Ceritasilat Novel Online

Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 2


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 2


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya dari Hong San Khek   Tek Hoat dan Poan Thian jadi terperanjat melihat In Liong menjadi gusar mendengar pertanyaan tadi. Buruburu mereka berbangkit dan meminta maaf atas kekeliruan dan kelancangan bicara itu.   "Ya, ya, itu aku mau percaya. Saudara Kok Ciang ini tadinya tentu menyangka, bahwa guruku itu boleh dipersamakan dengan guru-guru silat lain, yang mau mengajar silat apabila mendapat pembayaran baik. Hal ini aku harus maafkan, berhubung ia belum mengenal banyak tentang orang-orang pandai yang berkeliaran di kalangan Kang-ouw. Selain daripada itu, aku mohon 34 tanya, dahulu saudara Kok Ciang pernah berguru dengan siapa?"   Poan Thian lalu tuturkan lelakon ia berguru dengan An Chun San, dari bermula sehingga guru itu mabur setelah kena dirobohkan olehnya.   "Kalau begitu,"   Kata Hoa In Liong.   "teranglah sudah, bahwa gurumu itu bukan seorang guru silat yang baik. Aku bukan mencela orang karena menganggap diri sendiri lebih pandai daripada orang lain. Aku bukan menghinakan kepadanya ataupun kepada dirimu sendiri. Dalam hal ini rasanya aku tidak perlu berlaku see-jie buat mengeritik untuk kebaikanmu sendiri, juga tidak perlu kau merasa tersinggung oleh karenanya."   "Itu betul, itu betul,"   Menyambungi Tek Hoat.   "Touwgouw-ok-cia, sie-gouw-su. barang siapa yang menegur kesalahan kita, orang itulah guru kita. Harap Cong-su tidak usah merasa sungkan buat mengajukan keritik apaapa yang baik."   Sementara Hoa In Liong yang diberikan kesempatan untuk menyatakan pikirannya terhadap ilmu silat yang dipelajari Poan Thian dari An Chun San, dengan sabar lalu mulai membentangkan beberapa banyak kekeliruan tentang gerakan ilmu silat yang ia telah saksikan dipergunakan oleh Poan Thian ketika tadi ia menyerang kepadanya.   "Beruntung juga saudara Kok Ciang belum belajar terlalu lama di bawah pimpinannya An Chun San,"   Ia melanjutkan.   "hingga dengan begitu masih tidak begitu sukar untuk memperbaiki apa-apa yang telah keliru dipelajarinya."   Disamping mengunjukkan bagian-bagian yang keliru dalam pelajaran-pelajaran yang Poan Thian telah pelajari 35 dari An Chun San itu, In Liong pun tidak lupa memberikan petunjuk-petunjuk cara bagaimana Poan Thian harus merubah kekeliruan-kekeliruan itu sehingga jadi benar dan dapat dipergunakan sebaik-baiknya.   "Dari hal kau suka mencipta ilmu-ilmu pukulan baru dari apa yang memangnya sudah ada,"   In Liong kata pula.   "itu sudah tentu saja ada juga kebaikannya, tetapi cara itu bukannya mesti dilakukan olehmu sekarang, dimana ilmu kepandaianmu masih belum cukup mateng. Karena dengan mengambil cara yang melampaui kemampuanmu itu, dikuatir cara penciptaanmu itu akan jadi lebih kacau dan tidak keruan macam, sehingga itu lebih banyak mendatangkan kerugian daripada keuntungan yang diharapkan olehmu dari di muka."   "Itu betul, itu betul,"   Menimbrung Tek Hoat, walaupun ia kurang mengerti kemana maksudnya omongan itu.   Poan Thian jadi sangat berterima kasih atas pengunjukan-pengunjukan berharga dari Hoa In Liong, yang telah membentangkan semua itu dengan sejujurjujurnya.   Maka buat melaksanakan bakat baik yang dipunyai oleh si pemuda itu, In Liong memberi nasehat supaya sedapat mungkin Poan Thian berangkat ke kelenteng Liong-tam-sie, buat coba berguru pada Kak Seng Siangjin yang menjadi kepala kelenteng tersebut.   Poan Thian berjanji akan berbuat begitu, tetapi Tek Hoat merasa tidak mufakat, walaupun ia tidak menyatakan itu dengan secara terang-terangan.   Orang tua ini tampaknya berkeberatan, akan anaknya belajar ilmu silat di suatu tempat yang terpisah dari rumahnya sendiri, tetapi buat melarang dengan kekerasan di hadapan tamunya, iapun merasa sungkan dan tak 36 berani.   Begitulah tatkala matahari hampir selam ke barat In Liong lalu pamitan pada Tek Hoat dan Poan Thian sambil berkata.   "Hari untuk kita saling bertemu masih banyak, tetapi sekarang kiranya sudah cukup kita mengobrol sampai di sini saja dahulu."   Tek Hoat dan Poan Thian coba menahan supaya ia suka berdiam di rumah mereka sampai beberapa hari lamanya, tetapi In Liong cuma bisa menyatakan menyesalnya, tidak dapat mengabulkan permintaan mereka itu, berhubung ia masih ada urusan penting yang katanya perlu diurus selekasnya.   Maka disamping mengucapkan diperbanyak terima kasih atas kebaikannya kedua orang ayah dan anak itu, iapun tidak lupa bantu berdoa, agar supaya Poan Thian bisa diterima sebagai murid oleh Kak Seng Siang-jin di Liong-tam-sie.   Dan jikalau di suatu tahun ia kembali lagi dan mengunjungi mereka, ia percaya akan dapat menjumpai Poan Thian dengan sudah menjadi salah seorang ahli silat yang pandai dan termasyhur di kalangan Kang-ouw.   Pujian itu telah membikin Poan Thian jadi semakin besar hati dan bernapsu akan berguru pada Kak Seng Siang-jin di Liong-tam-sie.   Tetapi sebegitu lekas In Liong berlalu, Tek Hoat lalu menyatakan ketidak setujuannya akan sang anak mempelajari ilmu silat di Liong-tam-sie.   Karena jikalau semula ia telah mengundang An Chun San untuk mengajari ilmu silat kepadanya, bukanlah mengingini supaya Poan Thian menjadi ahli silat yang jempolan, hanyalah sekedar buat melatih diri sang anak sehingga menjadi seorang yang kuat dan sehat.   Maka setelah sekarang ia berhasil memperoleh kesehatan dan 37 kekuatan yang diharapkan itu, perlu apakah mesti capaikan hati lagi untuk memperdalam ilmu itu dengan meninggalkan rumah tangga sendiri? Tetapi Poan Thian tetap pada pendiriannya dan hendak pergi juga, hingga kedua orang ayah anak itu akhirnya jadi bercekcokan dan berdeging untuk membelakan pendirian masing-masing.   Syukur juga selagi percekcokan itu hampir sampai di puncaknya ketegangan, tiba-tiba ada seorang tetamu yang datang berkunjung dan lalu memisahkan kepada mereka sambil berkata.   "Sabar, sabar! Kamu berdua ada soal apakah sehingga mesti bercekcokan satu sama lain?"   Tek Hoat merasa tidak enak buat bercekcokan lebih jauh dengan anaknya sendiri, karena orang yang baru datang itupun bukan lain daripada sahabat karibnya sendiri Cek Kong Giok, yang telah sekian tahun lamanya tidak tahu bertemu.   Maka orang tua itu yang melihat kunjungan sahabatnya yang sangat sekonyong-konyong itu sudah tentu saja lantas mengunjukkan roman yang girang sekali dan berkata.   "Eh, eh, angin manakah ini yang telah meniup kau datang ke Cee-lam?"   "Itulah sebab aku dari kejauhan telah petang-petangi akan menonton pertunjukkan bapak dan anak berebut pepesan kosong!"   Kata Cek Kong Giok sambil tertawa terbahak-bahak.   Sementara Tek Hoat yang kenal baik Kong Giok seperti saudara sekandung, bukan saja tidak menjadi gusar malah sebaliknya lantas jabat tangan sang sahabat buat dipersilahkan duduk.   38 Kemudian ia panggil Poan Thian buat memberi hormat pada Kong Giok yang memang dikenal baik oleh segenap keluarga Lie.   "Kau ini memang sedari masih anak-anak mempunyai kenakalan seperti Sun Go Kong,"   Kata Kong Giok pada pemuda itu sambil tertawa.   "Belum tahu hari ini ada soal apa yang telah membikin kau mengacau di Keraton Langit?" (Kong Giok yang suka memain sering menamakan Tek Hoat. Lie Thian-ong, karena pada dahi orang tua itu tampak bekas luka yang hampir menyerupai sebuah mata tambahan seperti matanya Tok-tha Lie Thian-ong yang ada tiga buah. Sedang Tek Hoat membalas "memoyoki"   Kong Giok. Bie Lek Hud, berhubung perawakannya Kong Giok tromok dan suka tertawa). Poan Thian jadi tertawa geli, karena dengan tiada angin atau hujan mendadak telah dinaikkan "pangkat"   Dengan gelaran Sun Gouw Kong. Kemudian ia tuturkan apa sebabnya ia telah bercekcok tadi.   "Ah, itulah ternyata ada suatu perkara kecil saja,"   Kata Cek Kong Giok.   "buat apakah mesti tarik urat sampai begitu? Engkau sebagai anak sebenarnya tidak patut berbantahan kepada perintah orang tua. Engkau belum kenal banyak tentang asam garam dunia, sehingga engkau belum bisa menjajaki bagaimana kesukarannya orang memelihara dan mendidik anak sebagai ayahmu ini. Ia sebenarnya sangat mencintai kau, maka dari itu ia kuatir kau mendapat kesusahan apa-apa jikalau mesti berdiam jauh dari rumah sendiri."   "Itu benar, itu benar,"   Mencampuri Tek Hoat.   "tetapi dia tak mau dengar omonganku. Dia mau bawa kehendaknya sendiri!" 39 "Bukan begitu,"   Akhirnya Poan Thian pun mencampuri bicara juga.   "bukan aku hendak membantah perintah orang tua. Aku cintai ayahku lebih besar daripada diriku sendiri. Tetapi orang jangan lupa, bahwa jaman pemerintahan Boan-ciu sekarang ini agak berlainan dengan pemerintah-pemerintah di jaman lalu. Aku bukan ahli nujum atau seorang yang pandai melihat gelagat, tetapi kenyataan mengunjukkan tegas sekali, bahwa barang siapa yang hidup di jaman ini dengan berada di pihak lemah, tidak mustahil ia akan ditindas oleh pihak yang kuat. Oleh sebab itu, aku telah mengambil suatu ketetapan untuk menjadikan diriku seorang kuat yang tak akan menyerah mentah-mentah ditindas orang! Sie-siok ada seorang yang sudah kenyang mencicipi asam garam dunia, maka dari itu tentu bisa menimbang dengan sebaik-baiknya omonganku ini."   Tetapi Tek Hoat lantas membantah dengan mengatakan.   "Salah, salah! Itu aku tidak mufakat. Kita orang baik-baik selalu memperlakukan orang lain dengan baik pula, cara bagaimanakah orang bisa menindas pada kita? Kau jangan lupa, bahwa di atas kita masih ada Thian yang melindungi kita, sedangkan di muka bumi ada pengadilan negeri yang akan menjamin dan mengurus urusan kita, apabila nanti kita sampai ditindas atau diperlakukan sewenang-wenang oleh orang lain!"   Mendengar omongan ini, Poan Thian jadi tersenyum. Tetapi pada sebelum ia membuka mulut buat membantah omongan itu, Kong Giok telah menyelak sambil berkata.   "Sudah, sudah, tidak perlu memperdebatkan segala urusan yang tiada herguna. Sekarang hanya ada satu pertanyaan yang aku hendak ajukan kepada Lauw-hia," (sambil menoleh pada Tek Hoat).   "apakah kiranya kau mufakat, apabila aku sendiri 40 yang mengantarkan Kok Ciang sampai di Liong-tam?"   Tek Hoat tarik muka kecut.   "Apakah kau sendiri memang tidak ada urusan apaapa, sehingga kau merasa perlu buat mengantarkan sendiri kepadanya ke sana? Kukuatir hal itu akan membuang waktumu dengan sia-sia."   Kong Giok mengerti, bahwa anjurannya itu tidak disetujui oleh Tek Hoat, tetapi ia sengaja berpura-pura tidak tahu dan menjawab.   "Itu tidak mengapa. Karena aku sendiri yang memang hendak pergi ke Cong-ciu, sekalian akan lewat juga di Liong-tam, di mana kelenteng itu terletak."   Tek Hoat tinggal membungkam saja, mengatakan "ya"   Atau "tidak"   Atas tawaran itu. tidak "Lauw-hia harus pikir baik-baik,"   Kata Kong Giok pula.   "Anak laki-laki itu tidak perlu dipingit seperti anak-anak perempuan, karena cara itu cuma akan bikin dia bodoh dan cupat pikiran. Aku sendiripun punya seorang anak laki, satu-satunya seperti Giok Ciang ini, tetapi aku tidak suruh dia "ngerem"   Di rumah, hanya kuanjurkan dia akan chut-gwa (merantau) dan berusaha di mana-mana, biar dia bisa rasakan bagaimana susah-payahnya orang mencari nafkah.   Karena disamping dia bisa berusaha dengan tiada mengandalkan terus tenaga orang tua, diapun bisa juga luaskan pemandangan dengan memperhatikan seluk-beluk penghidupan di tempattempat lain."   Sementara Poan Thian yang seolah-olah telah mendapat dorongan baru dari pembicaraan Kong Giok ini, sudah tentu saja diam-diam jadi sangat girang dan berkata dalam hati.   "Nah, kalau dilihat begini gelagatnya, nyatalah maksudku akan berguru pada Kak Seng Siang41 jin bakal bisa kesampaian juga."   "Kau ini si Bie Lek Hud memang pandai mengacau urusan!"   Kata Tek Hoat sambil menuding-nuding pada sahabatnya. Tetapi Kong Giok anggap sepi semua dampratan itu. Kemudian ia menoleh pada Poan Thian sambil, berkata.   "Hei, Ciang, mengapakah kau tinggal melongo saja dan tidak lekas pergi berkemas-kemas untuk berangkat ke Liong-tam besok?"   Poan Thian tampak tersenyum girang.   Tetapi buat tidak membelakangi kepada orang tua sendiri, ia tidak lupa akan meminta juga perkenan ayahnya, hingga Tek Hoat yang merasa tidak bisa menghalangi lebih jauh kehendak sang anak yang begitu sungguh-sungguh, dengan apa boleh buat telah mengabulkan juga sambil menggerutu.   "Dasar tidak boleh diurus orang! Pergilah kau kasih tahu pada ibumu."   Dan tatkala Poan Thian telah berlalu, Tek Hoat kembali telah menuding-nuding pada si tromok dan mengomel panjang pendek.   "Kau ini kelewat usil mulut!"   Katanya.   "Barusan sebenarnya aku sudah mau mengucapkan terimakasih kepadamu, karena kau telah mengajari supaya Ciang-jie jangan membantah kemauan orang tua, tetapi tidak kira buntutnya omonganmu jadi berbalik lain daripada apa yang aku harapkan. Bukannya pegang teguh pendirianmu, mendadak sontak kau menganjurkan dia pergi juga. Belum tahu ada hal apa sih yang bikin kau jadi berpikiran bolak-balik begitu rupa?"   Kong Giok tertawa.   "Dari tadi pun aku sudah lihat tegas, bahwa Giok Ciang yang keras kepala ini sukar digertak dengan segala omongan yang bersifat mengancam. Buktinya kau bisa saksikan sendiri, ketika 42 kau mengatakan apa-apa yang bermaksud melarang ia pergi, ia lantas memberikan segala alasan dengan sekenanya saja. Aku percaya jikalau aku juga memihak padamu dan melarang ia pergi, ia akan mabur dari sini buat bisa melaksanakan kehendaknya. Maka daripada ia mabur dengan secara diam-diam, kukira lebih baik kau berlaku sedikit lunak dan perkenankan kepadanya akan berguru ilmu silat di Liong-tam-sie. Karena selain letaknya Liong-tam tidak terlalu jauh dari sini, di kelenteng itu pun dia tentu mendapat penilikan yang baik dari guru dan kawan-kawannya. Buat apakah mesti jadi ribut mulut dengan anak kecil oleh karena urusan sebegitu?"   Tek Hoat pikir omongan itu memang ada juga kebenarannya, maka hatinya yang tadinya mendongkol jadi berkurang banyak oleh karenanya.   Keesokan harinya di waktu Poan Thian tengah berdandan dan menyediakan segala keperluan yang hendak dibawanya, Tek Hoat dan Kong Giok telah menantikan di halaman pertengahan sambil mengobrol dan minum air teh.   "Kepergianmu ini ke Cong-ciu,"   Tek Hoat bertanya.   "apakah berhubung dengan urusan dagang atau keperluan-keperluan lain?"   "Yang pertama memang berhubungan dengan urusan dagang,"   Sahut Kong Giok.   "tetapi aku pikir hendak sekalian menyambangi kawan dan sahabat di saban kota yang aku lewati. Kalau tidak begitu, dimanakah aku mau melewat ke Liong-tam?"   "Kalau begitu,"   Kata Tek Hoat.   "tolonglah kau sampaikan salamku pada kawan-kawan kita, kepada siapa kita memang mempunyai perhubungan yang baik." 43 Cek Kong Giok berjanji akan berbuat begitu. Tatkala seorang bujang keluar memberitahukan bahwa makanan sudah disajikan, Tek Hoat undang sahabat itu dahar dahulu pada sebelumnya berangkat. Sesudah dahar dan bermohon diri kepada Tek Hoat dan sekalian keluarganya, Kong Giok lalu ajak Poan Thian menuju ke Liong-tam dengan menunggang dua ekor kuda. Sesampainya di Liong-tam pada beberapa hari kemudian, barulah Kong Giok dan Poan Thian saling berpisahan, yang pertama melanjutkan perjalanannya ke Cong-ciu, sedang yang tersebut belakangan menuju ke Liong-tam-sie. Setelah menanyakan pada penduduk di situ, dimana letaknya kelenteng tersebut yang hendak ditujunya itu. Namanya kelenteng itu ternyata dikenal cukup baik oleh setiap orang, bahkan nama Kak Seng Siang-jin pun tidak asing pula bagi penduduk kota itu. Maka dengan adanya kegampangan-kegampangan ini, tidaklah heran kalau dalam waktu yang singkat Poan Thian telah dapat ketemukan kelenteng itu, dimana ternyata banyak dikunjungi orang, yang keluar masuk di situ buat memasang hio atau membayar kaul. Oleh sebab itu, keadaan di situ tidak berbeda dengan sebuah pasar kecil, dan ketika Poan Thian menanyakan pada salah seorang yang berjalan berpapasan dengannya, dimana tempat kediaman paderi kepala, orang itu lalu menunjuk ke sebuah ruangan sambil berkata.   "Tu, di sana. Apakah kau ini ada seorang yang baru pernah berkunjung ke sini?"   Poan Thian mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, kemudian ia menuju ke ruangan yang 44 ditunjuk itu.   Di situ, karena melihat ada beberapa banyak orang yang duduk di bangku panjang, maka iapun lalu maju menghampiri, memberi hormat pada seorang yang berdekatan dan numpang duduk di dekatnya.   Tatkala orang-orang itu seorang demi seorang telah pada berlalu, tinggallah Poan Thian saja seorang diri yang duduk di situ.   Matahari sudah mulai silam ke barat, tetapi tidak tampak pula orang yang datang atau keluar menanyakan kepadanya.   Oleh karena kesal duduk sekian lamanya di situ, maka Poan Thian lalu letakkan pauw-hok yang dibawanya ke atas meja yang terdekat, sedang ia sendiri lalu berjalan mondar-mandir di halaman itu, untuk menghilangkan sedikit rasa kesalnya.   Tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai hari petang, ternyata tidak juga tampak bayangannya barang satu manusia pun.   Bahkan di luaran hanya terdengar suara kutu-kutu saja yang memecah kesunyian di dalam kelenteng itu.   Poan Thian jadi heran dan tidak mengerti, apa sebab ia dijemur orang begitu rupa.   Padahal kunjungannya itu diketahui serta dilihat oleh setiap orang.   "Apakah barangkali aku disuruh menunggu dahulu beberapa saat lagi lamanya?"   Pikirnya ketika kemudian melihat beberapa orang paderi keluar memasang api lentera di serambi depan kelenteng. Salah seorang antara paderi-paderi itu yang melihat Poan Thian berdiri di situ, lalu menghampiri sambil bertanya.   "Tuan, hari sudah hampir malam, tetapi 45 mengapakah tuan masih ada di sini?"   Poan Thian jadi kemekmek.   "Aku sedang menantikan paderi kepala,"   Sahutnya.   "Oh, kalau begitu,"   Kata sang paderi.   "bolehlah tuan menunggu saja dahulu."   Poan Thian mengucap terima kasih, kemudian ia duduk pula sambil menahan perutnya yang sudah mulai keruyukan minta diisi.   Beberapa jam kembali telah lewat.   Dan ketika paderi tadi balik kembali dan masih saja melihat Poan Thian menjublek di situ, ia segera menghampiri dan bertanya, apakah guru mereka belum juga memberikan perkenan akan ia masuk? "Belum,"   Sahut Poan Thian.   "Apakah Lo-suhu ada di dalam?"   Paderi itu jadi heran. ,,Aku sungguh bisa mengerti apa maksudmu itu,"   Katanya.   "apakah barangkali kau belum memberi tahukan kepada paderi pengawas pintu, bahwa kau minta bertemu kepada guruku?"   Poan Thian menggelengkan kepalanya.   "Ti..... tidak,"   Sahutnya.   Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Barusan aku melihat orang berkumpul di sini, dari itu, akupun lalu turut duduk di sini. Seorang demi seorang mereka masuk ke pintu sana," (sambil menunjuk pintu dihadapannya).   "tetapi tidak tampak seorang pun yang keluar kembali. Kukira aku mesti menunggu giliran di sini, maka aku menunggu dan menunggu. Sehingga hari sudah petang begini, belum juga ada orang memanggil masuk kepadaku."   Mendengar keterangan demikian sang paderi jadi 46 tertawa terbahak-bahak.   Kemudian ia memberitahukan bahwa di ruangan itu memang banyak orang yang menunggu giliran buat.....   menanyakan peruntungan atau perjodohan dengan jalan menarik ciam-sie, hingga Poan Thian jadi mengurut dada dan sesalkan kebodohan dirinya yang tidak mau menanyakan keterangan dari orang-orang yang berkumpul sehingga kejadian ia "nongkrong"   Di situ tanpa gawe dan dengan perut keruyukan! "Tadinya kusangka bahwa orang-orang itu sedang menunggukan panggilan dari paderi kepala,"   Kata Poan Thian kebogehan.   "Tetapi lantaran sudah terlanjur menunggu sampai seharian, sudikah kau memberitahukan kepada Lo-suhu, bahwa aku, Lie Kok Ciang, orang dari Cee-lam, mohon berjumpa kepadanya?"   Paderi itu mengabulkan sambil mengerendeng.   "Kasihan."   Tidak antara lama ia telah kembali dan memberitahukan, bahwa guru mereka sedang bersemadi.   "Kalau nanti ia sudah selesai bersemadi,"   Menjanjikan paderi itu.   "tentulah aku beritahukan kepadanya tentang kunjunganmu ini. Harap kau suka bersabar beberapa saat lagi lamanya."   Poan Thian menurut.   Selama menunggu panggilan, ia terpaksa rebahan di bangku panjang buat menghilangkan rasa pegalnya.   Tidak lama tampak seorang paderi yang berusia agak lanjut, hingga Poan Thian yang menyangka bahwa paderi itu akan memanggil dia masuk, buru-buru berbangkit sambil bertanya.   "Suhu apakah Lo-suhu 47 sudah selesai bersamedi?"   Paderi itu tersenyum.   "Ah,"   Katanya.   "sekarang Lo-suhu sudah masuk tidur! Kalau kau ingin berjumpa, baiklah kau kembali lagi besok saja pagi-pagi."   Poan Thian jadi menghela napas.   Ia pikir, Kak Seng Siang-jin sekarang justeru ada di kelenteng dan tidak bepergian ke mana-mana, oleh sebab itu, tentu mudah dijumpainya.   Jikalau ia sampai keluar bepergian sehingga bertahun-tahun lamanya (seperti apa katanya Hoa In Liong), tentulah tidak ada harapan lagi untuk ia bisa berguru.   Oleh karena ia berpikir begitu maka ia lantas menjawab.   "Tidak apa. Aku tunggu di sini sampai Lo-suhu bangun tidur di hari esok."   "Ya, kalau begitu sih tinggal sukamu sendiri,"   Kata paderi itu sambil berlalu.   Selama rebahan di atas bangku panjang di halaman itu, Poan Thian jadi tidak mengerti mengapa pelayanan paderi-paderi di situ ada begitu buruk.   Dari pagi tadi ia belum makan atau minum, tetapi tiada seorangpun antara paderi-paderi di situ yang menawarkan ia makan atau minum.   Dan setelah sekarang ia menyatakan hendak melewati malam (bukan bermalam) di situ, juga tidak tampak seorangpun yang memberikan kamar buat ia tidur.   "Aku sungguh tidak mengerti, apakah maunya mereka itu?"   Poan Thian bertanya kepada diri sendiri, sambil mendengari suara perutnya yang berkeruyukan tidak henti-hentinya! Lama-lama ia jadi kepulesan.   Kira-kira hampir fajar ia telah tersadar karena 48 mendengar suara berketupraknya sepatu di atas jubin.   Ia buka matanya sedikit, tetapi ia lantas pejamkan lagi, karena orang yang mendatangi tidak melalui halaman dimana ia rebah.   Sesaat kemudian barulah ia bangun dan pergi buang air kecil.   Di waktu kembali ke halaman itu, Poan Thian berpapasan dengan seorang paderi yang ia baru lihat romannya di seketika itu.   Buru-buru ia memberi hormat dan bertanya.   "Suhu, apakah Lo-suhu sudah bangun tidur?"   "Wah, nyatalah kau datang terlambat,"   Sahut paderi tersebut.   "Barusan saja ia keluar, tetapi tidak lama lagi ia tentu kembali, karena ia tidak meninggalkan pesan apaapa kepadaku. Harap kau suka bersabar sedikit akan menunggukan kepadanya di sini."   Mau tak mau, Poan Thian terpaksa mesti menunggu lagi, hanya tidak diketahui kapan Kak Seng Siang-jin akan kembali.   Mulutnya Poan Thian sudah dirasakan kering, karena sehari semalam lamanya tidak minum, badannya letih karena kelaparan.   Tetapi ia tahan semua penderitaan itu dengan tidak mengeluh barang sepatah katapun.   Kira-kira berselang seperempat jam lamanya, seorang paderi telah keluar menghampirinya dengan paras muka yang berseri-seri.   Poan Thian lekas memberi hormat dan bertanya.   "Apakah Lo-suhu telah kembali?"   "Ya,"   Sahut paderi yang ditanya itu.   "sekarang ia panggil kau akan datang menghadap."   Poan Thian jadi girang, dan dengan tindakan lebar ia mengikuti paderi itu masuk, ke halaman pertengahan 49 kelenteng.   Di situ, setelah melalui beberapa banyak pintu, akhirnya sampailah ia ke sebuah ruangan, dimana Poan Thian menampak seorang paderi tua tengah duduk bersila di atas ranjang untuk paderi-paderi, sepasang matanya dipejamkan.   Walaupun usianya paderi itu sudah lanjut, tetapi potongan badannya tinggal tetap tegap.   Sepasang halisnya yang panjang sudah tercampur sedikit uban.   Wajahnya yang angker dan lebar, ditimpali oleh sepasang daun telinga yang lebar pula, ia tidak berjanggut ataupun bermisai.   Hidungnya mancung, mulutnya agak lebar, sedang sembilan Kay-khong atau noda bunder bagaikan bekas luka yang tampak di kepala tiap-tiap paderi, tampak dengan tegas di kepala paderi itu yang agak besar.   Maka setelah ia diberitahukan bahwa paderi tua itu bukan lain daripada Kak Seng Siang-jin, Poan Thian buru-buru jatuhkan diri menjurah di atas jubin beberapa kali.   Dan tatkala Kak Seng Siang-jin membuka mata dan mengamat-amatinya, Poan Thian jadi terperanjat bagaikan orang yang terkena getaran listrik, hingga ini telah membikin ia hampir tak berani memandang lagi sorotan mata itu, kalau saja sang paderi tak mulai bertanya.   "Apakah kau ini bukan Lie Kok Ciang yang baru datang dari Cee-lam?"   Poan Thian membenarkan apa kata paderi tua itu.   "Apakah maksudnya kau datang mencari aku?"   Bertanya Kak Seng Siang-jin pula. Poan Thian lalu tuturkan dengan sejelas-jelasnya, maksud apa yang dikandung di dalam hatinya.   "Kau ini ternyata mempunyai kesabaran yang lumayan juga,"   Kata sang paderi sambil tersenyum sedikit.   "Jikalau kau memangnya sudah pernah 50 meyakinkan ilmu silat, cobalah tuturkan itu, berapa lama dan siapa gurumu?"   Poan Thian lalu tuturkan segala keterangan yang diminta, dengan mana Kak Seng Siang-jin kelihatan merasa puas.   "Tetapi ini bukan berarti bahwa aku lantas bisa terima kau sebagai murid,"   Kata paderi tua itu.   "Karena disamping kau harus bisa memenuhi segala peraturanku, aku harus tahu juga sampai dimana keuletan dan kerajinanmu buat belajar dengan menurut sistim yang aku biasa kasihkan kepada murid-muridku di sini. Lebih jauh karena kau di sini telah dua hari dan semalam menunggu-nunggu akan berjumpa denganku, maka aku percaya kau tentu merasa capai dan lelah. Sekarang pergilah kau istirahat dahulu, supaya nanti sore aku bisa periksa segala pelajaran yang telah kau pelajari dari An Chun San itu."   Poan Thian lalu menyoja sambil mengucapkan terima kasih.   Kemudian Kak Seng Siang-jin perintah seorang murid kecil akan pergi mengantarkan Poan Thian pergi tidur.   Sebagaimana di bagian atas telah dikatakan, Poan Thian yang sudah merasa sangat lelah, tentu saja jadi girang, dan lalu pergi mengikut pada murid kecil itu.   Dan sebegitu lekas ia dapat "mencium bantal", dengan lantas ia tidur pules dengan amat nyenyaknya, hingga tahu-tahu ketika ia tersadar dari tidurnya, ternyata haripun sudah hampir senjakala.   Buru-buru ia bangun pergi mencuci muka dan menukar pakaian kemudian murid kecil tadi muncul dan persilahkan ia akan sama-sama dahar nasi.   Poan Thian mengucap banyak terima kasih atas kebaikannya kawan baru itu.   51 Begitulah sambil duduk dahar ber-sama-sama, mereka berdua beromong-omong dan saling menuturkan asal-usul masing-masing, sehingga kemudian datang ke kelenteng Liong-tam-sie itu.   Dari penuturan si murid kecil itu, Poan Thian mengetahui bahwa ia itu adalah seorang anak desa yang sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi.   Sanak saudaranya tidak mau mengakui kepadanya, berhubung ia ditinggalkan mati oleh ayah-bundanya dalam keadaan sangat miskin.   Maka Kak Seng Siang-jin yang pada suatu hari kebetulan melalui desa itu dan dapat dengar kejadian ini, ia jadi merasa kasihan dan lalu ajak anak itu datang berdiam di Liong-tam-sie untuk diberikan didikan dan pelajaran sebagaimana mestinya.   "Semenjak aku datang ke sini,"   Kata si murid kecil itu.   "tidak sedikit orang-orang yang bernasib buruk sebagaiku telah diajaknya datang ke sini oleh Kak Seng Siang-jin Lo-siansu."   Tatkala Poan Thian menanyakan she dan namanya, murid kecil itu lalu menjawab, bahwa ia orang she Song bernama Yong, di kelenteng itu sudah berdiam dua tahun lamanya.   Poan Thian kelihatan girang sekali mendapat kawan yang begitu ramah-tamah.   Kemudian ia perkenalkan diri sendiri dan tuturkan apa sebab ia berkunjung ke Liongtam-sie, tetapi dalam pembicaraan itu sama sekali ia tidak menyebut-nyebut atas perantaraannya Hoa In Liong.   "Murid-murid Lo-siansu di sini tidak berapa banyak,"   Kata Song Yong.   "tetapi hampir semua terdiri dari ahli silat yang jarang bandingannya, terutama Hoa In Liong Suheng, yang ilmu kepandaiannya boleh dikatakan 52 nomor satu di antara murid-murid Lo-siansu yang ada di sini."   Poan Thian yang mendengar Song Yong menyebutnyebut namanya Hoa In Liong, diam-diam ia jadi girang dan lalu coba menanyakan tentang asal-usulnya orang she Hoa itu, tetapi Song Yong lalu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berkata.   "Tentang itu aku tidak tahu-menahu. karena baikpun Lo-siansu ataupun In Liong Suheng sendiri tak pernah mengatakan apa-apa tentang asal-usulnya."   Poan Thian mengangguk-angguk sambil menggerakkan sumpitnya menyomot lauk-pauk yang disajikan di hadapannya.   "Guru kita di sini orangnya kelewat aneh,"   Kata Song Yong pula.   "Ia amat cerewet dalam hal menerima orang sebagai muridnya. Tetapi aku harus memberi selamat kepadamu, berhubung dengan banyak kemungkinan akan kau diterima olehnya. Karena barang siapa yang kiranya tidak bakal diterima sebagai murid, bukan saja tidak diperkenankan masuk ke halaman ini, tetapi dengan getas lantas diberitahukan bahwa dengan sangat menyesal ia tidak bisa diterima dengan alasan ini atau itu. Sementara orang-orang yang sudah diterima sebagai murid, bisa disembarang waktu diusir dari sini, apabila berani melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Lo-siansu. Banyak sekali anak-anak hartawan dan orang-orang berpangkat berkunjung ke sini untuk berguru dengan membawa bingkisan-bingkisan yang berharga mahal, tetapi tiada seorangpun yang diterima. Bahkan anak-anak jembel yang dianggap mempunyai bakat baik, telah dibawa dan dididik oleh Losiansu di sini. Demikianlah perbedaannya cara penerimaan murid antara Lo-siansu dengan kebanyakan 53 ahli silat lain yang kudapat dengar dari orang lain."   Lie Poan Thian saban-saban mengangguk-angguk sambil turut menyatakan keheranannya dengan caranya sang paderi tua itu. Sebegitu lekas mereka habis makan, Poan Thian lalu permisi pada Song Yong akan pergi mengunjungi Kak Seng Siang-jin.   "Kita sekarang telah menjadi saudara dari satu golongan,"   Kata Song Yong sambil bersenyum.   "Oleh sebab itu, anggaplah bahwa kita semua ada sama dan tidak perlu berlaku sungkan lagi."   Poan Thian mengucapkan terima kasih. Kemudian ia pergi menjumpai Kak Seng Siang-jin.   "Aku di sini baru saja hendak surukan orang buat panggil padamu, tetapi kau telah mendahului datang ke sini,"   Kata paderi tua itu, setelah melihat Poan Thian datang menghadap.   "Sekarang cobalah kau tuturkan dahulu segala pelajaran silat yang telah kau dapat pelajari dari An Chun San, setelah itu, barulah kau jalankan itu dalam praktek, untuk disaksikan olehku."   Lie Poan Thian menurut.   Mula-mula ia tuturkan hal-ihwalnya ia berguru pada An Chun San, sehingga guru silat itu mabur karena dirobohkan olehnya.   Kak Song Siang-jin berdiam sejurus, mendengari penuturannya Lie Poan Thian.   Kemudian ia perintah pemuda itu perlihatkan kepandaiannya.   Poan Thian menjawab.   "Menurut perintah,"   Sambil lantas bersilat menurut apa yang ia tahu. Tetapi pada sebelum ia selesai bersilat. Kak Seng 54 Siang-jin lalu memberi tanda supaya ia lantas berhenti.   "Sudah, sudah cukup,"   Katanya.   "Sekarang aku telah lihat dengan tegas, bahwa selama hampir dua tahun kau telah belajar silat dengan secara sia-sia saja, karena segala pelajaran yang kau pertunjukkan itu, tidak lebih tidak kurang daripada hoa-couw belaka, atau ilmu silat untuk pertunjukan. Bagus kelihatannya, tetapi hampir tak berguna akan dipakai bertempur. Dan jikalau kau bertempur dengan seorang yang lebih pandai daripada dirimu, kau bisa dapat celaka atau mudah dirobohkan dengan tak usah memakai terlalu banyak tenaga lagi. Karena dengan tenagamu yang kau keluarkan itu, sudah cukuplah akan bikin kau sendiri jatuh terpelanting. Hal mana aku bisa saksikan bagaimana tadi kau telah menggunakan beberapa macam ilmu pukulan, yang berhubung keliru dijalankannya, maka menerbitkan beberapa titik kelemahan yang seolah-olah membuka jalan untuk memudahkan orang lain merobohkan kepadamu. Maka setelah sekarang kau berada di sini, kau harus lupakan segala pelajaran itu dan memulai pula dengan menurut sistim yang aku telah tetapkan sendiri. Tetapi apabila kau tidak sanggup menuruti sistim pelajaran ini, kau harus selekasnya memberitahukan kepadaku, agar supaya kau jangan sampai menyesal akan mengikuti pelajaran-pelajaran yang begitu berat dengan tiada mendapat hasil begitu cepat sebagaimana yang kau harapkan."   Poan Thian berjanji akan mentaati segala peraturan itu, kemudian ia diperintah akan kembali dihari esok untuk menerima pelajaran yang pertama.   Y 55 Enam tahun telah lalu dengan tidak terasa lagi.   Oleh karena berkat dari kerajinan dan keuletannya, yang dibarengi juga dengan didikan seorang ahli yang tinggi ilmu pengetahuannya seperti Kak Seng Siang-jin, Lie Poan Thian akhirnya telah berhasil menjadi salah seorang murid Kak Seng Siang-jin yang paling pandai, sementara pelajaran ilmu menendangnya boleh dikatakan hampir tiada bandingannya di antara kawankawan seperguruannya.   Maka paderi tua itu yang melihat keistimewaan muridnya ini, dengan sengaja telah menurunkan semua ilmu kepandaiannya yang paling terahasia dan belum pernah diketahui oleh murid-murid yang lainnya.   Dan tatkala semua ini telah dapat dipelajari Poan Thian sebaik-baiknya, pada suatu sore Kak Seng Siangjin telah menganjurkan akan si pemuda coba menciptakan sendiri ilmu pukulan di bawah penilikannya, agar supaya jikalau ada apa-apa yang keliru diciptakan atau dijalankannya dalam praktek, disembarang waktu bisa dikoreksi oleh sang guru itu dengan cara yang sempurna.   "Karena jikalau penciptaan-penciptaan baru dapat dilakukan sekarang olehmu,"   Kata sang guru.   "memanglah tidak lebih dari pantas dan justeru tepat benar pada waktunya, yaitu setelah kau dapat mempelajari semua pelajaranmu dengan sesempurnasempurnanya."   Oleh sebab Poan Thian bukan seorang yang suka menganggur, sudah tentu anjuran itu diterima dengan baik olehnya, maka dengan tiada menunggu lagi sampai dihari esok, pada sore itu juga Poan Thian lalu mulai menyempurnakan ilmu tendangan Sauw-tong-lian-hwantui, yang dahulu pernah dipergunakan olehnya di waktu 56 merobohkan An Chun San.   Ilmu tendangan ini setelah dipraktekkan beberapa minggu lamanya dengan ditilik oleh Kak Seng Siang-jin sendiri, ternyata hasilnya ada begitu memuaskan, hingga sebuah patok Bwee-hoa-chung yang dipendam di tanah sampai tiga-empat kaki dalamnya, dengan mudah dapat diruntuhkan oleh tendangan baru yang diciptakan oleh si pemuda.   Sedang sebuah pohon yang dahulu ia cuma bisa bikin terguncang dengan tendangannya, sekarang ia bisa robohkan dengan hanya sekali tendang saja! Di waktu ia berjalan di tanah dengan kaki telanjang dan menyalurkan khi-kangnya ke arah telapak kaki itu, maka ke mana saja ia menindak, segera tampak bekas kaki yang tercetak di tanah sehingga beberapa dim dalamnya! Sementara Kak Seng Siang-jin yang menyaksikan kemajuan Poan Thian yang begitu pesat dalam ilmu pelajarannya, sambil menepuk tangan lalu berkata.   Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Nah, jikalau semua murid-muridku bisa mempunyai kerajinan dan keuletan belajar seperti ini, pengharapanku tidak menjadi sia-sia dalam hal mempertahankan nama baiknya kelenteng Liong-tam-sie kita ini. Karena biarpun aku di sini tidak mempunyai begitu banyak murid seperti orang lain, tetapi sudah puaslah hatiku dengan mempunyai beberapa murid-murid saja seperti In Liong dan Kok Ciang ini!"   Oleh karena kemajuan-kemajuannya ini, maka muridmurid lain pun menghormati dan mengindahkan pada Lie Poan Thian, dan mereka satu per satu telah datang menyatakan kegirangannya dan mengucapkan banyak selamat atas sukses yang diperoleh pemuda kita itu.   Tetapi Poan Thian tidak jadi sombong karena diuruk 57 pujian-pujian dari pihak guru dan kawan-kawan seperguruannya, karena telah lama ia insyaf, bahwa orang-orang gagah di dunia ini bukan hanya dia seorang diri saja.   Dari itu, selanjutnya ia tidak berani menganggap dirinya "Thian He Tee It"   Seperti dahulu pula.   Y Pada suatu hari Poan Thian menerima sepucuk surat yang terkirim dari rumahnya di Cee-lam, dan ketika surat itu dibuka dan dibaca bunyinya, ternyata berisikan kabar mengejutkan tentang dirinya Tek Hoat yang telah dihinggapi penyakit sangat berat, hingga lantaran itu, Poan Thian diminta supaya selekasnya kembali ke Ceelam.   Pemuda itu jadi bingung dan lalu pergi memberitahukan hal ini kepada Kak Seng Siang-jin, yang setelah turut juga membaca bunyinya surat itu, lalu menganjurkan supaya Poan Thian lantas berangkat ke kota kelahirannya dihari itu juga.   "Ayahmu sekarang sudah berumur enampuluh tahun lebih dengan hanya mempunyai kau seorang anak saja,"   Kata sang guru, maka buat memenuhkan kewajiban seorang anak kepada orang tuanya, memang tidak lebih dari pantas jikalau kau segera pulang buat mengurus orang tuamu yang sakit keras itu."   Sementara Poan Thian yang pikirannya sedang kalut oleh karena mendapat kabar celaka itu, dengan air mata berlinang-linang dan suara gemetar lalu berkata.   "Suhu, sebenarnya murid tak akan meninggalkan kelenteng ini, pada sebelum ilmu kepandaianku mencapai kepada puncaknya kesempurnaan, tetapi karena keadaan yang begini memaksa, maka mau tak mau murid mesti kembali 58 dahulu ke rumahku buat beberapa waktu lamanya. Tetapi ini bukan berarti, bahwa murid meninggalkan pelajaran setengah jalan. Maka paling cepat tiga bulan atau paling lama setengah tahun, murid tentu akan balik kembali buat menerima lagi pelajaran-pelajaran dari Suhu seperti biasa."   Tetapi dengan wajah yang tenang Kak Seng Siang-jin lalu berkata.   "Dari hal kau akan kembali lagi atau tidak ke kelentengku di sini, itulah bukan soal yang perlu diributi sampai begitu. Karena walaupun kau tidak balik kembali juga, aku tidak kuatir lagi akan kau mengalami kesukaran di luaran. Hanya kalau di suatu waktu kau kebetulan melewat ke Liong-tam dan ada waktu terluang akan mampir ke sini, sudah tentu saja aku akan merasa girang dan menerima kedatanganmu dengan tangan terbuka."   Sesudah berkata begitu, Kak Seng Siang-jin lalu perintah seorang murid pelayannya buat mengambil sebuah bungkusan yang memang telah disediakan untuk diberikan kepada Poan Thian, kalau nanti ia berlalu dari kelenteng Liong-tam-sie.   "Isinya pauw-hok kecil ini,"   Kata sang guru.   "bukanlah terdiri dari emas atau perak, hanyalah beberapa macam senjata dan pakaian yang kau mungkin butuhkan dalam perantauanmu di kalangan Kang-ouw nanti. Pakaian yang ada di dalamnya, aku telah sengaja suruh orang bikin dengan menurut ukuran pakaianmu sendiri, dari itu, aku percaya tentu akan cocok dipakai olehmu."   Sambil berkata begitu, paderi tua itu lalu membuka pauw-hok tersebut buat diperlihatkan isinya kepada Lie Poan Thian.   "Segala macam senjata rahasia,"   Kata sang guru pula.   "aku sengaja berikuti di sini untuk memudahkanmu 59 jikalau nanti perlu dipakai, apalagi di waktu ada serangan mendadak yang bisa membikin orang jadi gugup. Tiokyap-piauw, Kim-chie-piauw, Liu-seng-piauw dan senjatasenjata rahasia lain, semua aku telah sediakan di sini. Ini Joan-pian,"   Ia menganjurkan pada sang murid.   "baiklah kau libatkan saja di pinggangmu supaya bisa lantas dipergunakan di waktu kesusu."   Poan Thian menurut dan lalu berbuat apa yang diperintah oleh gurunya.   "Pedang ini agaknya terlalu panjang buat disoren, maka baik kau simpan saja dan boleh dibawa kalau nanti kau berjalan di waktu malam. Sementara pakaian Yaheng-ie (pakaian untuk berjalan di waktu malam) yang ada di sini, kau jangan pakai jikalau bukannya terlalu perlu. Sepatu ini,"   Melanjutkan sang paderi.   "sebenarnya memakai pisau yang disembunyikan pada bagian ujungnya, yang jikalau ditendangkan, lalu bisa keluar akan melukai orang. Tetapi karena melihat tendanganmu yang begitu sempurna dan cukup berbahaya, maka aku pikir tidak perlu lagi akan sepatu ini dipasangi pisau lagi, oleh sebab itu, maka pisau itu aku lalu suruh orang singkirkan."   Lie Poan Thian menyoja sambil mengucapkan terima kasih.   "Lain hal lagi yang hendak kupesan kepadamu,"   Kata Kak Seng Siang-jin lebih jauh.   "adalah kau di luaran jangan berlaku sombong dan menganggap bahwa diri sendiri paling jempol, karena orang-orang pandai di dalam dunia ini sukar dihitung berapa banyaknya. Pergunakanlah ilmu kepandaianmu untuk bantu menenteramkan masyarakat daripada gangguangangguan segala cabang atas yang gemar memeras dan berlaku sewenang-wenang kepada sesamanya yang 60 lemah dan tidak berpengaruh. Orang hidup harus mempunyai banyak kawan, tetapi jangan lupa buat memilih serta dapat membedakan, kawan mana yang boleh dicampur atau tidak. Kin Cu Cia, Cek; Kin Bak Cia, Hek, Barang siapa yang mendekati cet merah, pastilah ia akan bernoda merah, dan barang siapa yang mendekati bak, ada kemungkinan ia akan kecipratan hitam. Demikianlah ujarnya pujangga di zaman dahulu. Setiap orang harus berlaku budiman, kalau saja keadaannya bisa mengijinkan, tetapi tiada salahnya akan orang berbuat apa yang dinamakan "kouw-kat-ie", (mementingkan diri sendiri), karena menurut pendapatku, tidak semua perbuatan kouw-kat-ie berarti salah, kalau saja dengan berbuat begitu, kita tidak merugikan kepada orang lain. Karena buat menolong diri sendiri, sudah tentu saja kita harus berdaya dengan sekuat tenaga kita, dan sama sekali bukannya mesti selalu mengandalkan kepada tenaga orang lain. Tetapi terhadap perbuatan kouw-kat-ie yang terutama biasa menguntungkan kepada diri sendiri dengan tiada memperdulikan kepada kerugian yang diderita oleh orang lain, itulah suatu perbuatan keji yang aku selalu menganjurkan buat kau atau siapapun akan bantu memberantasnya dengan sekuat-kuatnya tenaga."   Dengan ini, Poan Thian mengucapkan terima kasih.   kembali menyoja Setelah itu, Kak Seng Siang-jin lalu perintah supaya ia lekas berangkat ke Cee-lam dihari itu juga.   Maka dalam keadaan yang begitu kesusu dan sekonyong-konyong.   tentu saja Poan Thian tidak sempat banyak pikir lagi, hingga sebegitu lekas ia dahar, lalu ia 61 bawa pauw-hoknya yang dijadikan satu dengan pauwhok pemberian gurunya, kemudian barulah ia berpamitan pada guru dan kawan-kawannya.   Dari situ, dengan tindakan yang tergopoh-gopoh, ia telah meninggalkan kelenteng Liong-tam-sie yang dicintainya itu.   Begitulah dengan menyewa sebuah kereta yang ditarik oleh seekor kuda yang dapat berlari cepat, Poan Thian lalu berangkat ke Cee-lam.   Pada suatu hari ketika ia sampai di Cee-lam, haripun telah hampir senja.   Di jalan-jalan raya tampak penuh sesak dengan kereta-kereta, kendaraan-kendaraan lain, pedagang-pedagang yang memikul barang dagangan dan orang-orang yang kembali dari luar kota.   Maka karena kereta yang dinaiki Poan Thian tak dapat melanjutkan perjalanannya karena kudanya mogok apa boleh buat pemuda itu lalu turun di situ, membayar uang sewaannya dan kembali ke rumahnya dengan berjalan kaki, sambil menggendong pauw-hok di punggungnya.   Mula-mula Poan Thian masih bisa berjalan dengan tindakan cepat.   Akan tetapi ketika ia melalui pintu Soanhoa-mui dan membelok kelereng Cay-hong-kee yang agak sempit, ia jadi tercegat oleh lautan manusia yang seolah-olah membendung dan memperlambat perjalanannya.   Meskipun dia saban-saban memohon pada orang banyak akan diberikan sedikit lowongan akan melewat, tidak urung ia mesti berjalan juga dengan pelahan, berhubung mulut lorong di bagian sana masih berjejal banyak orang.   Dalam pada itu sekonyong-konyong kelihatan mendatangi empat orang berkuda yang juga hendak melalui lorong itu.   Pemimpin dari penunggang-penunggang kuda itu 62 adalah seorang yang berbadan tegap, beroman angker.   Ia kelihatan tidak sabaran melihat orang-orang yang berjalan seperti merayap itu.   Sambil duduk terus di atas punggung kudanya, ia menyerukan supaya orang banyak membuka sedikit jalan untuk ia dan pengawalpengawalnya lewat di situ.   Dan ketika seruan itu seolah-olah tidak dihiraukan orang, si pemimpin jadi marah-marah dan mengancam akan menubrukkan kudanya pada orang banyak, apabila mereka tidak juga suka memperhatikan atas peringatan itu.   "Jalanan di sini memangnya amat sempit,"   Begitulah terdengar suaranya seorang orang yang menyomel.   "oleh karena itu, mengapakah tidak mengambil jalan lain saja yang lebih lebar dan leluasa, sehingga di situ orang boleh kaburkan kudanya dengan sesenang hati?"   "Hus! Sudah, jangan banyak bicara,"   Kata seorang yang lainnya.   "Apakah kau tidak tahu, bahwa dia itu adalah Teng Yong Kwie, komandan dari tangsi Tokpiauw-eng? Dia inilah seorang yang berjasa besar dalam hal melakukan pembasmian terhadap kaum Pek-liankauw, sehingga ia sangat dipercaya oleh pihak atasannya."   Tetapi orang pertama yang tadi bicara itu lalu mengeluarkan suara jengekan dari lubang hidung sambil berkata.   "Hm! Apakah mentang-mentang dia berjasa besar, sehingga orang banyak harus takut padanya seperti harimau?"   Pemimpin itu rupanya mendengar comelan dan jengekan itu, tetapi ia tidak tahu siapa yang menyomelnya, maka sambil bercelingukan ke sana ke sini, kembali ia sengaja berseru buat minta orang banyak 63 membuka jalan untuk mereka lewat.   Sementara Lie Poan Thian yang mendengar suara kuda dan orang yang berseru, lalu menoleh ke belakang buat coba melihat, sehingga dengan tidak disengaja sorot matanya jadi kebentrok dengan sorot mata orang itu.   Tetapi selanjutnya Poan Thian tidak sempat menaruh perhatian terhadap orang yang ia sama sekali tidak kenal itu, berhubung pikirannya terlalu kalut memikirkan penyakit ayahnya sendiri.   Tidak kira selagi berdesakan di antara orang banyak akan melalui lorong itu, mendadak si pemuda telah dibikin kaget oleh kepala kuda yang membentur pauwhok yang digendongnya, hingga ketika ia coba menoleh ke belakang, si penunggang kuda jadi tertawa bergelakgelak, seolah-olah perbuatan itu telah dilakukannya dengan sengaja.   Hal mana sudah barang tentu telah membikin Poan Thian jadi mendongkol, tetapi syukur juga ia masih mempunyai kesabaran akan menghindarkan persetorian dengan penunggang kuda itu.   Tetapi ketika perbuatan itu diulangkan buat kedua kalinya, Poan Thian lantas menganggap, bahwa cara itu betul-betul sangat terlalu, hingga ini tak boleh dibiarkan begitu saja.   Maka sambil mendorong kepala kuda itu dengan tangan kirinya, Poan Thian lalu bertindak maju dan mengangkat dada binatang itu dengan tangan kanannya, hingga pada sebelum orang mengeluarkan suara teriakan, binatang itu berikut penunggangnya telah jatuh terbanting ke muka bumi, bagaikan sebuah bola yang dilemparkan orang ke tengah lapangan! Setelah itu, Poan Thian yang kuatir terbit rusuh terlebih besar, lalu menggunakan siasat Yan-cu-coanliam, atau burung kepinis menerobos tirai bambu, 64 menyingkirkan diri dari situ dengan jalan melayang di atas kepalanya orang banyak yang berjejal di lorong sempit tersebut.   Oleh sebab ini, dalam tempo sekejapan saja ia telah menghilang di antara orang-orang yang jalan berduyun-duyun di sebelah depan perjalanannya.   Sementara si pemimpin yang telah ditolong oleh ketiga orang pengawalnya, buru-buru ia menyerukan kepada Lie Poan Thian sambil berkata.   "Hai sahabat! Siapakah she dan namamu? Dan di manakah tempat kediamanmu?"   Tetapi Poan Thian yang diserukannya telah tidak kelihatan lagi mata hidungnya, hingga pemimpin itu pun tidak tahu ke mana mesti mencarinya, di antara orang banyak yang berdesakan di lorong yang sempit itu.   Y Tidak lama kemudian Poan Thian telah sampai di rumahnya sendiri.   Dari pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit orang tuanya, Poan Thian mendapat kesan bahwa Tek Hoat bukan sakit karena usianya telah lanjut, hanyalah karena jengkel ditipu orang, yang duduknya perkara bisa dituturkan dengan singkat sebagai berikut.   Sebagaimana para pembaca tentu belum lupa, Lie Tek Hoat ini adalah seorang pabrikan beras yang kaya raya, dan di kota Cee-lam ia membuka perusahaan tersebut dengan memakai merek penggilingan Eng Tiang Chun.   Pada beberapa waktu Tek Hoat menerima pesanan duaribu pikul gandum dari seorang saudagar bernama Ma-cu Lie, atau Lie si Bopeng, yang sebenarnya 65 mempunyai juga perusahaan penggilingan yang memakai merek Ban Seng Mo Hong.   Oleh karena Tek Hoat dan Ma-cu Lie mempunyai perhubungan yang baik sekali, maka kejadian pesanan gandum tadi telah disanggupi oleh Tek Hoat dengan tidak membikin surat perjanjian apa-apa.   Tek Hoat tidak mengetahui, bahwa hatinya si bopeng itu terlalu busuk, bahkan maksud yang benar daripada pesanan gandum tersebut, adalah semata-mata akan membikin perusahaan Tek Hoat jadi bangkrut dengan suatu muslihat keji yang telah dipikirkan oleh Ma-cu Lie sejak beberapa waktu lamanya.   Maka setelah gandum yang duaribu pikul itu telah tersedia, Ma-cu Lie lalu pura-pura mengatakan belum dapat membayar harga barang itu, dari itu ia minta supaya Tek Hoat simpan saja dahulu gandum itu di dalam gudangnya, sehingga nanti ia sudah mendapat cukup uang untuk menebusnya.   Tek Hoat mula-mula mau percaya omongan itu.   Tetapi setelah gandum itu hampir rusak dan belum juga diambil atau dibayar harganya, ia jadi hilang sabar dan lalu pergi mengunjungi Ma-cu Lie, yang olehnya dikatakan telah menipu serta diancam akan diadukan kepada pembesar yang berwajib, apabila si bopeng tidak juga mau membayar harganya gandum tersebut.   Tetapi hal ini dianggap sepi oleh Ma-cu Lie, karena ia mempunyai banyak hubungan dengan pembesarpembesar negeri dan kepala-kepala polisi bangsa Boan dan Tionghoa, hingga selain ancaman itu tidak dihiraukannya, malahan ia sendiri lantas balas menjengeki pada Tek Hoat dengan mengatakan.   "Aku sama sekali tidak berhutang kepadamu, seperti juga kau tidak berhutang kepadaku. Gandum yang ada padamu, 66 itulah tinggal tetap menjadi milikmu, lain perkara jikalau gandum itu aku sudah angkat dan tidak membayar harganya, itulah memang patut kau adukan aku pada pembesar yang berwajib. Maka jikalau gandum itu sampai rusak di tanganmu sendiri, itulah sudah tentu bukan karena salahku. Cara bagaimanakah kau boleh persalahkan lain orang!"   Tek Hoat jadi sangat mendongkol dan semenjak itu ia jatuh sakit, hingga ibunya Poan Thian jadi sangat masgul dan lalu perintahkan orang mengabarkan peristiwa ini kepada sang anak yang berdiam di kelenteng Liong-tamsie.   Maka setelah Poan Thian mengetahui jelas duduknya perkara yang benar, sudah tentu saja ia jadi sangat gusar dan sesumbar, bahwa ia akan membalas dendam atas perbuatannya Ma-cu Lie yang amat busuk itu.   Tetapi ibu dan sanak saudara Poan Thian yang kuatir pemuda kita akan mengambil tindakan nekat, lalu dengan sabar memberikan nasihat, agar supaya dia jangan terburu napsu mengambil tindakan apa-apa, pada sebelum mengetahui seluk beluknya keadaan pihak sana, apapula kalau diingat bahwa Ma-cu Lie ini bukannya seorang dari golongan terhormat.   "Asal mulanya dia bisa membuka perusahaan penggilingan sendiri,"   Menerangkan salah seorang keluarganya Lie Poan Thian.   "adalah dengan jalan mengeret gundik kawannya sendiri, yang setelah si kawan itu mati dan semua miliknya terjatuh ke dalam tangan si gundik itu, lalu si bopeng "tolong"   Uruskan harta benda orang, berikut nyonya rumahnya sekali dibuat isteri olehnya. Itulah riwayat permulaannya si bopeng jadi jaya dan hidup beruntung sehingga sekarang ini. Maka disamping ia bisa "tempel"   Pembesar yang berpengaruh, 67 ia pun memelihara beberapa banyak tukang pukul yang biasa mengiringi padanya di waktu ia bepergian."    Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini