Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 5


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 5


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   Dia bermaksud menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat.   Tentu saja tidak bisa.   Tapi Fu Giok-su melihatnya dengan jelas.   Di bagian punggung orang itu tertera sebuah telapak tangan darah yang nyata sekali.   Mata Fu Giok-su mengerling sekilas.   "Kau jangan panik. Pulanglah ke kamarmu ganti pakaian. Ingat! Jangan katakan pada siapa pun mengenai masalah ini. Apa lagi kepada ketiga orang totiang itu. Suruh para pengawal lebih ketat lagi. Jangan teledor!"   Perintah Fu Giok-su.   "Siaujin mengerti."   "Cepat pergi!"   Fu Giok-su menolehkan kepalanya.   Pintu kamar tamu masih tertutup.   Tak ada seorang pun.   Cepat-cepat dia menggebah tukang kebun itu sebelum ada orang yang melihatnya.   Tanpa setahunya, percakapan antara dirinya dengan tukang kebun itu telah terdengar oleh Ti Ciok dan Bok Ciok.   Mereka saling memandang dengan cemas.   "Suheng ...   apa yang harus kita lakukan sekarang?"   Tanya Bok Ciok dengan suara rendah. Ti Ciok mengerutkan keningnya.   "Suhu masih belum sadar juga. Apabila kita menggendongnya, aku takut lukanya akan semakin parah,"   Sahutnya ragu.   177 Dia menarik napas panjang.   Pada saat itu Fu Giok-su masuk ke dalam kamar.   Melihat tampang kedua orang itu, dia cemas sekali.   Dikiranya telah terjadi sesuatu pada Ci Siong tojin.   "Liongwi totiang, Suhu kalian ...."   "Suhu masih belum sadar juga."   "Fu-sicu, kali ini kami telah melibatkan keluarga ...."   "Totiang ...."   "Munculnya telapak tangan darah di punggung anak buah sicu sudah kami ketahui."   Wajah Fu Giok-su menampilkan kecemasan.   "Jangan sampai suhu kalian tahu. Lukanya cukup parah. Jangan sampai terkejut mendengar berita ini,"   Katanya.   "Tapi ...."   "Sekarang aku akan memerintahkan anak buahku melapor ke kantor gubernur. Aku tidak percaya Bu-ti-bun berani menyerbu rumahku,"   Kata Fu Giok-su sambil menghambur ke luar dari kamar tersebut. Mata Bok Ciok memandangi kepergian Fu Giok-su.   "Sungguh seorang pemuda berhati luhur,"   Pujinya.   "Kita harus mengambil keputusan yang bijaksana,"   Kata Ti Ciok. 178 "Tunggu sampai Suhu sadar baru kita renungkan masalah ini,"   Sahut Bok Ciok. Malam mulai larut. Akhirnya Ci Siong tojin sadar juga. Dia berusaha bangkit, Ti Ciok dan Bok Ciok segera mengulurkan tangan membantu. Ci Siong mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar tersebut.   "Di mana kita sekarang?"   Tanyanya dengan suara serak.   "Ini rumah Fu-kongcu. Suhu sedang beristirahat di kamar tamunya,"   Sahut Ti Ciok.   "Anak muda ini benar-benar berhati tulus,"   Kata Ci Siong tojin sambil menghela napas. Ti Ciok tertawa getir.   "Seisi rumah ini sangat ramah. Justru demikian maka tecu khawatir ...."   "Apa yang terjadi?"   Tanya Ci Siong tojin yang segera merasakan nada suara cemas dari Ti Ciok.   "Ti ... dak ... tidak ... apa-apa,"   Sahut Ti Ciok gugup.   "Bilang!"   Bentak Ci Siong tojin.   "Telapak tangan darah sudah muncul di rumah ini,"   Sahut Ti Ciok terpaksa. Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Dia menggebrak meja di samping tempat tidur.   "Hm ... Tok-ku Bu-ti ...!"   Karena hawa amarah meluap, Ci Siong tojin sampai terbatuk- batuk. Bok Ciok menarik napas panjang.   "Suhu, perhatikan 179 kesehatanmu sendiri,"   Katanya dengan nada pilu.   "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"   Tanya Ti Ciok kebingungan.   "Meninggalkan tempat ini secepatnya!"   Kata Ci Siong tojin dengan hati mantap.   ***** Para pelayan dan pekerja keluarga Fu sudah menyelesaikan tugas masing-masing.   Mereka sedang bersantai mengobrol dengan berkerumun.   Tampaknya Fu Giok-su pandai sekali menutupi keadaan yang sebenarnya.   Juga hanya dia yang tampak tegang dan cemas.   Meskipun keluarga Fu sangat terhormat dan berada.   Rupanya hubungan antara majikan dan bawahan sangat akrab.   Suasana di rumah itu hangat sekali.   Oleh karena itu, niat untuk meninggalkan keluarga Fu sebelum terjadi sesuatu semakin mantap di hati Ci Siong tojin.   Melihat ketiga orang itu, Fu Giok-su segera menghampiri.   "Mengapa locianpwe tidak beristirahat saja.   Cayhe sudah memerintahkan pelayan menyiapkan hidangan dan akan diantarkan ke kamar,"   Katanya. Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya.   "Maksud pinto menemui kongcu justru untuk memohon diri,"   Sahutnya. Fu Giok-su terpana.   "   Oh ...?"   Fu-hujin segera bangkit dan berjalan ke arah mereka.   "Totiang 180 .... kau sedang sakit. Lebih baik jangan banyak bergerak ..."   Katanya. Ci Siong tojin merangkapkan sepasang tangannya.   "Maksud baik Hujin hanya dapat pinto kenang dalam hati."   "Locianpwe ..."` panggil Fu Giok-su dengan nada cemas.   "Masalah telapak tangan darah, pinto sudah tahu,"   Kata Ci Siong tojin. Fu-hujin menoleh kepada putranya dengan mata keheranan.   "Telapak tangan darah apa?"   Tanyanya.   "Ibu, itu hanya mainan orang iseng. Tidak usah dipedulikan"   Fu Giok-su memalingkan wajahnya kepada Ci Siong tojin.   "Locianpwe tidak usah khawatir ...."   Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya.   "Hati sicu baik sekali. Pinto justru semakin bertekad untuk meninggalkan rumah ini,"   Katanya.   "Locianpwe, kau tidak usah mempedulikan orang-orang itu. Kalau mereka berani menyerang rumah ini, maka aku, Fu Giok-su yang pertama-tama akan melawan mereka!"   Sahut anak muda itu penuh semangat.   Ci Siong tojin memandangnya dengan rasa berterima kasih.   "Bagaimana kejinya orang-orang Bu-ti-bun, mungkin sicu masih belum tahu.   Tapi pinto mengetahui dengan jelas.   Keputusan kami untuk pergi sudah bulat.   Sicu jangan menghalangi lagi." 181 Fu Giok terdiam mendengar perkataannya.   Tiba-tiba terdengar suara "Tang! Tang! Tang!", tiga kali berturut-turut.   Kemudian disusul dengan kumandangnya bentakan.   "Dentang kematian telah berbunyi tiga kali, binatang pun tidak akan dibiarkan hidup!"   Wajah Ci Siong tojin berubah hebat.   Matanya segera memalingkan ke arah pintu depan.   Tampak tiga helai bendera berkibaran di atas tembok.   Suara tadi menyeramkan sekali.   Seperti ratapan hantu gentayangan.   Tiga helai bendera itu memantulkan sinar menakutkan disorot oleh cahaya rembulan.   Sinar lentera yang redup membuat pemandangan semakin mengerikan.   Fu-hujin dapat merasakan sesuatu yang tidak beres.   Dia segera menarik tangan Fu Giok-su.   "Apa artinya semua ini?"   Tanyanya khawatir.   "Tadi itu merupakan lambang Bu-ti-bun. Mereka sudah siap menyerang gedung ini dan membersihkan seluruh penghuninya dengan darah,"   Kata Ti Ciok menjawab pertanyaan itu. Fu-hujin semakin cemas. Wajahnya tegang.   "Giok-su ... Giok- su ... ini ... bagaimana baiknya sekarang?"   Tanyanya panik.   "Kita bisa melarikan diri lewat ruang rahasia!"   Teriak Fu Giok- su.   "Ruang rahasia?"   Ci Siong tojin memandangnya dengan tatapan tidak mengerti.   "Kakek cayhe dulu adalah seorang pengawal istana.   Beliau 182 membangun sebuah ruang rahasia untuk melarikan diri di saat genting.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tempat itu menembus sebuah kamar bawah tanah dan kita bisa melarikan diri lewat tempat itu.   Ada sebuah jalan yang menembus taman di belakang rumah,"   Kata Fu Giok-su menjelaskan. Ci Siong masih merenungkan saran itu. Seorang pengawal menghambur masuk ke dalam ruangan tersebut.   "Kongcu, di halaman bermunculan banyak orang berpakaian hitam. Melihat keadaan, kemungkinan kita sudah terkepung rapat,"   Katanya gugup.   "Kami sudah tahu,"   Sahut Fu Giok-su dengan wajah kelam.   "Kongcu ... kami ...."   Suara dan tubuh pengawal itu bergetar.   Tampangnya sudah tidak segagah semula.   Mereka terdiri dari orang-orang kangouw.   Melihat ketiga helai bendera yang berkibar di depan rumah dan mendengar suara ancaman tadi, mereka segera sadar apa yang telah terjadi.   Tentu mereka juga mengerti bagaimana kejinya orang-orang Bu-ti-bun.   "Perintahkan yang lain agar jangan keluar.   Tutup pintu rapat- rapat.   Jangan sampai musuh menerjang ke dalam rumah!"   Kata Fu Giok-su, Pengawal itu mengiakan dan mengundurkan diri dengan tergesa-gesa.   Pada saat itu, wajah setiap orang yang ada dalam ruangan itu berubah tegang.   "Cep! Cep! Cep!", terdengar desingan sebanyak tiga kali.   Lentera yang tergantung di luar rumah pecah seketika.   Api 183 memercik bagai petasan yang disulut.   Ci Siong tojin menarik napas panjang.   "Sudah terlambat,"   Dia mengeluh.   "Kalau begitu, kita harus segera bergerak menuju ruang rahasia,"   Kata Fu Giok-su menyarankan.   Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya.   "Tidak ada gunanya.   Orang-orang Bu-ti-bun sudah mengepung seluruh bangunan ini.   Meskipun ada ruang rahasia yang dapat menembus taman belakang, namun kita tetap tidak bisa melepaskan diri dari kejaran orang-orang mereka.   Kecuali ...."   "Kecuali apa?"   "Satu-satunya jalan adalah membawa keluargamu melarikan diri lewat ruang rahasia tersebut.   Pinto bertiga akan menerjang lewat pintu depan untuk mengalihkan perhatian mereka,"   Kata Ci Siong tojin.   "Locianpwe ...."   Tampaknya Fu Giok-su keberatan dengan usul itu.   "Tidak ada pilihan lain lagi,"   Kata Ci Siong tojin.   "Mana mungkin cayhe membiarkan locianpwe menempuh bahaya ini?"   "Pinto tidak boleh hanya mementingkan diri sendiri. Hidup dan mati adalah takdir. Sama sekali tidak boleh melibatkan kalian 184 sekeluarga,"   Kata Ci Siong tojin tegas.   "Sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pai, Locianpwe ...."   "Jangan banyak bicara!"   Bentak Ci Siong tojin.   "Giok-su, apakah kita tidak bisa tetap di sini saja?"   Tukas Fu- hujin dari samping.   "Ibu, lebih baik kita menyembunyikan diri untuk sementara,"   Sahut Fu Giok-su.   "Kongcu, apa yang harus kita lakukan?"   Tanya seorang pelayan tua yang sejak tadi berdiam diri.   "Apakah kita perlu menyiapkan bekal?"   Tanya yang lainnya.   "Tidak perlu, waktu sudah mendesak. Semuanya ikuti aku!"   Teriak Fu Giok-su mengambil keputusan.   "Ti Ciok, Bok Ciok, mari kita pergi!"   Perintah Ci Siong tojin. Ketiga orang itu menghunus pedangnya masing-masing dan menerjang keluar. Melihat keadaan itu, Fu Giok-su panik sekali. Dia berteriak.   "Locianpwe ...!"   "Tidak ada waktu lagi ... kalian segera tinggalkan tempat ini!"   Bentak Ci Siong tojin.   Dia tidak menolehkan kepalanya sama sekali.   Langkah kakinya malah dipercepat.   Bok Ciok dan Ti Ciok mengiringi di sampingnya.   Mereka tenang sekali.   Tidak ada kesan bahwa mereka takut menghadapi kematian.   Fu Giok-su terpaku sejenak.   Kemudian 185 bergegas mengajak keluarganya meninggalkan tempat itu.   Suara teriakan para pelayan, ratapan tangisan anak-anak berbaur.   Suasana semakin tegang dan kacau.   ***** Halaman rumah keluarga Fu sepi sekali.   Ternyata tidak terlihat seorang pun di sana.   Sinar rembulan menerangi bebatuan jalan yang menghijau.   Suasana mencekam.   Dengan pedang di tangan Ci Siong tojin jmenghambur ke arah koridor gedung itu.   Wajahnya pucat tersorot cahaya rembulan.   Pedangnya digetarkan.   "Orang-orang Bu-ti-bun! Keluar kalian semuanya!"   Bentaknya marah.   Suara langkah-langkah kaki, suara kibasan lengan baju segera memecah keheningan malam.   Sejumlah manusia berpakaian hitam bermunculan dari segala penjuru.   Tangan mereka menggenggam berbagai macam senjata.   Ci Siong tojin menggetarkan pedang di tangannya.   Dia bermaksud menerjang ke arah manusia-manusia berpakaian hitam tersebut.   Tiba-tiba rasa sakit menyerang dadanya, terpaksa dia menghentikan langkah kakinya.   Manusia-manusia berpakaian hitam itu segera menyerbu dan mengepung Ci Siong tojin beserta kedua muridnya.   Ti Ciok dan Bok Ciok menyilangkan pedangnya.   Mereka melindungi Ci Siong tojin.   Bok Ciok tidak sungkan lagi, setiap kali bertemu dengan musuh, pedangnya menikam tanpa pikir dua kali.   Sedangkan Ti Ciok juga menggerakkan pedangnya secepat kilat.   Percikan darah memenuhi pakaian mereka.   186 Ci Siong tojin berusaha memacu semangatnya.   Pedangnya berkelebat menembus tenggorokan salah satu manusia berpakaian hitam.   Meskipun lukanya cukup parah, tenaga dalamnya melemah, namun jurus-jurus ampuh masih dikuasainya dengan baik.   Pikirannya masih jernih.   Sasaran pedangnya selalu ke arah yang mematikan.   "Terjang terus!"   Teriak Ci Siong tojin dengan suara keras.   Pedangnya menusuk lagi dua kali.   Dua manusia berpakaian hitam roboh seketika.   Hawa amarah sudah memenuhi hati tosu tua ini.   Pedang di tangannya tidak berbelas kasihan lagi.   Sedangkan manusia- manusia berpakaian hitam tersebut tampaknya tidak takut menghadapi kematian.   Jumlah mereka makin lama makin banyak.   Mereka menerjang bagai air bah yang melanda.   Ci Siong tojin mengeluarkan suara teriakan.   Pedangnya menyabet seorang manusia berpakaian hitam dan tubuh orang itu langsung terbelah menjadi dua bagian.   Dia tidak peduli kakinya menginjak mayat-mayat yang bergelimpangan.   Ti Ciok dan Bok Ciok juga turun tangan dengan telengas.   Dengan ketat mereka melindungi Ci Siong tojin.   Darah segar memercik ke mana-mana.   Jalanan berbatu itu telah menjadi merah.   Pakaian ketiga orang itu juga penuh bercak-bercak darah.   Manusia-manusia berpakaian hitam itu menyerang seperti kesurupan setan.   Hujan darah memenuhi angkasa.   Perlahan mereka mulai terpencar dan menjadi tiga kelompok yang masing-masing terkurung oleh musuh.   Ti Ciok dan Bok Ciok berusaha mendekati Ci Siong tojin.   Namun mereka malah 187 terseret semakin jauh.   Bagaimana pun mereka tidak berhasil keluar dari kepungan manusia-manusia berpakaian hitam tersebut.   Bagian perut Ci Siong tojin terasa sakit sekali.   Sebisanya dia mempertahankan diri.   Gerakan pedangnya mulai lemah.   Setiap kali dia menyerang dengan pedangnya, pasti berhasil ditangkis oleh manusia berpakaian hitam itu.   Dia tidak sanggup mengerahkan Liong-gi-kiam lagi.   Dan rasa sakit semakin menghebat! Keringat mulai membasahi keningnya.   Dia berusaha menghindari setiap serangan manusia berpakaian hitam yang semakin lama semakin banyak itu.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Langkah kakinya mulai limbung.   Kembali sebuah golok mengancam dadanya.   Dengan susah payah dia berhasil menghindar, namun terdesak mundur beberapa langkah lalu muntah darah.   Ci Siong tojin masih berusaha menahan.   Golok kedua sudah tiba.   Tampaknya kali ini dia tidak akan berhasil menghindar diri lagi.   "Trang!", sebuah pedang lain menyambut kedatangan golok tersebut.   Ci Siong tojin menolehkan kepalanya.   Dia melihat Fu Giok-su sudah berdiri di sampingnya dan langsung bergerak ke depan melindunginya.   "Fu-kongcu ...!"   "Mereka sudah berhasil meninggalkan tempat ini,"   Sahut Fu Giok-su sambil menggetarkan pedang di tangannya. Seorang manusia berpakaian hitam tidak berani mengambil risiko. Terpaksa dia mundur untuk melepaskan diri dari sabetan 188 pedang Fu Giok-su.   "Mari kita terjang keluar!"   Ajak pemuda itu.   Darah segar masih mengalir.   Gerakan Fu Giok-su sama sekali tidak lambat.   Pedangnya selalu mengambil korban.   Dua orang lagi roboh terkena sabetan pedangnya.   Ti Ciok dan Bok Ciok berhasil juga mendekati Ci Siong tojin.   Mereka melindungi Ci Siong tojin.   "Fu-kongcu, kami akan menghalangi musuh.   Harap kongcu membawa suhu meninggalkan tempat ini!"   Teriak Ti Ciok.   "Baik,"   Sahut Fu Giok-su sambil menyabetkan pedangnya ke depan. Ti Ciok dan Bok Ciok segera menggantikannya. Mereka membuka jalan bagi Ci Siong tn jin dan Fu Giak Su. Tosu tua itu tampak bimbang. Bok Ciok malah panik melihatnya.   "Suhu ... cepat lari!"   Teriaknya.   "Ilmu orang-orang ini tidak seberapa tinggi. Sebentar lagi kami akan menyusul!"   Kata Ti Ciok.   Akhirnya Ci Siong tojin terpaksa menganggukkan kepalanya.   Dia mengikuti Fu Giok-su dari belakang.   Manusia-manusia berpakaian hitam itu kembali menerjang.   Namun mereka berhasil diadang oleh Bok Ciok dan Ti Ciok.   Fu Giok-su juga tidak berpikir panjang lagi.   Pedangnya menyabet dari kiri ke kanan.   Tujuh orang roboh seketika.   Sedangkan dalam keadaan payah, Ci Siong tojin juga sempai melukai dua orang lawan.   Fu Giok-su memalingkan wajahnya ke wajah tosu tua tersebut.   "Locianpwe ... kita ambil arah timur,"   Katanya. 189 "Baik,"   Sahut Ci Siong tojin. Namun langkah kakinya segera terhenti. Segumpal darah kembali muncrat dari mulutnya. Fu Giok-su panik melihat keadaannya. Dia segera mengulurkan sebelah tangan dan memapah orang tua itu.   "Tidak usah,"   Kata Ci Siong tojin berusaha mempertahankan diri.   Fu Giok-su tidak mempedulikan kata-katanya.   Pedangnya kembali berkelebat.   Tiga manusia berpakaian hitam roboh bermandikan darah.   Dengan memapah Ci Siong tojin, dia menerjang dengan nekat.   Akhirnya dia berhasil mencapai jalan besar.   Mereka membelok di sebuah gang kecil.   Tidak ada lagi manusia berpakaian hitam yang menghalangi mereka.   Juga tidak terlihat ada yang mengejar.   Ci Siong tojin dan Fu Giok-su baru bisa menghela napas lega.   Tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri dari gedung keluarga Fu.   Kemudian disusul sekali lagi jeritan yang lainnya.   Ci Siong tojin segera mengenali bahwa yang terdengar tadi adalah suara Ti Ciok dan Bok Ciok.   Wajahnya berubah hebat, langkah kakinya berhenti seketika.   Fu Giok-su juga merasa curiga.   "Locianpwe .... locianpwe!"   Panggilnya cemas.   "Ti Ciok dan Bok Ciok sudah mengorbankan diri,"   Sahut Ci Siong tojin dengan nada sedih. Fu Giok-su terpana mendengar keterangan itu. 190 "Mungkin pihak lawan sudah mendatangkan jagoannya,"   Kata Ci Siong tojin kembali. Matanya beralih kepada Fu Giok-su.   "Mari pergil"   "Apakah tidak lebih baik kita balik dan lihat ...?"   Ci Siong tojin tertawa datar.   "Hidup dan mati merupakan takdir. Mungkin sudah merupakan suratan nasibnya bahwa mereka hanya dapat hidup sampai malam ini."   Fu Giok-su masih bimbang.   Ci Siong tojin sudah mempercepat langkahnya.   ***** Apa yang diduga oleh Ci Siong tojin memang tidak salah.   Pihak lawan memang telah kedatangan seorang jagonya.   Ketika orang yang berilmu tinggi ini datang, Ti Ciok dan Bok Ciok sudah berhasil mendesak manusia-manusia berpakaian hitam dan bersiap-siap menyusul Ci Siong tojin.   "Sute ...   mari!"   Teriak Ti Ciok.   Namun baru saja kakinya berjalan beberapa langkah, sekelebatan pedang telah menyerangnya.   Pedang itu hitam berkilauan.   Kedatangannya tidak sempat mengejutkan, namun kecepatan sungguh mengerikan.   Sama sekali tidak terdengar suara kibasan lengan baju.   Ketika Ti Ciok menyadari, pedang itu tinggal tiga cun dari tenggorokannya.   Ti Ciok terkejut sekali.   Dengan panik dia berusaha menghindar, tapi terlambat.   Pedang tersebut menembus dari leher sebelah kiri sampai ke leher kanan.   Pada saat itulah dia menjerit ngeri.   Juga merupakan jeritannya yang terakhir.   191 Darah berhambur bagai anak panah.   Pedang itu sangat tipis.   Panjangnya kira-kira satu setengah meter.   Memang sebuah pedang yang luar biasa dan lain daripada yang lain.   Orang yang menggenggam pedang itu memakai topi pandan berbentuk aneh.   Dan dia adalah seorang kidal.   Topi pandan itu menutupi sebagian wajahnya.   Begitu pedangnya ditarik kembali, dia langsung menyerang Bok Ciok.   Tubuh Ti Ciok ikut tertarik dan berputar satu kali sebelum pedang tersebut benar-benar tercabut semuanya.   Dan tatkala tubuhnya terlempar ke tanah, orang itu sudah menyerang Bok Ciok sebanyak dua puluh tiga kali berturut-turut.   Bok Ciok sangat terpukul melihat kematian suhengnya.   Dia berhasil menghindarkan serangan orang bertopi pandan tersebut.   Dengan, kalap dia membunuh setiap manusia berpakaian hitam yang ada di dekatnya.   ***** Usianya memang lebih muda dari Ti Ciok, namun kepandaiannya justru lebih tinggi.   Tapi sayangnya dia sudah bertempur cukup lama, tenaganya sudah banyak terkuras.   Dia tidak sudi membiarkan nyawanya melayang begitu saja.   Seorang manusia berpakaian hitam yang menyerangnya terdesak mundur sejauh tujuh langkah.   "Utang nyawa bayar nyawa!"   Teriak Bok Ciok kalap.   Pedangnya berkelebat, mengejar bayangan manusia hitam tersebut.   Manusia berpakaian hitam itu kembali mundur satu langkah.   Sedangkan orang yang memakai topi pandan berbentuk aneh 192 segera mengadang di depannya.   Bok Ciok memang sudah marah Sekali.   Dia tidak peduli seberapa tinggi ilmu yang dimiliki si topi pandan.   Pedangnya memutar segala arah.   Orang itu terpaksa mundur beberapa langkah.   Bok Ciok tidak memberinya kesempatan.   Sekali lagi dia mengayunkan pedangnya.   Kali ini dari atas ke bawah.   Topi orang itu terbelah menjadi dua bagian.   Di situ pula letak kesalahan Bok Ciok.   Semestinya dia tidak ambisius melihat wajah orang itu.   Karena begitu melihatnya, dia menjadi terpana seketika.   Wajah itu rata semua.   Tidak ada alis, mata, hidung maupun mulut.   Persis sebuah telur saja.   Hati siapa pun akan tercekat melihat pemandangan demikian.   Dan Bok Ciok sendiri seumur hidupnya belum pernah melihat manusia semacam ini.   Mulutnya terbuka, matanya membelalak.   "Kau ..?"   Katanya tanpa sadar.   Justru karena perhatiannya terpecah itulah, manusia aneh itu mempunyai kesempatan untuk menikam jantungnya dengan pedang yang panjangnya luar biasa itu.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Rasa sakit segera menyerang.   Bok Ciok menjerit ngeri.   Darah menyembur.   Dengan susah payah dia mendekap dada.   Kakinya limbung, langkahnya terhuyung-huyung.   Akhirnya roboh ke tanah dan mati seketika.   Manusia tanpa wajah itu membalikkan tubuhnya perlahan.   Wajahnya yang rata terlihat semakin pucat tersorot cahaya rembulan.   Beberapa tetes darah mengucur dari bagian depan kepalanya.   Rupanya pedang Bok Ciok sempat melukainya.   Namun sayang sekali tidak cukup dalam untuk merenggut jiwanya, Manusia tanpa wajah itu menenangkan dirinya sesaat.   Kemudian sepasang kakinya menutul, tubuhnya 193 melesat tinggi dan melayang ke dalam keluarga Fu.   Para manusia berpakaian hitam yang masih tersisa bersorak kesetanan.   Mereka ikut menyerbu ke dalam keluarga Fu dan membunuh siapa saja yang ada di dalam rumah.   Jilid 5 Air sungai beriak-riak.   Kabut belum membuyar.   Daerah di seberang sungai tidak terlihat.   Namun airnya dapat terlihat jelas.   Ci Siong tojin dan Fu Giok-su berdiri berendengan.   Mata mereka menatap di kejauhan.   Sinar mata Fu Giok-su menatap arah yang mereka lalui tadi.   Ci Siong tojin menatap aliran yang seakan tidak terbatas.   Angin dingin melambaikan rambut Ci Siong tojin.   Matanya berkedip satu kali.   "Hari sudah terang,"   Katanya lirih.   "Mengapa mereka masih belum menyusul?"   Tukas Fu Giok-su tanpa sadar.   "Apakah kau menjanjikan keluargamu untuk bertemu di tempat ini?"   Tanya Ci Siong tojin.   "Aku mengatakan bahwa mereka harus menunggu aku di tempat peristirahatan dekat tepi sungai. Dalam jarak dua puluh li dari sini memang hanya ada satu tempat peristirahatan ini saja,"   Sahut Fu Giok-su sambil mengedarkan pandangannya dengan gelisah.   Sayup-sayup terdengar suara roda kereta.   Namun datangnya dari arah yang berlawanan.   194 ***** Suara kereta semakin dekat.   Akhirnya terlihat serombongan kereta membawa peti mati dalam jumlah banyak melintas di samping mereka.   Puluhan laki-laki dengan bertelanjang dada dan kening berkeringat mendorong kereta-kereta tersebut.   Sedangkan di bagian tengah berjalan seorang laki-laki bertubuh gemuk dan bertampang pengusaha.   Dia memberi perintah kepada para laki-laki bertelanjang dada itu agar mendorong kereta berisi peti mati itu lebih cepat.   Fu Giok-su dan Ci Siong tojin saling melirik.   Terlihat segurat kekecewaan pada sinar mata tosu tua tersebut.   Fu Giok-su tidak dapat menahan diri lagi, dia segera maju ke depan menghampiri laki-laki bertubuh gemuk tersebut.   "Maaf, Laopan ...   mengapa begitu banyak peti mati?"   "Apa perlu ditanyakan lagi? Tentu saja karena yang mati juga banyak,"   Sahut laki-laki itu dengan wajah berseri-seri. Fu Giok-su segera menjadi panik, namun dia berusaha untuk tidak terlihat.   "Apakah pemerintah sedang menjalankan hukuman kepada para penjahat?"   Tanyanya kembali.   "Bukan.   Rasanya urusan balas dendam pribadi.   Di dalam kota kecil situ ada sebuah keluarga yang dibunuh bersih dalam satu malam.   Justru pihak gubernur yang membereskan mayat- mayat mereka.   Aku yang jadi korban, pagi ini juga aku sudah harus sampai di kota itu,"   Sahut laki-laki itu menjelaskan. Ci Siong yang mendengarkan perkataan laki-laki tersebut 195 menjadi semakin tidak tenang. Dia cepat-cepat menghampiri.   "Keluarga siapa yang mengalami kejadian demikian tragis?"   Tanya Fu Giok-su cemas.   "Kalau tidak salah, keluarga Fu.   Dulu orang tua mereka juga prajurit istana.   Mungkin karena terlalu banyak dosa, jadi mendapat karma seperti sekarang ini, kata laki-laki itu sambil menggelengkan kepalanya.   Kemudian dia tersenyum lebar.   "Tapi aku justru beruntung.   Belum pernah selama hidupku mendapat pesanan peti mati sebanyak ini.   Sampai kehabisan stok dan meminjam dari teman seusaha yang lain."   Selesai berkata, dia segera mempercepat langkah menuju anak buahnya.   Wajah Fu Giok-su pucat pasi.   Dia berdiri termangu-mangu.   Kedua tangannya terkepal, air mata mulai mengembang.   Tubuhnya terhuyung-huyung.   Ci Siong tojin cepat-cepat memegangi bahunya.   Fu Giok-su berusaha memberontak dan melangkah.   "Kau mau ke mana?"   Hardik Ci Siong tojin.   "Aku akan kembali dan mengadu nyawa dengan orang-orang Bu-ti-bun"   Sahut Fu Giok-su. Dia menggertakkan giginya erat- erat dan langsung menerjang ke depan. Ci Siong tojin menariknya kuat-kuat. Akhirnya langkah kaki Fu Giok-su terhenti juga.   "Kalau kau kembali ke sana sama saja kau mengantar kematian,"   Kata Ci Siong tojin menasihati. 196 "Aku tidak takut mati"   Teriak Fu Giok-su. Wajah Ci Siong tojin semakin serius.   "Tapi dengan kematianmu ini, turunan keluarga Fu pun habis sampai di sini, dendam sedalam lautan ini, siapa yang akan membalasnya?"   Fu Giok-su bagai tersambar petir. Kesadarannya tergugah oleh kata-kata Ci Siong tojin. Tanpa kuasa lagi dia terjatuh dan berlutut di atas tanah.   "Tenangkanlah dirimu, pikirkanlah baik-baik,"   Kata Ci Siong tojin selanjutnya.   "Aku ...."   Dengan air mata berlinang Fu Giok-su menengadahkan wajahnya menatap langit. Kemudian dia menoleh kembali kepada Ci Siong tojin. Dengan panik dia bertanya.   "Locianpwe ... apa yang harus aku lakukan sekarang?"   Ci Siong tojin memandangi Fu Giok-su lekat-lekat.   "Ikutlah aku ke Bu-tong-san. Nanti baru kita pikirkan perlahan,"   Katanya sepatah demi sepatah.   Fu Giok-su tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.   Sejenak kemudian dia baru berdiri.   Angin dingin masih bertiup.   Akhirnya kedua orang itu kembali melangkahkan kaki.   Dengan wajah kelam mereka berjalan.   ***** Senja hari hampir menyelesaikan tugasnya.   Dingin mulai 197 merayap.   Di dalam pendopo asap hio mengepul.   Semuanya membisu.   Suasana hening mencekam.   Hanya Ci Siong tojin seorang yang berlutut di depan meja sembahyang.   Mimik wajah maupun suaranya demikian pilu.   "Pertarungan di atas Kuan-jit-hong ...   tecu benar-benar tidak berguna, tecu kembali mengalami kekalahan di tangan Tok-ku Bu-ti.   Hari ini tecu menghadap Cousu untuk menerima hukuman yang berlaku di partai kita,"   Suaranya demikian lirih, tidak terdengar dari luar pendopo.   Namun, justru suara Gi- song dan Cang-song dapat tertangkap jelas oleh para murid yang berkumpul di luar pendopo tersebut.   Kata-kata yang diucapkan Gi-song maupun Cang-song tentu bukan kata-kata yang enak didengar.   "Kali ini cahaya Bu-tong-pai benar-benar dibuatnya,"   Kata Gi- song.   "Apa tidak? Ini merupakan kekalahannya yang ketiga kali,"   Sambung Cang-song.   "Tampaknya luka yang dia dapatkan tidak ringan. Nanti kalau kita membuat obat, takarannya terpaksa dua kali lipat,"   Kata Gi-song sambil tertawa dingin.   Sebagian murid Bu-tong-pai yang mendengar percakapan itu menunjukkan wajah sedih.   Ada pula yang menundukkan kepala dan menarik napas panjang.   Tentu ada juga yang diam-diam merasa gembira.   Siapa pun dapat melihat, bahwa di dalam Bu-tong-pai sendiri memang mulai terpecah belah.   Tiga kali berturut-turut Tok-ku Bu-ti mengalahkan Ci Siong 198 tojin.   Apakah dia akan kembali seperti sebelumnya, yaitu tetap tidak akan melepaskan Bu-tong-pai begitu saja? Siapa pun tidak berani memastikan hal ini.   Yang pasti Bu-ti-bun semakin naik daun.   Persis seperti semboyannya yang mengatakan bahwa Bu-ti-bun ibarat matahari yang bersinar di tengah hari.   ***** Terdengar suara gemuruh.   Sebuah batu berbentuk persegi hancur seketika di tengah udara.   Pecahannya menghampar ke mana-mana.   Suara kibasan batang bambu tertutup oleh gemuruh tadi.   Ci Siong tojin berdiri di antara hutan bambu.   Lengan bajunya berkibar-kibar tertiup angin.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Mimik wajahnya menunjukkan perasaan gembira yang tidak tersangka.   Di antara embusan pecahan batu-batu, terlihat orang tua yang dipanggil sebagai suheng oleh Ci Siong tojin.   Sehari sebelum berangkat memenuhi perjanjian dengan Tok-ku Bu-ti, dia menghadap Yan Cong-tian.   Laki-laki itu masih seperti orang yang berpenyakit dan duduk menyandar di atas tempat tidurnya yang terbuat dari batu.   Tiba-tiba suhengnya berubah menjadi gesit dan sehat.   Tentu saja Ci Siong tojin senang melihat keadaan ini.   Hanya dengan satu kali pukulan, dia sanggup membuat meja yang berbahan batu itu hancur lebur menjadi ribuan pecahan kecil-kecil.   Hal ini membuktikan bahwa lwekang (tenaga dalam) yang dimiliki suhengnya bahkan sudah jauh di atasnya.   Tubuh Yan Cong-tian mendarat di tanah, rambutnya yang putih dan terurai beterbangan.   Matanya memandang Ci Siong tojin.   199 "Tenaga pukulanku ini ...   apakah dapat ditandingi oleh Mit-kip- mo-kang Tok-ku Bu-ti yang sudah mencapai tingkat delapan itu?"   Tanyanya.   "Rasanya tenaga suheng masih menang setengah tingkat,"   Sahut Ci Siong tojin.   "Kalau begitu, Tok-ku Bu-ti masih bukan tandinganku,"   Kata Yan Cong-tian sambil tertawa terbahak-bahak.   Bagaimanapun juga, dia merupakan satu-satunya orang yang masih disegani oleh Tok-ku Bu-ti.   Juga karena adanya Yan Cong-tian di Bu-tong-san, maka sampai hari ini Tok-ku Bu-ti masih belum mengambil tindakan apa-apa.   Meskipun dia berhasil mengalahkan Ci Siong tojin sebanyak tiga kali.   Kalau melihat tenaga pukulan Yan Cong-tian kali ini, tidak heran apabila Tok-ku Bu-ti masih berpikir panjang untuk menyerang Bu-tong-pai.   Yan Cong-tian masih tertawa senang.   "Bagaimana kalau kau lihat lagi pukulanku yang satu ini?"   Dia menarik napas dalam- dalam, urat-urat di tangannya mulai menonjol.   Wajahnya merah padam.   Kemudian tiba-tiba berubah menjadi kehijauan.   Tubuhnya gemetaran.   Melihat keadaan itu, Ci Siong tojin segera merasakan ada yang tidak beres.   Tergesa-gesa dia mendekati Yan Cong-tian dan memandangnya dari atas ke bawah.   "Suheng, apa yang terjadi?"   Tanyanya cemas. Keringat mengalir deras dari kening Yan Cong-tian.   "Benar- 200 benar menyebalkan!"   Teriaknya marah.   Dia membalikkan tubuh dan menghambur ke rumah batunya.   Ci Siong tojin cepat-cepat menyusul dan memapahnya, tapi tangannya dikibaskan oleh Yan Cong-tian.   Pada saat itu, Ci Siong tojin dapat merasakan bahwa tenaga dari tolakan suhengnya tidak berbeda dengan orang biasa yang tidak mengerti ilmu silat.   Bukan saja dia tidak berhasil melepaskan tangan Ci Siong tojin, tapi malah dirinya yang terdorong.   ***** Keadaan di dalam rumah itu masih remang-remang.   Dengan terhuyung-huyung Yan Cong-tian berhasil juga mencapai tempat tidur.   Dia langsung menjatuhkan diri dan diam seribu bahasa.   Ci Siong tojin menyusul di belakangnya.   Belum sempat kakinya melangkah ke dalam, terdengar Yan Cong- tian marah-marah.   "Kau sudah menyaksikan sendiri, entah di mana letak kesalahannya, tenagaku kadang-kadang ada dan kadang- kadang tidak ada!"   Ketegangannya perlahan mulai mereda.   "Aku sungguh tidak mengerti. Dulunya tidak begini. Sejak melatih Tian-can-sin-kang, aku segera merasakan kelainan ini."   Suara Yan Cong-tian lebih mirip ratapan.   Melihat keadaan tersebut, untuk sesaat Ci Siong tojin tidak tahu bagaimana harus menghibur hati suhengnya.   "Tian-can-kiat kali ini benar-benar terasa seperti senjata makan tuan.   Kalau sejak semula tahu begini jadinya, lebih baik aku tidak melatih ilmu ini,"   Kata Yan Cong-tian sambil 201 tertawa getir.   "Apakah benar-benar Thian murka kepada Bu-tong?"   Sahut Ci Siong tojin tanpa sadar. Darahnya menggelegak. Wajahnya berubah dan akhirnya dia terbatuk-batuk. Yan Cong-tian memperhatikan Ci Siong tojin dengan seksama.   "Tampaknya lukamu tidak ringan."   Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya.   "Paling tidak separo dari urat nadi dalam tubuhku ini sudah terhajar putus. Tenaga dalamku tinggal empat bagian,"   Tanpa dapat menahan diri lagi, dia menarik napas panjang.   "Apa gunanya sedikit-sedikit menarik napas?"   Kata Yan Cong- tian dengan nada tidak senang.   Ci Siong tojin diam termenung, Yan Cong-tian juga tidak tahu apa yang harus dikatakan.   Setelah sekian lama, Ci Siong baru tersadar dari lamunannya.   "Dalam dua tahun ini, kecuali ada mukjizat atau keajaiban yang terjadi, kalau tidak tenagaku paling-paling dapat pulih menjadi tujuh bagian saja.   Kalau dilihat dari keadaan sekarang, satu-satunya jalan hanyalah memilih beberapa murid berbakat dan ajarkan mereka Bu-tong-liok-kiat (enam jurus ampuh Bu-tong).   Mereka harus berlatih keras.   Setahun kemudian, apabila mereka dapat mencapai hasil yang memuaskan, ditambah lagi dengan Wan ji maka kita dapat membentuk barisan Pat-tou-jit-sing-ceng.   Aku berharap cara ini dapat mengalahkan Tok-ku Bu-ti.   Seandainya tidak juga, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi,"   Katanya. 202 Yan Cong-tian merenung sejenak.   "Bagus ... akal bagus!"   Akhirnya dia setuju dengan rencana tersebut.   "Tapi .... Bu-tong-liok-kiat biasanya hanya boleh diwariskan kepada Ciangbunjin saja."   "Urusan sudah sampai sedemikian rupa, bagaimana kita bisa berpikir yang lainnya lagi?"   Tukas Yan Cong-tian.   "Kalau suheng memang tidak keberatan, kita putuskan demikian saja,"   Kata Ci Siong tojin. Terdengar suara langkah kaki dari luar rumah. Ci Siong tojin mengerutkan keningnya erat-erat. Yan Cong-tian malah seperti tidak mendengarnya. Sekali ketukan pintu terdengar. Dengan kemalas-malasan Yan Cong-tian menyahut.   "Masuk!"   Sebuah suara mengiakan dan pintu didorong dari luar. Tangan orang itu membawa baki makanan. Dia adalah Wan Fei-yang. Ci Siong tojin terpana melihatnya. Anak muda itu sendiri tidak menduga Ci Siong tojin ada di sana.   "Ciangbunjin,"   Sapanya. Ci Siong tojin menyahut datar.   "Tecu tidak tahu Ciangbunjin ada di sini. Sekarang juga tecu akan membawakan lagi nasi dan hidangan untuk Ciangbunjin,"   Kata Wan Fei-yang selanjutnya. 203 "Tidak usah ..."   Sahut Ci Siong tojin sambil mengibaskan tangannya. Wan Fei-yang terpaksa mengundurkan diri. Sampai di luar pintu, dia mendengar ucapan Yan Cong-tian.   "Pembawaan anak ini boleh juga."   Tanpa sadar Wan Fei-yang menghentikan langkah kakinya dan berdiri memasang telinga. ***** Tidak terdengar suara Ci Siong tojin memberi reaksi atas ucapan Yan Cong-tian tadi.   "Mengapa kau tidak menerimanya sebagai murid?"   Tanya Yan Cong-tian kembali.   "Justru karena riwayatnya ada masalah,"   Sahut Ci Siong tojin.   "Masalah apa?"   Tanya Yan Cong-tian.   "Dia mengikuti she (marga) ibunya. Sedangkan yang mana ayahnya atau siapa orangnya dia sendiri tidak tahu."   Ci Siong tojin menghela napas panjang.   "Tentu suheng tidak lupa kejadian dua puluh tahun yang lalu."   Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya.   "Sejak kejadian itu, suhu telah memutuskan bahwa Bu-tong- pai hanya menerima orang yang riwayatnya bersih sebagai murid,"   Kata Ci Siong tojin selanjutnya.   "Tidak salah.   Tapi sekarang kita kekurangan tenaga.   Lagi pula, bocah ini sudah tinggal di Bu-tong-san sekian tahun, 204 selama ini tidak terlihat sesuatu yang menghawatirkan.   Begini saja, bagaimana kalau aku yang bertanggung jawab,"   Sahut Yan Cong-tian.   "Rasanya Gi-song dan Cang-song tidak akan setuju dengan usul ini,"   Kata Ci Siong tojin seakan kepada dirinya sendiri.   "Kedua orang yang usil itu ... hm .... tidak usah kau pedulikan mereka. Seandainya mereka tidak senang, biar mereka mencari aku,"   Kata Yan Cong-tian sambil mendengus dingin.   "Biar aku pikirkan lagi baik-baik ..."   Wan Fei-yang yang berada di luar dan mendengarkan percakapan ini, tentu saja merasa senang sekali.   Dia langsung berlari menuju luar hutan.   Setelah berada di luar hutan bambu, tanpa dapat menahan diri lagi dia berteriak kesenangan.   Langkah kakinya dipercepat.   ***** Angin bertiup sejuk, udara di atas Bu-tong-san hari ini sangat dingin.   Para murid Bu-tong-pai sama sekali tidak mempedulikan keadaan cuaca.   Mereka malah menjadi kemalas-malasan karena udara yang sejuk itu.   Demikian juga Wan-ji.   Ketika Wan Fei-yang melihatnya, dia sedang berjalan mondar-mandir di taman bunga.   Dari jauh Wan Fei-yang sudah melihatnya, dia segera berlari-lari mendekati.   Ketika jaraknya tidak seberapa jauh lagi, Wan-ji baru merasakan kehadirannya.   Melihat cara jalan dan mimik wajah Wan Fei-yang yang berseri-seri, dia menjadi heran.   205 "Wan-ji kouwnio ...."   Panggil Wan Fei-yang sambil menambah kecepatan kakinya.   Mendengar panggilan itu, Wan-ji menghentikan langkah kakinya.   Wan Fei-yang melesat ke samping gadis itu.   "Aku ingin memberitahukan sebuah kabar baik.   Ciangbunjin telah bersedia menerima aku sebagai murid,"   Katanya tergesa- gesa. Wan-ji terpana mendengar keterangan tersebut.   "Oh?"   "Benar!"   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kata Wan Fei-yang dengan penuh semangat.   Wan-ji semakin terpana ketika pemuda itu menarik tangannya.   Sejenak kemudian dia baru tersadar dan mengibaskan tangan Wan Fei-yang.   Pemuda itu sama sekali tidak peduli dengan sikapnya.   "Mungkin besok akan disiarkan,"   Katanya kemudian. Mendengar keterangan tersebut, Wan-ji ikut senang.   "Lain kali kau tidak akan menerima hinaan lagi dari para suheng,"   Sahutnya.   Kepala Wan Fei-yang manggut berkali-kali.   Pada saat itu juga, Pek Ciok mengiringi Fu Giok-su datang dari pintu samping.   Mereka menghampiri Wan-ji.   Tampang Fu Giok-su kuyu sekali.   Sedangkan Pek Ciok yang masih menyedihkan kekalahan Ci Siong tojin juga tidak berbeda.   Melihat Wan Fei-yang, Pek Ciok menghentikan langkah 206 kakinya.   "Siau Fei (Fei cilik) aku mencarimu ke mana-mana.   Tidak tahunya kau ada di sini,"   Katanya. Dengan penuh semangat Wan Fei-yang mendekatinya.   "Toa- suheng, ada urusan apa kau mencariku?"   Tanyanya. Pek Ciok menoleh kepada Fu Giok-su.   "Ini adalah Fu-kongcu, tentu kau sudah tahu,"   Katanya. Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya.   "Kami pernah bertemu satu kali ketika Ciangbunjin baru pulang,"   Sahutnya.   "Cepat kau bereskan kamar yang ada di luar taman, biar Fu- kongcu dapat beristirahat segera,"   Perintah Pek Ciok kemudian.   "Ini soal kecil ..."   Wan Fei-yang memalingkan wajahnya.   "Fu- kongcu, mari."   "Merepotkan saudara ...."   Mata Wan-ji bertemu pandang dengan Fu Giok-su, tanpa sadar wajahnya menjadi merah padam. Kepalanya tertunduk.   "Jangan sungkan,"   Sahut Wan Fei-Yang tanpa memperhatikan keadaan kedua orang itu. Dia mengiringi Fu Giok-su sebagai pendamping. Setelah berjalan beberapa langkah, Wan Fei-yang seperti 207 teringat sesuatu. Dia menolehkan kepalanya dan berkata kepada Wan-ji.   "Sungguh-sungguh! Aku tidak bohong!"   Maksud ucapannya itu ditujukan kepada Wan-ji, Pek Ciok salah tangkap. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan Wan Fei-yang.   "Apanya yang sungguh-sungguh?"   Tanyanya bingung.   "Tidak ... tidak apa-apa,"   Wan Fei-yang tersenyum sekali kepada Wan-ji lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.   Wan-ji membalas senyuman itu.   Senyumannya demikian indah laksana bunga-bunga yang bermekaran.   Fu Giok-su terpesona.   Akhirnya dia meneruskan langkahnya kembali.   Pek Ciok dan Wan-ji memandangi kepergian mereka.   Pek Ciok yang melihat Wan-ji saling tersenyum dengan Wan Fei- yang dengan muka berseri-seri menjadi heran.   "Sumoay, mengapa Siau Fei demikian gembira?"   Tanyanya tanpa sadar.   "Dia bilang susiok akan mengangkatnya sebagai murid."   "Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengatakan hal yang sama,"   Pek Ciok tertawa dingin.   "Aku rasa dia terlalu ambisius ingin belajar silat sehingga keblinger."   "Sebetulnya dia anak yang baik,"   Kata Wan-ji dengan nada kasihan.   Pek Ciok mau tak mau mengakui.   Matanya memandang Wan Fei-yang yang melangkah di kejauhan.   Sekali lagi dia menggelengkan kepalanya.   208 ***** Setelah membereskan kamar, Wan Fei-yang juga menyeduh seteko teh.   Baru saja dia mengambilkan sebuah cawan, Fu Giok-su sudah mengulurkan tangan menerimanya.   "Biar aku sendiri saja,"   Katanya.   "Sama saja,"   Sahut Wan Fei-yang sambil menuangkan teh ke dalam cawan.   "Terima kasih,"   Kata Fu Giok-su sopan. Wajahnya masih bermuram durja. Wan Fei-yang merasa pemuda ini agak cocok dengan dirinya, maka dari itu, dia berani banyak bicara dengannya.   "Kali ini, untung suhu mendapat bantuanmu,"   Katanya. Fu Giok-su tertawa getir, tampaknya dia sedang banyak pikiran. Wan Fei-yang segera menghiburnya.   "Orang yang mati tidak bisa hidup kembali. Jangan sampai kesedihan membuatmu berubah. Pokoknya, kami orang-orang Bu-tong- pai akan membalaskan dendammu."   Fu Giok-su masih tertawa getir.   "Ilmu silat Bu-tong-pai merupakan ilmu nomor satu di kolong langit. Sebuah partai seperti Bu-ti-bun saja tidak akan dipandang sebelah mata oleh kami. Harap kau jangan khawatir,"   Kata Wan Fei-yang sok tahu. Fu Giok-su memandangnya dengan tatapan penuh terima kasih.   "Maksud baik Wan-heng hanya dapat siaute simpan 209 dalam hati,"   Sahutnya.   "Kau panggil aku Siau Fei saja."   "Mana boleh?"   Tiba-tiba Fu Giok-su mengalihkan pokok pembicaraan.   "Oh ya, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di Bu-tong-san. Mengenai peraturan-peraturan yang ada, aku masih buta. Harap Wan-heng bersedia menegur apabila ada kesalahan."   "Mulai lagi ..."   Wan Fei-yang merenung sejenak.   "Peraturan khusus sih tidak ada. Hanya para suheng senang sekali bercanda. Jangan masukkan dalam hati."   Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. Pandangannya menerobos lewat jendela di taman.   "Satu hal lagi yang hampir aku lupakan. Gunung bagian belakang itu adalah daerah terlarang, jangan sekali-kali pergi ke sana."   "Hm ...."   Tanpa sadar mata Fu Giok-su mengerling ke arah yang ditunjuk Wan Fei-yang.   "Aku tinggal di ruangan belakang sana,"   Jari Wan Fei-yang menunjuk ke arah timur.   "Kalau ada perlu apa-apa, kau boleh berteriak saja. Aku pasti akan mendengarnya dan langsung datang ke mari."   Fu Giok-su menganggukkan kepalanya.   Wan Fei-yang segera mohon diri.   Setelah Wan Fei-yang meninggalkan tempat itu, Fu GiokSu masih berdiri termangu-mangu.   Pandangan matanya tidak bergeser dari gunung belakang yang ditunjuk Wan Fei-yang tadi.   Apa yang sedang dipikirkannya? Tidak ada yang tahu, kecuali 210 dirinya sendiri tentunya.   Sedangkan malam semakin mendekat.   ***** Pada hari kedua, ketika Wan Fei-yang bangun dan mendorong pintu kamarnya, dia bagaikan orang yang lain.   Pakaiannya baru, sepatunya baru, bahkan rambutnya juga disisir rapi sekali.   Di antara gelungannya terdapat sebuah pita yang baru pula.   Ini juga merupakan pakaian baru satu-satunya yang dia miliki.   Selama ini dia menyimpannya baik-baik dalam sebuah kotak, baru hari ini semua itu dikeluarkannya.   Sejak pagi buta tadi, sudah ada kabar bahwa Ci Siong tojin meminta semua murid Bu-tong berkumpul di ruangan pendopo.   Dalam pikiran Wan Fei-yang, tidak ada urusan lebih besar lagi daripada menerimanya sebagai murid dan akan disiarkan hari ini, selain memilih murid-murid berbakat untuk mempelajari Bu-tong-liok-kiat.   Dia berjalan menuju pendopo itu dengan dada dibusungkan, tampaknya dia sangat bergaya.   Bertemu dengan para murid Bu-tong lainnya, dia tidak lagi menghindarkan diri, tapi menyapa mereka satu per satu.   Berita ini sudah tersebar.   Melihat keadaannya pagi ini, yang lainnya menjadi setengah yakin setengah tidak.   Sampai di ruangan pendopo yang luas, gaya Wan Fei-yang semakin meyakinkan.   Rasa bangganya semakin menonjol.   Melihat di belakangnya datang beberapa saudara seperguruannya, dia segera mempersilakan mereka.   "Cu-wi 211 suheng, silakan."   Beberapa orang itu kelihatannya sedang memikirkan keadaan mereka sendiri.   "Silakan ... kau saja yang duluan,"   Kata salah satu dari mereka tanpa memperhatikan siapa orangnya yang menyapa. Wan Fei-yang merasa semakin bangga mendengar jawaban orang itu.   "Jangan sungkan, silakan,"   Sahutnya. Yang lainnya segera merasa lucu melihat gayanya.   "Hari ini adalah hari istimewa bagimu, kau saja yang masuk duluan,"   Sahut salah satu orang entah dengan maksud tulus atau menyindir.   Yang lainnya ikut mengalah dan mempersilakan Wan Fei-yang dengan sikap sungkan.   Melihat para suheng itu demikian menghargainya hari ini, hatinya senang sekali.   Dia tidak menolak lagi.   Kakinya melangkah lebar ke dalam ruangan pendopo.   Di dalam ruangan tersebut, para murid Bu-tong sudah banyak juga yang berkumpul.   Tapi wajah mereka tampak agak muram.   Gi-song dan Cang-song memandang ke sekitar.   Mereka mulai kehabisan sabar.   Fu Giok-su juga ada di antara kumpulan murid Bu-tong lainnya.   Melihat pemuda itu, Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.   Fu Giok-su juga menganggukkan kepalanya sebagai balasan.   Senyumnya agak dipaksakan.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kelihatannya perasaan anak muda itu masih digelayuti kesedihan.   Lun Wan-ji juga sudah 212 hadir.   Dia berdiri di sudut ruangan yang jaraknya tidak seberapa jauh.   Wan Fei-yang tadinya bermaksud menghampiri, tapi setelah berpikir sejenak dia membatalkannya.   Dia bertemu pandang dengan gadis itu lalu saling mengembangkan senyuman.   Hampir semua mata murid Bu-tong-pai beralih kepada Wan Fei-yang, dada anak muda itu semakin dibusungkan saja.   Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan.   Semua orang terdiam.   Tidak lama kemudian, tampak Pek Ciok mengiringi Ci Siong tojin masuk ke dalam ruangan.   Setiap orang segera membungkuk hormat.   Ci Siong tojin meneruskan langkah kakinya dan duduk di atas kursi.   Dia mengibaskan tangannya.   Pek Ciok mengundurkan diri ke samping.   Sinar mata Ci Siong tojin beredar pada setiap orang dalam ruangan tersebut.   Kepalanya setengah tertunduk, wajahnya pucat pasi.   Kentara sekali bahwa tubuhnya sama sekali tidak sehat.   Sejenak kemudian baru dia berbicara.   "Keadaan bu-lim di Tionggoan selama ini damai tanpa masalah.   Namun sejak berdirinya Bu-ti-bun, kedamaian dan ketenteraman tidak ada lagi.   Bu-tong-pai dan Bu-ti-bun selalu mempunyai pendirian yang berbeda dan sudah menjadi musuh bebuyutan selama ratusan tahun.   Juga merupakan partai pertama yang dianggap menghalangi Bu-ti-bun dan ingin mereka lenyapkan."   Mendengar sampai di sini, sebagian besar paras murid Bu- tong-pai mulai berubah.   Ci Siong tojin masih mengedarkan pandangannya.   Sejenak kemudian dia meneruskan kembali.   "Tanggal sembilan bulan sembilan yang lalu, Punco kembali memenuhi perjanjian dan mengalami kekalahan.   Tok-ku Bu-ti 213 mengeluarkan ucapan, apabila dalam jangka dua tahun partai kita tidak ada yang sanggup mengalahkannya, maka dia akan membumihanguskan Bu-tong-san."   Gi-song tidak dapat menahan diri lagi.   "Kalau begitu kita ..."   Tukasnya.   Ci Siong tojin tidak mempedulikannya, dia masih meneruskan perkataannya.   "Ilmu Mit-kip-mo-kang Tok-ku Bu-ti sudah dilatih sampai tingkat delapan.   Untuk saat sekarang ini, masih belum ada orang dari partai kita yang dapat menandinginya.   Oleh karena itu, Punco kemarin telah merundingkan masalah ini dengan Yan-suheng.   Kami memutuskan untuk memilih enam orang yang berbakat, masing-masing mempelajari satu macam ilmu andalan Bu-tong-pai.   Setelah itu berlatih keras dan bekerja sama dengan kompak untuk menghadapi musuh di kemudian hari."   Setiap orang yang ada dalam ruangan itu segera memasang telinganya dan mempertajam mata memperhatikan.   "Enam orang ini harus berlatih segiat mungkin.   Hari ini tahun depan, Punco akan menguji mereka satu per satu.   Siapa yang ilmunya paling tinggi, akan terpilih menjadi Ciangbunjin generasi kesembilan belas."   Gi-song dan Cang-song semakin saling melirik dengan pandangan dingin.   Mereka tidak berkata apa-apa.   Yang lainnya semakin menaruh perhatian atas perkataan Ci Siong tojin.   Fu Giok-su masih berdiri dengan mata menerawang.   Seakan tidak terlalu menaruh perhatian atas apa Yang 214 menjadi pokok pembicaraan Ci Siong tojin.   Sementara itu Wan Fei-yang semakin membusungkan dada.   Tanpa sadar dia merapikan pakaiannya berkali-kali.   Wajah Ci Siong tojin semakin kelam.   "Pek Ciok!"   Panggilnya. Meskipun suaranya sangat lemah namun mengandung kemantapan yang sulit dilukiskan. Pek Ciok segera maju dan berlutut di depan kaki Ci Siong tojin. ***** "Mewarisi Liong-gi-kiam,"   Ujar Ci Siong tojin sepatah demi sepatah.   "Cia Peng ...   mewarisi Pik-leng-ciang (telapak tenaga kilat)"   "Yo Hong ...   mewarisi senjata rahasia Fei-hun-cong (terjangan awan terbang)"   "Giok Ciok ...   mewarisi Suang-kiat-kun (tongkat ganda)"   "Kim Ciok ...   mewarisi Kui-sua-to (golok pembuka gunung)"   Setiap orang yang namanya dipanggil langsung berlutut di hadapan kaki Ci Siong tojin.   Wajah Gi-song dan Cang-song semakin lama semakin tidak sedap dipandang.   Hati Wan Fei- yang semakin tegang saja.   Sekali lagi Ci Siong tojin mengedarkan pandangannya.   Dia memperhatikan mereka satu per satu dengan tatapan 215 menyelidik.   "Orang keenam agak istimewa.   Punco sudah mempertimbangkan cukup lama.   Dia bukan murid Bu-tong-pai.   Karena hatinya lurus dan baik dan mempunyai hubungan yang dalam dengan Punco, ditambah lagi rasa hormatnya yang tinggi, maka Punco mengambil keputusan untuk mengambil dia sebagai murid penutup dan mewariskan Sou-hou-cang (senjata pengunci tenggorokan)"   Begitu ucapan Ci Siong tojin selesai, pandangan setiap orang beralih kepada Wan Fei-yang.   Pada saat itu, Wan Fei-yang merasakan tenggorokannya kering kerontang, paniknya setengah mati.   Dadanya masih membusung, menantikan pengumuman dari Ci Siong tojin.   Tanpa sadar dia mengerling ke arah Lun Wan-ji.   "Fu Giok-su!"   Suara Ci Siong tojin seakan menggelegar dalam ruangan.   Wan Fei-yang malah merasa seperti ada seember air dingin menyirami kepalanya.   Murid-murid Bu-tong-pai yang berdiri di belakangnya memperdengarkan suara tawa dingin.   Fu Giok- su tenang sekali.   Dia melangkahkan kakinya setelah menyahut satu kali dan berlutut di depan kaki Ci Siong tojin.   Wan Fei-yang memutar kakinya menuju ke luar ruangan.   Dadanya disurutkan kembali, kepalanya tertunduk.   Seumur hidupnya, baru kali ini dia merasa begitu malu.   Suara Ci Siong tojin yang masih berkumandang bagaikan anak panah yang menusuki hatinya.   "Punco mewariskan Sou-hou-cang kepadamu, harap kau 216 menerimanya dengan sepenuh hati.   Jangan mengecewakan Punco, juga jangan sampai membuat harapan Punco tergantung di atas langit."   Sekarang kata-kata yang diucapkan oleh Ci Siong tojin, tidak syak lagi hanya ditujukan, kepada Fu Giok-su.   Wan Fei-yang bermaksud segera meninggalkan ruangan pendopo tersebut, tapi kakinya seperti terpaku, sulit sekali digerakkan.   "Kecuali keenam orang ini, murid-murid lainnya sudah boleh meninggalkan tempat ini,"   Kata Ci Siong tojin selanjutnya.   Semua orang mengiakan dan berjalan keluar.   Generasi yang lebih muda memandang Pek Ciok dan lima orang lainnya dengan tatapan kagum.   Wajah Gi-song dan Cang-song semakin tidak enak dilihat.   Sampai di luar pendopo, Gi-song tidak dapat menahan dirinya lagi.   Dia mengomel panjang lebar.   "Semua yang terpilih merupakan murid-muridnya, murid kita satu pun tidak ada yang terpilih."   Cang-song menganggukkan kepalanya.   "Memang benar ... apa-apaan itu tadi? Kurang ajar ... benar- benar kurang ajar!"   Gerutunya.   "Bagaimana pun kita harus minta keadilan darinya,"   Mulut Gi- song berkata demikian, tapi langkah kakinya semakin jauh meninggalkan ruangan pendopo.   Wan Fei-yang menyelinap di antara orang banyak.   Kepalanya 217 tertunduk dan wajahnya merah padam.   Melihat Lun Wan-ji, semakin malu dan salah tingkah.   Setelah keluar dari halaman pendopo, dia berlari secepatnya.   Meninggalkan kerumunan yang masih ramai membicarakan kejadian tadi.   ***** Malam semakin larut, angin semakin dingin.   Di tanah lapang yang terpencil Wan Fei-yang menggerakkan senjatanya seperti orang kalap.   Dia berlatih terus tanpa kenal lelah.   Matanya menyorotkan kemarahan.   Senjatanya yang berbentuk capitan bergerak telengas dan keji.   "Crep!", senjata itu menancap pada sebatang pohon besar.   "krek!", pohon itu patah seketika.   Hawa amarah Wan Fei-yang seperti sudah terlampiaskan, dia mencabut senjatanya dan meletakkan di tanah.   "Suhu, sebetulnya ilmu yang bagaimana Bu-tong-liok-kiat tersebut?"   Tanyanya. Manusia berpakaian hitam berdiri di samping sambil memeluk kedua tangannya.   "Untuk apa kau menanyakan hal ini?"   "Aku hanya ingin tahu, apakah ilmu yang aku pelajari sekarang setaraf dengan ilmu Bu-tong-liok-kiat?"   Kata Wan Fei-yang tanpa berpikir panjang. 218 "Lagi-lagi kau berpikir yang bukan-bukan."   Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya.   "Ci Siong tojin itu, aku benar-benar tidak mengerti mengapa dia begitu membenci aku?"   Manusia berpakaian hitam itu tidak memberikan reaksi apa- apa.   "Selama ini aku selalu mengira Gi-song dan Cang-song dua orang tua bangka itu yang selalu mencari gara-gara denganku.   Tidak tahunya Ci Siong tojin juga."   "Hm ...."   "Kemarin aku mengantarkan makanan untuk Yan Cong-tian.   Aku mendengar dengan jelas, Yan Cong-tian sendiri mengatakan bahwa aku anak yang baik, layak diterima sebagai murid.   Malah dia bersedia melunakkan hati Gi-song dan Cang-song.   Dia menasihati Ci Siong tojin.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Siapa kira orang tua itu malah memilih Fu Giok-su!"   Kata Wan Fei-yang selanjutnya. Manusia berpakaian hitam itu masih berdiam diri.   "Aku sama sekali tidak membenci Fu Giok-su, hanya tidak puas dengan tindakan Ci Siong tojin!"   Wan Fei-yang masih menggerutu panjang lebar.   "Kau tidak perlu sakit hati. Ilmu yang aku ajarkan sama sekali tidak di bawah Bu-tong-liok-kiat. Yang penting kau harus giat berlatih. Suatu hari pasti dapat menonjolkan diri di dunia 219 kangouw,"   Gumam manusia berpakaian hitam tersebut.   Wan Fei-yang memandangi manusia berpakaian hitam itu lekat-lekat.   Akhirnya dia dapat mengendalikan perasaannya.   Gurunya itu juga tidak berkata apa-apa lagi.   Tangannya dikibaskan.   Wan Fei-yang menggertakkan giginya erat-erat.   Sekali lagi senjatanya yang berbentuk capitan diluncurkan.   Suaranya menderu-deru.   ***** Pada hari yang sama, di atas meja pada kantor pusat Bu-ti- bun tergeletak tiga helai panji telapak darah.   Mereka mendapatkannya dari tiga tempat yang berbeda.   Pertama di rumah sepasang suami istri yang tua, kedua di tempat praktik tabib Mok dan yang terakhir dari rumah makan dan penginapan Cui-sian-lou.   Seorang anak buah Bu-ti-bun mengambil ketiga helai panji itu dan memanteknya di atas dinding sebelah kiri.    Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Si Rase Hitam Karya Chin Yung

Cari Blog Ini