Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 6


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 6


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   Di dalam ruangan terdapat empat orang Hu-hoat dari Bu-ti-bun, lima orang tongcu.   Mata mereka semua menatap ke arah tiga helai panji yang terpantek di atas dinding.   Wajah mereka kelam sekali.   Tiba-tiba Kongsun Hong menggebrak meja dan berdiri dari kursinya.   "Entah orang dari golongan mana yang telah menelan nyali harimau sehingga berani memalsukan telapak tangan darah dari Bu-ti-bun kita!"   Teriaknya marah.   220 Tok-ku Bu-ti telah menyebarkan panji telapak darah dan memberi amanat bahwa siapa pun tidak boleh mengganggu Ci Siong tojin.   Tentu mereka tidak berani membangkang perintah tersebut.   Tapi Ci Siong tojin sama sekali tidak tahu adanya perintah itu.   Ketika berita tersebar sampai di telinga anggota-anggota Bu-ti- bun, mereka segera turun tangan menyelidiki.   Mereka sama sekali tidak berhasil menemukan orang yang mencurigakan.   Hanya tiga helai panji tersebut yang mereka dapatkan.   Seluruh anggota Bu-ti-bun terkejut mengetahui adanya kejadian semacam ini.   Sejak berdirinya Bu-ti-bun, baru pertama kali mereka menghadapi masalah seperti ini.   Tok-ku Hong bahkan lebih marah daripada Kongsun Hong.   "Pasti musuh besar Bu-tong-pai telah memperhitungkan segalanya dan melemparkan kesalahan kepada pihak kita.   Orang itu memang cerdik sekali.   Dia menggunakan akal memancing ikan di air keruh,"   Katanya. Kongsun Hong menganggukkan kepalanya berkali-kali.   "Menunjukkan ekor menyembunyikan kepala. Siapa diri mereka pun tidak berani diberitahukan umum. Orang semacam ini juga tidak mungkin mempunyai kepandaian seberapa tinggi!"   Sahutnya dengan wajah merah padam.   "Biar bagaimana, kita harus menyelidiki masalah ini sampai tuntas. Kita harus menemukan orang yang memalsukan telapak darah tersebut,"   Kata Tok-ku Hong dengan nada dingin dan datar. 221 "Tentu saja!"   Cian-bin-hud, salah satu dari empat orang Hu-hoat Bu-ti-bun segera membuka suara.   "Apakah kita harus melaporkan masalah ini kepada Buncu?"   Kongsun Hong menggelengkan kepalanya.   "Suhu sedang menutup diri melatih ilmu, kita tidak boleh mengejutkannya."   Tok-ku Hong mendengus dingin.   "Takut apa? Kau tidak pergi, aku yang ke sana!"   Katanya. Kongsun Hong segera mencegahnya.   "Sumoay ... urusan tetek-bengek semacam ini ...."   "Urusan tetek-bengek?"   Mata Tok-ku Hong mendelik lebar- lebar kepada Kongsun Hong.   "Ada orang yang memalsukan telapak darah Bu-ti-bun kau katakan urusan kecil?"   Kongsun Hong tertawa sumbang.   "Sumoay, biar aku turun gunung untuk menyelidiki urusan ini. Kalau tidak ada hasilnya, baru kita rundingkan kembali, bagaimana?"   Mata Tok-ku Hong mengerling sekilas.   "Aku juga ikut!"   Kongsun Hong terpana, wajahnya berubah pucat. Keempat orang Hu-hoat saling melirik sekilas. Belum sempat mereka menyatakan apa-apa, Tok-ku Hong sudah berteriak kembali.   "Kalau kau boleh pergi, mengapa aku tidak?"   Kongsun Hong semakin terpana. Melihat suhengnya yang diam saja, Tok-ku Hong semakin merajuk.   "Kalau kau tidak mengizinkan aku ikut, lain kali jangan menemui aku lagi!" 222 ancamnya garang. Gadis itu langsung membalikkan tubuhnya dengan maksud meninggalkan tempat itu. Kongsun Hong menjadi panik seketika.   "Sumoay ...!"   Panggilnya gugup.   "Ada apa?"   Tanya Tok-ku Hong tanpa memalingkan kepalanya.   "Kalau kau memang hendak ikut, boleh saja. Tapi sepanjang perjalanan kau harus menurut kata-kataku. Jangan berbuat sekehendak hati sehingga menimbulkan masalah baru,"   Kata Kongsun Hong.   Tok-ku Hong merenung sejenak, kemudian dia menganggukkan kepalanya.   Dia sudah lama menunggu kesempatan seperti ini.   Tok-ku Bu-ti tidak pernah mengizinkan dia merantau seorang diri.   ***** Dunia luar bagi Tok-ku Hong merupakan sesuatu yang baru dan aneh.   Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak tergesa- gesa dalam melakukan perjalanan.   Kongsun Hong tidak berani mengatakan apa-apa.   Meskipun dia sangat garang, tapi terhadap Tok-ku Hong, dia selalu menurut.   Persis seperti seekor domba.   Hari cerah sekali, angin bertiup sepoi-sepoi.   Ini merupakan hari kelima, mereka sudah sampai di dusun sebelah timur.   Jalanan ramai sekali, rupanya ada yang sedang mengadakan hajatan.   223 Pengantin pria duduk di atas kuda, di belakangnya terdapat sebuah tandu yang indah.   Di antara sorak para penduduk, dia menjalankan kudanya dengan wajah berseri-seri menuju luar kota.   Di kiri kanan jalan banyak penduduk sedang menyaksikan keramaian.   Beberapa laki-laki berpakaian hitam juga berkerumun di antara orang banyak.   Mereka mulai mendekati tandu yang indah itu.   Kerumunan orang-orang yang menghalangi mereka mulai terdorong.   Ada beberapa yang merasa tersinggung, namun ketika melihat orang-orang itu, mereka malah menjadi ketakutan.   Sebagian besar mengalah dan memberi jalan kepada mereka.   Sejak tadi pengantin pria itu masih belum merasakan apa-apa.   Ketika dia mengetahuinya, wajahnya segera berubah hebat.   Laki-laki berpakaian hitam yang mungkin bertindak sebagai kepala rombongan pendatang itu menyeruak di antara orang banyak dan akhirnya mengadang di depan pengantin pria tersebut, Dia memperhatikan sang pengantin pria dari atas kepala sampai ujung kaki.   "Coba kalian lihat, jelek sekali pengantin pria ini!"   Katanya. Laki-laki berpakaian hitam yang ada di belakangnya segera tertawa terbahak-bahak.   "Bagi laki-laki yang penting kantongnya, jelek sedikit kan tidak apa-apa. Lain kalau perempuan,"   Kata salah satunya.   "Coba kalian terka, apakah pengantin perempuan ini cantik atau tidak?"   Kata orang yang pertama. 224 "Kalau cantik, masa dia bersedia menikah dengan laki-laki sejelek itu?"   Sahut yang lainnya.   "Kalau menurut aku, justru sangat cantik. Bukankah pepatah ada yang mengatakan bahwa rembulan selalu menantikan burung pungguk?"   Oceh yang pertama sembarangan.   "Mana ada pepatah seperti itu? Lebih baik kita lihat saja sendiri,"   Sahut rekannya menganjurkan.   Laki-laki berpakaian hitam yang lain segera menyetujuinya.   Mereka mendorong para dayang yang mengawal di depan tandu dan menyingkapkan tirainya.   Pengantin pria tidak tahu apa yang harus dilakukannya.   Pengantin perempuan di dalam tandu sudah menjerit ketakutan.   Laki-laki berpakaian hitam tadi tertawa terbahak-bahak.   Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu hanya dapat menahan amarah dalam hati.   "Apa yang kau katakan memang benar.   Hanya perempuan sejelek ini yang bersedia menikah dengan si burung pungguk!"   Kata laki-laki berpakaian hitam yang menjadi pemimpin.   Masih tertawa terbahak-bahak mereka segera meninggalkan tandu dan berjalan di tempat semula.   Para penonton segera menghindar dan bubar, ke rumah masing-masing.   Hanya Kongsun Hong dan Tok-ku Hong berdua yang masih tegak di tempat semula.   Tok-ku Hong memandangi laki-laki berpakaian hitam itu dengan tatapan dingin.   Kongsun Hong tentu tahu bagaimana adat Tok-ku Hong.   Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, tapi 225 dia sama sekali tidak menasihati Tok-ku Hong untuk pergi dari situ.   Beberapa laki-laki berpakaian hitam tersebut memandangi Tok-ku Hong lekat-lekat.   "Lihat ... yang ini jauh lebih cantik!"   Kata sang pemimpin.   "Kalau dia bersedia menjadi pengantinku, aku bersedia umurku berkurang tiga puluh tahun,"   Sambung rekannya.   "Kalau boleh mengecupnya saja aku sudah puas,"   Kata seorang lainnya.   Dia segera menghampiri Tok-ku Hong.   Siapa sangka gadis itu mengangkat kakinya dan menendang orang itu sampai terpelanting di atas tanah.   Teman-temannya yang lain masih belum menyadari kehebatan Tok-ku Hong.   Mereka malah tertawa terbahak- bahak melihat temannya jatuh terpelanting.   Laki-laki itu malah marah-marah.   "Budak cilik! Kau berani membokong toaya ini?"   Tangannya bergerak.   Sebatang golok sudah berada dalam genggamannya.   Tok-ku Hong tertawa dingin.   Kongsun Hong maju dua langkah dan mengadang di depan sumoaynya.   Pada saat itu, laki-laki berpakaian hitam yang lain baru merasakan bahwa sepasang laki-laki dan perempuan ini bukan orang biasa.   Mereka segera mengurung Kongsun Hong dan Tok-ku Hong.   Di pinggang masing-masing orang itu terselip sebatang golok panjang.   Salah satunya mengibaskan tangan kepada Kongsun Hong.   "Sobat! Di sini tidak ada urusanmu!"   Katanya. Belum sempat Kongsun Hong menyahut, seorang lainnya 226 sudah menukas.   "Lihat yang jelas sebelum bertindak!"   Dia mengeluarkan sebuah simbol dari balik pakaiannya. Di atas simbol yang terbuat dari logam itu tertera dua buah huruf "Bu-ti".   "Kami adalah orang-orang Bu-ti-bun. Kalau kau memang pintar, cepat tinggalkan gadis ini sebelum terlambat!"   Kata orang itu selanjutnya. Sinar mata Kongsun Hong beralih ke arah logam yang ada di tangan orang itu. Wajahnya berubah kelam.   "Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong!"   Serunya. Orang itu terpana.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Rupanya orang sendiri,"   Katanya.   "Jangan percaya begitu saja. Suruh tunjukkan dulu lambang kepercayaan mereka!"   Seru yang lainnya.   Kongsun Hong segera mengeluarkan sebuah giok yang terselip di pinggangnya.   Dia menunjukkan tanda itu kepada orang-orang berpakaian hitam.   Batu giok itu bagus sekali, di atasnya juga tertera dua huruf, malah di dasarnya terlihat ukiran seekor macan tutul.   Para laki-laki berpakaian hitam yang melihat giok itu langsung saling mengadu pandang.   Wajah mereka pucat pasi.   Tanpa banyak cakap lagi mereka segera menjatuhkan diri dan berlutut di atas tanah.   "Cayhe sekalian memang buta melek.   Tidak tahu kehadiran Tongcu yang mulia, malah berani ." 227 Kongsun Hong menyimpan kembali batu gioknya.   "Kalian adalah anggota cabang ketiga belas?"   Tanyanya dingin.   "Betul ...."   Suara pemimpin laki-laki berpakaian hitam itu serak.   "Harap Tongcu bersedia memaafkan dosa kami."   "Kau tahu salah?"   "Ampun, Tongcu ...."   Laki-laki itu langsung membenturkan jidatnya ke atas tanah.   "Baik,"   Kongsun Hong mengibaskan tangannya.   "Kalian boleh kembali sekarang. Malam nanti aku akan berkunjung ke kantor cabang tiga belas."   "Tongcu ...."   Kongsun Hong memalingkan wajahnya.   Tok-ku Hong tertawa dingin.   Dia tidak mempedulikan orang-orang itu dan langsung meneruskan langkahnya.   Mata-mata laki-laki berpakaian hitam itu mengantar kepergian dua orang itu.   Keringat dingin mulai menetes.   Wajah mereka pucat seperti selembar kertas.   "Apa yang harus kita lakukan?"   Pemimpin mereka tertawa sumbang tanpa menyahut.   ***** Rumah makan yang mewah, hidangan yang lezat.   Hawa amarah Tok-ku Hong sudah lenyap.   Dengan perasaan 228 gembira dia menikmati semuanya.   "Hidangan di rumah makan ini boleh juga, sayangnya agak padat."   Tidak jauh di sebelah kanan mereka terdapat dua orang laki- laki berusia setengah baya sedang duduk bercengkerama dengan dua orang wanita yang terus tertawa terkekeh-kekeh.   Pasti bukan orang baik-baik.   Dua orang laki-laki setengah baya itu tidak hentinya mengucapkan kata-kata kotor yang tidak enak didengar.   Kedua wanita itu sama sekali tidak mengambil hati, bahkan ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.   Tamu-tamu yang lainnya juga berbincang dengan rekannya masing-masing.   Satu-satunya yang tidak terseret dalam arus mereka hanya Kongsun Hong serta Tok-ku Hong berdua.   Kongsun Hong berusaha menyenangkan hati sumoaynya.   Sekian lama Tok- ku Hong baru menyahut sepatah kata.   Dia tidak begitu mempedulikan Kongsun Hong.   Laki-laki itu akhirnya tidak berani banyak bicara.   Dia takut Tok-ku Hong menjadi tidak senang.   Otaknya terus bekerja.   Matanya mengerling ke sekitar.   Dia berharap dapat menemukan bahan pembicaraan yang menarik.   Dengan demikian hati Tok-ku Hong akan menjadi gembira.   Oleh karena itu ketika dua orang bocah cilik masuk ke dalam ruangan rumah makan tersebut, perhatian Kongsun Hong segera terpusat pada mereka.   Kedua bocah itu sangat tampan, pakaian mereka mewah.   Yang satu membawa pedang, yang satunya lagi membawa harpa.   Mereka menuju tempat duduk di samping jendela.   229 Harpa dan pedang diletakkan di atas meja.   Salah seorang segera melepaskan bungkusan dari bahu dan membukanya.   Di dalamnya terdapat sebuah kotak yang indah.   Bocah yang lainnya segera membentangkan sehelai kain putih.   Dia membersihkan meja dengan kain tersebut.   Seorang pelayan menghampiri mereka.   Melihat apa yang dilakukan kedua bocah tersebut, dia berdiri termangu-mangu.   Kongsun Hong juga merasa heran.   Dia tidak lupa memberitahukan Tok-ku Hong.   "Sumoay, lihat kedua bocah itu,"   Katanya.   Perhatian para tamu yang segera tertarik pada kedua bocah yang sama.   Sedangkan kedua bocah itu seperti menganggap mereka semua tidak ada.   Mereka membersihkan meja itu sampai mengkilap.   Lalu menghamparkan sehelai taplak kursi yang terbuat dari kain wol di atas bangku rumah makan tersebut.   Kemudian mereka berdiri tegak di samping meja itu.   Para tamu semakin penasaran dibuatnya.   Tepat pada saat itu juga, seorang pemuda berpakaian putih masuk ke dalam rumah makan.   Tampangnya tampan dan anggun, pakaiannya mewah.   Sinar matanya angkuh.   Tanpa mempedulikan sekitarnya, dia menghampiri meja di mana kedua bocah berdiri.   Kemudian dia duduk di atas taplak kain wol tersebut.   Sorot matanya tidak jahat, hanya acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya.   Dia seolah memandang sebelah mata kepada orang lain.   Melihat gaya pemuda ini, pemilik rumah makan segera menghampiri dengan tergopoh-gopoh.   Dia mengibaskan tangan agar pelayannya mengundurkan diri.   Dia bermaksud melayani sendiri.   "Kongcu ...."   Sapanya. 230 Pemuda berpakaian putih meliriknya sekilas, sama sekali tidak mempedulikannya. Bocah sebelah kanannya segera maju dan memberi perintah.   "Bawakan beberapa macam hidangan yang paling terkenal dari rumah makan ini."   "Ingat! Harus yang bersih!"   Sambung bocah yang satunya. Pemilik rumah makan itu terpana sejenak, kemudian dia memalingkan wajahnya memanggil salah seorang pelayan.   "Cepat sediakan cawan dan mangkok sekalian sumpitnya."   "Tidak usah!"   Kata bocah yang pertama.   "Kami membawa sendiri!"   Lanjut bocah yang lainnya sambil membuka kotak yang dibawanya tadi.   Dia mengeluarkan mangkuk, sumpit dan cawan yang terbuat dari perak.   Kemudian dia juga mengeluarkan sehelai sapu tangan dan membersihkan peralatan tersebut satu per satu.   Pemilik rumah makan itu agak kurang senang, tapi tidak berani memperlihatkannya dan segera mengundurkan diri.   Sedangkan dua laki-laki setengah baya yang duduk bersama dua orang wanita yang bertampang genit segera mencibirkan bibirnya.   "Sungguh besar lagaknya,"   Kata salah seorang dari kedua laki- laki tersebut. Perempuan yang duduk di sampingnya malah tertawa terkekeh-kekeh.   "Kau tidak senang melihatnya?"   Sindirnya.   "Hanya banci saja yang banyak lagak seperti itu,"   Kata laki-laki 231 tersebut.   "Peduli amat dia banci atau bukan. Yang penting uangnya banyak dan lagipula wajahnya tampan. Mengapa kau tidak meniru perbuatannya?"   Dengan genit perempuan itu mengerling ke arah pemuda berpakaian putih tersebut. Laki-laki setengah baya itu marah sekali mendengar ucapan perempuan tadi.   "Mengapa aku harus menirunya? Aku yang memberimu uang atau dia?"   Teriaknya. Perempuan itu malah tertawa terbahak-bahak. Laki-laki lainnya segera menengahi pertengkaran mereka.   "Untuk apa kau marah-marah? Kalau kau mau membuat wajahnya menjadi jelek, kan mudah sekali."   Tentu saja laki-laki yang sedang marah itu mengerti apa yang dimaksudkan rekannya.   "Bagus! Pokoknya aku memang tidak suka melihat orang semacam itu,"   Sahutnya. Kedua orang itu segera berdiri dalam waktu yang bersamaan. Mereka berjalan menghampiri pemuda berpakaian putih. Sedangkan pemuda itu sejak tadi tampaknya tidak peduli keadaan di sekeliling mereka. Tiba-tiba dia berseru.   "Jit Po!"   Bocah yang berdiri di sebelah kanannya segera menyahut dan mengadang kedua laki-laki setengah baya tersebut.   "Kongcu kami mempersilakan kalian meninggalkan tempat ini,"   Katanya. 232 Wajah kedua laki-laki itu berubah hebat, jelas mereka sangat tersinggung. Yang satunya segera tertawa dingin.   "Apakah ini sebuah perintah?"   Tanyanya sinis. Yang satunya lagi tak mau kalah gertak, dia menuding hidungnya sendiri.   "Tahukah kau siapa kami?"   Jit Po tidak mempedulikan. Pemuda berpakaian putih berseru sekali lagi.   "Liok An!"   Bocah yang satunya lagi cepat-cepat maju ke depan.   "Sekarang kalian harus menggelinding dari sini,"   Katanya.   Kedua laki-laki itu marah sekali, sambil menggeram kedua orang itu mencekal Jit Po dan Liok An.   Bagaimana pun mereka pernah berlatih keras dalam ilmu silat.   Begitu tinjunya meluncur, suaranya menggetarkan.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Jit Po dan Liok An seakan memandang sebelah mata, wajah mereka tenang-tenang saja.   Gerakan tubuh mereka sangat lincah.   Begitu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman laki- laki tersebut, mereka langsung menerjang dengan jurus burung hong mengembangkan sayap.   Telapak tangan mereka menghantam bagian pundak kedua laki-laki itu.   Meskipun usia mereka masih sangat muda, namun baik ilmu, tenaga dalam ataupun cara menghadapi lawan sudah termasuk lumayan.   Tangan kiri menangkis dengan lincah, telapak tangan kanan dengan telak mengenai bahu kedua laki-laki tadi.   Rupanya tahun ini benar-benar merupakan tahun yang sial bagi kedua laki-laki setengah baya itu.   Sekali bergebrak sudah 233 luput dari sasaran.   Hal ini disebabkan karena pertama terlalu memandang ringan lawan.   Kedua, memang mereka ada sedikit mabuk.   Jit Po menundukkan tubuhnya dan laki-laki yang menjadi lawannya terlongong-longong ketika bocah itu menyeruak lewat selangkangannya.   Belum lagi dia sadar apa yang hendak dilakukan bocah tersebut, tubuhnya sudah terangkat dan terlempar jauh.   Liok An tidak mau kalah, sebelah kakinya diangkat dan menyepak lawannya keluar.   Kedua laki-laki yang melihat bahwa Jit Po dan Liok An saja sudah begitu lihai, mana berani macam-macam lagi.   Sambil menggelinding dan setengah merangkak, mereka cepat-cepat kabur dari tempat itu.   Liok An dan Jit Po juga tidak mengejar.   Setelah merapikan pakaian mereka dengan mengibas- ngibasnya, mereka kembali di samping kiri dan kanan pemuda berpakaian putih itu.   Mata setiap orang terpusat pada ketiga majikan dan pelayan tersebut.   Suara kejutan sudah reda.   Sedangkan kedua wanita yang menemani laki-laki yang sudah kabur itu saling mengerling sekilas kemudian bangkit menghampiri meja pemuda itu.   Di wajah keduanya terpasang senyuman genit.   Belum lagi langkah mereka sempat mendekati pemuda itu, Jit Po sudah berteriak nyaring.   "Tahan!"   Kedua wanita itu terpana sejenak, kemudian mereka tersenyum simpul.   "Anak baik ... siapakah nama Kongcumu yang tampan itu?"   Tanya salah satu dari kedua wanita tersebut. 234 Sedangkan rekannya yang lain menggunakan kesempatan itu menerobos mendekati pemuda berpakaian putih.   "Enyah!"   Bentak pemuda itu sambil tertawa dingin.   Lengan bajunya dikibaskan, terdengar suara menderu-deru, segulung angin kencang menerpa.   Rasa terkejut wanita itu masih belum sirna, tubuhnya sudah terdorong.   Sambil terjatuh terpontang- panting, kibasan lengan baju pemuda itu mengantarnya balik ke tempat semula.   Perempuan yang satunya melihat keadaan itu dengan mata panik.   Tidak menunggu Jit Po turun tangan, dia mengembangkan sebuah senyuman yang dipaksakan, lalu cepat-cepat kembali ke sisi temannya.   Pemuda berpakaian putih itu tidak melirik sama sekali, hanya tertawa dingin.   "Perempuan yang berani mendekati laki-laki tanpa malu-malu pasti bukan perempuan baik-baik,"   Sindirnya.   Apa yang dikatakannya memang tidak salah, kedua wanita itu memang pelacur adanya.   Tapi Tok-ku Hong yang mendengarkan kata-katanya, langsung merasa marah.   Dadanya panas sekali seakan hampir meledak.   Pada saat itu, pemuda berpakaian putih dan kedua pelayannya sedang membayar makanannya dan bersiap meninggalkan tempat itu.   Sinar mata Tok-ku Hong mengedar, sumpit di tangannya melayang cepat.   Pada dasarnya dia memang seorang ahli melempar golok terbang.   Kecuali Kongsun Hong, rasanya tidak ada lagi yang tahu apa yang diperbuatnya.   Sumpit itu meluncur ke arah meja kedua pelacur tadi.   Sebuah teko teh tersenggol dan melayang ke arah pemuda berpakaian putih.   235 Namun, punggung pemuda itu seperti mempunyai indera penglihatan saja.   Tubuhnya menggeser sedikit, tangan kanannya terangkat dan menyambut teko itu dengan mudah.   Para tamu sempat terpana sesaat, kemudian meledaklah tawa mereka.   Tampaknya pemuda berpakaian putih itu baru sadar bahwa yang disambutnya tadi adalah sebuah teko.   Lengan bajunya terciprat basah oleh air yang tumpah.   Wajahnya berubah hebat.   Jit Po cepat-cepat menghampiri dan mengambil teko dari tangan tuan mudanya.   Rasa marah Tok-ku Hong akhirnya surut juga.   Ketika dia melangkahkan kaki keluar dari rumah makan tersebut, dia masih sempat mendengar suara tawa tamu yang belum sirna.   Tok-ku Hong sendiri ikut tertawa.   Kongsun Hong yang menatapnya dari samping dan melihat sumoaynya demikian gembira, hatinya jadi berbunga-bunga.   Namun semakin diperhatikan, dia menjadi terpesona.   Senyum Tok-ku Hong demikian indah dan menawan.   ***** Malam berbintang, rembulan bercahaya.   Malam semakin larut, angin semakin kencang.   Rumput-rumput liar menari-nari.   Padang rumput yang sehari-harinya memang sudah sunyi semakin mencekam di malam hari.   Ibarat sebuah kota hantu layaknya.   Meskipun jaraknya dengan kota tadi hanya setengah li, tapi 236 penduduk sekitar menganggapnya sebagai tempat yang angker.   Daerah pemakaman yang sudah tidak terurus juga berada di sekitar tempat ini.   Terlihat sebuah rumah yang sudah mulai hancur.   Perasaan semakin tegang.   Tidak heran kalau para penduduk menganggapnya sebagai pemukiman setan gentayangan.   Di depan halaman rumah ada sebuah paviliun kecil.   Menurut cerita penduduk, tadinya ada seorang tukang kayu yang tinggal di sana.   Karena sering diganggu oleh hantu-hantu, maka orang itu sudah kabur ketakutan.   Malah ada yang mengatakan bahwa tukang kayu yang sudah pindah itu menderita sakit berkepanjangan, setiap hari dia merintih dan meratap.   Sejak kejadian itu, rumah tersebut selalu kosong.   Apa lagi setelah terjadi beberapa peristiwa yang aneh, orang- orang semakin ketakutan.   Siang hari pun tidak ada yang berani menginjak daerah tersebut.   Kongsun Hong dan Tok-ku Hong justru berada di depan pintu rumah tersebut malam ini.   Angin bertiup kencang.   Tanpa sadar hati Tok-ku Hong agak tegang.   Tapi di luarnya dia tidak menunjukkan apa-apa.   Kongsun Hong sendiri tidak mempedulikan keadaan di sekitarnya.   Dia meneruskan langkah kakinya sampai di depan pintu.   "Wie-tian-wei-toa, Ju- jit-fang-tiong!"   Serunya tiba-tiba.   "Krek!", pintu dibuka.   Dua orang laki-laki berpakaian putih menyembulkan kepalanya.   Wajah mereka pucat pasi bagai mayat hidup.   Segulungan angin dingin tiba-tiba menerpa.   Tubuh Tok-ku Hong gemetar dibuatnya.   Kedua laki-laki berpakaian putih itu segera membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.   "Selamat datang kami ucapkan 237 kepada Toa-siocia (nona besar) dan Kongsun-tongcu,"   Kata mereka serentak. Kongsun Hong mengibaskan tangannya.   "Antar jalan!"   Kedua manusia berpakaian putih itu membalikkan tubuh dan masuk ke dalam.   Cahaya lampu memijar.   Lentera telah dinyalakan, sinarnya remang-remang.   Manusianya sendiri seperti setan gentayangan yang melayang menuju ke dalam.   Setelah melewati halaman depan, tampak sebuah pintu besar yang telah terbuka.   Di kiri kanannya masing-masing berdiri seorang laki-laki berpakaian putih dan membungkuk menyambut.   Di belakang pintu terdapat sebuah koridor panjang.   Di sebelah kiri berdiri tegak tiga orang manusia berpakaian hitam, sedangkan di sebelah kanan terdapat empat manusia berpakaian hitam juga.   Tujuh manusia berpakaian hitam itulah yang membuat gara- gara di siang harinya.   Mereka bahkan berani mengganggu Tok-ku Hong.   Kalau dilihat keadaan tujuh orang itu agak aneh.   Setelah diperhatikan, ternyata mereka bukan berdiri tegak tapi disandarkan ke tembok di belakangnya.   Mata mereka terbelalak, semuanya pasti sudah tidak sadarkan diri.   Tok-ku Hong yang melihat keadaan itu, memperdengarkan suara tertawa dingin.   Kakinya terus melangkah ke dalam.   Di ujung koridor merupakan sebuah ruangan yang besar.   Sebelum Tok-ku Hong dan Kongsun Hong sampai di ruangan tersebut, pintu gerbangnya memang telah terbuka.   Seorang laki-laki berusia setengah baya melangkah keluar.   Pakaiannya 238 mewah sekali.   "Tancu (kepala cabang) cabang tiga belas, Tong Piau menghadap Toa-siocia dan Kongsun-tongcu.   Harap maafkan kami yang tidak menyambut dari jauh."   Kongsun Hong mengibaskan tangannya.   Dengan Tok-ku Hong mengiringi di samping, dia melangkah ke dalam ruangan.   Sejak masuk dari halaman depan di mana-mana terlihat tembok yang pecah-pecah dan tinggal sepotong.   Tidak terlihat bahwa tempat itu berpenghuni.   Tapi begitu masuk ke dalam ruangan ini, segalanya tampak jauh berbeda.   ***** Ruangan ini sangat mewah.   Lentera-lentera bercahaya terang.   Ratusan anggota Bu-ti-bun terbagi dalam dua barisan.   Melihat kedatangan Kongsun Hong dan nona besarnya, mereka segera menjatuhkan diri berlutut.   Di tengah ruangan telah disediakan dua buah kursi besar yang ditutupi dengan kulit binatang.   Tong Piau mempersilakan kedua orang itu duduk.   Dia sendiri berdiri di samping mereka.   Mata Tok-ku Hong beredar lalu berhenti pada wajah Tong Piau.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Apakah saudara-saudara kita yang bertempat di sekitar sini berada di bawah pengawasanmu?"   Tiba-tiba dia bertanya.   "Ajaran budak kurang becus, anak buah budak berani mati menyalahi Toa-siocia,"   Sahut Tong Piau gugup. 239 "Oh, ternyata kau sendiri menyadarinya?"   Tok-ku Hong mendengus dingin. Kening Tong Piau mulai dibasahi oleh keringat dingin.   "Orang- orang yang membuat gara-gara telah dihukum sesuai peraturan. Harap Toa-siocia jangan marah lagi."   Tok-ku Hong hanya tertawa dingin.   "Mengenai orang-orang yang memalsukan Bu-ti-bun ... apakah kau sudah mendapat kabar?"   Tukas Kongsun Hong. Tong Piau agak lega juga karena pokok pembicaraan dialihkan.   "Budak telah memerintahkan seluruh anggota kita untuk menyelidiki secepatnya. Namun sampai saat ini masih belum ada hasil yang menggembirakan."   Wajah Kongsun Hong berubah serius.   "Apakah kalian sudah menerima panji telapak darah dari kantor pusat yang disebarkan pada pertengahan bulan sembilan?"   Tanyanya kembali. Hati Tong Piau menjadi tegang kembali mendengar pertanyaan itu.   "Kami sudah menerimanya."   "Apa bunyi perintah itu?"   Mulut Tong Piau melongo, sepatah kata pun tidak terucap olehnya. 240 "Bilang!"   Bentak Kongsun Hong.   "Dalam waktu dua tahun, tidak boleh ada anggota Bu-ti-bun yang membuat keributan di luar. Siapa yang melanggarnya, mati!"   Sahut Tong Piau setelah memberanikan diri.   "Kalau perintah itu telah kalian terima, mengapa cabang tiga belas tidak mengurus anak buahnya baik-baik?"   Tanya Kongsun Hong sekali lagi. Keringat Tong Piau menetes bagai air hujan.   "Mungkin karena biasanya budak terlalu memberi kebebasan kepada mereka. Harap Tongcu membuka hati dan melapangkan jiwa."   Kongsun Hong memalingkan wajahnya.   "Apa bunyi peraturan nomor sembilan belas dari perguruan kita?"   Tanyanya.   "Siapa ... yang ... melanggar ... te ... lapak ... darah ... mati ...."   Wajah Tong Piau pucat pasi, suaranya tersendat-sendat.   "Nomor dua puluh satu?"   "Berani ... menghina atasan ... mati."   "Nomor dua puluh empat?"   Tubuh Tong Piau semakin menggigil. Dia tidak sanggup menjawab lagi.   "Membiarkan anak buah melanggar perintah, hukuman apa yang harus diberikan?"   Tubuh Tong Piau semakin gemetar. Kongsun Hong 241 menggebrak meja.   "Hukuman apa harus di terima orang ini?"   Bentaknya keras.   Jilid 6 "Mati ...."   Tong Piau panik sekali.   Dia segera menjatuhkan diri berlutut dan membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai.   "Budak tahu salah, harap Tongcu membuka hati lebar-lebar ...."   "Selama sepuluh tahun ini, kau pernah menyapu daerah utara sampai bersih.   Meraih kemenangan dalam pertarungan sebanyak tiga puluh enam kali.   Membela perguruan mati hidup.   Jasamu juga tidak sedikit.   Namun tahun terakhir ini, kau sudah tidak mempedulikan baktimu kepada Bu-ti-bun.   Lebih banyak berfoya-foya.   Memanjakan anak buah.   l mu silatmu tidak mengalami kemajuan.   Tapi kali ini sungguh keterlaluan.   Melihat jasamu pada tahun-tahun yang lalu, aku mengampunimu sekali lagi,"   Kata Kongsun Hong dingin.   "Terima kasih, Tongcu,"   Wajah Tong Piau berseri-seri seketika. Dia langsung berdiri tegak.   "Hukuman mati dibatalkan, hukuman hidup tetap berlaku,"   Kata Kongsun Hong kembali. Tong Piau langsung menjatuhkan diri berlutut kembali.   "Mana bagian Cik-hoat?"   Tanya Kongsun Hong.   Dua laki-laki berpakaian putih keluar dari barisan dengan 242 tergopoh-gopoh.   Wajah mereka menunjukkan ketakutan yang dalam.   Mereka juga menjatuhkan diri berlutut di samping majikannya.   Kongsun Hong melirik sinis.   "Putuskan telapak tangan sebelah kiri!"   Perintahnya.   "Baik,"   Sahut salah satu dari kedua orang bagian Cik-hoat itu.   Dia segera mengambil seutas tali dan mengikat pergelangan tangan Tong Piau.   Laki-laki itu memejamkan mata tidak berani melihat.   Cik-hoat itu segera menarik sekuat tenaga.   Tubuh Tong Piau ikut tertarik dan melayang di udara.   Laki-laki berpakaian putih yang satunya segera mengeluarkan sebilah pisau dan sekali gerak, pergelangan tangan Tong Piau sudah terbacok putus.   Tubuh Tong Piau mendarat ke lantai, dari pergelangan tangannya mengalir darah deras sekali.   Rasa sakitnya jangan dikatakan lagi.   Namun dia tetap berusaha menjatuhkan diri berlutut di depan Kongsun Hong.   "Terima kasih atas kebaikan Tongcu yang tidak menjatuhkan hukuman mati,"   Katanya terputus-putus. Melihat keadaan itu, Tok-ku Hong merasa tidak sampai hati. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Kongsun Hong masih tenang seperti semula.   "Cepat mundur!"   Bentaknya.   Tong Piau baru berani merobek lengan bajunya dan membungkus lukanya itu.   Dua orang laki-laki berpakaian putih segera menghampiri dan memapahnya dari kiri dan kanan.   243 Mereka membawanya masuk ke dalam.   Sisa anggota Bu-ti- bun yang masih berada dalam ruangan melihat kejadian itu dengan hati gentar.   Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara.   "Hu-tancu (wakil kepala cabang)!"   Panggil Kongsun Hong dengan suara lantang.   "Cu Bong di sini,"   Sahut seorang laki-laki bertubuh tegap sembari berjalan keluar dari barisan anggota Bu-ti-bun.   Dia segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kongsun Hong.   "Perintahkan dua orang untuk membawa Tong Piau ke kantor pusat, rrusan di sini sementara ini kau yang tangani.   Tunggu perintah dari kantor pusat!"   Kata Kongsun Hong.   "Baik!"   "Mulai sekarang, perhatikan setiap orang yang keluar masuk kota ini. Apabila terlihat hal yang mencurigakan, segera lapor pada kantor pusat!"   Kata Kongsun Hong.   "Baik!"   Cu Bong membenturkan kepalanya sekali lagi. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benak Tok-ku Hong.   "Ada seseorang yang patut dicurigai. Dia berada di Sing Long Kek- can (penginapan Sing Long),"   Katanya.   "Orang itu ...."   "Dia mengenakan pakaian putih. Tampaknya dari perguruan yang cukup terkemuka. Ada dua bocah yang melayaninya. Masing-masing membawa sebuah harpa dan pedang,"   Tukas 244 Kongsun Hong.   "Kalian selidiki asal-usulnya!"   "Baik!"   Cu Bong tentunya tidak berani membantah.   Orang yang dimaksudkan Tok-ku Hong adalah pemuda berpakaian putih itu.   Mungkin hawa amarahnya masih belum lenyap semua.   Tapi ...   pemuda berpakaian putih itu memang mencurigakan.   ***** Pada saat itu, pemuda berpakaian putih sedang duduk di dalam kamar penginapan.   Di sampingnya hanya ada salah satu dari bocah pelayannya, Jit Po! Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Liok An masuk ke dalam bersama seorang laki-laki setengah baya menggeser ke samping.   Sinar mata pemuda itu beralih ke arah wajah Sao-laopan.   Pandangannya dingin menusuk.   "Bagus sekali,"   Katanya.   "Entah apa yang dapat aku bantu?"   Tanya laki-laki itu gugup.   "Aku ingin mencari sedikit berita darimu,"   Kata sang pemuda.   "Kalau aku memang tahu, pasti aku akan memberitahukan dengan senang hati."   "Kemana perginya Go-bi Suang-siu (Sepasang gadis cantik dari Go-bi)?"   Tanya pemuda itu.   "Apa?"   Tampaknya Sao-laopan tidak mengerti sama sekali. 245 "Mereka adalah dua orang gadis yang menginap di sini pada bulan enam tanggal tujuh. Yang satu she Ting dan yang satunya lagi she Sun."   Sao-laopan seakan teringat sesuatu. Wajahnya mulai berubah.   "Sejak menginap di Sing Long Kek-can ini, mereka tidak pernah terlihat lagi. Aku ingin tahu di mana sekarang mereka berada,"   Kata pemuda tersebut Dengan susah payah Sao-laopan menelan ludahnya.   "Aku... aku...."   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kau adalah pemilik penginapan ini, mana mungkin tidak tahu?"   "Aku tidak bisa mengatakannya,"   Kata Sao-laopan panik. Keringat mulai membasahi keningnya.   "Mengapa?"   "Kalau aku mengatakannya dan mereka tahu ... mereka pasti akan membunuh aku."   Pemuda itu tertawa dingin.   Liok An dan Jit Po segera menghampiri laki-laki itu.   Tangan masing-masing mencekal sebilah pedang pendek.   Mereka mengancam leher Sao- laopan dari dua arah.   "Kalau kau tidak segera mengatakannya, maka kau akan mati 246 saat ini juga!"   Kata pemuda itu ketus. Wajah Sao-laopan berubah hebat. Liok An dan Jit Po mendorongnya ke tembok. Hawa dingin yang memantul dari kedua belah pedang pendek itu terasa di lehernya.   "Aku ... aku akan berbicara ..."   Katanya panik.   "Bagaimana keadaan mereka?"   "Mereka sudah mati."   Wajah pemuda itu berubah sesaat. Sejenak kemudian dia tenang kembali.   "Bagaimana matinya?"   Sao-laopan terlihat salah tingkah.   "Di tangan orang-orang Bu- ti-bun. Mereka memperkosa dulu baru membunuh."   Wajah pemuda itu kelam sekali.   Sao-laopan menarik napas panjang.   "Menurut cerita orang-orang, mereka yang lebih dulu menyalahi anggota Bu-ti-bun.   Melihat kematian mereka yang demikian tragis, aku benar-benar tidak sampai hati.   Tapi aku tidak berani berkata apa-apa.   Terpaksa aku menguburkan mereka di taman belakang secara diam-diam.   Malah peti mati mereka, aku juga yang membelikan."   "Bawa aku ke sana!"   Kata pemuda itu sambil mengibaskan lengan bajunya.   Jit Po dan Liok An segera mengendurkan pisau mereka.   247 ***** Di taman belakang terdapat segerombolan semak-semak dan bunga- bunga.   Bila semak-semak itu dikuakkan, maka terlihatlah dua buah kuburan.   Pemuda berpakaian putih itu berdiri tegak di depannya.   Sedikit suara pun tidak terdengar.   Liok An dan Jit Po terlihat sedih.   Sao-laopan berdiri di samping mereka.   Tangannya menumpu pada bahu seorang pelayan.   Mengingat tragisnya kematian kedua gadis itu, perasaannya ikut terharu.   Tiba-tiba terdengar suara bising dari arah luar taman.   Puluhan manusia berpakaian hitam menyerbu masuk.   "Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong!"   Seru orang yang bertindak sebagai pemimpin. Di belakang terlihat seorang manusia berpakaian hitam memanjat lewat tembok.   "Anggota Bu-ti-bun ada urusan di sini, harap orang yang tidak berkepentingan segera menyingkir!"   Teriaknya lantang.   Mendengar teriakan itu, Sao-laopan dan pelayannya segera menyingkir dan mencari jalan keluar.   Tapi pemimpin yang berteriak pertama-tama segera mengadangnya.   "Sao-laopan!"   "Ada ...   ada apa?"   "Apakah di penginapanmu ini ada seorang pemuda 248 berpakaian putih ...."   Kata-katanya belum selesai dia sudah melihat anak muda itu beserta Liok An dan Jit Po yang berdiri di depan kuburan.   "Rupanya kalian ada di sini. Bagus!"   "Memang bagus sekali!"   Sahut pemuda berpakaian putih dingin sinis.   "Hei! Siapa kau? Ada keperluan apa kau datang ke tempat ini? Cepat katakan!"   Tanya manusia berpakaian hitam itu keras.   "Aku she Kuan ... Kuan Tiong-liu,"   Sahut pemuda berpakaian putih itu tenang.   "Kedatangan kami ke sini adalah untuk membunuh kalian!"   Ucapannya selesai, tangannya diulurkan.   "Pedang!"   Jit Po cepat-cepat menyodorkan pedang kepada tuan mudanya. Kuan Tiong-liu menyambut pedang itu dengan keyakinan penuh.   "Satu pun jangan dibiarkan lolos!"   Perintahnya. Liok An dan Jit Po saling lirik sekilas. Pedang pendek telah dihunus, tubuh keduanya segera mencelat dan menerjang ke depan. Manusia berpakaian hitam yang menjadi pemimpin meloncat mundur beberapa langkah.   "Hati-hati!"   Pesannya kepada anggota Bu-ti-bun yang lain.   Kuan Tiong-liu berteriak lantang, tubuh dan pedangnya berubah menjadi segurat garis panjang, bayangan seperti pelangi meluncur ke depan.   Manusia berpakaian hitam segera menghunus goloknya.   Dia mundur dengan kalang kabut.   Belum lagi goloknya sempat diangkat, dadanya sudah tertusuk 249 pedang.   Matanya mendelik lebar, mulutnya mengeluarkan jeritan ngeri.   Seakan masih tidak percaya bahwa apa yang dialaminya sekarang adalah kenyataan.   Kuan Tiong-liu segera menarik pedangnya kembali.   Darah segar mengucur deras dari dada manusia berpakaian hitam itu.   Sao-laopan yang melihat keadaan itu, segera jatuh tidak sadarkan diri.   Kaki pelayan yang sedang memapahnya juga lemas seketika.   Bersama dengan majikannya, mereka jatuh terkulai di atas tanah.   Pedang Kuan Tiong-liu yang tadi dicabut segera menikam sekali lagi.   Kembali seorang manusia berpakaian hitam roboh bermandikan darah.   Tanpa membuang waktu, pedang yang tercabut kembali diputarkan.   Dua orang manusia berpakaian hitam tertebas sekaligus menjadi dua belah.   Pokoknya, setiap kali pedangnya bergerak, selalu ada korban yang jatuh.   Mana pernah manusia berpakaian hitam itu melihat jurus pedang yang demikian cepat dan keji.   Mereka menjerit lantang dan berlarian kalang kabut.   Seorang manusia berpakaian hitam yang tadi berdiri di atas tembok paling cepat mengambil langkah seribu.   Mana tahu baru sempat lari berapa langkah, punggungnya sudah terbacok dari belakang.   Tangannya masih berusaha mencapai tembok, namun setelah berkelojotan berapa kali, tubuhnya melorot ke bawah dan melayanglah nyawanya.   Kembali Kuan Tiong-liu menggerakkan pedangnya.   Satu kali ke arah kanan dan satu kali lagi ke arah kiri.   Dua manusia berpakaian hitam itu tidak sempat menghindar, mereka segera berubah menjadi mayat.   250 Ilmu yang dimiliki pihak lawan sebenarnya terpaut terlalu jauh.   Untuk menghadapi dua orang bocah seperti Liok An dan Jit Po saja mereka tidak sanggup, apa lagi menghadapi Kuan Tiong- liu.   Liok An dan Jit Po mengadang pintu keluar.   Setiap manusia berpakaian hitam yang berniat melarikan diri, pasti menjadi korban pedang pendek mereka.   Empat belas orang menerjang serentak, tidak sampai sepeminuman teh mereka semua menggeletak di tanah dengan jantung yang sudah berhenti berdetak.   Tinggal seorang manusia berpakaian hitam yang mencoba menerobos halangan mereka.   Melihat kematian teman-temannya, kakinya menjadi lemas, pedang di tangannya terlepas, dan tubuhnya menggeser lalu menyandar pada tembok taman.   Pedang Kuan Tiong-liu tidak menikamnya.   Dia hanya menggunakannya untuk mengancam manusia berpakaian hitam tersebut.   "Di mana markas kalian?"   Tanyanya garang. Tenggorokan itu mengeluarkan bunyi "krok! krok!", tampaknya setiap waktu akan semaput, tapi kenyataannya tidak.   "Di ... di ...."   Suaranya tersendat-sendat dan gugup.   "Antarkan kami ke sana!"   Kata Kuan Tiong-liu.   Manusia berpakaian hitam itu menganggukkan kepalanya berulang kali.   Liok An dan Jit Po segera maju ke depan dan mencekal manusia berpakaian hitam itu dari arah kiri dan kanan.   Kuan Tiong-liu mengangkat pedangnya.   Di bawah 251 cahaya rembulan, darah menetes setitik demi setitik terlihat jelas.   Sinar rembulan yang pucat, warna darah semerah api membara.   Dari mata Kuan Tiong-liu juga terlihat hawa panas yang berkobar- kobar.   ***** Malam semakin larut.   Lentera pada cabang tiga belas Bu-ti- bun bersinar terang.   Tok-ku Hong dan Kongsun Hong sudah pergi.   Hu-tancu Cu Bong sedang menikmati arak bersama beberapa selir kesayangannya.   Dia sudah menunggu begitu lama.   Beberapa tahun sudah, sampai hari ini dia baru berhasil menguasai sepenuhnya cabang Bu-ti-bun ini.   Biar bagaimanapun, ini merupakan hal yang menyenangkan.   Dia tidak berani ayal.   Setelah Kongsun Hong dan Tok-ku Hong meninggalkan tempat itu, dia segera menyuruh beberapa anak buahnya menyelidiki ke Sing Long Kek-can.   Kemudian dia memesan semeja hidangan dan arak mahal.   Pada saat itu, dia sudah agak mabuk.   Oleh karena itu, suara pertarungan dan jeritan di depan halaman juga tidak jelas terdengar olehnya.   Orang-orang lainnya justru merasa ada yang kurang beres.   "Cu-Laotoa, tampaknya di luar ada yang berkelahi,"   Kata salah seorang temannya. Cu Bong langsung menggebrak meja dengan marah.   "Siapa yang begitu berani? Seret ke dalam biar aku beri pelajaran!" 252 Baru saja perkataannya selesai, terdengar suara "brak!"   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Yang keras. Pintu besar ruangan itu hancur berantakan. Kuan Tiong-liu berdiri tegak di depan pintu. Perasaan mabuk Cu Bong lenyap seketika karena terkejut.   "Siapa?"   Bentaknya lantang.   "Kuan Tiong-liu dari Go-bi-pai,"   Suara dan tubuh Kuan Tiong- liu sampai dalam waktu yang bersamaan. Pedangnya menyorotkan sinar yang menusuk mata. Cu Bong terkejut sekali. Tubuhnya segera berdiri tegak.   "Cret! cret!", matanya membelalak melihat dua orang anak buahnya mandi darah karena tikaman pedang Kuan Tiong-liu.   "Ambil golok!"   Teriaknya lantang.   Biasanya dia tidak pernah meninggalkan goloknya.   Tapi sebagai seorang Tancu, rasanya kurang berwibawa kalau tidak ada orang yang memegangi golok baginya.   Siapa tahu orang yang memegangi goloknya kurang kuat minum arak, sekarang sudah menggeletak mabuk di kursi samping.   Meskipun masih ada tersisa sedikit kesadarannya namun mulutnya susah mengeluarkan sepatah kata pun.   Cu Bong berteriak sekali lagi.   Orang itu bangkit dengan susah payah dan akhirnya dapat juga mengeluarkan suara.   "Goloknya di sini,"   Katanya sambil menyodorkan golok kepada Cu Bong.   Cu Bong panik sekali.   Dia segera mengulurkan tangannya untuk menyambut golok tersebut.   Belum sempat mencapai 253 goloknya, orang yang memegangi golok itu sudah roboh bersimbah darah, golok pun terjatuh di atas tanah.   Cu Bong semakin tegang.   Dia membungkukkan tubuhnya memungut golok itu.   Sekali lagi terlihat sinar pedang berkelebat.   Anak rambut di jidatnya terpapas putus.   Sanggul rambutnya terlepas.   Kuan Tiong-liu tidak memberinya kesempatan, pedangnya terus mengincar Cu Bong.   Keringat sudah membasahi sekujur tubuh Cu Bong.   Mabuknya sudah lenyap entah ke mana.   Dengan kalang kabut dia berusaha menggapai senjatanya.   Akhirnya berhasil juga dia mendapatkan sebatang golok, namun sayang sekali, tangannya baru saja sempat meraih golok tersebut, pedang Kuan Tiong-liu sudah sampai di hadapannya.   Dengan panik dia berusaha menghindar, tapi tidak keburu lagi.   Pedang itu menebas dari keningnya ke bawah dagu.   Para anggota Bu-ti-bun yang melihat kematian Cu Bong menjadi kalang kabut.   Mereka berusaha melarikan diri secepatnya.   Liok An dan Jit Po sudah menunggu di depan pintu.   Sedangkan di tempat itu hanya ada satu jalan keluar yaitu harus melewati tempat Liok An dan Jit Po berada.   Meskipun usia kedua bocah itu masih muda belia, namun sabetan pedang mereka sama sekali tidak dapat dipandang ringan.   Setiap musuh yang ada di hadapan mereka, roboh dalam sekejap mata.   Demikian juga pedang Kuan Tiong-liu, gerakan pedangnya seperti sedang membelah semangka dan memotong sayuran saja.   Sikapnya tenang sekali.   Pakaiannya yang putih sudah penuh dengan bercak-bercak darah.   Darah berhamburan di angkasa bagai bunga-bunga yang 254 rontok di musimnya.   Namun bagi orang-orang Bu-ti-bun, bagaikan sebuah mimpi buruk yang berkepanjangan.   ***** Air hangat yang mengepulkan asap.   Tong kayu yang berukuran besar.   Tubuh Kuan Tiong-liu berendam di dalam tong kayu berisi air hangat itu.   Dia merasakan kesegaran yang tidak terkira.   Pakaiannya yang penuh bunga-bunga darah saat itu tergantung di hadapannya.   Kuan Tiong-liu menatap pakaiannya dengan terpesona.   Kemudian dia menarik napas panjang.   "Darah yang indah!"   Gumamnya seorang diri.   Liok An dan Jit Po berdiri di sudut ruangan dan melayani keperluannya.   Mereka sama sekali tidak mengerti di mana letak keindahan darah yang dimaksudkan.   "Tidak ada hal lain yang lebih menyenangkan di dunia ini daripada membunuh orang,"   Ucapan Kuan Tiong-liu seperti sedang menghafal ayat suci.   Jit Po dan Liok An saling melirik.   Mereka tidak berani mengatakan apa-apa.   Kuan Tiong-liu malah tertawa terbahak- bahak.   ***** Sao-laopan sekarang malah tidak bisa tertawa lagi.   Di taman belakang berserakan demikian banyak mayat anggota Bu-ti- 255 bun, dia benar-benar tidak berani membayangkan akibatnya.   Dia panik setengah mati.   Ketika pelayannya datang dan mencarinya, dia sedang bersembunyi di kolong tempat tidur.   Pelayan itu tergagap-gagap.   Sao-laopan benar-benar kehabisan sabar melihatnya.   Akhirnya dia menuju taman belakang bersama pelayan itu.   Setelah tahu apa yang telah terjadi, dia semaput sekali lagi.   Di depan kuburan Go-bi Suang-siu, terpasang beberapa batang lilin.   Juga ada beberapa batok kepala manusia sebagai sesajen! Darah masih menetes dari kepala-kepala itu.   ***** Tok-ku Hong dan Kongsun Hong saat itu sedang mengendarai kuda di sebuah jalan kecil berjarak sepuluh li dari kota.   Angin sepoi-sepoi, matahari bersinar lembut.   Tok-ku Hong sama sekali sudah melupakan kejadian kemarin malam.   Wajahnya berseri-seri, kudanya dilarikan secepat kilat.   Melihat keceriaan Tok-ku Hong, Kongsun Hong merasa sangat gembira.   Langit bagai tak berbatas, awan putih beriak- riak.   Tiba-tiba terdengar suara keliningan.   Seekor merpati putih terbang melintas.   Mendengar suara itu, Kongsun Hong segera mendongakkan kepalanya.   "Merpati pos perguruan kita!"   Katanya tanpa sadar.   Baru saja ucapannya selesai, sekali lagi terdengar suara keliningan.   Kembali seekor merpati melintas di angkasa.   Kongsun Hong mengerutkan keningnya.   Kemudian dia mengeluarkan sebuah peluit dari balik pakaian dan meniupnya dua kali.   Burung merpati tadi segera membelok lalu menukik 256 ke arahnya.   Dengan sigap Kongsun Hong menyambutnya.   "Pasti telah terjadi sesuatu,"   Gumamnya seorang diri. Ada sebuah tabung kecil di kaki burung merpati itu. Kongsun Hong melepaskan burung tersebut dan mengeluarkan sehelai kertas kecil dari dalamnya. Selesai membaca, wajahnya berubah hebat.   "Hei! Sebetulnya apa yang telah terjadi?"   Tanya Tok-ku Hong panik.   "Cabang tiga belas hancur lebur. Hu-tancu dan segenap anak buah Bu-ti-bun mati semuanya,"   Sahut Kongsun Hong.   "Apa?"   Wajah Tok-ku Hong juga berubah pucat.   "Cepat kita kembali dan melihatnya sendiri,"   Kata Kongsun Hong sambil membelokkan kudanya dan melarikannya dengan kencang. Debu beterbangan. Kedua ekor kuda dilarikan seperti kesetanan. ***** "Siapa yang melakukannya?"   Ketika Kongsun Hong mengajukan pertanyaan itu, dia dan Tok-ku Hong sudah berada dalam kamar penginapan Sing Long Kek-can.   Kongsun Hong melayang telapak tangannya dan menampar pipi Sao-laopan.   Tubuh pemilik penginapan itu bergetar kencang.   Dengan susah payah dia berhasil mengucapkan 257 sepatah kata.   "Dia bernama Kuan Tiong-liu."   "Kuan Tiong-liu?"   Kongsun Hong mengerutkan keningnya.   "Bagaimana rupanya?"   "Masih sangat muda.   Pakaiannya putih.   Dia membawa dua orang bocah yang kalau tidak salah bernama Jit Po dan Liok ...   apa ya?"   "Apakah namanya Jit Po dan Liok An?"   "Betul."   "Apakah orang ini mempunyai kebiasaan menggunakan mangkuk dan sumpitnya sendiri setiap makan?"   "Betul,"   Tampaknya setiap waktu Sao-laopan akan semaput.   "Rupanya dia lagi,"   Kata Tok-ku Hong sambil menggertakkan giginya.   "Ke mana orang itu sekarang?"   Tanya Kongsun Hong kembali.   "Kalau tidak salah dia pergi melalui hutan,"   Sahut Sao-laopan.   "Kalau melalui hutan, tempat satu-satunya yang berada di jurusan itu hanyalah Bu-tong-san. Apakah orang ini juga murid Bu-tong-pai?"   Kata Kongsun Hong agak heran.   "Kalaupun bukan, tujuannya pasti Bu-tong-san,"   Sahut Tok-ku Hong. 258 Kongsun Hong merenung sejenak.   "Bukankah Suhu telah memerintahkan Han-ciang Tiau-siu mengintai gerak-gerik Bu- tong-pai di sekitar ini?"   "Memang betul."   "Kita harus mengirim surat lewat merpati pos segera, suruh Han-ciang Tiau-siu mengadang orang itu."   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Betul!"   Tok-ku Hong setuju dengan usul itu.   Dia segera menghambur keluar kamar.   Kongsun Hong mengikuti di belakangnya.   Baru beberapa langkah, dia membalikkan tubuhnya dan mendelik ke arah Sao-laopan.   "Sao-laopan ...   Kami percaya apa yang kau katakan.   Tapi apabila ada setengah kata saja kau berdusta, maka ...."   "Kau akan merasakan seperti apa yang terjadi pada teko itu!"   Teriak Tok-ku Hong sambil menolehkan kepalanya. Tangannya mengebas.   "sret!", sebilah golok liu-yap-to meluncur ke arah teko teh yang ada di samping Sao-laopan. Sinar dingin berkelebat, teko teh pecah menjadi dua bagian. Pisau itu masih meluncur terus dan menancap di atas tempat tidur. Sao-laopan terkejut sekali. Setelah terhuyung-huyung sejenak, dia semaput kembali. ***** Air sungai mengalir jernih. Tengah hari sudah lewat, namun senja belum menjelang. 259 Seorang pengail bertopi pandan duduk di atas sebuah batu di tepi sungai. Dia hanya seorang diri dan tampak sedang terkantuk-kantuk. Batang kailnya berwarna hijau kehitaman, sedangkan tali pancingnya agak kasar dari yang biasa. Bambu dan tali pancing itu bergerak-gerak berkilauan disoroti sinar matahari. Tidak terlihat seekor ikan pun. Sinar mata pengail itu tertumpu pada batang bambu di tangannya. Sulit menduga apakah dia sedang merasa kecewa atau tidak. Tangannya yang menggenggam batang bambu masih demikian mantap. Sehelai daun terbawa aliran air sungai. Kuan Tiong-liu berdiri di ujung perahu seorang diri. Tampaknya dia sedang menikmati keindahan pemandangan pada kedua tepian sungai. Jit Po dan Liok An duduk di dalam perahu. Tampaknya mereka tidak terbiasa naik perahu. Di bagian buritan ada seorang nelayan. Tangannya juga memegang sebatang bambu sebagai alat untuk memancing. Perahu melintas. Pengail tua tadi menggerakkan batang bambunya. Dia menariknya kencang-kencang. Tali pancing terungkit dari dalam air.   "byar!"   Kailnya tersangkut di bagian ujung perahu.   Perahu yang sedang melintas mengikuti arus air itu berhenti seketika.   Pengail tua itu mengerahkan tenaganya.   Sekali tali pancing ditariknya, perahu tersebut tertarik olehnya.   Lalu perlahan mendekati tepian sungai.   Rupanya yang dipancing oleh pengail tadi bukan ikan tapi manusia.   Nelayan yang berada di buritan terkejut sekali.   Jit Po dan Liok An memalingkan wajahnya memandang Kuan Tiong-liu.   Anak 260 muda itu seperti tidak merasakan apa-apa.   Dia juga menatap ke arah pengail tua tersebut.   Perahu semakin dekat ke tepian sungai.   Tiba-tiba tubuh Kuan Tiong-liu melesat di udara dan mendarat di samping pengail tua itu.   Penampilannya sangat tenang, bahkan di wajahnya terlihat sekulum senyuman.   Liok An dan Jit Po segera mengikuti gerakan tuan mudanya.   Mereka mendarat di samping Kuan Tiong-liu.   Senyuman anak muda itu semakin lebar.   Nelayan tua di atas perahu segera menyurutkan badannya.   Sedangkan pengail di tepi sungai sama sekali tidak mempedulikan mereka.   Tali pancingnya ditarik kembali.   Dia membalikkan tubuhnya perlahan.   "Merepotkan kau orang tua,"   Kata Kuan Tiong-liu setengah bergumam.   Pengail tua itu tampak terpana.   "Oh? Apakah kau tahu siapa aku?"   "Orang yang menggunakan pancingan sebagai senjata siapa lagi kalau bukan Siang-ciang Hi-ing?"   "Termasuk makhluk apa Siang-ciang Hi-ing itu? Orang yang menggunakan pancingan sebagai senjata, memangnya cuma dia saja?"   Sahut pengail tua itu sambil mendengus dingin.   "Sebetulnya masih ada satu lagi Han-ciang Tiau-siu,"   Kata Kuan Tiong-liu dengan nada dingin.   "Tapi dengan kedudukan seperti orang tua itu, mana mungkin dia sudi duduk di tepi 261 sungai menunggu aku?"   "Bocah busuk! Lidahmu tajam sekali!"   Pengail tua itu melepaskan topi pandannya. Terlihat rambutnya yang sudah memutih. Wajahnya sudah keriput semua.   "Aku memang Han- ciang Tiau-siu,"   Katanya.   "Ternyata memang kau orang tua!"   Kuan Tiong-liu pura-pura terkejut.   "Harap maafkan boanpwe yang tidak tahu aturan. Entah apa yang kau inginkan orang tua?"   "Kuan Tiong-liu!"   Teriak Han-ciang Tiau-siu.   "Kau menghancurkan cabang tiga belas Bu-ti-bun kami. Dan kau juga membunuh anggota-anggotanya. Lohu hari ini akan menjernihkan utang piutang ini."   "Apakah Lojinke (orang tua) juga merupakan anggota Bu-ti- bun?"   Tanya Kuan Tiong-liu bersandiwara.   "Tidak salah! Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong."   "Boanpwe ingin bertanya kepada Lojinke, entah apa kedudukanmu di Bu-ti-bun?"   "Hu-hoat!"   "Boanpwe semakin tidak mengerti,"   Kata Kuan Tiong-liu sambil tertawa dingin.   "Locianpwe pernah menggetarkan dunia kangouw selama puluhan tahun. Dengan kedudukan locianpwe, mengapa sudi menurunkan derajat menjadi hu- hoat orang?"   "Jangan banyak bicara!"   Sahut Han-ciang Tiau-siu dengan 262 wajah garang.   "Setelah membunuh anak buah Bu-ti-bun, kau orang tua segera menampilkan diri. Apabila boanpwe membunuh engkau, apakah Tok-ku Bu-ti akan mencariku untuk membalaskan dendam bagimu?"   Tanya Kuan Tiong-liu sinis.   "Besar sekali mulutmu. Tidak heran kau berani membunuh anak buah Bu-ti-bun,"   Kata Han-ciang Tiau-siu marah.   "Jangan kata baru anak buah, hu-hoatnya juga aku berani bunuh!"   Han-ciang Tiau-siu malah tertawa terbahak-bahak.   "Bagus! Hari ini aku orang tua harus memberi pelajaran kepadamu!"   Batang bambunya segera diangkat ke atas. Jit Po juga mengeluarkan pedang pendeknya. Han-ciang Tiau- siu menutul kakinya dan melayang sejauh tiga depa di mana terdapat sebuah tanah kosong.   "Ke sini!"   Katanya. Kuan Tiong-liu menghunus pedangnya. Pergelangan tangan digetarkan. Sekali loncat dia juga sudah berada di tanah kosong itu dan berdiri berhadapan dengan Han-ciang Tiau-siu.   "Silakan!"   Katanya.   Han-ciang Tiau-siu berteriak lantang, pancingannya segera digerakkan dan mengincar tiga urat darah mematikan Kuan Tiong-liu.   Pancingan tersebut merupakan senjata di luar 263 senjata.   Orang yang menggunakan senjata semacam ini harus mempunyai tenaga dalam yang kuat.   Kuan Tiong-liu juga sadar bahwa pengail tua ini pernah menggetarkan dunia kangouw dua puluh tahun yang silam.   Ilmu silatnya tinggi sekali.   Dia tidak berani memandang ringan.   Tubuhnya meleset dengan ringan.    Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini