Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 5


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 5


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Kalau bilang cemburu, bukankah itu berarti Ding Tao menafsirkan kebaikan Huang Ying Ying sebagai tanda cinta.   Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu justru tidak menangkap apa-apa dari perkataan Ding Tao, Ding Tao sendirilah yang terlalu banyak berpikir dan merasa.   Huang Ying Ying yang mendengar Ding Tao tidak menyalahkan dirinya tersenyum gembira.   "Terima kasih Ding Tao, aku tahu sifatmu tidak picik dan suka mendendam.   Tapi saat kudengar cerita dari ayah aku jadi merasa bersalah sudah berteman dengan si licik Wang cilik itu." "Aku juga Ding Tao, aku pun menyesal tidak bisa melihat kelicikan dalam diri pemuda itu.", sahut Huang Ren Fu dengan sungguh-sungguh.   "Tapi kata ayah, dari peristiwa itu, kau justru mendapat keberuntungan.   Apa benar pedang pusaka milik keluarga Wang jatuh ke tanganmu?", tanya Huang Ren Fu yang teringat lagi dengan cerita ayahnya.   Huang Ying Yiing yang juga merasa penasaran dengan kisah Ding Tao ikut mendesaknya.   Tidak berapa lama kemudian, tiga orang muda itu pun larut dalam percakapan yang seru.   Atas desakan kedua bersaudara itu, Ding Tao sempat pula memamerkan kehebatan Pedang Angin Berbisik yang bisa dengan mudahnya memotong kayu setebal paha orang dewasa.   -------------- o --------------- Mereka bertiga tidak sadar, beberapa pasang mata sedang mengamat-amati ketiganya.   Mereka itu adalah Huang Jin, Tuan besar Huang Jin, kepala keluarga besar Huang.   Tiong Fa, sepupu jauhnya yang sering dimintainya nasihat.   Huang Ren Fang, putera pertama Huang Jin dan penerus yang diharapkan.   Serta Huang Yunshu, paman Huang Jin, satu-satunya saudara ayah Huang Jin yang masih hidup.   "Kalian lihat pedang itu? Menurut kalian apakah benar dugaan Gu Tong Dang bahwa pedang itu adalah Pedang Angin Berbisik?", tanya Huang Jin dengan suara rendah.   Tiong Fa yang seringkali bertindak sebagai pencari berita bagi keluarga Huang mengangguk dengan yakin.   "Aku cukup yakin, pedang itu adalah Pedang Angin Berbisik. Karena menurut penyelidikanku pedang itu memang pada saat terakhir jatuh ke tangan Wang Dou. Sayang belum sempat kita mengatur jerat di sekitarnya, justru anak Wang Dou merusakkan setiap rencana kita dan menghadiahkan pedang itu pada si dungu itu." "Hmph benar-benar gemas aku kalau mengingat hal itu. Sungguh langit tidak punya mata, sekian tahun kita bekerja keras, anak dungu itu justru mendapatkannya tanpa usaha."   Huang Jin meremas sekuntum bunga yang kebetulan ada di dekatnya sampai hancur lumat, wajahnya tidak lagi terlihat ramah dan arif.   Wajah ke empat orang yang lain tidak kalah menakutkan.   Lucu memang bila dipikirkan, sepertinya langit yang dipandang adil, menurut pandangan mereka haruslah adil dalam cara yang sesuai dengan kepentingan mereka.   Tidak teringat bahwa Ding Tao hampir mati malam itu.   Tidak teringat pula alasan Ding Tao menemui Wang Chen Jin malam itu adalah karena kesetiaannya pada keluarga Huang.   "Menurut Paman Yunshu, sebaiknya apa yang kita lakukan pada Ding Tao?" "Hmm tidak salah kita memilih Gu Tong Dang menjadi pelatih bagi bibit-bibit muda.   Orang itu memang punya mata yang jeli.   Si dungu itu punya bakat yang bagus.   Siang tadi saat aku memperhatikan cara dia berjalan memasuki ruangan, cara dia berdiri tegap dan imbang di atas kedua kakinya.   Anak dungu itu kukira cukup berisi." "Jadi maksud paman, kita tarik saja dia kembali dalam keluarga Huang?"   Berdiam diri sejenak Huang Yunshu yang sudah memutih semua rambutnya itu perlahan-lahan menggeleng.   "Tidak semudah itu, anak itu anak itu terlalu lurus."   Sepertinya kata lurus itu berat sekali keluar dari mulutnya, sampai mati pun keluarga Huang memandang dirinya sebagai aliran yang lurus.   Menyebut Ding Tao sebagai orang yang lurus dan tidak bersesuaian dengan keluarga Huang, terasa seperti memaksakan posisi sebagai penjahat pada keluarga Huang.   Karena itu diapun melanjutkan.   "Sifatnya yang lurus terkadang tidak sesuai dengan keadaan. Untuk menggapai tujuan besar, seseorang harus memiliki keteguhan hati untuk mengorbankan sesuatu. Bersikap cerdik di waktu yang dibutuhkan dan anak itu tidak memilikinya sama sekali."   Tiong Fa ikut memberikan pendapat.   "Bisa saja dia ditarik menjadi anggota keluarga Huang, tapi pedang itu harus diserahkan pada kita. Tidak boleh kita menjadikan anak itu sebagai andalan. Karena selalu ada kemungkinan dia justru akan bangkit melawan kita kalau dilihatnya ada yang tidak sesuai dengan nuraninya."   Huang Jin mengelus-elus kumisnya yang tebal.   "Hmmm apakah menurutmu itu mungkin? Ding Tao menyerahkan pedangnya dengan suka rela hingga kita bisa menariknya ke keluarga kita, sekaligus mendapatkan pedang itu?"   Sambil memandang ke arah Ding Tao di kejauhan, Tiong Fa tersenyum melecehkan.   "Pemuda itu begitu dungu, saat ini dia memandang keluarga Huang seperti memandang sekumpulan orang suci. Jika kita bisa memberikan alasan yang mulia, dia akan menyerahkan pedang itu tanpa segan-segan sedikitpun."   Huang Ren Fang yang sedari tadi berdiam diri menyambung.   "Selain itu, kulihat pemuda dungu itu jungkir balik jatuh cinta dengan Adik Ying."   Huang Jin yang mendengar hal itu melirik tajam ke arahnya, bagaimanapun Huang Ying Ying adalah puteri satu-satunya, "Maksudmu kita mengumpankan adikmu untuk mendapatkan pemuda dungu itu?"   Dengan dingin Huang Ren Fang mengangkat bahunya.   "Setiap perjuangan butuh pengorbanan, lagipula jika anak muda itu sudah seperti mabok arak hanya karena tangannya menggenggam tangan Adik Ying, kukira bila kita memberikan harapan lebih baginya, jangankan pedang, nyawanya pun mungkin akan diberikan."   Merasakan ayahnya kurang suka dengan pendapatnya itu, dia menambahkan.   "Ayah tidak perlu cemas, belum tentu kita perlu menikahkan Adik Ying dengan dirinya, cukup kita berikan dia harapan saja tanpa janji yang pasti."   Huang Yunshu yang mendengarkan pendapat cucunya dengan tenang ikut menyambung.   "Sebagai seorang suami pun, pemuda dungu itu tidaklah buruk, bakatnya bagus dan sifatnya, seperti yang sudah kukatakan, jujur dan setia."   Huang Jin yang mendengar pendapat pamannya itu mau tidak mau harus menerimanya, dengan mendesah dia pun setuju, "Hahhh. Ya sudahlah, moga-moga saja anaknya tidak sedungu bapaknya. Tapi bagaimana jika dia masih menolak juga?"   Sejenak ketiga orang yang diajaknya berbicara itu saling melihat, lalu satu pikiran mereka mengangguk.   "Tidak ada jalan lain, dia harus dibunuh, apa pun caranya."   Hening sejenak sebelum Tiong Fa berkata.   "Tapi aku yakin, lidahku ini sudah cukup untuk membuat pemuda itu menyerahkan pedangnya. Serahkan saja semuanya padaku saat jamuan makan malam nanti." --------------------- o ---------------------- Jamuan makan malam dilakukan dengan cukup sederhana, namun hampir seluruh anggota keluarga Huang diundang di sana. Tidak kurang dari 30 orang ikut makan bersama, untuk itu sebuah meja yang panjang dan lebar sudah disediakan, di bagian kepala meja tentu saja duduk Tuan besar Huang Jin. Di kiri dan kanannya adalah Tiong Fa dan Huang Yunshu, kemudian menyusul berturut-turut orang-orang kepercayaan Huang Jin. Semakin jauh dari bagian kepala meja, semakin rendah dan muda dari segi umur yang duduk di sana. Ding Tao tidaklah berada di ujung yang satu tapi tidak pula dekat dengan posisi Huang Jin. Tapi Ding Tao tidak merasa tersinggung, justru dia merasa senang karena di dekatnya adalah orang-orang yang hampir seumuran dengannya. Tepat di sisi kanannya adalah Huang Ying Ying yang berceloteh tiada henti. Entah apa saja yang dibicarakan, tapi buat telinga Ding Tao setiap cerita atau gurauan yang dilontarkan sangatlah menarik dan lucu. Sepanjang acara makan bersama itu, senyum dan tawa tidak pernah lepas dari bibirnya. Tentu saja hal itu tidak lepas dari perhatian Huang Jin, dalam hati dia terpaksa mengakui kebenaran kata-kata Huang Yunshu dan putera sulungnya Huang Ren Fang. Hatinya sedikit terhibur melihat Huang Ying Ying sendiri tampaknya menyukai Ding Tao dan sepanjang acara itu Ding Tao bersikap sangat sopan terhadap puterinya. Karena itu diapun tidak terlalu gusar saat dia mendengar putera sulungnya menggoda Huang Ying Ying.   "Adik Ying, kulihat Ding Tao itu orang yang sopan sekali, bisa dibilang cocok untuk menjadi suami seorang gadis sepertimu yang punya sifat bengal."   Godaan Huang Ren Fang itu kontan saja membuat muka Ding Tao memerah seperti kepiting rebus, Huang Ying Ying yang biasanya tidak ambil peduli pendapat orang itu pun, entah kenapa malam itu sedikit berbeda.   Meskipun mulutnya terbuka tapi gadis nakal yang biasanya bisa cepat membalas godaan orang itu kali ini mati kutu.   Tentu saja melihat reaksi keduanya, orang-orang di sekitarnya pun jadi ikut menggoda.   Acara makan itu pun menjadi semakin meriah, tentu saja bukan melulu menggoda sepasang muda-mudi itu, soal lain pun ikut dibahas.   Antara lain tentang pengalaman Ding Tao selama dua tahun itu.   Beberapa kali pemuda itu harus mengulangi cerita yang sama tentang pertarungannya dengan Wang Chen Jin dan bagaimana Gu Tong Dang menyelamatkan nyawanya di saat yang paling kritis.   Ketika Tiong Fa melihat bahwa hampir semua orang sudah berhenti makan, dia berdeham sejenak untuk menarik perhatian.   Saat perhatian semua orang tertuju padanya Tiong Fa menoleh ke arah Ding Tao dan dengan nada yang bersungguh- sungguh dia bertanya.   "Ding Tao, sebenarnya aku tidak ingin untuk menanyakan hal ini. Tapi sedari tadi siang, aku berpikir-pikir, tentang pedang itu. Apakah tidak lebih baik kau serahkan pedang itu pada keluarga Huang kami?"   Ruangan yang tadi riuh dengan percakapan tiba-tiba menjadi sepi, senyum lebar di wajah Ding Tao menghilang digantikan wajah yang memucat.   Seandainya saja pertanyaan diajukan tadi siang, saat dia baru bertemu dengan Tuan besar Huang Jin, mungkin Ding Tao tidak sekaget sekarang.   Bukan hanya Ding Tao yang terkejut, banyak orang muda yang ada di ruangan itu pun sama terkejutnya.   Urusan ambisi keluarga Huang dalam dunia persilatan dan sangkutannya dengan Pedang Angin Berbisik memang urusan yang dijaga rahasianya baik-baik oleh Huang Jin dan orang-orang kepercayaannya.   Tiong Fa yang cerdik tentu saja sudah memperhitungkan hal ini.   Sedari awal keluarga Huang memandang dirinya sebagai bagian dari aliran yang lurus, jika sekarang Tiong Fa mengatakan dia ingin meminta pedang itu dari Ding Tao tanpa bisa memberikan alasan yang kuat, tentu seluruh tokoh dunia persailatan akan memandang mereka sebagai sampah.   Termasuk orang-orang dalam keluarga Huang sendiri, utamanya mereka yang masih berusia muda dan idealis.   "Ding Tao, janganlah kau salah mengerti, pendapatku ini bukanlah didasari ambisi pribadi."   Berdiam diri sejenak Tiong Fa memandang ke sekeliling ruangan.   "Aku lihat di sini yang ada di sini, semuanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Aku juga yakin Ding Tao cukup bijaksana untuk merahasiakan tentang keberadaan pedang yang ada di tangannya itu."   Setiap orang menatap ke arah Tiong Fa dengan wajah serius, hanya seorang yang sedikit berbeda, yaitu si nakal Huang Ying Ying.   Mukanya sedikit memerah sambil menggigit bibir bawahnya.   Bagaimana tidak malu, gadis nakal ini yang paling susah menahan bicara, dalam hati dia bersyukur, untung tadi siang saat hendak menemui pengasuhnya dan menceritakan tentang pengalaman Ding Tao, ayahnya keburu memanggil dia ke ruang latihan.   Coba kalau tidak, pasti dia sudah menceritakan soal pedang itu pada bibi pengasuhnya, yang tidak kalah bawel dan suka bergosip.   Dalam keadaan seperti itu, wajah gadis itu sendiri sebenarnya jadi semakin manis dan menggoda, sayang tidak seorangpun di ruangan itu tidak sempat mengaguminya.   Apalagi Ding Tao yang saat itu merasa seperti sedang ditodong dengan pedang tepat di atas jantungnya.   "Tapi satu hal yang perlu diingat, serapat apapun rahasia itu ditutup, satu saat akan terbongkar juga.   Ding Tao tidak tahukah dirimu ada berapa banyak tokoh dalam dunia persilatan yang berusaha mengendus jejak dari pedang di tanganmu itu?" "Selama kau memegang pedang itu, selama itu pula nyawamu terancam.   Tapi itu bukan satu-satunya alasanku untuk memintamu meninggalkan pedang itu dalam pengawasan keluarga Huang." "Alasan lainnya adalah masalah Sekte Matahari dan Bulan yang diketuai Ren Zuocan.   Mungkin kau belum tahu, satu- satunya yang membuat takut iblis itu adalah pedang di tanganmu itu, sebelum dia berhasil memusnahkan atau mendapatkan pedang itu dia tidak akan bisa beristirahat dengan tenang." "Kekuasaannya dan kekuatannya secara pribadi semakin meningkat dari tahun ke tahun.   Banyak anggota dunia persilatan yang diam-diam sudah bersumpah setia kepadanya.   Bukan hanya dunia persilatan yang berada dalam bahaya, tapi juga negara kita secara keseluruhan.   Bayangkan saja jika dedengkot barbar itu berhasil menguasai dunia persilatan daratan, berapa lama sebelum pasukan mereka akan menyeberangi perbatasan dan menjarah rumah-rumah kita?"   Mendengar kata-kata Tiong Fa yang penuh semangat patriotisme, wajah-wajah yang sebelumnya mengerutkan alis sekarang mengangguk-angguk setuju.   Termasuk Ding Tao sendiri.   "Karena itu Ding Tao, dengan berat hati dan memendam rasa malu, aku memintamu untuk menyerahkan pedang itu ke dalam pengawasan keluarga Huang.   Bukan karena ambisi pribadi, melainkan karena rasa sayangku padamu dan juga kewajibanku pada negara dan tanah air."   Hebat benar lidah licin Tiong Fa, sudah dari jaman dulu kala, ada saja orang-orang yang berlidah licin selicin ular, yang dengan kemampuannya berbicara dan bersandiwara mampu memikat hati pendengarnya.   Apalagi pemuda-pemuda yang tidak berpengalaman itu.   Apalagi yang mengucapkan adalah orang yang mereka hormati di hari-hari biasa, tidak sebetik pun terlintas dalam pikiran mereka bahwa kata-kata yang manis dan penuh semangat itu, tidak lebih dari arak wangi yang menyembunyikan amisnya racun keji.   Begitu hebatnya kata-kata, bahkan yang mengucapkan sendiri ikut terbuai olehnya.   Dalam bayangan Huang Jin dan orang- orang kepercayaannya, ada sebagian dari diri mereka yang menghibur hati dengan pembelaan itu, Meskipun jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka tahu bahwa ambisi pribadi dan keserakahan adalah motivasi penggeraknya.   Padahal mereka semua adalah orang yang mengerti bahkan beberapa di antaranya sangat taat dalam beragama.   Ada yang menekuni agama Buddha ada pula yang menekuni ajaran Konfusius.   Lalu mengapa keserakahan masih menguasai hati mereka? Mengapa mereka tega untuk mengorbankan orang lain demi ambisi pribadi mereka? Bagaimana bisa seorang tabib menyembuhkan si sakit, jika si sakit itu sendiri tidak mau menyadari sakitnya? Sungguh celaka orang yang sudah menipu dirinya sendiri, sesungguhnya kecerdikan mereka justru menjadi jerat bagi jiwanya sendiri.   Perhatian setiap orang sekarang beralih pada Ding Tao, Ding Tao yang merasakan tatapan setiap orang pada dirinya menjadi salah tingkah.   Teringatlah dia pada kata-kata gurunya, pada sumpah yang pernah dia ucapkan, meskipun gurunya membatalkan sumpah itu.   Pemuda ini tidak meragukan sedikitpun ketulusan Tiong Fa, bahkan dalam hatinya dia justru meragukan kemampuannya sendiri.   Seandainya saja malam itu Gu Tong Dang tidak memberikan nasihat dan perintah demikian, mungkin saat itu juga, Pedang Angin Berbisik sudah diserahkannya pada Tiong Fa.   Beruntung bagi Ding Tao, gurunya bukan orang yang masih hijau, gurunya cukup mengenal orang-orang yang ada dalam kelompok pimpinan keluarga Huang.   Sehingga sebagai bekal bagi Ding Tao, telah dinasihatkannya dengan sungguh- sungguh pada pemuda itu untuk mempertahankan kepemilikannya atas pedang itu.   Gu Tong Dang sadar dia tidak bisa menahan Ding Tao untuk tidak menemui keluarga Huang tanpa membuat getir hati muridnya dan dia cukup bijaksana untuk memahami bahwa seorang guru ataupun orang tua, pada satu titik tidak bisa lagi terus menerus melindungi anak atau muridnya.   Ada saatnya rajawali muda harus belajar terbang dan mencari makan sendiri, meskipun untuk itu dia bisa saja terluka atau bahkan mati di dunia yang keras.   Karena itu dilepaskannya Ding Tao pergi ke sarang serigala, segala bekal yang bisa dia berikan sudah diberikan, sisanya ada pada diri Ding Tao sendiri dan kehendak langit.   Diam-diam nun jauh di sana, guru tua itu berdoa dengan khusyuknya, demi keselamatan murid yang dia kasihi, tidak ada lain lagi yang bisa dia lakukan sekarang.   Dengan suara sedikit gemetar Ding Tao menjawab.   "Maafkan aku Tetua Tiong, tapi dengan sesungguhnyalah aku tidak bisa memberikan pedang ini kepada keluarga Huang?"   Suara bisik-bisik pun memenuhi ruangan itu, mereka yang tadinya tidak puas pada permintaan Tiong Fa, sekarang berbalik tidak puas pada jawaban Ding Tao.   Tapi pemuda itu bukanlah Tiong Fa yang pandai bersilat lidah, dengan wajah merah padam dia hanya bisa berdiam diri dan menekuri pedang yang ada di hadapannya.   Tiong Fa pun berkerut alisnya, jawaban Ding Tao sedikit di luar dugaannya, namun Tiong Fa yang cerdik ini yakin sepenuhnya pada kemampuannya menilai seseorang, karena itu dia tidak cepat menjadi gugup atau marah.   "Anak Ding, mengertikah kau dengan uraianku sebelumnya? Sebenarnya apa yang kau cari dengan pedang itu? Apakah kau menginginkan ketenaran? Kekayaan?"   Menggeleng Ding Tao mendengar pertanyaan itu.   "Bukan Tetua Tiong, sungguh bukanlah demikian maksudku. Sebenarnya sebelum aku pergi, guru, telah menceritakan hal ihwal pedang ini terhadapku dan pesannya yang selanjutnya adalah agar aku mengemban tugas, melenyapkan Ren Zuocan dengan menggunakan pedang ini."   Atas jawaban Ding Tao ini bermacam-macam reaksi yang muncul.   Ada sebagian yang mengagumi kegagahan pemuda itu, apalagi mereka sudah mengenal kejujuran Ding Tao dan tanpa ragu lagi meyakini ketulusan kata-katanya.   Tapi ada juga mereka yang menjadi kurang puas dan merasa pemuda itu terlalu sombong atau setidaknya sudah salah menilai dirinya sendiri.   Tiong Fa tersenyum dalam hatinya, mendengar jawaban Ding Tao, maka jelas baginya, tidak ada kesalahan dalam penilaiannya atas diri pemuda itu.   Diam-diam dia memaki kelicinan Gu Tong Dang.   Siapa sebenarnya yang licin Gu Tong Dang atau dirinya? Tentu saja buat Tiong Fa, Gu Tong Dang-lah yang licin dan licik, sedangkan dirinya adalah cerdik dan bijak.   Tapi dia tetap tertawa dalam hati, menertawakan kebodohan Gu Tong Dang, karena sekarang dia melihat sebuah celah yang bisa dimasukinya.   "Ding Tao, sungguh aku hargai keberanian dan tekadmu, tapi tahukah kau siapa itu Ren Zuocan? Mungkin kau pikir satu- satunya ilmu andalan Ren Zuocan itu adalah ilmu kebalnya dan dengan pedang di tanganmu itu kau akan mampu menembusnya." "Jangan salah nak, bukan hanya ilmu kebal, tapi Ren Zuocan itu gudangnya ilmu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dia memiliki ilmu pukulan, tenaga dalam dan ilmu tombak yang tidak kalah menggiriskannya dari ilmu kebalnya yang terkenal.   Jika bukan demikian, tentu orang dunia persilatan tidaklah begitu gentar padanya."   Wajah Ding Tao yang sudah merah, semakin memerah, tentu saja dia mengetahui semua hal itu. Sekali lagi jika bukan karena pesan gurunya tentu pedang itu sudah dia serahkan sekarang, tapi terngiang-ngiang di benaknya perkataan gurunya.   "Kaulah yang pantas menjadi pemilik pedang itu."   Tiong Fa yang melihat bahwa kata-katanya sudah mulai menjerat Ding Tao melanjutkan.   "Nak, mungkin saja kau tidak takut kehilangan nyawa dalam usahamu untuk menggenapi tugas yang diberikan oleh Pelatih Gu padamu, tapi tidakkah kau bayangkan, apa yang akan terjadi jika kau gagal? Bukan saja kau akan kehilangan nyawa, tapi pedang itu akan jatuh ke tangan Ren Zuocan, bagaikan harimau tumbuh sayapnya. Jika sekarang saja kita harus bersusah payah untuk membendung ambisinya, kalau pedang itu sampai jatuh ke tangannya, apa yang bisa kita lakukan?" "Apakah kita semua haris beramai-ramai menyerahkan nyawa padanya?"   Ding Tao pun semakin terdesak oleh argumentasi Tiong Fa, sampai akhirnya dengan terbata-bata dan suara yang hampir- hampir tidak terdengar dia berkata.   "Tapi tapi ah " "Tapi menurut guru, aku bisa melakukannya dan kemampuanku sudah cukup untuk mempertahankan pedang ini."   Setelah berkata demikian pemuda itu menundukkan kepala, tidak berani untuk melihat ke kiri dan kanan.   Tak sampai hati dia untuk berkata bahwa Gu Tong Dang percaya bahwa dari antara seluruh tokoh dunia persilatan, dialah yang pantas memiliki pedang itu.   Tapi perkataannya tadi itupun sudah cukup menyiratkan hal itu.   Ruangan itupun jadi penuh dengan suara riuh rendah, mereka yang tadinya bersimpati pada Ding Tao pun merasa bahwa pemuda itu sudah keterlaluan memandang tinggi dirinya.   Apalagi mereka yang sejak tadi sudah merasa tidak puas dengan sikap Ding Tao, tanpa segan-segan mereka mengemukakan pendapatnya.   Ding Tao yang menunduk, semakin saja menunduk.   Entah apa di antara pembaca pernah merasakan hal yang demikian, merasa melakukan sesuatu yang memalukan di hadapan banyak orang.   Sampai rasanya ingin bumi terbelah menjadi dua dan menelan kita lenyap dari permukaan bumi.   Yang seharusnya merasa malu tidak merasa malu, bahkan bersorak dalam hati.   Yang tidak perlu merasa malu justru merasa malu.   Dalam keadaannya yang serba getir itu, tiba-tiba Ding Tao merasakan satu sentuhan lembut pada tangannya yang tersembunyi di bawah meja.   Terkejut dia menoleh sekilas ke arah Huang Ying Ying dan dilihatnya gadis itu memandang dirinya penuh simpati, terasa pula bagaimana tangan gadis itu meremas tangannya, seakan memberikan semangat baginya untuk bertahan.   Ding Tao merasa sedikit keberaniannya kembali muncul, tidak lagi dia merasa sesengsara seperti tadi.   Meskipun dia masih merasa malu kepada anggota keluarga Huang yang lain.   Tiong Fa membiarkan saja keriuhan itu terjadi, dibiarkannya keadaan itu mengendap dalam perasaan setiap orang.   Setelah dia merasa cukup menanamkan racun itu di hati setiap orang, dia mengangkat tangannya.   "Tahan sebentar, cobalah tenang. Kita harus menghargai sikap Ding Tao, sebagai salah seorang tetua dalam keluarga Huang, aku berharap setiap generasi muda dalam keluarga Huang mengambil sikap Ding Tao terhadap perintah gurunya itu sebagai satu teladan."   Inilah hebatnya Tiong Fa, dengan satu kalimat dia berhasil menampilkan dirinya sebagai seorang yang arif, bijak dan barhati besar.   Bahkan memenangkan hati Ding Tao yang sebenarnya justru sudah menjadi korban lidahnya yang beracun.   Menunggu suasana mereda, Tiong Fa sekali lagi mengajak Ding Tao berbicara.   "Anak Ding, sebenarnya aku merasa malu untuk mengajukan usul ini. Orang mungkin akan menganggap aku sebagai golongan yang lebih tua menekan yang muda."   Tentu saja sebenarnya memang itu yang sedang dia lakukan, tapi setelah kata-katanya yang sebelumnya siapa dalam ruangan itu yang berpikir demikian? "Tapi karena rasa kewajibanku pada bangsa dan negara, mau tidak mau aku mengajukan usul ini.   Kau berteguh hati hendak mempertahankan pedang itu karena gurumu telah berpesan bahwa kau memiliki kesanggupan untuk melindungi pedang itu.   Jika hal itu benar, tentu akupun tidak berkeberatan.   Tapi bagaimana jika dia salah menilai dirimu?" "Karena itu bagaimana kalau sekarang kita melakukan saut pertandingan persahabatan, antara dirimu, dengan orang-orang dalam keluarga Huang.   Jika kau berhasil mengalahkan kami, maka itu berarti kau memang memiliki kemampuan yang lebih dari kami untuk melindungi pedang itu.   Tapi jika tidak, kukira kaupun tidak berkeberatan untuk mempercayakan pengawasan pedang itu pada keluarga Huang."   Sebenarnya usulan Tiong Fa ini tentu saja jauh dari adil.   Untuk membuktikan dirinya Ding Tao tentu harus melayani orang-orang dari keluarga Huang sendirian.   Di mana letak keadilannya? Tapi bila mengikuti argumentasi Tiong Fa, tentu saja orang jadi dibuat setuju oleh pendapatnya.   Dengan menggigit bibir akhirnya Ding Tao pun mengangguk setuju.   "Tetua Tiong, sebenarnya aku merasa malu, tapi kurasa itulah jalan yang terbaik. Sehingga jika nanti kuserahkan pedang ini ke dalam pengawasan keluarga Huang, bukan berarti aku melanggar pesan guruku. Namun memang keluarga Huang lebih pantas untuk menyimpannya."   Demikianlah dengan kelicinan lidahnya Tiong Fa berhasil mengatur panggung sandiwara, di mana setiap orang berhasil dimainkan menurut kemauannya.   Huang Jin, Huang Yunshu dan Huang Ren Fang, serta beberapa orang kepercayaan keluarga Huang yang lain, yang mengetahui tentang rencana ini, mengangguk-angguk dengan puas.   Dalam hati mereka bersyukur ada orang macam Tiong Fa dalam keluarga mereka.   Bersyukur tapi juga bergidik, ketika membayangkan bila Tiong Fa justru berdiri di pihak lawan.   Pertandingan persahabatan itu dilakukan di ruang latihan, selain mereka yang hadir pada jamuan makan malam itu, tidak ada yang lain yang hadir di sana.   Tiong Fa sendiri sudah mengatur siapa-siapa yang hadir dalam jamuan makan malam itu.   Selain putera dan puteri Huang Jin, anak-anak muda yang lain adalah bibit-bibit muda yang berbakat dari keluarga Huang.   Lalu kemudian mereka yang sudah berpengalaman di dunia persilatan dan merupakan orang pilihan dalam keluarga Huang.   Dan kelompok terakhir tentu saja Huang Jin dan orang-orang kepercayaannya.   Pendek kata, tanpa disadari orang lain, Tiong Fa sudah mengatur agar segenap kekuatan keluarga Huang berkumpul malam itu.   Huang Ying Ying mungkin bisa dijadikan perkecualian, tapi bahkan kehadirannya sebagai puteri Huang Jin pun bisa dimanfaatkan Tiong Fa sebaik-baiknya.   Dalam rencana yang ada di angan-angannya sudah terbayang, bagaimana Ding Tao akhirnya akan tunduk di tangan salah satu jagoan keluarga Huang.   Dia sudah membayangkan kata-kata penghiburan yang akan diucapkan, lalu dengan sedikit dorongan dia akan menempatkan Huang Ying Ying sebagai penghibur dan perawat Ding Tao.   Dalam sekali jerat, bukan hanya pedang didapatkan tapi keluarga Huang pun akan mendapatkan satu kekuatan lagi.   Tentu saja, kalau nanti ternyata Ding Tao keok di tangan anggota terlemah yang hadir malam itu, Tiong Fa akan membalikkan keadaan.   Si cantik Huang Ying Ying, baginya terlalu berharga jika hanya digunakan untuk menggaet jagoan kelas kambing.   Suasana di ruang latihan itu jadi sedikit menegangkan, meskipun tadinya banyak yang memandang Ding Tao sudah terlalu sombong setelah dua tahun menghilang.   Setelah mereka siap untuk berhadapan dalam satu pertarungan, mau tak mau mereka mulai bertanya-tanya, apakah bukan mereka yang kelewat tinggi menilai diri sendiri.   Ding Tao sendiri justru mendapatkan ketenangannya di ruang latihan itu.   Baginya tidak ada masalah apakah dirinya akan menang atau kalah saat itu.   Ding Tao yang sudah dibuat percaya penuh pada kemuliaan hati para pemimpin keluarga Huang, tidak melihat adanya masalah jika pedang itu jatuh ke tangan mereka.   Jika sampai dirinya yang memenangkan pertandingan itu Yah, sejujurnya Ding Tao sendiri tidak pernah berpikir bahwa dia akan memenangkan pertandingan itu, meskipun dia berharap juga bahwa setidaknya dia bisa memenangkan beberapa pertarungan agar gurunya tidak menjadi malu sudah mendidik dia sebagai murid.   Inilah pertarungan yang pertama sejak dua tahun yang silam.   Ada juga dalam hatinya rasa penasaran dan ingin menguji, sebenarnya sudah sejauh mana kemajuannya dalam menekuni ilmu bela diri.   Karena itu wajah-wajah yang tegang dari orang-orang muda dalam keluarga Huang, tampak begitu kontras dengan wajah Ding Tao yang tenang, dan penampilannya yang tenang ini tentu saja membuat banyak perasaan yang hadir di situ semakin bergetar.   Terutama mereka yang belum mempunyai keyakinan penuh atas kemampuannya sendiri.   Perlahan-lahan Tiong Fa mengedarkan pandangannya ke sekeliling arena.   Kali ini Tiong Fa memang berperan sebagai sutradaranya, bahkan Huang Jin yang menjadi kepala dari keluarga Huang pun tidak ikut memberikan masukan sedikitpun, karena dua alasan.   Yang pertama, dia percaya penuh pada kelicinan Tiong Fa, dalam hatinya Huang Jin mengakui bahwa kecerdikan orang kepercayaannya ini ada di atas kecerdikannya sendiri.   Seandainya pernah timbul sedikit saja kecurigaan dalam hatinya atas kesetiaan Tiong Fa, Huang Jin tidak akan segan-segan untuk menghabisi nyawanya.   Tapi baik Tiong Fa maupun Huang Jin cukup cerdik untuk mengetahui bahwa mereka berdua saling membutuhkan.   Tiong Fa membutuhkan kekuatan Huang Jin dan Huang Jin membutuhkan kecerdikan Tiong Fa, kesadaran inilah yang membuat keduanya bisa berjalan dengan penuh "persahabatan"   Hingga puluhan tahun berselang.   Alasan yang kedua adalah, seandainya ada kesalahan perhitungan, apa pun itu, Huang Jin tidak mau namanya ikut jadi tercemar.   Pada saat terakhir dia masih bisa melemparkan kesalahan itu pada pundak Tiong Fa, meskipun tidak seluruhnya.   Pandangan mata Tiong Fa jatuh pada seorang anak muda yang menjadi juara dalam ujian kelulusan 6 tahun yang lalu.   Dengan anggukan kepala dia memberikan perintah pada anak muda itu untuk maju ke depan, menjadi kelinci percobaan untuk menguji sejauh mana kemajuan ilmu Ding Tao.   Feng Xiaohong nama anak itu, dalam umur 12 tahun dia berhasi lulus sebagai peserta terbaik, otaknya encer dan cepat menyerap setiap pelajaran.   Kalau ada kekurangannya, maka itu terletak pada sifatnya yang cepat puas diri.   Guru-gurunya harus menyesuaikan kecepatan pelajaran yang baru dengan kemampuannya menyerap pelajaran.   Mungkin ini salah satu kelemahan orang yang berotak encer, justru karena dia lebih cepat dalam memahami sesuatu, maka cepat pula dia ingin mempelajari yang baru.   Berbeda dengan Ding Tao yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyelami kegunaan beberapa jurus hingga ke dasar-dasarnya.   Feng Xiaohong ini melahap ratusan jurus dalam waktu yang sama.   Tiong Fa tentu saja tahu kelemahan Feng Xiaohong, tapi seperti biasa otaknya yg cermat selalu bekerja tidak tanggung- tanggung, dua sasaran yang dia inginkan.   Melihat tingkat kemajuan Ding Tao, dan itu dapat dinilainya dengan menghadapkan Ding Tao dengan Feng Xiaohong yang berpengetahuan luas meskipun agak dangkal.   Dan sasaran yang kedua, adalah menyadarkan Feng Xiaohong akan perlunya menekuni dan menyelami jurus-jurus yang sudah dia pelajari.   Dua pemuda itu pun mulai berhadapan, Feng Xiaohong bukan orang bodoh, dia sempat melihat pertarungan antara Wang Chen Jin dengan Ding Tao, di mana variasi serangan Wang Chen Jin akhirnya berhasil dimentahkan oleh balasan Ding Tao yang sederhana namun tepat.   Bahkan pertarungan itu sempat membangkitkan minatnya untuk kembali menelaah setiap jurus yang sudah dia pelajari.   Tapi ibaratnya jika Ding Tao menyelam sampai ke dasar lautan dan mengamati seluruh isinya.   Feng Xiaohong sudah merasa puas, ketika dia merasa sudah melihat dasarnya.   Sebuah jurus yang indah segera dilancarkan oleh Feng Xiaohong, pedang kayunya bergerak membuat lingkaran serangan.   Dengan cerdiknya disisakannya lubang di antara serangan itu.   Jika Ding Tao bergerak menghindar maka serangan susulan akan terus menerus mengikutinya.   Jika Ding Tao termakan siasat itu dan berusaha membalas menyerang menggunakan lubang pertahanan yang sengaja disisakan, maka sebuah serangan mematikan sudah disiapkan oleh Feng Xiaohong.   Pedangnya akan berbalik mengurung jalan keluar Ding Tao sementara pukulan tangannya akan melancarkan serangan yang mematikan.   Ini adalah salah satu jurus tingkat tertinggi yang boleh dipelajari oleh orang yang tidak berhubungan darah dengan keluarga Huang.   Tiong Fa merasa puas melihat keputusan Feng Xiaohong, dia sendiri tentu saja akan mampu memecahkan kepungan itu, terutama berlandaskan himpunan tenaganya yang sudah terpupuk jauh lebih lama.   Tapi apakah Ding Tao mampu memecahkan jurus serangan itu? Pada gebrakan pertama Ding Tao bergerak menyurut ke belakang, mereka yang sedang mengamati pertandingan itu melihatnya dengan berbagai tanggapan.   Bagi mereka yang berada di tingkat terbawah, jurus yang dikeluarkan Feng Xiaohong adalah jurus pamungkas dari bagian lanjutan yang diajarkan pada mereka yang tidak memiliki pertalian darah dengan keluarga Huang.   Sudah tentu, bagi mereka jurus ini adalah jurus yang tidak terpecahkan, bagi mereka Ding Tao yang belajar dari Gu Tong Dang adalah sama dengan mereka.   Bagi Ding Tao tentulah jurus ini adalah jurus serangan yang pamungkas, tidak terpecahkan.   Bagi mereka, masalahnya hanyalah siapa yang lebih cepat mengambil inisiatif, siapakah yang lebih mahir dalam menyerang dan siapakah yang lebih kuat.   Dia yang lebih cepat mengambil inisiatif akan mengambil keuntungan, dia yang lebih mahir akan lebih sedikit menyisakan lubang kelemahan dan dia yang lebih kuat akan memiliki kemungkinan untuk mengacaukan jebakan yang disusun lewat adu kekuatan.   Bagi mereka yang setingkat di atasnya, mereka yang sudah berpengalaman dan sedikit banyak mencicipi satu atau dua jurus simpanan keluarga Huang.   Jurus serangan Feng Xiaohong bukanlah jurus yang tidak terpecahkan.   Setelah mengikut sekian lama dan berkelana sekian lama di dunia persilatan, akhirnya mereka pun bisa melihat dan menilai jurus pamungkas yang menjadi milik mereka selama dalam pelatihan.   Mereka ini sudah banyak yang mengembangkan sendiri jurus-jurus yang ada berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami.   Tentu dengan warna dan bentuknya masing-masing, sesuai dengan bakat dan pengalaman yang unik dari tiap orang.   Mereka ini memandang dengan waspada dan penuh rasa ingin tahu, apakah Ding Tao pun sudah berhasil memecahkan jurus itu? Kalau iya, dengan cara apa pemuda itu akan melakukannya? Lalu bagi mereka yang memiliki pertalian darah dengan keluarga Huang serta telah menamatkan keseluruhan ilmu keluarga Huang, kelemahan dan pemecahan jurus serangan Feng Xiaoho sudahlah jelas dan bagi mereka itulah cara yang terbaik.   Dengan pandangan dingin mereka menunggu untuk melihat sejauh mana Ding Tao berhasil mendalami jurus-jurus keluarga Huang yang sempat dia pelajari lewat Gu Tong Dang.   Terutama mereka yang dekat dengan para pimpinan, karena menghilangnya Ding Tao sudah menjadi salah satu perhatian mereka, Tiong Fa yang menyebarkan para mata-matanya dengan yakin menyatakan bahwa jejak Ding Tao tidak ditemui di perguruan silat atau tokoh persilatan yang mana pun.   Itu berarti satu-satunya sumber Ding Tao adalah ilmu bela diri keluarga Huang.   Permasalahannya tinggal sejauh mana pemuda itu mampu mendalami dan mengembangkannya.   Ini sangat menarik bagi mereka, karena dari sini mereka bisa menilai seberapa tinggi bakat yang dimiliki Ding Tao.   Tapi gerakan Ding Tao yang berikutnya membuat semua orang terpana.   Seperti yang sudah diduga, bila Ding Tao bergerak menghindar, maka itu akan berarti gerakan pedang Feng Xiaohong akan mengejar dan berusaha membuat kedudukan Ding Tao semakin buruk.   Bila pada gebrakan pertama Ding Tao bergerak menyurut mundur, demikian pula pada gebrakan kedua dan ketiga.   Tapi menginjak serangan ketiga dan seterusnya, pedang Ding Tao ikut bergerak bersamaan dengan gerak mundurnya.   Gerakan pedang Ding Tao tidaklah cepat atau kuat, tapi tepat seirama dengan gerakan pedang Feng Xiaohong, dalam beberapa gebrakan yang terjadi mengejutkan setiap orang, pedang Ding Tao bagaikan menempel pada pedang Feng Xiaohong.   Tidak ada yang lebih jelas tentang apa yang dilakukan Ding Tao selain Feng Xiaohong sendiri.   Jika pedang Feng Xiaohong bergerak ke kanan, maka pedang Ding Tao akan tepat mendorong pedang Feng Xiaohong lebih jauh ke kanan.   Jika bergerak ke kiri maka demikian pula pedang Ding Tao seakan menempel dan ikut mendorong pedangnya ke kiri.   Dalam waktu singkat gerakan Feng Xiaohong menjadi kacau balau, keringat dingin keluar, pedang Ding Tao bagaikan bayangan hantu.   Bahkan ketika dia berusaha melepaskan diri dengan mundur, pedang itu terus mengikutinya.   Menempel dan tidak pernah lepas.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kali ini Feng Xiaohong-lah yang bergerak mundur dan menghindar, sementara Ding Tao bagaikan lintah melekat erat atau bagai hantu dan arwah yang membayangi Feng Xiaohong.   Memucat wajah setiap orang yang menyaksikan hal itu, tidak seorangpun dari mereka yang bisa membayangkan hal itu akan terjadi.   Bukan kenyataan bahwa Ding Tao bisa mengalahkan Feng Xiaohong, akan tetapi cara Ding Tao mengalahkan Feng Xiaohong yang jauh di luar dugaan mereka.   Tidak lama setelah Ding Tao berhasil menggerak Feng Xiaohong mundur, Ding Tao berhasil menekan pedang Feng Xiaohong hingga terlepas dari tangannya, ujung pedang Ding Tao pun berakhir di depan tenggorokan Feng Xiaohong.   Tidak perlu juri untuk menentukan siapa pemenangnya, bahkan tidak perlu menunggu pedang Ding Tao mengancam tenggorokan Feng Xiaohong untuk tahu siapa pemenangnya, sejak Ding Tao berhasil menempel pedang Feng Xiaohong akhir dari pertandingan itu sudah bisa ditebak.   Dengan muka merah dan pucat berganti-ganti Feng Xiaohong pun mengakui kekalahannya dengan badan lemas bercampur kagum.   "Aku mengaku kalah Ding Tao" "Jangan dipikirkan Saudara Feng, hanya sedikit keberuntungan di pihakku.   ", hibur Ding Tao sambil balas membungkuk dengan hormat. Cara Ding Tao mengalahkan Feng Xiaohong, ucapannya, bisa saja ditangkap sebagai kesombongan atau penghinaan, tapi bila melihat ekspresi wajahnya yang tulus dan jujur. Dari tiap kata dan gerak-geriknya bisa tertangkap ketulusan dan niat yang bersahabat. Feng Xiaohong pun tersenyum, pemuda ini memang sering memandang tinggi dirinya sendiri, tapi dia bukan pula orang yang sempit hatinya. Dia memang tidak sungkan-sungkan untuk mengunggulkan bakatnya dibandingkan bakat orang lain, tapi tidak malu-malu juga untuk mengagumi orang lain yang lebih berbakat dari dirinya. "Jangan bodoh, kalah dengan cara begini sudah tentu bukan masalah keberuntungan. Selamat Saudara Ding, tidak kusangka ada juga cara seperti itu.", ujarnya dengan sungguh-sungguh dan senyum di bibir. Senyum pun merekah di wajah Ding Tao, alangkah menyenangkan bisa melakukan pertandingan persahabatan, menguji diri sendiri, menambah pengalaman, mencoba hal-hal yang baru dan lebih-lebih lagi mendapatkan sahabat baru. Dia pernah hidup selama 18 tahun di keluarga Huang, sudah tentu cukup lama juga dia mengenal Feng Xiaohong. Tapi Feng Xiaohong yang tinggi hati ini tidak memandang sebelah mata pada dirinya yang dianggapnya dungu. Bukan menghina, hanya seakan-akan tidak ada orang yang bernama Ding Tao di dunia Feng Xiaohong. Tapi kali ini Feng Xiaohong memandang dirinya dengan penuh persahabatan. Tiong Fa yang sempat terkejut melihat cara Ding Tao mengalahkan Feng Xiaohong dengan cepat menguasai hatinya. Otaknya berputar cepat, bakat Ding Tao jelas berada di luar dugaannya, tapi dia masih yakin pada akhirnya Ding Tao akan kalah. Permasalahannya sekarang siapa yang harus ditunjuknya. Jika orang berikutnya kalah dengan cara yang sama mengenaskannya, moral dari keluarga Huang bisa semakin terpuruk. Tapi jika terlalu cepat dia mengajukan jago-jago keluarga Huang, dia akan kehilangan keuntungan yang dia miliki dari segi jumlah. Sebisa mungkin Tiong Fa ingin agar tenaga Ding Tao terkuras saat harus menghadapi lawan yang sesungguhnya. Tadinya dia berpikir salah satu dari mereka yang bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan dapat melakukan hal itu. Mungkin Wei Mo yang sering bertugas mengawal barang-barang kiriman keluarga Huang ke daerah yang berbahaya, sudah beberapa kali jagoan itu bersama dengan rekan-rekannya menghadapi pentolan penjahat yang punya nama. Atau Zhang Zhiyi yang seringkali dia percayai untuk memata-matai perguruan-perguruan besar di daerah selatan ini. Dari segi pengalaman bertarung Wei Mo yang menonjol, dari segi pengetahuan dan kecerdikan Zhang Zhiyi yang lebih menonjol. Sudah ada rencana untuk mengikat hubungan kekeluargaan dengan keduanya. Wei Mo yang lebih tua, rencananya salah satu puterinya akan dilamar oleh salah satu cucu Huang Yunshu. Untuk Zhang Zhiyi yang masih muda dan belum menikah, sedang dicarikan salah satu anak gadis keluarga Huang yang dirasa cocok. Tapi melihat cara Ding Tao mengalahkan Feng Xiaohong, mau tidak mau Tiong Fa harus berpikir ulang. "Mungkin nantinya harus aku sendiri yang turun tangan.", demikian dia berpikir dalam hati. Melihat tingkat Ding Tao, sudah sepantasnya jika Tiong Fa menunjuk Wei Mo atau Zhang Zhiyi, tapi bukan Tiong Fa namanya jika melakukan sesuatu hanya berdasarkan kepantasan. Setelah mengerutkan alis sejenak dia memandang ke salah seorang murid yang dilatihnya sendiri. "Zhu Lizhi, coba kau maju."   Pemuda yang dipanggil merasa sedikit terkejut, pameran keahlian yang ditunjukkan Ding Tao sudah membuat dia merasa takluk.   Tapi dengan mengeraskan hati dia maju ke depan dan dengan gagah membungkuk memberi hormat pada Ding Tao.   "Sepertinya kali ini aku yang mendapat berkah untuk menerima pelajaran darimu Saudara Ding." "Sama-sama Saudara Zhu." "Awas serangan!"   Kali ini serangan yang dilakukan Zhu Lizhi adalah serangan yang sederhana saja, mengambil pelajaran dari Feng Xiaohong tadi, Zhu Lizhi tidak ingin kena tempel oleh pedang Ding Tao, karenanya dia justru mengutamakan kecepatan dan kekuatan dengan jurus-jurus yang sederhana yang lebih berkonsentrasi pada pertahanan.   Murid Tiong Fa tentu bukan orang sembarangan, sesuai sifatnya yang cermat, Tiong Fa pun menekankan kecermatan dan kecerdikan pada murid-muridnya dalam satu pertarungan.   Karena itulah Tiong Fa memilih Zhu Lizhi, dia tidak berharap Zhu Lizhi memenangkan pertandingan ini, harapannya hanya agar Zhu Lizhi dapat mengambil pengalaman yang akan menguntungkan dia dlam perkembangan ilmu silatnya, sekaligus karena dia yakin Zhu Lizhi akan dapat bertahan cukup lama dan sedikit banyak membantunya menguras tenaga Ding Tao.   Sesuai harapannya pertandingan kali ini berlangsung cukup seru.   Serangan Zhu Lizhi tidaklah serumit jurus yang dilancarkan Feng Xiaohong.   Tapi jurus yang sederhana dilancarkan dengan cermat dan tepat, sebaliknya pertahanan Zhu Lizhi sangatlah rapat, sehingga meskipun mudah bagi Ding Tao untuk mematahkan serangan Zhu Lizhi, tidaklah demikian untuk mengalahkannya.   Melihat jalannya pertandingan, diam-diam Tiong Fa mendesah lega.   Mungkin penilaiannya terhadap Ding Tao tadi terlalu tinggi, mungkin Feng Xiaohong yang terlalu terburu-buru.   -------------------------- o --------------------------- 20 jurus sudah berlalu dan Ding Tao belum membuat gebrakan yang berarti.   Bahkan Feng Xiaohong pun mengerutkan alisnya, bagi seseorang yang sudah pernah menghadapi Ding Tao secara langsung, hal ini menimbulkan keheranan dalam dirinya.   Sebenarnya Ding Tao memang belum mengerahkan segenap kemampuannya, jika tadi dia menjadi terbangkit kegembiraannya saat dipaksa menghadapi jurus pamungkas yang dikeluarkan Feng Xiaohong.   Saat dia menghadapi Zhu Lizhi perasaannya sudah sedikit mengendap.   Tadinya dia sempat khawatir Feng Xiaohong akan merasa tersinggung dikalahkan dengan cara demikian, betapa lega hatinya saat Feng Xiaohong ternyata bisa menerima kekalahan dengan hati terbuka.   Oleh karena itu saat menghadapi Zhu Lizhi, Ding Tao tidak terburu-buru mendesak lawannya.   Meskipun dengan mudah dia mematahkan serangan Zhu Lizhi tapi dia tidak mendesak Zhu Lizhi terlalu hebat.   Sekali dua kali dia mendesak dan berhasil menempatkan Zhu Lizhi di posisi, di mana dalam benaknya terbayang bagaimana dia akan mengakhiri perlawanan Zhu Lizhi, tapi pada dua atau tiga langkah terakhir dengan sengaja dilepaskannya Zhu Lizhi.   Keputusan Zhu Lizhi untuk lebih mementingkan pertahanan, memberikan Ding Tao ruang gerak yang leluasa untuk mengembangkan permainan.   Dengan tidak adanya desakan-desakan yang berarti dari Zhu Lizhi, Ding Tao jadi bebas untuk mencoba-coba, jurus-jurus yang sudah dia pelajari selama ini.   Meskipun demikian Ding Tao melakukannya dengan sangat berhati-hati, karena dia tidak ingin membuat Zhu Lizhi merasa dipermainkan.   Karena itu bagi mereka yang menyaksikan, pertandingan itu tampak berimbang.   Setelah 30 jurus berlalu barulah Ding Tao memutuskan untuk mengakhiri perlawanan Zhu Lizhi.   Bukan dengan pameran kekuatan atau keahlian seperti yang dia lakukan pada pertarungan pertama.   Tapi justru dengan serangan-serangan yang wajar, tapi setiap serangan memiliki tujuan.   Tanpa terasa Zhu Lizhi digiring oleh serangan-serangan Ding Tao untuk sampai pada jurus tertentu dan posisi tertentu.   Ketika Zhu Lizhi menyadari bagaimana posisi di dadanya terbuka lebar dari sudut tempat pedang Ding Tao mengincar, barulah dia sadar telah masuk dalam jebakan Ding Tao.   Dalam waktu yang sekejapan itu, tiba-tiba pertarungan mereka yang sebelumnya seperti tampak jelas dalam ingatan Zhu Lizhi dan sadarlah dia, bahwa sejak tadi Ding Tao sudah melakukan hal yang sama.   Bahkan sebelum dia merasakan hantaman pedang kayu itu di dadanya, Zhu Lizhi sudah memejamkan mata mengakui kekalahan dirinya.   Dua orang sudah berhasil dikalahkan, seperti juga Feng Xiaohong Zhu Lizhi menerima kekalahannya dengan lapang dada.   Apalagi di saat terakhir dia tersadar bahwa Ding Tao sudah banyak mengalah padanya dalam pertandingan tadi.   Dengan setulusnya pemuda itu membungkuk hormat pada Ding Tao.   "Selamat Saudara Ding, ilmumu ternyata sudah maju jauh melampaui kami semua yang seangkatan dengan dirimu." "Ah Saudara Zhu terlampau memuji, ketatnya pertahanan Saudara Zhu sungguh membuatku kagum.", jawab Ding Tao dengan ramah. Sekilas Zhu Lizhi mengamati wajah Ding Tao, sempat timbul pertanyaan dalam hatinya apakah orang di hadapannya ini sedang hendak menyindirnya. Maklum gurunya adalah Tiong Fa yang licin, tapi ketika terpandang wajah Ding Tao yang bersih dari segala tipu daya, senyum persahabatan pun mengembang di wajah Zhu Lizhi. Dalam hati dia merasa takluk luar dalam pada Ding Tao, baik pada ilmu pedangnya, maupun pada watak dan karakter dari pemuda itu. Apalagi ketika dia terbayang sifat gurunya yang seringkali membuat dia selalu menebak-nebak, ada apa di balik wajah agung sang guru. Berhadapan dengan Ding Tao, barulah Zhu Lizhi bisa merasakan seperti apa rasanya memiliki seorang sahabat yang bisa dipercaya. Dua orang sudah dikalahkan oleh Ding Tao. Kemenangan yang kedua memang tidak segemilang kemenangan yang pertama, tapi sebagian besar dari mereka yang hadir tidak lagi memandang perkataan Ding Tao di jamuan makan sebelumnya sebagai satu kesombongan kosong dari seorang anak muda yang tidak tahu mengukur dirinya sendiri. Dengan sendirinya mereka yang bersimpati pada Ding Tao dan sempat terganggu oleh jawabannya saat itu, kembali bersimpati padanya. Apalagi si nona muda yang cantik Huang Ying Ying, seandainya saja suasana di ruang latihan itu tidak begitu angkernya, mungkin sejak tadi dia sudah bersorak dan melompat-lompat mengelilingi ruangan itu. Dalam hatinua timbul debaran-debaran aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dahulu dia sudah menyukai Ding Tao yang jujur dan sopan. Apalagi sebagai pelayan tentu saja saat bermain Ding Tao lebih sering mengalah pada Huang Ying Ying. Menginjak remaja Huang Ying Ying bukannya tidak bisa merasakan pandangan kagum Ding Tao pada dirinya, tapi hal itu tidak mengganggunya, karena Ding Tao selalu bersikap sopan padanya. Kalaupun Ding Tao terkadang memandangi dirinya, itu dilakukan dengan sorot mata yang kagum dan bukan sorot mata yang kurang ajar. Tentu saja siapa yang tidak senang menjadi pusat kekaguman seseorang? Dan bagi Huang Ying Ying, jadilah Ding Tao seorang pemuda yang disukainya, suka seperti seorang gadis menyukai bunga atau anjing kecil yang lucu. Kalau bunga yag indah layu atau anjing yang lucu itu terluka tentu gadis itu akan merasa sedih, tentu ada perasaan ingin melindungi atau ingin mengajak bermain anjing yang lucu itu. Tapi perasaan yang dirasakan Huang Ying Ying pada Ding Tao sekarang sungguh jauh berbeda. Hal itu dirasakannya sejak Ding Tao kembali setelah menghilang selama dua tahun. Lalu sekarang pemuda itu berdiri di sana, berdiri dengan tegap tapi luwes, dengan pedang di tangan. Tubuhnya yang tinggi, semakin terlihat tinggi ketika berdiri sejajar dengan pemuda lainnya, Feng Xiaohong yang bertubuh jangkung pun hanya setinggi puncak hidungnya. Apalagi berhadapan dengan Zhu Lizhi yang hanya setinggi bahunya. Bahunya lebar, serasi dengan tinggi badannya, jika Feng Xiaohong yang jangkung seringkali dikatainya seperti tiang jemuran, tidak demikian dengan Ding Tao. Pakaiannya yang sederhana dan sedikit terlalu sempit, justru menonjolkan otot-otot yang liat yang tersembunyi di balik bajunya. Alisnya tebal, matanya memancarkan kepercayaan diri, garis rahang yang kuat dan senyum yang tulus menghiasi wajah pemuda itu. Tapi betapa wajah yang sama dengan mudahnya menjadi kemerahan karena tersipu malu. Memikirkan itu semua tanpa terasa gadis muda ini mendesah rindu. Saat dia sadar mukanya pun terasa panas, dengan sedikit rasa khawatir dia menengok ke kiri dan ke kanan, hatinya sedikit lega ketika dilihatnya perhatian semua orang sedang tertuju pada Ding Tao dan tidak ada yang sempat memergoki gerak-geriknya. Dengan hati berdebar dan wajah sedikit memerah, gadis ini bergerak menyurut mundur, bersembunyi di balik tubuh kakaknya. Dari situ dia baru merasa bisa memandangi Ding Tao dengan aman. Memandangi? Apakah Ding Tao sebegitu menariknya untuk dipandangi? Tapi mengapa dia bisa merasa seperti itu? Ah betapa hati gadis itu semakin berdegup kencang, dengan menggigit bibir dia memaki dirinya sendiri dalam hati. Tapi sesudah itupun tanpa sadar dia kembali mengintip Ding Tao yang sedang berhadapan dengan lawannya yang ketiga Di hadapan Ding Tao berdiri seorang jago yang sudah cukup berumur, satu dua uban nampak mencuat dari rambutnya yang tidak terikat dengan rapi. Agak berbeda dengan penampilan tokoh-tokoh lain dari keluarga Huang ini, penampilan jagoan yang satu ini memang sedikit berantakan. Kumisnya yang tumbuh jarang-jarang tapi tiap helainya tebal seperti kawat, dibiarkan saja bermunculan ke segala arah. Ding Tao yang harus menghadapi orang yang jauh lebih tua, membungkuk dengan hormat yang dibalas dengan anggukan yang dingin. Wang Sanbo, orang yang terkenal diam dan tidak banyak bicara. Dalam setiap urusan tidak pakai terlalu banyak basa basi, begitu juga gaya bertarungnya. Ketika dia melihat Ding Tao tidak kunjung juga menyerang, tanpa sungkan-sungkan dialah yang pertama kali menyerang. Menurut kebiasaan, biasanya yang lebih tua memberi kesempatan yang muda untuk lebih dulu menyerang. Kali ini Ding Tao yang serba sungkan, tidak berani menyerang lebih dulu sebelum lawannya yang lebih tua menyuruhnya demikian. Sementara Wang Sanbo yang tidak peduli segala macam aturan, melihat Ding Tao berdiri menunggu tanpa banyak pertimbangan mendahului menyerang. Buat Wang Sanbo tidak ada bedanya siapa yang menyerang lebih dulu, kalau Ding Tao kalah langkah karena terlambat mengambil inisiatif maka itu salah Ding Tao sendiri. Dan tiba-tiba tanpa banyak ba bi bu, sebuah tendangan kilat dilemparkan, menggempur ke arah kaki Ding Tao. Begitu keras tendangan jago tua ini, hingga terdengar angin menderu-deru. Setelah menghadapi dua lawan yang penuh sopan santun, tidak urung Ding Tao kaget juga saat tiba-tiba mendapatkan serangan. Gaya serangan Wang Sanbo justru lebih sederhana lagi dibandingkan jurus serangan Zhu Lizhi, tapi kecepatan gerak dan tenaga yang dibawanya berkali-kali lipat lebih mengerikan. Untuk beberapa saat Ding Tao pun terdesak. Gaya Wang Sanbo berkelahi memang seperti banteng ketaton, tidak jarang meskipun pedang Ding Tao mengancam tubuhnya, jago tua ini tidak juga menghentikan serangannya, malah dilontarkan serangan yang lebih hebat seakan mengajak Ding Tao mati bersama. Diserang dengan gaya membabi buta ini, untuk beberapa saat Ding Tao jadi kewalahan. Antara memahami teori sebuah ilmu bela diri sudah tentu lebih sukar daripada menerapkan teori itu dalam pertarungan yang sesungguhnya. Dalam sebuah situasi yang relatif tenang di ruang latihan dengan gerakan pelatih yang memang sengaja untuk melatih jurus yang sedang dipelajari, tentu sangat berbeda dalam pertarungan yang sesungguhnya, di mana lawan bergerak secepat mungkin dengan arah serangan yang tidak bisa diduga. Kondisi inilah yang terbentuk ketika Ding Tao harus menghadapi Wang Sanbo, tidak seperti dua lawan sebelumnya yang benar-benar menyerupai sebuah pertandingan persahabatan. Berbeda juga dengan perkelahiannya melawan Wang Chen Jin dua tahun yang lalu, karena saat itu Wang Chen Jin bukan menyerang bak orang kalap seperti yang dilakukan Wang Sanbo. Melawan Wang Sanbo, Ding Tao dipaksa untuk bereaksi secepat mungkin, tanpa sempat menghitung-hitung rencana selanjutnya. Ini pengalaman yang berharga buat Ding Tao, baru setelah lewat berpuluh jurus, barulah Ding Tao bisa menyesuaikan diri dengan gaya permainan Wang Sanbo yang bagaikan angin puyuh, membadai tiada henti. Perlahan-lahan Ding Tao kembali bisa menerapkan pemahamannya akan ilmu yang sudah dia pelajari dalam pertarungan yag dia jalani. Seperti pada saat melawan Zhu Lizhi, sedikit demi sedikit Ding Tao mulai menebarkan perangkap bagi Wang Sanbo, bedanya dia tidak sempat berpikir terlalu panjang, dia dipaksa untuk menentukan sikap dalam hitungan kejapan mata. Beberapa kali sempat juga pukulan dan tendangan Wang Sanbo mampir di tubuhnya. Karena pilihannya terkena pukulan atau terkena tusukan atau sabetan pedang dan Ding Tao memilih yang pertama. Sebenarnya akibat yang dihasilkan tidak jauh berbeda karena pedang yang mereka gunakan adalah pedang kayu, tapi dalam benak pemuda itu, pertandingan ini adalah bagian dari pembelajaran untuk menghadapi pertarungan yang sesungguhnya. Pertandingan dengan kayu ini adalah bagian dari ujian terhadap dirinya, apakah dia benar-benar mampu mengemban tugas gurunya untuk membinasakan Ren Zuocan. Dan dalam pertarungan yang sesungguhnya jika dia harus memilih luka mematikan dari senjata tajam atau memar di tubuh, tentu dia memilih yang kedua. Meskipun demikian tidak ada serangan Wang Sanbo yang benar-benar masuk dengan telak. Pukulan dan tendangan yang mampir di tubuh Ding Tao tidaklah telak mengenai daerah yang berbahaya seperti ulu hati atau jantung, yang bisa menimbulkan luka dalam. Bahkan jika pertandingan ini adalah pertarungan yang sesungguhnya, dengan pedang baja yang tajam, mungkin sudah sejak beberapa waktu yang lalu jago tua ini mati oleh pedang Ding Tao. Bagaimana tidak, entah sudah berapa sering Wang Sanbo meyerang tanpa mempedulikan ancaman pedang Ding Tao. Tidak seperti Ding Tao yang bersikap seakan-akan menghadapi pedang yang sesungguhnya, Wang Sanbo justru memanfaatkan kenyataan bahwa yang mereka pakai adalah pedang kayu. Bisa jadi akan membuat tulang retak atau patah, tapi Wang Sanbo masih cukup yakin pada keliatan tubuhnya yang ditopang hawa murni. Bahkan untuk membuktikan hal itu ada satu dua kali, di mana ujung pedang Ding Tao sempat pula mampir di tubuh jago tua ini. Jago tua ini bukannya tidak memahami hal ini, sebenarnya sudah sejak berapa jurus yang lalu, rasa kagum yang jujur muncul dari dalam hatinya. Hanya saja wataknya yang keras tidak mengijinkannya berhenti sebelum Ding Tao berhasil menjatuhkan dirinya dengan telak. Tapi seperti Zhu Lizhi yang perlahan tapi pasti jatuh dalam permainan jurus Ding Tao, Wang Sanbo pun tanpa sadar telah masuk dalam perangkapnya. Dalam gerak terakhirnya, Ding Tao telah berhasil menempatkan Wang Sanbo di posisi yang dia inginkan. Dengan sengaja sebuah lobanng pertahanan dia tunjukkan. Bagi Wang Sanbo sebenarnya tidak ada pilihan lain kecuali menyerang lobang pertahanan tersebut. Jika tidak maka dari posisi pedangnya yang sekarang Ding Tao bisa menyerang ubun-ubun jago tua itu. Ibarat orang bermain catur, tinggal selangkah lagi dan Wang Sanbo terkena skak-mat. Apapun langkah yang dia pilih, tidak nanti dia bisa lepas dari serangan maut Ding Tao. Wang Sanbo yang melihat lobang di pertahanan Ding Tao, memaksakan diri untuk menyerang, meskipun pada saat itu kedudukannya tidaklah menguntungkan. Untuk menyerang Ding Tao dia harus melakukan bergerak memutar dan untuk sekian kejap punggungnya akan terbuka lebar. Tapi itulah yang dia lakukan, dengan sekuat tenaga jago tua itu mengemposkan seluruh tenaga simpanannya dan melakukan tendangan berputar. Gerakannya sebat, kakinya menyambar bagai kilat, tapi sayang sasaran yang dituju tidak ada di sana. Dengan cepat Ding Tao maju untuk memotong gerakan Wang Sanbo dan dengan sebuah serangan yang cepat, 3 sabetan pedang mampir di tubuh jago tua itu. Satu di punggungnya, satu di pundaknya dan yang terakhir dengan indahnya bergerak seperti seorang kekasih yang membelai leher jago tua itu dari kiri ke kanan. Seandainya saja Wang Sanbo punya penyakit jantung, mungkin saat itu juga jantungnya berhenti berdetak. Ketegangan jago tua itu bagaikan meledak saat dia merasakan pedang Ding Tao membelai lehernya. Bisa dia bayangkan jika Ding Tao memegang pedang yang sesungguhnya, tentu lehernya sudah menggelinding di lantai. Jagoan tua itu pun menutup matanya untuk sesaat, untuk menenangkan diri sekaligus mengatur kembali nafasnya yang sudah memburu. Saat dibukanya mata, terlihatlah di hadapannya Ding Tao yang berdiri dengan serba salah. "Paman Wanguhm maafkan anak Ding." "Heh kau menang.", ujar jago tua itu dengan singkat sebelum keluar dari arena pertandingan. Untuk sesaat desahan nafas terdengar memenuhi ruangan itu, terutama dari mereka yang masih berumur muda. Rupanya pertandingan tadi telah menyita segenap perhatian mereka dan mencapai klimaksnya saat Ding Tao mengakhirinya dengan serangan yang mematikan. Dari wajah-wajah mereka mudah saja dilihat siapa yang bersimpati dan sekarang menjagoi Ding Tao, dan siapa yang masih mengharapkan kemenangan dari keluarga Huang. Anehkah jika sebagian besar generasi muda yang menyaksikan pertandingan itu mendukung Ding Tao dalam hati kecilnya? Ikut cemas saat Ding Tao sepertinya akan mengalami kekalahan dan bersorak dalam hatinya saat Ding Tao berhasil mengalahkan Wang Sanbo? Lepas dari kesetiaan mereka terhadap keluarga Huang dan kelompok sendiri, saat ini Ding Tao mewakili perubahan, mewakili generasi mereka. Apalagi Ding Tao pernah 18 tahun hidup bersama mereka, sehingga tidaklah sulit bagi para orang muda ini untuk menerima Ding Tao sebagai sosok yang mewakili diri mereka. Perlukah kita menengok pada Huang Ying Ying? Rasanya hal itu tidak diperlukan, kalau mereka yang memandang Ding Tao sebelah mata saja, sekarang ini terdorong untuk mengagumi bahkan mendukung pemuda itu, tentunya pembaca bisa membayangkan sendiri bagaimana perasaan Huang Ying Ying sekarang ini. Tiga pertarungan sudah dilalui, masih berapa banyak lagi yang harus dia hadapi? Tiong Fa yang bisa melihat bagaimana di setiap kemenangan, simpati kepada Ding Tao semakin bertambah, menggerutu dalam hatinya. Dengan perhitungan yang dingin, dia merasa sudah cukup mengetahui tingkatan Ding Tao. Cukup satu kali lagi pertandingan yang menguras tenaga dan dia akan maju sendiri untuk mengakhiri perlawanan anak muda itu. ------------------------ o ----------------------------- Zhang Zhiyi berdiri tidak jauh dari Tiong Fa, dengan sebelah tangannya Tiong Fa menggamit Zhang Zhiyi lalu menggerakkan kepalanya, memberi tanda pada Zhang Zhiyi untuk maju menghadapi Ding Tao. Zhang Zhiyi bukanlah orang semacam Feng Xiaohong, Zhu Lizhi atau Wang Sanbo. Jika dia sering mendapat tugas menjadi mata-mata oleh Tiong Fa, sebabnya adalah kemampuan dia untuk mengamati keadaan serta mengambil kesimpulan. Tidak seperti yang lain, Zhang Zhiyi tentu saja tidak termakan bualan Tiong Fa, dia tahu apapun yang terjadi dalam pertandingan hari ini, pedang itu pasti akan lepas dari tangan Ding Tao. Masalahnya hanyalah apakah Ding Tao akan menyerahkannya dengan suka rela atau dengan cara paksa. Zhang Zhiyi juga pandai menilai tingkatan ilmu bela diri lawannya. Tahu keadaan lawan dan tahu keadaan sendiri, dengan sendirinya 100 kali bertempur 100 kali pula meraih kemenangan. Kalau Zhang Zhiyi masih hidup sampai sekarang melewati tugas-tugas berbahaya, itu bukan hanya karena kemampuan ilmunya yang tergolong sudah mapan, tapi dia juga tahu kapan harus berkelahi dan kapan dia harus lari. Jika harus menghadapi Ding Tao dalam perkelahian hidup dan mati, Zhang Zhiyi akan lebih memilih lari, karena meskipun dia masih memiliki harapan untuk menang melawan Ding Tao tapi baginya saat ini seberapa dalam ilmu Ding Tao belum dapat dia pahami dengan benar. Dalam penilaiannya Ding Tao masih penuh dengan kejutan. Sambil berjalan ke dalam arena otaknya berputar memikirkan siasat untuk melawan Ding Tao. Berbeda dengan Wang Sanbo yang dingin, Zhang Zhiyi menyapa Ding Tao dengan senyum hangat.    Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Badik Buntung Karya Gkh

Cari Blog Ini