Manusia Aneh Alas Pegunungan 8
Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl Bagian 8
Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya dari Gan K.l 161 Karena itu, tanpa bicara lagi Ki Teng-nio semprotkan batu ketiga terlebih keras lagi. Namun sekali ini A Siu sudah bersiap sedia, sekali tangannya mengayun, tiba2 batu yang kena ditangkapnya tadi terus ia sambitkan kedepan hingga kedua batu saling bentur hingga hancur remuk ditengah udara. Tenaga dalam kedua orang sama2 hebatnya, tentu saja kedua batu itu hancur menjadi bubuk. Kejadian ini membikin Kim-teng-sam-sat semakin terkejut. Tiba2 Ki Teng-nio tertawa ter-kekeh2 aneh, mendadak ia berseru meraung bagai singa menggerung, suaranya makin lama makin seram, walaupun waktu itu siang hari bolong, tapi suara meraung itu membikin suasana seakan-akan dimalam sunyi yang dingin. Semula A Siu merasa heran akan suara Ki Teng-nio itu, sejenak kemudian ia merasa pandangannya se-akan2 kabur dan kepalanya pening. Ia terkejut, cepat ia menjalankan lwekang yang dipelajarinya dari Siau-yang-chiat-kay, ia pusatkan pikiran dan tenangkan batin, dengan sinar matanya yang bening bercahaya itu ia tatap Ki Teng-nio. Apa yang dilontarkan waktu itu adalah semacam ilmu sakti Ki Teng-nio yang lain, yaitu disebut Ho-im-liap-hun atau meraung mencabut nyawa. Semacam ilmu kepandaiannya yang memabukkan lawan dengan suara, cuma ciri daripada ilmu ini adalah tiada gunanya ditujukan kepada anak2 kecil yang sama sekali masih belum bisa berpikir. Walaupun A Siu bukan kanak2 lagi, tapi selama belasan tahun ia tinggal menyepi dipegunungan sunyi, dengan sendirinya hatinya bersih dan pikirannya jernih, ditambah lagi Lwekang yang dilatihnya dari Siau-yang-chit-kay, tentu saja ilmu Ki Teng-nio itu tidak membawa hasil apa2. Malahan melihat kelakuan wanita tua ini A Siu merasa geli, ia terus menatap diri orang dengan tersenyum. Tak lama kemudian, ia lihat Ki Teng-nio masih terus meraung-raung, saking bernapsunya, tertampak urat-urat mukanya berkerut-kerut se-akan2 kekejangan. Eh, eh, Ki Teng-nio kenapakah kau meraung semacam serigala lapar? Ada apa kenapa tak kau bicarakan saja ! demikian kata A Siu dengan tertawa. Melihat ilmu andalannya Ho-im-liap-hun tidak manjur, sama sekali tak merobohkan A Siu dari terkejut Chit-bok-lo-sat menjadi gusar. Diakhiri dengan sekali suara aneh mendadak ia berhenti meraung dengan napas memburu. Kenapa kalian tidak turun tangan ! teriaknya kemudian dengan suara lemah. 162 Kata2nya itu terang ditujukan kepada ketiga muridnya. Tapi melihat sang guru saja tak berdaya kalahkan, apa lagi mereka. Namun terpaksa He-hong-tongcu bertiga melangkah maju dengan ragu-ragu. Diluar dugaan mendadak A Siu berseru. Marilah kita pergi, Toute! lalu dia memberi tanda pada Tiat-pi Hwesio sambil memutar tubuh. Melihat A Siu tahan uji akan kepandaiannya Ki Teng-nio terutama terhadap ilmu raungan pencabut nyawa yang Iihay itu, Tiat-pi Hwesio sudah menjunjung A Siu sebagai malaikat dewata, la menjadi heran tiba-tiba sang guru mengajaknya pergi dengan membelalak ia menanya . Pergi? Bukanlah Suhu hendak menanya perempuan tua bangka itu. Sudahlah, kalau dia tidak mau berkata, tak perlu kita paksa dia, sahut A Siu. Tiat-pi tambah heran oleh jawaban A Siu yang polos ini, betapapun Tiat-pi dogol tolol, tapi dikalangan Kangouw ia sudah bisa melihat pihak menang memaksa pihak yang terdesak. Maka sesudah tertegun sejenak, katanya kemudian. Nah, kau saja Hek- hong-tong-tongcu, lekas kau maju kemari biar aku toyor kau tiga kali dahulu kau menjotos aku sekali, kini aku memberi rante dua kali padamu, Gurumu kalah dengan guruku, apa kau berani membangkang ! Nio Kiat sendiri bukanlah jago lemah, walaupun terkesiap melihat Suhunya tak berdaya merobohkan seorang gadis jelita, tapi kalau ia disuruh terima gebuk mentah2, sudah tentu tidak mau menyerah begitu saja. Maka dengan wajah gusar ia menjadi terpaku ditempatnya. Pengecut, kau tak berani kemari, biar aku mendekati kau ! teriak Tiat-pi Hwesio semakin dapat angin. Segera saja ia melangkah maju dengan tindakan lebar. Ia angkat bogemnya terus menjotos kemuka musuh. Tentu saja Nio Kiat tidak terima mentah-mentah, sekali tangannya membalik menangkis sembari balas mencengkeram kemuka si hwesio. Kalau sampai cengkeraman ini kena, pasti biji mata Tiat-pi akan dicolok keluar. A Siu semula geli melihat kelakuan sang Toute itu tapi ia menjadi terkejut melihat Tiat-pi bakal tertimpah bahaya, cepat dia berseru . Tarik tangan kesamping hantam punggungnya! 163 Terhadap A Siu sekarang Tiat-pi sudah memujanya bagai dewa sakti, maka ia menurut petunjuk itu, tangan dengan cepat ditarik terus melangkah kesamping berbareng tangan yang lain menggebuk punggung musuh. Walaupun A Siu memberi petunjuk seada-nya saja, tapi yang diucapkan itu adalah gerak tipu paling hebat dari Siau-yang-chit-kay mana mampu Nio Kiat menghindarinya. Tanpa ampun lagi punggung nona dihantam dengan keras seketika isi perutnya se- akan2 terjungkir balik dia ter-huyung2 sambil muntahkan darah lalu terkulai ditanah. Tiat-pi sendiri terkesima ketika sekali hantam telah bikin lawannya roboh tak berdaya. Tapi segera serunya . Haha, ternyata kau lebih tak becus dari padaku, sekali gebuk saja tak tahan. Baiklah masih ada dua kali toyoran. biar aku titip dulu padamu, kalau kelak bertemu lagi awas kau! Kedua Sutenya Nio Kiat menjadi heran melihat sang Suheng dijatuhkan orang, tapi gurunya tinggal diam saja. Ketika mereka berpaling, tiba2 terlihat Ki Teng-nio setengah bersandar pada dinding batu dengan muka pucat bagai mayat, kepalanya terkulai dengan mata meram. Hai, Suhu, Suhu! Kenapa kau! teriak mereka beramai. Melihat keadaan Ki Teng-nio rada tidak beres, cepat A Siu mendahului melesat keatas batu disudut empang itu, ia periksa pernapasan orang, ternyata sudah sangat lemah tinggal senen-kemis saja. Ia menjadi tak enak sendiri kalau dirinya tidak datang merecoki, me -hwe-jip-mo atau api nyasar dan darah naik hingga badannya lumpuh, tapi rasanya takkan mati begitu cepat. Tiba2 ia melihat Ki Teng-nio sedikit pentang matanya, ternyata sinar matanya sudah guram, katanya lemah dan hampir tak terdengar . Kain......kain sutera.....merah,..... tapi hanya sekian saja, ketika sekali napasnya sesak putuslah nyawanya ! Kiranya dalam keadaan lumpuh karena tenaga dalamnya yang dilatihnya nyasar ditubuhnya, pula tadi telah kerahkan seluruh tenaga murninya untuk mengeluarkan ilmu Ho-im-liap-hun , tapi tidak membawa hasil apa-apa, saking gusarnya hingga urat nadi sendiri tergetar putus. Sebab itulah maka Ki Teng-nio bisa tewas begitu cepat. Dan sebelum ajalnya ia hendak menuturkan rahasia yang meliputi pedang dan kain suteranya yang merah, namun sudah tak keburu lagi. Hayo, kalian bertiga ada yang tahu rahasia Jin-kiam Ang-leng ( Pedang Hijau dan Kain Merah ) tidak ? tiba2 Tiat-pi Hwesio membentak Kim-teng-sam-sat. 164 Namun Nio Kiat bertiga hanya menggeleng kepala. Sudahlah, Toute, yang mengetahui hanya Ki Teng-nio sendiri dan dia sudah mati, ujar A Siu. Bagus, kini yang tahu rahasia pusaka2 itu mungkin sudah habis mati semua, baik malah, dari pada selalu dibuat rebutan melulu, teriak Tiat-pi. A Siu menghela napas, segera Tiat-pi Hwesio diajaknya tinggalkan puncak gunung itu. Karena tiada tempat tujuan, A Siu sengaja pesiar kesana kemari untuk menambah pengalaman. Dasar otaknya cukup cerdik, maka perlahan2 mulailah ia kenal tulisan. Sebenarnya ia pikir hendak pergi mencari Siau Yan, itu teman kecil yang pernah dikatakan Jin-koh, namun mengingat sang waktu tak mengijinkan, terpaksa ia tidak berani merantau terlalu jauh. Tapi sejak insaf dirinya ternyata berilmu silat sangat tinggi, iapun tidak gegabah turun tangan lagi, wataknya menjadi peramah dan sabar. Begitu pula Tiat-pi Hwesio yang dogol kasar itu banyak terpengaruh oleh kelakuan si A Siu, iapun banyak belajar intisari lwekang dari sang guru itu. Ketika sudah dekat waktunya A Siu harus pulang menemui Lo-liong-thau, Tiat-pi Hwesio seakan-akan otaknya menjadi terang, ia minta tinggal untuk selamanya disuatu biara buat sucikan diri. Karena tak mau memaksa, A Siu lalu pulang sendiri kedaerah Biau. Setiba dipegunungan tempat tinggalnya, sebelum sampai digua itu, dari jauh A Siu melihat Lo-liong-thau dan Tiat-hoa-popo sudah menanti disitu, cepatan saja ia berlari mendekati dan menyapa . Lo-liong-thau, Tiat-hoa-popo, aku sudah kembali! Hem, aku sangka kau takkan pulang lagi! jengek Lo-liong-thau. A Siu, sejak kecil aku membesarkan kau, apa benar kau akan turut segala perkataanku ? Tentu saja, Lo-liong-thau, urusan apakah katakanlah, sahut A Siu. Bukankah kau sudah tahu bahwa pemilihan Seng-co dari tujuh puluh dua gua suku bangsa kita sudah akan dimulai, tutur Lo-liong thau. Dan setiap ada pemilihan, selalu banyak bangsa Han yang datang ikut sayembara tersebut hingga suku kita selalu dikalahkan. Tapi sejak Seng-co kedelapan menghilang, kedudukan itu kalau jatuh lagi ketangan orang Han, lalu pamor suku kita harus ditaruh dimana ? Mendengar itu, diam2 A Siu mengkerut kening, suruh dia pergi bertengkar dengan orang untuk merebut kedudukan apa segala, sesungguhnya sangat bertentangan dengan watak pembawaannya. 165 A Siu, demikian Lo-liong-thau telah melanjutkan, menurut pendapatku, perebutan Seng-co sekali ini tiada yang bisa melawan kau. Suatu hal yang kuharapkan dengan sangat ialah, bila kau sudah menjadi Seng-co, harus kau pimpin kepala tujuh puluh dua gua suku kita datang kemari untuk membawa aku pulang ke Tiok-teng-tiong! Melihat orang berkata dengan sungguh2 dan dari wajahnya tampak itulah satu2nya harapan yang sangat dirindukannya, pula mengingat dirinya telah dibesarkan selama ini, mau tak mau A Siu mengangguk juga. Bagi Lo-liong-thau yang ilmu silatnya sebenarnya masih jauh diatas A Siu, sebenarnya bukan sesuatu hal sulit bila dia mau menonjolkan diri. Tapi dia merasa diwaktu kecilnya telah diusir orang sekampung bagai binatang berhubung sejak dilahirkan badannya dalam keadaan tidak normal, hal mana senantiasa sangat disesalkanyya, maka sekarang kalau dia bisa dipapak oleh pemimpin2 suku mereka, ia merasa barulah cukup untuk menebus sakit hatinya itu. Maka katanya pula . Baiklah, A Siu, bila kau sudah berjanji sekarang bolehlah kau ikut pulang dulu bersama Tiat-hoa- popo! Lantas tampak Tiat-hoa-popo berbangkit, tapi A Siu menjadi terkejut melihat nenek itu jalannya meraba-raba dan geremat-geremet. Hai, kenapakah kau Popo ? tanyanya cepat. Oh, mataku kini sudah lamur, sudah lama aku merasa penyakit mataku akan membutakan mataku, dan barulah tahun lalu aku benar benar lamur sama sekali, sahut Tiat-hoat-popo. tapi jangan kuatir aku kenal jalanan! Lekas A Siu maju memayang nenek itu dan keluar dari gua. A Siu, hendaklah kau ingat baik2 pesanku, janganlah mengecewakan harapanku ! demikian Lo-liong-thau berseru dari jauh. Dengan terharu A Siu menoleh, dia mengangguk dengan perasaan berat. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa kemudian ia akan bertemu dengan Kanglam-it-ci-seng Ti Put- cian hingga lupa daratan akan semua pesan Lo-liong Thau itu. ooOOoo BEGITULAH asal-usul si gadis A Siu itu. Maka ketika Ti Put-cian diam2 mendengar tentang Lo-liong-thau di-singgung2 itu, ia menduga pasti orang tersebut jauh lebih lihay dari A Siu, boleh jadi A Siu akan dipaksa menurut segala perintahnya. 166 A Siu, segera terdengar Tiat hoa popo berkata pula dengan suara gusar, betapapun juga, gadis Han itu sudah sekian lamanya masuk gua itu, rasanya sudah mati keracunan didalam sana. Kalau lewat malam ini ia tidak kembali, perebutan Seng-co akan diulangi lagi, dan kau masih ada kesempatan baik, maka harapan Lo liong thau hendaklah jangan kau kecewakan. Sebenarnya A Siu sama sekali tidak pikirkan tentang kedudukan Seng co segala, yang terbayang selalu olehnya melulu sisastrawan muda ganteng itu. Namun iapun ingat benar akan budi kebaikan Lo-liong-thau serta pesannya diwaktu hendak berpisah. Maka akhirnya ia menyahuti dengan suara berat . Baiklah, Popo, aku akan berbuat sekuat tenagaku. Melihat pembicaraan mereka sudah selesai, cepat Ti Put-cian gunakan ilmu entengi tubuhnya lagi kembali ketepi empang sebelah sana, ia sembunyi disemak-semak, maka tertampaklah Tiat-hoa-popo keluar lebih dulu dan A Siu ikut dibelakangnya. Sungguhpun nenek itu tidak sedikit mendapatkan intisari dari Siau-yang-chit kay yang diajarkan Lo- liong-thau kepadanya, tapi kalau dibandingkan A Siu, benar2 ilmu entengi tubuh si gadis itu jarang ada bandingannya. Malahan sesudah jauh, A Siu masih menoleh lagi sekejap kearah sembunyinya Ti Put-cian. Maka Ti Put-cian yakin jejaknya memang sudah dapat diketahui gadis itu. Iapun semakin heran melihat ilmu kepandaian A Siu yang luar biasa itu, sekalipun jago terkemuka dari Tiong goan, rasanya juga tidak lebih dari dia. Ia menunggu sesudah kedua orang sudah pergi jauh barulah ia kembali kegua tempat pertandingan itu. Sementara itu orang-orang Biau masih terus menari dan menyanyi walaupun sesungguhnya sudah tidak sabar menantikan kembalinya Jun-yan dari gua labah2 berbisa itu, sebab mereka menyangka sembilan bagian gadis itu sudah tewas didalam. Ketika Ti Put-cian melihat sekitarnya, ia lihat orang2 Han yang berada disitu tadi sudah pergi semua. A Siu sendiri dengan rambut terurai lagi duduk termenung disuatu gua itu. Pelahan2 ia mendekati gadis itu dan menegurnya. A Siu terkejut oleh teguran itu, tapi ia menjadi girang ketika tahu siapa yang berhadapan dengan dia. Sungguh sejak hidup dipegunungan tanpa gangguan suatu pikiran apa pun, A Siu sama sekali lepas bebas dari segala ikatan batin, sebab itulah 167 sampai ilmu Ho im-liap-hun Ki Teng-nio yang lihay juga tak mempan terhadapnya. Tapi aneh, sejak bertemu dengan Ti Put-cian, hati si gadis seperti kena guna2. Maka dengan ter-mangu2 A Siu mendongak memandangi Ti Put-ciang dengan sinar mata penuh arti. Sudah tentu Ti Put-cian yang licin tahu akan maksud hati gadis jelita itu. Ia pikir sangatlah kebetulan akan dapat memperalat si gadis yang lagi dibutakan cinta itu. Maka dengan lagu suara merayu iapun berkata pula. A Siu percakapanmu dengan Tiat-hoa popo tadi sudah kudengar semuanya. Aku sangat berterima kasih akan kesungguhan hatimu kepadaku. Tapi siapakah gerangan Lo-liong-thau itu ? Apakah kepandaiannya lebih lihay dari kau? Ya, sahut A Siu mengangguk, ia jauh lebih lihay dariku. Dia boleh dikata adalah Suhuku. Untuk beberapa saat Ti Put-cian tercengang tapi segera timbul lagi akal kejinya, katanya kemudian . A Siu, betapa bahagiaku apabila mendapatkan cintamu yang kukuatirkan justru pertanggungan jawabmu terhadap Lo-liong-thau sedang mengenai kedudukan Seng-co bagiku tidak ada artinya. Nyata betapa liciknya akal Ti Put-cian ini. Mula2 ia telah peralat Lou Jun-yan berhubung gadis ini mempunyai andalan bantuan si orang aneh yang berkepandaian luar biasa itu. Kini mendengar A Siu adalah Lo liong thau yang katanya jauh lebih lihay itu, lantas timbul pikiran akan memperalat A Siu untuk menarik bantuan dari kakek aneh itu. Sebab itulah ia curahkan segenap kepandaiannya untuk memikat hati A Siu dengan kata2 penuh manis madu. Ujarnya akhirnya . Betapa beruntungku apabila kelak akupun dapat mengangkat guru juga Lo liong thau. Sudah tentu A Siu sangat terharu akan kesungguhan hati sang kekasih, sama sekali dia tidak bercuriga, maka dengan asyik sekali mereka tenggelam dialun asmara. Sementara itu Jun-yan masih belum keluar dari gua meski sudah lewat sehari semalam. Padahal saat mana Jun-yan sama sekali tidak tewas oleh racun saput labah2 yang jahat didalam gua itu, malahan sesudah ditutuk oleh manusia aneh itu, sejam kemudian jalan darahnya sudah lancar kembali lalu ia gerayangi seluruh isi kamar batu 168 didalam gua itu dan dapat menemukan sebarang pedang kuno yang berwarna hijau gelap, pula sepotong kain sutra merah lalu keluar dari kamar itu. Tapi bagi yang menanti diluar gua sampai sekian lama itu, mereka menyangka si gadis pasti sudah mati didalam. Maka dengan ramai2 mereka menuntut diadakannya pemilihan ulangan terutama Ti Put-cian sebagai orang kedua sesudah Lou Jun-yan menjatuhkannya maka hak utama jatuh kepadanya untuk menyusul kedalam gua beracun yang dimasuki lebih dulu oleh Jun yan itu. Sebab itulah belum jauh Put-cian masuk gua, tepat kepergok Jun-yan yang lagi keluar dari kamar batu itu. Begitulah, maka Ti Put-cian sangat terkejut ketika mengetahui Jun-yan ternyata belum mati. Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Namun sebagai seorang licik, sama sekali ia tidak memberi tanda2 mencurigakan, ia malah pura2 menyatakan kuatir atas keselamatan si gadis, maka sengaja datang mencarinya. Dasar hati anak gadis, mudah disanjung dan gampang dirayu, walaupun sangat panas ketika melihat kelakuan Ti Put-cian terhadap A Siu, namun kini sesudah berada berduaan serta diuruk dengan kata2 madu, kembali ia lupa daratan, malahan Jun-yan merasa sangat bersyukur orang telah menyusul padanya. Maka sembari bicara mereka melanjutkan kedepan. Kalau diam2 Ti Put-cian sedang memikirkan akal keji cara bagaimana melenyapkan Jun-yan untuk se-lama2nya didalam gua ini, adalah sebaliknya Jun-yan meski biasanya nakal lincah, namun sifat aslinya sebenarnya tidaklah jahat. Sama sekali ia tidak bayangkan bahwa elmaut sebenarnya setiap saat akan mencabut nyawanya. Ketika suatu saat dimana obor mereka menyorot, mereka dikagetkan oleh sinar kemilauan yang menyilaukan mata. Untuk sejenak Jun yan merandek hingga tanpa merasa Ti Put-cian mendahului kedepan beberapa kaki jauhnya. Pada saat itu tiba2 Jun- yan merasa angin berkesiur suatu bayangan secepat kilat melesat lewat di sampingnya, dari samping gua yang gelap itu, tiba2 ia merasa tangannya sudah bertambah sesuatu benda, ketika ia memeriksanya, kiranya adalah sebatang pedang, yaitu pedang kuno yang diketemukan didalam gua tadi, tapi ditinggalkannya itu. Kembali hati Jun-yan terkesiap, nyata gerak bayangan secepat itu, siapa lagi kalau bukan si orang aneh itu. Ketika ia pandang Ti Put-cian, pemuda itu ternyata sudah sampai dimulut gua didepan sana. Maka tanpa pikir iapun gantung pedang itu dipinggangnya. Ternyata diujung gua ini sedikit menurun, menyambung pula sebuah gua yang lebih besar dan lebar. Gua besar ini tampak sangat lembab dengan air lumpur sedikitnya 169 setinggi betis. Gua besar ini tidak panjang, sebab tampak sekali diujung sana sinar sang surya menyorot dengan terangnya. Anehnya dilorong gua ini banyak terdapat jaring labah2 sebesar mata uang dengan warna yang sangat indah. Sedang ditengah jaring yang wujutnya bagai selapis saput itu berdiam masing2 seekor labah-labah yang berwarna kehijau-hijauan. Nampak ini, kedua orang itu sama terkejut, mereka tahu itu labah-labah mata uang serta saput mata uang sangat berbisa yang harus dilalui itu. Ketika Jun-yan coba melongok kebawah, tanpa merasa ia berseru kaget. Ternyata dibawah gua yang becek dengan air lumpur itu terdapat berpuluh rangka tulang belulang yang sebagian sudah lapuk, agaknya karena tak tahan akan rendaman air itu. It-ci Toako, Seng-co apa segala aku tidak pingin lagi, biarlah orang Biau mereka yang menjabatnya saja, kata Jun-yan sambil mundur beberapa tindak. Sebenarnya Ti Put-cian sudah ambil keputusan segera akan bereskan nyawa si gadis, dengan demikian ia akan keluar gua sendirian dan kedudukan Seng-co itu terang berada di tangannya. Namun menghadapi rintangan gua luar biasa ini, mau tak mau ia kehabisan akal. Aneh, ujarnya kemudian. Lazimnya, kalau sudah ada delapan angkatan Seng-co, tentu gua ini ada jalan keluarnya. Lalu cara bagai manakah mereka melalui gua ini ? Peduli amat, sahut Jun yan, kenapa kita mesti adu jiwa hanya untuk jadi Sengco segala ? Namun Put cian tidak menghiraukannya, ia angkat obornya tinggi2 dan memeriksa disekitarnya. Ia lihat kecuali sebuah lubang gua ini, sekitarnya hanya dinding batu belaka yang terjal, terang tiada jalan tembus lain lagi. Karena kehabisan akal, tiba2 timbul maksud kejinya, ia pura-pura berseru . Lihatlah, apakah itu! Tanpa curiga suatu apa, cepat Jun-yan mendekatinya dan melongok ketempat yang ditunjuk. Pada saat itulah sebelah tangan Ti Put-cian sudah pegang pundaknya, asal sekali dorong saja, pasti Jun-yan akan terjerumus kedalam gua yang penuh sarang labah2 itu. Tapi ketika ia hendak kerahkan tenaga, mendadak dilihatnya dipinggang si gadis tergantung sebatang pedang, walaupun sarungnya tidak menarik, tapi bentuknya rada aneh. Hatinya tergerak, ia urung mendorong. 170 Sudah tentu Jun-yan tidak insaf bahwa barusan saja sebelah kakinya sebenarnya sudah melangkah masuk lubang kubur, dengan heran ia masih menanya . He, ada apakah kau bilang tadi ? Ti Put-cian menjadi terkejut, cepat sahutnya . Oh, ah, tidak, tadi aku kira semacam binatang aneh didalam air lumpur itu. Lalu ia bilukkan perkataannya dan menanya . Eh, kenapa sekarang kau punya pedang ? Ehm, aku sendiripun heran, tahu-tahu pedang ini berada ditanganku, mungkin pemberian si orang aneh itu, sahut Jun-yan. Habis ini, tanpa pikir ia tanggalkan senjata itu dan diangsurkan pada Put-cian. Put-cian mundur beberapa langkah dulu dan kemudian melolos pedang itu, ia lihat pedang itu gelap tanpa bersinar, tipis bagai kertas, enteng seperti tiada bobot. He, Tung- kau kiam ! tanpa merasa ia berseru. Nyata sebagai seorang cendekia, Put-cian banyak membaca dan mempelajari sejarah, maka ia tahu bahwa Tung-kau-kiam itu termasuk salah satu pedang pusaka tertajam yang digembleng oleh ahli pedang Au-ti-cu dijamannya Liat kok. Sebagai seorang tokoh persilatan, tentu saja Put cian sangat kesemsem oleh pedang pusaka demikian ini. Dan apabila ia periksa lebih teliti, ternyata digaran pedang itu terukir pula beberapa baris huruf kecil, ia membacanya dan untuk beberapa saat ter-menung2. It-ci Toako, tulisan apakah yang berada dipedang itu ? Tung kau kiam apa katamu tadi ? tanya Jun yan heran. Oh, digaran pedang ini tertulis bahwa pedang ini bernama Tung-kau-kiam dan asalnya milik Kiam sin Khong Siau lin dari Siangyang, tutur Put cian terpaksa. Kiam-sin Khong Siau-lin? Siapakah dia? Jun-yan mengulangi dengan heran. Ti Put-cian menjadi melengak mendengar pertanyaan itu, ia heran mengapa guru si gadis Thong-thian-sin-mo Jiau Pek-king tidak pernah mengatakan padanya tentang siapa Khong Siau lin itu? Padahal setahunya Kiam-sin atau dewa pedang Khong Siau lin dari Siangyang itu justru adalah gurunya Jiau Pek-king yang pada lebih dua puluh tahun yang lalu namanya sangat tersohor dikalangan Bu lim. Karena ilmu pedangnya tiada bandingannya maka orang memberikan julukan Kiam-sin atau dewa pedang padanya. Ketika Jiau Pek king mengangkat guru padanya, usia kedua orang itu selisih tidak banyak. Tapi karena watak Jiau Pek king yang lain dari pada yang lain maka sering 171 guru dan murid itu saling bertengkar. Namun Khong Siau lin cukup sabar dan dapat memahami tabiat buruk sang murid, sedapat mungkin ia coba menginsafkannya. Suatu kali, untuk sesuatu keperluan guru dan murid itu telah keluar, tapi pulangnya hanya Jiau Pek king saja sendirian sedang Khong Siau lin untuk seterusnya tak diketahui jejaknya lagi. Sudah tentu keluarga Khong mengusut keselamatan Khong Siau lin kepada Jiau Pek-king, namun Pek-king justru sama sekali tidak mau menerangkan, karuan semakin menimbulkan curiga orang, jangan2 Pek-king yang mencelakai sang guru sendiri tapi terhadap tuduhan demikian iapun tidak membantah. Berhubung dengan peristiwa ini, sudah ber-kali2 terjadi percekcokan dikalangan Bu lim, namun banyak juga kawan yang kenal baik Jiau Pek-king, walaupun wataknya menyendiri, namun bilang membunuh guru sendiri, rasanya tidak mungkin. Urusan itu masih terus berlarut2 tidak pernah selesai dengan sendirinya Jiau Pek-king pun meninggalkan perguruan dan tindak tanduknya semakin tak terkekang, maka akhirnya mendapatkan julukan Thong-thian-sin-mo atau iblis raksasa maha sakti. Kini Tun-kau-kiam ini terukir sebagai miliknya Khong Siau lin, padahal sebelum menghilang, orang tidak pernah melihat dia menggunakan pedang demikian maka dapat diduga pedang ini tentu diperolehnya sesudah orangnya menghilang, lalu kenapa bisa terdapat ditengah gua sunyi didaerah Biau ini ? Betapapun cerdiknya Ti Put-cian menghadapi soal ini iapun merasa bingung. Semula Jun-yan pun tidak kenal siapakah Khong Siau lin itu, tapi lantas teringat olehnya diwaktu kecilnya, pada suatu hari seperti pernah ada seorang lelaki yang berbaju compang camping, dipundaknya menggandul dua buah buli2 besar, tengah malam buta mengunjungi gurunya. Disitu kedua orang telah pasang omong sambil minum arak dengan bebas puas, sampai fajar barulah orangnya pergi. Esok paginya ketika dia tanya sang guru, maka sekedar gurunya telah memberitahu padanya nama orang itu seperti Khong Siau-lin apa, cuma waktu itu masih terlalu kecil, maka tidak menaruh perhatian. Begitulah, selagi ia termenung2, tiba2 ia mendengar bentakan Ti Put-cian yang seram. Dengan terkejut ia berpaling dan segera ia berteriak . He, kau ... kau ... tapi belum sempat ia berkata lebih banyak, tahu2 sinar hijau berkelebat, dengan sorot mata yang bengis, saat itu Ti Put-cian telah tusukan pedang Tun-kau-kiam kedadanya. Namun pada detik yang menentukan itulah, tiba2 terdengar dibelakang sana ada suara gerengan tertahan, mendengar itu, seketika tangan Ti Put-cian tergetar dan tanpa 172 merasa gemetar. Sebaliknya semangat Lou Jun-yan menjadi terbangun, ketika ia pandang kedepan, ia lihat si orang aneh yang selama ini selalu mengintil dibelakangnya itu sudah berada lagi disitu tidak jauh dari Ti Put-cian. Sementara itu terdengar suara mencicit nyaring dua kali, dua butir batu kecil secepat kilat telah menyambar, sebutir kearahnya dan yang lain menuju pergelangan tangan Ti Put-cian. Segera Jun-yan merasa pinggangnya kesemutan, nyata ia sudah tertutuk oleh sambitan batu kecil itu hingga badannya berdiri kaku disitu. Berbareng itu mendadak tampak tangan Ti Put-cian sedikit ditarik, namun sudah terdengar suara Ting yang nyaring, batu kecil tadi tepat kena diatas jari tunggalnya yang berselongsong emas itu, tangannya tergetar pegal, cekalannya kendor dan pedang Tun-kau-kiam terjatuh ketanah. Kejadian2 itu berlangsung dalam sekejap saja, kalau pedang Ti Put-cian tadi sempat diulurkan sedikit lagi, pasti tubuh Jun-yan akan tertembus atau jika melompat mundur tentu akan ditelan lumpur serta sarang labah-labah di gua sebelah bawahnya itu. Syukurlah saking jeri terhadap orang aneh itu, begitu muncul lantas Ti Put-cian gemetar ketakutan dan sesudah pedangnya jatuh ketanah, orangnya terus melompat kesamping. Mendadak orang aneh itupun putar tubuh dan melontarkan sekali pukulan dari jauh, begitu keras angin pukulannya hingga debu berhamburan didalam gua itu, lekas2 Ti Put-cian jatuhkan diri kesamping pula dan dengan cepat menggelundung pergi sampai 7-8 kaki jauhnya. Habis ini cepatan saja ia merangkak bangun terus berlari sipat kupingnya keluar gua sana. Manusia aneh itupun tidak mengejar, dengan mulutnya ternganga sambil mengeluarkan suara. Ah ah dia mendekat Jun-yan serta menuding2 kebelakang si gadis. Untuk sejenak Jun-yan merasa bingung, tapi kemudian iapun paham akan maksud orang sebabnya menyambitkan batu menutuk jalan darahnya ialah kuatir kalau dia melompat kebelakang hingga terjerumus kedalam gua yang lebih besar itu. Tapi segera ia menjadi heran pula, terang mata orang aneh ini sudah buta mengapa justru tahu ada gua yang menurun dibelakangnya dengan sarang labah2 beracun itu ? Kenapa terhadap keadaan dalam gua ini orang seperti apal betul? Sedang dia memikir, sementara itu orang aneh ini sudah mendekatinya serta menepuk perlahan dipundaknya untuk melancarkan jalan darahnya. 173 Tatkala mula2 Jun yan melihat manusia aneh ini, ia merasa rupa orang lebih mirip setan daripada manusia. Tapi kini kalau dibandingkan Ti Put-cian yang berwajah cakap ganteng itu namun berhati palsu dan keji, ia merasa muka si orang aneh ini tiba2 seperti muka yang penuh welas asih. Banyak terimakasih atas pertolonganmu tadi, kata Jun-yan kemudian sambil menjemput Tun-kau-kiam yang jatuh ditanah ditinggalkan Ti put-cian tadi. Walaupun tusukan Ti Put-cian tadi gagal mencelakai Jun-yan, namun sejak inilah corak asli pemuda yang berhati palsu dan berjiwa keji itu sudah dapat diketahui si gadis. Sejak kecil Jun-yan sudah berada dibawahan asuhan gurunya, Thong-thian-sin- mo Jiau Pek-king, maka pengaruh jiwa sang guru itu menjadikannya enteng pikir, mudah menerima dan gampang melepas. Sungguhpun tadinya hati kecilnya mulai bersemi cinta pada Ti Put- atannya yang rendah' ia malah bersyukur dapat mengetahui kepalsuan orang sebelum terlambat. Sementara itu si orang aneh masih ah ah uh uh tak jelas apa yang hendak dikatakannya. Melihat itu, hati Jun-yan menjadi terharu dan merasa kasihan, dengan suara lembut ia menanya . Paman aneh, aku tidak mengerti apa yang hendak kau katakan. Akupun tidak kepingin jadi kepala orang-orang Biau segala, marilah kau ikut aku pulang ke Jin-sia-san, nanti kumohon Suhu agar mencarikan tabib terpandai untuk menyembuhkan kau? Tapi orang aneh itu hanya miringkan kepalanya seperti mendengarkan, sesudah Jun yan selesai bicara, kembali dari tenggorokannya keluar pula suara gerengan tertahan yang susah dimengerti apa maunya. Marilah paman aneh, kita pergi saja, ujar Jun-yan sambil melangkah maju. Diluar dugaan, baru beberapa langkah, mendadak si orang aneh itu merintangi sembari tarik lengannya dan diseretnya pergi cepat. Semula Jun-yan terkejut, tapi mengingat ia selalu melindungi dirinya, rasanya tidak nanti bermaksud jahat, maka iapun tidak melawan dan membiarkan dirinya dibawa kembali kedalam kamar batu itu. Sesudah berada didalam kamar batu itu, segera orang aneh itu lepaskan si gadis terus me-raba2 kedinding kamar itu, Sampai suatu sudut, tiba2 ia berhenti, lalu terdengar pula ia menggereng tertahan, ia mencengkeram dengan jarinya, tahu2 bubuk dinding ditempat itu berhamburan, ternyata sebuah lubang kecil 174 tembus kena terkamannya itu. Sungguh tidak kepalang terkejutnya Jun-yan melihat betapa lihai tenaga jari orang. Sedang Jun-yan ternganga kagum, sekonyong-konyong orang aneh masukan tangannya kedalam lubang kecil itu, ketika ia tarik sikutnya, dibarengi suara gemuruh yang keras, tahu-tahu sepotong batu besar dinding itu telah kena disingkirkan hingga berwujut sebuah lorong yang menurun. Jun-yan bertambah kaget, namun saat itulah si orang aneh itu telah baliki badannya terus pegang pundak si gadis, dan sebelah tangan lain mengangkat pinggangnya hingga tubuhnya terangkat naik. He, he, apa2an ini ! teriak Jun-yan sambil kedua kakinya meronta2. Namun orang aneh itu tak memperdulikannya, tubuh Jun-yan tetap diangkat dan dimasukkan kedalam lubang besar itu dan terus didorong sekuatnya, Jun-yan merasa tubuhnya merosot kebawah dengan cepat oleh dorongan suatu tenaga yang besar, ia terus meluncur kebawah hingga berpuluh tombak jauhnya, ketika tiba2 tubuhnya menggelundung diatas semak2 rumput dan matanya terbeliak, ternyata dirinya sekarang sudah berada disuatu goa besar yang tidak jauh dari situ nampak ada cahaya sang surya, ia merangkak bangun dan berjalan keluar, waktu ia menoleh dan coba memanggil paman aneh , namun tiada sesuatu suara sahutan. Sesudah berada diluar gua itu, ia dapat mengenali tempat itu adalah tempat yang pernah dilaluinya diwaktu datang bersama Ti Put-cian tempo hari. Cepat Jun-yan masukkan pedang kesarungnya, ia pikir tentu Ti Put-cian masih berada dilembah kurung itu, biarlah mencari padanya untuk bikin perhitungan. Maka segera ia berlari menuju kepintu besi yang sudah dikenalnya itu, beberapa orang Biau yang tinggi besar penjaga pintu menjadi terkejut demi nampak datangnya Jun-yan, se-konyong2 mereka letakkan tombak mereka serta berjongkok ketanah memberi sembah, lalu bersorak sorai se-keras2nya hingga mengejutkan kawan-kawannya yang berada disebelah dalam. Ketika pintu dibuka dan Jun-yan masuk kelembah kurung didalamnya, suku Biau yang sedang menyanyi dan menari itu mendadak berhenti, seluruh pandangan diarahkan padanya. Masih Jun-yan hendak mencari Ti Put-cian yang mungkin campurkan diri diantara orang banyak tapi ternyata tak kelihatan batang hidungnya. 175 Hanya sebentar saja suasana menjadi sunyi, mungkin saking herannya karena Jun- yan bisa keluar dari gua sarang labah2 berbisa dengan selamat. Namun sejenak kemudian tiba2 genderang berbunyi lagi, suara sorak sorai gegap gempita memecah bumi. Terlihatlah tujuh puluh dua orang Biau dibawah pimpinan Tiat-hoa-popo telah berlutut ditanah memberi sembah sambil bersorak . Tongcu dari tujuh puluh dua gua menyampaikan sembah bakti kepada Seng-co kesembilan! Untuk sesaat Jun-yan tercengang, ia pikir dirinya belum mampu menembus gua sarang labah-labah berbisa itu, kenapa mereka telah menganggapnya sebagai Seng-co ? Tapi segera iapun menjadi jelas, sebab dirinya datang kembali melalui pintu besi diluar sana, sudah tentu orang tak tahu apakah datangnya itu menembus gua labah- labah itu atau tidak. Dasar sifatnya yang masih kekanak-kanakan, ia menjadi senang ketika melihat semua orang begitu menghormat kepadanya betapa jayanya menjadi kepala suku Biau. Maka dengan tersenyum ia memberi tanda agar semua orang berdiri. Dengan ber-bondong2 lalu Jun-yan disongsong ke 72 kepala gua itu keatas panggung batu ketika Tiat-hoa-popo memberi tanda, kemudian suasana menjadi sunyi lagi, lalu dia angkat bicara dengan suaranya yang tajam. Walaupun Lengpay (lencana tanda perintah, mandaat) Seng co telah dihilangkan sejak lenyapnya Seng-co ke 8 dan hingga kini belum diketemukan, namun sesudah Seng-co baru sekarang kita angkat, kita tetap akan menurut dan tunduk kepada segala perintah Seng-co. Habis itu Tiat-hoa-popo berpaling minta petunjuk kepada Jun-yan apakah sebagai Seng-co baru ada petua apa2 yang perlu disampaikan. Sudah tentu si gadis gelagapan entah apa yang harus dikatakan, ia hanya minta Tiat-hoa-popo menyampaikan kepada para kerabat agar tetap hidup damai berdampingan, semoga makmur dan bahagia. Sembari berkata ia coba men-cari2 lagi Ti Put-cian diantara orang banyak, tapi masih tak diketemukan. Sementara itu Tiat-hoa-popo menuturkan lagi kepada Jun-yan, tentang adat istiadat serta kewajiban2 seorang Seng-co, bahwa tiap sebulan sekali Seng-co harus bergiliran tinggal bersama disetiap gua dengan suku bangsanya, sesudah itu barulah boleh pilih tempat kediaman sendiri untuk selamanya. Diam2 Jun-yan mengeluh akan ikatan demikian itu. Masakan ia harus tinggal untuk selamanya didaerah Biau ini. 176 Tiat-hoa-popo, jika menurut penuturanmu, jadi Seng-co sama sekali tak boleh tinggalkan tempatnya ini ? Tentu saja boleh, sahut sinenek, asal sebelumnya ia mengangkat seorang wakilnya. Aha, jika begitu, Tiat-hoa-popo adalah seorang yang paling dihormati diantara sukumu, padahal masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan ditempat lain, maka biarlah sementara ini aku angkat kau sebagai wakilku, mumpung seluruh kepala tujuh puluh dua gua berada disini, sekarang juga aku umumkan maksudku ini. Betapa girangnya Tiat-hoa-popo, hampir2 ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Saking terharu sampai air matanya meleleh, segera ia sampaikan keinginan Jun-yan kepada para kawannya, maka didahului sinenek, kembali para kepala gua itu berjongkok menyembah lagi. Lapor Seng-co, demikian Tiat-hoa-popo berkata pula, Sebenarnya Seng-co Baru mendengar sampai disini, se-konyong2 Jun-yan merasa sesosok bayangan berkelebat dari samping, tanpa pikir Jun-yan meraup dengan tangannya serta memandang kearah datangnya bayangan itu. Tetapi ia menjadi heran ketika tiada seorangpun disitu, hanya tangannya tahu-tahu bertambah satu bungkusan hitam entah apa isinya, cuma bobotnya terasa agak antap, waktu ia buka, ia menjadi tercengang. Ternyata isi bungkusan itu adalah dua belas buah lencana emas segi tiga, diatas lencana2 itu terukir gambar yang ber-beda2. Saking herannya Jun-yan membolak-balik lencana-lencana itu untuk dilihat hingga mengeluarkan suara yang gemerincing. Ia menjadi heran, darimanakah datangnya lencana-lencana emas ini dan apa gunanya ? Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tiat-hoa popo berhenti menutur, tapi dengan cermat sedang mendengarkan suara gemerincing yang diterbitkan lencana2 emas itu. Benda apakah yang kau pegang itu, Seng-co? tiba2 ia menanya. Entahlah, tapi bentuk lencana segitiga dan seluruhnya ada dua belas buah, sahut Jun-yan. Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ha? seru Tiat-hoa-popo kaget, lalu dengan suara terharu pintanya . Dapatkah aku meraba sebuah diantaranya ? 177 Segera Jun-yan serahkan sebuah lencana emas itu ditangan sinenek. Ketika nenek itu sudah meraba dan pegang2 lencana itu dengan teliti mendadak wajahnya berobah hebat, lalu dengan suara keras ia berkata dalam bahasa Biau. Jun-yan bingung oleh kelakuan orang. Ia lihat orang2 Biau yang tadinya bersorak- sorai tadi, kini mendadak berdiam lagi, lalu Tiat-hoa-popo angkat lencana tadi tinggi2 sembari mengucapkan serentetan kata2 lagi dalam bahasa mereka, maka orang2 Biau itu kembali menjura lagi dengan hikmatnya. Selagi Jun-yan hendak menanya, tiba2 sinenek berganti dalam bahasa Han dan berkata padanya . Lencana Seng-co sudah hilang selama tiga puluhan tahun, kini mendadak berada ditangan Seng-co baru, ini suatu tanda rejeki Seng-co baru yang maha besar dan suku Biau menerima rahmatnya. Jun-yan berseru kaget oleh penjelasan itu, jadi lencana itulah Lengpay yang dianggap benda keramat oleh bangsa Biau. Lalu siapakah tadi yang menimpukkan kepadanya ? Apakah orang aneh itu ? Padahal orang aneh itu diketemukan Jing-ling- cu dijurang Ciok-yong-hong di-pegunungan Hengsan, dari manakah ia dapat memperoleh Lengpay dari Seng-co 72 gua suku Biau ini ? Dan karena masih tidak mengerti, akhirnya Jun-yan bertanya. Lalu apakah gunanya Leng pay ini, Popo? Lengpay ini adalah tanda kebesaran Seng-co, tutur Tiat-hoa-popo. Beratus ribu suku Biau kita akan tunduk pada segala perintah Seng-co asal melihat Lengpay itu. Diam2 Jun-yan bergirang akan manfaat lencana kebesaran itu. Maka ia ambil enam buah diantaranya, sisa enam buah lainnya ia serahkan kepada sinenek serta mengumumkan dihadapan 72 kepala gua itu, bahwa untuk sementara berhubung urusan penting yang harus diselesaikannya didaerah lain, maka Tiat-hoa-popo ia angkat sebagai wakil mandaat penuh sesuai dengan enam buah lencana yang diserahkan padanya itu. Dengan sorak gemuruh para orang Biau itu menyatakan setuju, saking terharunya kembali Tiat-hoa-popo meneteskan air mata. Pada saat itulah tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat, tahu seorang telah melompat keatas panggung, kiranya adalah A Siu yang lincah itu. Walaupun tadinya merasa cemburu oleh karena melihat A Siu kesemsem pada Ti Put-cian namun sesudah tahu perangai jahat pemuda itu Jun-yan merasa gegetun malah bila si gadis cantik ini terpikat oleh pemuda yang tak bermoral itu. Memangnya 178 iapun suka bersahabat, terutama terhadap seorang gadis jelita yang lincah seperti A Siu ini, maka segera ia menyapanya dengan tertawa . Eh, adik ini siapakah namanya ? Aku bernama A Siu, sahut si gadis dengan tersenyum. Kemarin Jun-yan sudah menyaksikan juga betapa A Siu telah robohkan Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin hanya dengan sekali-dua gebrakan saja, terang ilmu silatnya sangat tinggi, A Siu, hebat sekali kepandaianmu. Siapakah suhumu ? segera ia tanya. Lapor Seng-co, aku tak punya Suhu.'' sahut A Siu terus terang. Aneh, diam2 Jun-yan membatin. Segera ia pun membisiki A Siu . Harap kau jangan sebut aku Seng-co umur kita sepadan, panggillah padaku enci saja. Mana boleh jadi? sahut A Siu tertawa. Sebab apa? tanya Jun-yan. Kau adalah Seng-co, mana boleh terang2an aku panggil kau enci? sahut A Siu. Tapi lantas ia membisikan pula . Hanya kalau sudah diluar daerah sini, barulah tidak menjadi soal. Melihat sifat dan tutur kata A Siu berbeda dengan orang Biau lainnya, Jun-yan bertambah suka padanya. Tiba2 ia ingat akan diri Ti Put cian lagi, maka tanyanya . A Siu dimanakah pemuda satu jari itu. Seketika wajah A Siu bermuram durja sahutnya . Tidak lama baru saja ia keluar dari gua, lantas buru2 pergi ingin aku menyusulnya tapi dicegah Popo sebab bila kau masih belum keluar gua pada waktunya orang berikutnya adalah giliranku. A Siu apakah kau suka pada pemuda itu? tanya Jun-yan melihat wajah A Siu tiba- tiba muram demi mendengar Ti Put-cian disebut. Sebenarnya ia hendak menasehatkannya tentang jiwa kotor pemuda itu, tapi urung. Sebaliknya A Siu tidak menjawab, ia hanya mengangguk sambil memandang dengan sinar mata yang jernih dan mantap. A Siu, karena urusan lain aku harus tinggalkan tempat ini dahulu, apakah kau suka ikut bikin perjalanan bersamaku ? kata Jun-yan kemudian. Tentu saja A Siu bergirang, memangnya ia ingin sekali bisa menyusul buah hatinya. Asal bisa menyusul buah hatinya. Asal bisa ikut pergi bersama Jun-yan, harapan 179 bertemu tentu sangat besar. Maka tanpa ragu2 lagi ia mengia, segera ia bicarakan hal itu dengan Tiat-hoa-popo. ENGAN enam buah lencana, sudah tentu Tiat-hoa-popo dapat bertindak sesukanya seperti Seng-co. Maka iapun tidak merintangi akan kepergian A Siu bersama Jun-yan. Besoknya, kedua gadis itu lantas berangkat dihantar oleh 72 kepala gua Biau hingga jauh. Sesudah menginjak daerah, dengan tertawa Jun-yan berkata pada A Siu. Nah, sekarang kau boleh panggil enci, bukan? Betul juga A Siu lantas memanggil enci kembali padanya. Karenanya Jun-yan kegirangan. Selama ia berkelana di kangouw, siapa saja kalau tidak menyebutnya anak dara, tentu memakinya budak liar, tetapi belum pernah orang memanggil taci padanya. A Siu, kata Jun-yan pula. Walaupun kita bukan saudara kandung, tetapi menurut kebiasaan bangsa Han kami, kita bisa mengangkat saudara. Ya, ya, aku tahu, bangsa Han suka angkat saudara sehidup semati, ujar A Siu. Eh, darimana kau tahu, apa pernah kau pergi kenegeri kami ? tanya Jun-yan heran. Pernah, ketika pergi bersama muridku, kata A Siu. Muridmu ? Jun-yan menegas dengan heran, ah bagus bakal ada orang memanggil aku Supeh, tentu! Dan siapakah nama muridmu itu? Dimana dia sekarang ? Muridku adalah seorang Hwesio gede, namanya Tiat-pi Hwesio, sebulan yang lalu tinggal disuatu biara, mungkin masih disana, tutur A Siu. Mendengar nama Tiat-pi Hwesio, Jun-yan bertanya. itu paderi jahat terkenal disekitar Hunlam ? Benar, walaupun orangnya kelihatannya jahat, sebenarnya tidak demikian, ujar A Siu. 180 Lalu iapun ceritakan pengalamannya dahulu ketika merantau bersama Tiat-pi Hwesio ke-daerah Hunlam dan Kuiciu. Melihat A Siu sama sekali tidak menyinggung ilmu silat yang dimilikinya, diam2 Jun-yan sangat ingin mengetahui sampai dimanakah sebenarnya ilmu kepandaian gadis jelita itu, meski sudah terang sangat tinggi seperti waktu menghajar Cu Hong-tin diatas panggung batu, tapi gaya aslinya masih belum jelas kelihatan seluruhnya. Siapakah gurumu, A Siu ? tanyanya kemudian. Namun A Siu hanya geleng2 kepala saja dan menjawab . Aku tak punya guru. Diam2 Jun-yan tidak percaya, masakan tanpa Suhu dapat mempelajari ilmu silat setinggi itu, bahkan jauh lebih unggul daripada Kang lam-it-ci-seng Ti Put-cian yang sudah ngacir itu. Ia pikir mungkin peraturan perguruan yang melarang memberitahukan orang luar, maka A Siu tak mau bilang. Maka iapun tidak menanya lebih jauh. Petangnya tibalah mereka disuatu kota kecil, setelah mendapatkan hotel, Jun-yan minta pelayan menyediakan alat sembayangan dan sekedar sesajen, karena ia hendak mengangkat saudara dengan A Siu. Selesai upacara singkat itu, Jun-yan pikir sebagai enci, sepantasnya memberi sesuatu tanda mata padanya. Tetapi merasa tidak membawa barang2 apa yang berharga, pedang Tun-kau-kiam ia merasa berat, pecut mulut bebek tidak mungkin, sebab itu senjata pemberian sang guru. Sesudah berpikir lama, ia lihat telinga A Siu tanpa hiasan, tiba2 hatinya tergerak, katanya . A Siu, biarlah aku memberi sepasang anting2 padamu, dengan itu, tentu kau akan lebih menggiurkan. Aku sudah punya anting-anting, sahut A Siu dengan tertawa. Sembari berkata, ia keluarkan sepasang anting2 pualam hijau yang ditemunya waktu mencari jejak ayahnya dan Jin koh tempo dulu. Coba kulihat, pinta Jun-yang. Tapi ia menjadi heran dan terperanjat ketika melihat diatas anting2 itu masing2 -king yang kecil-kecil, ia jadi teringat pada peristiwa2 sesudah dirinya tinggalkan Cio-jong hong, waktu malam pertama tahu2 orang meletakkan golok Pek-lin-to disamping bantalnya, kemudian ketika orang aneh itu merampasnya kapal jambrud dari tangannya Siang Lui untuk dirinya, setiap kali selalu disertai secarik kertas dengan tulisan Jing kin . Melihat huruf itu, tampaknya nama seorang, hal ini selamanya 181 menjadi tanda tanya baginya, dan kini diatas anting2 terdapat lagi nama itu, sungguh aneh! Ada apakah, enci Jun-yan ? Apa anting2 ini tidak bagus ? tanya A Siu ketika melihat Jun-yan ter-menung2 penuh kesangsian. A Siu, darimanakah kau mendapatkan anting2 ini ? tanya Jun-yan kemudian. Entahlah, cuma dapat diduga miliknya Jing-koh (bibi Jing), sahut A Siu. Jing-koh ? Siapakah dia? Entahlah, hanya tahu dia she Ang bernama Jing-kin, iapun memberi sebutir mutiara besar padaku, kata A Siu pula. Lalu ia unjukkan mutiara mestika yang terkalung di lehernya itu. Nampak mutiara itu, kembali hati Jun-yan tercekat, diam2 ia heran sekali . Aneh, mutiara ini aku seperti pernah melihatnya entah dimana ? Makin lihat ia merasa makin kenal akan benda itu, se-akan2 benda itu pernah dimilikinya. Tapi meski ia meng-ingat2nya lagi, masih tak mengerti apakah itu kebetulan saja atau sesuatu peristiwa yang pernah terjadi. A Siu, siapakah gerangan Ang Jing-kin itu, dapatkah kau ceritakan padaku sedikit tentang dia ? katanya kemudian. Akupun tidak begitu paham, hanya masih kuingat ketika aku ikut dia masuk gunung bersama ayah untuk mencari obat untuk suaminya. sahut A Siu. Lalu iapun cerita sekenanya tanpa teratur apa yang masih teringat olehnya ketika rumahnya kedatangan suami isteri Ang Jing-kin, kemudian bersama Tiat-pi Hwesio pergi mencari ayahnya dan menemukan kerangka tulang ditepi empang. Sudah tentu cerita yang tak keruan susunannya itu membikin Jun-yan tambah bingung. Siapakah gerangan suaminya Ang Jing-kin itu ? Kemudian kemana dia telah pergi ? ia tanya pula. Entah, cuma menurut cerita Tiat-hoa-popo, ketika tanpa sengaja ibuku menyingkap kain kerudung kepalanya, ibuku menjerit kaget karena melihat wajah orang yang lebih mirip setan, lalu orang itu berlari pergi menghilang , tutur A Siu. Mukanya jelek mirip setan ? Apakah karena bekas luka ? demikian Jun-yan menggumam sendiri. 182 Namun A Siu tak bisa menjelaskan lebih banyak, iapun tidak menanya lebih jauh, mereka melanjutkan perjalanan tanpa terjadi apa2. Akhirnya tibalah mereka sampai ditapal batas propinsi Ciat-kiang. Tatkala itu menginjak musim rontok, hawa sejuk pemandangan permai. Terutama A Siu yang belum pernah menjajaki daerah Kanglam yang indah, ia sangat terpesona oleh pemandangan alam yang dilaluinya. Suatu hari, sampailah mereka didaerah kabupaten hi-sui-koan. Karena kesemsem akan pemandangan indah disekitarnya, mereka berdua menjadi melampaui waktu istirahat, makin jauh makin memasuki tanah pegunungan. Sementara itu sang surya sudah mulai mendoyong kebarat. Tiba2 mereka melihat didepan sana tumbuh beberapa rumpun pohon bambu, ditepinya mengalir sebuah sungai yang mengelilingi tiga buah rumah gubuk. Melihat pemandangan itu, tanpa merasa Jun-yan memuji, Betapa indahnya tempat ini entah siapa gerangan yang tinggal itu, benar2 pandai menikmati ! Dan selagi ia hendak berseru akan memohon mondok bermalam digubuk itu, tiba2 dilihatnya ada seorang lagi jalan keluar dari salah satu rumah itu sambil mengukur, dengan laku sangat hormat orang itu lagi berkata dengan badan membungkuk . Ki- locianpwee, haraplah pada waktunya nanti kau orang tua bisa hadir disana, betapapun juga, sedikitnya akan membikin semangat Jing-ling-cu dan begundalnya melempem ! Habis itu dari dalam rumah lantas terdengar sahutan seorang yang bersuara tuan besar . Ehm, tiba waktunya nanti aku datang kesana. Sekarang lekaslah kau enyah ! Ber-ulang2 orang yang keluar itu membungkuk sambil mengia. Sebaliknya lagak lagu orang didalam rumah itu terang angkuh luar biasa. Diam2 Jun-yan terkejut ketika mendengar nama Jing-ling-cu disebut. Cepat ia tarik A Siu dan membisikinya . Coba kita sembunyi dulu untuk melihat siapakah orang itu ! lalu keduanya menyelinap masuk kesemak-semak pohon bambu sana. Cuaca waktu itu sudah mulai sore, namun cukup jelas untuk melihat orang yang keluar itu ternyata seorang Thauto atau paderi yang memelihara rambut panjang, mukanya bengis dilehernya terkalung serenceng tasbih dari emas yang bentuknya dibikin seperti tengkorak, jumlahnya beratus biji. Tampak mukanya ber-seri2, kadang2 mengelus2 jenggotnya yang pendek dengan tangannya yang penuh bulu. 183 Jun-yan tak kenal Thauto itu, ia lihat orang berjalan dengan bersitegang leher dan lewat tidak jauh dari tempat sembunyinya tanpa merasa. Diam2 Jun-yan bergirang, ia membisiki A Siu. Tampaknya paderi ini bukan manusia baik2. Jing-ling-cu yang disebutnya tadi adalah tokoh ternama dari Heng-san yang menjadi sobat baikku. Marilah kita coba mengintil dibelakangnya untuk melihat apa yang hendak dilakukannya. Sudah tentu A Siu menurut saja, apalagi sifat kanak2nya masih belum hilang, untuk berbuat hal2 yang nakal justeru sangat cocok dengan kelincahannya. Maka dengan ilmu entengi tubuh yang tinggi mereka menguntit Thauto itu dari jauh. Sudah tentu ilmu Ginkang A Siu jauh lebih hebat daripada Jun-yan, maka kagum sekali Jun-yan terhadap kepandaian kawannya yang tinggi itu, ia heran akan keterangan A Siu tempo hari bahwa ilmu kepandaian yang dimilikinya itu dipelajarinya tanpa guru. Ia tidak tahu bahwa Siu-yang-chit-Kay yang dipelajari oleh A Siu itu adalah merupakan kombinasi dari intisari berbagai cabang persilatan, maka tidak heran ilmu kepandaian A Siu susah diukur dengan ilmu silat umumnya. Bangau Sakti Karya Chin Tung Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Mustika Gaib Karya Buyung Hok