Ilmu Ulat Sutera 31
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 31
Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying Tok- ku Bu-ti tidak bisa tidak menghalangi datangnya serangan itu. Telapak tangannya terulur dan menyambut dua kali serangan tersebut. Tubuhnya yang sedang melesat di udara terdesak melayang turun kembali. Wan Fei-yang memutar tubuhnya. Dua hantaman diluncurkan kembali, namun begitu ia sampai di hadapan Tok-ku Bu-ti, serangan itu menjadi delapan belas kali hantaman. Setiap hantaman, telapak tangan Wan Fei Kang tampaknya demikian ringan. Kening Tok-ku Bu-ti berkerut. Sepasang telapak tangannya maju menyambut serangan delapan belas kali hantaman itu. Kakinya terdesak mundur dua langkah. Serangan Wan Fei-yang tidak berhenti di situ. Sambil meraung keras, dia terus meluncurkan serangan ke arah Tok- ku Bu-ti. Sepasang telapak tangannya kadang-kadang terkepal menjadi tinju dan terkadang membuka lagi serta menghantam. Sepasang kakinya juga menyepak serentak. Tubuhnya bergerak kian ke mari. Serangannya menimbulkan angin keras bagai badai yang melanda. Nafsu bertarung Tok-ku Bu-ti juga sudah terbangkit. Sepasang tinjunya dikerahkan. Terjadilah pertarungan sengit dengan Wan Fei-yang. Kecepatannya dalam menyerang ataupun bergerak tidak di bawah anak muda itu. Hanya dalam hal tenaga dia terpaksa harus mengakui bahwa dia masih kalah satu tingkat. 1277 Semakin bertarung gerakan keduanya semakin cepat. Suara teriakan terdengar terus dari mulut Wan Fei-yang. Gerakannya sudah hampir mirip orang kalap. Mungkin karena kebencian yang memenuhi hatinya, maka dia tidak berpikir hal lainnya lagi kecuali membunuh Tok-ku Bu-ti. Hujan masih turun dengan lebat. Kilat terus menyambar. Suara benturan telapak tangan serta tinju berkecamuk dengan piara teriakan Wan Fei-yang dan suara siulan panjang yang keluar dari mulut Tok-ku Bu-ti. Dua pasang telapak tangan berkali-kali beradu. Keduanya bagai dua ekor ulat perak yang pedang bergelut. Sama sekali tidak perduli hutan badai yang masih terus berlangsung. Kecuali yang mabuk, para tamu lainnya yang mendengar suara pertarungan itu menjadi terkejut. Berbondong-bondong mereka keluar untuk melihat apa yang telah terjadi. Setelah berhasil melihat dengan jelas, mereka semua terbelalak dan melongo. Bagaimana mereka tidak terperanjat apabila melihat kedua orang Sang sedang bertarung mati-matian itu adalah mantu dan mertua yang masih terlihat baik-baik ketika pesta pernikahan berlangsung. Kongsun Hong dan Fu Hiong-kun juga sudah menyusul tiba. Mereka melihat pertarungan antara Wan Fei-yang dan Tok-ku Bu-ti bukan hanya tidak main-main malah sudah menjurus ke arah menyabung nyawa masing-masing. Tentu saja Fu Hiong-kun dan Kongsun Hong menjadi tertegun seketika. Yan Cong-tian yang baru sampai di tempat kejadian lebih bingung lagi. Dia segera menerjang ke hadapan kedua orang itu. "Berhenti!" Teriaknya sambil menghantam ke depan. Dalam waktu yang bersamaan, air hujan yang sedang mencurah tampak terkuak oleh tenaga hantaman telapak 1278 tangan Yan Cong-tian. Kurang lebih tiga depa di sekitar kedua orang itu langsung melompong. Pada saat itu juga. Wan Fei- yang dan Tok-ku Bu-ti terpental mundur. Begitu mundur, sepasang telapak tangan Tok-ku Bu-ti terentang kembali. Dia mendengus dingin dua kali. Wan Fei- yang marah sekali. Kakinya segera memasang kuda-kuda siap menerjang lagi ke depan. Yan Cong-tian menghantam lagi tiga kali berturut-turut. Kemudian dia menghadang di depan Wan Fei-yang. "Siau-fei, apakah kau jadah gila?" Bentaknya lantang. "Aku ingin membunuhnya!" Teriak Wan Fei-yang sambil bersiap menerjang lagi. Namun lagi-lagi dia dihadang oleh Yan Cong-tian. "Siau-fei, tenangkan dirimu. Katakan dulu yang jelas, nanti turun tangan juga belum terlambat!" Serunya. Dihadang untuk kedua kalinya oleh Yan Cong-tian, perasaan Wan Fei-yang baru rada tenang. Dia berusaha keras menahan emosinya. Tapi matanya masih mendelik ke arah Tok-ku Bu-ti dengan sinar kemarahan yang berkobar-kobar. Sinar mata Yan Cong-tian menatap wajah Wan Fei-yang lalu beralih kepada Tok-ku Bu-ti. "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" Tanyanya dengan tampang angker. Tok-ku Bu-ti tertawa dingin. "Seharusnya kau tanya saja pada Wan Fei-yang. Dia yang datang mencari aku dan mengajakku berkelahi." Sinar mata Yan Cong-tian beralih kepada Wan Fei-yang. 1279 "Kalau memang ingin berkelahi, mengapa harus menunggu sampai sekarang? Kalian toh bukan orang luar lagi. Apakah tidak takut ditertawakan teman-teman yang hadir?" Wajah Wan Fei-yang berkerut-kerut. Dia bermaksud membuka mulut mengatakan sesuatu, tapi dibatalkannya kembali. Tok-ku Bu-ti memandangnya dengan sinis. Dia juga yakin Wan Fei-yang tidak akan berani mengatakan apa-apa di hadapan para tamu yang hadir. "Sejak semula aku sudah meminta agar kau mempertimbangkan segalanya dengan matang-matang. Sebelumnya tidak berkelahi, sekarang lebih lebih tidak boleh lagi," Kata Yan Cong-tian selanjutnya. Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya. "Supek, ada masalah yang belum kau ketahui." "Apa yang tidak aku ketahui?" Tanya Yan Cong-tian semakin tidak mengerti. Wan Fei-yang tidak dapat mengatakannya. Yan Cong-tian menyapu pandangannya ke sekitar tempat itu. "Di mana Hong ji?" Tanya kembali. Hati Wan Fei-yang pedih sekali. "Dia sudah pergi," Sahutnya kelepasan. Yan Cong-tian tertegun. "Mana boleh begitu? Hari ini kan malam bahagia kalian!" 1280 Wan Fei-yang merasa sulit menjelaskannya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Yan Cong-tian memandangnya dengan lembut. "Apakah Tok-ku Bu-ti memecah belah kalian agar kalian suami istri menjadi tidak akur?" Tanyanya penuh perhatian. Wan Fei-yang tidak menyahut. Mata Yan Cong-tian beralih lagi kepada Tok-ku Bu-ti. "Bu-ti, kalau memang demikian, berarti kau yang bersalah!" Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Siapa yang salah atau benar, sebelum Yan heng tahu jelas masalahnya, lebih baik jangan sembarangan menduga!" Sinar mata Yan Cong-tian berubah menjadi ingin seketika. "Kalau begitu maksudmu...." Wan Fei Yang mengangkat tangannya. "Supek...." Yan Cong-tian menghentak tangan Wan Fei-yang. "Benar atau salah, Supek mempunyai pertimbangan sendiri." Mimik wajah Wan Fei-yang tambah sedih. Supek, kau masih belum mengerti masalahnya," Kata anak muda itu dengan suara parau. "Oleh karena itu, aku ingin menanyakan ampai jelas!" Kata Yan Cong-tian sambil mengelus jenggotnya. Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Kalau begitu ku terpaksa mengatakan semuanya." 1281 Baru saja Wan Fei-yang bermaksud menegah, Yan Cong- tian sudah menukasnya. "Biar dia mengatakan. Bu-ti-bun memang aliran sesal. Masa apa yang dikatakannya bisa suatu hal yang masuk akal dan adil?" Wan Fei-yang tertawa sumbang. Tok-ku Bu-ti maju selangkah ke depan. "Peristiwa ini harus diceritakan mulai dari dua puluh tahun yang lalu." Tok-ku Bu-ti berhenti sejenak. Kemudian dia menarik natas panjang dan melanjutkan kembali. "Pada waktu itu aku mengadakan pertarungan dengan Ci Siong tojin dari Bu-tong-pai di Kuan-jit-hong. Dengan Mil kip sinkang aku berhasil menghancurkan Bu-tong-liok-kiat yang dikerahkan oleh Ci Siong tojin. Akibatnya tosu tua itu terluka parah di bawah seranganku." Berbicara sampai di situ, mata Tok-ku Bu-ti tanpa sadar menerawang. Dadanya dibusungkan tinggi-tinggi. Seakan kemenangan itu masih terbayang jelas, di pelupuk matanya. Yan Cong-tian tertawa dingin. "Urusan sudah lama berlalu, sampai sekarang masih juga dibanggakan. Apakah kau tidak takut ditertawakan para tamu yang hadir malam ini?" Tok-ku Bu-ti tidak memperdulikannya. "Dengan luka parah, Ci Siong berusaha melarikan diri. Tanpa mengenal arah, ternyata dia lari ke tempat yang bernama Liong-hong-kek di Bu-ti-bun. Keberuntungan dan kemalangan pun terjadi!" Suaranya semakin lama semakin jelas. Kata-kata ini memang sengaja diucapkannya agar dapat terdengar oleh seluruh tamu yang hadir memenuhi undangan. "Ci Siong ditolong oleh seorang wanita, tapi kemudian dia 1282 merayu wanita itu sehingga jatuh cinta padanya. Wanita itu bernama Sen Man-cing. Itulah orangnya!" Kata Tok-ku Bu-ti sambil menunjuk ke arah Sen Man-cing yang berdiri di depan pintu kamar. Kilat menyambar. Wajah Sen Wan Cing pucat pasi. Bibirnya bergetar. Matanya menyorotkan sinar permohonan. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dia memandang ke arah Tok-ku Bu-ti dengan wajah sendu. Namun dia tidak sanggup membuka mulut melalap kepada laki-laki yang dibencinya itu. Sepasang tinju Wan Fei-yang terkepal erat. Tubuhnya tidak henti bergetar. Tapi bahunya dirangkul oleh Yan Cong- tian. Melihat keadaan mereka, hati Tok-ku Bu-ti semakin kenang. "Menolong nyawa orang melebihi tujuh amal lainnya. Sebetulnya perbuatan ini tidak salah. Tapi selagi aku sedang tidak ada, sengaja melakukan hal yang busuk dan mengkhianatiku, bagaimana aku tidak menjadi marah?" Yan Cong-tian marah sekali. "Mulutmu memang harus dicuci bersih! Ci Siong...." Tok-ku Bu-ti tertawa dingin. "Seandainya Ci Siong orang yang jujur dan mematuhi peraturan keagamaan, dari mana datangnya seorang anak bernama Wan Fei-yang?" Kata-kata ini menyusup di telinga, kecuali Wan Fei-yang sendiri, Yan Cong-tian, Fu Hiong-kun dan Sen Man-cing, orang-orang yang hadir tidak ada satu pun yang tidak terkejut. Wajah Yan Cong-tian merah padam. Berkali-kali dia mendengus dingin. "Karena anak ini anak haram, karena Ci Siong tojin adalah Ciangbunjin Bu-tong-pai, maka tidak dapat diakui secara 1283 terang-terangan. Dia terpaksa mengikuti marga ibunya, yakni marga Wan!" Sekali lagi Tok-ku Bu-ti tertawa dingin. "Hal ini sebetulnya tidak perlu lagi disesali karena terjadi sebelum Ci Siong tojin menyucikan diri menjadi pendeta, tapi merayu istri orang, jangan kata seorang Ciangbunjin yang sudah memilih pintu Budha, sedangkan orang biasa pun merupakan hal yang paling hina." Mata Yan Cong-tian mendelik lebar-lebar. Kejadian sudah begini kau masih berani mengatakannya." Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak. "Meskipun hari ini Bu-ti-bun sudah hancur akibat perbuatan Siau-yau-kok, aku Tok-ku Bu-ti juga bukan orang yang tidak mempunyai nama di dunia persilatan. Seandainya peristiwa ini bukan benar-benar demikian jalan ceritanya, kau kira aku bersedia merusakkan namaku sen-diri?" Hawa amarah Yan Cong-tian semakin meluap. Mata Tok- ku Bu-ti beredar. "Bu-ti-bun memang sebuah partai beraliran sesat. Bu-tong- pai merupakan partai lurus yang menjunjung tinggi kebenaran. Tapi seumur hidup ini, aku Tok-ku Bu-ti tidak pernah melakukan hal yang demikian rendah. Malah Ciangbunjin Bu- tong-pai mengaku sebagai aliran lurus, seorang pendeta agama To, sang-gup melakukan perbuatan yang bahkan dipandang hina oleh aliran sesat!" Tanpa terasa tangan Yan Cong-tian yang sedang menekan bahu Wan Fei-yang terlepas seketika. Tangan Wan Fei-yang sendiri terkulai ke bawah. Matanya pun tidak berani diangkat ke atas. Hampir seluruh mata dari orang-orang yang hadir terpusat pada dirinya. Tok-ku Bu-ti merasa bangga berhasil menarik perhatian mereka. Suaranya semakin lantang. 1284 "Pasangan laki-laki dan perempuan yang tidak tahu malu ini akhirnya melahirkan seorang putri. Mereka menganggap aku sebagai si tolol yang mudah dikelabui. Putri itu dikatakan sebagai anakku!" "Apakah putri yang diceritakan itu Tok-ku Hong adanya?" Tiba-tiba salah seorang tamu tidak dapat menahan diri dan mengajukan pertanyaan itu. "Tidak salah!" Sahut Tok-ku Bu-ti dengan suara yakin dan tegas. Terdengar suara bising berupa kejutan dari para hadirin. Seluruh wajah Yan Cong-tian merah padam seketika. "Maksudmu Wan Fei-yang dan Tok-ku Hong adalah saudara seayah lain ibu?" Jawaban Tok-ku Bu-ti masih dua patah kata yang serupa. Dada Yan Cong-tian hampir meledak mendengar keterangan itu. "Lalu, mengapa kau masih merestui mereka menikah menjadi suami istri?" Bentaknya garang. "Bukan aku yang sengaja melakukan hal itu. Mereka yang memohon do'a restu dariku," Sahut Tok-ku Bu-ti dengan nada yang demikian tenang. "Sebelumnya, kau sudah tahu tentang hal ini bukan?" Tanya Yan Cong-tian dengan nada tajam. "Sebetulnya, aku paling tidak suka menyulitkan cinta kasih orang lain. Lagipula seandainya aku tidak mengabulkan, mereka pasti marah sekali. Mereka tentu akan mengatakan kalau aku orang tua yang tidak berpengertian. Bukankah lebih baik merestui saja?" 1285 Begitu marahnya Yan Cong-tian sehingga urat-urat hijau di keningnya bertonjolan keluar. "Apakah kau masih mempunyai sedikit saja silat kemanusiaan?" "Ini yang dinamakan hukum karma!" Yan Cong-tian marah juga sedih. Dia sampai tidak sanggup mengatakan apa-apa. "Tapi kalian jangan khawatir. Perempuan busuk itu sampai di sini tepat pada waktunya. Sepasang pengantin baru itu belum sempat melakukan apa-apa." Suara lega terdengar di sana sini. Yan Cong-tian seperti baru saja terlepas dari beban yang berat. Fu Hiong-kun yang sejak tadi berdiri di sudut baru berani melirik ke arah Wan Fei-yang. Sejak tadi dia diam saja. Mendengar ucapan Tok-ku Bu- ti yang terakhir, dia baru berani memandang ke arah Wan Fei- yang. Sinar matanya menyorotkan perasaan iba yang dalam. Terhadap nasib Wan Fei-yang yang demikian malang, dia hanya bisa merasa kasihan. Bagaimana keadaan Hong cici sekarang? Teringat akan Tok-ku Hong, Fu Hiong-kun tambah khawatir lagi. Meskipun sifat Tok-ku Hong sangat keras, namun apakah dia dapat menahan pukulan batin yang demikian hebat, Fu Hiong-kun benar-benar tidak berani memastikan. "Begini juga ada bagusnya...!" Sinar mata Tok-ku Bu-ti beralih ke arah Sen Man-cing. "Kalau tidak, para sahabat di dunia kangouw pasti mengira aku sengaja menutupi kebusukan ini, aku benar-benar tidak dapat menerimanya!" Yan Cong-tian memperdengarkan suara tertawa dingin. "Aku yakin kata-kata itu bukan keluar dari hati kecilmu!" 1286 Sikap Tok-ku Bu-ti masih tenang-tenang saja. "Iya juga boleh, bukan juga tidak apa-apa. Semuanya sudah terlanjur terjadi, setidaknya harus ada yang berani mengemukakannya agar menjadi jelas." Yan Cong-tian memperhatikan Tok-ku Bu-ti dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Dia seperti baru melihat jelas Tok-ku Bu-ti hari ini. "Meskipun Bu-ti-bun adalah sebuah aliran sesat dalam dunia persilatan, tapi selama ini aku selalu mengagumi kau, Buncu yang satu ini. Aku selalu menganggap bahwa kau masih tidak terlalu licik kalau dibandingkan dengan orang- orang Siau-yau-kok. Sekarang aku baru menyadari, meskipun manusia-manusia dari Siau-yau-kok adalah golongan manusia rendah, tapi masih belum ada setengahnya kalau dibandingkan denganmu!" "Yan heng terlalu memandang tinggi diriku," Sahut Tok-ku Bu-ti benar-benar tidak tahu malu. "Dengan melakukan semua ini, sebetulnya apa faedahnya bagi dirimu sendiri?" Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya. Tidak ada," Sahutnya mengakui. Yan Cong-tian mendengus dingin. "Tapi kau tetap melakukannya!" Tok-ku Bu-ti tersenyum simpul. "Seandainya kau mencintai seorang wanita dengan sepenuh hati. Dan setelah berhasil menikahinya, sebagai istrimu dia menyeleweng dengan orang lain, apa yang akan kau lakukan?" Tanyanya tenang. 1287 Yan Cong-tian tertegun. Seumur hidup dia tidak pernah mengenal apa arti kata asmara, tentu saja dia tidak tahu bagaimana perasaan hati orang yang cemburu."Aku tidak tahu!" Tok-ku Bu-ti menarik nafas panjang. "Aku lupa bahwa kau adalah seorang tosu. Seumur hidup kau hanya tahu berlatih ilmu silat untuk mencapai tingkat tertinggi agar dapat mengharumkan nama Bu-tong-pai." Dia berhenti sejenak. "Kau sama sekali tidak mengerti apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang lawan jenis. Kau benar-benar seorang tosu sejati!" Sekali lagi Tok-ku Bu-ti menarik nafas panjang. "Biar aku katakan kepadamu. Per buatanku ini masih belum dapat dikatakan keterlaluan." Yan Cong-tian terpaku di tempatnya. "Dari awal sampai akhir, aku telah mengampuni jiwa Ci Siong sebanyak tiga kali. Aku juga tidak mencelakakan istriku yang jalang. Terhadap putri mereka aku juga selalu menyayangi seperti anak kandungku sendiri. Tahukah kau apa sebabnya?" Tanya Tok-ku Bu-ti selanjutnya. Yan Cong-tian memandangnya dengan aneh. "Apakah demi pembalasan seperti hari ini?" Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya. Kalau bukan manusia she Fu yang mengatakannya, aku sendiri tidak tahu Wan Fei-yang adalah anak kandung Ci Siong." Yan Cong-tian merenung sejenak. "Lalu apa sebabnya?" "Karena aku tidak memasukkan semua ini dalam hati," Kata Tok-ku Bu-ti dengan tegas. "Sebelum ini, aku hanya 1288 memikirkan satu hal, yaitu bagaimana caranya agar aku dapat menguasai dunia persilatan!" Yan Cong-tian manggut-manggut. "Selama ni kau memang mengerahkan segala jerih payah untuk mencapai maksud yang satu ini." "Sekarang Bu-ti-bun sudah tidak ada lagi," Kata Tok-ku Bu-ti sambil mengepalkan tinjunya erat-erat. "Munculnya Tian-can sinkang yang sudah sekian lama menghilang, benar-benar merupakan suatu pukulan yang hebat bagiku. Tadi aku mengira tidak ada ilmu lain lagi yang dapat menandingi Mit-kip sinkang milikku." "Dalam keadaan putus asa dan tiada harapan lagi kau merencanakan pembalasan seperti ini," Akhirnya Yan Cong- tian mengerti perasaan hati Tok-ku Bu-ti. "Semua ini bukan salahku sendiri," Kata Tok-ku Bu-ti dengan suara tajam. "Juga kebetulan aku dapat menggunakan kesempatan ini untuk memberitahukan kepada para sahabat di dunia kangouw bahwa orang yang berasal dari sebuah partai lurus juga belum tentu seorang laki-laki sejati yang tidak pernah melakukan kesalahan!" "Bocah tua Ci Siong ini..." Gerutu Yan Cong-tian tanpa sadar. "Sampai-sampai seorang Ciangbunjin juga dapat berbuat demikian, para murid yang diajarkannya juga belum tentu lebih baik dari para murid partai sesat seperti kami ini," Kata Tok-ku Bu-ti melanjutkan kembali. Para hadirin yang mendengarkan kata-kata ini, semuanya memperlihatkan wajah sendu. Tapi tidak ada seorang pun yang membuka suara. Selama ini mereka selalu mengagumi Ci Siong tojin sebagai seorang Cianpwe dari dunia persilatan. 1289 Sekarang kenyataannya orang yang mereka kagumi itu dapat melakukan hal seperti ini. Apa lagi yang dapat mereka katakan. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat tampang mereka, hati Yan Cong-tian semakin tertekan, tapi di hatinya juga masih terselip sedikit harapan. "Kau yakin Tok-ku Hong bukan putrimu?" "Tentu saja aku yakin," Sahut Tok-ku Bu-ti. kemudian dia malah balik bertanya. "Tahukah kau lwekang apa yang aku pelajari?" "Mit-kip sinkang," Kata Yan Cong-tian tidak mengerti maksud pertanyaan itu. "Apa hubungannya? Apakah dengan berlatih ilmu itu kau tidak dapat mempunyai keturunan lagi barang seorangpun?" "Memang demikian kenyataannya!" Sahut Tok-ku Bu-ti mengaku terus terang. Yan Cong-tian tertegun. Sesaat kemudian dia tertawa terbahak-bahak. "Tidak heran namanya Mit-kip (putus turunan) sinkang!" Tok-ku Bu-ti tidak marah. Malah penampilan wajahnya semakin tenang. "Seseorang yang mabuk ilmu silat, meskipun pengorbanan yang dituntut tetap dapat dimaafkan." Sekali lagi Yan Cong-tian tertegun. "Tidak, salah!" 1290 Dia sendiri terpaksa mengakui. Karena seperti dirinya sendiri yang begitu gila mempelajari ilmu silat sampai-sampai rela untuk tidak menikah seumur hidup. "Terhadap perbuatan busuk yang dilakukan Ci Siong tojin, entah bagaimana pendapat para murid Bu-tong-pai?" Tanya Tok-ku Bu-ti. Wajah Yan Cong-tian juga tidak berubah. Hanya matanya saja yang menyorot lebih tajam. "Apa pun yang dilakukannya, kita tidak dapat menyelidiki lebih jauh lagi. Sekarang toh dia sudah menjadi sesosok mayat yang telah dikuburkan!" Yan Cong-tian berhenti sejenak. "Lagipula masalah ini, aku rasa bukan keseluruhannya salah Ci Siong juga." Tok-ku Bu-ti tertawa terkekeh-kekeh. "Maksudmu?" Mata Yan Cong-tian beralih ke wajah Sen Man-cing, dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dibatalkannya. Tiba- tiba dia menyadari, pada saat seperti ini, apabila dia masih menyalahkan Sen Man-cing, tindakannya malah akan membuat nasib wanita itu menjadi semakin tragis. Sinar mata Tok-ku Bu-ti mengikuti pandangan Yan Cong- tian. Belum lagi dia mengatakan apa-apa, tubuh Sen Man-cing sudah terkulai di atas tanah. Sepasang tangannya mendekap di dada. Darah segar mengalir membasahi pakaiannya. Dengan seruan terkejut, Fu Hiong-kun penghambur menghampiri. Cepat-cepat dia memapah tubuh wanita itu. "Hujin, kau...!" 1291 Mata Sen Man-cing masih membuka, dia tersenyum pilu. "Sejak dulu aku sudah ingin mati. Aku masih bertahan hidup sampai hari ini adalah karena masih banyaknya persoalan yang membuat hatiku tidak tenang. Sekarang biarpun masih ada yang aku khawatirkan, lapi terpaksa aku harus membiarkannya." Tangannya mengendur. Sebuah tusuk konde yang hanya terlihat ujungnya saja menancap di dada wanita itu. Fu Hiong-kun terkejut sekali. Dengan panik Wan Fei-yang menerjang maju mendekati. Dia juga ikut memperhatikan posisi tikaman tusuk konde itu, tanpa sadar keningnya berkerut. "Fei Yang...." Air mata Sen Man-cing mengalir dengan deras. "Jaga baik-baik adikmu. Katakan kepadanya agar kelak jangan terlalu keras kepala lagi." Ucapannya selesai, nyawanya pun melayang. Perlahan-lahan Wan Fei-yang menjatuhkan dirinya berlutut di depan mayat wanita itu. Tok-ku Bu-ti yang memperhatikan semua itu dari tempatnya, tidak dapat tersenyum lagi. Bagaimana pun dia sebetulnya masih mencintai Sen Man-cing. Kalau tidak, dia tentu tidak akan membiarkan istrinya hidup sampai saat ini. Sinar mata Yan Cong-tian berpendar ke sekeliling kemudian beralih kembali ke arah wajah Tok-ku Bu-ti. Dia tertawa dingin. "Tentunya kau senang sekali sekarang," Sindirnya tajam. Tok-ku Bu-ti memaksakan dirinya terbahak-bahak. "Senang bukan kepalang!" Tiga kali berturut Yan Cong-tian memperhatikan Tok-ku Bu-ti dari atas kepala sampai ke bawah kaki, kemudian 1292 perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekati Wan Fei-yang. Tok-ku Bu-ti mengusap air hujan yang membasahi wajahnya. Dia memandang Yan Cong-tian dengan tatapan penasaran. Yan Cong-tian berjalan ke depan beberapa langkah, tiba-tiba dia berhenti. Kepalanya menoleh ke arah Tok-ku Bu-ti. "Tadinya aku ingin menghajarmu sampai puas, sekarang malah keinginan itu sirna seketika!" Tok-ku Bu-ti tertawa dingin. "Yan Cong Tian, apabila ada kata-kata yang ingin kau ucapkan, katakan saja terus terang, tidak usah pemutar balik seperti kaum perempuan!" Yan Cong-tian memandangnya dengan tatapan dingin. "Kau sendiri seharusnya mengerti!" "Katakan!" Teriak Tok-ku Bu-ti. Yan Cong-tian mencibirkan mulutnya sekilas. Kemudian dia mendengus satu kali. "Membunuh manusia rendah seperti dirimu, hanya mengotor-kotorkan tanganku saja. Enyah kau dari sini!" Bentaknya dengan mata mendelik. Wajah Tok-ku Bu-ti berubah hebat. "Makian yang bagus. Sayangnya meskipun aku kepingin enyah dari sini, belum tentu Wan Fei-yang mengijinkannya!" Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya. "Urusan ini biar dia tangani sendiri!" Di pihak sana. Wan Fei-yang sudah bangkit berdiri. Kematian Sen Man-cing bukannya pembuat dia semakin 1293 kalap, malah penampilannya jauh lebih tenang dari sebelumnya. Yan Cong-tian menoleh kepadanya. "Siau-fei, apakah kau ingin menyelesaikan semua masalah yang ada malam ini juga?" Tanyanya lembut. Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya. "Bagus juga kalau demikian," Kata Yan Cong-tian selanjutnya. Dia membalikkan tubuhnya dan berseru lantang. "Nyalakan lentera!" Terdengar sahutan serentak. Para murid Bu-tong-pai segera pergi menyiapkan lentera yang diperlukan. Bibir Tok ku Bu t'i bergerak-gerak, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Sementara itu Wan Fei-yang sudah duduk di atas undakan batu di ujung koridor panjang. Dia setiang menghimpun hawa murninya. Mata para hadirin bertumpu pada diri Tok-ku Bu-ti. Entah apa yang terkandung dalam hati mereka. Tok-ku Bu-ti sendiri tetap tenang-tenang saja. Dia membalikkan tubuhnya dan duduk bersila di hadapan gunung-gunungan yang terdapat di sudut halaman. Dia juga menghimpun hawa murni serta mengatur tenaga dalamnya. Kongsun Hong yang sejak tadi diam saja maju beberapa langkah. Sampai di samping Tok-ku Bu-ti, dia menghentikan gerakan kakinya. Dia berdiri tegak melindungi Suhunya itu. Tok-ku Bu-ti memperhatikan sewaktu dia mendatangi. "Kepulanganmu memang tepat waktunya," Sindirnya tajam Kongsun Hong tertawa getir. "Sebetulnya Tecu bertemu dengan Subo di tengah perjalanan." Tok-ku Bu-ti mendengus dingin. "Mungkin semua ini memang sudah takdir yang kuasa. Bagus juga...." 1294 Wajah Kongsun Hong jadi serba salah. "Suhu, masalah ini...." "Semuanya memang telah kurencanakan," Sahut Tok-ku Bu-ti tenang. Kemudian dia balik bertanya. "Apakah kau merasa tidak puas melihat keadaan ini dan menganggap Suhumu memang manusia rendah?" Kongsun Hong menundukkan kepalanya. "Tecu tidak berani!" Tok-ku Bu-ti mendelikkan matanya lebar-lebar ke arah Kongsun Hong. "Kalau kau ingin pergi, pergi saja. Bu-ti-bun sudah tidak ada lagi. Kau juga tidak perlu mengikuti aku selamanya!" "Sehari mengangkat guru, seumur hidup tetap menjadi guru. Tecu bersumpah mengikuti dan mendampingi samping Suhu sampai kematian menjelang!" Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Walau kebusukan apa pun yang telah dilakukan gurumu ini?" Kongsun Hong menggertakkan giginya sambil menganggukkan kepala. "Walaupun kau memang seorang murid yang baik, tapi kau juga orang paling tolol yang pernah aku temui!" Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak. Kepala Kongsun Hong tertunduk semakin rendah. "Murid yang baik. Sekarang kau lindungi gurumu ini. Sebentar lagi kau lihat bagaimana aku akan membunuh bocah itu!" Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar penuh keyakinan. 1295 Kongsun Hong hanya menganggukkan kepalanya. "Kau tidak usah khawatir, dia pasti tidak sanggup membunuh gurumu ini," Kata Tok-ku Bu-ti selanjutnya. Mendengar ucapan itu, tanpa terasa Kong sun Hong mendongakkan kepalanya. Pada saat itu dia baru melihat jelas. Meskipun Tok-ku Bu-ti berkata demikian, namun matanya menyorotkan sinar ketakutan. *** Sinar matanya itu mungkin tidak terlihat oleh orang lain. Tapi Kongsun Hong sudah terlalu mengenal diri Tok-ku Bu-ti. Sekali lirik saja, dia sudah dapat membaca isi hati gurunya itu. Apakah dia sedang marah, sedih, kecewa, senang atau ketakutan seperti sekarang. Pengalaman menakutkan seperti sekarang hampir tidak pernah dirasakannya, tapi sekali ini saja sudah cukup bagi Tok-ku Bu-ti. Kongsun Hong hanya pernah melihat sinar itu sebanyak tiga kali dengan yang sekarang ini. pertama ketika Tok-ku Bu-ti sendiri melawan Thian-ti, Fu Giok-su, Hujan, Angin, Kilat dan Geledek. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kedua kali ketika Yan Cong-tian bersama Wan Fei-yang mengerahkan tenaga Tian-can sinkang untuk membunuh Thian-ti. Dan sekarang adalah ketiga kalinya dia melihat sinar ketakutan yang serupa tersorot dari mata Tok-ku Bu-ti. Tempo hari ketika di Kuan-jit-hong, meskipun Kongsun Hong tidak melihat langsung sinar mata Tok-ku Bu-ti, tapi sebagai murid yang sangat paham akan diri gurunya, Kongsun Hong dapat merasakan ketakutan yang melanda gurunya itu. Bagi Tok-ku Bu-ti sendiri, penampilannya sekarang ini sudah menyiratkan perasaan hatinya yang sesungguhnya. 1296 Kongsun Hong menoleh ke arah Wan Fei-yang. Anak muda itu masih bersila di atas batu. Matanya terpejam. Tampangnya demikian tenang sehingga di luar dugaan Kongsun Hong. Dia tidak tahu apakah dia masih membenci anak muda itu atau malah merasa iba kepadanya. Kongsun Hong menatapnya lekat lekat. Tanpa sadar dia menarik nafas panjang Sesungguhnya nasib Wan Fei-yang malah lebih malang daripadanya. Namun kalau ditilik dan keadaannya sekarang, tampaknya Tok-ku Bu-ti sudah mengalami kekalahan sebanyak tiga bagian. *** Satu demi satu lentera mulai dinyalakan. Seluruh gedung itu menjadi terang benderang" Seketika. Hujan sudah mulai reda. Hanya tinggal rintik-rintik kecil yang masih tersisa. Kadang-kadang masih terdengar geledek bergemuruh. Kilat pun masih menyambar, tapi tidak begitu mengejutkan seperti sebelumnya. Akhirnya Wan Fei-yang membuka mata. Penampilannya terlihat tenang sekali, namun matanya tetap memperhatikan sorot yang sedih. Perlahan-lahan dia berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah. Sementara itu, Tok-ku Bu-ti juga sudah membuka matanya. Dengan kesigapan yang dibuat- buat dia langsung berdiri. Sambil berteriak lantang, tubuh Wan Fei-yang berkelebat cepat. Dia yang pertama-tama menerjang ke depan. Tok-ku Bu-ti tidak bersuara sama sekali. Dengan sendirinya dia juga maju menyambut. Empat pasang telapak tangan saling beradu. Suara benturannya memekakkan telinga. Kaki Tok-ku Bu-ti berubah-ubah gerakannya, kadang-kadang melangkah ke kanan, kadang-kadang ke kiri. Sepasang telapak tangannya membentuk bayangan cepat. Dalam sekejap mala, dia sudah menghantamkan telapak tangannya sebanyak dua 1297 puluh tujuh kali. Setiap serangannya selalu ditujukan ke bagian tubuh Wan Fei-yang yang paling mematikan. Namun perubahan gerakan yang dilakukan oleh Wan Fei- yang lebih cepat lagi. Sepasang telapak tangannya bagai roda yang berputar cepat. Mata pun sulit menangkap dengan jelas. Hantaman demi hantaman saling susul menyusul membalas serangan Tok-ku Bu-ti. Pik lek cang dari Bu-tong-liok-kiat tidak usah diragukan lagi kehebatannya. Apa lagi dipadu dengan tenaga Tian-can sinkang yang dahsyat. Sekali dilancarkan, tidak ada satu pun hadirin yang tidak tercengang. Serangan telapak tangan Wan Fei-yang semakin gencar. Seratus tujuh puluh kali hantaman telah dilancarkan. Tok-ku Bu-ti terdesak sampai bawah tembok pekarangan Tiba-tiba kakinya melangkah mundur, sepasang telapak ditarik kembali. Hawa murni dihimpun. Dengan kekuatan yang mengerikan dia menerjang lagi ke depan. Tubuh Tok-ku Bu-ti melesat ke atas. Ilmu Mit-kip sinkang dikerahkan sepenuh tenaga. Dia menyambut datangnya hantaman telapak tangan Wan Fei-yang dengan nekat. "Blamm!" Terdengar suara benturan yang bergemuruh. Tubuh Wan Fei-yang terpental mundur tiga langkah. Sedangkan tubuh Tok-ku Bu-ti amblas ke dalam tembok yang hancur seketika. Debu-debu putih berhamburan ke mana-mana. Tembok pekarangan itu bagai terbelah-belah. Wajah Tok-ku Bu-ti pucat pasi. Segumpal darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Sepasang tangannya tetap mendekap di depan dada. 1298 Sepasang telapak tangan Wan Fei-yang memutar kembali. Belum sempat dia melancarkan serangan. Di belakang tubuhnya terdengar desiran angin. Segulung tenaga yang cukup kuat menekan dari atas. "Beraninya hanya membokong!" Dia mendengar suara bentakan Yan Cong-tian. Tanpa berpikir panjang lagi Wan Fei-yang menghantam telapak tangannya setelah membalikkan tubuh. Terdengar suara menggelegar terbit dari serangannya. "Plak!" Tubuh Wan Fei-yang tidak bergerak. Malah orang yang diam-diam membokongnya terpental sampai jauh. Orang itu tidak asing lagi. Dia adalah Kongsun Hong. Sepasang telapak tangannya beradu dengan hantaman telapak tangan Wan Fei-yang. Isi perutnya tergetar hebat. Darah segar muncrat dari mulutnya. Dia menggelinding di atas tanah. Dengan menahan sakit dia merangkak bangun dan menerjang lagi ke depan. "Suhu, cepat lari!" Teriaknya kalap. *** Semua perbuatannya tidak luput dari perhatian Tok-ku Bu- ti. Hatinya tergetar. Sejenak dia merasa ragu. Kemudian dia menggertakkan giginya serta bangkit berdiri. Tanpa menunda waktu lagi dia langsung menerjang keluar. Seumur hidupnya dia tidak pernah melakukan hal seperti ini. Ujung matanya berkerut menandakan kepedihan hatinya. Tapi Tok ku Bu fi sekarang sudah jauh berbeda dengan Tok-ku Bu-ti yang dulu. Kewibawaannya sebagai seorang ketua sebuah perguruan sudah tidak ada lagi. 1299 Bu-ti-bun sudah hancur. Buncu dari Bu-ti-bun ini juga hanya tinggal kenangan. Dia tidak mempunyai keangkeran seperti sebelumnya. Tingkah lakunya juga tidak segagah dulu lagi. Namun dia tetap tidak menyadari bahwa semua ini adalah hasil perbuatannya sendiri. Wan Fei-yang bermaksud mengejar. Tapi serangan telapak tangan Kongsun Hong sudah tidak di depan mata. Tentu saja dia tidak khawatir. Dengan mudah dia menyambut serangan tersebut. Keadaan Kongsun Hong sudah terluka. Apabila dia menyambut lagi serangan balasan Wan Fei-yang, akibatnya tentu akan merugikan. Sedangkan Wan Fei-yang tidak sempat lagi menghindarkan diri. Mau tidak mau dia harus menyambut serangan ini. Tubuh Kongsun Hong sekali lagi terpental ke belakang. Dadanya basah kuyup oleh darah yang kembali muncrat dari mulutnya. Tetapi murid Tok-ku Bu-ti itu memang keras kepala. Hampir tidak berbeda dengan Tok-ku Hong. Dengan mati-matian dia terus menyerang Wan Fei-yang. Dia tidak mau memberi kesempatan bagi anak muda itu untuk mengejar Tok-ku Bu-ti. Tentang Yan Cong-tian, dia sama sekali tidak khawatir. Sebagai seorang Cianpwe, Yan Cong- tian pasti memegang perkataannya. Tadi dia sudah mengatakan bahwa dia tidak sudi membunuh Tok-ku Bu-ti. Kata-kata yang sudah dikeluarkannya pasti tidak akan ditariknya kembali. Meskipun ilmu silatnya jauh lebih rendah dari Wan Fei-yang, tapi apabila Wan Fei-yang hendak melepaskan diri darinya, juga bukan hal yang mudah. Apalagi keadaan Kongsun Hong yang sudah kalap begitu. Dia menerjang Wan Fei-yang tanpa memperdulikan mati hidupnya sendiri. Kecepatan serangan Wan Fei-yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Perubahan gerakannya juga hebat sekali. Setelah berputaran beberapa kali. kembali telapak tangan nya menghantam tubuh Kongsun Hong 1300 Darah sudah membasahi seluruh pakaian Kongsun Hong. Isi perutnya sudah tergelar sehingga hancur berantakan. Seandainya tabib sakti Hua To hidup kembali pun. kemungkinan baginya untuk hidup sudah tipis sekali. Dia sebenarnya sudah tidak kuat bertahan. Tubuhnya menggelinding di atas tanah. Darah dan debu membaur menjadi satu di seluruh tubuhnya. Namun sepasang tangannya tetap merangkul kaki Wan Fei-yang erat-erat. Sepasang telapak tangan Wan Fei-yang terangkat ke atas. Dia sudah siap menghantamkan batok kepala Kongsun Hong, namun hatinya tidak tega melakukan perbuatan yang begitu keji. "Kau... Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo apa sebetulnya yang kau lakukan? Dia meninggalkan engkau tanpa memperdulikan nasibmu, tapi kau malah membelanya mati-matian!" Kata Wan Fei-yang dengan suara parau. "Biar... bagaimana dia... adalah guru... ku!" Dengan susah payah Kongsun Hong mengucapkan kata-kata itu. Air menetes membasahi seluruh wajahnya. Entah air matanya yang berderai atau air hujan yang menetes dari atas. Wan Fei-yang tertegun mendengar ucapannya. "Jaga.... Su... moayku... baik-baik!" Selesai berkata, cengkeraman tangan Kongsun Hong pada kaki Wan Fei-yang pun mengendur. Nafasnya pun putus seketika. Tanpa sadar Wan Fei-yang membungkukkan tubuhnya dan meraih Kongsun Hong yang hampir terkulai. Mulutnya bergerak-gerak, tetapi tenggorokannya seperti tersendat. Dia tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. 1301 Air hujan masih terus turun membasahi tubuh Wan Fei- yang. Perasaannya saat itu seakan sudah hambar. Dia tetap termangu-mangu di tempat itu. Bergeming sedikit pun tidak. Yan Cong-tian berjalan menghampiri. Sinar matanya terpusat pada diri Kongsun Hong. Tanpa sadar dia menarik nafas panjang. "Tidak disangka seorang manusia rendah seperti Tok-ku Bu-ti bisa mempunyai seorang murid yang demikian berbakti." Seluruh tamu yang hadir tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun dalam hati mereka semua mengakui apa yang dikatakan Yan Cong Tian memang benar. Wan Fei-yang akhirnya membuka suara juga. "Dia adalah seorang laki-laki sejati!" Kata-kata itu merupakan pujian pada Kongsun Hong. Sinar mata Yan Cong-tian mengedar. Tembok di pekarangan telah hancur tidak karuan. Namun bayangan Tok- ku Bu-ti sudah tidak terlihat lagi. "Sayangnya dia salah memilih Tok-ku Bu-ti sebagai guru." Sinar mata Yan Cong-tian kembali terpusat pada mayat Kongsun Hong. Sekali lagi dia menarik nafas panjang. Sinar mata Wan Fei-yang juga tidak beralih dari tubuh Kongsun Hong. Dia menggelengkan kepalanya dengan arti menyayangkan kematian laki-laki itu. "Yan Supek tidak usah khawatir. Meskipun hari ini dia bisa melarikan diri, tapi kelak dia juga tidak mempunyai tempat lagi di dunia kangouw!" Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya membenarkan pendapat Wan Fei-yang. Anak muda itu masih memegang 1302 mayat Kongsun Hong. Dia membopong tubuh itu dan berjalan ke ruangan ulama. Tok-ku Bu-ti pasti tidak mempunyai muka lagi untuk berkecimpung di dunia kangouw. Bagaimana dengan Wan Fei-yang sendiri? ** * Yan Cong-tian tidak mencegah Wan Fei-yang. Dia hanya melangkah perlahan mengikuti Wan Fei-yang dari belakang. Dia mengerti, perasaan Wan Fei-yang sekarang ini pasti sangat tertekan. Dia juga sadar, betapa hebat pukulan yang diterima Wan Fei-yang akibat kejadian hari ini. Tapi apa yang dapat dilakukannya? Sementara itu, Fu Hiong-kun juga menghampiri mayat Sen Man-cing dan membopongnya. Dia berdiri termangu-mangu. Melihat Wan Fei-yang lewat di hadapannya, dia juga tidak memanggil. Sinar matanya mengikuti punggung Wan Fei-yang yang memasuki ruangan utama. Sepatah kata pun tidak terucap dari bibirnya. Wan Fei-yang meletakkan mayat Kongsun Hong di tengah-tengah ruangan utama itu. Kemudian dia balik kembali dan mengambil mayat Sen Man-cing dari bopongan Fu Hiong-kun. Wajahnya datar sekali. Dia seperti tidak melihat kehadiran Fu Hiong-kun. "Wan Toako...!" Panggil Fu Hiong-kun tanpa dapat menahan perasaan hatinya lagi. Wan Fei-yang menoleh kepada Fu Hiong-kun. Bibirnya tersenyum. Tapi melihat senyuman itu, tanpa terasa tubuh Fu 1303 Hiong-kun menggidik. Senyumnya lebih mirip seringai orang yang pikirannya sudah tidak waras. Setelah tersenyum, Wan Fei-yang membalikkan tubuhnya sambil membopong mayat Sen Man-cing menuju ruangan utama. Fu Hiong-kun memandangi bayangan punggung Wan Fei-yang dengan termangu-mangu. Sampai Yan Cong-tian berjalan menghampiri dan menepuk bahunya dengan lembut, dia baru tersentak sadar. "Hiong-kun...." Yan Cong-tian menarik nafas panjang. "Pergilah kau nasihati Siau-fei...." "Aku?" Fu Hiong-kun tertawa getir. "Saat ini hanya engkau seorang yang masih mempunyai kemungkinan untuk menyadarkan dia." Yan Cong-tian juga tersenyum pahit. "Orang yang kaku dan tidak banyak bergaul seperti aku ini, benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan untuk membujuk dirinya agar tabah menghadapi semua ini." "Baiklah... aku akan mencoba." Fu Hiong-kun sama sekali tidak mempunyai keyakinan. Meskipun sudah berkali-kali dia menghadapi marabahaya bersama Wan Fei-yang, dan hubungan mereka cukup akrab, namun pukulan batin yang diterima Wan Fei-yang kali ini Sesungguhnya terlalu berat. Juga terlalu hebat. Fu Hiong-kun memandang Yan Cong-tian sekali lagi. Akhirnya dengan susah payah dia menggerakkan kakinya. Yan Cong-tian juga mengikuti langkah kaki Fu Hiong-kun. Dia sendiri tidak dapat tenang, juga tidak yakin bahwa Fu Hiong- kun akan berhasil. Setidaknya bujukan dua orang mungkin lebih baik dari pada satu orang saja. 1304 Di dalam ruangan utama hanya terlihat mayat Kongsun Hong dan Sen Man-cing yang tergeletak di atas tanah. Sedangkan bayangan Wan Fei-yang pun tidak terlihat lagi. Fu Hiong-kun mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Wan Toako...!" Tanpa sadar dia berteriak. Pada saat itu Yan Cong-tian masih melangkah dengan lambat. Mendengar teriakan Fu Hiong-kun, dia menghambur ke dalam ruangan. Dia juga memandang ke sekeliling ruangan tersebut. "Di mana Siau-fei?" Tanyanya panik. Fu Hiong-kun menggelengkan kepalanya. "Entah ke mana perginya Wan Toako." "Dalam keadaan seperti sekarang ini, apabila dia berlari tanpa tujuan, tentu mudah terperangkap bahaya. Kita harus menemukannya...!" Kata Yan Cong-tian gugup. Dia langsung menghambur keluar dari ruangan itu. Fu Hiong-kun segera menyusul dari belakang. Baru saja mereka menghambur keluar dari ruangan utama itu, terlihat seseorang menyongsong dari depan. Dia adalah murid Bu- tong-pai, Yo Hong. Melihat Yan Cong-tian, dia mempercepat langkah kakinya. "Supek, Wan Fei-yang berlari ke arah sana. Aku sudah berteriak-teriak memanggilnya, namun dia tidak menggubris. Kau orang tua...." "Arah mana yang diambilnya?" Tukas Yan Cong-tian membentak. Yo Hong mengangkat tangannya menunjuk. Tanpa menunggu dia berbicara, Yan Cong-tian sudah menghambur 1305 bagai seekor kuda yang terkena pecutan. Dengan panik Fu Hiong-kun mengejar. Tapi ilmu ginkangnya memang terpaut jauh dengan Yan Cong-tian. Dalam sekejap mata dia sudah tertinggal jauh di belakang. ** * Di daerah pegunungan angin malah lebih kencang. Hujan juga rasanya lebih deras. Kilat masih menyambar memperlihatkan keperkasaannya. Alam tiba-tiba bercahaya tersorot sinarnya. Pemandangan di sekeliling dalam sekilas seperti dunia lain. Seperti planet-planet lain di angkasa luar yang asing sama sekali. Tetes hujan sebesar kacang kedelai jatuh membasahi pepohonan. Tetesan air itu menimbulkan suara seperti musik yang indah, orang yang mendengarkannya tentu akan terlena. Tapi tidak demikian halnya dengan Wan Fei-yang. Perasaannya sudah hambar sama sekali. Dengan terpaku dia berdiri di hadapan sebatang pohon yang besar. Dia biarkan angin menghembusi dirinya sehingga pakaiannya melambai- lambai. Dibiarkannya hujan membasahi tubuhnya sehingga basah kuyup. Mungkin dia sendiri tidak tahu di mana dia sekarang berada. Matanya menerawang ke kejauhan. Tapi tak ada pemandangan apa pun yang dilihatnya, hanya bayangan seorang gadis yang masih tetap terpantek dalam benaknya. "Ternyata Tok-ku Hong adalah adikku sendiri..." Gumamnya seorang diri. Sejak tadi, entah sudah berapa puluh kali dia menggumamkan kata-kata yang sama. Sampai-sampai Yan Cong-tian yang sudah menemukan dirinya berdiri di sampingnya, Wan Fei-yang masih belum sadar. Dalam otaknya hanya terlintas bayangan Tok-ku Hong. Bagaimana pertama-tama ia mengenalnya, bagaimana mereka saling bermusuhan kemudian berbaikan kembali. Bagaimana mereka saling memperhatikan dan merindukan 1306 satu dengan lainnya secara diam-diam. Bagaimana mereka melewati segala macam rintangan sehingga akhirnya dapat terikat menjadi suami istri. Suami istri? Apakah mereka sekarang masih dapat dikatakan sebagai suami istri? Wan Fei Kang tidak berani membayangkan seandainya semuanya sudah terlanjur terjadi. Haruskah dia membenci Sen Man-cing yang menggagalkan malam pengantin mereka. Atau dia harus berterima kasih kepadanya? Tiba-tiba dia teringat bahwa Sen Man-cing sudah menjadi sesosok mayat di dalam ruangan besar. Mayat? Siapa yang membunuhnya? Tok-ku Hong? Tidak! Tidak mungkin... gadis itu begitu manis, begitu lembut.... Tanpa sadar pikirannya kembali lagi pada diri Tok-ku Hong yang ceria, nakal, keras kepala. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Seharusnya semua itu merupakan kenangan yang manis. Sekarang malah berubah menjadi arak beracun yang menghancurkan hatinya. Rasa perih yang ditimbulkan tidak terkirakan. Mulutnya yang masih menggumam akhirnya tidak dapat bertahan lagi, dia berteriak sekeras-kerasnya. Tinjunya terkepal erat-erat. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan meninju batang pohon yang besar itu. Kiri sekali, kanan sekali, terus menerus dia meninju dengan kalap. Yan Cong-tian tidak mencegah. Melihat keadaan Wan Fei- yang yang mengenaskan itu, tanpa sadar air mata mengalir deras dari matanya yang tua. Peristiwa yang dialami Wan Fei- yang seumur hidupnya selalu menyedihkan, namun yang kali ini justru yang paling parah. Meskipun orang yang lebih keras lagi perangainya, tetap saja sulit menerima penderitaan ini. Yan Cong-tian merasa nasib seakan terus menerus mempermainkan Wan Fei-yang. Tidakkah Thian bersedia 1307 memberikan sedikit saja kebahagiaan untuk anak muda yang malang ini? "Brak!" Akhirnya pohon itu tumbang karena tidak kuat menerima pukulan Wan Fei-yang yang terus menerus. Kepalan tangan anak muda itu masih terus meninju ke depan, hampir saja dia ngusruk karena pohon itu sudah roboh di atas tanah. Saat itulah, dia baru menghentikan gerakannya dan berdiri dengan termangu mangu. Yan Cong-tian mengulurkan tangannya menekan pundak Wan Fei-yang. "Siau-fei, sudahlah...." Perlahan-lahan Wan Fei-yang membalikkan tubuhnya. Lama sekali dia menatap Yan Cong-tian. "Supek...." Akhirnya dia menyapa dengan suara parau. "Pluk!" Dia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah. Dipeluknya sepasang kaki Yan Cong-tian dan menangis tersedu-sedu. Angin masih bertiup, hujan juga masih turun. Sampai kapan semuanya baru berhenti? *** Kesedihan Tok-ku Hong sudah dapat dibayangkan pasti tidak di bawah penderitaan Wan Fei-yang. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Dengan susah payah dan tanpa tujuan dia terus menyeret langkah kakinya menerjang ke depan. Di bawah hujan badai dan kegelapan malam yang pekat, memang tidak mudah membedakan jalan yang ada di hadapannya. Dengan pikiran kacau seperti saat itu, Tok-ku Hong semakin tidak memperdulikannya. Dunia begini luas, dari mana dia datang dan kemana tujuannya. Tok-ku Hong bahkan hampir tidak mengingat siapa 1308 dirinya. Saat itu dia seperti seorang anak bayi yang baru dilahirkan. Dia seakan tidak tahu apa-apa. Juga tidak sadar bahwa dengan terus berjalan tanpa tujuan seperti saat itu, akhirnya dia kembali lagi ke tempat semula. Bukan tempat di mana Sen Man-cing bunuh diri tapi di daerah yang tidak jauh dari tempat itu. Kilat terus menyambar. Tiba-tiba di hadapannya muncul seseorang. Air mata Tok-ku Hong masih menggenang di pelupuk mata, namun kesadarannya belum hilang sama sekali. Dia masih mengenali orang yang muncul di hadapannya ialah Fu Hiong-kun. Tanpa sadar, langkah kakinya berhenti. Malah Fu Hiong-kun yang mempercepat langkahnya. Dengan panik dia menghambur kc depan Tok-ku Hong. "Hong cici...!" Serunya dengan bibir bergetar. "Hiong-kun!" Sahut Tok-ku Hong dengan tertegun. Sahutan itu seperti tercetus begitu saja dari mulutnya. Fu Hiong-kun mengulurkan tangannya memapah Tok-ku Hong. "Hong cici.... Urusan ini aku sudah tahu semuanya. Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini." Rasa pedih menyelimuti hati Tok-ku Hong. Dia terkulai lemas di pelukan Fu Hiong-kun. Air matanya mengalir dengan deras. Dia tidak merasa cemburu kepada Hiong-kun lagi. Dia juga masih sadar bahwa hati gadis yang satu ini tulus sekali. Fu Hiong-kun menarik nafas dengan pilu. "Padahal sepanjang perjalanan aku terus berdoa demi kebahagiaan kalian berdua. Siapa sangka...." 1309 Belum lagi ucapannya selesai, Tok-ku Hong sudah menangis dengan suara meratap. Fu Hiong-kun tidak jadi meneruskan kata-katanya. Dia memeluk Tok-ku Hong erat- erat. Dia sama sekali tidak mencegah atau membujuk gadis itu agar diam. Dapat menangis dengan sepuas-puasnya, bagi Tok-ku Hong malah merupakan suatu hal yang dapat meringankan penderitaan hatinya. Dia hanya merangkul Tok-ku Hong erat-erat. Akhirnya dia sendiri tidak dapat menahan kesedihan hatinya. Dia juga ikut menangis dengan terisak-isak. Kedua gadis itu saling berpelukan. Di bawah hembusan angin kencang dan curahan hujan lebat, mereka saling mengeluarkan kesedihan hatinya dengan tangisan pilu. Entah berapa lama sudah berlalu. Tangisan Tok-ku Hong mulai reda. Dia menarik dirinya dari pelukan Fu Hiong-kun dan memegang pundak itu erat-erat. "Hiong-kun, kabulkanlah permintaanku..." Katanya dengan suara parau. "Hong cici, jangan ragu-ragu. Katakan saja...." "Harap kau bersedia menjaga Siau.... Toako ku baik- baik...." Tanpa menunggu jawaban dari Fu Hiong-kun, Tok-ku Hong langsung membalikkan tubuhnya dan terus lari dengan kecepatan tinggi. Jilid 29 Fu Hiong-kun tertegun sejenak. Kemudian dia tersentak sadar.... "Hong cici!" Teriaknya panik. 1310 Tok-ku Hong dapat mendengar suara panggilan Fu Hiong- kun, namun dia tidak memperdulikannya. Dalam sekejap mata, dia sudah menghilang dalam kegelapan malam. Fu Hiong-kun mengejar beberapa tindak, kemudian dia menghentikan langkah kakinya. Dia memandang arah yang ditempuh oleh Tok-ku Hong, air matanya mengalir semakin deras. Mengapa nasib mempermainkan mereka semua? Tadinya dia sudah rela Wan Fei-yang menikah dengan Tok-ku Hong. Setelah apa yang diperbuat Fu Giok-su dan Thian-ti terhadap Wan Fei-yang, dia sudah merasa dirinya tidak pantas bersanding dengan anak muda itu. Namun mengapa takdir malah menentukan hal yang membuatnya lebih sakit lagi. Dia lebih rela melihat Wan Fei-yang menikahi Tok-ku Hong dari pada kenyataan yang demikian menyakitkan. Baik Wan Fei- yang ataupun Tok-ku Hong merupakan sahabat baiknya. Hatinya tidak dapat menahan kepedihan melihat penderitaan yang terpaksa mereka hadapi. Mengapa mereka harus terlahir sebagai kakak beradik? Mengapa nasib bisa mempertemukan mereka sehingga terlibat dalam cinta kasih yang kacau ini...? Untung Wan Fei-yang dan Tok-ku Hong belum sempat melakukan perbuatan yang bisa menimbulkan aib seumur hidup itu. Untung? Apakah dalam masalah ini masih pantas diselipkan kata-kata 'untung'? Dia teringat kata-kata yang diucapkan oleh Sen Man-cing ketika dia mengatakan bahwa Wan Toako adalah putra Ci Siong tojin. Itulah sebabnya maka wanita itu mengatakan bahwa Tok-ku Hong tidak bisa menikah dengan Wan Fei- yang. Kelak Wan Fei-yang hanya boleh menjadi miliknya. Waktu itu dia sama sekali tidak mengerti. Dia mengira Sen Man-cing merasa kasihan terhadapnya karena memendam perasaan cinta secara diam-diam. 1311 Kalau saja dia tidak menceritakan kepada nyonya itu apa yang didengarnya di kota tempo hari, tentu Sen Man-cing tidak keburu datang mencegah pernikahan Wan Fei-yang dan Tok- ku Hong. Rupanya semua ini memang sudah ditentukan oleh takdir. Fu Hiong-kun adalah seorang gadis yang baik. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak memikirkan bahwa kemungkinan ialah kelak yang akan menjadi istri Wan Fei-yang. Satu- satunya hal yang terlintas dalam benaknya saat itu adalah menemukan Wan Fei-yang dan membujuknya agar jangan sampai melakukan perbuatan yang bodoh. *** Lilin merah masih menyala. Air mata kepedihan sudah kering. Air mata Wan Fei-yang memang sudah terkuras habis. Dia duduk termangu-mangu di depan meja dan memandangi sepasang lilin merah bergambar liong hong yang menjadi lambang pernikahan dengan Tok-ku Hong. Malam panjang sudah berlalu. Hujan angin sudah reda. Cahaya matahari sedikit demi sedikit menyembul di ufuk timur dan menerobos lewat jendela kamarnya. Cahaya matahari juga menyoroti wajah Wan Fei-yang. Tidak ada sedikit reaksi pun pada diri anak muda itu. Dari atas genting masih menetes titik-titik sisa air hujan yang menggenang. Cahayanya berkilauan disorot sinar mentari pagi. Seperti butiran mutiara yang indah, juga laksana air mata yang pedih. Pintu kamar terdorong dari luar. Fu Hiong-kun melangkah masuk dengan semangkok bubur di tangan. "Wan toako sudah bangun?" Mulutnya bertanya demikian, tapi diam-diam dalam hati dia menarik nafas panjang. 1312 Bagaimana mungkin dia tidak tahu kalau Wan Fei-yang tidak tidur sepanjang malam. Wan Fei-yang tidak menyahut. Dia bahkan seperti tidak menyadari kehadiran Fu Hiong-kun. Juga tidak mendengar sapaan gadis itu. Fu Hiong-kun meletakkan mangkok berisi bubur di atas meja. Sekali lagi dia menarik nafas dalam- dalam. "Wan Toako..." Wan Fei-yang bagai tersentak dari lamunan. Dia memandang Fu Hiong-kun dengan wajah keheranan. "Kapan kau masuk ke mari?" Pertanyaannya juga aneh. Fu Hiong-kun tertawa getir. "Barusan," Sahutnya singkat. Wan Fei-yang termenung kembali. Wajahnya semakin kelam. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hong.... Di mana adikku sekarang?" Tanyanya lirih. Fu Hiong-kun tidak langsung menjawab. Dia seperti sedang mempertimbangkan apakah dia harus mengatakan dengan terus terang. Akhirnya dia merasa harus mengatakan hal yang sebenarnya. "Dia sudah pergi." "Pergi?" Wan Fei-yang tampaknya masih ingin mengatakan sesuatu, namun dia membatalkan nya. 1313 "Dia baik-baik Saja. Kau tidak usah khawatir." Fu Hiong-kun memaksakan sebuah senyuman di bibirnya. "Lebih baik kau makan dulu bubur ini. Mumpung masih hangat." Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu... aku taruh di atas meja. Terserah kau kapan baru mau makan, tapi kau harus makan ya?" Tanpa menunggu jawaban dari Wan Fei-yang, dia langsung membalikkan tubuhnya serta berkata. "Aku keluar dulu." Baru saja Wan Fei-yang bermaksud memanggil Fu Hiong- kun agar membawa mangkok berisi bubur itu karena dia tidak berselera untuk makan, tapi gadis itu sudah melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Sesampainya di koridor panjang, air mata Fu Hiong-kun tidak dapat tertahan lagi. Dia menangis tersedu-sedu. Sesungguhnya dia tidak sanggup melihat keadaan Wan Fei- yang yang seperti orang kehilangan gairah hidup itu. Tepat pada saat itu Yan Cong-tian muncul dari tikungan yang satunya. Dia menatap Fu Hiong-kun sekilas. "Bagaimana keadaannya?" Tanyanya penuh pengertian. "Masih duduk termangu-mangu di samping meja. Dia tidak tidur sepanjang malam," Sahut Fu Hiong-kun dengan suara tersendat-sendat. Yan Cong-tian menatap Fu Hiong-kun sambil menarik nafas panjang. "Hiong-kun, kami telah membuatmu menderita...." Fu Hiong-kun menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Tidak... aku tidak menderita...!" 1314 Air matanya mengalir semakin deras. *** Tiga hari berlalu. Mayat Sen Man-cing dan Kongsun Hong telah dikuburkan secara layak. Yan Cong-tian memberi perintah kepada Yo Hong untuk mengatur segalanya. Upacara sembahyang berlangsung dengan sederhana. Sebagian tamu yang masih belum pulang mengikuti upacara sembahyang dengan khidmat. Dalam hati mereka tidak ada perasaan menghina Sen Man-cing, mereka malah merasa iba terhadap nasib wanita ini. Demikian pula kesan mereka terhadap Kongsun Hong. Laki-laki yang satu ini lebih patut dihargai daripada gurunya sendiri. Dengan perasaan tulus, Fu Hiong-kun berlutut di depan peti mati Sen Man-cing bertindak sebagai wakilnya. Sedangkan Yo Hong dan Yan Cong-tian berlaku sebagai pihak keluarga Tok-ku Hong dalam menyambut tamu yang memberikan penghormatan terakhir. Pendekar Bego Karya Can Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo