Ceritasilat Novel Online

Manusia Aneh Alas Pegunungan 6


Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl Bagian 6


Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya dari Gan K.l   Hm, A Siu,'' terdengar Tiat-hoa-popo buka suara lagi, apapun juga, benarkah kau tak hiraukan lagi apa yang pernah dipesan Lo Liong thau ? Siapakah gerangan Lo Liong-thau yang disebut-sebut itu? Apakah dia seorang pemimpin suku Biau, atau seorang tokoh persilatan? Kiranya A Siu berusia tiga tahun, ia tampak jauh lebih pintar dan lincah daripada anak kecil umumnya.   Wajahnya yang manis, kedua matanya yang besar, menambah kesukaan orang bagi siapa yang melihatnya.   Sudah tentu yang paling sayang adalah kedua orang tuanya.   Setiap hari ayahnya berburu kegunung mencari bahan obat2an, selalu A Siu diajak serta.   Kehidupan suku Biau umumnya kecuali berburu binatang-binatang dan bercocok tanam sedikit, biasanya juga masuk kerimba raya untuk mencari bahan obat2an untuk dijual atau dibarter dengan orang Han yang datang berdagang kedaerah Biau ini.   Oleh karena tidak sedikit dari bahan obat2an itu bisa mendapatkan pasaran bagus, maka sering orang Biau berombongan jauh masuk ke hutan belantara untuk mencari obat2 tersebut.   Dan ayahnya A Siu yang bernama Kek Pang ada satu diantara ahli2 pencari bahan obat itu.   Suatu hari, ketika Kek Pang pulang dari berburu sambil memanggul A Siu dipunggungnya, sebelah tangan lain menyeret dua rusa hasil buruannya, sebelum sampai didepan rumahnya, ia dengar ada seruan orang.   Segala macam obat mudah didapatkan disini, cuma inilah sesungguhnya sangat susah.   Barang ini susah dicari, kecuali kalau ketemukan secara kebetulan.   Karena banyaknya orang Han yang mendatangi daerah Biau ini, maka percampuran kedua bahasa Han itu, ia dengar lagi suara seorang wanita lagi menyahut.   Loyacu, mohon dengan sangat atas pertolongan kalian asal ada barangnya, kalian ingin menukar dengan apa, segera kami adakan.   dari lagu suaranya, nyata wanita itu gugup dan kuatir sekali.   116 Ketika sudah dekat, Kek Pang melihat ada satu wanita Han dan di tanah merebah seorang laki2 yang kepalanya dikerudung rapat dengan kain sambil meng-erang2, melihat gelagatnya, wanita Han ini terang datang kesini untuk meminta obat2an.   Jing-kin, tiba2 lelaki berkerudung itu berkata .   Jika susah mendapatkan, sudahlah.   Ta.,.   tapi bagaimana dengan keadaanmu itu ! seru wanita itu se-akan2 orang kalap.   Dasar hati Kek Pang memang baik, segera ia mendekati orang dan menanya ada urusan apa.   Ketika wanita itu melihat Kek Pang adalah seorang laki-laki gagah, tampaknya jujur, pundaknya berduduk satu anak perempuan yang sangat menyenangkan, tiba-tiba hatinya timbul selarik sinar harapan, katanya segera .   Suamiku terkena racun jahat yang aneh, dari petunjuk orang kosen, katanya ada dua macam bahan obat yang dapat menolongnya, pertama adalah empedu ular Kiu-bwe-coat, kedua adalah buah Cit-kim- ko.   Kek Pang terkejut demi mendengar obat apa yang dicari itu.   Ia pikir, sekian tuanya ia hidup mencari obat-obatan, tapi terhadap kedua jenis barang yang disebut melulu mendengar saja belum pernah melihat, memang sesungguhnya susah dicari.   Sebab itu, iapun terpaku tak bisa menjawab.   Tahu bahwa usahanya tiada harapan lagi, wanita itu menghela napas panjang, pintanya kemudian.   Jika begitu, dapatkah aku mohon menumpang didalam rumah sini, biarlah suamiku sementara tinggal disini dan aku pergi kegunung untuk mencoba peruntungan ! Tidak, tidak, Jin-kin, betapapun kau jangan mengambil resiko ini, kau harus selalu di sampingku, seru lelaki itu sembari pegang kencang2 tangan sang isteri.   Hati wanita itu risau benar, air matanya bercucuran, Lantas bagaimana baiknya ? serunya bingung.   Mendengar suara ratapan siwanita yang memilukan itu, semua orang ikut terharu.   Tapi apa daya, barang yang hendak dicari itu seratus tahun belum tentu dapat dijumpai sekali, kemana harus diperoleh ? Ayah, begini sedih bibi ini menangis, kenapa kau tak menolongnya ? seru A Siu mendadak.   Suaranya kecil nyaring memecah kesunyian.   117 Hati Kek Pang tergoncang, ia pikir masakan aku orang tua kalah dengan seorang anak kecil, seumpama barang yang hendak dicari susah diperoleh, kenapa aku tidak menghantar wanita itu kesana ? Ya, A Siu, kau benar! sahutnya.   Aku ikut kalian, ayah, kata A Siu lagi dengan tertawa.   Kek Pang tak menjawab, katanya pada wanita tadi.   Toasuko tak perlu berduka, seorang diri kau masuk gunung kurang baik, biarlah besok pagi2 aku mengiringi kau kesana tempat dimana mungkin hidup Kiu-bwe-coa (ular sembilan buntut), tentu tak pernah dijajaki manusia, maka kita mesti banyak siapkan perbekalan, malam ini tak bisa lagi kita berangkat.   Sungguh bukan buatan rasa girang dan terimakasih wanita itu, saking terharu sampai ia tak sanggup ber-kata2.   Ia lihat A Siu sangat menyenangkan, kemudian ia tanya.   Nona cilik ini adakah putrimu.   Siapakah namamu ? Meniru seperti bangsa Han kalian, namanya A Siu, sahut Kek Pang.   Nama bagus , kata wanita itu.   Biarlah aku memberi sedikit hadiah.   Sembari berkata, dari bajunya ia keluarkan suatu kotak kecil.   Tadinya semua orang menyangka oleh2 yang diberikan ini tentu mainan kanak2 yang tak berarti, tak terduga, ketika tutup kotak itu menjeblak, barulah semua orang terkejut.   Waktu itu hari sudah gelap, dan begitu kotak itu terbuka, segera memancarkan sinar yang menyilaukan, ternyata isi kotak itu adalah sebutir mutiara sebesar biji buah kelengkeng yang dibikin sebagai mainan kalung dengan rantai emas yang kecil.   Wanita itu ambil kalung emasnya lalu pasang dilehernya A Siu.   Keruan A Siu kegirangan, serunya berulang ulang .   Banyak terima kasih, toakoh, banyak terima kasih! Nyata, karena ayahnya sering bergaul dengan saudagar Han, maka iapun bisa mengucapkan beberapa patah kata bahasa Han.   Dengan penuh kasih sayang wanita itu mengempoh A Siu serta menciumnya sekali.   Suamimu boleh beristirahat dirumahku selama kita masuk gunung, tentu ada orang yang akan merawatnya, kata Kek Pang kemudian.   Ya, cuma aku harap supaya dipesan agar kain kerudung kepala suamiku itu jangan sekali-kali dilepaskan, sahut siwanita.   118 Lalu mereka memondong orang laki-laki itu kedalam rumah, kata laki-laki ini .   Jing- kin, sungguh aku merasa kuatir sekali bila kau pergi mencari Kiu-bwe-coa dan Cit-kim- ko itu.   Sudahlah, jangan pikir yang tidak2, mengasolah yang tenang, dalam sebulan, aku yakin akan bisa kembali dengan membawa barang yang kita cari itu, sahut sang istri.   Sesudah merebahkan lelaki itu didipan, kemudian Kek Pang berkata.   Toaso, dengan cahaya mutiara bersinar ini, malam ini juga kita bisa berangkat.   Itulah lebih baik, sahut siwanita dengan girang.   Segera Kek Pang siapkan sekantong ransum dan membawa sebilah golok melengkung bergegas2 segera mereka hendak berangkat.   Tiba2 A Siu merecoki sang ayah untuk ikut serta, meski Kek Pang telah membujuk dan me-nakut2i tapi A Siu tetap ingin turut, terpaksa sang ayah mengajaknya, ia panggul putri kecil itu di atas pundaknya lagi dan katanya.   Marilah Toaso, kita berangkat.   Diwaktu hendak melangkah pergi, wanita itu masih menoleh beberapa kali pada sang suami, terdengar lelaki itu berseru.   Jing-kin, jika tidak bisa dapatkan barang yang dicari, lekaslah kau pulang saja! Ya, dalam sebulan pasti aku akan pulang kembali, harap kau bersabarlah, sahut wanita itu dengan suara berat.   Nyata sekali, mereka adalah sepasang suami istri yang sangat sayang menyayangi.   Begitulah, dengan bantuan cahaya mutiara, dengan cepat Kek Pang telah membawa wanita itu menempuh perjalanan sejauh dua puluh li.   A Siu sama sekali tidak merasa ngantuk atau letih, malahan ia terus menerus mengajak ngobrol dengan wanita itu.   A Siu, aku she Ang, bernama Jing-kin, selanjutnya kau panggil aku Jing-koh (bibi Jing) sajalah, ujar wanita itu.   Aku juga punya satu anak perempuan, umurnya lebih tua tiga tahun darimu.   kelak kalau kalian bisa bertemu, tentu kalian akan cocok seperti saudara sekandung.   Enci itu siapa namanya, Jing-koh ? tanya A Siu.   Nama kecilnya dipanggil Siau Yan, kata Jing-kin.   Tiba-tiba A Siu angkat mutiara bersinar yang tergantung didepan dadanya itu dan menanya.   Jing-koh, kenapa mutiara sebagus ini tak kau berikan pada suci Siau Yan ? 119 A Siu , sahut Jing-kin, Kau masih terlalu kecil, kau belum paham.   Ditempat kami sana ada banyak orang jahat, kalau melihat barang bagus, lantas ingin merampasnya.   Ai, urusan ini kelak kau sudah besar, tentu akan mengerti.   Begitulah, sesudah terlalu letih, akhirnya bocah itu terpulas digendongan sang ayah.   Sesudah semalam suntuk menempuh perjalanan, ketika fajar hampir mendatang, mereka sudah melintasi sebuah gunung, seluas pandangan kedepan, kabut tebal menyelimuti rimba raya.   Kek Pang menuding kemuka, katanya, Toaso, tempat dimana kami sering berburu dan mencari nafkah adalah disekitar gunung yang kita lintasi semalam, kedepan lagi selamanya tiada orang yang berani kesana, kalau ingin mencari sebangsa Kiu-bwe-coa dan Cit kim ko yang jarang terlihat itu, rasanya harus ke- pegunungan sunyi didepan sana.   Kau tidak membawa senjata, biarlah golokku ini kau pakai.   Terharu sekali Ang Jing-kin oleh rasa simpati si orang Biau ini, dan kalau mengingat nasib malang suami istri mereka, ia menghela napas panjang.   Lalu sahutnya, Tak perlulah, aku sendiri punya senjata penjaga diri.   Segera ia merogoh saku bajunya dan tahu2 tangannya sudah bertambah segulung benda hijau gelap, ketika sedikit tangannya mengepal dan dilepas lagi, benda gulungan itu mendadak berbunyi creng terus mulur sepanjang satu meter, nyata itulah sebatang pedang yang bersinar menyilaukan, pedang itu tipisnya luar biasa, dan ternyata bisa mulur dan mengkeret menggulung sendiri.   Hebat sekali, mengapa pedang ini begini lemas, apa gunanya? tanya Kek Pang rada tercengang.   NG JING-KIN menyentil beberapa kali dibatang pedang itu hingga mengeluarkan suara nyaring, sahutnya .   Pedang ini memotong besi bagai rajang sayur, boleh lihat ini! Habis berkata, sekenanya ia tabas kebatang pohon di tepi jalan, pohon itu lebih besar dari paha orang, tapi pedang itu dapat menabas lewat, kemudian pohon itu baru ambruk kesamping.   Tempat dimana pohon itu patah tampak halus bagai digergaji saja.   120 Betapa terkejut dan kagumnya Kek Pang hingga mulutnya ternganga.   Sementara itu A Siu sudah mendusin, mereka makan sedikit rangsum, lalu melanjutkan perjalanan lagi.   Begitulah mereka terus mencari dipegunungan itu hingga tujuh hari lamanya, dalam pada itu banyak bahan obat-obatan berharga telah dapat dikumpulkan Kek Pang.   Tapi ular dan buah yang mereka cari itu tetap belum diketemukan.   Melihat waktu makin lama makin mendesak, Jing-kin menjadi gopoh.   Sampai hari kedelapan, mereka telah memasuki sebuah lembah sempit, didepan sana terdengar ada gemerciknya air, ketika maju lagi, ternyata ada sebuah tanah luas lapang, sebuah sungai kecil mengalir dengan airnya yang jernih.   Melihat air, saking hausnya Kek Pang terus letakan A Siu ketanah, ia sendiri berjongkok ke tepi sungai buat minum.   Tapi baru beberapa hirupan air masuk perutnya, sekonyong-konyong ia berdiri dengan badan gemetar.   Karuan Jing-kin terkejut, ia lihat sekejap saja wajah Kek Pang sudah biru gelap, tangannya menuding ke sungai dan mulutnya ternganga tak sanggup bersuara lagi.   Ap...apakah air sungai berbisa ? tanya Jing-kin cepat.   Tapi tubuh Kek Pang sudah menggelongsor jatuh ditepi sungai, ketika Jing-kin membaliki tubuh orang dan memeriksa urat nadinya, ternyata napasnya sudah putus.   Sungguh susah dipercaya bahwa air sungai sejernih itu ternyata berbisa jahat luar biasa, saking terkejutnya sampai Jing-kin melupakan A Siu yang ditaruh ayahnya ketanah tadi sudah berlari-lari pergi memain sendiri dan ternyata tidak kembali lagi.   Jing-kin sendiri termangu-mangu memandangi sungai itu.   Ia pikir dengan terbinasanya Kek Pang, kesukaran yang akan dihadapinya dalam usaha mencari Kiu-bwe-coa ini tentu akan bertambah-tambah.   Sedang Jing-kin berduka, tiba-tiba dilihatnya didasar sungai itu ada segundukan batu berwarna yang tiba-tiba bisa bergerak2.   Malahan lantas ada lagi dua gundukan batu kecil lainnya ikut-ikut bergoyang, gundukan yang tadinya bundar lambat laun memanjang.   Ketika ia tegasi, gundukan batu apa, hakekatnya adalah tiga utas ular yang tadinya meringkuk disitu, sebab itulah tampaknya seperti gundukan.   Melihat ada ular, cepat Jing-kin siapkan tiga buah Bwe-hoa-piau, dan selagi hendak disambitkan kepada ular-ular itu, tiba-tiba dilihatnya ketiga ular itu dimana ekornya mengesot seakan-akan mempunyai sembilan ranting cabang, nyata itulah yang disebut 121 Kiu-bwe-coa atau ular sembilan buntut yang sedang dicarinya setengah mati, malahan sekali bertemu ada tiga jumlahnya.   Karuan terkejut dan girang Ang Jing-kin, senjata rahasia yang sudah hampir disambitkan itu ia tarik kembali mentah-mentah, ia pikir orang kosen yang memberi petunjuk itu pernah bilang bahwa Kiu-bwe-coa ini hidupnya selalu berdampingan dengan Chit-kim-ko, dan untuk menyembuhkan luka sang suami, kedua macam barang itu harus lengkap tak boleh kurang salah satu diantaranya.   Jika sekarang juga ia timpuk mati ular-ular itu, lantas kemana akan mencari buah Chit-kim- ko itu ? Karena itu ia coba menanti dan curahkan perhatian atas gerak-gerik ular-ular itu, ia lihat Kiu-bwe-coa itu kemudian berenang kehulu sungai, celakanya tiga membagi tiga jurusan.   Tentu saja Jing-kin bingung, yang manakah yang harus dikuntitnya ? Kalau ada Chit-kim-ko, tentu ada Kiu-bwe-coa, tapi ada Kiu-bwe-coa belum tentu ada Chit- kim-ko, lalu diantara ketiga ular ini, yang manakah yang menuju ketumbuhan buah itu ? Kalau yang dikuntitnya nanti ternyata menuju ketempat yang tiada tumbuh Chit-kim- ko, bukankah akan berabe ? Dalam keadaan demikian, ia benar-benar serba salah, sementara itu ular-ular itu sudah merayap makin jauh dan Jing-kin masih kelabakan belum bisa ambil keputusan yang mana harus dikuntitnya.   Pada saat itulah, tiba-tiba ia ingat pada si A Siu, ia menoleh, tapi bocah itu tiada bayangannya lagi, dalam kaget dan kuatirnya, cepat ia berteriak .   A Siu, A Siu ! Tapi meski sudah berulang kali ia memanggil, sama sekali tiada sahutan anak perempuan itu.   Sungguh celaka baginya, Kek Pang sudah terbinasa, kini puterinya itu menghilang, bagaimana nanti kalau pulang ia mesti menjawab pertanyaan orang-orang Biau disana ? Dan karena merandeknya itu, bila ia berpaling lagi, dua ular tadi sudah tak kelihatan lagi, hanya ketinggalan satu yang tampak terus berenang kehulu sungai, kalau ular ini tak lekas dikejarnya, boleh jadi sebentar juga akan menghilang, dan ini berarti usahanya akan sia-sia belaka.   Tanpa pikir lagi, segera ia berlari kedepan menyusur sungai mengikuti jejak siular, tapi ia tak berani terlalu dekat, kuatir mengejutkan binatang itu.   Ia menguntit dari jarak beberapa tombak jauhnya, sambil kadang-kadang berseru memanggil A Siu.   122 Makin lama ia menjadi makin jauh menyusur sungai itu, dan akhirnya dapat diketahui sungai itu ternyata bersumber dari suatu gua.   Ketika sampai didepan gua, ular itu terus merayap kedalam.   Sudah tentu Ang Jing-kin tidak tinggal diam, ia lihat gua itu cukup lebar, segera saja ia ikut masuk, ia pikir Chit-kim-ko tentu tidak jauh lagi disitu, kalau sudah berhasil menemukannya, barulah ia akan mencari A Siu.   Gua itu ternyata menembus kesuatu empang yang dikelilingi tebing-tebing curam hingga susah diketemukan orang luar.   Ditengah-tengah empang itu menonjol dipermukaan air sebuah batu besar dan disela-sela batu itu tumbuh sebuah rumput yang aneh bentuknya, panjangnya ada satu meter, daunnya bundar berwarna ungu, diujung rumput itu tumbuh satu buah sebesar kepalan dan berwarna kuning indah.   Sesudah ular itu menyeberangi empang itu, kemudian merayap keatas batu besar serta meringkuk disitu, hanya kepalanya menegak mengincar terus buah kuning yang besar itu.   Jing-kin yakin tentu buah itulah Chit-kim-ko yang dicarinya, sungguh tidak tersangka olehnya bisa memperolehnya secara begitu mudah.   Maka cepat ia siapkan sebuah Bwe- hoa-piau, ia incar baik-baik kepala ular itu, jarinya menjentik, cepat Bwe-hoa-piau meluncur kedepan.   Tampaknya sasaran pasti akan segera kena, siapa tahu dari samping tiba-tibapun terdengar suara mendesingnya senjata rahasia, sebuah piau baja telah melayang tiba dan tepat membentur Bwe-hoa-piau yang disambitkan Ang Jing- kin itu hingga kedua senjata terpental jatuh semua ke dalam empang.   Melihat piau baja itu datangnya sangat cepat lagi keras, jitunyapun jarang terlihat, ketika Jing-kin mendongak, tahu-tahu dibawah dinding tebing sana sudah berdiri empat orang berkedok yang berperawakan tidak sama.   Melihat keempat orang itu, terkejut dan gusar Jing-kin, dengan suara bengis segera ia membentak .   Sebenarnya siapakah kalian berempat ? Kenapa kalian sedemikian keji terhadap kami suami-isteri, tapi toh secara sembunyi-sembunyi tak berani unjuk muka asli ? Tiba-tiba seorang yang tinggi kurus diantaranya tertawa dibuat-buat, sahutnya .   Bwe-hoa-siancu, kau toh cukup pintar, kenapa sekarang begini geblek ? Asal kau serahkan pedang hijau dan saputangan merahmu pada kami, betapapun besarnya urusan, bukankah lantas beres ? 123 Ya, kami hanya minta pedang hijau ditanganmu itu dan saputangan sutera merah didalam bajumu itu kau serahkan, lalu kami sudahi segala urusan, malahan kami bersedia membantu kau menangkap Kiu-bwe-coa dan Chit-kim-ko itu untuk menolong jiwamu, tiba-tiba kawannya yang agak pendek ikut bicara.   Tapi kalau kau tetap ngotot, ha, tak perlu kami turun tangan, asal kami hancurkan Chit-kim-ko ini, kemana lagi kau bisa mencari yang keduanya ? Haha, terserah kau mau atau tidak ? Kiranya Ang Jing-kin ini berjuluk Bwe-hoa-siancu atau dewi bunga Bwe, senjata rahasianya Bwe-hoa-piau yang tunggal, setiap kali dapat ditimpukkan lima buah dan sangat jitu, kemahirannya yang lain adalah 36 jurus Bwe-hoa-to-hoat, ia adalah puterinya Siang-say-tay hiap, Bwe-hoa-sin-to Ang San-jiau.   Karena ancaman tadi, saking gusarnya ia membentak pula .   Coba katakan dulu siapa kalian berempat ? Kenapa perbuatan kalian mesti secara sembunyi-sembunyi begini ? Bwe-hoa-siancu, nama kami tiada artinya untuk diketahuimu, ada lebih baik lekasan kau ambil keputusan saja sahut sijangkung tadi dengan tertawa.   Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Namun Ang Jing-kin tidak mudah diancam sambil bicara ia sudah siapkan lima Bwe-hoa-piau ditangannya, telinganya berkumandang apa yang pernah dikatakan suaminya .   Jing-kin, sekalipun kita harus mati, jangan sampai pedang hijau dan saputangan merah ini jatuh diempat jahanam itu ! Maka sahutnya kemudian .   Baiklah nih, terima ! Berbareng selesai ucapannya, tangannya mengayun, lima sinar terus meluncur kedepan, empat mengarah keempat musuh, yang satu mengincar Kiu-bwe-coa.   Sungguh sama sekali empat orang tidak menduga bahwa Ang Jing-kin ini berani bergurau dengan jiwa suaminya yang tinggal senin-kemis itu, yaitu lebih sayangi kedua benda yang diminta daripada keselamatan sang suami.   Mereka bukan jago lemah, begitu nampak Bwe-hoa-piau menyambar tiba, cepat mereka berkelit, tapi kepala ular yang diarah itu dengan tepat sudah terkena Bwe-hoa-piau satunya hingga hancur.   Dan begitu Ang Jing-kin sambitkan senjata rahasianya, segera orangnya ikut melompat ke depan, keatas batu besar ditengah empang itu, cepat ia samber ular mati itu, sekalian petik buah Chit-kim-ko tadi, walaupun saat itu juga dari belakang terdengar suara menyambernya senjata rahasia musuh, namun iapun tidak pikirkan lagi, terpaksa 124 hanya sedikit mengegos, tapi pundaknya lantas terasa kesakitan, ternyata sebuah piau baja sudah menancap dibahunya.   Dengan menahan sakit, Jing-kin masukkan ular mati dan Chit-kim-ko yang berhasil diperolehnya itu kedalam baju, habis itu cepat ia memutar tubuh, dengan sikap angkuh sambil pedang terhunus ditangan, ejeknya kemudian .   Nah, kedua benda ini sudah berada ditanganku, apa maumu sekarang ? Hahaha, tiba-tiba sijangkung tadi bergelak ketawa, memang benar kedua barang itu sudah kau dapatkan, tapi kenapa kau tidak tanya dirimu sendiri, dengan kepandaian suami isteri kalian tak mampu menandingi kami berempat, kini kau berada sendirian, dapatkah kau selamat tinggalkan tempat ini ? Jing-kin menjadi terkesiap, ia pikir memang benar juga gertakan orang itu, selagi dirinya terluka lagi, terang takkan ungkulan melawan keroyokan mereka.   Dalam gugupnya, cepat ia cabut piau yang masih menancap dipundaknya itu dan hendak dilempar ketanah, tiba-tiba sekilas dapat dilihatnya pada senjata rahasia itu terukir dua huruf kecil sekali.   Hati Jing-kin tergerak, ia pikir kalau diatas senjata rahasia itu ada tulisannya, tentu itu nama atau tanda pengenal sipemiliknya.   Cuma sayang kedua huruf kecil itu sangat lembut ketika ia hendak menegasi lebih dekat, sekonyong-konyong sebuah piau baja menyamber datang pula, cring , dengan tepat membentur piau yang dipegangnya, syukur tidak sampai terjatuh.   Sudah berulang kali Ang Jing-kin diserang oleh senjata2 rahasia seperti itu, tapi sebegitu jauh ia belum mengetahui jelas siapa diantara empat orang itu yang menyambitkannya.   Ketika tangannya kesemutan karena benturan piau yang dipeganginya itu, segera ia sadar tentu si-empunya kuatir rahasianya terbongkar oleh kedua huruf itu.   Cepat ia masukkan piau yang ditangkapnya itu kedalam baju.   Berhubung kejadian itu, rupanya diantara empat orang itu lantas terjadi perdebatan, satu diantaranya tiba2 bisik2 pada sijangkung, tapi sijangkung rupanya tidak setuju hingga beberapa kali mereka tarik urat, saling tidak mau mengalah.   Diam2 Ang Jing-kin mengamat-amati orang berkedok itu, ia menduga tentu itulah sipemilik piau, orang ini berperawakan sedang, tiada tanda-tanda istimewa, pula berkedok, menjadi susah dikenali.   125 Sesudah berdebat sejenak, rupanya sijangkung mendapat suara lebih banyak, maka sekali ia memberi aba2, segera empat orang terpencar mengepung Ang Jing-kin, di- tengah2 empang diatas batu besar itu, jarak mereka hanya terbatas oleh air empang, jauhnya kira2 lebih dua tombak, hendak meloloskan diri dari kepungan? rasanya tidaklah mudah.   Tapi sehabis empat orang itu berpencar mengambil kedudukan mengepung dipinggir empang sana, merekapun tidak lantas membuka serangan, melainkan terus duduk anteng di tempatnya masing2.   Jing-kin menjadi heran, tapi ia pun tak berani sembarang bergerak, ia ingin tahu dulu apa yang dikehendaki musuh2 itu.   Tapi sudah lama, masih empat orang itu berdiam saja, tiba2 tergerak pikiran Jing-kin, ia insaf orang sengaja mengepungnya ditengah empang itu, dengan begitu akhirnya ia sendiri akan menyerah tak berdaya.   Namun ia pantang menyerah, ia coba tunggu kesempatan dan berharap bisa terjang keluar, ia bertahan sekuatnya, dan tunggu menunggu demikian ternyata berlangsung sampai tiga hari tiga malam, selama itu boleh dikata Ang Jing kin tidur saja tidak berani, kuatir kalau mendadak diserbu keempat musuh itu.   Sampai esok hari keempat, ia sudah terlalu letih, lapar dan dahaga, sebaliknya keempat orang itu seenaknya mengeluarkan rangsum mereka dan memakannya dengan nikmat, mulut mereka sengaja ber-kecap2 hingga mengeluarkan suara se- akan2 orang kelaparan ketemukan makanan.   Karuan tidak buatan gemasnya Ang Jing- kin, sedapat mungkin ia tahan selera yang terus memuncak, ia pura2 melengos kejurusan lain tak mau menatap musuh.   Bwe-hoa-siancu , tiba2 satu diantara empat orang itu berseru, sudah tiga hari kau bertahan, rasanya tiga hari lagi kaupun takkan bisa lolos, biasanya kau sok pintar, kenapa sekarang begini bandel ? Jing-kin tahu maksud orang tetap mengincar kedua barang miliknya itu, tapi meski ia benar2 serahkan barang2 itu, serupa saja jiwanya tak terjamin mengingat kekejaman musuh2 itu.   Maka ia hanya tertawa dingin tanpa gubris.   Haha, Bwe-hoa-siancu, nih, makan sedikit ! seru sijangkung tadi.   Berbareng itu sepotong Siopia terus dilemparkan kearahnya.   Sesungguhnya Ang Jing-kin sudah terlalu lapar, tanpa kuasa ia ulur tangan hendak menyanggapi makanan itu.   Diluar dugaan cara melempar sijangkung itu memakai 126 tenaga efek, ketika sampai didekat Ang Jing-kin, mendadak makanan itu bisa membiluk kesamping terus nyemplung keempang.   Maka tertawalah keempat orang itu ber-gelak2 dengan senangnya.   Sebaliknya Ang Jing-kin malu dan murka, kalau tenaga mengijinkan, segera ia bermaksud menubruk maju buat adu jiwa.   Sementara itu didengarnya sijangkung itu berkata lagi ; Bwe-hoa-siancu, ditempat begini kau masih berlagak, makanan demikian kau tidak doyan, tunggulah nanti pulang kerumah nenekmu minta disusui, hahaha ! Habis tertawa, ia berjongkok, dengan tangannya ia mengeruk air empang yang jernih itu buat minum.   Tiga hari yang lalu Ang Jing-kin telah menyaksikan Kek Pang terbinasa sebab minum air sungai yang beracun itu, kini melihat orang juga minum air sungai, pula ketiga kawannya juga akan menirukan sijangkung, diam-diam hatinya bersyukur musuh2 itu mencari kematian sendiri dan memberi jalan hidup bagi dirinya.   Dalam saat demikian, sinar matanya terus menatap orang berkedok yang berdebat dengan sijangkung tadi.   Ia lihat orang ini tidak gunakan tangannya mengeruk air, tapi berjongkok sambil sedikit menyingkap kain kedoknya, dengan mulutnya akan menghirup air empang itu.   Sekilas Jing-kin mengenali separuh muka orang itu seketika kepalanya se-akan2 pening, serunya tak lampias .   Keparat she Cu, ki..kiranya kau adanya ? Mendadak orang yang dikatakan she Cu itu terkejut, belum sampai air menempel mulut, cepat ia melompat mundur dengan tertegun.   Sedang tangan Ang Jing-kin terus menuding orang dengan gemetar tapi tak sanggup buka suara.   Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar suara jeritan berulang2 dari ketiga orang yang lagi minum tadi, lalu bergedebuk roboh ketanah kulit badan mereka seketika berubah biru gosong, lalu tak berkutik pula.   Nyata merekapun binasa oleh racun air sungai seperti halnya Kek Pang.   Diam2 Jing-kin menyesal terburu napsu bersuara, kalau tadi diam2 menanti, bukankah jahanam she Cu itupun tak terluput dari kematian ? Dan kini manusia itu sudah lantas angkat langkah seribu melihat kawan2nya sudah terbinasa.   Hati Ang Jing-kin merasa lega sesudah ketiga musuh sudah mati dan seorang lagi lari terbirit2.   Ia hitung2 masih ada waktu belasan hari dari janjinya dengan sang suami 127 dan dapat membawa kembali empedu Kiu-bwe-coa dan Chit-kim-ko untuk menolong jiwanya, sungguh ia tidak pernah membayangkan akan begini mudah menyelesaikan kepungan musuh tadi.   Saking girangnya, belum lagi ia berbangkit tiba2 matanya serasa gelap, orangnyapun jatuh pingsan di atas batu itu.   Dalam pada itu, mengenai diri si A Siu yang ditinggalkan sendiri dan terlupa itu, dasar kanak-kanak, ketika tiba-tiba dilihatnya ada seekor kelinci putih dengan kedua matanya yang merah bundar didalam semak-semak rumput lagi memandang padanya, ia menjadi sangat tertarik, tanpa bilang-bilang lagi ia terus memburu kearah kelinci itu.   Binatang itu rupanya binal juga, ketika melihat sibocah mendekati, ia tidak lari, sebaliknya mengeluarkan gerak-gerik yang menggoda hingga makin menggembirakan hati A Siu, dengan tertawa-tawa ia berjongkok terus hendak menangkap kelinci itu, tapi sedikit binatang itu melompat, tangan A Siu yang kecil telah menangkap tempat kosong, kelinci itu tidak lari terus, tapi masih menggoda pula dengan berbagai macam mimik, tentu saja A Siu semakin getol, ia memburu dan menangkapnya lagi, namun luput pula, dan begitulah seterusnya hingga makin lama makin jauh.   A Siu bergurau dengan kelinci putih itu, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa saat itulah, ayahnya Kek Pang telah menemui ajalnya meminum air beracun.   Maka tanpa merasa A Siu telah mengejar kelinci itu sampai beberapa li dan memasuki sebuah lembah yang dikedua tepi dinding tebing curam, makin jauh jalan makin lika-liku, tapi ia masih terus mengudak.   Maka tanpa merasa haripun mulai gelap, perutnya berasa lapar, barulah sekarang A Siu ingat pada ayah dan bibi Jing-koh, ia mulai bingung dan kuatir, segera ia bermaksud kembali kejalan semula, tapi makin putar makin kesasar, haripun makin gelap hingga berulang kali ia jatuh bangun, saking letihnya ia merebah sekenanya ditanah dan pulas.   Besok paginya, ia ber-lari2 lagi hendak pulang kembali, tapi sudah kian kemari masih belum ketemukan jalan yang betul, sampai kelaparan, lalu ia petik buah-buahan yang diketemukan dan dimakan sekedarnya, keadaan begitu sampai beruntun tiga malam, baiknya dimalam hari, karena dadanya memakai kalung permainan mutiara yang memancarkan cahaya terang, maka ia masih bisa berjalan dengan bebas.   Namun begitu, untuk jarak jauh, juga kegelapan belaka yang tertampak, lama-lama A Siu menjadi ketakutan dan duduk ditanah sambil menangis.   Tidak lama, tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara tindakan orang yang sedang mendatangi, mula-mula A Siu menyangka itulah ayahnya, cepat ia berhenti menangis 128 sambil mendengarkan, dan memang benar suara tindakan orang, saking girangnya ia terus meloncat bangun sambil berseru .   Ayah, Jing-koh, aku berada disini, kemanakah kalian, A Siu sendirian menjadi ketakutan! Selesai ia berkata, orang itupun sudah mendekat, ketika A Siu menengadah, tanpa merasa ia mundur beberapa tindak.   Ternyata yang datang ini bukan ayahnya, bukan lagi Jing-koh tapi seorang lelaki bangsa Han yang berusia 30-an yang tampaknya linglung, ketika tiba-tiba melihat A Siu, orang itu terus menubruk maju dan A Siu dipondongnya tinggi-tinggi sambil menggumam sendiri ; Oh, Jing-kin, Jing-kin, sesungguhnya aku tiada maksud mencelakai kau ! A Siu menjadi bingung mendengar ocehan yang tak karuan junterungannya itu, ia lihat mata orang mengembang air mata, dalam hati kecilnya menjadi heran, apakah orang ini juga kesasar jalan, maka menangis ? Dasar kanak-kanak, segera iapun menanya .   Toacek, kenapakah kau menangis, apakah kau kesasar ? Jangan kuatir, sebentar kalau ayah dan Jing-koh sudah datang, nanti kita bersama-sama pergi pulang .   Mendengar nada suara A Siu ini, seketika orang itu tercengang, dengan teliti ia mengamat-amati A Siu sejenak, mendadak katanya .   Eh, kau bukan Siau Yan ? Anak siapakah kau ? Sebaliknya A Siu bertambah heran, sahutnya .   He, kaupun kenal enci Siau Yan ? Aku adalah kawan baiknya dan kelak akan datang memain kerumahnya, demikian Jing- koh berkata padaku? Siapa namamu ? tanya orang itu dengan wajah berubah.   A Siu, ayahku bernama Kek Pang , sahut sidara cilik.   Hm, kiranya anak Biau, benda didepan dadamu itu darimana kau dapatkan ? jengek orang itu mendadak.   A Siu tidak tahu akan perubahan air muka orang, maka sahutnya wajar saja .   Jing- koh yang memberikan padaku ! Jing-koh siapa ? bentak orang itu.   Berbareng tangannya mengulur terus hendak menarik kalung mutiara yang dipakai A Siu itu.   Jangan kau merebut barangku ! teriak A Siu sambil tangannya yang kecil memegangi kalungnya kencang2.   129 Tapi sekali tangan orang itu mengipat, kontan A Siu terlempar jatuh, kasihan bocah sekecil itu, tentu saja tidak tahan oleh sengkelitan itu, ia jatuh kesakitan hingga pingsan.   Orang itu tertegun sejenak, tapi segera berjongkok hendak mengambil mutiara dari kalung yang dipakai A Siu itu.   Tak terduga, baru saja tangannya menyentuh mutiara itu, tahu2 pergelangan tangannya se-akan2 terjepit sesuatu, ketika ia menunduk, ia menjadi terkejut sekali.   Ternyata pergelangan tangannya seperti kena dipegang oleh tangan seseorang, cuma tangan itu se-akan2 bersisik yang tumbuh diatas kuku jarinya, tenaga cekalan itu demikian besarnya hingga bagai tanggam, sampai setengah tubuhnya ikut kesemutan kaku.   Orang itu sendiri tidak rendah ilmu silatnya, tentu saja ia terkejut, cepat ia berpaling maka terlihatlah ada seorang tua pendek gemuk merebah telentang ditanah.   Orang ini tubuhnya pendek, wajahnya jelek, malahan mukanya seperti bersisik pula, sebaliknya kedua lengannya panjang luar biasa melebihi badannya, kalau berdiri, boleh jadi kedua tangannya itu akan menyentuh tanah.   Sepasang matanya menyorotkan sinar ber-kelip2, rambutnya serawutan bagai rumput kering, manusia aneh semacam demikian, sungguh jarang terlihat.   Siapa kau ? bentak lelaki pertama tadi.   Dan kau sendiri siapa ? balas orang aneh ini.   Aku she Cu bernama Hong-tin, orang dari Tionggoan , sahut laki2 itu.   Ya, aku sudah menduga kau bukan orang Biau kami, tak nanti mereka berjiwa rendah seperti kau , jengek kakek aneh itu.   Sambil berkata, Cu Hong-tin itu merasa genggaman tangan kakek aneh itu bertambah kencang hingga tulang tangannya kesakitan luar biasa, walaupun orang itu 130 tampak merebah saja, tapi terang memiliki lwekang yang tinggi, dalam gugupnya ia menanya lagi .   Sobat, selamanya kita tiada kenal, kenapa kau mencari setori padaku ? Dan permusuhan apa dara cilik itu dengan kau, kenapa kau hendak mencelakainya ? sahut orang tua itu dengan bengis.   Cu Hong-tin menjadi bungkam, selang agak lama, barulah ia berkata .   Dara cilik ini tiada permusuhan apa2 dengan aku, tapi mutiara yang berkalung dilehernya ini justru adalah milik seorang musuhku yang besar, haraplah kau lepaskan aku, nanti kututurkan yang jelas ! Kiranya Cu Hong-tin yang masih muda ini memang sama orangnya dengan Cu Hong-tin pada permulaan cerita ini.   Tatkala mana ia belum menjadi Tosu, ilmu kebutnya Kek-lok-hut-hoat juga belum terlatih, jadi ilmu silatnya masih belum tergolong tinggi, walaupun begitu, sekali cekal telah dibikin tak berdaya seperti sekarang ia diperlakukan si orang aneh ini, selamanya belum pernah dialaminya.   Sebab itulah, ia ganti siasat memakai permohonan dengan kata2 halus.   Betul juga kakek aneh itu terbujuk, ia kendorkan cekalannya dan berkata .   Baiklah, coba apa yang bisa kau terangkan.   Diluar dugaan, Cu Hong-tin terus melompat mundur jauh2, habis itu tanpa berpaling lagi terus lari dalam kegelapan.   Tentu saja kakek aneh itu sangat gusar, ia mengaum keras hingga menggema jauh dilembah, ia coba berdiri, tapi kakinya terlalu lemas, kembali ia jatuh ditanah, saking gemasnya kedua tangannya yang panjang besar itu memukul tanah ber-ulang2 hingga menerbitkan suara keras.   Tampaknya percuma saja ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, karena kedua kakinya lemas bagai tak bertulang, sama sekali tak bisa berjalan.   yoza collection Hong san Koay Khek Halaman yoza collection Hong san Koay Khek Halaman Sesudah ber-teriak2 aneh beberapa kali, lalu ia merangkak kesamping A Siu.   Waktu itu A Siu telah siuman kembali, ia menangis pula sambil merintih kesakitan.   Jangan takut, nak, jahanam itu sudah kuusir , kata kakek itu sembari mengamat- amati A Siu, lalu tanyanya pula .   Kau tinggal digua mana ? Ketika A Siu melihat orang yang berada di hadapannya sedemikian luar biasa hampir2 ia menjerit kaget, namun kakek aneh itu telah menghiburnya lagi.   Lambat laun A Siu menjadi berani, sahutnya kemudian ; Aku tinggal di Tiok-teng-tong .   131 He, orang Tiok-teng-tong ? seru kakek itu seperti sangat senang oleh keterangan A Siu itu.   Pernah kau mendengar cerita bahwa Tiok-teng-tong itu ada seorang aneh yang bernama Lo-liong-thau yang telah diusir kegunung dan kemudian telah menghilang ? Ia merandek sejenak lalu dengan menghela napas ia menyambung pula .   Tapi, ah, kau masih kecil, tak mungkin kau mengetahuinya.   Ya, ya, aku pernah mendengar, kata A Siu tiba2, Pernah ayah bercerita bahwa Encim Teng-kiu tetangga telah melahirkan seorang bayi aneh yang bersisik, dan kedua lengannya panjang luar biasa, sebaliknya kaki lemas bagai tak bertulang.   Encim Teng- kiu tak berani bilang pada orang lain, kuatir kalau orang menyangka bayi itu adalah siluman, maka diam2 membesarkannya sampai tujuh tahun, akhirnya telah diketahui orang luar dan diusir pergi ke gunung, anak itu dipanggil Lo-liong-thau, kata ayah, diam2 ia malah bersahabat dengan Lo-liong-thau itu, maka iapun tidak pernah ceritakan pada orang lain.   He, ayahmu bernama Kek Pang bukan? seru kakek aneh itu dengan girang.   Ya, ya, betul, sahut A Siu.   Ah, kiranya kau puteri Kek Pang ! kata kakek aneh itu sembari merangkul A Siu dengan mesra.   Baik2kah ayahmu ? Baik, sahut A Siu mengangguk, kami bersama-sama berburu kegunung ini, aku menguber seekor kelinci hingga terpencar dengan dia ! Dan dimana Encim Teng-kiu ? tanya si orang aneh lagi.   Entahlah, mungkin sudah meninggal, sahut A Siu.   Orang itu menghela napas terharu, katanya kemudian .   A Siu, akulah Lo-liong-thau yang diusir para tetangga kegunung itu.   Mata A Siu membelalak heran, katanya kemudian sambil menggeleng kepala .   Bukan, bukan ! Kata ayah, sesudah Lo-liong-thau masuk gunung, ia telah berubah seekor siluman naga yang mempunyai kepandaian luar biasa .   Ya, Lo-liong-thau memang berkepandaian tinggi, lihatlah A Siu, kata orang itu sambil ulur sebelah tangannya mencengkeram sekenanya satu pohon kecil disampingnya, maka terdengarlah suara krak-krak , batang pohon itu telah kena dipatahkan mentah2.   132 Hebat sekali, Lo-liong-thau, marilah kau ajarkan kepandaian demikian padaku , seru A Siu terkesima oleh tenaga luar biasa Lo-liong-thau itu.   Kau adalah puterinya sobatku Kek Pang, tentu saja aku akan mengajarkan kepandaian kepadamu , sahut Lo-liong-thau.   Marilah kau ikut padaku ! Habis berkata, sekali menggelundung, cepat sekali ia telah merangkak pergi jauh, lekasan A Siu menyusulnya berlari-lari.   Tidak Iama mereka telah memasuki sebuah gua batu yang diluarnya teraling-aling dua buah batu seakan-akan daun pintu buatan alam.   Dalam gua itu ternyata penuh beraneka batu-batu hiasan dinding hingga bersinar gilap ketika tersorot cahaya mutiara dikalungnya A Siu itu.   Karuan bocah ini kegirangan, ia bertepuk-tepuk tangan gembira.   Lihatlah lukisan didinding itu ! kata Lo liong-thau.   Ketika A Siu berpaling kearah yang ditunjuk, ia lihat dinding batu itu halus licin selebar lebih dua tombak dan terukir tujuh orang dewasa, ada yang berduduk, ada yang berdiri, yang berjongkok, yang merebah, macam-macam.   Dibawah ukiran orang-orang besar itu, dibawahnya ada lagi ukiran yang lebih kecil dan semuanya dilukis dalam berbagai gaya yang tidak sama, malahan ada lagi catatan-catatan dengan huruf-huruf kecil.   Apakah itu, Lo-liong-thau ? tanya A Siu.   Entah, sahut si orang tua, aku sendiripun tidak tahu, secara tak sengaja aku terluntang-lantung sampai disini, lalu tinggal menetap disini sampai dua tahun, sesudah memperoleh api, barulah mengetahui di dinding situ ada lukisan, saking iseng, aku menirukan gaya gambar2 itu, beberapa tahun kemudian, diluar dugaan sekali ayun tangan, aku telah bisa patahkan satu pohon.   Kalau sekarang kau ikut aku tinggal disini, bukankah juga dapat mempelajari ilmu kepandaian hebat ini? Dengan ragu2 A Siu memandangi dinding itu, tiba2 sahutnya .   Lo-liong-thau, ayahku hendaklah dicari kemari, biar kita bersama-sama mempelajari ilmu kepandaian hebat ini, bukankah lebih baik? Ya, tentu saja lebih baik, sahut Lo-liong thau.   Tapi pegunungan seluas ini, Lo-liong- thau sendiri tak bisa berjalan, kemana harus mencarinya ? 133 A Siu tak rewel lagi, ia lihat gua itu sangat menarik, maka ia tinggal disitu bersama Lo liong-thau dan tanpa merasa 12 tahun sudah lampau.   Selama itu, seperti halnya Lo- liong-thau, setiap hari A Siu menirukan gaya lukisan di dinding itu untuk belajar, lama2 tubuhnya menjadi enteng, tenaganya besar luar biasa, nyata kemajuannya tidak terhingga.   Sudah tentu A Siu senang sekali, namun demikian, sebab apa dan ilmu kepandaian apa yang dipelajarinya itu, sama sekali ia tak mengerti.   Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa lukisan2 yang terukir didalam gua itu sebenarnya adalah dasar2 latihan Lwekang yang maha tinggi tinggalan Siau-yang Cinjin dijaman dahulu yang sudah lenyap dalam dunia persilatan itu, yaitu yang disebut Siau- yang-chit-kay atau tujuh kunci dasar latihan Siau-yang.   Siau-yang Cinjin itu asalnya adalah seorang tukang kayu, tanpa sengaja dipegunungan sunyi diperolehnya satu kitab Lwekang yang mujijat, dengan giat ia melatih diri beberapa puluh tahun hingga menjagoi dunia persilatan pada jamannya.   Ketika merasa hidupnya tiada tandingnya lagi, ia telah menyepi kedaerah Biau serta tinggal didalam gua ini, disini ia menciptakan lagi ilmu Lwekangnya yang meliputi inti sari dari cabang2 ilmu silat lain dan diberi nama Siau-yang-chit-kay .   Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Setiap kunci itu punya 7x7 gerakan, maka seluruhnya menjadi 7x7x7 = 343 gerak tipu.   Ketika hari tuanya ia telah mengukir hasil karyanya itu didinding gua, lalu tinggal pergi menghilang tak ketahuan rimbanya.   Sungguh sama sekali tak terduga bahwa ilmu luar biasa yang hanya didengar orang Bu-lim, tapi belum pernah dilihat itu, kini bisa diperoleh seorang Biau yang aneh dan cacat serta anak perempuan yang sepele.   Kecerdasan A Siu sudah terang jauh melebihi Lo-liong-thau, tapi karena tidak mendapatkan petunjuk dan bimbingan orang pandai, serupa saja, iapun tak paham dimana letak rahasia ajaran menurut lukisan itu.   Namun begitu, berkat kegiatannya selama dua belas tahun, beberapa bagian kepandaian Siau-yang-chit-kay itupun dapat diperolehnya, dan sedikitnya sudah setingkat dengan jago silat kelas tinggi umumnya.   Tahun itu ia baru menginjak umur lima belas, namun cantiknya sudah kentara lain dari yang lain, karena ber-tahun2 tinggal digua pegunungan, pakaian yang dikenakan telah berganti dengan kulit binatang, namun begitu makin menggairahkan bagi siapa yang melihat akan gadis jelita ini.   134 Berbareng dengan makin bertambah usianya urusan yang diketahuinya pun bertambah banyak, pengawasan Lo-liong-thau kepadanya pun tidak keras lagi, seringkali ia pergi ngelayap jauh tinggalkan gua itu sampai beberapa hari lamanya.   Suatu hari, sudah tiga-empat hari ia tinggalkan Lo-liong-thau, ia terus menuju kedepan.   Tiba2 teringat olehnya tempat tinggal ayahnya adalah Tiok-teng-tong, lalu dimanakah tempat itu, kalau ketemukan orang, bukankah bisa menanya ? Dan betapa baiknya kalau bisa pulang menyambangi orang tua ? Setelah mengambil keputusan itu, segera ia percepat langkahnya kedepan, sampai hari hampir petang, dari jauh tiba-tiba dilihatnya ada asap seperti mengepul dari cerobong rumah penduduk, tak lama lagi, dilihatnya ditepi jalan ada empat-lima orang lagi merubungi segundukan api unggun dan sedang makan rusa panggang.   Melihat orang, tentu saja A Siu bergirang.   Sesudah dekat, ia lihat seluruhnya ada lima orang.   Tiga diantaranya laki-laki berewok semua dan lainnya, yang satu adalah hwesio gendut, sedang satunya lagi seorang lelaki kurus kecil.   Para paman, pergi ke Tiok-teng-tong harus ambil jalan mana ? segera A Siu menanya.   Rupanya kelima orang itu rada kaget ketika mendadak mendengar suara teguran orang, mereka menoleh berbareng, dan mereka menjadi tercengang demi melihat seorang gadis jelita berpakaian kulit binatang telah berdiri disitu.   Namun sejenak saja, satu diantara laki-laki berewok itu terus bersiul panjang seperti lelaki bangor umumnya.   Ehmmm, alangkah manisnya nona cilik ini, darimanakah kau dara cantik? segera kawannya menggoda.   Ah, kau ini, orang menanya kau, sebaliknya kau menegur ? ujar temannya yang satu lagi.   Sebagai seorang gadis yang masih hijau, sudah tentu A Siu tak paham kata-kata orang yang bersifat rendah, ia masih menantikan jawaban orang sambil membetulkan sedikit pakaiannya, ketika tanpa sengaja mutiara kalungnya itu tertarik keluar hingga memancarkan sinar gemilapan, kelima orang itu menjadi curiga.   He, mutiara mestika seperti ini, masakan dijagat ini ada dua butir ? seru satu diantara lelaki berewok tadi.   135 Mana bisa ada dua butir? sahut silelaki kurus kecil tadi dengan suaranya yang banci.   Lihatlah untaian kalungnya itu begitu indah buatannya, kalau bukan bikinan Ong- lothau, tukang emas kenamaan di Tiangsah yang terkenal itu, siapa lagi mampu membuatnya ? Hai, anak dara, dimana Ang Jin-kin berada, lekas kau mengaku! bentak sihwesio gendut mendadak.   A Siu menjadi bingung, ia tidak mengerti mengapa kelima orang itu sedemikian garang kepadanya, ia hanya mengulangi nama Ang Jin-kin yang ditanya itu, ia pikir nama ini seperti sudah dikenalnya, tapi siapa dan dimana ia tidak ingat.   Karena itu, dengan membelalak ia pandangi paderi gemuk itu.   Mendadak Hwesio itu putar2 tongkat paderinya hingga mengeluarkan angin, lalu bentaknya lagi.   Hayo, anak dara, lekas katakan yang benar, dimana adanya Ang Jin-kin ? Hai, Hwesio gede, tiba2 silelaki kurus kecil itu menukas, caramu begini dan potonganmu bagai raksasa apa takkan bikin takut dara jelita ini ? Ya, ya, daripada Siucay kecut macam orang sakit tbc seperti kau, masih berani kau berlagak apa? sahut si hwesio tak mau kalah.   Karuan lelaki kurus kecil itu menjadi gusar.   Kiranya ia berjuluk Im-su Siucay atau si sastrawan akherat, walaupun datang berombongan dengan hwesio gemuk yang bergelar Tiat-pi Siansu itu, namun dalam hati mereka sebenarnya saling iri dan bermusuhan.   Karena kena diolok2, tentu saja menjadi murka.   Lihatlah ketiga saudara she Tio, keledai gundul ini yang mencari gebuk, bukan aku lm-su Siucay Swe Hiang-ang yang tidak kenal sobat, seru lelaki kurus itu kepada tiga kawannya yang berewok itu.   Lalu ia berpaling kepada Tiat-pi Siansu dan mendamprat .   Baiklah, hari ini biar aku memberi hajaran kepada keledai gundul, supaya kau kenal lihaynya orang she Swe! Bagus, biar aku pereteli juga tulang2mu yang terbungkus kulit melulu itu ! teriak Tiat pi Siansu murka.   Ketiga lelaki berewok itu tidak melerai, sebaliknya mereka mundur semakin jauh supaya mereka berkelahi lebih bebas.   Namun begitu, entah sengaja atau tidak, mereka seakan-akan mengurung A Siu ditengah-tengah.   136 A Siu sendiri ter-longo2 melihat kelima orang itu saling bertengkar sendiri.   Ia lihat Tiat pi Siansu tinggi besar bagai raksasa, sebaliknya si Im-su Siucay itu kurus kecil, keduanya terang tak setanding.   Namun dasar masih kanak kanak, ia menjadi ketarik akan perkelahian yang bakal terjadi itu.   Kiranya datangnya kelima orang itu memang bukan tiada maksud tujuan, mereka sama-sama hendak mencari jejaknya seseorang.   Cuma satu sama lain hanya lahirnya saja akur, dalam batin setiap waktu bila perlu tidak segan2 menjegal pihak lain.   Ketiga lelaki berewok itu terkenal didaerah Hun-lam dengan julukan Thian-lam-sam-say atau tiga singa dari Hun lam selatan, yang tertua bernama Tok-jiau-say Thio Jiang, singa bercakar tunggal, kakak kedua bernama Kiu-thau-say Thio Seng, singa berkepala sembilan, dan yang terakhir ialah Cui-say-cu Thio Sia, singa mabuk.   Kini melihat Swe Hiang-ang akan saling gebrak dengan Tiat-pi Siansu, kebetulan malah bagi mereka, maka sengaja menonton akan menarik keuntungan dari pertengkaran kedua orang itu.   Sementara itu Tiat-pi Siansu sudah membentak .   Nah, Siucay setan madat, lekas keluarkan senjatamu, supaya orang tidak mengatakan aku menghina seorang setan kurus macammu ini! Melayani keledai gundul seperti kau, kenapa perlu pakai senjata? sahut Im-su Siucay Swe Hiang-ang dengan tertawa dingin.   Berbareng itu, pukulan pertama terus dilontarkannya mengarah dada lawan.   Bagus, biar aku mengalah tiga serangan padamu ! sambut Tiat-pi Siansu dengan lincahnya, tubuhnya yang gede gemuk itu telah memutar kesamping dengan cepat sambil tongkatnya diangkat tinggi2, betul juga ia tidak balas menyerang.   A Siu menjadi senang melihat pertandingan telah dimulai.   Ia lihat cara menghindar si hwesio gendut itu tidak terlalu pintar, kalau saja Im-su-siucay itu terus menubruk maju dan menyusuli hantaman, pasti ia takkan dapat menghindarkan diri.   Apa yang dipikirkan oleh A Siu ini adalah ilmu silat tertinggi dalam Siau-yang-chit-kay yang lihay, tentu saja hal mana tak mungkin diketahui Im-su-siucay.   Dan karena serangan pertama tak kena, segera Im-su-siucay melontarkan serangan kedua.   Ketika melihat tenaga serangan sekali ini tidak terlalu keras, Tiat-pi Siansu bermaksud membiarkan dirinya dihantam dengan menggunakan ilmu Ngekang, tapi sekilas dapat dilihatnya pada telapak tangan lawan penuh berduri kecil2 dan tajam dengan warna merah tua, ia menjadi terkejut dan lekas mundur kebelakang.   137 Tapi dengan tertawa aneh sekali, lagi2 Im-su-siucay merangsang maju dan sebelah tangannya menggaplok lagi keatas kepala hwesio yang gundul.   Belum lagi Tiat- pi Siansu berdiri tegak, tiba2 melihat serangan orang yang sayup-sayup membawa angin yang berbau busuk, maka insyaflah dia kalau telapak lawan tentu berbisa.   Kalau sampai kena berkenalan dengan tangan orang, pasti kepalanya akan berlubang seperti sarang tawon oleh duri2 ditangan orang.   Maka tak terpikir lagi olehnya apakah kata-katanya akan mengalah tiga kali serangan itu sudah habis belum, sekali tongkatnya mengetok ketanah, mendadak senjata itu terus membal keatas, secepat kilat ujungnya menyodok ketelapak tangan lawan sambil berteriak .   Cara turun tanganmu terlalu keji, jangan kau salahkan aku tak pegang janji, Siucay kecut! Walaupun Hwesio gendut ini tampaknya urip, tapi lucu-lucu ngong-tit , atau geblek- geblek jujur.   Dengan serangannya yang lihay yang disebut ting-thian-lip-te atau berdiri di bumi menyundul langit, kalau sampai Im-su-siucay Swe Hiang-ang kesodok, pasti dadanya akan amblek berlubang.   Tapi disaat berbahaya itu, sempat Swe Hiang-ang merosot kesamping hingga sodokan tongkat Tiat-pi Siansu mengenai tempat kosong.   Sebaliknya begitu turun ketanah, mendadak Im-su-siucay berjongkok, kedua kakinya terus menyepak.   Karena serangannya tadi luput, Tiat-pi Siansu lagi melengak, maka depakan musuh tak sempat dihindarinya, pahanya telah kena hingga tubuhnya ter-huyung2 mundur, dan akhirnya jatuh terlentang dengan muka pucat sambil ber-kaok2 kesakitan.   Ketika ia meraba pahanya, ternyata tangannya berlumuran darah.   Hm, keledai gundul, sekarang sudah kenal kelihayan tuanmu belum? jengek Im-su- siucay menyindir.   Tiat-pi Siansu sesungguhnya tidak mengerti cara bagaimana pahanya bisa terluka, hanya kena didepak saja.   Begitu pula A Siu yang menyaksikan itupun merasa bingung, hanya Thian-lam-sam-say saja yang tahu bahwa diujung sepatu Im-su-siucay itu dipasang pelat baja yang sangat tajam, tentu saja daging paha musuh yang tertendang takkan tahan.   Tapi Tiat-pi Siansu masih merasa penasaran, cepat ia merangkak bangun, ia angkat tongkatnya lagi, tanpa bicara terus mengemplang dengan tipu Thay-san-ap-teng atau gunung raksasa menindih kepala.    Bara Naga Karya Yin Yong Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Geger Solo Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini