Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 4


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 4


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   Sekali lagi Ci Siong tojin menarik napas panjang.   Tubuhnya berkelebat melintasi kolam jernih.   Lengan bajunya berkibaran.   Bayangan di atas loteng tetap tidak bergerak.   Ci Siong tojin meloncat ke atas tembok tinggi.   Kepalanya ditolehkan.   Jendela masih tertutup rapat.   Bayangan itu masih saja terpaku di tempatnya.   Akhirnya dia tahu bahwa harapannya sudah pupus.   Suara tarikan napasnya 133 menghilang di balik tembok yang tinggi.   Tepat pada saat itu juga, seseorang muncul dari balik rumpunan bunga yang lebat di tepi kolam.   Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar.   Seluruh pakaiannya sudah basah kuyup oleh tetesan embun.   Dia berdiri tegak di depan rumpun bunga-bunga yang lebat dan tampaknya sudah cukup lama dia berada di tempat tersebut.   Ternyata Ci Siong tojin sama sekali tidak menyadari kehadirannya sejak tadi.   Ilmu silat yang dimiliki orang ini pasti hebat sekali.   Kesabarannya dalam menahan perasaan juga menakutkan! ***** Tanggal sembilan bulan sembilan.   Matahari belum terbit ...   Thai san tinggi menjulang ...   Tung-gi berada di sisinva ....   ***** Di tengah bukit terdapat daerah yang luas.   Untuk naik ke atas bukit tersebut, paling tidak harus menaiki undakan sebanyak enam ribu tujuh ratus tangga batu.   Dari kejauhan 134 pemandangan di tempat tersebut sangat indah.   Anak tangga yang tinggi itu laksana jalan menuju surga.   Di antara awan-awan putih terlihat sebuah tembok merah.   Juga terdapat sebuah pintu besar berwarna kuning.   Itulah Lan-tian-bun (pintu langit selatan) yang sangat terkenal.   Setelah melewati pintu tersebut kita bisa melihat Giok-hong- teng, karena jaraknya sudah dekat sekali.   ***** Matahari masih belum terbit.   Angin bertiup semilir.   Seluruh bukit itu diselimuti hawa dingin.   Di bawah sebatang pohon siong berdiri tegak seseorang.   Bahunya menyandang sebuah kotak persegi panjang.   Di atas bukit itu hanya ada dia seorang.   Ci Siong tojin dari Bu-tong-pai! ***** Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang.   Lengan baju dan pakaian Ci Siong tojin berkibaran.   Jenggotnya yang panjang juga melambai-lambai.   Tampaknya sebentar lagi dia akan melayang tertiup angin, namun rupanya tidak.   Dia tetap berdiri tegak seperti sebuah arca.   Matanya yang setengah terpejam tiba-tiba terbuka.   Burung- burung beterbangan dari bawah bukit dengan keadaan panik.   Jumlahnya beribu-ribu memenuhi angkasa.   Pada saat itu, udara dingin membuyar.   Di atas sebuah batu berjarak sepuluh 135 depa dari tempatnya telah berdiri tegak seseorang.   Burung- burung masih beterbangan dengan panik.   Orang itu membalikkan tubuhnya.   Dia adalah Tok-ku Bu-ti! ***** Dua pasang mata yang bersinar tajam laksana pedang saling bertemu.   Ci Siong tojin tidak bergerak, Tok-ku Bu-ti juga berdiri bergeming.   Pada saat itu juga, mata dan tubuh kedua orang itu seakan telah membeku menjadi es batu.   Sepasang mata Ci Siong tojin dan mata Tok-ku Bu-ti tetap bersinar tajam.   Mereka tentu sedang mengukur kekuatan masing- masing melalui pandangan tersebut.   Keduanya tidak ada yang saling mengalah.   Awan bergerak di langit di bagian timur.   Segaris sinar berwarna keemasan mulai muncul.   Sinar yang indah itu perlahan berubah menjadi bulatan.   Kemudian berubah menjadi bola api.   Bulat dan merah.   Bola api itu bergerak perlahan melintasi awan putih dan bukit yang menghijau.   Bola api itu bangkit dengan kemalas-malasan.   Warnanya semakin lama semakin terang.   Merahnya seperti batu manau.   Bulatan yang belum jelas semakin kentara.   Menembusi awan putih dan meninggalkan tepian laut.   Naik ke atas langit dan memancarkan cahayanya dengan gagah.   Menikmati matahari terbit di atas Thai-san merupakan pemandangan yang demikian memikat hati.   Ci Siong tojin dan Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak tergerak oleh keindahan tersebut.   Angin masih bertiup.   Lengan baju mereka melambai- 136 lambai.   Di bawah cahaya sinar mentari, tongkat berkepala naga di tangan kiri Tok-ku Bu-ti seperti benda hidup.   Wajahnya menghadap ke timur.   Mata dan mentari sama-sama bercahaya.   Kelopak matanya bergerak sekilas.   Demikian juga ujung bibirnya.   Akhirnya dia mengucapkan sepatah kata.   "Sepuluh tahun telah berlalu ...."   "Hm ...."   Ci Siong tojin menyahut datar. Sepasang mata dan tubuhnya yang bagaikan es tadi nampaknya mulai mencair.   "Sungguh tidak disangka, sepuluh tahun kemudian, hari ini ... pendekar yang namanya masih menonjol di bu-lim masih juga kita berdua."   Tok-ku Bu-ti menarik napas panjang.   "Setelah hari ini berlalu, aku yakin diriku masih kesepian."   "Aku juga mempunyai perasaan yang sama,"   Kata Ci Siong tojin. Dia juga ikut-ikutan menarik napas panjang.   "Di tempat yang tinggi, hawa dingin selalu berkuasa. Apabila sudah mencapai taraf tertentu, aku yakin setiap manusia pasti akan merasakan hal yang sama."   "Tidak peduli bagaimana, dendam permusuhan antara Bu-ti- bun dan Bu-tong-pai, hari ini harus ada keputusannya."   Tiba- tiba Tok-ku Bu-ti mengajukan pertanyaan.   "Ci Siong, apakah urusan Bu-tong-pai telah kau selesaikan sebelum berangkat kemari."   "Belum ..."   "Tidak apa-apa. Masih ada aku yang akan mengurus segalanya." 137 "Bu-tong-pai telah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Tanpa Ci Siong, partai itu tetap akan cemerlang,"   Kata-kata Ci Siong tojin masih begitu datar dan dingin.   "Berbeda dengan Bu-ti- bun. Bila Tok-ku-heng sudah tiada, mungkin perguruan kalian tidak akan bertahan lama."   Tok-ku Bu-ti tertegun sejenak. Kemudian dia tertawa terbahak- bahak.   "Bagus ... tidak disangka sepuluh tahun kita tidak berjumpa, lidah to-heng semakin tajam saja. Namun, entah bagaimana dengan ilmu silatnya?"   Penampilan Ci Siong tojin tetap sedemikian tenangnya. Apabila Tok-ku-heng memang ingin tahu, bukankah caranya mudah saja?"   Mata Tok-ku Bu-ti bersinar semakin tajam.   "Waktunya memang sudah tepat,"   Sahutnya dingin.   "Wajah Tok-ku-heng berhadapan ke timur, punggung di sebelah barat. Tepat menghadapi cahaya mentari. Lebih baik pindah ke tempat lain,"   Kata Ci Siong tojin menyarankan.   "Sekarang angin barat sedang bertiup. Wajahku menghadap ke timur. Dengan demikian aku mengikuti arah angin. Sama sekali tidak terasa dirugikan."   "Kalau kau dan aku sama-sama tidak merasa keberatan, baiklah ...."   Ci Siong tojin merandek sejenak.   "Silakan!"   Tangannya bergerak.   Kotak persegi panjang yang ada di bahunya segera terlempar dan melayang jauh.   Akhirnya tepat menyangkut di atas sebatang ranting pohon siong yang patah.   138 "Brak!", kotak kayu itu terbuka.   Dasarnya dialasi selembar kulit kerbau.   Sedangkan di atasnya terdapat empat macam senjata.   Toya, golok, pedang dan semacam senjata lagi yang kedua ujungnya terbuat dari kayu namun disambungkan dengan rantai di tengahnya.   Tok-ku Bu-ti mengentakkan tongkat kepala naganya ke atas batu di mana dia berdiri.   Batu itu hancur seketika.   Kerikil dan pasir berhamburan di udara.   Tiba-tiba tubuhnya berputar menjadi bayangan dan mencelat.   Tampaknya dia seakan- akan sedang melayang-layang di udara.   Ci Siong tojin bergerak cepat.   Tangan kanannya menggenggam senjata sepasang kayu yang disambung dengan rantai tadi.   Sedangkan tangan kirinya menggenggam toya.   Dalam sekali gerakan, senjatanya yang pertama terulur dan menjadi kaku.   Tubuhnya juga mencelat di udara.   Tongkat Tok-ku Bu-ti bertemu dengan senjatanya dan mengeluarkan suara keras.   "Trang!!!"   Keduanya mendarat kembali ke tanah.   Senjata Ci Siong tojin berputaran dan membentuk bayangan.   Tiba-tiba bayangan itu tidak berputar lagi namun meluncur lurus ke arah tenggorokan Tok-ku Bu-ti.   Tongkat berkepala naga Tok-ku Bu-ti dikibaskan.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tepat menangkis datangnya serangan Ci Siong tojin.   Namun sebelum tongkat itu sampai, Ci Siong tojin sudah menarik senjatanya kembali lalu secepat kilat diluncurkan lagi ke depan.   Senjata itu ibarat seekor ular yang bergerak-gerak menuju mangsanya.   Sasarannya masih juga tenggorokan Tok-ku Bu-ti.   Gerakan tubuh Tok-ku Bu-ti tiba-tiba berubah.   Jarak senjata Ci Siong tojin yang tinggal setengah cun itu luput juga dari 139 tenggorokannya.   Tiga puluh enam kali serangan berturut-turut dari Ci Siong tojin berhasil dihindarinya.   Ci Siong tojin berteriak nyaring menggelegar membuat suasana pagi jadi mencekam.   Toyanya diluncurkan ke arah bola mata Tok-ku Bu-ti, sedangkan senjata yang satunya tetap mengarah tenggorokan.   "Ting! Ting! Ting!", tujuh belas kali suara benturan senjata berdenting.   Setiap kali dia menyerang, senjatanya selalu berbenturan dengan tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti.   Meskipun gerakan tangan Ci Siong tojin amat cepat, namun tangkisan Tok-ku Bu-ti lebih cepat lagi.   Serangan masih belum berhenti.   Selama ini Tok-ku Bu-ti tampaknya hanya bertahan.   Tiba-tiba tubuhnya bergerak.   Sebuah jurus "Sin-liong-pa-bwe"   Dikerahkan.   Seperti nama jurusnya sendiri yang berarti naga sakti menggoyangkan ekor.   Tubuh Tok-ku Bu-ti hampir tidak dapat ditangkap oleh mata.   Tongkat kepala naganya berbalik menyerang.   Kibasannya menghalangi gerakan kaki Ci Siong tojin.   Kaki kiri Ci Siong tojin disentakkan.   Tubuhnya mencelat tinggi di udara.   Toyanya diputar lalu dihunjamkan ke bawah.   Mengarah kepala Tok-ku Bu-ti.   Lawannya segera mengangkat tongkat kepala naga dan kakinya bergerak mundur.   Ci Siong tojin berjungkir balik tiga kali.   Baru saja kakinya mencapai tanah, senjatanya yang satu lagi langsung meluncur ke tenggorokan Tok-ku Bu-ti.   Tongkat kepala naga segera dikibaskan.   Berbarengan dengan itu, mulut Tok-ku Bu-ti mengeluarkan teriakan keras.   Senjata Ci Siong tojin yang masih meluncur kembali berbenturan dengan tongkat kepala naga tersebut.   "Trang!"   Keduanya 140 mengambil ancang-ancang sekali lagi.   Senjata Ci Siong tojin meluncur cepat.   Tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti sudah siap-siap menyambutnya.   Mulut naga di atas tongkatnya menggigit senjata Ci Siong tojin seketika.   Tosu itu agak terkejut.   Kakinva cepat-cepat mundur tiga langkah.   Namun Tok-ku Bu-ti tak memberinya kesempatan.   Ci Siong tojin mundur lagi.   Dia menggunakan gerakan Te-hun- cong untuk menghadapi lawannya.   Dengan bantuan jurus itu, dia dapat menanggulangi kesulitannya tadi.   Kedua senjatanya kembali menyerang Tok-ku Bu-ti.   "Bagus!"   Seru Tok-ku Bu-ti melihat kelincahan lawannya.   Tubuhnya berkelebat.   Senjata Ci Siong tojin lewat di samping lehernya, kemudian membentur gunung-gunung yang ada di belakangnya.   "Prak!", batu itu terbelah menjadi dua.   Sekali lagi tubuh Ci Siong tojin mencelat ke udara.   "Hati-hati senjata rahasia!"   Katanya memperingatkan.   Tiba-tiba tubuhnya tertutup oleh titik putih yang berjumlah banyak.   Tujuh macam senjata rahasia dilancarkan dalam waktu yang bersamaan.   Masing-masing berjumlah sembilan batang.   Tangan kirinya membentang, tangan kanan mengibas.   Enam puluh tiga batang senjata rahasia segera meluncur mengarah seluruh tubuh Tok-ku Bu-ti.   Terdengar suara menggelegar di angkasa, menggetarkan hati siapa pun yang sempat mendengarnya.   Gerakan tubuh Ci Siong tojin masih belum berhenti.   Dia berjungkir balik lagi sebanyak tiga kali.   Seratus delapan puluh sembilan batang senjata rahasia diluncurkan dalam waktu yang bersamaan.   141 Gerakan tubuh Tok-ku Bu-ti sendiri ibarat seekor naga yang dikurung titik hujan yang deras.   Sekali lagi dia berteriak, tubuhnya berputar.   Telapak tangannya menghantam keras.   Terdengar suara menggelegar.   Cahaya merah memenuhi tempat itu.   Berpijaran bagai bunga api.   Dua ratus lima puluh dua batang senjata rahasia yang dilancarkan Ci Siong tojin terpental sejauh tiga depa.   Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak.   "Ci Siong, kau sama sekali tidak menyangka aku menguasai jurus yang satu ini, bukan?"   Tanyanya dengan nada angkuh.   Ci Siong tojin tidak menyahut.   Tubuhnya mendarat ke atas tanah.   Tangannya kembali terulur.   Dengan cepat dia sudah meraih kembali toya yang diletakkannya di tanah tadi.   Toya itu sebenarnya berukuran pendek.   Namun dengan memencet sebuah alat yang ada di atasnya, toya itu akan menjadi panjang.   Tak usah diragukan lagi bahwa senjata itu merupakan benda pusaka yang tiada duanya.   Ci Siong segera menggerakkan senjatanya.   Dalam waktu yang singkat, mereka sudah bertarung sebanyak seratus delapan puluh jurus.   Masih belum terlihat siapa yang akan kalah dan siapa yang akan meraih kemenangan.   Namun, justru pada jurus keseratus delapan puluh itulah, toya Ci Siong tojin dihantam oleh tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti sehingga putus menjadi dua.   Ci Siong tojin sempat terkesima sejenak.   Kemudian dia tersadar dan cepat-cepat mengambil golok yang ada dalam kotak persegi tadi.   Kui-soa-to (golok pembuka gunung) merupakan ilmu yang hebat dan keji dari Bu-tong-pai.   Seluruhnya berjumlah empat puluh sembilan jurus.   Setiap 142 jurus memiliki tiga belas perubahan.   Golok dan tubuh Ci Siong tojin bergerak serentak.   Dia menyerang berturut-turut.   Gerakannya begitu cepat, sehingga bukan saja goloknya tidak terlihat.   Bahkan bayangan tubuhnya tertutup sinar golok tersebut.   Tok-ku Bu-ti terdesak mundur sebanyak sepuluh langkah.   Meskipun demikian, tongkat kepala naganya masih menangkis dengan cekatan.   Malah akhirnya mulut naga itu kembali menggigit ujung golok.   "Krek!", golok itu segera terputus ujungnya.   Ci Siong tojin melemparkan golok tersebut dan mengambil pedangnya.   Liong-gi-kiam segera dilancarkan.   Segaris sinar pedang ibarat pelangi di senja hari meluncur ke arah Tok-ku Bu-ti.   Sejak tadi penampilan Tok-ku Bu-ti tenang-tenang saja.   Melihat serangan pedang tersebut, barulah mimik wajahnya menjadi kelam.   Dia tahu Ci Siong tojin sudah mengerahkan ilmu andalannya.   Pertarungan mereka sebelumnya ibarat pemanasan saja.   Gerakan kaki Ci Siong tojin mengikuti langkah pat-kwa.   Pedangnya bergerak mengikuti im dan yang.   Perlahan namun membawa kewibawaan yang sulit dilukiskan.   Setiap pedangnya bergerak, selalu ada ratusan titik putih mengiringinya.   Gerakan pedang di tangan Ci Siong tojin dari lambat berubah cepat.   Sebatang pedang laksana berubah menjadi ribuan batang.   Lalu membias lingkaran sinar putih yang terang.   Dalam waktu sesaat, tiga puluh delapan kali serangan telah dilancarkan oleh Ci Siong tojin.   Tok-ku Bu-ti menyambutnya dengan baik.   Meskipun demikian, keringat sebesar kacang kedelai telah membasahi kening kedua orang itu.   143 Sinar pedang yang berkumpul membuyar menjadi sinar terang bagaikan lentera yang dinyalakan.   Kadang-kadang terlihat sebaris sinar yang lebih terang berkelebat.   Persis seperti petir yang menyambar.   Sinar mata Tok-ku Bu-ti semakin tajam.   Dari jarak yang jauh dia sudah dapat merasakan percikan nyeri yang ditimbulkan oleh hawa pedang tersebut.   Namun Tok-ku Bu-ti bukanlah tokoh nomor satu kalau demikian saja sudah kelabakan.   Tongkat kepala naganya memang terpaksa dilepas oleh tangannya.   Tongkat itu melayang di udara kemudian menancap di dalam tanah.   Tiba-tiba Tok-ku Bu-ti menggelindingkan badannya di atas tanah.   Sinar pedang mulai menyurut.   Tok-ku Bu-ti mengambil posisi setengah berjongkok.   Tangannya menghantam ke atas.   Sinar merah sekali lagi memenuhi angkasa.   Lalu terlihatlah sesuatu yang mengejutkan.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Warna kulit tubuh Tok-ku Bu-ti ikut berubah menjadi merah.   Seakan-akan ada darah yang mengalir lewat celah-celah pori-porinya.   Wajahnya juga mengalami perubahan.   Tok-ku Bu-ti seperti berubah menjadi orang lain.   Apa yang terlihat bukan wajah laki-laki itu sebelumnya.   Ikat rambutnya terlepas dan rambutnya melambai-lambai oleh embusan angin.   Ci Siong tojin mengikuti perubahan itu dengan perasaan tegang.   Wajahnya pucat pasi.   "Mit-kip-mo-kang tingkat delapan!"   Katanya seperti memperingatkan dirinya sendiri.   "Tidak salah!"   Sahut Tok-ku Bu-ti.   Sepasang telapak tangannya yang semerah darah segera diluncurkan ke depan.   Pedang di tangan Ci Siong tojin tidak dapat dipertahankan lagi dan lepas seketika.   144 ***** Sekali lagi Tok-ku Bu-ti mengangkat telapak tangannya.   Pedang Ci Siong tojin yang terjatuh di tanah seperti ditarik oleh magnet yang tidak terlihat dan dengan kecepatan tinggi menancap ke arah batu di belakang tubuh Tok-ku Bu-ti.   Ci Siong tojin melancarkan sebuah serangan dengan kedua belah telapak tangannya.   Tok-ku Bu-ti juga tidak kalah cepat.   Sepasang telapak tangan segera terulur menyambut datangnya serangan itu.   "Blam!", Tok-ku Bu-ti terdesak mundur tiga langkah.   Namun tubuh Ci Siong tojin malah terpental dan melayang beberapa depa.   Jilid 4 Rona wajah Tok-ku Bu-ti semakin merah, sedangkan wajah Ci Siong tojin semakin pucat ibarat selembar kertas.   Lengan baju kedua orang itu telah basah oleh keringat.   Gerakan tubuh keduanya sudah berhenti.   Meskipun wajah Ci Siong tojin pucat pasi, tapi tampaknya tidak mendapatkan luka apa-apa.   Malah napas Tok-ku Bu-ti agak memburu.   "Ci Siong, apakah pertarungan ini perlu dilanjutkan?"   Tanyanya.   "Tidak usah. Kalah ya kalah, menang ya menang,"   Sahut Ci Siong tojin dengan nada dingin. 145 Tok-ku Bu-ti menganggukkan kepalanya.   "Baik."   Dia berjalan menuju gunung-gunungan tadi dan mencabut pedang Ci Siong tojin yang menancap di sana "Pedangmu ."   Ci Siong tojin mengulurkan tangan menerima pedangnya.   "To heng, harap hati-hati,"   Kata Tok-ku Bu-ti sambil melambaikan tangannya Ci Siong tojin tidak menyahut.   Dia memasukkan pedang ke dalam sarungnya lalu membalikkan tubuh menuruni gunung.   Tubuhnya tetap tegak seperti semula.   Tok-ku Bu-ti memandangi Ci Siong tojin.   Matanya tidak berkedip.   Langkah kakinya agak lamban.   Dia mengambil kembali tongkat kepala naganya lalu berdiri terpaku.   Angin gunung bertiup semakin kencang, sinar matahari semakin terik.   ***** Di luar Lan-tian-bun.   Di sana duduk menunggu Bok Ciok dan Ti Ciok.   Juga ada beberapa anggota Bu-ti-bun seperti Kongsun Hong, Hu-hoat (bagian hukum), Cian-bin-hud (Budha seribu wajah), Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han- ciang) dan beberapa murid lainnya.   Para murid Bu-ti-bun mengenakan pakaian serba hitam.   Mereka berdiri tegak tanpa mengucapkan sepatah kata pun.   Mereka pasti sudah terlatih baik.   Namun dari mimik wajah mereka tetap terlihat kepanikan dan kegugupan yang disembunyikan.   Awan berarak, kabut melayang.   Mereka sama sekali tidak dapat melihat jalannya pertarungan hidup mati antara Ci Siong tojin dan Tok-ku Bu-ti.   Hanya suara dentingan senjata dan 146 teriakan yang terdengar sayup-sayup.   Sekarang suara-suara itu sudah lenyap.   Sinar mata mereka semua terpusat pada jalan setapak di atas gunung tersebut.   Waktu berlalu perlahan.   Akhirnya mereka melihat bayangan seseorang menuruni gunung.   Ci Siong tojin dari Bu-tong-pai! Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok berseri-seri seketika, sedangkan wajah para murid Bu-ti-bun berubah menjadi kelam.   Alis Kongsun Hong bertaut erat, wajah Han-ciang Tiau-siu berubah seputih kertas.   Hanya Cian-bin-hud seorang yang paling tenang.   Kongsun Hong yang melihat kedatangan Ci Siong tojin segera menggertakkan giginya.   Hampir saja dia melabrak tosu tua itu kalau tidak dihalangi oleh Cian-bin-hud.   Kongsun Hong menolehkan wajahnya kepada laki-laki itu.   Cian-bin-hud hanya menggelengkan kepalanya, mimik wajahnya masih tenang.   Ci Siong tojin langsung menghampiri Bok Ciok dan Ti Ciok.   Keduanya bagai baru tersadar dari mimpi buruk.   Mereka segera bangkit menyambutnya.   "Suhu ...!"   "Jalan!"   Ci Siong hanya menyahut sepatah kata.   Langkah kakinya tidak berhenti.   Dia tergesa-gesa menuruni setengah undakan tangga batu sebanyak enam ribu tujuh ratus buah tadi.   Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok menyorotkan sinar kebingungan.   Namun mereka tidak berani bertanya apa-apa.   Mereka melangkah mengiringi belakang Ci Siong tojin.   147 ***** Setelah menuruni undakan tangga tersebut, Bok Ciok memalingkan wajahnya.   Lan-tian-bun seperti istana di langit yang dikelilingi awan putih.   Bok Ciok tidak dapat menahan keinginan tahunya lagi.   Baru saja ingin membuka mulut, dari atas gunung berkumandang suara yang menggelegar.   "Ci Siong ...!"   Suara Tok-ku Bu-ti.   "Aku memberimu waktu dua tahun. Apabila dalam waktu dua tahun tidak ada murid Bu- tong yang sanggup mengalahkan aku, maka dua tahun kemudian aku sendiri yang akan menuju Bu-tong-san dan membasmi Bu-tong-pai!"   Suara itu ibarat gendang yang bertalu-talu. Kumandang dan gemanya memenuhi seluruh Giok-hong-teng bahkan hutan di bawah sana. Mendengar ucapan itu, wajah Bok Ciok dan Ti Ciok segera berubah hebat. Ci Siong tojin memegangi dadanya sendiri.   "oakkk!", segumpal darah kental muntah dari mulutnya. Batu-batu tangga tersebut merah oleh darah yang dimuntahkan tadi. Wajah Ci Siong tojin bahkan lebih pucat daripada selembar kertas. Bok Ciok dan Ti Ciok segera menghampiri dan memapahnya.   "Suhu ...!"   "Jalan ...."   Suara Ci Siong demikian lemah.   Suara teriakan gembira berkumandang dari atas sana, gemuruhnya bagai petir yang menyambar di siang hari.   148 "Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong (hanya langit yang paling besar, ibarat mentari bercahaya di tengah hari)!"   Teriakan itu merupakan semboyan Bu-ti-bun.   Mereka berulang-ulang menyerukan kata yang sama.   ***** Suara teriakan bergema sejauh puluhan li.   Di ringi suara teriakan itu, Tok-ku Bu-ti mengendarai kuda menuju kantor pusat.   Dia sudah berganti pakaian.   Di tengah dadanya tersulam matahari berwarna merah keemasan.   Dengan bangga dan angkuh dia melewati ruangan besar dan duduk di atas sebuah kursi yang tinggi yang ditutupi sehelai kulit harimau.   Di sebelahnya terdapat sebuah lukisan yang bergambarkan seekor naga yang sedang mengamuk ketika badai menyerang.   Di tengah-tengah ruangan terhampar sebuah permadani berwarna merah yang memanjang sampai depan pintu.   Di sebelah kiri dan kanan masing-masing terdapat dua buah kursi yang diduduki oleh empat orang Hu-hoat.   Di belakang mereka berdiri tiga dan empat, tujuh orang tongcu dari berbagai bagian.   Di bawah Buncu dari Bu-ti-bun, terdapat empat orang Hu-hoat yang semuanya terdiri dari jago-jago kelas satu.   Cian-bin-hud mempunyai keahlian dalam mengubah wajah.   Dengan sebuah ruyung dia pernah menggetarkan lima propinsi di daerah utara.   Kiu-bwe-hu (musang berekor sembilan) memang sesuai dengan namanya, orangnya licik dan otaknya penuh akal busuk.   Dia adalah seorang Im-yang-jin (banci).   Ban-tok-siang- ong (dewa selaksa racun) merupakan seorang ahli dalam bidang racun.   Han-ciang Tiau-siu selalu menggunakan 149 pancingan sebagai senjatanya.   Sekali terkait, dia mampu melempar orang tersebut sejauh tiga depa dan tidak jarang membentur benda yang keras sehingga kepala lawannya hancur berantakan.   Keempat orang ini mempunyai keahlian masing-masing.   Susah mengatakan siapa yang paling unggul di antara mereka.   Namun yang pasti tidak mudah mengajak mereka bekerja sama, apa lagi bersedia menunduk dan menjadi Hu- hoat Bu-ti-bun.   Dari hal ini saja, dapat dibayangkan besarnya pengaruh Tok-ku Bu-ti.   Selain empat orang Hu-hoat tadi, masih ada bagian luar dan dalam.   Bagian luar terdiri dari Tancu (kepala cabang), Hiongcu (penasihat).   Di mana-mana memang terdapat kantor cabang mereka.   Pokoknya di dalam dunia kangouw, tidak ada perguruan atau pun partai lain yang dapat menandingi banyaknya anggota Bu-ti-bun.   Apa lagi sekarang, dia bagaikan harimau tumbuh sayap.   Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang- tiong! ***** Tok-ku Bu-ti duduk di atas kursi kebesaran.   Tangannya mengibas satu kali.   Suara seruan yang berkumandang dari dalam dan luar ruangan terhenti seketika.   Salah satu dari Tongcu bagian luar segera menghadap.   "Lapor Buncu, hamba sudah menyuruh orang mengawasi perjalanan.   Ci Siong tojin bertiga,"   Katanya.   "Seluruh jagoan yang berada di bawah ruangan bagianku, sudah siap bergerak. Begitu ada perintah, mereka akan 150 segera turun tangan membunuh Ci Siong tojin dan kedua muridnya,"   Sambung Kongsun Hong. Tok-ku Bu-ti hanya mendehem.   "Kek-tong-tongcu!"   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Panggilnya.   "Hamba di sini."   "Sebarkan Hiat-ciu-leng (panji tangan berdarah).   Katakan pada seluruh anak murid Bu-ti-bun agar tidak boleh ada yang mengganggu perjalanan Ci Siong tojin dan kedua muridnya.   Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman berat,"   Katanya.   "Baik,"   Sahut Kek-tong Tong-cu.   Meskipun demikian dalam hatinya merasa penasaran.   Bukan hanya dia saja, yang lainnya juga menampilkan wajah kebingungan.   Kongsun Hong segera menghampiri ....   "Suhu ."   "Aku tidak akan mengambil kesempatan orang sedang terluka,"   Kata Tok-ku Bu-ti.   "Buncu benar-benar berjiwa besar dan berhati lapang,"   Tukas Han-ciang Tiau-siu.   "Kalau tidak, bagaimana bisa disebut Bu-lim-pocu?"   Kata Ban- tok-siang-ong. Tok-ku Bu-ti tertawa lebar mendengar pertanyaan anak 151 buahnya.   "Lagi pula, dalam dua tahun ini aku berniat mengunci diri berlatih ilmu. Dalam waktu itu, tidak boleh ada murid Bu-ti-bun yang menerbitkan masalah,"   Katanya. Seluruh murid dan anggota Bu-ti-bun segera mengiakan. Tok- ku Bu-ti masih tertawa lebar.   "Kalian boleh keluar. Masalah lainnya akan kita bahas kembali malam nanti,"   Katanya.   Suara dan senyum Tok-ku Bu-ti tiba- tiba menjadi demikian datar.   Siapa pun tidak dapat menduga apa yang direncanakannya dalam hati.   Namun para muridnya dapat menduga bahwa sekarang Buncu mereka ingin menyendiri.   Semuanya mengundurkan diri kecuali Kongsun Hong.   Dia berjalan ke samping Tok-ku Bu-ti.   "Suhu .... Kau orang tua sering memuji tecu di depan saudara lainnya. Tecu merasa malu sekali. Sebetulnya banyak urusan yang tecu tidak pahami,"   Katanya. Sinar mata Tok-ku Bu-ti beralih ke arah muridnya.   "Suhu tidak memujimu secara percuma. Paling tidak kau dapat mendengar nada suhu yang mengucapkan semuanya dengan terpaksa."   "Tecu bersedia mendengarkan dengan seksama,"   Sahut Kongsun Hong.   "Dengan menggunakan Mit-kip-mo-kang aku berhasil melukai usus besar Ci Siong.   Apabila dia berhasil menemukan obat mujarab, maka tidak akan sampai cacat.   Sungguh bukan akhir 152 yang gemilang dari suatu pertarungan.   Oleh karena itu, aku sengaja menunjukkan rasa gembira.   Sebenarnya aku juga mendapatkan sedikit luka dalam akibat pertarungan ini,"   Kata Tok-ku Bu-ti dengan suara berat.   Kongsun Hong terkejut mendengar keterangan itu.   "Suhu ...   kau ."   "Tidak apa-apa.   Asal beristirahat kurang lebih setengah atau satu bulan, pasti akan pulih kembali."   "Si hidung kerbau (olok-olok jaman dulu untuk para pertapa) Ci Siong itu ...."   "Ilmunya sangat tinggi, pasti di luar dugaan kalian,"   Kata Tok- ku Bu-ti.   "Justru sekarang dia sedang mengalami luka parah, mengapa kita tidak mengejarnya ke Bu-tong-san dan membasmi partai itu sampai habis? Bukankah dengan demikian kita tidak meninggalkan bibit penyakit di kemudian hari?"   Sahut Kongsun Hong memberi saran.   "Suhu mempunyai perjanjian dengan Ci Siong tojin untuk bertarung setiap sepuluh tahun sekali.   Selama tiga puluh tahun ini, aku sudah meraih tiga kali kemenangan.   Dan aku tidak pernah bermaksud mengejarnya sampai ke Bu-tong-san dan membunuh mereka.   Tahukah kau apa sebabnya?"   Tanya Tok-ku Bu-ti.   "Maafkan tecu yang bodoh." 153 "Karena di atas Bu tong san masih ada seorang Yan Cong- tian.   "   "Yan Cong-tian? Dia ...."   "Dia adalah suheng dari Ci Siong tojin. Dua puluh tahun yang lalu sudah diakui sebagai jago nomor satu dari Bu-tong-pai. Sepengetahuanku, selama ini dia selalu bersembunyi di belakang Bu-tong-san dan berlatih keras untuk berhasil mempelajari Tian-can-kiat (perubahan ulat sutera),"   Kata Tok- ku Bu-ti.   "Tian-can-kiat?"   "Kalau kau tidak pelupa, tentu kau ingat apa yang pernah aku ceritakan. Beberapa generasi pendahulu Bu-ti-bun, justru selalu dikalahkan oleh Tian-can-sin-kang (tenaga sakti ulat sutera) dari Bu-tong-pai."   Kongsun Hong menganggukkan kepalanya beberapa kali mendengar penjelasan itu.   "Kalau begitu, Ci Siong ...."   "Tampaknya dia tidak berhasil mempelajari ilmu itu. Ilmu Tian- can-sin-kang merupakan suatu ilmu yang sangat tinggi. Tidak sembarang orang dapat menguasainya. Yan Cong-tian sudah berlatih keras selama dua puluh tahun, namun juga belum berhasil menguasai seluruhnya. Apalagi Ci Siong tojin."   "Seandainya Yan Cong-tian masih ada di dunia ini, tampaknya usaha kita untuk menguasai bu-lim sulit menjadi kenyataan,"   Sahut Kongsun Hong.   "Itu hanya urusan dalam waktu dua tahun ini,"   Kata Tok-ku Bu- 154 ti.   Tampaknya Kongsun Hong belum mengerti juga.   Tok-ku Bu-ti terpaksa menjelaskan sekali lagi.   "Dua tahun kemudian, aku yakin Mit-kip-mo-kang yang aku pelajari akan mencapai tingkat sembilan.   Dengan demikian aku berhasil mencapai rekor di mana para ketua pendahulu dari Bu-ti-bun belum pernah berhasil melakukannya.   Pada waktu itu, Yan Cong-tian juga tidak akan luput dari kematian!"   Begitu perkataannya selesai. Tok-ku Bu-ti menggebrak meja kecil di sampingnya.   "Brak!", meja itu hancur menjadi keping-keping kecil. Kongsun Hong seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun Tok-ku Bu-ti sudah menukasnya.   "Oh ya ... dari lima orang tongcu bagian dalam, tadi aku hanya melihat empat orang. Ke mana perginya Tongcu dari Gin-hong-tong (ruangan merak perak)"   Kongsun Hong tampaknya serba salah.   "Dia ...."   "Masih marah?"   Kongsun Hong menganggukkan kepalanya.   Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak.   ***** Pintu tertutup rapat.   Di atasnya terdapat lukisan seekor merak 155 perak.   Di bawah sinar matahari, lukisan itu tampak berkilau.   Baru saja tangan Tok-ku Bu-ti mendorong pintu tersebut, sebatang golok menyambut kedatangannya.   Untung saja mata laki-laki itu sangat awas, tangannya pun sangat cekatan.   Belum sempat mata menangkapnya dengan jelas, golok itu sudah tergenggam di tangannya.   "Sungguh-sungguh gerakan golok terbang yang sangat cepat!"   Tok-ku Bu-ti tertawa lebar sambil melangkah ke dalam.   Di dalam ruangan hanya terdapat seorang gadis.   Wajahnya cantik penampilannya gagah.   Kesan yang ditampilkannya dingin dan angkuh.   Kedua tangannya menimang-nimang tiga bilah golok terbang.   Matanya menatap tajam ke arah Tok-ku Bu-ti.   Bibirnya mencibir.   Dia diam seribu bahasa.   Tok-ku Bu-ti terus menghampiri gadis itu.   "Hari ini seluruh anggota Bu-ti-bun mengucapkan selamat kepadaku.   Mengapa hanya engkau, Tongcu dari Gin-hong- tong yang tidak hadir?"   Tanyanya tersenyum. Gadis itu masih tidak menyahut.   "Kau masih marah kepada Tia (ayah)?"   Tanya Tok-ku Bu-ti kembali. Gadis itu memang putri tunggal Tok-ku Bu-ti yang bernama Tok-ku Hong.   "Mana aku berani?"   Tangannya tetap memainkan ketiga bilah golok terbang tersebut.   "Pertarungan toh sudah lewat. Siapa 156 yang masih memikirkan urusan ini?"   Tok-ku Bu-ti memperhatikan putrinya dengan seksama. Akhirnya dia menarik napas panjang.   "Tia tidak mengajakmu justru karena tidak yakin akan meraih kemenangan. Apabila Tia sampai kalah, mungkin akan terjadi sesuatu pada dirimu,"   Katanya. Mendengar kata-kata Tok-ku Bu-ti itu rasa amarah dalam hati gadis itu sirna seketika. Dia meletakkan golok terbangnya di atas meja dan menghampiri Tok-ku Bu-ti serta merangkul bahunya mesra.   "Tia, apakah kau tidak mendapatkan luka apa-apa?"   Tanyanya khawatir.   "Hanya sedikit luka dalam, sama sekali tidak berbahaya,"   Sahut Tok-ku Bu-ti.   "Benar-benar tidak apa-apa?"   Tanya Tok-ku Hong.   "Apakah Tia pernah membohongimu?"   "Baiklah kalau begitu ."   Tiba-tiba dia menarik lengan Tok-ku Bu-ti mengajaknya ke kursi tamu yang ada dalam ruangan tersebut.   "Tia, duduklah."   Tok-ku Bu-ti kebingungan.   "Ada apa?"   Tanyanya.   Tok-ku Hong hanya tersenyum.   Dia menepuk kedua tangannya beberapa kali.   Empat orang pelayan yang masih 157 muda mengiakan dari luar dan masuk bersamaan.   Di tangan mereka masing-masing membawa sebuah baki berisi berbagai hidangan.   Pertama-tama Tok-ku Bu-ti tertegun melihat semuanya, kemudian tertawa lebar.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Anak baik, rupanya kau sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kepulangan Tia,"   Katanya dengan nada gembira. Tok-ku Hong tersenyum-senyum.   "Sejak semula aku sudah yakin bahwa Tia pasti tidak akan kalah,"   Katanya. Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak sampai sekian lama. Tok-ku Hong menuangkan arak ke dalam cawan dan mengangkat cawannya.   "Tia, cawan yang satu ini untuk merayakan kemenanganmu dan mudah-mudahan Tia dapat menghancurkan Bu-tong-pai,"   Katanya.   "Baik,"   Tok-ku Bu-ti tersenyum. Dia mengeringkan isi cawannya sekaligus. Tiba-tiba sesuatu hal terlintas di benaknya.   "Hong-ji (anak Hong), sejak kecil kau hanya merisaukan urusan bu-lim, apakah kau tidak pernah merisaukan hal lainnya?"   "Urusan lainnya? Urusan apa?"   "Umpamanya urusan seumur hidupmu nanti "   Tok-ku Hong mengatupkan bibirnya erat-erat. Dia tidak menyahut. 158 "Kau sudah berusia delapan belas tahun, Mana boleh hanya mementingkan latihan ilmu silat saja? Anggota Bu-ti-bun demikian banyak ...."   Tok-ku Hong mencibirkan bibirnya.   "Aku akan memandang mereka sebelah mata."   Kemudian tersenyum lembut.   "Yang penting ada Tia yang menemani."   Tok-ku Bu-ti ikut tersenyum.   "Sayang sekali, dalam dua tahun ini, Tia tidak mempunyai kesempatan untuk menemanimu,"   Katanya. Tok-ku Hong terkejut mendengar pernyataan itu.   "Mengapa?"   "Tia hanya ingin menutup diri selama dua tahun untuk berlatih ilmu."   Sahut Tok-ku Bu-ti.   "Kalau begitu ."   "Maka dari itu, kelak kau tidak boleh terlalu keras kepala."   "Dengan mengandalkan ilmu yang aku miliki, tidak ada orang yang perlu aku takuti,"   Sahut Tok-ku Hong angkuh.   "Mulai lagi,"   Tok-ku Bu-ti menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Meskipun ilmu silatmu cukup tinggi, tapi pengalamanmu masih cetek. Aku takut kau dapat menimbulkan masalah. Oleh karena itu, aku sengaja meminta Kongsun Hong menjagamu baik-baik."   Wajah Tok-ku Hong berubah menjadi murung seketika.   159 Tampaknya tidak menaruh kesan baik terhadap Kongsun Hong.   Sedangkan Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak menyadari hal ini.   ***** Malam belum terlalu larut.   Di dalam rumah terlihat penerangan.   Baik penunggang maupun kudanya sendiri sudah lelah sekali.   Ci Siong tojin, Bok Ciok dan Ti Ciok sampai kembali di rumah sepasang suami istri yang tua renta itu.   Wajah Ci Siong tojin pucat pasi.   Dia memang sudah hampir tidak dapat mempertahankan diri.   Ti Ciok segera turun dari kudanya.   "Suhu ...   kita bermalam di rumah ini saja,"   Katanya menyarankan. Ci Siong tojin mengangguk lemah. Baru saja Ti Ciok bermaksud mengetuk pintu, terdengar suara.   "krek", pintu tersebut telah dibuka dari dalam. Kakek pemilik rumah itu menyembulkan kepalanya. Melihat kedatangan Ci Siong tojin bertiga, orang tua itu tertegun lalu menyurutkan kepalanya kembali. Ti Ciok segera maju dan menahannya.   "Lopek ini ."   Kakek itu tampaknya serba salah, tidak tahu harus menyahut apa, malah sang nenek yang akhirnya keluar.   Perempuan itu juga tertegun melihat mereka.   "Suhu kami mengalami luka parah, tidak bisa melanjutkan perjalanan, apa lagi malam sudah larut.   Oleh karena itu, kami 160 bermaksud merepotkan kalian orang tua barang satu malam saja,"   Kata Ti Ciok menjelaskan.   "Totiang bertiga, kami adalah orang miskin, tentu kalian memaklumi keadaan kami,"   Sahut kakek tersebut.   "Bicara sejujurnya saja, kami tidak berani menerima ketiga totiang. Begini saja kami akan memasakkan sedikit bubur sekadar penangsal perut. Kalian bertiga istirahat dulu sejenak baru melanjutkan perjalanan. bagaimana?"   Tukas sang nenek. Ti Ciok tampaknya keberatan, namun Bok Ciok segera menerima usul tersebut.   "Baiklah kami terpaksa merepotkan kalian orang tua,"   Katanya.   Kakek pemilik rumah mengerling sekilas ke arah istrinya, kemudian menoleh kembali kepada Ci Siong tojin.   Akhirnya dia membuka juga pintu rumah itu.   Ti Ciok cepat-cepat memapah turun Ci Siong tojin dari kudanya.   ***** Rumah penduduk itu masih sama seperti sebelumnya, namun perasaan dalam hati sudah berbeda jauh.   Sepasang suami istri itu sama sekali tidak tahu siapa adanya Ci Siong tojin dan kedua muridnya itu, mereka langsung menyibukkan diri di dapur.   Ci Siong tojin menyandarkan diri pada sebuah kursi, matanya setengah terpejam.   Ti Ciok dan Bok Ciok berdiri di sampingnya.   Tiba-tiba Ci Siong tojin membuka matanya.   161 "Suhu, ada apa?"   Tanya Bok Ciok panik. Ci Siong tojin menarik napas dalam-dalam.   "Istirahat sebentar tentu akan lebih baik,"   Sahutnya. Belum lagi suara itu hilang, terdengar dengusan dingin sebanyak dua kali. Asalnya dari dapur. Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Dia langsung berdiri. Ti Ciok segera memapahnya.   "Bok Ciok, kau jaga Suhu ... aku akan lihat ke sana,"   Kata Ti Ciok.   Ci Siong mengajak Bok Ciok menyusul ke belakang.   ***** Bubur sudah meluap, suaranya bergelembung-gelembung.   Namun perasaan suami istri itu tidak dapat lagi bersuara.   Mereka sudah menjadi orang mati.   Darah mengalir deras dari tenggorokan mereka.   Persis seperti ayam yang baru disembelih.   Di leher mereka ada sebuah lubang yang menganga.   Ti Ciok sudah menghunus pedangnya.   Dia langsung menerjang ke dalam.   Melihat kematian pasangan suami istri tersebut, dia menjadi tertegun.   Ci Siong tojin dan Bok Ciok menyusul.   Mata Bok Ciok beredar ke sekitar tempat itu.   Tiba-tiba dia menjerit terkesiap.   "Suhu! Lihat!"   Teriaknya. Ci Siong mengikuti arah telunjuk muridnya. Di atas tembok di ujung ruangan terpantek sehelai kain lebar seperti bendera. Di tengahnya terdapat sebuah cap bergambar telapak darah. 162 "Panji telapak darah!"   Gumam Ci Siong tojin. Tubuhnya langsung bergetar.   "Bukankah ini lambang yang selalu digunakan oleh Bu-ti-bun?"   Tanya Ti Ciok.   Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya.   Wajahnya kelam.   Tangannya dikepalkan.   Kukunya sampai memutih.   ***** Malam hari ....   Pada saat ini usaha Cui-sian-lou (gedung dewa mabuk) paling laris.   Suara bising memenuhi seluruh ruangan depan.   Tapi ketika Ci Siong tojin dan kedua muridnya melangkah masuk, suara-suara itu surut seketika.   Setiap tamu yang berada di dalam Cui-sian-lou memandang mereka dengan heran.   Ti Ciok tidak mempedulikan pandangan mereka.   Dia langsung menuju meja kasir.   Lao-pan (majikan) pemilik Cui-sian-lou menatapnya dengan curiga.   "Sam-wi, di sana ada tempat duduk yang kosong,"   Katanya.   "Kami bermaksud menginap,"   Sahut Ti Ciok.   "Oh ... selamat datang!"   Lao-pan itu membuka buku catatannya.   "Numpang tanya ...."   "Kami dari Bu-tong-pai,"   Kata Ti Ciok menjelaskan. 163 Belum lagi kata-katanya selesai.   "plak!", Lao-pan itu cepat- cepat menutup kembali buku catatannya. Wajahnya tampak cemas.   "Tempat kami sudah penuh, harap sam-wi tanya tempat lain saja,"   Katanya gugup. Ti Ciok tertawa dingin.   "Kami tidak menginap dengan cuma- cuma,"   Sahutnya kesal. Lao-pan tersebut memaksakan seulas senyuman di bibirnya.   "Tempat kami benar-benar sudah penuh,"   Katanya.   Baru saja ucapannya selesai, dari luar terdengar suara derap langkah yang bisik.   Seorang laki-laki berpakaian hitam mendatangi dengan menunggang seekor kuda.   Dia mengeluarkan sehelai kain putih.   Kudanya sama sekali tidak berhenti sambil melintas di depan Cui-sian-lou membidikkan panah.   "Crep!", panah tersebut terikat dengan kain tadi.   Meleset tepat ke arah tembok di tengah ruangan.   Kain itu langsung terbentang.   Di atasnya tertera sebuah telapak darah! Tamu-tamu di dalam ruangan itu segera menolehkan kepalanya serentak.   Wajah mereka segera berubah hebat.   Tanpa mengatakan sepatah pun antara satu dan lainnya, beramai-ramai mereka mendorong kursi dan meja secara serabutan dan melarikan diri dari dalam ruangan tersebut.   Dalam jangka waktu tidak lama, ruangan itu sudah hampir kosong.   Hanya tersisa satu orang yang masih duduk dengan tenang.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      164 Dia adalah seorang pemuda berpakaian mewah.   Pasti dari turunan hartawan.   Dia hanya meletakkan cawan di atas meja dan menoleh ke arah Ci Siong tojin.   Wajahnya tampan sekali.   Dalam keadaan kacau balau seperti itu, penampilannya masih tetap demikian tenang dan mantap.   Pemilik Cui-sian-lou saat itu sedang berteriak-teriak dengan panik.   "Hei! Kalian belum bayar! Mana boleh pergi begitu saja?"   Dia sama sekali tidak bisa mengadang tamu-tamunya yang melarikan diri kalang kabut.   Dia hanya dapat berteriak-teriak sekenanya.   Namun apa gunanya? Sama sekali tidak ada yang menghentikan langkah dan mendengar ocehannya.   Akhirnya dia menengok ke arah Ci Siong tojin, tapi tidak berani mengatakan apa-apa.   Wajahnya kelam.   "Kali ini aku benar-benar disusahkan oleh kalian murid-murid Bu-tong-pai,"   Gumamnya seorang diri. Ci Siong tojin tidak tahu harus berbuat apa. Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok pucat pasi. Melihat kediaman ketiga orang itu, pemilik tempat itu menjadi agak berani.   "Coba kalian lihat ... apa yang harus aku lakukan?"   Teriaknya kesal.   "Cang-lao-pan, buat apa kau demikian panik?"   Terdengar sebuah suara menyahut dari belakangnya.   Laki-laki itu menolehkan kepalanya.   Baru saja dia bermaksud marah-marah, namun ketika melihat bahwa anak muda yang perlente tadi yang mengucapkan kata-kata itu dia mengurungkan niatnya.   165 "Fu-kongcu, tamu-tamu itu semuanya mearikan diri.   Habislah aku berikut modalku sekalian,"   Katanya sambil tertawa getir. Anak muda yang dipanggil Fu-kongcu itu tersenyum datar.   "Biar aku yang mengganti semua kerugian,"   Katanya sambil mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja. Cang-lao-pan menerimanya dengan malu-malu.   "Fu-kongcu, mana enak aku menerimanya?"   "Soal kecil, tidak usah dipikirkan,"   Kata Fu-kongcu sambil mendorong kembali uang perak yang pura-pura ditolak oleh Cang-lao-pan. Laki-laki itu segera menggenggam uang perak itu erat-erat. Seakan takut kehilangan uang sebanyak itu.   "Tolong kau layani ketiga totiang ini,"   Kata Fu-kongcu kembali. Wajahnya segera mengesankan keadaan yang salah tingkah.   "Fu-kongcu ...."   "Apakah uangnya masih belum cukup?"   Tanya Fu-kongcu.   "Bukan ."   Mata Cang-lao-pan beralih ke arah gambar telapak tangan yang tertera di atas kain putih.   "Pahit getirnya kami yang membuka usaha seperti ini, tentu Fu-kongcu mengerti sendiri."   Mendengar percakapan mereka, Ci Siong tojin segera menukas.   "Maksud baik-kongcu, kami guru dan murid merasa berterima kasih sekali."   Dia menoleh ke arah kedua muridnya.   "Ti Ciok, Bok Ciok, mari kita pergi."   Katanya. 166 Ti Ciok dan Bok Ciok memapah Ci Siong tojin dan melangkah pergi.   "Sam-wi totiang, tunggu dulu!"   Cegah Fu-kongcu sambil mengejar keluar pintu. Ci Siong tojin menghentikan langkah kakinya. Perlahan dia membalikkan tubuh.   "Entah apa maksud-kongcu ...."   "Totiang, aku lihat totiang sedang sakit, lebih baik istirahat di rumahku saja,"   Kata Fu-kongcu menawarkan jasanya. Ci Siong tojin tertegun sejenak.   "Fu-kongcu, apakah kau tidak melihat tanda telapak darah itu?"   Tanya Ti Ciok.   "Aku tahu,"   Sahut Fu-kongcu sambil menganggukkan kepalanya.   "Itu adalah lambang Bu-ti-bun."   "Apakah kongcu tidak takut terhadap Bu-ti-bun?"   "Almarhum ayahku adalah pejabat tinggi kerajaan. Rumahku tidak jauh dari sini. Keluarga kami cukup berpengaruh. Aku yakin Bu-ti-bun tidak berani bertindak sembrono sampai mendatangi rumah keluarga kami,"   Katanya. Ti Ciok dan Bok Ciok menganggukkan kepalanya beberapa kali mendengar keterangan itu. Pantas saja anak muda tersebut demikian tenang meskipun melihat gambar telapak darah. 167 "Fu-kongcu ..."   Panggil Ci Siong tojin.   "Cayhe bernama Fu Giok-su. Totiang jangan banyak adat. Panggil saja namaku. Cayhe masih belum tahu gelar totiang bertiga,"   Sahut anak muda tersebut.   "Pinto Ci Siong ...."   "Suhu adalah Ciangbunjin Bu-tong-pai,"   Tukas Ti Ciok. Fu Giok-su melongo sejenak. Kemudian wajahnya berseri- seri.   "Rupanya tokoh yang selalu disanjung tinggi, Ci Siong tojin adanya. Maafkan kelancangan cayhe yang sudah bersikap kurang sopan,"   Katanya sambil menjura dalam- dalam.   "Jangan sungkan dan banyak adat,"   Sahut Ci Siong tojin. Tanpa dapat ditahan lagi orang tua itu terbatuk-batuk. Fu Giok-su memperhatikan Ci Siong tojin dengan seksama.   "Tampaknya penyakit yang diderita totiang tidak ringan. Lebih baik selekasnya memeriksakan diri ke tabib,"   Katanya menyarankan. Ci Siong tojin tertawa datar.   "Hidup dan mati adalah takdir Thian,"   Sahutnya sendu.   "Di dekat sini ada seorang tabib sakti bernama Mok Put-ciu ...."   Bok Ciok terpana mendengar perkataannya.   "Apakah Mok Put-ciu yang mendapat julukan It-tiap-hue-cun (satu resep kembali hidup)"   Tanyanya dengan nada gembira. 168 "Tidak salah. Coba periksakan diri di sana. Pasti dia mempunyai obat mujarab yang akan memulihkan penyakit totiang,"   Sahut Fu Giok-su.   Ci Siong tojin hanya tertawa getir.   ***** Tempat praktik Mok Put-ciu terletak di sebelah timur kota.   Adanya di samping sebuah sungai kecil.   Kalau dilihat dari luar, tempat itu sudah agak reyot.   Papan mereknya bergelantungan tertiup angin dan tampaknya sebentar lagi copot.   Ti Ciok memicingkan matanya melihat keadaan tempat itu.   "Rasanya usaha tabib sakti ini kurang laris,"   Katanya tanpa sadar. Fu Giok-su tertawa lebar.   "Tabib Mok orang yang berhati luhur. Setiap kali mengobati orang miskin, bukan saja tidak menerima bayaran malah memberikan obatnya sekalian dengan percuma. Maka dari itu, mana mungkin dia mempunyai banyak uang untuk memperbaiki rumahnya ini?"   Sahutnya menjelaskan. Wajah Ti Ciok merah padam mendengar keterangan itu. Dia segera mengalihkan pokok pembicaraan.   "Apakah Fu-kongcu mempunyai hubungan yang baik dengan tabib Mok?"   Fu Giok-su menggelengkan kepalanya.   "Sejak kecil aku belajar ilmu silat. Tubuhku menjadi sehat. Tapi para pembantu di rumah sering meminta pertolongan tabib Mok apabila ada keluarga mereka yang sakit."   "Ternyata Fu-kongcu juga mengerti ilmu silat. Entah aliran 169 partai mana yang dipelajari oleh Fu-kongcu?"   "Aku tidak memilih-milih. Setiap aliran aku pelajari,"   Sahut Fu Giok-su.   "Mana boleh begitu?"   Tanya Ti Ciok heran.   "Ilmu silat cayhe diajarkan oleh para pengawal di rumah. Mereka terdiri dari murid berbagai partai di bu-lim."   "Oh ... rupanya begitu."   Pada saat itu, mereka sudah masuk ke dalam ruangan praktik tabib Mok.   Sejak masuk halaman tadi, mereka tidak bertemu dengan satu orang pun.   Fu Giok-su merasa heran melihat keadaan itu.   "Menurut para pelayan di rumah, usaha tabib Mok selalu ramai.   Mengapa hari ini tidak terlihat seorang pasien pun?"   Tanyanya dengan mimik curiga.   "Kan tidak tiap hari ada orang sakit. Malah kebetulan, dengan demikian Suhu tak usah menunggu lama-lama,"   Sahut Ti Ciok. Ketika Ti Ciok berbicara, kaki mereka sudah melangkah ke dalam sebuah pendopo kecil. Di depannya ada beberapa undakan tangga. Pintu pendopo tersebut setengah terbuka. Ti Ciok mengendus-endus dengan hidungnya.   "Hm ... bau amis darah ..."   Katanya.   Wajah Fu Giok-su segera berubah.   Dia bersama Ti Ciok segera masuk ke dalam.   Begitu pintu didorong, Ci Siong tojin ikut masuk sambil dipapah oleh Bok Ciok.   Mereka belum 170 pernah menemui masalah dengan indera penciuman.   Apa yang diduga oleh Ti Ciok memang benar.   Bau amis darah semakin menusuk hidung ketika mereka masuk ke dalam.   Di dalam pendopo itu terdapat belasan mayat.   Ditilik dari pakaiannya, mereka pasti penduduk desa yang miskin.   Ternyata Mok Put-ciu memang orang yang berhati mulia.   Dari para pasien yang mengunjunginya hari ini, dapat dibuktikan bahwa apa yang dikatakan Fu Giok-su memang kenyataan.   Tapi dia tidak bisa menolong orang-orang itu lagi.   Mereka sudah menjadi orang mati.   Mok Put-ciu sendiri juga sudah menjadi sesosok mayat.   Dia telentang di depan sebuah dipan yang pasti biasa digunakan untuk memeriksa pasien.   Tangan kanannya masih memijit urat nadi seseorang.   Matanya mendelik.   Jenggotnya yang putih sudah bersimbah darah.   Lehernya hampir putus oleh tebasan pedang.   Tangan kirinya bertumpu pada dipan.   Dia menggenggam sehelai kain putih yang atasnya terdapat gambar telapak tangan berdarah! "Telapak tangan darah!"   Ti Ciok menggertakkan giginya.   Tampaknya Fu Giok-su terkejut sehingga terpana.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Bok Ciok juga termangu-mangu.   Melihat begitu banyaknya mayat yang berserakan, wajahnya berubah hebat.   Wajah Ci Siong tojin lebih kelam lagi.   Napasnya tersengal-sengal Seluruh tubuhnya gemetar.   "Tok ...   ku Bu-ti ...   kau benar-benar terlalu menghina!"   Serunya menahan amarah.   Suaranya bergetar.   Langkahnya terhuyung-huyung, kemudian segumpal darah kental muncrat dari mulutnya.   Matanya berkunang-kunang.   Sejenak kemudian 171 tidak ingat apa-apa lagi.   Ti Ciok dan Bok Ciok segera memapahnya, Mereka menjadi kelabakan.   ***** Senja mulai tenggelam.   Malam hampir menjelang.   Di dalam gedung keluarga Fu terlihat berbagai penerangan sudah mulai dinyalakan.   Cahaya memijar bagai lukisan putih.   Beberapa orang pengawal bersama para penjaga mondar- mandir di halaman depan.   Di dalam ruangan yang besar terlihat berbagai macam barang antik yang dipajang.   Juga terdapat beberapa lukisan karya pelukis tenar.   Permadani yang terhampar tebal dan lembut.   Ditilik dari keadaannya, pemilik rumah ini pasti kaya sekali.   Para pengawal dan penjaga tampaknya belum tahu apa yang telah terjadi.   Tampang mereka tenang saja, gaya mereka juga amat santai.   Sebentar-sebentar mereka saling menyapa satu dan lainnya.   Mereka melangkah mondar-mandir dengan dada dibusungkan, seakan bangga sekali dengan kedudukannya.   Mereka mengira tugas mereka hanya menjaga jangan sampai ada maling kecil atau perampok kelas teri masuk ke dalam gedung.   Seandainya mereka tahu bahwa yang mereka hadapi kali ini adalah orang-orang dari Bu-ti-bun, pasti penampilan mereka tidak akan demikian tenang dan santai.   Fu Giok-su sendiri tidak mengatakan apa-apa, tampaknya memandang sebelah mata pada ancaman Bu-ti-bun.   172 ***** Di dalam kamar tamu, Ci Siong tojin masih belum sadar.   Ti Ciok dan Bok Ciok menunggu di sampingnya.   Hati mereka cemas memikirkan keadaan suhu mereka yang tampak mengalami luka parah.   Kamar tamu itu mewah sekali.   Hidangan yang tersedia juga tergolong kelas satu.   Namun Ti Ciok dan Bok Ciok sama sekali tidak berselera.   Mata mereka sama terpusat pada diri Ci Siong tojin.   Fu Giok-su juga mondar-mandir saja di dalam kamar itu.   Kecemasan dan ketegangannya sama sekali tidak di bawah Ti Ciok dan Bok Ciok berdua.   Ti Ciok mencoba menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyadarkan Ci Siong tojin, tapi tampaknya orang tua itu sama sekali tidak merasakannya.   Keringat sebesar kacang kedelai menetes di kening Ti Ciok.   Akhirnya dia menghentikan usahanya.   Fu Giok-su melihat Ti Ciok menarik napas panjang.   Sedangkan wajah Bok Ciok semakin kelam.   "Liongwi juga tidak perlu khawatir.   Suhu kalian memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi.   Asalkan beristirahat di sini beberapa hari, pasti akan pulih kembali,"   Kata Fu Giok-su menghibur.   "Kami terpaksa merepotkan sicu (saudara),"   Sahut Bok Ciok.   "Kalian selalu terlalu sungkan,"   Belum sempat Fu Giok-su melanjutkan kata-katanya, dari depan pintu terdengar kumandang suara.   "Hujin (nyonya) datang!"   Fu Giok-su tergesa-gesa membukakan pintu. Seorang wanita 173 setengah baya berwajah anggun di ringi dua orang dayang melangkah ke dalam.   "Ibu ..."   Sapa Fu Giok-su. Wanita setengah baya itu menatap Fu Giok-su dengan mimik cemas dan tegang.   "Giok-su, kau memerintahkan para penjaga dan pengawal mengawasi rumah ini dengan ketat. Sebetulnya apa yang telah terjadi?"   "lbu tidak perlu khawatir. Anak hanya menjaga segala kemungkinan,"   Sahut Fu Giok-su lirih. Mata wanita setengah baya tersebut beralih ke Ci Siong tojin dan kedua muridnya.   "Ketiga orang ini ."   "Mereka adalah totiang Bu-tong-pai. Sedangkan ibu tahu sendiri, Bu-tong-pai adalah partai lurus yang selalu membela kebenaran. Mereka adalah orang baik-baik,"   Sahut Fu Giok-su menjelaskan. Wanita setengah baya itu berjalan menghampiri tempat di mana Ci Siong tojin sedang terbaring. Dia memperhatikannya dengan seksama.   "Apakah Totiang tua ini sedang sakit?"   Tanyanya. Ti Ciok dan Bok Ciok segera merangkapkan sepasang tangannya.   "Betul, itulah sebabnya anak memaksa mereka tinggal di sini sementara,"   Kata Fu Giok-su.   "Giok-su, apakah kau tidak menyuruh pembantu 174 memanggilkan tabib untuk memeriksanya?"   Tanya wanita itu cemas.   "Penyakitnya cukup parah, tabib biasa mungkin tidak sanggup mengobatinya,"   Sahut Fu Giok-su pilu.   "Bukankah di daerah sini ada seorang tabib sakti yang bernama It-tiap-hue ...."   "Anak sudah memerintahkan orang kita untuk memanggil tabib Mok itu,"   Sahut Fu Giok-su menutupi keadaan yang sebenarnya.   "Menolong orang akan mendapatkan pahala besar dari Thian yang kuasa. Giok-su kau harus memperhatikan keselamatan totiang ini baik-baik,"   Kata wanita setengah baya itu.   "Anak mengerti."   Ti Ciok dan Bok Ciok segera maju ke depan dan merangkapkan sepasang tangan mereka.   "Sicu berbudi besar dan berhati mulia. Kami guru dan murid tidak akan lupa untuk selamanya."   "Liongwi totiang tidak perlu banyak adat,"   Wanita setengah baya itu membalikkan tubuhnya dan memberi perintah.   "Giok- su, kau layani ketiga tamu ini baik-baik."   "Baik,"   Sahut Fu Giok-su sambil membungkuk hormat.   Wanita setengah baya itu rupanya mempunyai hati yang sangat baik.   Dia masih berpesan beberapa kali, baru membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.   Kedua 175 dayangnya mengikuti dari belakang.   Fu Giok-su mengantarkan sampai di depan pintu.   Dia mengantarkan kepergian ibunya dengan pandangan mata.   Baru saja berniat masuk kembali ke kamar, seorang tukang kebun melewati pintu taman dan menerobos masuk dengan tergesa-gesa.   Orang itu berlari dengan napas tersengal-sengal.   Dia berhenti di depan Fu Giok-su dengan wajah pucat pasi.   "Kongcu...!"   Panggilnya.   "Bagaimana keadaan di luar?"   Tanya Fu Giok-su.   "Di luar tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Namun suasana sepertinya sangat mengerikan,"   Sahut tukang kebun itu.   "Tidak apa-apa. Kau istirahatlah sejenak. Nanti katakan pada Tio-busu (pengawal) untuk berjaga dengan ketat,"   Kata Fu Giok-su.   "Siaujin (hamba) tahu,"   Sahut tukang kebun itu sambil membalikkan tubuh dan bersiap-siap meninggalkan tempat tersebut.   "Tunggu dulu!"   Teriak Fu Giok-su.   "Apakah kongcu masih ada perintah lainnya?"   Tanya tukang kebun itu.   "Apakah tadi ada orang yang berjalan melewatimu?"   Tanya Fu Giok-su.   "Tidak ada. Pertanyaan kongcu ini ...." 176 "Lalu dari mana datangnya tanda telapak darah di punggungmu itu?"   Tanya Fu Giok-su dengan mata mendelik.   "Telapak tangan darah?"   Tukang kebun itu terkejut sekali.    Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Perbatasan Karya Chin Yung Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini