Ilmu Ulat Sutera 9
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 9
Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying Sekarang kain penutupnya sudah terlepas. Wajahnya berubah pucat. Sejenak kemudian dia tertawa getir. "Memang aku," Sahutnya sambil memasukkan pedangnya ke dalam sarung. Seluruh tubuh Kuan Tiong-liu bergetar saking marahnya. Tiba- tiba dia tertawa terbahak-bahak. "Bu-tong-san memang tempat bersarangnya naga dan harimau. Tidak tersangka hari ini, aku Kuan Tiong-liu terjungkal di tangan seorang Bu-beng- siau-cut!" Katanya. Wan Fei-yang ikut tersenyum. "Hal ini hanya kebetulan saja." Kuan Tiong-liu mendengus dingin. "Anggap saja aku sedang 353 sial!" Tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya dengan maksud menggorok lehernya sendiri. Untung saja gerakan Wan Fei-yang cukup cepat. Dia segera merebut pedang di tangan Kuan Tiong-liu. "Apa yang kau lakukan?" Teriak Kuan Tiong-liu marah. Wan Fei-yang mengembangkan kedua tangannya. "Tidak apa- apa." "Apa urusanmu dengan mati hidupku?" Bentak Kuan Tiong-liu kesal. "Mana bisa tidak ada hubungannya. Selama ini aku belum pernah membunuh orang. Andai kata kau mati begitu saja, bagaimana aku bisa hidup tenang kelak?" Sahut Wan Fei-yang sembarangan. "Sebetulnya, kau pernah belajar pedang bukan?" Tanya Kuan Tiong-liu marah. "Tentu pernah ...." "Kalau begitu, kau tentu mengerti bagaimana menderitanya perasaanku sekarang." Wan Fei-yang tertegun. "Apa yang kau derita? Kau kan tidak terluka?" Dia mengusap luka kecil di keningnya. "Malah aku yang menderita," Katanya. Hampir saja Kuan Tiong-liu jatuh pingsan karena jengkel. "Cukup ... kau memang sudah mengalahkan aku, tidak perlu mengucapkan kata-kata yang menghibur." 354 Wan Fei-yang tidak mengerti apa yang dikatakan Kuan Tiong- liu. Dia menatap anak muda itu lekat-lekat. "Aku sering mendengar orang mengatakan bahwa kalah menang dalam suatu pertarungan adalah hal yang umum. Mengapa pikiranmu begitu sempit?" Tanyanya heran. Akhirnya Kuang Tiong-liu dapat merasakan kalau Wan Fei- yang bukan sedang mengejeknya. "Usiamu juga masih sangat muda. Belum tujuh atau delapan puluh tahun. Asal kau berlatih dengan giat, siapa tahu kelak kau akan berhasil mengalahkan aku," Kata Wan Fei-yang selanjutnya. Kuan Tiong-liu menggertakkan giginya erat-erat. "Baik ... aku pasti akan berlatih dengan giat. Tapi, kau harus berhati-hati kelak." "Terima kasih," Sahut Wan Fei-yang lugu. Dia sama sekali tidak mengerti maksud Kuan Tiong-liu yang sebenarnya. "Kelak, apabila aku datang kembali mencarimu dan engkau tidak ada atau pendek usia, maka aku akan lebih menderita daripada sekarang," Kata Kuan Tiong-liu kembali. Tanpa menunggu jawaban dari Wan Fei-yang, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu. Baru beberapa langkah dia kembali lagi untuk mengambil pedangnya yang ketinggalan. Kemudian dia melesat dan naik ke atas sebatang pohon. "Jit Po, Liok An, mari kita pergi!" Teriaknya. Pada saat itu, jarak 355 mereka agak berjauhan dengan orang lainnya. Tanpa sadar mereka bertarung terus sehingga tubuh mereka bergeser sampai tepian sungai bagian hulu. "Cara bicara orang ini aneh sekali," Gumam Wan Fei-yang seorang diri. Suara langkah kaki terdengar mendatangi. Wan Fei-yang cepat-cepat memungut kain hitam tadi dan menutup wajahnya kembali. Orang yang mendatangi ternyata Kongsun Hong dan Tok-ku Hong. Tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung. Tampaknya tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Kongsun Hong menjura dalam-dalam kepada Wan Fei-yang. "Sobat, terima kasih atas pertolonganmu," Katanya. Kesan Wan Fei-yang kepada kedua orang ini memang kurang bagus. "Tidak perlu berterima kasih. Apa yang aku lakukan bukan kehendakku sendiri," Sahutnya datar. "Kalau begitu ...." "Buat apa bertanya banyak-banyak?" "Aku masih belum tahu nama besar tuan," Kata Kongsun Hong menahan sabar. "Apakah kau tidak bisa kurangi pembicaraanmu?" "Sobat ...." "Jangan memanggilku demikian mesra. Aku tidak akan bersobat dengan manusia sepertimu!" Kata-kata Wan Fei-yang 356 sama sekali tidak sungkan-sungkan. Tanpa sadar Kongsun Hong mendengus dingin. Dan pada saat itu juga, terdengar suara. "Bruk!", Tok-ku Hong yang berada di belakangnya jatuh tidak sadarkan diri di atas tanah. Wan Fei-yang menghampiri dengan tergesa-gesa. Dia memeriksa gadis itu sejenak. Kemudian dia menarik napas panjang. "Rupanya keluar darah terlalu banyak." Dia menoleh kepada Kongsun Hong. "Kemari kau!" Teriaknya. Sejak tadi Kongsun Hong memang berniat menghampiri, tapi kakinya sulit digerakkan. Sebetulnya luka yang dideritanya malah lebih parah daripada Tok-ku Hong, hanya saja tenaga dalamnya lebih tinggi, dia masih dapat memaksakan diri untuk bertahan. Mendengar panggilan Wan Fei-yang dia menyeret kakinya dengan susah payah untuk mendekati Tok-ku Hong. Wan Fei-yang tidak sabar melihat kelambatannya. Dia menarik lengan baju Kongsun Hong dan merobeknya, lalu di katnya luka Tok-ku Hong. Mulutnya malah menggerutu. "Sumoay sendiri saja tidak becus melindungi. Buat apa jadi suheng!" Dada Kongsun Hong terasa hampir meledak. Langkah kakinya terhuyung-huyung. Segumpal darah segar muncrat dari mulutnya. Tubuhnya segera terkulai di atas tanah. Dia juga jatuh pingsan seketika. ***** 357 Tengah hari, sebuah kereta bergerak perlahan di atas jalanan bebatuan. Kongsun Hong sudah sadar. Dia duduk di sebelah kanan dalam kereta. Tok-ku Hong di sebelah kiri. Gadis itu masih pingsan. Sambil mendorong kereta, Wan Fei-yang bersenandung kecil. Tampangnya sungguh menyedihkan. Kongsun Hong malah panik sekali. Tanpa sadar dia berteriak. "Sobat ... apakah kau tidak bisa mendorongnya lebih cepat?" Senandung Wan Fei-yang berhenti seketika. Matanya mendelik ke arah Kongsun Hong. "Kalau mau cepat, doronglah sendiri!" Sahutnya acuh tak acuh. Kongsun Hong menahan sabar sebisanya. "Aku hanya mengkhawatirkan luka yang diderita sumoayku." "Apa yang harus dikhawatirkan?" Tanya Wan Fei-yang seenaknya. Dia kembali bersenandung. Di kejauhan sana tembok kota sudah terlihat. Beberapa puluh depa di ujung sana terlihat serombongan manusia berpakaian hitam keluar dari balik pepohonan. Mereka menyongsong kedatangan kereta Kongsun Hong. Yang paling depan memakai ikat kepala berwarna merah. Wan Fei-yang terpana melihat rang-orang itu. Kongsun Hong malah kegirangan. "Bagus sekali! Orang yang menyambut kami sudah datang," Katanya tanpa sadar. 358 Wan Fei-yang mendengus dingin. Dia menghentikan keretanya seketika. Rombongan manusia berpakaian hitam itu sudah sampai di hadapan Wan Fei-yang. Melihat keadaan Kongsun Hong dan Tok-ku Hong, mereka merasa sesuatu terjadi luar dugaan. Namun mereka tidak berani bertanya apa- apa. Laki-laki yang memakai ikat kepala berwarna merah segera menjura dalam-dalam. "Hiongcu cabang kedelapan, Ciang Ping menghadap Kongsun-tongcu dan Toa-siocia, katanya. Belum lagi Kongsun Hong menyahut, Wan Fei-yang yang sudah berpindah ke belakang segera menukas. "Kebetulan orang-orang kalian sudah menyambut, aku mau pergi." Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Begitu mengatakan hendak pergi, dia benar-benar melangkah meninggalkan tempat itu. "Harap tunggu sebentar!" Panggil Kongsun Hong gugup. Wan Fei-yang menghentikan langkah kakinya tanpa menoleh. "Ada apa?" "Bolehkah sobat mengatakan nama besarmu?" "Untuk apa kau ingin mengetahuinya?" "Kalau tidak tahu, bagaimana kelak aku bisa mencari sobat." "Oh ... kau ingin membalas budi ...." Wan Fei-yang menggoyang-goyangkan tangannya. "Ada pepatah yang mengatakan bantuan yang tulus tidak mengharapkan pembalasan budi." 359 "Budi menyelamatkan jiwa, bagaimana pun harus dibalas," Kata Kongsun Hong serius "Tapi, meskipun sobat tidak menghargai aku, budi ini tetap harus kubalas." Wan Fei-yang terpana. "Kalau begitu, aku semakin tidak bisa mengatakannya!" Tubuhnya melesat. Dalam sekejap mata menghilang dari pandangan. Kongsun Hong memandangi kepergian penolongnya dengan tatapan dingin. Dia juga tidak memanggilnya kembali. ***** Warna kemerahan mulai tenggelam di ufuk barat. Senja hari hampir berlalu. Keringat membasahi tubuh Wan Fei-yang. Dia mendongakkan kepalanya menatap langit. Dia agak terkejut. "Celaka! Sudah hampir malam. Aku harus mengambil jalan kecil melintas kembali ke Bu-tong-san," Gumamnya. Dia membelok ke sebuah jalan kecil. Tubuhnya berkelebat laksana terbang. ***** Matahari sudah tenggelam secara keseluruhan. Malam pun tiba. Ruang makan di Bu-tong-san kalang kabut. Tidak ada 360 Wan Fei-yang, tidak ada yang menanakkan nasi untuk mereka. Perut mereka sudah keroncongan dan menimbulkan bunyi keriyuk ... keriyuk .... "Sudah sehari penuh ... kemana perginya si Wan Fei-yang itu?" "Mungkinkah karena sudah tidak tahan dipermainkan oleh kita, maka sekarang dia kabur dari Bu-tong-san?" "Bisa jadi ...." "Kalau bocah itu ada di sini, kita tidak pernah merasakan apa- apa. Sekali tidak ada, kita malah jadi kelabakan." "Apa tidak. Lihat dia sebal, tidak ketemu malah rindu." "Ha ... ha ... ha ...." "Masih sempat tertawa? Lebih baik kita ramai-ramai mencari dia." "Kalian saja yang pergi, hanya Thian yang tahu apakah dia masih hidup." "Jangan berpikiran jahat." "Seandainya mati, kita juga tidak perlu heran. Selama beberapa tahun ini, mana pernah dia tidak kelihatan sepanjang hari." "Oh ya ... biasanya dia paling sering ke mana?" Yang mengajukan pertanyaan ini adalah Fu Giok-su. 361 "Dia paling suka pergi ke telaga menangkap ikan," Sahut Lun Wan-ji. "Kalau begitu kita mencarinya di tempat itu." Tentu saja Wan-ji setuju. Murid yang lainnya juga mengikuti dari belakang. Ucapan mereka terdengar oleh Wan Fei-yang. Sebetulnya dia sudah sampai dan bersembunyi di luar ruang makan. Dia sedang kebingungan mencari alasan untuk masuk ke dalam dan menjawab pertanyaan mereka. Sekarang dia justru menemukan akal yang bagus. ***** Air telaga itu sangat jernih. Wan Fei-yang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Setelah yakin tidak ada orang, dia segera masuk ke dalam telaga. Kemudian dia mendengar suara langkah kaki dan seruan orang ramai. Dia segera merendam seluruh tubuhnya ke dalam telaga tersebut. Oleh karena itu, ketika orang ramai sampai di tepi telaga, tubuh bahkan kepalanya sudah basah kuyup. Dia malah berpura-pura terapung-apung di dalam air. Wan-ji merupakan orang pertama yang menemukannya. "Hei! Kalian lihat!" Serunya terkejut. "Bocah ini sungguh keterlaluan. Berkali-kali dinasihati agar main di tempat lain. Sekali kurang hati-hati, nyawa taruhannya. Tapi dia tidak mau mendengar perkataanku," 362 sambung Yo Hong menggerutu. "Coba kalian pikir, mungkinkah dia putus asa dan merasa tidak ingin hidup lagi maka bunuh diri di sini?" Tanya salah seorang murid Bu-tong yang ikut dalam pencarian itu. "Ngaco! Kalau dia benar-benar ingin bunuh diri pasti memilih tempat yang lain!" Bentak Cia Peng marah. "Siapa tahu setan air sedang mencari pengganti dirinya." "Jangan banyak mulut!" Teriak Cia Peng semakin kesal. "Cepat bawa dia naik!" Fu Giok-su segera turun ke dalam air. Dengan cepat dia menghampiri tubuh Wan Fei-yang dan menggendongnya naik. "Apakah dia masih hidup?" Teriak Cia Peng dari ujung sana. "Napasnya masih ada." Sahut Fu Giok-su sambil tergesa-gesa menggendongnya ke atas. "Hanya keningnya saja yang terluka." Beramai-ramai mereka menghampiri tubuh Wan Fei-yang. ***** Malam sudah mulai larut. Wan Fei-yang digotong oleh para murid Bu-tong ke dalam kamarnya. Pakaiannya sudah diganti. Dan tubuhnya terbaring di tempat tidur. Tapi dia masih pura- pura tidak sadarkan diri. 363 Yang lainnya sudah pada keluar. Di dalam kamar hanya tersisa Fu Giok-su dan Lun Wan-ji. Giok-su menatap luka di kening Wan Fei-yang lekat-lekat. Sekilas kecurigaan tersirat di wajahnya. Aneh ... luka itu seperti tersayat pedang. Fu Giok-su sudah tahu, tapi tidak mengatakan apa-apa. Lun Wan-ji yang melihat Fu Giok-su memandangi Wan Fei-yang dengan termangu-mangu malah merasa heran. "Fu-toako ... kenapa kau?" Fu Giok-su menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa." "Tampaknya kau juga sudah lapar," Kata Wan-ji dengan suara lembut. "Aku akan memasakkan sedikit makanan untukmu." "Aku ikut bersamamu," Sahut Giok-su. "Apakah kau bisa masak?" "Tidak bisa kan ada engkau yang mengajari." Keduanya saling pandang sekilas. Lalu Giok-su bangkit dan bersama Wan-ji mereka meninggalkan kamar tersebut. Baru saja pintu tertutup, Wan Fei-yang sudah membuka matanya. Tadinya dia gembira sekali, sekarang perasaan hatinya seperti tertekan. Suara tawa dan canda Giok-su dan Wan-ji sayup- sayup tertangkap oleh telinganya. 364 ***** Malam semakin larut. Di hutan yang terpencil berdiri tegak si manusia berpakaian hitam. Dia mendengarkan dengan seksama laporan Wan Fei- yang tentang pertarungannya dengan Kuan Tiong-liu. Anak muda itu makin cerita makin bersemangat. Perasaannya yang tertekan sudah hilang sejak tadi. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Manusia berpakaian hitam menutupi wajahnya dengan kain. Tidak terlihat bagaimana perasaannya saat itu. Dia hanya mengangguk-angguk sekali-kali. Sampai Wan Fei-yang menyelesaikan ceritanya, baru dia membuka suara. "Rasa percaya dirimu sangat tinggi. Oleh karena itu juga kau berhasil mengalahkan Kuan Tiong-liu. Aku sangat gembira mendengarnya." Mendengar perkataan itu, hati Wan Fei-yang semakin senang. Manusia berpakaian hitam itu maju dua langkah kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Tapi kau juga mempunyai kelemahan. Lain kali kau harus mengubahnya." Wan Fei-yang tertegun seketika. "Eh?" "Hatimu kurang kejam." "Bagaimana suhu bisa berkata demikian?" 365 "Kalau hatimu cukup kejam, Kuan Tiong-liu pasti tidak mempunyai kesempatan merebut kembali pedangnya dan membuka kedokmu." "Hanya luka ringan, tidak apa-apa," Sahut Wan Fei-yang. "Seandainya tenaga dalam Kuan Tiong-liu lebih tinggi dari sekarang, tebasan pedangnya itu pasti akan membelah kepalamu menjadi dua bagian." Wajah Wan Fei-yang berubah pucat. "Ingat! Biar bagaimana, musuh adalah musuh. Turun tangan harus cepat, tepat dan keji. Hati dan pedang bersatu, jangan memencarkan perhatian," Kata manusia berpakaian hitam itu sepatah demi sepatah. "Tecu akan mengingatnya dalam hati." "Bagus! Malam ini kau harus berlatih terus cara memecahkan Jit-sing-kiam-ceng yang aku ajarkan tadi malam." Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya. Mata manusia berpakaian hitam itu bersinar tajam. Dia membalikkan tubuhnya dan melesat meninggalkan tempat itu. ***** Begitu masuk ke dalam hutan, mata manusia berpakaian hitam itu bersinar semakin tajam. Dia mengedarkan 366 pandangan ke sekelilingnya, seakan ada sesuatu yang tidak beres. "Apakah aku salah dengar?" Gumamnya seorang diri. Tiba-tiba. "cittt!", seekor kera melintas di hadapannya. "Rupanya hanya seekor kera," Katanya dalam hati. Manusia berpakaian hitam itu kembali menggerakkan tubuhnya menuju luar hutan. Tubuhnya berkelebat melewati jalan bebatuan. Sesaat kemudian, seseorang berjalan keluar dari balik pepohonan. Dia adalah Fu Giok-su! Anak muda tersebut menatap ke arah manusia berpakaian hitam itu menghilang. Wajahnya mengandung kecurigaan yang dalam. Matanya sama sekali tidak berkedip. Siapakah orang ini sebetulnya? Mengapa dia harus bersembunyi di Bu-tong-san dan mengajarkan ilmu silat kepada Wan Fei-yang? Fu Giok-su benar-benar tidak habis pikir. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, petir meyambar. Seluruh bumi bagai tergetar olehnya. Sekali lagi petir menunjukkan kekuasaannya. Mata Fu Giok-su bersinar. Dia membalikkan tubuh dan melesat ke arah yang berlawanan ***** Petir menyambar saling susul-menyusul. Mereka seakan sedang mengadakan perlombaan. Jeritan yang histeris memekakkan telinga. Menggetarkan seluruh Bu-tong-san. 367 Gerakan tubuh Fu Giok-su bagai anak panah. Dia melesat menuju bagian belakang gunung. Di langit terlihat guratan putih melintas cepat. Petir menyambar sekali lagi. Suara jeritan yang mengenaskan kembali terdengar. Mendebarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Gerakan tubuh Fu Giok-su tidak berhenti. Dia terus menerjang ke depan. Setelah melewati sebuah jalan kecil, dia sampai di tempat yang penuh dengan batu karang. Kemudian ia membelok ke kanan. Setelah berlari puluhan depa, dia melintasi sebuah jembatan gantung yang bergoyang-goyang tertiup angin. Fu Giok-su menolehkan kepalanya memandang ke sekeliling. Kakinya lalu menutul dan melayang melalui jembatan gantung tersebut. Di ujung sana terlihat pohon-pohon yang rimbun. Batu-batu kerikil memenuhi tanah. Fu Giok-su melambatkan langkah kakinya. Di berjalan perlahan melalui jalan kecil tadi. Terhadap keadaan sekitar itu, tampaknya dia sudah mengenal baik. Apabila melangkah ke depan, terlihat gerombolan pohon di sana sini. Kabut tebal melayang-layang. Hawa dingin menggigilkan tubuh. Tidak terdengar suara serangga atau pun kicauan burung. Di dalam gerombolan pohon, suasana demikian sepi bagai alam orang mati. Fu Giok-su maju terus. Di depan sana malah jauh berbeda dengan tempat sebelumnya. Satu batang pohon pun tidak terlihat. Batu-batu besar berbentuk aneh justru banyak. Kabut semakin tebal. 368 Di tengah batu-batu besar yang aneh itu ada sebuah gua. Langkah kaki Fu Giok-su tidak berhenti. Dia masuk ke dalam gua tersebut. Dari balik saku pakaiannya dia mengeuarkan sebuah benda yang dapat bercahaya di dalam gelap. Cahaya api segera menerangi sekitarnya. Tembok sekitar gua itu sudah dilapisi es. Pantas saja kabut demikian tebal dan hawa begitu ingin. Malah ada beberapa gumpalan es batu yang bergelantungan sepanjang gua itu. Kurang lebih tiga depa di depan sana, terlihatlah sebuah telaga. Uap dingin mengepul-ngepul dari telaga itu. Seluruh telaga itu seolah baru dididihkan sehingga uapnya meninggi. Fu Giok-su tahu bahwa uap yang terlihat itu justru menandakan dinginnya air di dalamnya puluh tahun. Hawa dingin semakin menusuk bagai ribuan jarum kecil yang ditancapkan ke dalam daging. Sekeliling tembok situ penuh luapan air telaga. Kira-kira beberapa meter dari tepian telaga tersebut ada sebuah batu aneh berwarna hijau. Meskipun demikian, seluruh gua dan permukaan telaga dapat terlihat jelas. Seorang kakek yang sudah tua renta dengan pakaian compang-camping dan rambut panjang beriapan duduk di atas batu hijau yang aneh tadi. Rambut dan alisnya sudah memutih, bahkan terlihat bulu-hulu halus yang juga berwarna putih memenuhi keningnya. Wajahnya sendiri sudah penuh keriput. Demikian tuanya sehingga keriput di wajahnya tampak bagai guratan pisau. Kaki tangannya terikat sebuah rantai pajang. Kakinya mengecil sehingga tinggal tulang belulang. Matanya menatap 369 ke dalam telaga. Terlihat sinar ketakutan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dialah makhluk tua aneh yang dikatakan murid-murid Bu-tong. Dan dia sudah terkurung di tempat itu kurang lebih dua puluh tahun. Setiap kali hujan turun dan kilat menyambar, air telaga itu akan meluap dan naik ke batu hijau yang didudukinya. Dan separo tubuh bagian bawah pun terendam dalam air yang dingin seperti es itu. Oleh karena itu, terhadap bunyi guntur atau kilat, dia mempunyai rasa takut yang tidak terkirakan. Dia selalu menjerit histeris. Hal ini disebabkan oleh penderitaan yang telah dirasakannya bertahun-tahun setiap hari hujan dan air telaga meluap. ***** Fu Giok-su telah melihat makhluk aneh itu. Rasa perih di hatinya tidak terkirakan. Dia memadamkan penerangan di tangannya dan bermaksud mendekati. Tiba-tiba petir menyambar, kumandangnya bergema di dalam gua. Tubuh makhluk tua itu bergetar. Dia menjerit lagi. Tangannya mencakar ke kiri kanan batu dan tingkahnya sudah berubah kalap. Suara jeritannya begitu menyayat hati. Orang yang mendengar dari luar pasti akan tergetar hatinya. Namun, tampaknya kilat tidak menaruh belas kasihan kepada orang tua itu. Sambarannya malah saling susul menyusul. Suara jeritan pun tidak berhenti. Tubuh tua itu bergulingan di atas batu. Rantai yang mengikat kaki dan tangannya bergerincing. Tentunya dia sangat menderita. 370 Mendengar suara itu, air mata Fu Giok-su mengalir deras. Dia langsung melayang ke atas batu dan memeluk bahu orang tua itu erat-erat. Makhluk aneh itu terus menjerit. Dia mengerahkan tenaganya dan pelukan Fu Giok-su pun terlepas. Tubuh Fu Giok-su menggelinding di atas batu, dengan kalap dia bangkit kembali dan memeluk lagi orang tua itu. Kali ini tenaganya ditambah. Makhluk aneh itu terus memberontak. Berulang kali dia berhasil melepaskan diri dari pelukan Fu Giok-su. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tapi anak muda itu pantang menyerah. Dia mencobanya lagi dan lagi. Akhirnya dia mengambil sebutir pil dari balik pakaiannya dan memasukkannya k dalam mulut makhluk aneh itu. Setelah lewat sejenak, makhluk aneh tersebut tidak berontak lagi. Napasnya tersengal-sengal. Mulutnya terengah-engah dan mengeluarkan suara "krok! krok!". Sekian lama telah berlalu, akhirnya suara mengorok dari mulut makhluk aneh itu berhenti juga. Dia menarik napas dalam- dalam kemudian memandang Fu Giok-su. "Akhirnya kau datang juga," Katanya lirih. Orang tua itu mengulurkan tangannya mengelus wajah Fu Giok-su. "Kau jauh lebih kurus dari pada terakhir kalinya kau datang ke sini." "Sun-ji (cucu) datang terlambat, harap Yaya maafkan. Yaya sudah terlalu menderita," Kata Fu Giok-su dengan air mata berlinang. 371 Ternyata mereka adalah kakek dan cucu. Siapa Fu Giok-su sebenarnya? Fu Giok-su menggenggam tangan tua itu erat-erat. "Yaya... aku akan menjagamu. Jangan khawatir," Katanya sedih. "Betul ... kau kan sudah tumbuh menjadi orang dewasa," Sahut orang tua itu tertawa getir. "Waktu berlalu dengan cepat ...." "Cepat?" Teriak orang tua itu marah. "Sama sekali tidak cepat. Setiap hari aku duduk terkurung di sini dan memandangi air telaga!" Matanya menyorotkan kebencian hatinya. "Maling busuk Yan Cong-tian! Pada suatu hari nanti, aku akan menghancurleburkan tubuhnya." Fu Giok-su memeluk bahu orang tua itu. "Yaya ... hari itu pasti akan tiba. Sebentar lagi kau sudah bisa meninggalkan tempat ini," Katanya menghibur. "Keluar?" Sepasang mata orang tua itu beralih ke kakinya yang mengecil. "Apa gunanya keluar? Sepasang kakiku ini ...." Suara orang tua itu demikian menyayat. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Suara tawa itu sungguh tidak enak didengar karena lebih mirip tangisan dan ratapan. "Yaya ... aku mempunyai kabar yang baik," Kata Fu Giok-su panik. 372 "Kabar baik apa?" "Kami sudah mendapatkan Ban-ni-sik-tuan (penyambung ampuh laksaan tahun)" "Apa? Ban-ni-sik-tuan?" Teriak orang tua itu. Dia mencengkeram tangan Fu Giok-su erat-erat. "Hah! Benarkah apa yang kau katakan?" "Benar." "Kau tidak membohongi aku?" Fu Giok-su menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Ban-ni-sik-tuan segera akan dikirim ke sini, Pada saat itu, urat-urat Yaya yang terputus dapat tersambung kembali." Sembari mendengarkan bibir orang tua itu terus mengembangkan senyuman. Dia tertawa lebar kemudian tiba- tiba dia menangis. "Kalian tentunya berdusta. Kalian hanya ingin menghibur hatiku dan memberi harapan kepadaku!" Ratapnya pilu. "Tidak ... tidak bohong. Mereka mendapatkannya dalam sebuah gua terpencil di daerah Taili. Sekarang sedang dalam perjalanan," Kata Fu Giok-su panik. Makhluk tua itu memandangi Fu Giok-su. Akhirnya dia percaya juga. Wajahnya berseri-seri seketika. "Kami sudah mendapat berita bahwa tidak lama lagi 373 Congkoan akan sampai di sini," Kata Fu Giok-su selanjutnya. Makhluk tua itu tertawa terbahak-bahak. Kalau diperhatikan tingkahnya sudah mirip orang yang kurang waras. "Bagus! Yan Cong-tian, hari kematianmu sebentar lagi akan tiba!" Teriaknya lantang. "Yaya, bagaimanapun kau harus bersabar," Sahut Fu Giok-su mengingatkan. "Aku ... aku pasti bisa bersabar." Wajah makhluk tua itu berubah serius, seolah ada sesuatu yang teringat olehnya. "Oh ya.... Giok-su, malam ini kilat sudah menyambar demikian lama kau baru tiba. Apakah telah terjadi sesuatu di atas Bu- tong-san?" "Aku tadi mengikuti seorang manusia aneh berpakaian hitam," Sahut Fu Giok-su. "Apanya yang aneh? "Orang ini selain berpakaian hitam juga menutupi wajahnya dengan secarik kain hitam pula. Tampaknya setiap malam dia menyelinap ke dalam lembah yang terpencil dan mengajarkan ilmu silat kepada seorang pelayan," Kata Fu Giok-su menjelaskan. "Bagaimana hasilnya?" "Rasanya ilmu murid orang itu masih di atas sun-ji." Makhluk tua itu terpana. "Hm ... siapa nama pelayan itu?" "Wan Fei-yang," Fu Giok-su merandek sejenak. "Dialah yang selalu mengantarkan makanan untuk Yaya." 374 Makhluk tua itu terkejut sekali. "Hah?" "Manusia berpakaian hitam itu kemungkinan besar Ci Siong tojin sendiri," Kata Fu Giok-su dengan nada berat. "Hanya dia yang dapat mengajarkan ilmu demikian tinggi kepada Wan Fei-yang." "Ci Siong tojin adalah Ciangbunjin sebuah partai besar. Rasanya dia tidak perlu berbuat demikian," Sahut makhluk tua itu. "Mungkinkan Yan Cong-tian?" "Jangan sebut nama orang ini di hadapanku!" Teriak makhluk tua itu marah. "Baik ... baik. Sun-ji tidak akan menyebutnya lagi," Kata Fu Giok-su beruntun. Hati makhluk tua itu tenang kembali. "Apakah dia mata-mata yang ditanamkan di sini oleh Bu-ti-bun?" Gumamnya kemudian. ***** Menjelang senja. Laksaan li tidak terlihat awan. Air sungai tenang sekali. Sebuah kapal besar berlayar tiga berhenti di tengah sungai. Di tiang atas berkibar sebuah bendera berwarna putih. Di 375 tengahnya tampak sebuah telapak darah. Tidak usah diragukan lagi, kapal tersebut pasti milik Bu-ti-bun. Memang benar, salah satu dari empat Hu-hoat Bu-ti-bun, Han- ciang Tiau-siu duduk di dalam kapal. Tidak lama kemudian dia mengeluarkan pancingannya dan melemparkannya ke dalam sungai. Entah apa yang dipancingnya kali ini. Di angkasa terlihat seekor merpati melintas. Tali pancing Han- ciang Tiau-siu segera dilontarkan. Kaki burung merpati itu terkait dan ditariknya. Dia segera membuka tabung yang terikat di kaki burung tersebut dan mengambil surat yang ada di dalamnya. Setelah itu dilepaskannya burung itu kembali.. Cepat dia membuka surat tersebut dan membaca isinya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Tergesa-gesa dia masuk ke dalam kabin kapal. Tok-ku Hong sedang beristirahat di dalam sebuah kabin. Lukanya hampir sembuh secara keseluruhan. Kongsun Hong malah masih duduk di atas tempat tidur. Dia masih belum bisa bergerak. "Kabar apa yang dibawa oleh merpati pos kita?" Tanya Tok-ku Hong. Han-ciang Tiau-siu membeberkan surat tersebut di atas meja. "Orang kita sudah berhasil menyelidiki komplotan yang menyamar dan memalsukan kita serta melakukan berbagai pembunuhan." Sahutnya serius. Tok-ku Hong melihat sekilas. Kemudian dia menyerahkan surat itu kepada Kongsun Hong. "Tampaknya orang-orang kita harus disuruh ke Go-hok-kek- 376 can dan menyelidiki semuanya." "Biar lohu saja yang pergi," Sahut Han-ciang Tiau-siu. "Aku juga," Kata Tok-ku Hong. "Sumoay ...." Panggil Kongsun Hong. "Lukamu belum sembuh, kau tinggal saja di kapal ini," Tukas Tok-ku Hong yang mengerti maksud hati suhengnya. Kongsun Hong tertawa getir. Han-ciang Tiau-siu mengerlingnya sekilas dan tersenyum. "Jangan khawatir. Aku akan menjaga Toa-siocia baik-baik," Katanya. Kongsun Hong terpaksa menganggukkan kepalanya. ***** Go-hok-kek-can adalah sebuah penginapan besar. Di bawahnya terdapat sebuah rumah makan yang mewah. Tamu berdatangan tiada hentinya. Han-ciang Tiau-siu dan Tok-ku Hong tidak mencari tempat duduk. Mereka langsung menuju meja kasir. Han-ciang Tiau- siu mengeluarkan sebuah tanda pengenal bertuliskan Bu-ti dan meletakkannya di atas meja. Dia menyebut "Wi-tian-wei- toa, Ju-jit-fang-tiong" Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan suara lirih. 377 Ciangkuijin (pemilik penginapan) tertegun. "Huruf Thian kamar nomor tiga," Sahutnya dengan suara berbisik. Kemudian dia menolehkan kepalanya dan memanggil. "Cang Po!" Seorang pelayan segera mendatangi dengan tergesa-gesa. "Antar kedua tamu ke kamar nomor tiga dengan huruf Thian," Kata Ciangkui itu selanjutnya. Cang Po membungkukkan tubuhnya dengan hormat. "Liongwi, silakan!" Katanya. ***** Kamar itu berada di tingkat dua. Dari jendela orang bisa melihat ke jalanan. Ruangannya besar sekali. Di dalamnya sudah menunggu dua orang laki-laki berpakaian mewah. Pintu kamar didorong. Kedua laki-laki berpakaian mewah itu segera menyongsong ke depan. "Tancu cabang kedua belas Lim Seng dan Hu-tancu Cen Bu menghadap Toasiocia dan Hu-hoat," Kata mereka serentak. Tok-ku Hong menyahut dengan datar. "Bagaimana hasil penyelidikan kalian?" Tanya Han-ciang Tiau- siu. "Liongwi silakan duduk dulu," Kata Lim Seng ambil menarik dua buah bangku ke hadapan meja. 378 Cen Bu segera mengeluarkan dua buah kertas gambar dan membentangnya di atas meja. Di atas gambar-gambar itu terlihat dua rang wanita dengan dandanan yang berlainan, keduanya berusia setengah baya. "Setelah kejadian itu, kami menangkap dua ratus empat puluh tujuh orang dari sembilan puluh tujuh keluarga untuk ditanyai. Setelah melalui pemeriksaan yang panjang, kami menggunakan cara mengenali orang dengan lukisan. Akhirnya kami mendapatkan lukisan yang satu ini," Kata Lim Seng sambil mengunjuk ke gambar yang sebelah kiri. "Siapa orang ini?" Lim Seng menunjuk ke arah wajah di lukisan itu. "Wanita ini adalah ibu kandung Fu Giok-su. Dialah Fu-hujin yang sebenarnya." "Lalu, yang ini ...?" Tanya Tok-ku Hong. "Dialah wanita yang terbunuh itu. Kami mengutus sejumlah anak buah untuk menggali kuburan sepanjang malam, setelah itu kami melukis wajah perempuan ini dan kami, perlihatkan kepada para tetangga yang kami tangkap itu. Mereka semua mengenalinya sebagai inang pengasuh keluarga Fu," Sahut Lim Seng. Mata Tok-ku Hong beralih ke arah lukisan ibu kandung Fu Giok-su. "Aku takut yang ini juga palsu," Gumamnya. 379 "Tentang palsu atau benarnya, kami hanya tahu dari para penduduk sebelum Ci Siong tojin diajak masuk ke rumah itu," Sahut Lim Seng. Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Memang Fu-hujin ini juga jadi masalah," Kata Lim Seng selanjutnya. Cen Bu mengeluarkan lagi secarik kertas dan membebernya kembali di atas meja. Di atasnya tertera huruf-huruf kecil. Cen Bu segera membacanya. "Menurut laporan dari pedagang Yu Tian, tahun lalu bulan enam tanggal enam, pernah terlihat orang-orang ini muncul di jalan raya di kota Hun Liong. Pada saat itu, mereka menggotong babi panggang dalam jumlah yang banyak, maka dari itu menarik perhatian orang." "Teruskan!" Kata Tok-ku Hong. "Menurut laporan pedagang Wang Kiat, tahun yang sama bulan delapan tanggal dua belas, orang-orang ini pernah muncul di Ceng-bwe-ceng dan membeli kain dalam jumlah yang besar. Menurut laporan pedagang Cai Sing, tahun kedua bulan tiga tanggal sembilan, orang-orang ini pernah muncul di Pek-ka-cik. Pada saat itu, mereka memesan berbagai senjata dalam jumlah yang besar pula." "Orang-orang ini memang mencurigakan," Kata Tok-ku Hong. "Ada bukti apa lagi?" 380 "Di sini juga terdapat beberapa kuitansi dari berbagai toko. Menurut laporan, keluarga Fu membeli peti mati sejumlah lima puluh sembilan buah. Namun ketika orang-orang kami menggali kuburan, jumlah mayat hanya ada lima puluh. Dan mereka bukan terdiri dari orang-orang yang sehari-harinya keluar masuk rumah keluarga Fu." "Ada lagi," Tukas Lim Seng. "Kami berhasil menyelidiki toko yang membuat panji telapak darah palsu. Kami memaksa pemiliknya berbicara. Dia mengatakan bahwa tiga bulan sebelumnya keluarga Fu memesan panji tersebut sebanyak tiga kodi." "Kemudian kami berhasil menemukan setengah kodi dalam kamar keluarga Fu. Dua kodi lainnya ditemukan tertanam di dalam tanah," Kata Cen Bu. "Urusan ini kalian selidiki dengan baik. Pulang ke rumah nanti aku akan mengatakannya kepada ayah. Agar kalian menerima hadiah yang sesuai," Puji Tok-ku Hong. Lim Seng dan Cen Bu senang sekali mendengar janji itu. Mereka segera berdiri dan menjura dalam-dalam. "Terima kasih, Toa-siocia," Kata mereka serentak. "Di mana orang-orang itu sekarang?" Di toko obat seberang jalan," Sahut Lim Seng sambil melangkah menuju jendela. Dia menyingkapkan tirai jendela tersebut. 381 Han-ciang Tiau-siu dan Tok-ku Hong menghampiri. Tampak sebuah toko obat ada di seberang jalan. Toko itu tidak seberapa besar. Di atasnya terdapat sebuah papan merek bertulisan Po-ci dua huruf. "Kita sudah menyelidiki toko obat ini kurang lebih dua bulan lamanya," Kata Lim Seng menjelaskan. "Apakah kau melihat adanya orang yang mencurigakan keluar masuk toko tersebut?" Tanya Tok-ku Hong. "Setiap tujuh hari sekali, pasti ada seseorang yang sangat misterius datang ke tempat ini." "Jelaskan." "Orang itu memakai topi pandan berbentuk aneh. Sebagian wajahnya tertutup oleh topi tersebut, seakan takut ada orang yang mengenali wajah aslinya. Setiap kali keluar masuk selalu bertangan kosong. Tampaknya dia serang tokoh penting dalam komplotan tersebut." "Apakah kalian ada melakukan gerakan apa-apa?" Tanya Han- ciang Tiau-siu. "Kami takut memukul rumput mengejutkan ular. Oleh karena itu, kami hanya mengutus dua orang anak buah kami yang menyamar dan mengawasi di depan toko tersebut." "Kapan orang misterius itu akan muncul kembali?" "Hari ini!" 382 "Turunkan perintah agar mereka mengawasi lebih ketat," Kata Han-ciang Tiau-siu. Lim Seng dan Cen Bu mengiakan kemudian mengundurkan diri. ***** Keadaan di luar toko obat tenang sekali. Dekat tembok sebelah kiri ada seorang tukang ramal sedang meramalkan nasib seseorang tamu. Ujung tembok sebelah kanan ada seorang pedagang buah. Tanpa sengaja, kereta buah tersenggol oleh tangannya dan buah-buahan jatuh bergelimpangan di tanah. Dia memungutnya cepat-cepat. Keadaan di dalam toko lebih sepi. Seorang laki-laki duduk di belakang meja sedang menyiapkan obat-obatan. Seorang laki-laki berpakaian abu- abu muncul dari jalan raya. Dengan langkah santai dia masuk ke dalam toko obat tersebut. Dia memakai sebuah topi pandan berbentuk aneh. Begitu rendahnya topi itu sehingga seluruh wajahnya hampir tidak terlihat. Dialah orang misterius yang dikatakan oleh Lim Seng dan Cen Bu. Dia juga yang muncul belakangan di rumah keluarga Fu dan membunuh Ti Ciok dan Bok Ciok. Orang aneh tanpa wajah! Orang tua yang duduk di belakang meja segera berdiri menyambut. 383 "Silakan ... silakan masuk ke ruangan dalam," Katanya. Orang itu tidak menyahut sama sekali. Masih dengan gerakan santai dia masuk ke ruangan dalam. ***** "Orang itu yang kau maksudkan?" Tanya Tok-ku Hong yang mengintip lewat celah jendela. "Tidak salah ... dialah orangnya," Sahut Lim Seng cepat-cepat. "Apakah semuanya sudah siap?" "Semuanya sudah siap," Sahut Lim Seng sambil mengepalkan tinjunya. "Kapan waktu saja kita bisa bergerak." "Tidak usah tergesa-gesa," Sahut Tok-ku Hong sambil tertawa dingin. "Mereka sudah terkepung oleh orang-orang kita. Lihat saja perkembangan selanjutnya." "Bagus!" Han-ciang Tiau-siu setuju dengan usul itu. Apa lagi Lim Seng dan Cen Bun, mereka tidak berani mengatakan apa-apa. Kenyataannya di luar toko obat sudah bersembunyi banyak anggota Bu-ti-bun. Asalkan ada perintah dari atasan, mereka akan segera bergerak. ***** 384 Ruangan dalam toko obat agak gelap. Belasan orang menunggu perintah di sekeliling situ. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mereka semua menatap ke arah manusia berpakaian abu-abu. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Manusia berpakaian abu-abu itu berjalan mondar-mandir. Tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu. Mata setiap orang mengikuti gerakan si manusia berpakaian abu-abu. Hati mereka tegang sekali. "Kalian benar-benar ceroboh!" Tiba-tiba manusia berpakaian abu-abu itu berkata. Langkah kakinya terhenti. ***** Tepat pada saat itu, di depan toko obat berhenti sebuah tandu. Tandu itu sangat mewah. Empat laki-laki bertubuh tegap menggotong tandu tersebut dan langsung masuk ke dalam toko obat. Orang tua yang duduk di belakang meja itu berubah hebat wajahnya melihat kedatangan tandu tersebut. Cepat ia berdiri untuk menyambut. Siapakah sebetulnya orang yang berada dalam tandu itu? ***** 385 "Kami ..." Semua orang tertegun. "Rahasia tempat ini sudah bocor. Kalian malah tidak ada yang tahu!" Nada suara manusia berpakaian abu-abu itu terdengar marah sekali. Semua orang yang ada dalam ruangan itu kembali tertegun. Mereka saling lirik satu sama lainnya. "Sekarang tempat ini sudah berada di bawah pengawasan pihak musuh." "Tidak mungkin," Tukas seorang laki-laki berusia setengah baya. "Tindak-tanduk kita selama ini selalu dirahasiakan. Kami selalu berhati-hati." "Kalau sampai rahasia di sini bocor ...?" "Tidak mungkin." Manusia berpakaian abu-abu itu tertawa dingin. "Entah siapa yang melaporkan kepada Congkoan (petugas dari pusat)." "Kalau yang dimaksudkan tukang ramai dan bocah penjual buah-buahan yang ada di luar toko ...." "Mereka sudah ada di sini sejak dua bulan yang lalu." "Apakah tidak terlihat apa-apa yang mencurigakan pada diri mereka?" "Rasanya tidak ...." 386 "Justru aku merasa mereka terlalu istimewa," Kata manusia berpakaian abu-abu itu sambil tertawa dingin terus-menerus. "Peramal itu meramal berdasarkan dewa Cu-kek. Seharusnya dia menggunakan lima uang logam. Tapi tadi aku lihat dia hanya menggunakan empat mata uang logam saja. Dengan bukti ini, sudah terang dia itu peramal gadungan," Dia merandek sejenak. "mengenai bocah penjual buah-buahan itu, juga patut dicurigai. Tadi gerobaknya tersenggol. Aku sempat mendengar suara berdenting dari bawah gerobak tersebut. Dapat dipastikan bahwa dia menyembunyikan beberapa buah senjata di bawah gerobaknya." "Lagi pula ...." Terdengar sahutan suara seorang wanita berkumandang dari luar. "Di atas penginapan Go-hok-kek-can sudah ada yang mengawasi kita." ***** "Siapa lagi orang yang berada dalam tandu itu?" Tanya Tok-ku Hong heran. "Tidak tahu ...." Lim Seng mengeleng-gelengkan kepalanya. "Sebelumnya belum pernah aku melihat adanya tandu semacam itu muncul di situ." "Kemungkinan orang yang kedudukannya lebih tinggi dan diutus oleh ketua mereka untuk mengontrol keadaan," Kata Han-ciang Tiau-siu dengan nada berat. Tok-ku Hong juga mempunyai pendapat yang sama. Tapi dia diam saja. 387 Jilid 9 Selesai berkata, pintu didorong dari depan, seorang wanita melangkah masuk ke dalam. Wanita itu mencolok sekali dandanannya. Pakaiannya mewah, gayanya genit. Setiap kali melangkah pinggangnya lenggak-lenggok. Tangan kanannya menggenggam sebuah kotak kain yang sangat halus buatannya. Belasan orang yang melihat kedatangan wanita itu, tampak berubah hebat wajahnya. Manusia berpakaian abu-abu itu segera menghampiri dan membungkuk hormat. Wanita yang berpakaian warna-warni itu tertawa merdu. "Semua jendela yang menghadap ke tempat kita ini setengah terbuka. Hal ini tidak sulit diduganya." Manusia berpakaian abu-abu menganggukkan kepalanya. Wanita berpakaian abu-abu itu membalikkan tubuhnya dan menutup kembali pintu tadi. Manusia berpakaian abu-abu tadi segera menghunus pedangnya dan menikam leher laki-laki berusia setengah baya tadi. "Congkoan...!" Setiap orang yang ada dalam ruangan menyiratkan rasa terkejut yang tidak terkirakan. Gerakan pedang manusia berpakaian abu-abu berhenti. Pedangnya berkelebat ke kiri dan kanan. Kembali dia membunuh lima orang yang ada dalam ruangan itu. Sisa orang-orang itu panik sekali. Mereka mengeluarkan senjatanya masing-masing. Manusia berpakaian abu-abu seakan memandang sebelah mata. Pedangnya kembali 388 bergerak menembus jantung salah seorang yang tersisa. Hujan darah menciprat di mana-mana. Dua orang lagi tertikam oleh pedangnya. Kedua orang itu menjerit ngeri lalu roboh ke tanah. Ketika tubuh manusia berpakaian abu-abu itu melesat ke udara, salah seorang berusaha menerobos lewat jendela. Baru dia bermaksud menyelinapkan kepalanya ke dalam jendela tersebut, pedang manusia berpakaian abu-abu tadi sudah menebasnya dari belakang tepat di bagian kepala. Dia masih belum ingin berhenti. Selesai dengan yang satu, dia mengincar yang lain. Seorang laki-laki berusaha menghindar dan menyusup ke kolong meja, namun percuma. Pedang manusia berpakaian abu-abu itu menebas batang lehernya dan kepalanya segera melayang di udara dan jatuh ke tanah. Orang terakhir yang masih hidup tentu saja ketakutan setengah mati. Dia sadar tidak ada jalan keluar lagi. Akhirnya dia hanya berdiri menempelkan punggungnya di tembok menunggu kematian. Pedang manusia berpakaian abu-abu tidak mengenal kata belas kasihan. Dada orang itu ditikamnya sehingga menembus ke belakang. Belum sempat orang itu menjerit kesakitan, tubuhnya sudah roboh bermandikan darah. Warna merah menghiasi seluruh ruangan. Tembok maupun meja dan lantainya. Manusia berpakaian abu-abu itu tertawa dingin beberapa kali. Rasa bangganya belum lenyap, namun orang yang berada dalam ruangan itu sudah mati semua. ***** Tandu mewah tadi digotong keluar kembali, mereka 389 mengambil arah yang sama dengan datangnya. Orang tua pemilik toko obat itu mengantarkan sampai di depan dan menutup pintunya rapat-rapat. Melihat keadaan itu, kening Tok-ku Hong segera berkerut. Han-ciang Tiau-siu juga merasa curiga. "Tampaknya ada yang tidak beres," Katanya. "Su-hu-hoat, cepat kau kejar tandu itu. Kalau bisa, selidiki di mana letak markas mereka yang lain!" Perintah Tok-ku Hong. Han-ciang Tiau-siu menganggukkan kepalanya dan mengundurkan diri. "Yang lainnya ikut aku menyerbu ke dalam!" Perintah Tok-ku Hong selanjutnya. Sepasang goloknya sudah disiapkan di tangan. Dia keluar menerobos jendela. Lim Seng dan Cen Bu segera mengikuti gerakannya. Begitu mencapai tanah, Lim Seng mengibaskan tangannya. Puluhan anak buah Bu-ti-bun yang tadi menyamar sebagai tamu sebuah kedai minum segera berhamburan mendatangi. Pintu toko obat sudah tertutup rapat, dari dalam tidak terdengar sedikit suara pun. "Dobrak pintu itu!" Kata Tok-ku Hong. Para anggota Bu-ti-bun segera mengiakan. Mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan menggempur pintu itu hingga roboh. Berbondong-bondong mereka menyerbu ke dalam. Untuk sesaat mereka tidak bisa melihat apa-apa, 390 karena dalam ruangan itu dipenuhi asap tebal. Tentu ada orang yang melemparkan semacam granat sehingga ada waktu baginya untuk melarikan diri. Sekejap kemudian asap mulai menipis. Tampak orang tua pemilik toko obat duduk di belakang meja dengan kening bergurat luka. Orang tua itu sudah mati. "Serbu!" Teriak Tok-ku Hong. Dia langsung menerjang ke dalam. Lim Sen dan Cen Bu takut terjadi apa-apa pada nona besarnya, mereka mengikuti dari belakang. Di ruangan dalam terlihat mayat berserakan, darah segar masih menggenang di mana-mana, benar-benar sebuah pemandangan yang mengerikan. Tok-ku Hong mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan. "Pihak lawan sudah tahu kalau tindak-tanduk mereka diawasi oleh kita, maka dia membunuh semua anak buahnya sendiri agar tidak sempat membocorkan rahasia lainnya," Kata gadis itu. Baru saja selesai berkata, terdengar suara jeritan menyayat. Tok-ku Hong membalikkan tubuhnya dan menghambur ke arah asal suara. Sampai di depan toko obat dia melihat beberapa mayat anggota Bu-ti-bun tergeletak di sana. Tukang ramal dan bocah penjaja buah juga sudah roboh dengan luka mengerikan. Seorang manusia berpakaian abu-abu sedang bertempur dengan beberapa anggota Bu-ti-bun lainnya. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gerakan manusia berpakaian abu-abu itu sangat cepat. Berhasil membunuh dua orang, dia segera menutul kakinya meninggalkan tempat itu. Namun masih ada dua orang 391 anggota Bu-ti-bun yang mengadang di depannya. Pedangnya berkelebat, keduanya mati seketika. Tok-ku Hong menggertakkan giginya erat-erat. Dia mengejar manusia berpakaian abu-abu itu. Lim Seng dan Cen Bu segera mengikuti dari belakang. Tanpa memalingkan kepala sekalipun, manusia berpakaian abu-abu itu terus lari ke depan. Di jalanan para penduduk kalang kabut, mereka masuk ke dalam rumah masing-masing dan mengunci pintu rapat- rapat. ***** Keluar dari kota, melintas daerah terpencil kemudian masuk ke dalam hutan. Tok-ku Hong akhirnya berhasil mengejar manusia berpakaian abu-abu. Secepat kilat goloknya meluncur, manusia berpakaian abu-abu itu berkelit ke samping, kemudian meloncat ke atas sebatang pohon. Tampaknya dia hanya menghindar terus. Tok-ku Hong curiga melihat tindak tanduknya. Namun dia tidak mau melepaskan manusia berpakaian abu-abu itu begitu saja. Dia menutulkan kakinya dan mencelat ke atas pohon yang sama. Goloknya sulit mencapai sasaran karena dedaunan yang lebat. Manusia berpakaian abu-abu itu seolah tengah mempermainkannya. Begitu Tok-ku Hong naik ke atas pohon, dia meloncat turun kembali. Tok-ku Hong gagal menebas manusia berpakaian abu-abu itu. Dia segera menyusul turun. Tepat pada saat itu, kaki si manusia berpakaian abu-abu baru 392 mencapai tanah. Tok-ku Hong yang menyusul belakangan mengayunkan goloknya ke bawah. "Crep!", manusia berpakaian abu-abu sempat menggeser tubuhnya, namun topi pandannya yang berbentuk aneh tertebas juga oleh golok Tok-ku Hong. Gadis itu segera mendarat di tanah dan berdiri berhadapan dengan manusia berpakaian abu-abu itu. Topi orang itu sudah terlepas. Sekarang terlihatlah apa yang ada di balik topi tersebut. Tok-ku Hong berdiri tertegun. Orang itu sama sekali tidak mempunyai alis hidung atau pun mata. Wajahnya rata. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat manusia semacam ini. Meskipun dia seorang gadis yang pemberani, namun menemui wajah semacam ini rasanya menggetarkan hatinya juga. Manusia berpakaian abu-abu itu segera menggunakan kesempatan ketika Tok-ku Hong terlongong-longong untuk melesat dan meninggalkan tempat tersebut. Beberapa saat kemudian, Tok-ku Hong baru tersadar, namun manusia berpakaian abu-abu itu sudah lenyap dari pandangan. Lim Seng dan Cen Bu menyusul tiba. "Siocia, apakah orang itu sudah kabur?" Tanya mereka panik. Tok-ku Hong mengangguk kecil. Sinar matanya mengandung kecurigaan. "Apakah kalian bertemu dengan Su-hu-hoat di perjalanan tadi?" Tanyanya tiba-tiba. Lim Seng dan Cen Bu menggelengkan kepalanya serentak. 393 "Dia pasti akan meninggalkan jejak sepanjang perjalanan, coba kalian cari," Kata Tok-ku Hong datar. "Apakah siocia khawatir terjadi sesuatu pada Su-hu-hoat?" Tanya Lim Seng. Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya berkali-kali. ***** Pada saat itu, Han-ciang Tiau-siu berada dalam jarak tiga li dari luar hutan. Empat orang laki-laki bertubuh tegap itu semakin lari semakin cepat. Gerakan mereka tidak seperti sedang menggotong sebuah tandu yang ada orang di dalamnya. Mereka masuk ke dalam hutan yang lebat. Daun-daun berguguran. Di dalam hutan juga tersorot sinar mentari. Cahaya menembus ranting-ranting dan dedaunan. Kabut mulai menebal. Han-ciang Tiau-siu berlari melintasi daun-daun yang berguguran. Gerak-geriknya hati-hati, mata terus mengawasi tandu di depan sana. Meskipun di tanah berserakan daun-daun namun kaki Han- ciang Tiau-siu yang menginjaknya tidak menerbitkan suara. Hal ini membuktikan tingginya ginkang yang dimiliki Su-hu- hoat dari Bu-ti-bun itu. Setelah berlari kurang lebih tiga depa, tiba-tiba empat orang laki-laki itu menghentikan langkah kakinya. Mereka menurunkan tandu yang mewah tersebut. Mereka berpencaran dan meninggalkan tandu itu lalu melesat ke depan. 394 Melihat keadaan itu, Han-ciang Tiau-siu merasa heran sekali. Dia bergerak maju lagi beberapa langkah kemudian bersembunyi di balik sebatang pohon. Tandu itu sama sekali tidak memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan. Kabut di dalam hutan semakin tebal. Tidak terdengar kicauan burung ataupun deru suara angin. Begitu sunyinya bagai menginjak alam kematian. Tubuh Han-ciang Tiau-siu berkelebat lagi. Persis seperti seekor kuda terbang melintasi atap tandu. "Sret!", tangannya bergerak. Tali pancingnya mengait atap tandu dan tersingkap seketika. Tidak ada reaksi apa pun dari dalam tandu. Tubuhnya mendarat di tanah. Telapak tangannya segera menghantam tandu tersebut. Suara hantaman telapak tangannya menggelegar. Tandu itu hancur berantakan. Di antara keping-kepingan yang berjatuhan, Han-ciang Tiau-siu menatap dengan tajam. Tidak ada orang yang meloncat keluar dari dalam tandu. Ternyata yang di kutinya sejak tadi adalah sebuah tandu kosong. Tiba-tiba sebuah suara tawa yang merdu bagai irama musik berkumandang, sebentar jelas sebentar sayup. Han-ciang Tiau-siu mendongakkan kepalanya. Sinar matahari masih menyorot lewat celah-celah pohon. Angin mulai bertiup kencang. Secarik sinar seperti pelangi melintas dari arah timur atas pohon dan melayang ke bawah. Sinar mata Han-ciang Tiau-siu berpendar. Hatinya bergetar. Cahaya pelangi belum memudar. Kenyataannya yang 395 melintas tadi memang bukan pelangi, melainkan seorang wanita dengan pakaian warna-warni. Dialah orang yang berada dalam tandu dan di kuti oleh Han-ciang Tiau-siu sejak keluar dari toko obat. Tadinya dia memang duduk di dalam tandu, tapi entah sejak kapan dia sudah keluar dari tandu dan bersembunyi di atas pohon. Kabut semakin menebal. Wanita itu juga semakin mempesona. Han-ciang Tiau-siu memandanginya tanpa berkedip. Tampak sinar mata ketakutan yang mencekam hati. Rupanya dia sudah tahu asal usul wanita itu. Wanita itu tersenyum manis. Dia merapikan rambut di keningnya dengan jari tangannya yang indah. "Sepuluh tahun tidak berjumpa, tidak disangka sifatmu masih juga berangasan," Katanya dengan suara merdu. Han-ciang Tiau-siu tidak menyahut. Jari tangannya tidak henti bergerak di atas bambu pancingannya. Tampaknya dia sedang mengukir, tapi matanya menatap wanita itu lekat-lekat. "Kenapa? Sekarang kau sudah pandai menahan emosi?" Tanya wanita itu masih mengembangkan senyuman. Dia maju ke depan satu langkah. Tanpa sadar Han-ciang Tiau-siu malah ikut mundur satu langkah. "Kau belum mati?" "Kau senang kalau aku mati?" Tanya wanita itu. Senyumnya sudah lenyap. "Senang sekali," Sahut Han-ciang Tiau-siu sambil meluncurkan 396 tali pancingnya ke arah tenggorokan wanita berpakaian warna-warni itu. Dengan tertawa dingin wanita itu menggeser tubuhnya. Tali pancing Han-ciang Tiau-siu lewat di samping lehernya. Hati Su-hu-hoat dari Bu-ti-bun ini semakin tegang. Sepuluh tahun tidak bertemu, tampaknya ilmu wanita itu sudah maju pesat. Dulu saja dia bukan tandingannya, apa lagi sekarang. Han- ciang Tiau-siu sudah dapat membayangkan akibat yang akan diterimanya. Namun dia tidak sudi menerima kematian begitu saja. Paling tidak namanya juga pernah menggetarkan dunia kangouw. Tali pancingnya dilontarkan kembali. Kali ini mengarah bagian belakang kepala wanita itu. Jaraknya sudah demikian dekat, tapi wanita itu masih tenang-tenang saja. Pada saat terakhir dia membungkukkan tubuhnya tangan kanannya terangkat dan dengan sigap menyambut tali pancing tersebut. Belum lagi Han-ciang Tiau-siu tersadar, tangan kiri wanita itu sudah mengebas, serangkum hawa dingin menerpa. Beberapa buah senjata rahasia dilontarkan ke arah jantung Han-ciang Tiau- siu. Laki-laki itu segera berkelit namun terlambat. Meski tidak semua senjata rahasia mengenai tubuhnya, tapi yang pasti tiga buah paku sudah menancap di dalam dadanya. Wajahnya berubah hebat. Dia merasa dadanya panas sekali. Dengan susah payah dia berusaha menengok lukanya. Dadanya sudah hangus terbakar dan kulit di seluruh bagian depan tubuhnya berubah warna menjadi kebiru-biruan. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ternyata paku itu mengandung racun yang sangat keji. Wanita itu tertawa terkekeh. Gayanya memikat. Namun bagi Han-ciang Tiau-siu, wanita itu ibarat iblis yang demikian menakutkan. Matanya mendelik lebar-lebar. Tubuhnya 397 terkapar di tanah, napas pun berhenti. Dengan tenang wanita itu menghampirinya. Dia menatap mayat Han-ciang Tiau-siu dengan kegairahan yang menyeramkan. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik pakaiannya. Isi botol itu berbentuk cairan, dituangkannya ke atas tubuh Han-ciang Tiau-siu. "Wes!", perlahan tubuh laki-laki lumer bagai es batu yang disiram air panas. Dalam waktu sekejap mata mayat itu tinggal seonggok darah dan uap yang mengepul dan perlahan sirna. Bahkan pakaian Han-ciang Tiau-siu tinggal potongan- potongan kecil saja. Bagaimana mungkin seorang wanita yang demikian cantik dapat melakukan perbuatan yang demikian keji? Rasanya mustahil, tapi kenyataannya memang benar ada. ***** Angin bertiup semilir. Cahaya matahari makin terik. Kabut mulai menipis. "Sret! Sret!", golok di tangan Tok-ku Hong sibuk menyibak ranting pohon yang menjuntai menutupi jalan. Lim Seng dan Cen Bu masih mengikuti dari belakang. Han-ciang Tiau-siu memang meninggalkan petunjuk-petunjuk di sepanjang perjalanan. Dalam Bu-ti-bun ada kode tersendiri yang hanya dikenal oleh anak muridnya. Oleh karena itu, akhirnya Tok-ku Hong berhasil juga mencapai tempat tersebut. "Tandunya ada di sana!" Teriak Lim Seng sambil menuding ke 398 depan. "Aneh!" Kata Tok-ku Hong yang malah menghentikan langkah kakinya. Cen Bu sendiri juga merasa heran. "Mengapa tandu itu hancur tidak karuan?" "Mereka pasti pernah bertarung di tempat ini," Gumam Tok-ku Hong. Sepasang goloknya digenggam erat-erat. Dia menerjang ke depan Lim Seng dan Cen Bu saling melirik sekilas kemudian ikut menerjang. Namun sampai di depan hancuran tandu itu, tetap tidak ada reaksi yang mencurigakan. Tidak terlihat seorang manusia pun di tempat itu. Tok-ku Hong mengedarkan pandangan matanya. Tiba-tiba dia melihat senjata Han-ciang Tiau-siu tergeletak di atas tanah. Hatinya mulai tidak enak. "Pancingan ...!" Serunya lirih. Mendengar seruan itu, Lim Seng segera menolehkan kepalanya. Matanya terbelalak. "Bukankah itu senjata Su-hu- hoat?" "Sudah pasti." Kening Tok-ku Hong berkerut. "Su-hu-hoat memandang senjata lebih-lebih dari nyawanya sendiri. Bagaimana sekarang bisa ditinggalkan di sini?" Lama sekali gadis itu termenung. Kemudian dia melihat genangan darah di dekat semak-semak. Genangan darah itu 399 masih belum mengering. Angin bertiup, serangkum hawa amis menerpa. Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo