep keluarganya dan meminumkannya padaku.   Sepanjang perjalanan sampai pulang, dia pula yang merawat aku,"   Tok-ku Hong tertawa.   "Meskipun tampangnya ketolol-tololan, tapi hatinya sangat baik."   "Kau membawanya pulang ke kantor pusat kita?"   Tok-ku Bu-ti mengerutkan keningnya.   "Kedua orang tuanya sudah meninggal.   Dia tidak mempunyai rumah tinggal lagi.   Lagi pula dia sangat mengagumi Bu-ti-bun kita.   Oleh karena itu, akhirnya aku mengambil keputusan untuk mengajaknya pulang.   Hitung-hitung sebagai balas budi atas perawatannya selama aku terluka."   Tok-ku Bu-ti seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi sudah 837 keburu ditukas kembali oleh Tok-ku Hong.   "Aku sudah mengujinya beberapa kali. Ilmu silatnya biasa-biasa saja. Dalam hal pengobatan dia punya minat yang cukup besar. Paling bagus kalau ditempatkan di toko obat dan klinik tabib Cai."   Tok-ku Bu-ti diam merenung.   "Tia ... bagaimana pendapatmu itu? Aku sudah mengatakan iya kepadanya."   "Kalau kau sudah mengiakan, buat apa tanya aku lagi?"   Tok- ku Bu-ti tertawa lebar.   "Kau lakukan saja apa yang menurutmu baik. Katakan kepadanya jangan bermalas-malasan, siapa tahu aku akan mengangkatnya sebagai murid."   Mendengar kata-kata itu, Tok-ku Hong merasa gembira demi Wan Fei-yang.   "Cepat ke sana. Nanti dia kebingungan,"   Kata Tok-ku Bu-ti kembali. Tok-ku Hong segera membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu. Tapi sampai di pintu, dia teringat sesuatu.   "Tia ... ketika Kuan Tiong-liu melukai aku, dia baru saja membunuh seratus lebih orang-orang kita. Bocah itu tidak boleh dibiarkan begitu saja!"   "Tia sudah mendapat laporan tentang hal itu,"   Wajah Tok-ku Bu-ti berubah kelam.   Tok-ku Hong melanjutkan langkah kakinya.   838 ***** Pada saat itu Wan Fei-yang merasa sebal sekali.   Kongsun Hong mengajaknya ke ruangan utama.   Di sana ia menanyakan segala macam.   Kongsun Hong juga menanyakan ciri-ciri Hwesio yang katanya menyelamatkan Tok-ku Hong.   Malah dia bertanya dengan cara yang jauh lebih terperinci daripada Tok-ku Bu-ti.   Wan Fei-yang hanya menjawabnya dengan samar-samar.   Semakin didengar, Kongsun Hong semakin merasa entah di mana dia pernah mendengar suara Wan Fei-yang.   Tapi untuk sesaat dia tidak bisa mengingatnya.   Dia masih bertanya terus.   "Dari mana asalmu?"   Wan Fei-yang tertegun. Baru saja dia ingin menyahut nama sebuah tempat secara serampangan, Kongsun Hong sudah menukasnya kembali.   "Rasanya aku pernah dengar nada suaramu!"   "Eh?"   Hati Wan Fei-yang tergetar.   "Kau belum menjawab pertanyaanku. Dari mana asalmu?"   Desak Kongsun Hong. Baru saja perkataannya selesai, Tok-ku Hong sudah melangkah masuk dari ruangan tersebut. Wajahnya berseri- seri.   "Tia sudah mengatur kau bekerja di tempat tabib Cai. Dia masih berpesan agar kau jangan bermalas-malasan. Kelak mungkin dia akan mengangkatmu sebagai murid. Mari ikut aku!"   Katanya dengan nada senang. 839 Wan Fei-yang cepat-cepat berdiri. Kongsun Hong juga ikut berdiri.   "Kau belum menjawab pertanyaanku ...."   Desaknya. Wajah Tok-ku Hong langsung berubah serius.   "Dia toh bukan pesakitan. Untuk apa kau bertanya panjang lebar?"   Bentaknya marah.   Kata-kata Kongsun Hong terhenti seketika.   Dia tidak berani mengajukan pertanyaan lagi.   Entah kenapa, dia memang selalu tidak berdaya di hadapan Tok-ku Hong.   Matanya memandang kepergian kedua orang itu.   Saking kesalnya, perut Kongsun Hong langsung menjadi mual.   Biar dia sudah menguras ingatannya, dia masih tetap lupa di mana dia pernah mendengar suara Wan Fei-yang.   ***** Tabib Cai disebut oleh orang-orang sekitar sana sebagai Cai Hua-to (Hua-to adalah seorang tabib sakti pada zaman lampau).   Menurut keterangan Tok-ku Hong, ilmu pengobatannya lumayan juga.   Tapi sikapnya malah tidak terpuji sama sekali.   Apalagi dia juga terkenal hidung belang dan mata duitan.   Justru karena kegenitannya itu, dia pernah menyalahi beberapa partai lurus di Bu-lim.   Akhirnya dia melarikan diri dan berlindung di bawah panji Bu-ti-bun.   Dia memohon kepada Tok-ku Bu-ti agar menerimanya sebagai anggota.   Tok- ku Bu-ti tahu ilmu pengobatan orang ini boleh juga.   Dia juga tahu Bu-ti-bun memerlukan orang semacam ini.   Oleh karena itu permintaannya segera dikabulkan dan resmilah dia menjadi 840 anggota perguruan tersebut.   Setelah masuk menjadi anggota Bu-ti-bun, penghasilannya semakin banyak.   Tentu saja dia tidak berani terang-terangan memeras anggota Bu-ti-bun yang lain apabila berobat kepadanya.   Rakyat daerah itulah menjadi sasaran empuk.   Apalagi terhadap Tok-ku Hong, hormatnya bukan kepalang.   Usianya masih belum terlalu tinggi.   Baru memasuki kepala empat.   Tentu saja dia masih ingin hidup lebih lama lagi.   Oleh sebab itu juga pada penampilan luarnya dia selalu mematuhi semua peraturan yang berlaku di Bu-ti-bun.   Sedangkan Wan Fei-yang dibawa oleh Tok-ku Hong, tentu saja dia tidak berani banyak bertanya atau menolak.   Dia langsung menerima anak muda itu.   Bahkan dia tidak mengizinkan Wan Fei-yang melakukan pekerjaan kasar.   Diam-diam dalam hatinya dia berpikir jangan-jangan anak muda itu diutus sebagai mata-mata untuk menyelidiki gerak- geriknya.   Wan Fei-yang ditugaskan mencatat nama-nama pasien.   Kadang-kadang menimbang takaran obat atau menemaninya ke kota untuk membeli persediaan obat yang sudah hampir habis.   Apabila dia membeli obat-obatan seharga seratus tahil, paling tidak dia mencatut dua puluh tahil untuk masuk ke kantongnya sendiri.   Wan Fei-yang juga kebagian tidak sedikit.   Hal ini dilakukannya karena dia takut Wan Fei-yang adalah bawahan Tok-ku Hong.   Seandainya dia membagi sedikit keuntungan kepada anak muda itu, mungkin dia tidak akan menceritakan apa-apa kepada Tok-ku Hong meskipun dia melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya.   841 Sebetulnya Wan Fei-yang juga tidak peduli.   Sayangnya tabib Cai tidak tahu.   Yang paling menarik perhatian Wan Fei-yang adalah racikan obat-obatan dan nama pasien serta penyakit yang mereka derita.   Setiap kali anggota Bu-ti-bun berobat kepada tabib Cai, orang itu pasti menyimpan arsipnya di dalam lemari besar.   Wan Fei-yang berminat membongkar arsip tersebut.   Maka setiap hari, apabila tidak banyak pekerjaan, dia pun pura-pura membersihkan semua perabotan dan membereskan surat atau resep-resep yang tidak terpakai lagi lalu ditumpukkan menjadi satu.   Dengan demikian, tabib Cai sama sekali tidak curiga.   Hanya sayangnya, meskipun dia sudah membongkar sampai capek, dia tidak berhasil menemukan apa yang dicarinya.   Orang yang mempunyai she Sen memang banyak juga.   Tapi tidak ada satu pun yang bernama Sen Man-cing.   Dia tidak putus asa.   Sekarang dia mulai memerhatikan setiap pasien yang datang.   Setelah memerhatikan kurang lebih satu bulan, akhirnya dia menemukan seorang dayang yang aneh.   Dayang itu bernama Goat Ngo.   Pernah satu kali dia datang untuk mengambil obat.   Wan Fei-yang biasa mencatat nama pasien dan apa penyakitnya.   Dia malah dihalangi oleh tabib Cai dan ditertawakan oleh dayang itu yang mengatakan bahwa dia tidak tahu aturan.   Setelah itu tabib Cai mengantar Goat Ngo sampai di luar toko.   Sekembalinya ke dalam orang itu masih berpesan kepadanya, apabila Goat Ngo datang lagi kelak, seberapa banyak saja obat yang dimintanya, Wan Fei-yang harus memberikan dan tidak perlu dicatat.   Wan Fei-yang berusaha mendesaknya dengan berbagai pertanyaan, tapi tabib Cai tidak memberi penjelasan.   Dia hanya menoleh kepada Wan Fei-yang dan berkata.   "Semakin sedikit urusan Bu-ti-bun yang kau ketahui, 842 semakin baik untuk dirimu sendiri. Jangan mencampuri urusan orang lain!"   Meskipun di mulut Wan Fei-yang mengiakan, tapi hatinya mempunyai pikiran yang lain.   Sedangkan mengenai main gilanya tabib Cai dengan Su Sam-ko, dia pura-pura tidak melihatnya.   Sepatah kata pun dia tidak menyebarkan kepada orang lain.   Su Sam-ko sebetulnya merupakan selir kesayangan salah satu Hu-hoat Bu-ti-bun, yaitu Cian-bin-hud.   Seandainya Cian- bin-hud sampai mengetahui peristiwa ini, rasanya nyawa tabib Cai tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tabib Cai sendiri bukannya tidak tahu sampai di mana kelihaian Cian- bin-hud.   Oleh karena itu, dia selalu menggunakan kesempatan tatkala Su Sam-ko turun ke kota membeli bedak ataupun gincu.   Di saat itulah mereka mengadakan pertemuan rahasia di salah satu penginapan setempat.   Perasaan Cian-bin-hud selalu sukar diraba.   Apalagi ketika dia ingin membunuh seseorang.   Namun dalam keadaan apa pun, wajahnya selalu tersenyum.   Entah berapa banyak orang yang mati penasaran di bawah senyumannya.   Maka dari itu juga, banyak orang yang menyebutnya Siau-li-jan-to (di dalam tawa tersimpan golok).   Tentu saja sebutan ini hanya diucapkan di belakangnya.   Meskipun hatinya kejam dan tampangnya garang, tapi dia paling patuh terhadap kaum perempuan.   Dia sama sekali tidak menduga kalau selirnya akan mengkhianatinya.   Wan Fei-yang yang belum lama di tempat itu saja sudah dapat meraba hubungan istimewa antara tabib Cai dengan Su Sam-ko.   Tapi Cian-bin-hud tidak tahu sama sekali.   843 Tabib Cai Hua-to tentu sudah menyadari kelemahan ini.   Dia juga tidak berani sembrono.   Tindakannya selalu hati-hati.   Kalau bukan Wan Fei-yang yang demikian teliti, tentu sampai saat ini dia juga tidak mengetahuinya.   Namun kalau dibandingkan dengan ketajaman telinga dan keawasan mata Manusia Tanpa Wajah, Wan Fei-yang masih belum nempil seujung kukunya.   Dia mendapat perintah untuk menyuap beberapa anggota Bu- ti-bun sebagai mata-mata.   Bukan saja dia tahu hubungan antara tabib Cai dengan Su Sam-ko, dia juga tahu bahwa Wan Fei-yang sudah menyelundup ke dalam Bu-ti-bun.    Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini