Pedang Angin Berbisik 29
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 29
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Memang seharusnya demikian. Namun dalam kasus kalian, kupikir, tidak ada salahnya jika kau tetap bermarga Huang dan hanya Ying Ying yang mengganti marganya menjadi Hua." Menoleh ke arah Huang Ren Fu dia melanjutkan. "Hal ini kuputuskan karena kebetulan dirimu adalah satu-satunya penerus nama keluarga kalian." Kemudian kepada Huang Ying Ying dia berkata. "Kuharap kau tidak keberatan, apalagi kalau dipikir sebenarnya hanya masalah nama, hubunganmu dengan kakakmu juga tidak berubah, kalian tetap kakak beradik." Dengan rasa malu Huang Ren Fu berkata. "Kuharap kakek tidak salah paham, sebenarnya jika dikatakan meninggalkan masa lalu, sudah sepantasnya kalau cucu mengganti juga nama marga menjadi Hua, hanya saja seperti yang kakek bilang, penerus nama keluarga Huang dari Wuling hanya tinggal diriku seorang." Hua Ng Lau tertawa sambil menepuk bahu Huang Ren Fu. "Hahaha, apa perlunya merasa sungkan? Sejak hari ini kalian sudah kuanggap cucuku sendiri, masalah nama marga bukan hal yang perlu dipikirkan. Hal itu menjadi penting untuk menunjukkan rasa terima kasih kita pada para pendahulu." "Nah, apakah kalian setuju dengan pengaturan itu?", tanya Hua Ng Lau sambil melihat ke kanan dan ke kiri, ke arah Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying. "Tentu saja kek, tidak ada masalah. Tapi omong-omong, karena cucu perempuanmu ini yang mewarisi marga Hua, apakah itu artinya ilmu warisan keluarga Hua yang diwariskan akan lebih lengkap?", jawab Huang Ying Ying atau yang sekarang lebih tepatnya bernama Hua Ying Ying, sambil bertanya. "Hahaha, apakah kau mau seperti itu?", tanya Hua Ng Lau sambil tertawa lebar. "Ya tidak usah selisih banyak-banyak, sedikit saja, asal cucu perempuanmu ini punya senjata rahasia untuk melawan kakaknya kalau kakaknya sedang nakal.", jawab Hua Ying Ying sambil menempel-nempel pada Hua Ng Lau. "Hahahaha, baiklah, biar orang berkata kalau aku kurang adil, nanti aku beri satu ilmu rahasia, supaya kakakmu tidak berani nakal padamu.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa lebar. Huang Ren Fu tentu saja tidak keberatan, Hua Ying Ying adalah adik kesayangannya, jika Hua Ng Lau bersikap baik padanya, diapun ikut bergembira. Apalagi sejak ayah mereka merebut Pedang Angin Berbisik dari tangan Ding Tao, adiknya itu sering sekali menjadi murung dan semakin murung sejak terbunuhnya seluruh anggota keluarga mereka. Kehadiran Hua Ng Lau sebagai kakek yang memanjakan cucunya, tampaknya menjadi penghibur yang tepat untuk mengakhiri masa-masa kesedihan Hua Ying Ying. Huang Ren Fu hanya ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Hua Ying Ying yang melihat kakaknya hanya bisa tertawa pun, menggodanya. "Nah, jangan iri ya. Tapi jangan kuatir, kalau kakak baik padaku aku tentu tidak akan memakai ilmu rahasia itu." "Hahaha, baiklah aku akan jadi kakak yang patuh pada adiknya.", jawab Huang Ren Fu sambil tertawa. "Hehehe, Ying Ying, kakek belum beritahukan ilmu rahasia untuk melawan kakakmu, tapi melihat gelagatnya, sebaiknya kakek beritahukan sekarang. Ilmu rahasia itu namanya, ilmu menjadi adik yang sopan dan penurut. Kalau kau sudah mahir ilmu itu, kutanggung kakakmu tidak akan pernah mengganggumu.", ujar Hua Ng Lau sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Waah kalau ilmu itu sih sudah tidak perlu diajari lagi kek", ujar Hua Ying Ying sambil menepuk-nepuk jidatnya, berpura-pura kecewa, diiringi tawa Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau. Sudah berpuluh tahun rumah kecil itu tidak pernah ramai oleh tawa. Tentu saja perubahan yang terjadi membuat tetangga kiri kanan ingin tahu. Dinding rumah tidak tebal, jarak antara rumah yang satu dengan yang lain juga tidak berjauhan. Pun ketiga orang itu tidak menahan-nahan suaranya, hati sedang gembira, dengan sendirinya suara menjadi cukup keras. Tapi tidak ada yang merasa terganggu dengan suara tawa mereka. Sebaliknya ketika para tetangga dekat mulai menangkap bahwa Hua Ng lau mengangkat dua orang muda sebagai cucunya, mereka ikut merasa bergembira. Maklum saja sebagai tabib, entah sudah berapa banyak orang yang tertolong oleh kebaikan hati Hua Ng Lau. "Kakek, tentang keinginan Adik Ying Ying untuk melihat keadaan Ding Tao, menurut kakek, kapan baiknya perjalanan itu kita mulai?", tanya Huang Ren Fu setelah tawa mereka mereda. "Hmm aku tahu Ying Ying tentu ingin secepatnya melihat keadaan Ding Tao, namun setidaknya aku ingin kalian menunggu kira-kira tahun lamanya. Dalam waktu itu aku akan melatih kalian dengan ilmu beladiri warisan keluarga Hua. Kalian sudah memiliki dasar yang cukup baik, jadi kurasa waktu yang tahun itu sudah cukup untuk membuat kalian menjadi jagoan yang tangguh.", ujar Hua Ng Lau menjawab pertanyaan Huang Ren Fu. Wajah Hua Ying Ying berubah menjadi sedikit muram, namun dia tidak mengeluh, sebaliknya justru dia menganggukkan kepala. "Aku mengerti kek, tanpa bekal yang cukup untuk menjaga diri. Berkelana di dunia persilatan hanya akan mengundang bahaya saja. Aku juga tidak ingin menjadi beban bagi kakek." Hua Ng Lau tersenyum dan mengelus kepala Hua Ying Ying yang dengan cepat menjadi cucu kesayangannya itu. "Baguslah kalau kau bisa berpikir dengan matang. Mulai besok kita akan mempelajari dasar-dasar dan teori ilmu bela diri keluarga Hua." "Hmm kek, waktu tahun itu tentunya bukan waktu yang tidak bisa ditawar bukan? Jika ternyata kami bisa maju dengan pesat, melebihi perkiraan kakek, tentu waktu yang tahun itu bisa menjadi lebih singkat.", tanya Huang Ren Fu. Pertanyaan itu timbul bukan dari ketidak sabarannya, namun Huang Ren Fu yang melihat kemurungan Hua Ying Ying ingin menunjukkan kemungkinan itu pada adiknya. Sekaligus ingin melecut pula semangat adiknya itu dalam berlatih dengan adanya harapan tersebut. Hua Ng Lau yang sudah mulai sedikit-sedikit memahami watak Huang Ren Fu tersenyum dalam hati. "Ya, tentu saja, semakin tekun kalian dalam mempelajarinya, semakin pendek pula waktu yang dibutuhkan. Hanya saja aku perlu mengingatkan bahwa tubuh kitapun memliki batasan-batasannya. Berlatih tanpa beristirahat yang cukup, justru akan merusak tubuh.", jawab Hua Ng Lau dengan bijak. "Wah, kalau begitu kek, kenapa harus menunggu besok untuk memulai pelajarannya? Bagaimana kalau dimulai dari sekarang?", tanya Hua Ying Ying pada Hua Ng Lau. "Hehehehe, bukankah sudah kubilang, tubuh kalian pun perlu istirahat. Barusan kalian harus bertempur dan memaksa tubuh kalian untuk bekerja melebihi batas kekuatannya. Sekarang kalian harus mengistirahatkan tubuh kalian baik-baik, besok barulah kalian bisa perlahan-lahan mulai berlatih.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa. "Hmmm tapi kek, kalau hanya dalam bentuk teori, kan bisa dilakukan sambil beristirahat?", ujar Hua Ying Ying terus memaksa. "Hahaha, ya,ya, kalau begitu pun boleh. Baiklah hari ini kita mulai pelajarannya, tapi ingat hanya teorinya saja yang akan kuuraikan. Besok baru kalian boleh menggunakan tenaga kalian.", jawab Hua Ng Lau sambil menggelengkan kepala, diikuti oleh sorakan Hua Ying Ying yang senang karena keinginannya terpenuhi. "Adik Ying, omong-omong, apa kau tidak ada yang terlupa?", tegur Huang Ren Fu setelah tawa Hua Ying Ying mereda. "Lupa? Apa ya yang terlupa?", Hua Ying Ying balik bertanya dengan wajah bingung. "Hari sudah siang, sedari tadi sejak menolong kita kakek belum sempat makan apa-apa, hanya meminum beberapa cangkir the. Apa tidak kasihan?", tegur Huang Ren Fu sambil menahan senyum. "Astaga aku lupa. Maafkan aku ya kek, kakek mau makan apa? Apa ada bahan-bahan di dapur yang bisa dimasak? Atau kita pergi untuk membeli makanan?", ujar Hua Ying Ying sambil segera berjalan ke arah dapur. Rumah Hua Ng Lau tidak besar, tentu saja dengan cepat keduanya sudah tahu di mana dapur, ruang tidur dan sebagainya. Hua Ng Lau merasa bahagia, memang manusia sudah dikodratkan untuk hidup bersama-sama. Rumah yang biasanya sepi jadi ramai, orang tua itu pun merasakan kehangatan dalam hatinya. Sambil tersenyum dia menyahut. "Di dapur masih ada nasi yang kumasak tadi pagi, ada juga beras, sayuran, tepung dan bumbu-bumbu seadanya." Huang Ren Fu pun menyusul Hua Ying Ying sambil berpamitan pada Hua Ng Lau. "Kek, biar aku bantu Adik Ying Ying menyiapkan makan siang." "Ya, ya, pergilah. Aku akan beristirahat sebentar, sudah lama juga aku tidak menggerakkan badan seperti tadi", jawab Hua Ng Lau sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Dari tempatnya Hua Ng Lau bisa mendengar senda gurau kakak beradik itu di dapur. "Hee memangnya kau bisa masak apa?", terdengar suara Huang Ren Fu berkata pada adiknya. "Oh, jangan salah ya, aku kan sering belajar memasak juga di rumah. Bukan seperti dirimu yang hanya tahu makan saja.", sahut Hua Ying Ying. "Katanya sudah pandai ilmu sopan dan penurut pada kakak, tapi sepertinya kok belum dipraktekkan ya?", balas Huang Ren Fu. "Hooo, maunya", ujar Hua Ying Ying dibalas tawa oleh Huang Ren Fu. Sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok, mata Hua Ng Lau pun mulai terpejam dengan senyum masih menghiasi wajahnya. Tidak salah jika orang bijak pernah mengatakan, untuk segala sesuatu di bawah langit ini ada waktunya. Ada waktu untuk mencucurkan air mata, ada pula waktunya untuk tersenyum dan tertawa. Kali ini adalah saat bagi Hua Ng Lau dan kedua cucu barunya untuk tertawa dalam kebahagiaan. ----------------------- 0 -------------------------- Di tempat lain, Ding Tao dan sahabat-sahabatnya sepertinya belum bisa lepas dari perjuangan dan kerja keras. Pernikahan Ding Tao memberikan selingan yang menyegarkan, namun beberapa bulan berjalan usia pernikahannya, mereka sudah kembali sibuk dengan pekerjaan mereka. Permasalahan pertama muncul dari keinginan Murong Yun Hua agar Ding Tao memanfaatkan kitab-kitab koleksi keluarga Murong. Terutama kitab-kitab ilmu silat yang berisi berbagai macam aliran ilmu silat yang berhasil dikumpulkan oleh ayah Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Ding Tao yang sejak awal enggan untuk melanggar batasan dan kebiasaan dalam dunia persilatan, tentu saja dengan cepat menolak ide Murong Yun Hua tersebut. Mencuri belajar dari ilmu orang lain adalah perbuatan yang dipandang hina dalam dunia persilatan. Tidak ingin berselisih dengan Ding tao, Murong Yun Hua pun tidak memaksa Ding Tao untuk ketiga kalinya. Namun Murong Yun Hua yang menyadari betapa pentingnya peran Ding Tao sebagai pimpinan dari satu partai, tidak mau menyerah begitu saja, diam-diam Murong Yun Hua menemui Chou Liang untuk membicarakan hal ini. Chou Liang seperti biasa sibuk dengan masalah jaringan mata dan telinga Partai Pedang Keadilan. Terutama dengan semakin besarnya bayangan dari Partai Pedang Keadilan yang digerakkan oleh Guru Chen Wuxi, Fu Tong si tongkat besi dan Song Luo si pemilik rumah makan. Chou Liang tidak ingin mereka yang bergerak di luar ini sembarangan menerima anggota. Justru karena mereka bergerak tanpa membawa nama Partai Pedang Keadilan, tiap-tiap anggota harus benar- benar dapat dipercaya sebelum mereka boleh tahu bahwa sebenarnya mereka masih merupakan bagian dari Partai Pedang Keadilan. Jumlah anggota inti dari gerakan bayangan ini tidaklah besar, namun tiap orang tentu memiliki jaringannya sendiri yang tidak tahu menahu tentang hubungan mereka dengan Partai Pedang Keadilan. Hingga saat itu, jumlah mereka yang menjadi inti dari bagian tersebut baru sejumlah 14 orang, termasuk guru Chen Wuxi, Fu Tong dan Song Luo. Dari 14 orang itu, 5 di antaranya bertugas untuk mengurusi rumah-rumah aman, tempat anggota inti Partai Pedang Keadilan bisa bersembunyi jika diperlukan. Selain 5 tempat tersebut, secara lebih terbuka untuk anggota Partai Pedang Keadilan sendiri, Chou Liang juga sudah menempatkan 8 orang tersebar di berbagai tempat untuk menyiapkan tempat serupa itu. Demikian juga dengan jaringan mata dan telinga bagi Partai Pedang Keadilan yang dibentuk dari orang-orang Partai Pedang Keadilan sendiri. Demkian sibuknya Chou Liang menangani dua jalur jaringan mata-mata dari Partai Pedang Keadilan. Bukan hanya sebagai muara akhir dari setiap sumber informasi, Chou Liang juga bertanggung jawab untuk menyaring dan menganalisa setiap informasi yang dia terima untuk disampaikan pada Ding Tao dan orang-orang kepercayaannya. Karena itu dahi Chou Liang pun sedikit berkerut saat mendengar Murong Yun Hua berkunjung ke tempat kerjanya dan meminta bertemu. Salah seorang anggota yang sedang menyampaikan laporan, cepat-cepat disuruhnya meninggalkan tempat dan berkas-berkas pun dirapikan sebelum kemudian dia mempersilahkan Murong Yun Hua untuk masuk ke dalam. Tentu saja pintu dibiarkan terbuka lebar-lebar dan seorang pembantu perempuan diminta untuk menghidangkan minuman bagi Murong Yun Hua. Murong Yun Hua sendiri tidak datang sendirian, dia datang bersama seorang pelayan pribadinya. Setelah bertemu, tentu Murong Yun Hua tidak langsung menyinggung masalah yang ingin dia sampaikan. Terlebih dahulu mereka berbasa-basi sejenak. Setelah selesai dengan basa-basi, Murong Yun Hua pun dengan tenang berujar. "Penasehat Chou Liang, sebenarnya aku datang karena aku memiliki sedikit masalah dengan barang-barang warisan keluarga Murong yang baru saja dikirimkan dari rumah." "Oh begitu, kalau memang bisa membantu tentu akan kubantu. Coba nyonya ceritakan masalahnya, barangkali Chou Liang bisa memberikan sedikit bantuan.", ujar Chou Liang sambil menduga-duga. Murong Yun Hua sudah dua bulan lebih tinggal bersama Ding Tao, sebagai orang kepercayaan dan sahabat Ding Tao, sudah berulang kali Chou Liang bertemu dan juga sempat bertukar pikiran dengannya. Dari apa yang dia lihat dan dengar Chou Liang sudah tahu bahwa Murong Yun Hua bukan seorang wanita cantik dengan otak kosong. Murong Yun Hua dengan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan di kediaman mereka, markas besar dari Partai Pedang Keadilan. Dalam waktu yang singkat dia berhasil memperoleh kepercayaan dan kesetiaan para pelayan di sana. Mereka dengan senang hati melaksanakan apa yang diminta Murong Yun Hua dari mereka, bukan hanya karena mereka menghargai Ding Tao suaminya, tapi karena mereka hormat dan segan pada Murong Yun Hua sendiri. Murong Yun Hua tidak ragu untuk menegur, tidak lupa juga untuk memuji, tidak canggung untuk mengambil inisiatif dan terbukti apa yang dia sarankan membuat kehidupan dalam rumah tangga Ding Tao berjalan dengan lebih baik. Selesai dengan mengatur para pelayan pribadi untuk keluarga Ding Tao, Murong Yun Hua mengalihkan perhatiannya pada lingkungan di sekelilingnya. Pada tempat bangsal di mana anggota-anggota lain berdiam, perawatan keseluruhan kompleks bangunan, penyediaan makanan dan minuman dan masalah-masalah lain yang menyangkut penghidupan seisi markas besar tersebut. Di sinipun Murong Yun Hua menunjukkan kepiawaiannya dalam mengatur dan menata. Dan dengan bijaksana, dalam melakukan semuanya itu, Murong Yun Hua tidak pernah lupa untuk bertanya terlebih dahulu pada Ding Tao, meskipun hal itu sebenarnya tidak berkenaan secara langsung dengan masalah organisasi. Sehingga ketika pada awalnya ada yang meragukan dan mempertanyakan perintah dari Murong Yun Hua, dengan sendirinya harus menutup mulut ketika mengetahui bahwa hal itu sudah diketahui dan disetujui oleh Ding Tao sendiri. Dengan demikian dalam waktu yang beberapa bulan Murong Yun Hua bukan hanya menjadi isteri Ding Tao, tapi juga berperanan dalam berputarnya roda Partai Pedang Keadilan, meskipun dalam fungsi yang berbeda dengan anggota inti Partai Pedang Keadilan yang lain. Tidak ada seorangpun yang merasa keberatan dengan apa yang dilakukan Murong Yun Hua, justru kesigapan dan kecekatan nyonya muda ini membuat mereka terkagum-kagum. Bahkan Sun Liang yang memiliki keluarga cukup besar dan 3 orang isteri yang cantik dan cakap, juga mengakui kelebihan Murong Yun Hua dibandingkan kebanyakan ibu rumah tangga lainnya. Dalam satu pertemuan, dengan bercanda dia menggoda Ding Tao dan memuji keberuntungannya karena mendapatkan Murong Yun Hua sebagai isterinya. Chou Liang sebagai orang yang berperanan cukup besar untuk menyatukan Ding Tao dan Murong Yun Hua, dalam hati merasa berbangga akan ketepatan keputusannya waktu itu. Itu sebabnya jika kini Murong Yun Hua mengajak dia berbincang, meskipun merasa terganggu tidak kemudian Chou Liang meremehkan nyonya muda ini. Dalam hati dia bertanya-tanya dan yakin bahwa tentu ada persoalan yang cukup penting untuk dibicarakan. "Sebenarnya, ayah kami berdua, aku dan Adik Huolin, memiliki kegemaran mengumpulkan kitab-kitab berharga dari berbagai tempat. Baik kitab berisikan ilmu pengobatan, kesenian, kerajinan sampai pada kitab-kitab yang berisi ilmu bela diri. Begitu banyaknya koleksi buku mereka, hingga sewaktu kami pindah untuk tinggal di tempat ini, hanya koleksi mereka tentang ilmu bela diri yang bisa kubawa.", ujar Murong Yun Hua bercerita. "Tadinya kupikir, Kakak Ding Tao yang gemar belajar ilmu bela diri, tentu akan menyukainya. Siapa sangka, ternyata Kakak Ding Tao tidak ingin melihatnya sama sekali, karena tidak ingin disangka mempelajari ilmu orang tanpa ijin. Sekarang aku jadi bingung, hendak disimpan di mana kitab-kitab itu. Jika disimpan di rumah, tentu Kakak Ding Tao akan merasa tersinggung. Hendak disimpan di tempat lain, tentu akan sulit mengawasinya. Bagaimanapun barang itu adalah peninggalan keluarga, apalagi kitab jika tidak disimpan di tempat yang baik akan mudah rusak oleh cuaca.", demikian Murong Yun Hua menjelaskan duduk masalahnya. Chou Liang tentu saja bukan bernama Chou Liang jika tidak dapat segera menangkap maksud dari pembicaraan ini. Meskipun Chou Liang tidak tertarik dengan kitab ilmu silat tapi dia juga paham betapa besar artinya jika Ding Tao mau mempelajari ilmu dalam kitab-kitab tersebut. Sudah tentu yang dibawa Murong Yun Hua bukanlah kitab yang tidak berharga. Sudah tentu pula yang dimaksudkan Murong Yun Hua bukanlah di mana kitab itu harus disimpan, tapi bagaimana caranya agar Ding Tao mau mempelajarinya. Dengan senyum sopan Chou Liang pun menjawab. "Ah rupanya begitu, baiklah, jika demikian, orang bermarga Chou ini akan coba bantu untuk mengurusnya. Nyonya tidak perlu memikirkan hal itu lagi." Murong Yun Hua pun tersenyum mengerti. "Syukurlah kalau begitu, baiklah kalau begitu aku pamit dahulu, aku tidak berani mengganggu pekerjaan Penasehat Chou Liang lebih jauh lagi. Kuharap Penasehat Chou Liang bisa menemukan solusinya secepat mungkin." Dengan itu pula pertemuan mereka berakhir, tentunya diwarnai dengan beberapa basa-basi sebelum Murong Yun Hua meninggalkan Chou Liang untuk berpikir. Berpikir keras karena Chou Liang pun sadar, bahwa masalah mencuri ilmu ini memang masalah yang sensitif bagi orang-orang dalam dunia persilatan. Bagi beberapa aliran dan tokoh yang keras, terkadang sebelum seseorang diterima menjadi murid, terlebih dahulu harus melalui seleksi yang ketat dan kemudian melakukan upacara yang rumit. Sudah seperti itupun, belum tentu seluruh ilmu diajarkan, untuk melanjutkan ke tahap tertentu, tidak jarang kembali ada tata cara yang harus dilewati. Tentu saja bukan tanpa alasan jika satu ilmu dijaga dengan demikian ketatnya. Karena perbuatan buruk murid tentu akan menjatuhkan nama gurunya. Kekalahan murid akan menjatuhkan juga nama besar gurunya. Meskipun tidak semua orang begitu kukuh dengan aturan tidak tertulis ini. Bagaimanapun juga pada akhirnya, dalam dunia yang mengadu kekuatan maka hukumnya menjadi, siapa yang kuat dialah yang benar, tapi Chou Liang tidak ingin bertindak dengan gegabah. Dia tahu betapa keras kepalanya Ding Tao, jika dia tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin dia justru membuat Ding Tao semakin enggan untuk membaca kitab-kitab itu. Perlahan-lahan sebuah siasat muncul dalam benaknya. Seperti juga saat dia membuat Ding Tao menikahi Murong Yun Hua, Chou Liang pun berpikir untuk mencari rekan dalam menjalankan siasatnya dan dia sudah tahu siapa orang yang tepat untuk diajak berbicara. Tapi Chou Liang tidak terburu nafsu untuk melaksanakan siasatnya. Kebetulan orang yang hendak ia mintai tolong memang berencana untuk berkunjung ke Jiang Ling. Chou Liang pun dengan sabar menunggu kedatangannya. Siapa yang sedang ditunggu kedatangannya oleh Chou Liang? Ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah Ma Songquan dan isterinya. Keduanya sejak dulu memang tidak pernah terpisahkan, meskipun keadaan di cabang Wuling jadi kurang kuat karena ditinggalkan oleh mereka berdua, Ding Tao dan yang lainnya pun tidak pernah terpikir untuk meminta mereka membagi tugas. Yang seorang pergi ke Jiang Ling untuk bertemu dengan Ding Tao dan yang seorang lagi menunggu di Wuling. Bagi setiap orang dalam Partai Pedang Keadilan, Ma Songquan ya Chu Linhe, Chu Linhe ya Ma Songquan. Ada Ma Songquan tentu ada Chu Linhe dan demikian pula sebaliknya. Bukan tanpa alasan kuat jika Chou Liang memilih sepasang pendekar itu untuk menolongnya meyakinkan Ding Tao mempelajari ilmu dari kitab-kitab milik Murong Yun Hua. Jika ada orang dalam Partai Pedang Keadilan yang hampir-hampir sama sekali tidak terikat dengan adat istiadat dunia persilatan yang berlaku secara umum, maka itulah mereka. Bukankah dulu mereka ini sepasang iblis, dijuluki sepasang iblis bukan hanya karena kekejiannya, tapi juga karena sifatnya yang sesat. Sesat ketika diukur dengan ukuran tata cara baku yang disepakati bersama sejak ratusan tahun lamanya. Bisa dikatakan sepasang pendekar ini adalah lawan dari Ding Tao dalam hal pandangan hidup. Justru itu hubungan mereka ini termasuk hubungan yang sangat unik. Mereka saling menghormati dan bersahabat erat, namun pandangan mereka terhadap suatu masalah seringkali berbeda. Jika sepasang iblis itu jadi jinak sekarang ini, hal itu tidak lepas dari kesediaan mereka untuk tunduk pada perintah Ding Tao yang lurus. Namun cara pandang dan cara berpikir mereka sendiri sebenarnya tidak banyak berubah. Hanya letak kesetiaan mereka yang berpindah tempat. Jika dulu mereka hidup untuk diri mereka sendiri, maka sekarang sepasang pendekar itu memutuskan bahwa selain demi diri mereka sendiri, mereka juga hidup untuk Ding Tao yang mereka pandang sebagai sahabat sejati mereka. Kemudian perlahan-lahan, dengan berjalannya waktu, merekapun belajar untuk menghargai dan bersahabat pula dengan orang-orang yang dekat dengan Ding Tao. Rasa hormat dan persahabatan yang timbul karena kesamaan, mereka sama- sama mengagumi dan mengasihi Ding Tao. Bagi sepasang pendekar ini, perasaan demikian adalah sesuatu yang sudah lama mereka lupakan. Diawali dengan hilangnya kepercayaan mereka terhadap sesama, mereka pun hidup sebagai sepasang iblis, semua orang menjadi musuh di mata mereka. Padahal kodrat manusia untuk hidup sebagai makhluk sosial, tidak heran, hubungan mereka berdua pun menjadi sangat erat. Hidup berlawanan dengan kodrat, tentu saja sangat menyiksa, mungkin itu pula sebabnya mereka makin hari makin kejam dalam beraksi. Seperti lingkaran setan, semakin sakit mereka karena dikucilkan, makin kejam perbuatan mereka, sebagai balasan pada dunia. Semakin kejam mereka, semakin pula mereka dimusuhi dan dikucilkan. Kehadiran Ding Tao dalam perjalanan hidup mereka akhirnya berhasil memutuskan pusaran kebencian dan permusuhan dalam hidup sepasang iblis itu. Kejujuran Ding Tao dan kebesaran hatinya, telah membuka celah dalam benteng kecurigaan yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Lewat Ding Tao mereka belajar mempercayai kembali sesamanya. Dimulai dari pertemuan mereka dengan Ding Tao, hati mereka mulai dibebaskan dari penderitaan pengucilan, kecurigaan, ketakutan yang terus menerus dan kesepian. Jadi tidak heran pula, jika dibandingkan para pengikut Ding Tao yang lain, sepasang iblis yang cara pandangnya jauh berlawanan dengan Ding Tao justru menjadi pengikutnya yang paling setia. Berdasarkan dua hal ini, yaitu ketidak terikatan mereka dengan tata cara dunia persilatan yang sudah diterima secara umum dan kesetiaan mereka pada Ding Tao yang tidak tergoyahkan, Chou Liang memutuskan bahwa mereka adalah orang yang tepat untuk dimintai bantuan. Kedatangan sepasang iblis kali ini, ada hubungannya dengan keluhan dari salah satu biro pengawalan yang sudah bersumpah setia dengan Partai Pedang Keadilan, mengenai gerombolan penjahat di sepanjang jalur dari Kota Gui Yang sampai ke Ling Ling. Dari kabar yang dikumpulkan Chou Liang, akhirnya diputuskan bahwa Ma Songquan dan Chu Linhe saja yang nampaknya sanggup mengatasi gerombolan ini. Sebelum pergi ke tempat yang dituju bersama kepala biro pengawalan yang meminta bantuan. Mereka berdua akan berkunjung ke Jiangling dulu untuk kemudian, bersama-sama beberapa orang anggota yang lain pergi menyerang markas gerombolan perampok tersebut. Salah satu penyebab makin populernya Partai Pedang Keadilan adalah usaha sungguh-sungguh dari tiap anggotanya untuk saling melindungi seperti yang akan dilakukan Ma Songquan kali ini. Satu hari sebelum kedatangan Ma Songquan di Jiang Ling, Chou Liang sudah tahu keberadaan mereka yang sedang menginap di sebuah desa kecil yang berada di dekat perbatasan Jiang Ling. Pagi-pagi benar, Chou Liang pun sudah berada di atas punggung kuda, berderap kencang menuju desa itu. Pasangan itu sedang menikmati sarapan mereka ketika Chou Liang masuk ke dalam rumah dan menyapa keduanya. "Haha, Saudara Ma Songquan, Nyonya Chu Linhe, senang bertemu lagi dengan kalian berdua. Bagaimana tidur kalian kemarin? Kuharap kedatanganku tidak mengganggu selera makan kalian.", ujarnya sambil tersenyum lebar. "Hoo Saudara Chou Liang ada urusan apa pagi-pagi sudah menyambut kedatangan kami di sini? Apakah ada masalah di Jiang Ling?", sahut Ma Songquan dengan kening berkerut. Bukannya Ma Songquan tidak suka melihat kedatangan Chou Liang, hanya saja timbul sedikit kekuatiran dalam hatinya. Meskipun senyum lebar di wajah Chou Liang tentu saja menandakan bahwa tidak ada masalah apa-apa di Jiang Ling. "Ah.. tidak ada masalah besar. Hanya saja aku pribadi, memiliki satu masalah kecil yang ingin kubicarakan dengan kalian berdua.", jawab Chou Liang dengan senyum di wajahnya. Tanpa sungkan-sungkan, diapun menarik sebuah kursi dan duduk di sana. Tidak lama kemudian menyusul pemilik rumah datang sambil membawa cangkir, mangkok dan sepasang sumpit untuk Chou Liang. "Hee, kuharap kalian tidak keberatan kalau aku ikut makan bersama kalian. Dari Jiang Ling aku berangkat pagi-pagi sekali dan tidak sempat sarapan.", ujar Chou Liang sambil mulai mengisi mangkoknya. "Hmm pantas saja semalam aku bermimpi buruk. Rupanya hari ini kita akan kedatangan tamu yang tidak tahu malu.", ujar Chu Linhe sambil tersenyum ramah. "Hahaha, Nyonya Chu Linhe ini bisa saja. Tapi buatku lebih baik tidak tahu malu daripada kelaparan.", jawab Chou Liang sambil tertawa. "Heh daripada bicara ke sana ke mari, cepat ceritakan masalahmu. Kalau ada masalah menggantung, makanku jadi kurang lahap.", ujar Ma Songquan sambil tertawa. "Hmm baik, tidak masalah. Masalah ini munculnya dari Nyonya Murong Yun Hua.", ujar Chou Liang mengawali penjelasannya. Kedua suami isteri itu pun memasang telinga mereka baik-baik sambil mengangkat alias. Apa pula urusannya Murong Yun Hua hingga Chou Liang menyempatkan diri berangkat pagi-pagi dari Jiang Ling untuk menemui mereka? "Kalian tahu Keluarga Murong itu ternyata memiliki latar belakang yang cukup unik dalam dunia persilatan. Pertama Pedang Angin Berbisik ternyata mereka yang membuatnya, kemudian beberapa hari yang lalu, Nyonya Murong Yun Hua menemuiku dan memberi tahu bahwa merekapun memiliki koleksi kita-kitab ilmu silat dari berbagai aliran.", lanjut Chou Liang. "Hmm soal itu sedikit banyak kami sudah bisa menduga.", ujar Chu Linhe sambil terus mendengarkan. Sepasang iblis itu memang sudah lebih dahulu mengetahui hubungan Ding Tao dengan keluarga Murong sebelum yang lain mengetahuinya. Bahkan mereka juga yang pertama kali merasakan dahsyatnya ilmu Ding Tao setelah meminum obat dewa pengetahuan dan mempelajari ilmu tenaga dalam inti bumi. "Oh, begitu. Nah baiklah, kalau begitu kulanjutkan ceritaku. Selain memberitahukan masalah itu, Nyonya Murong Yun Hua, secara tidak langsung juga bercerita bahwa dia sempat meminta Ding Tao untuk mempelajari isi kitab-kitab tersebut, namun ditolak mentah-mentah oleh Ketua Ding Tao. Mendapati jalan buntu, dia datang kepadaku dengan harapan aku dapat membujuk Ketua Ding Tao untuk mempelajari isi dari kitab-kitab itu.", lanjut Chou Liang menjelaskan. "Hohoho dan kau ingin kami berdua untuk membantumu, meyakinkan Ding Tao untuk mempelajari isi dari kitab itu. Begitu maksudnya?", ujar Ma Songwuan sambil tertawa. "Ya, begitulah maksudku. Nah bagaimana menurut kalian?", jawab Chou Liang. "Hmm ada beberapa hal yang jadi masalah. Yang pertama, mempelajari ilmu silat tidak sama dengan mempelajari satu hafalan. Tidak cukup hanya dengan mengerti teorinya, tapi perlu dipraktekkan dan dilatih dalam kurun waktu tertentu untuk bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Sehingga meskipun ada banyak kitab, untuk mempelajari satu saja dari kitab itu, akan memakan waktu yang cukup lama.", jawab Ma Songquan. "Bagi orang yang sudah matang ilmunya seperti Ketua Ding Tao, kira-kira berapa lama waktu yang diperlukan?", tanya Chou Liang ingin tahu. "Ketua Ding Tao memiliki bakat di atas rata-rata tergantung juga jenis ilmu yang dipelajari, tapi kira-kira, setidaknya dia membutuhkan waktu 1 bulan untuk mempelajari 1 ilmu.", jawab Ma Songquan sambil menghitung-hitung. "Hmm dari sekarang sampai pertemuan untuk pemilihan Wulin Mengzhu masih ada waktu 7-8 bulan. Bukankah itu artinya Ketua Ding Tao akan mampu menguasai 8 macam ilmu baru pada saat maju nanti?", tanya Chou Liang. "Hehh sekarang kita membicarakan masalah kedua. Banyaknya pengetahuan seseorang, tidak selalu menjadikannya satu keuntungan dalam sebuah pertarungan. Tidak sedikit orang berbakat yang mempelajari banyak hal, namun karena terlalu banyak yang dia pelajari ilmunya jadi setengah matang. Dan akhirnya dia kalah melawan orang yang hanya mempelajari satu ilmu saja, namun sampai pada puncaknya.", jawab Ma Songquan sambil menyengir, melihat kurangnya pengetahuan Chou Liang dalam hal imu bela diri. "Ahh benar juga tapi apakah tidak ada keuntungannya bagi Ketua Ding Tao dengan mempelajari isi kitab-kitab tersebut?", tanya Chou Liang. Wajahnya berubah murung dan matanya memandangii isi mangkoknya yang sudah hampir kosong, sementara benaknya merenungi kitab-kitab keluarga Murong yang tersia-sia itu. "Hei, tidak perlu kau susahkan mangkokmu yang kosong itu.", ujar Chu Linhe sambil menyumpitkan sepotong tahu besar ke dalam mangkok Chou Liang. "Hahaha, meskipun aku berkata demikian, bukan maksudku kitab-kitab itu tidak ada gunanya sama sekali.", ujar Ma Songquan yang tertawa geli melihat waah kecewa Chou Liang. "Ah, mengapa Saudara Ma Songquan tidak mengatakannya dari tadi. Jika dari tadi dikatakan, tentu selera makanku tidak hilang.", ujar Chou Liang yang wajahnya menjadi cerah kembali. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Nah, kau dengarkan saja penjelasanku sambil menghabiskan saja isi mangkokmu. Sederhana saja sebenarnya, kekurangan Ketua Ding Tao yang paling besar jika dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya dalam perebutan kursi Wulin Mengzhu nanti adalah dalam hal pengalaman bertanding. Kitab-kitab yang berisi ilmu dari berbagai macam aliran itu, dapat menutupi kekurangannya ini. Di saat yang sama, jika dia menemukan jurus-jurus tertentu atau tehnik-tehnik tertentu yang dapat dia satukan dalam ilmu yang sudah dia tekuni selama ini, maka ilmunya pun akan menjadi semakin mapan dan tinggi tingkatnya.", jawab Ma Songquan dengan puas. "Baguslah kalau begitu, jadi kalian berdua setuju bahwa Ketua Ding Tao harus dibuat setuju untuk mempelajari isi dari kitab-kitab itu?", tanya Chou Liang dengan gembira. Ma Songquan dan Chu Linhe saling berpandangan sejenak. Chu Linhe kemudian menganggukkan kepala dan Ma Songquan- lah yang kemudian menjawab pertanyaan Chou Liang. "Ya, kami rasa hal itu akan sangat membantu Ketua Ding Tao untuk meningkatkan ilmunya. Aku yakin dia cukup cerdas untuk tahu, seberapa banyak dia harus membaca, mana yang bisa diambil mana yang harus ditinggalkan. Mana yang cukup dipakai untuk menambah pengetahuan, mana pula yang bisa dia gunakan dalam pertarungan." "Penasehat Chou Liang datang menemui kami, tentunya sudah memiliki siasat yang jitu untuk membuat Ketua Ding Tao bersedia mempelajarinya.", ujar Chu Linhe menyambung jawaban suaminya. Chou Liang pun tersenyum lebar dan dengan gaya yang kocak menjawab. "Hehee, soal itu baiklah akan kujelaskan dalam perjalanan." Ma Songquan dan Chu Linhe dibuat tertawa terbahak-bahak oleh cara Chou Liang berkata-kata. Tidak ada hal penting lain yang mereka bicarakan lagi selama sarapan itu. Baru di perjalanan, Chou Liang pun mulai menjelaskan siasatnya. Mereka menempuh perjalanan dengan santai, matahari sudah berjalan cukup tinggi ketika mereka sampai di markas besar Partai Pedang Keadilan. --------------------------------------- o --------------------------------------- Kedatangan mereka bertiga tentu saja disambut dengan hangat, tidak ada yang bertanya mengapa Chou Liang bisa bersama-sama dengan Ma Songquan dan Chu Linhe. Karena memang tidak terlalu aneh juga bila Chou Liang datang menyambut tamu terlebih dahulu. Sebelum mereka bertiga sempat datang ke ruangan Ding Tao, ternyata Ding Tao sudah terlebih dahulu menemui mereka. Hubungan Ding Tao dengan sepasang pendekar itu memang cukup erat. Hari itu Ding Tao yang biasanya ikut datang melihat-lihat anggota mereka yang sedang berlatih, dengan tidak sabar menanti-nantikan kedatangan Ma Songquan dan Chu Linhe. Namun betapa heran hati Ding Tao saat keduanya tampak sedikit dingin dan menyembunyikan sesuatu darinya. Meskipun sikap mereka di luaran tetap sopan, namun kehangatan yang biasanya dia rasakan hilang. Karena itu sewaktu mereka berjalan bertiga seja menuju ke ruangan Ding Tao, Ding Tao pun bertanya pada Ma Songquan, "Kakak Ma Songquan, hari ini aku merasa ada sedikit ganjalan di antara kita. Apakah aku ada berbuat kesalahan? Jika memang ada, katakan saja secara terbuka, karena sedikitpun tidak ada maksud dalam hatiku untuk berlaku demikian." Ma Songquan dan Chu Linhe berpandangan sejenak, kemudian seperti biasa Chu Linhe membiarkan Ma Songquan untuk menjawab. "Hmm sebenarnya memang ada sedikit ganjalan dalam hati ini. Kalau Ketua Ding Tao tidak keberatan, bisakah kita memakai ruang latihan pribadi milik Ketua Ding Tao untuk meluruskan sesuatu?", ujar Ma Songquan. "Ah, tentu saja. Tapi ada masalah apa sebenarnya?", jawab Ding Tao. Sambil menjawab Ding Tao pun mengambil jalan menuju ruang latihan miliknya pribadi. Ruangan latihan itu hanya digunakan oleh Ding Tao dan orang-orang yang diajaknya berlatih. Di saat Ding Tao tidak berlatih, ruangan itu pun dibiarkan kosong, tidak ada yang menggunakannya. "Soal itu akan jadi jelas nanti. Kami sendiri tidak merasa yakin, namun kami ingin memastikannya terlebih dahulu.", jawab Ma Songquan. "Apakah lewat latih tanding?", tanya Ding Tao dengan hati-hati. "Ya, benar, kami ingin memastikan dugaan kami terlebih dahulu dengan berlatih tanding melawan Ketua Ding Tao.", jawab Ma Songquan dengan sedikit dingin. Berdebar juga hati Ding Tao mendengarnya. Bukan karena dia takut kalah, atau takut dicelakai oleh dua orang yang pernah dijuluki Sepasang Iblis Muka Giok itu, melainkan karena dia sungguh-sungguh tidak ingin timbul permusuhan di antara mereka. Begitu sampai di dalam ruangan latihan, pintu pun ditutup rapat, agar tidak ada orang luar yang bisa melihat. Mereka bertiga berjalan ke tengah-tengah ruangan lalu berdiri saling berhadapan. "Apakah akan kita mulai sekarang?", tanya Ding Tao sedikit ragu-ragu. "Ya. Sekarang. Awas serangan!", jawab Ma Songquan pendek-pendek dan dengan itu pula dia langsung memulai pertarungan. Serangan sepasang pendekar itu tetap rapat dan saling mengisi seperti yang lalu-lalu. Tidak ada yang hilang dari kekompakan mereka, bahkan dengan pengalaman mereka beberapa waktu yang lalu, saat menyaksikan pertarungan Ding Tao dengan Pan Jun dan kemudian Xun Siaoma. Ilmu mereka pun meningkat pesat. Serangan mereka lebih tajam, pertahanannya pun jadi lebih rapat. Tanpa sungkan mereka dengan segera mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mendesak Ding Tao. Tapi Ding Tao yang sekarang juga berbeda dengan Ding Tao yang dulu. Ketajaman serangan mereka, tetap saja seperti membentur dinding batu. Bukan hanya bertahan, sekarang Ding Tao juga mampu balas menyerang dan mengimbangi serangan- serangan sepasang iblis itu. Jika pada pertarungan mereka yang terakhir, Ding Tao masih bersandar pada staminanya yang lebih kokoh dari lawan. Sekarang jurus serangan Ding Tao sudah cukup tajam untuk mendesak lawan. Bagusnya sepasang pendekar itu selama ini sudah mencurahkan waktu dan pikiran mereka untuk memperbaiki pertahanan dalam ilmu pasangan mereka. Pertarungan pun berjalan makin seru, di satu titik, tiba-tiba Ding Tao melihat adanya lowongan yang terbuka di pertahanan Ma Songquan. Sebenarnya sudah beberapa kali dia melihatnya, namun tidak ingin mempermalukan lawan, dengan sengaja dia tidak mengambil kesempatan itu. Kali ini Ding Tao merasa sudah cukup banyak memberi muka pada lawan dan tanpa ragu menyerang di celah yang dia dapatkan itu. Tapi Ding Tao jadi terkejut, ketika tiba-tiba sepasang iblis itu segera melompat berjumpalitan, menjauh ke belakang sambil berseru. "Itu dia!" "Nah, apa kataku, bocah cilik ini sudah mencuri ilmu kita dengan diam-diam.", geram Chu Linhe sambil menunjuk-nunjuk Ding Tao. "Ya kau benar isteriku. Selama ini aku tidak percaya perkataanmu. Siapa sangka, ternyata orang yang aku percayai ini sampai hati mencuri ilmu kita tanpa ijin.", jawab Ma Songquan pada Chu Linhe, sambil menunjukkan wajah bengis pada Ding Tao. Ding Tao yang dituduh demikian pun menjadi pucat wajahnya. "Ini soal ini sebenarnya apa maksud kalian?" "Ding Tao, jangan berpura-pura lagi, aku tidak tahu bagaimana caranya kau melakukan hal itu. Namun aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan sejujurnya. Jurus serangan yang baru saja kau lancarkan tadi, bukankah itu jurus serangan milikku?", geram Ma Songquan sambil mengacungkan pedangnya ke arah Ding Tao. Ding Tao pun sudah membuka mulut untuk menyangkal, ketika dia teringat dari mana dia mempelajari jurus serangan itu. Jurus serangan yang dimiliki Ding Tao memang sebelumnya sangat terbatas, yaitu hanya berasal dari ilmu keluarga Huang. Namun sejak dia berkelana dan mendapatkan pengalaman dari bertarung melawan berbagai macam lawan. Dengan sendirinya diapun mulai menyisipkan dan menggunakan jurus serangan yang dia lihat dari pengalamannya tersebut, untuk melengkapi ilmu yang sudah ada pada dirinya. Salah satunya yang menjadi jurus andalannya adalah jurus yang dia serap ketika dia bertarung melawan Sepasang Iblis Muka Giok. Teringat akan hal ini, mulut Ding Tao yang tadinya sudah terbuka untuk menjawab, terkatup kembali. "Nah, Ding Tao, kenapa kau diam. Sekali lagi aku bertanya, bukankah jurus yang baru saja kau gunakan berasal dari ilmu andalanku?", geram Ma Songquan. Akhirnya dengan lemah, Ding Tao menganggukkan kepalanya. "Ya soal itu Kakak Ma Songquan memang benar. Jurus itu berasal dari ilmu andalan kalian." "Bagus kalau kau mau mengakuinya. Sekarang aku mau tanya, dari mana dan kapan kau mencuri ilmu itu? Apakah kau mengirimkan orang untuk memata-matai kami saat berlatih?", desak Ma Songquan sambil berjalan mendekat. "Kakak Ma Songquan, kuharap kau jangan salah paham. Tidak pernah aku mencurinya, hal itu, hal itu aku dapatkan ketika kita bertarung di waktu yang lampau. ", jawab Ding Tao serba salah. "Hoo benarkah demikian? Jadi maksudmu, karena kau mendapatkannya dalam sebuah pertarungan, maka hal itu tidak bisa disebut mencuri belajar? Begitu maksudmu?", desak Ma Songquan tidak mau mengalah. Ding Tao pun tidak tahu harus menjawab apa. "Entahlah, menurutku memang demikian. Tapi jika Kakak Ma Songquan memaksaku berkata yang sebaliknya, apa lagi yang dapat kukatakan. Aku hanya berharap Kakak Ma Songquan dapat memakluminya. Bukankah kakak tahu, ilmuku sendiri yang kudapatkan dari guruku sangatlah terbatas. Lewat pengalaman aku berusaha mengembangkannya, bukan dengan sengaja jika kemudian ada unsur-unsur tertentu yang kuambil dari ilmu orang lain, yang kudapatkan lewat pengalamanku bertarung." "Hmm.. mudah buatmu untuk berkata demikian, kau tentu juga akan membela diri dengan mengatakan, bukankah demikian juga dengan semua orang lain dalam dunia persialatan. Kita mengembangkan ilmu kita melalui pengalaman. Dengan sendirinya, cara bertarung orang lain pun termasuk di dalamnya. Benar tidak?", desak Ma Songquan pada Ding Tao. "Ya, apa hendak dikata, bukankah memang demikian yang terjadi?", jawab Ding Tao dengan pasrah. "Hee jika begitu bukankah lama kelamaan, ilmu-ilmu yang ada akan semakin bercampur baur. Tergantung dari bakat tiap orang saja untuk mengolahnya.", ujar Ma Songquan sambil menghela nafas, namun suasana permusuhan yang tadinya terpancar sudah menghilang. Melihat itu Ding Tao merasa bersyukur, kiranya Ma Songquan sudah tidak lagi mencurigai dirinya, diapun kemudian menjawab. "Kukira demikian pun tidak ada buruknya. Bukankah dengan cara itu, apa yang ada semakin lama semakin berkembang. Jika tidak salah, ada pula yang berpendapat, bahwa sebenarnya semua ilmu bela diri itu berasal dari satu sumber saja. Maka dari itu, adanya berbagai macam golongan dan aliran, harusnya tidak perlu bersaing." "Ketua Ding Tao benar juga. Jika setiap orang memiliki wawasan yang luas seperti itu, bukan saja ilmu bela diri bangsa kita akan berkembang maju. Suasana persaingan yang tidak sehat antar aliran pun bisa dihilangkan.", ujar Ma Songquan sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Benar, lagipula, ciri-ciri setiap perguruan juga tidak akan hilang. Bagaimanapun juga ilmu itu, kalaupun memang berasal dari satu sumber yang sama, terlalu luas untuk dipahami dan diyakinkan oleh satu orang saja. Itu sebabnya muncul berbagai macam aliran, karena satu orang lebih menitik beratkan pada satu hal, dan orang yang lain menitik beratkan latihannya pada hal yang lain.", jawab Ding Tao yang sudah lupa dengan kemarahan Ma Songquan beberapa waktu yang lalu. "Hmm jika benar ada satu ilmu yang menjadi sumber bagi sekian banyak aliran andai saja ada orang yang memiliki cita- cita yang tinggi dan mulia, yang mau mengumpulkan berbagai macam ilmu yang tercerai berai itu. Dan mengolahnya menjadi satu ilmu yang lebih lengkap. Tentu saja hanya sebagai usaha, agar kebesaran ilmu yang menjadi sumber dari setiap aliran itu tidak terlupakan orang.", ujar Ma Songquan sambil matanya melayang memandang ke kejauhan. Ding Tao yang terbawa suasana ikut mengangguk-anggukkan kepala. "Apakah Ketua Ding Tao setuju dengan perkataanku barusan?", tanya Ma Sonquan. "Ya, ya, seandainya saja ada orang demikian. Hanya saja, perbuatannya itu bisa memancing pula salah paham, seperti yang terjadi barusan.", ujar Ding Tao. "Hmm kalau dia mengumpulkannya dengan cara menantang setiap aliran yang ada untuk bertarung bagaimana?", ujar Ma Songquan. "Wah tidak baik itu, justru cara demikian akan menanamkan benih-benih permusuhan.", ujar Ding Tao sambil menggelengkan kepala. "Ya, ya seandainya saja kitab-kitab yang memuat berbagai macam ilmu dari berbagai macam aliran terkumpul di satu tempat Hehehe, tapi bukankah aku terlalu mengkhayal, hal demikian mana mungkin terjadi?", ujar Ma Songquan, mentertawakan sendiri ucapannya. Tapi justru ucapan Ma Songquan itu membuat Ding Tao tercenung, bukankah apa yang dikatakan Ma Songquan itu justru sudah ada di tangannya saat ini? Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang karena dia menyadari bahwa pada waktu yang sesaat lamanya, dia sempat mempertimbangkan untuk mempelajari pula ilmu-ilmu yang tertulis dalam kitab-kitab itu. Karena memikirkan hal itu, maka cepat Ding Tao menggelengkan kepala dan berkata. "Sekalipun jika ada yang demikian, tidak baik pula jika orang mempelajarinya. Bukankah sama dengan mencuri ilmu namanya?" "Tentu saja tidak.", jawab Ma Songquan dengan tegas. "Jika buku-buku itu sampai di tangannya bukan lewat jalan mencuri, bagaimana bisa dikatakan sebagai pencuri? Jika mempelajari sesuatu dianggap mencuri, lalu apa bedanya dengan menyerap ilmu lawan saat bertarung?", lanjut Ma Songquan, membuat jantung Ding Tao makin berdebar. Melihat Ding Tao masih termangu dan tidak menjawab, Ma Songquan pun meneruskan argumentasinya. "Bukankah peraturan itu dulu muncul karena ada seseorang menggunakan ilmu silat dengan ciri-ciri ilmu milik seorang guru yang melakukan kejahatan. Melihat ciri-ciri itu, orang pun menduga bahwa guru silat itu atau muridnya sudah berbuat kejahatan. Belajar dari pengalaman itu, maka dibuatlah aturan yang ketat, agar pewaris dari satu ilmu bukanlah orang sembarangan." "Tapi coba lihatlah sekarang, murid keluaran dari perguruan besar yang kemudian mencari makan dengan menjadi guru silat. Tidak ada yang namanya ilmu rahasia, jika uang sudah di depan mata dan perut kelaparan. Tidak sedikit ilmu rahasia yang tersebar dengan cara demikian." "Hmm Kakak Ma Songquan, bukankah justru itu menunjukkan sisi buruk dari mempelajari ilmu orang lain?", ujar Ding Tao berusaha menyanggah. "Hee justru itu menunjukkan betapa konyolnya aturan tentang mencuri ilmu itu. Lebih baik jika ilmu itu dipelajari dengan niat yang benar, entah bagaimana caranya. Daripada dipelajari lewat jalur yang benar, namun dengan niat yang tidak benar. Atau dengan iman yang kurang kokoh, lalu hanya jadi alat untuk mengisi perut yang lapar.", ujar Ma Songquan membalas bantahan Ding Tao. "Selain itu, bukankah kita tadi sudah sepakat, bahwa sebenarnya semua ilmu itu bersumber dari satu ilmu yang sama. Jika demikian, bagaimana bisa dikatakan mencuri? Bukankah ketika mempelajari ilmu aliran lain, sebenarnya yang dipelajari hanyalah percabangan dari ilmu kita sendiri?", sambung Chu Linhe yang dari tadi diam saja mendengarkan. "Orang besar harus bisa melihat dari sudut pandang yang luas baru menentukan benar tidaknya satu masalah. Tidak boleh terlalu terikat pada kebiasaan, tanpa mau memahami konteksnya. Mengerti semangatnya, dan tidak terikat pada bentuknya. Seperti seorang hakim harus mengerti keadilan dan bukan sekedar mengerti peraturan.", ujar Ma Songquan lebih lanjut. Mendengarkan perkataan kedua orang itu, Ding Tao pun jadi termangu-mangu. Teringat pula dengan perdebatannya melawan Murong Yun Hua mengenai masalah yang sama. Sekarang dia melihat pula dari sisi yang berbeda dan dari dua orang yang berbeda. Mau tidak mau Ding Tao pun jadi semakin ragu akan keputusannya yang terdahulu, sewaktu dia menolak tawaran Murong Yun Hua. "Hee mengapa melamun? Ketua Ding Tao, sudahlah, maafkan aku kalau tadinya aku sempat curiga padamu.", ujar Ma Songquan sambil menepuk pundak Ding Tao, membangunkan dia dari lamunannya. "Ah, ya. Tidak apa-apa, justru aku yang merasa tidak enak hati pada Kakak Ma Songquan.", ujar Ding Tao. "Baiklah kalau begitu, aku akan menemui mereka yang akan ikut berangkat denganku menuju ke Guiyang hari ini.", ujar Ma Songquan. "Ya, apakah tidak beristirahat lebih dulu? Kita bisa duduk-duduk dulu sebentar sambil mengobrol.", ujar Ding Tao. "Hmmm harusnya begitu, tapi kulihat Ketua Ding Tao sepertinya ada yang sedang dipikirkan. Mungkin itu karena kesalahanku barusan juga yang terburu-buru menuduh tanpa menyelidik terlebih dahulu.", ujar Ma Songquan. "Maafkan kami Ketua Ding Tao, padahal kalau dipikirkan lagi, bukankah kita juga sering bercakap-cakap dan bertukar pikiran mengenai ilmu kita masing-masing. Entah mengapa tiba-tiba kami jadi kesal oleh masalah kecil.", ujar Chu Linhe sambil tersenyum manis. "Sudahlah memang saat ini hatiku gundah memikirkan sesuatu dan hal itu timbul setelah percakapan kita barusan. Namun bukan karena aku tersinggung oleh ucapan kalian. Hanya saja kalian baru saja mengingatkan aku tentang sesuatu.", jawab Ding Tao dengan sungguh-sungguh. "Syukurlah kalau begitu, kuharap Ketua Ding Tao bisa cepat menyelesaikan masalah yang mengganggu pikiran Ketua Ding Tao. Bagaimanapun juga, pemilihan Wuling Mengzhu semakin lama semakin dekat. Ketua Ding Tao sebagai orang yang mewakili harapan kami semua, harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.", kata Chu Linhe dengan manis. "Ya masalah lain tidak usah dipikirkan, Ketua Ding Tao cukup berkonsentrasi saja untuk meningkatkan ilmu Ketua Ding Tao. Kukira pertarungan antara Ketua Ding Tao dan Tetua Xun Siaoma cukup membuka mata. Ada banyak jagoan di luar sana yang ilmunya sukar dijajaki.", sambung Ma Songquan. "Sebenarnya aku yakin kalau Ketua Ding Tao tidak kalah dengan mereka dalam hal bakat, hanya sayang pengalaman Ketua Ding Tao masih kalah jauh dengan mereka.", ujar Chu Linhe ke arah suaminya. "Aku sependapat, dengan banyaknya pengalaman, otomatis semakin banyak jenis ilmu silat yang pernah dihadapi dan dilihat. Ilmu kita sendiri menjadi semakin kaya. Pikiran kita juga jadi semakin berkembang.", jawab Ma Songquan pada Chu Linhe. "Sudahlah, ayo kita pamit sekarang. Soal itu tidak ada jalan keluarnya, yang bisa kita lakukan hanya membantu Ketua Ding Tao sebisanya, kecuali bila kita memiliki perpustakaan seperti Shaolin, mungkin ada gunanya kita berbicara tentang hal itu.", ujar Chu Linhe sambil menarik ujung baju suaminya. "Ya benar orang-orang Shaolin memiliki perpustakaan yang sangat lengkap. Entah ada kitab apa saja di dalam perpustakaan mereka. Kalau saja mereka memperbolehkan orang luar untuk melihatnya, mungkin tidak ada salahnya kita mengajak Ketua Ding Tao untuk berkunjung ke sana.", ujar Ma Songquan menyesali keadaan. "Ah sudahlah, Ketua Ding Tao, kami pamit dulu.", ujar Ma Songquan mengakhiri pembicaraan mereka. "Ya.. hati-hatilah kalian di jalan. Maaf aku tidak bisa membantu banyak. Sebenarnya ingin juga aku ikut pergi berangkat.", ujar Ding Tao dengan tulus. "Hah! Kecoak kecil macam mereka cukup ketua serahkan pada kami sekalian. Tugas ketua justru lebih berat, lawan-lawan yang nanti akan muncul pada pertemuan Wulin Mengzhu tentu tidak akan bisa dibandingkan dengan lawan yang akan kami hadapi beberapa hari lagi. Bukan tidak mungkin, dedengkot-dedengkot macam Tetua Xun Siaoma juga akan bermunculan di sana.", ujar Ma Songquan sambil tertawa lebar. Sekali lagi sepasang suami isteri itu pun berpamitan dan akhirnya mereka meninggalkan Ding Tao sendirian dalam ruang latihannya. Setelah mereka berdua pergi, Ding Tao tidak segera beranjak dari tempatnya. Dia justru menutup pintu ruang latihan dan pergi ke tengah ruangan. Perlahan-lahan dia mulai bertarung dengan bayangannya sendiri. Entah untuk ke berapa kalinya Ding Tao berhadapan dengan bayangan Xun Siaoma. Sampai sekarang pun dia belum berhasil meyakinkan dirinya bahwa dia dapat menang melawan Tetua Xun Siaoma jika harus berhadapan untuk kedua kalinya. Bukan karena dendam jika Ding Tao sering berlatih dengan mambayangkan dirinya sedang berhadapan dengan Xun Siaoma. Tapi karena Xun Siaoma adalah lawan terkuat yang pernah dia hadapi dan Ding Tao sadar dalam perebutan kursi Wulin Mengzhu tentu akan ada lawan-lawan setangguh Xun Siaoma atau bahkan lebih tangguh darinya. Sebenarnya sulit dikatakan, apakah benar jika Ding Tao bertemu dengan Xun Siaoma untuk kedua kalinya, pemuda itu akan kalah untuk kedua kalinya. Bayangan Xun Siaoma dalam benak Ding Tao, tidak mewakili Xun Siaoma yang sesungguhnya. Apalagi pemuda itu memandang Xun Siaoma sebagai orang yang dituakan, seorang pendekar pedang legendaris, dengan sendirinya, Xun Siaoma yang muncul dalam bayangannya beberapa kali lebih tangguh dari kenyataannya. Meskipun demikian pemikiran itu tidak pernah terlintas dalam benak Ding Tao. Perasaan rendah dirinya tidak mudah diobati. Sudah bertahun dia merasa diri lebih rendah ilmunya dibandingkan orang lain. Kemenangan yang pernah dia raih hanya mampu meningkatkan sedikit keyakinan dalam dirinya dan yang sedikit itu hilang lenyap begitu dia berhadapan dengan Pan Jun dan Xun Siaoma. Baiknya Ding Tao bukan orang yang mudah berputus asa, rasa tanggung jawab yang kuat menyebabkan dia bekerja berkali lipat lebih keras untuk menutupi kekurangannya. Tapi latihan kali ini berbeda dengan latihan biasanya. Jika biasanya Ding Tao berkonsentrasi penuh, berusaha memecahkan serangan-serangan Xun Siaoma yang muncul dalam benaknya. Kali ini dia mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, tidak jarang saat dia hendak bergerak, teringatlah dia dari mana dia mengambil gerakan itu. Terkadang gerakan yang hendak dia pakai adalah gerakan yang dia "curi" Dari Liu Chuncao, ada kalanya gerakan itu dia dapatkan saat berlatih melawan Wang Xiaho, atau gerakan dari Ma Songquan dan Chu Linhe. Bahkan ada pula gerakan- gerakan yang dia serap dari pertarungannya melawan Pan Jun dan Xun Siaoma sendiri. Akhirnya pemuda itu menjatuhkan dirinya ke lantai dan merenungi kembali percakapannya dengan Ma Songquan dan Chu Linhe. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong