Pedang Angin Berbisik 13
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 13
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Dalam memikirkan tugas yang dibebankan gurunya, yang dipikirkan adalah bagaimana caranya dia membunuh Ren Zuocan. Dalam kepercayaan yang diberikan gurunya, sebagai pemilik paling tepat bagi Pedang Angin Berbisik, Ding Tao merasakan anyirnya darah yang akan terus mengikutinya kemanapun dia pergi. Bayangan itu tidak sesuai dengan wataknya yang halus dan menyukai keindahan, hangatnya matahari pagi, sejuknya embun pagi dankelembutan cahaya rembulan. Ding Tao mempelajari ilmu pedang, dia terpikat oleh kerumitan dan keindahannya, dia dibebani oleh kewajiban dan tanggung jawabnya. Namun dia juga dihantui oleh sifat pembunuh yang terkandung di dalamnya. Tapi hari ini Ding Tao melihat kemungkinan yang lain dalam ilmu yang dia pelajari. Dia melihat kemungkinan yang lain dari tugas yang diberikan gurunya. Hatinya jadi tenang, sebelumnya dia bagaikan sedang berdebat dan bertarung dengan dirinya sendiri. Prinsip-prinsip hidup yang dia anut dan perasaan hati nuraninya menghadapi pertentangan yang tidak bisa dia pecahkan. Hari ini pertentangan itu sudah dapat dia perdamaikan. Kedamaian yang tiba-tiba dia rasakan, sulit dikatakan. Dengan langkah penuh keyakinan Ding Tao melanjutkan perjalanannya ke arah kediaman keluarga Murong. Di luar tahunya diam-diam ada 2 pasang mata yang mengikuti pemuda itu. "Benar-benar pemuda berbakat", desis seorang dari antara mereka. "Benar, tapi bukankah kakak juga berbakat dalam hal ilmu pedang? Apakah menurut kakak dia lebih berbakat dari kakak?", tanya yang seorang lagi, seakan kurang rela jika ada yang melebihi bakat rekannya. "Ahh orang bilang aku berbakat, kukira diriku berbakat, tapi kalaupun benar demikian antara bakat dan bakat, nyata bermacam-macam pula tingkatannya. Jangan kau bandingkan diriku dengan pemuda itu. Itu ibaratnya membandingkan tingginya bumi dengan tingginya langit." "Benarkah sehebat itu?" "Hmm masa kau pikir aku mengada-ada? Apakah pernah aku membual?" "Tidak, kakak tidak pernah membual. Aku tak tahu soal bakat, tapi hati kakak aku tahu benar.", jawab yang seorang lagi dengan lembut. Tertawa di dada pasangannya mendengar pujian itu. "Heheheh, adik kalau kau begitu mengenal hatiku, coba kau katakan apa yang kupikirkan." Tertawa mengikik dengan lembut yang seorang menjawab. "Itu mudah saja, melihat bakat dan kepribadiannya, timbul rasa suka dan simpati dalam hati kakak. Melihat jalan di depannya yang penuh dengan halangan dan jebakan, hati kakak pun jadi tak tega. Karenanya kakak ingin kita mengikutinya secara diam-diam, bersiap memberikan bantuan saat diberikan tapi di saat yang sama janganlah sampai orang menganggap kita ini punya hubungan baik dengan dirinya." "Hahaha, nyata benar kau memang bisa membaca hatiku seperti membaca sebuah buku. Apakah kau setuju dengan pikiranku?" Sosok yang satu menggelendot manja mendengar pertanyaan itu, dengan suara lembut menggoda dia menjawab. "Tentu saja aku setuju, kita sudah sehati sepikiran, apa perlunya kakak bertanya. Hanya saja, apa kakak tidak takut aku jatuh cinta padanya nanti?" "Hahaha, kau tahu hatiku, masa aku tidak bisa membaca pula hatimu. Baiklah kalau begitu kita harus mengikutinya diam- diam. Melihat arahnya tentu dia pergi ke arah kediaman nona-nona cantik itu. Hmmm benar-benar bernasib pahlawan, bukan hanya berbakat dan jalannya penuh rintangan. Kehidupan cintanya pun diwarnai gadis-gadis cantik." Mendengar ucapan orang, sekali lagi pasangannya tertawa manja. "Hohoho, apa kau juga tertarik pada kedua gadis bermarga Murong itu? Kutahu kau beberapa kali kau menyelidik rumah mereka secara diam-diam saat mencari jejak Ding Tao. Tentu kau sempat pula mengintip dua orang gadis itu." "Hahahaha, cintaku padamu tak perlu kau ragukan. Lagipula gadis-gadis Murong itu tidak sesuai dengan seleraku." "Ah, kalau hanya omong saja semua orang tentu bisa, tapi aku perlu bukti.", dengan suara yang semakin manja pasangannya berkata. "Hahaha, kutahu bukti apa yang kau mau, sudah jelas kau bukan menyuruhku membunuh orang. Kukira soal bukti, tinggal satu saja yang bisa kuberikan." Pasangannya tiba-tiba memekik tertahan dan tertawa kegelian. Setelah itu tidak ada suara apa-apa, hanya dengusan nafas yang memburu dan erangan perlahan. Selain anak di bawah umur, yang lain tentu tahu apa artinya suara-suara itu. Siapa lagi pasangan kekasih yang berniat mengintil Ding Tao? Sudah jelas mereka itu adalah sepasang iblis yang dari lawan berubah jadi kawan. Karena merasa sudah tahu arah perjalanan Ding Tao, mereka tidak terlalu terburu-buru untuk mengikutinya. ----------------------- o ----------------------- Pertarungan antara Ding Tao dan sepasang iblis muka giok memakan cukup banyak waktu. Saat Ding Tao sampai di kediaman, matahari berada di tengah-tengah. Pekerja-pekerja yang biasanya terlihat rajin bekerja, sedang beristirahat dan memakan bekal mereka sambil bersenda gurau. Ketika mereka melihat Ding Tao berjalan ke arah mereka, mereka pun terdiam. Satu per satu bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat ke arah Ding Tao yang masih beberapa langkah jauhnya dari mereka. Ding Tao tentu saja jadi terkejut dan tidak enak hati, cepat-cepat dia balas membungkuk hormat pada mereka. Sejak kecil dia diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua. Sebagai seorang pelayan, tentu tidak ada yang mengajarkan untuk membeda-bedakan kelas, karena kelas dari golongan Ding Tao adalah kelas yang terendah. Itu sebabnya hingga sekarang pun, setiap orang yang lebih tua dari dirinya akan dia perlakukan dengan sopan. Entah itu seorang tuan besar atau "sesama" Pelayan. Kecuali jika berhadapan dengan lawan, maka yang mengambil alih adalah kisah-kisah pertarungan dalam cerita kepahlawanan. Tidak peduli siapa lawan, apakah orang kaya atau miskin, seorang pelayan atau seorang bangsawan, tidak nanti Ding Tao menunduk-nunduk meminta maaf. "Paman-paman sekalian, selamat siang, harap jangan terlalu sungkan begini. Lanjutkan saja istirahat kalian. Apakah Nona Yun Hua ada di rumah?", ujar pemuda itu dengan perasaan serba salah. Seorang dari antara mereka menjawab, sementara yang lain masih berdiri menunggu sampai Ding Tao berlalu dari tempat itu. "Tuan muda, kebetulan sekali Nona Yun Hua dan Nona Huolin ada di dalam sedang makan siang. Mari saya antarkan tuan ke sana." "Ah, baiklah, terima kasih banyak paman.", jawab Ding Tao dengan sopan. Sepanjang perjalanan keduanya terdiam, Ding Tao menjadi serba salah karena perlakuan mereka yang terlampau sopan baginya, sementara yang mengantar tidak ingin dianggap tidak sopan dengan berbicara sebelum diajak berbicara. Ketika akhirnya mereka sampai di ruang makan, Ding Tao menghembuskan nafas lega diam-diam. Sekali lagi keduanya saling membungkuk hormat saat pekerja yang mengantarkan Ding Tao berpamitan hendak kembali beristirahat. Murong Yun Hua dan Murong Huolin tentu saja sangat kaget dan gembira melihat kedatangan Ding Tao, bergegas Murong Yun Hua datang menyambutnya. Dengan wajah berseri, Murong Yun Hua tanpa ragu-ragu menggandeng Ding Tao dan menariknya ke meja makan, serentetan pertanyaan pun dilontarkan. "Adik Ding ah, senang sekali hatiku melihatmu mau berkunjung lagi kemari. Selama beberapa bulan ini kau di mana saja? Mengapa badanmu jadi tambah kurus begini? Apakah kau terus menerus berlatih? Tentu kehidupanmu selama beberapa bulan ini sangat berat, sekarang kau harus banyak2 makan." Senyum mengembang di wajah Ding Tao. "Enci Yun Hua, kau tampak cantik sekali hari ini, sepertinya bau masakan hari ini sangat lezat, apakah kau yang memasaknya Enci Yun Hua?" "Hei, bukan cuma aku yang masak hari ini, Adik Huolin pun ikut membantu.", jawab Murong Yun Hua sambil mengisi sebuah mangkok dengan nasi dan menyerahkannya pada Ding Tao. "Benarkah? Wah rupanya sekarang Adik Huolin tertarik pula untuk melihat dapur, bukan hanya memainkan pedang saja, tapi masakannya aman buat dimakan kan?", goda Ding Tao. Tidak seperti biasanya Murong Huolin yang biasanya jahil hari ini lidahnya lebih jinak daripada biasanya, mendengar godaan Ding Tao pipinya bersemu merah sambil memonyongkan mulut. "Huuh kalau tidak suka tidak usah dimakan." Ding Tao dan Murong Yun Hua tertawa tergelak melihat Murong Huolin yang tersipu malu. Entah sejak kapan Ding Tao merasa nyaman berada dalam keluarga ini. Mungkin dimulai saat dia berlatih tanding dengan Murong Huolin atau sejak Murong Yun Hua mendengarkan dengan sungguh-sungguh pendapatnya tentang taman mereka. Yang pasti lepas dari apa yang terjadi saat dia berpamitan beberapa bulan yang lalu. Ding Tao merasa seperti berada di rumah sendiri. Suasana makan siang jadi gembira, Ding Tao menceritakan tentang keberhasilannya menguasai ilmu dalam kitab yang dipinjamkan. Murong Yun Hua menyambut berita itu dengan penuh semangat, pandang matanya menyiratkan kebanggaan atas keberhasilan pemuda itu. Sementara Murong Huolin semakin mengagumi Ding Tao. Setelah makan siang selesai, Ding Tao mengeluarkan kitab Tenaga Inti Bumi dari buntalannya dan mengembalikannya pada Murong Yun Hua. "Enci Yun Hua, berkat kitab dan obat pemberianmu, akhirnya aku berhasil membebaskan diri dari pengaruh Tinju 7 Luka, terima kasih banyak.", ujar Ding Tao sambil mengembalikan keduanya. "Sama-sama Adik Ding, berapa lama kau akan tinggal di sini?", tanya Murong Yun Hua. "Sebenarnya aku berencana untuk memuli perjalanan kembali secepatnya. Semakin lama aku menunggu, hati ini jadi tak tenang. Apakah enci mendengar satu berita dari dunia persilatan?" Wajah cantik Murong Yun Hua jadi kembali mendung. "Sayangnya tidak sudah lama kami tidak ikut campur urusan dunia persilatan. Adik Ding, aku tidak bisa menutupi perasaanku padamu. Aku coba mengerti keadaanmu, tapi itu berat sekali bagiku" Murong Huolin yang jengah mendengar ke arah mana percakapan itu mengarah, dengan suara tak jelas berpamitan keluar. Ding Tao memandang kepergian Murong Huolin, dia melihat bagaimana gadis itu berubah sikapnya. Hatinya merasa sedikit sedih karena hubungannya dengan kakak beradik ini menjadi rumit dikarenakan masalah cinta. Menghembuskan nafas panjang-panjang Ding Tao berusaha meringankan beban di dada. "Enci Yun Hua, apakah Adik Huolin masih marah padaku? Kulihat sikapnya tidak sebebas biasanya." "Marah padamu? Kenapa kau sampai berpikir seperti itu?", Murong Yun Hua bertanya balik. "Ya biasanya dia nakal dan suka menggoda, tapi sejak kepergianku yang kurang mengenakkan itu, pertarungan di antara kami, lalu sekarang terlihat dia jadi lebih pendiam. Entahlah, kurasakan sikapnya berbeda, lebih dingin dan tertutup." Senyum geli dan sayang menghiasi wajah Murong Yun Hua. "Ah, bocah tolol, tidak tahukah kau dia menaruh hati padamu? Ini pertama kalinya dia jatuh cinta, itu sebabnya dia sendiri masih bingung dengan perasaannya dan bersikap malu-malu. Apalagi" Dengan nada yang sedikit sedih dia melanjutkan. " apalagi, Adik Ding sudah memiliki tambatan hati " "Itu ah apakah Enci Yun hua tidak salah duga?", sekarang Ding Tao menjadi merasa semakin bersalah saja pada dua kakak beradik ini. "Tidak, sudah tentu tidak, saat kau berpamitan untuk pergi, dia tidak kelihatan di mana-mana dan tidak ikut mengantarmu. Tahukah dirimu, dia sedang mengurung diri di kamar, menangisi kepergianmu. Begitulah sifat Huolin, tertawa lepas jika senang, menangis dan menutup diri saat sedih." Melihat wajah Ding Tao yang bersusah hati, Murong Yun Hua menggenggam tangan pemuda itu dan menenangkannya, "Adik Ding, janganlah terlalu dipikirkan. Usianya masih muda, masa depannya masih terbentang luas. Setelah beberapa lama, tentu dia akan menerima keadaanmu apa adanya." "Ya, Adik Huolin seorang gadis yang sangat baik, aku berharap dia bertemu dengan orang yang pantas dan bisa membahagiakannya Begitu juga dengan Enci Yun Hua", ujar Ding Tao dengan setulusnya. Murong Yun Hua tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk saja. Untuk sejenak lamanya mereka duduk dalam diam, entah pikiran apa saja yang lewat dalam benak mereka. Ding Tao yang lebih dahulu memecahkan keheningan itu. Suaranya lembut hampir berbisik. "Enci Yun Hua, kita sudah aku kembalikan, kukira sudah saatnya aku melanjutkan perjalanan sekali lagi aku ucapkan terima kasih yang tak terkira budi baikmu tidak akan pernah bisa kubalas di kehidupan ini" Murong Yun Hua hanya mengangguk sambil menggigit bibir, air matanya kembali merebak dengan senyum dipaksakan. Ding Tao tidak tahan melihat Murong Yun Hua dalam keadaan seperti itu, perlahan dia bangkit berdiri dan sekali lagi dia mengangguk berpamitan. Murong Yun Hua sudah mengangguk membalas anggukan Ding Tao, merelakan kepergiannya, tapi tiba-tiba sebelum Ding Tao sempat beranjak tangannya menggenggam tangan Ding Tao dan menahannya. "Adik Dingah kutahu kau harus segera pergi, hanya saja ini berat sekali bagiku. Adik Ding maukah kau menjawab pertanyaanku?" Ding Tao menghela nafas panjang. "Tentu Enci bertanyalah apa saja, aku akan menjawab dengan sejujurnya." "Ding Tao apakah apakah kau tidak merasa tertarik sedikitpun padaku? Awalnya kukira, aku melihat itu di matamu, itu sebabnya aku sampai nekat melemparkan diriku padamu, tidak kusangka" "Enci, ya sejujurnya aku, ya aku merasakan hal itu, Enci, Enci adalah seorang wanita yang cantik luar biasa dan baik hati." "Apakah seandainya, ya seandainya kau belum bertemu Huang Ying Ying, mungkinkah kau mencintaiku?" Ding Tao tidak bisa menjawab, lidahnya terasa kelu, tapi dia masih bisa menganggukkan kepalanya. Melihat anggukan kepala Ding Tao Murong Yun Hua tersenyum untuk sesaat lamanya. "Ding Tao katakan sejujurnya, adakah sedikit saja rasa cinta bagiku di hatimu?" Terpandang wajah Murong Yun Hua, teringat kejadian yang lalu, bagaimana hancurnya hati Murong Yun Hua, dilihatnya jauh ke dalam hatinya sendiri dan Ding Tao tahu apa jawabannya. Meskipun dia pun tidak mengerti lagi, apa itu cinta? Bisakah seorang laki-laki mencintai lebih dari satu orang wanita? Jika ya, apakah itu masih cinta namanya? Dia tahu dia menginginkan wanita di hadapannya ini, lebih dari sebelumnya, tubuhnya menginginkan wanita di hadapannya ini. Ding Tao menelan ludah beberapa kali, dengan suara parau dia menjawab. "Entahlah cici aku tidak tahu lagi apa itu cinta" Murong Yun hua menatap dalam-dalam mata pemuda yang jujur itu. "Ding Tao kau bilang kau tidak tahu lagi apa arti kata cinta, kenapa?" Sejak pertama kali bertemu Murong Yun Hua, pertanyaan ini sudah muncul dalam benaknya. Sekarang Murong Yun Hua bertanya padanya, saat dia tenggelam dalam mempelajari Tenaga Inti Bumi, pikiran itu tidak teringat, tapi sekarang oleh pertanyaan Murong Yun Hua, Ding Tao kembali menelusuri pemikirannya. "Enci Yun Hua, orang bilang saat jatuh cinta, ada rasa bahagia saat bersama dengan orang yang kau cinta itu, ada debaran-debaran dalam jantungmu, saat tidak bertemu orang itu yang ada dalam benakmu dan sebagainya. Menurut cici apakah benar demikian?", tanya Ding Tao berusaha menjelaskan yang dia rasakan. "Ya, begitulah yang kurasakan dahulu sewaktu baru bertemu dengan Kakak Yong dan dan saat bertemu denganmu", jawab Murong Yun Hua tersipu malu. Ding Tao merasakan wajahnya memerah, tapi dia berusaha tetap fokus pada penjelasannya. Karena hal ini terasa penting juga baginya, satu pikiran yang sangat mengganggu dirinya. Perasaan terhadap Murong Yun Hua dan Murong Huolin yang dia pendam, membuat dia merasa risau. Bisa jadi dia tidak melakukan apa-apa yang mengkhianati cinta Huang Ying Ying, tapi dalam hatinya dia sudah menduakan gadis itu. Ding Tao tidak tahu, apakah yang dia lakukan ini sudah bijaksana, tapi dia percaya penuh pada Murong Yun Hua. Gadis itu begitu baik pada dirinya an Murong Yun Hua sudah lebih berpengalaman dalam hal ini. Selain itu Ding Tao berharap Murong Yun Hua tidak terlalu bersedih atau malu bila teringat kejadian beberapa bulan yang lalu. Dia ingin gadis itu mengerti, bahwa sebenarnya perasaannya bukanlah bertepuk sebelah tangan. Hanya saja, apa daya, Ding Tao sudah terlebih dahulu mencintai Huang Ying Ying. Dengan pemikiran seperti itulah akhirnya Ding Tao mengakui perasaannya. "Dan itulah yang membuatku ragu Enci Yun Hua, karena perasaan yang pernah kurasakan terhadap Huang Ying Ying, kurasakan pula saat aku bertemu dengan Enci Yun Hua dan Adik Huolin. Mungkinkah cinta terbagi-bagi? Jika setiap kali aku bertemu gadis yang menarik, lalu aku jatuh cinta, orang macam apakah aku ini? Atau mungkin sebenarnya bukan itu yang namanya cinta? Sungguh aku tidak mengerti" Murong Yun Hua ikut termenung memikirkan curahan hati Ding Tao, dalam hati ada rasa senang dan bahagia, karena pemuda itu sama saja sudah mengakui bahwa diapun ada rasa terhadap dirinya. Meskipun juga di saat yang sama Ding Tao mengakui dia pun ada rasa dengan dua orang wanita lain. Tiba-tiba Murong Yun Hua jadi tidak tahu harus merasa senang atau kesal, dan dengan gemas Murong Yun Hua mencubit tangan Ding Tao keras-keras. "Aduh aduh Enci Yun Hua kenapa tiba-tiba aku dicubit?", tanya Ding Tao yang terkejut, tidak menyangka Murong Yun Hua akan mencubitnya. Sambil memonyongkan bibir dengan manja Murong Yun Hua menjawab. "Hmm, di sana ada kekasih, di sini ada pula, lelaki macam dirimu ini kalau tidak dicubit mesti bagaimana lagi?" Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendengar itu wajah Ding Tao jadi memerah, malu dan juga kecewa pada diri sendiri. "Itulah Enci Yun Hua, dalam hal ini, aku merasa sangat bersalah. Pada kalian semua, entahlah" Melihat Ding Tao begitu tulus merasa bersalah, Murong Yun Hua jadi ingin menghiburnya. "Jangan terlalu kaupikirkan, bukankah aku mencubitmu tapi tidak sungguh-sungguh marah padamu. Jika aku benar-benar marah padamu, aku justru tidak akan mencubitmu. Aku tidak akan mau mengenalmu sama sekali. Kurasa, apa salahnya jika seseorang mencintai lebih dari satu orang? Apalagi bila itu seorang lelaki, bukankah hal itu sudah umum terjadi?" Ding Tao tidak bisa menerima penjelasan seperti itu. "Tidak benar, pendapat umum tidak selamanya benar, bagaimana dengan asas keadilan? Jika lelaki boleh beristeri lebih dari satu tapi wanita dipandang hina jika memiliki kekasih lebih dari satu, di mana keadilannya? Seorang suami tentu mengharap isterinya hanya untuk dirinya sendiri. Bila dia mengharap demikian tentu isterinya pun berharap bahwa suaminya hanya untuk dirinya sendiri." "Aku tidak mengerti tentang keadilan Adik Ding, tapi apakah keadilan hanya bisa dipahami seperti yang baru saja kau katakan? Jika seorang suami beristeri tiga, tapi dia mampu membuat ketiga-tiganya merasa bahagia apakah itu tidak baik? Jika dia memilih beristeri satu, tapi karena pilihannya itu ada dua wanita yang hancur hatinya, apakah itu adil?", tanya Murong Yun Hua. "Entahlah Enci Yun Hua, sudah kukatakan, akupun bingung dengan hal ini. Jika aku mau menuruti kesenangan saja, sudah tentu aku memilih untuk memiliki kalian bertiga. Jika memang itu yang paling adil, lalu mengapa aku merasa bersalah saat memikirkannya? Kenapa hati nuraniku berontak?", jawab Ding Tao menyanggah. Mendengar sanggahan Ding Tao, Murong Yun Hua semakin tertarik pada pemuda itu. Perlahan Murong Yun Hua berdiri lalu duduk di pangkuan Ding Tao dan menyandar di tubuh pemuda itu. "Mungkin kau benar Adik Ding alangkah indahnya jika setiap lelaki berpandangan sama denganmu..." Tangannya bergerak memeluk Ding Tao, dengan suara yang lembut dia berbisik dekat telinga pemuda itu. "Adik Ding, aku tidak akan mengungkit-ungkit lagi masalah pewaris keluarga Murong, hanya saja pintaku, tinggallah semalam lagi di sini. Kau benar, tidak baik jika kau menduakan Nona Huang Ying Ying Aku rela dia memilikimu sepanjang sisa hidupmu, aku hanya minta dirimu, malam ini saja Semalam saja Adik Ding" Di ruangan tidak ada orang lain, hanya mereka berdua. Ding Tao seorang laki-laki dan Murong Yun Hua seorang wanita, wanita yang kecantikannya sulit dicari tandingannya di masa itu. Jika pada jaman tiga kerajaan ada Diao Chan, pada masanya Ding Tao ada Murong Yun Hua. "Aku, meskipun demikian, bagaimana perasaan Adik Ying Ying jika dia tahu", dengan suara bergetar Ding Tao masih coba bertahan, tapi antara tubuhnya dengan otaknya sudah tidak sejalan. "Jika kau tidak mengatakannya dan aku tidak mengatakannya, darimana dia bisa tahu?", bisik Murong Yun Hua. "Tapi dalam hati ini, hati nuraniku akan terus menuntut kejujuran dariku. Menyalahkanku karena telah bertindak tidak adil terhadap Adik Ying. Aku bisa bersembunyi dari manusia, tapi tidak dari hatiku sendiri.", jawab Ding Tao mengeluh. "Adik Ding, pikirkanlah dia mencintaimu, akupun mencintaimu dan kau mencintai kami berdua. Hanya karena permainan nasib, kau bertemu dengannya terlebih dahulu. Di mana letak keadilannya? Kau mengatakan hatimu akan tersiksa, tapi bagaimana dengan hatiku?" Meskipun di mulut dia hendak menolak, tapi tubuhnya tidak kuasa untuk mendorong Murong Yun Hua pergi. Jangan lupa juga, khasiat dari Obat Dewa Pengetahuan, obat ini berkhasiat meningkatkan kerja otak dan susunan syaraf. Berkat obat itu panca indera Ding Tao menajam, kepekaannya meningkat dan otaknya bekerja menerima masukan dari luar dengan lebih terperinci. Jadi bayangkan saja, jika sebelumnya sewaktu Murong Yun Hua hendak memaksa Ding Tao menerima warisan keluarga Murong, Ding Tao sudah mengalami kesulitan untuk menolaknya. Apalagi sekarang, ditambah lagi dengan jaminan bahwa Murong Yun Hua tidak akan menuntut apa-apa darinya. "Enci, apakah ini cinta namanya? Apakah ini bukannya nafsu belaka?", ujar Ding Tao dengan memejamkan mata, berusaha untuk bertahan dari rangsangan yang dia rasakan. "Akupun tak tahu, apakah ini cinta atau nafsu, yang aku tahu, jika kau melakukannya aku akan sangat berbahagia. Sepanjang sisa hidupku, dengan mengenangkan malam ini, aku akan mendapatkan kekuatan untuk hidup berjauhan darimu" Dan tanpa menunggu jawaban dari Ding Tao, Murong Yun Hua mencium bibir pemuda itu. Ciuman itu hanya sekilas saja, bibir mereka bersentuhan dengan lembut untuk sesaat lamanya lalu berpisah. Tapi sentuhan yang perlahan itu membuat kepala Ding Tao terasa ringan melayang. Ding Tao sudah pernah berciuman dengan Murong Yun Hua sebelumnya, tapi pada saat itu Murong Yun Hua memaksakan dirinya pada Ding Tao. Ciuman yang berikutnya, berbeda dengan yang pernah Ding Tao rasakan sebelumnya. Ciuman ini milik bersama, ciuman yang diinginkan kedua pihak, seperti yang dia lakukan bersama Huang Ying Ying. Tapi saat itu keduanya sama-sama belum berpengalaman. Saat Ding Tao mencium Murong Yun Hua, bibirnya sedikit terbuka, dan dia merasakan lidah Murong Yun Hua menyusup ke dalam, menyapu bibirnya dan menyentuh ujung lidahnya. Kepala Ding Tao berdenyut keras, tiba-tiba muncul keinginan untuk menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Murong Yun Hua, memeluk tubuhnya, merasakan kulit mereka bersentuhan, menyatukan tubuhnya dan tubuh Murong Yun Hua. Sesaat lamanya mereka berciuman dengan hangat, Murong Yun Hua tiba-tiba mundur, mendorong Ding Tao untuk menjauh. Ketika Murong Yun Hua mundur menjauh, Ding Tao berusaha mendekat. Tapi jari Murong Yun Hua yang lentik menyentuh bibir Ding Tao, menghentikannya, dengan suara berbisik penuh gairah dan nafas sedikit terengah dia berkata. "Jangan di sini, mari, kita ke kamarku." Wajahnya yang cantik bersemu merah, beberapa helai rambutnya lepas dari ikatan, jubah luarnya sedikit tersingkap, memamerkan pundak yang putih halus. Meskipun tampak acak-acakan, hal itu hanya membuat Murong Yun Hua tampak semakin cantik. Seperti kerbau dicocok hidungnya, Ding Tao mengikuti Murong Yun Hua. Ketika pintu kamar sudah ditutup, tiba-tiba Ding Tao berdiri termangu, meragu. Ragu akan apa yang harus dia lakukan, namun tangan Murong Yun Hua menyentuh pipinya, dengan lembut dia menarik Ding Tao ke arah dirinya dan mereka kembali berciuman. Kali ini Ding Tao tidak menunggu, saat dia merasakan bibir Murong Yun Hua terbuka, lidahnya menyelusup ke dalam bertemu dengan lidah Murong Yun Hua. Dengan lembut ditariknya Murong Yun Hua ke dalam pelukannya. Tubuh Murong Yun Hua terasa begitu lembut dan rapuh dalam pelukannya. Baju sutranya berdesir lembut saat Ding Tao memeluk sambil membelai punggungnya, menyentuh pinggulnya, meremas lembut pantatnya. Mendesah Murong Yun Hua membelai lengan dan punggung Ding Tao, merasakan otot-ototnya yang keras dan bertonjolan. Perlahan tangan Murong Yun Hua merengkuh kepala Ding Tao dengan kedua tangannya, lalu dengan lembut mengarahkannya ke arah lehernya yang jenjang. Saat bibir Ding Tao mengecup lehernya, tanpa bisa ditahan Murong Yun Hua mengerang nikmat. Erangan Murong Yun Hua membuat Ding Tao merasa bergairah, bibirnya menciumi leher Murong Yun Hua, mendengarkan erangan Murong Yun Hua lembut penuh kenikmatan, ciumannya merayap semakin ke bawah hingga sampai di pundak Murong Yun Hua yang tertutup jubah luarnya. Murong Yun Hua mendekap kepala Ding Tao ke dadanya, jantungnya yang berdenyut-denyut terasa nyaman dengan kepala Ding Tao menyandar di sana. Sesaat kemudian Ding Tao merasa tangan Murong Yun Hua melepaskan kepalanya, saat dia menengadahkan kepalanya, dilihatnya Murong Yun Hua memandang dirinya mesra, tangannya sedang melepaskan ikat pinggang yang mengikat jubah luarnya. Tidak lama kemudian jubah itu sudah terlepas, dengan pandang mata penuh gairah Ding Tao memandanginya, kedua pundak Murong Yun Hua yang putih halus dan belahan dadanya. Ding Tao kembali menundukkan kepala, menciumi kedua pundak Murong Yun Hua yang halus. Di tengah erangan Murong Yun Hua, terdengar desir kain yang jatuh ke lantai dan tangan Murong Yun Hua menarik tangannya, meletakkannya ke sepasang dadanya yang sudah terbuka tidak ditutupi selembar kainpun. Ding Tao mengangkat kepalanya, memandangi Murong Yun Hua yang sudah telanjang tanpa ada satupun bagian dari tubuhnya yang ditutupi kain. Tersipu malu Murong Yun Hua bertanya. "Apakah kau menyukainya?" Buah dadaku buah dadaku terlalu kecil" Ding Tao menggelengkan kepala, seakan pikiran itu sangat tidak masuk akal. "Payudaramu indah sekali tubuhmu sempurna" "Benarkah ?", Murong Yun Hua merasa terbuai oleh jawaban Ding Tao. Dan sebagai jawaban Ding Tao merengkuh buah dada Murong Yun Hua. Jari-jari Ding Tao menelusuri setiap jengkal buah dada Murong Yun Hua, kemudian dengan lembut dia meremasnya. "Perlahan", desis Murong Yun Hua saat Ding Tao mulai membelai kedua payudaranya. Dan dengan lembut Ding Tao mengecup pucuk dada Murong Yun Hua dan Murong Yun Hua pun mengerang dan mengejang oleh rasa nikmat. Erangan Murong Yun Hua menyulut gairah Ding Tao, dengan lembut dia menciumi kedua payudara Murong Yun Hua, tangannya menjelajahi lekak-lekuk tubuh Murong Yun Hua. Sensasi yang dirasakan Murong Yun Hua tak tertahankan, gairahnya menyala-nyala, bagian bawah tubuhnya, miliknya yang paling pribadi berdenyut-denyut menginginkan Ding Tao, merasakan Ding Tao menyatu dengannya. Dengan suara parau, Murong Yun Hua meminta. "Buka bajumu aku ingin merasakan tubuhmu" Ding Tao melucuti pakaiannya dengan cepat, melepaskan sepatunya kemudian celananya. Kemudian direngkuhnya Murong Yun Hua dan didukungnya ke atas pembaringan. Tubuhnya tegap dengan otot bertonjolan. Segera setelah tubuh Murong Yun Hua terbaring di atas pembaringan, Ding Tao kembali menciumi dan menjelajahi tubuh Murong Yun Hua dengan kedua tangannya. Gairah Murong Yun Hua yang sempat mereda, kembali menyala, seluruh tubuhnya berdenyut menginginkan Ding Tao. Tangannya menelusuri garis tubuh Ding Tao, dengan lembut menyapu perut Ding Tao, menyusup ke bawah dan menemukan kejantanannya yang menegang keras, panas. Dibelainya batang kejantanan Ding Tao beberapa saat, pemuda itu melenguh nikmat. Kemudian dengan hati-hati Murong Yun Hua mengarahkan kejantanan Ding Tao ke daerah kewanitaannya. Ding Tao berhenti bergerak dan menatap mata Murong Yun Hua dengan lembut dan penuh cinta, menanti jawaban. Murong Yun Hua tersenyum dan memejamkan matanya. Sesaat kemudian Murong Yun Hua merasakan Ding Tao perlahan memasukinya, tanpa bisa dicegah dia melenguh nikmat, didekapnya pemuda itu kuat-kuat saat dirasakannya tubuh Ding Tao menindih dirinya, dan bergerak perlahan, berirama. Tubuh Ding Tao yang menindihnya rapat, menekan buah dadanya dan setiap kali dia bergerak, sekujur tubuh Murong Yun Hua dijalari kenikmatan, dari daerah kewanitaannya, dari dadanya yang sensitif. Kamar itupun dipenuhi suara erangan penuh kenikmatan. Setiap kali keduanya bersatu, dalam tiap erangannya Murong Yun Hua menyebut-nyebut nama Ding Tao. Berat bagi Ding Tao untuk meninggalkan kediaman keluarga Murong setelah apa yang terjadi di malam sebelumnya. Pagi itu, Ding Tao dan Murong Yun Hua bercinta sekali lagi. Ding Tao meninggalkan kediaman Murong saat matahari sudah tinggi di langit. Selain memberikan bekal makanan dan pakaian, Murong Yun Hua memberikan lagi sejumlah pil Obat Dewa Pengetahuan untuk dibawa Ding Tao, karena obat itu tidak boleh dihentikan penggunaannya dengan tiba-tiba, melainkan harus dikurangi secara bertahap. Murong Yun Hua juga coba memberikan sejumlah uang pada Ding Tao, namun pemuda itu menolak dengan keras. Langkah kakinya berat melangkah menyusuri jalan, padahal baru kemarin dia menyusuri jalan yang sama dengan semangat berkobar. Tidak heran jika banyak dari mereka yang menekuni jalan pedang memilih untuk tidak terikat dengan cinta. Tapi sejak awal Ding Tao sudah terlanjur jatuh dalam jerat cinta dan sekarang benang-benang cinta yang menjeratnya semakin rumit dengan kehadiran Murong Yun Hua. Perjalanannya kembali ke Wuling ini justru berjalan dengan lancar. Setidaknya ada dua sebab, yang pertama, sejak pertarungan Ding Tao dengan kelompok Fu Tsun, Xiang Long dan akhirnya Sepasang Iblis muka Giok, nama Ding Tao mulai dikenal orang sebagai seorang jagoan muda yang berbakat. Gerombolan bandit seperti gerombolan Laba-laba kaki tujuh atau gerombolan Wang Dou, merasa jerih terhadap pemuda ini. Sebab kedua, yang lebih penting adalah, banyak yang meragukan rumor tentang Ding Tao memiliki Pedang Angin Berbisik. Kenyataannya Ding Tao tidak menggunakan pedang itu, bahkan ketika dia harus bertarung mempertaruhkan nyawa melawan Sepasang Iblis Muka Giok. Apalagi ketika berita tentang pecahnya hubungan antara keluarga Huang dengan salah seorang kepercayaan mereka, Tiong Fa, karena Tiong Fa lah yang malam itu melakukan kejahatan di kediaman keluarga Huang. Menghubung-hubungkan kedua berita ini, dugaan orang, tentang siapa pemilik Pedang Angin Berbisik saat ini, segera tertuju pada Tiong Fa. Maka mempertimbangkan dua hal itu, banyak yang merasa suatu kebodohan untuk mengambil resiko dengan menanam bibit permusuhan dengan Ding Tao, sementara kemungkinan besar Pedang Angin Berbisik yang diincar justru berada di tangan Tiong Fa. Itu sebabnya perjalanan kembali ke Wuling dilalui dengan lancar, meskipun Ding Tao melakukan perjalanan tanpa penyamaran. Benak pemuda itu lebih banyak terikat pada apa yang sudah dia lakukan dengan Murong Yun Hua dan apakah dia akan mengatakan sejujurnya pada Huang Ying Ying atau menyimpan rahasia itu. Dan di luar sepentetahuan pemuda itu, Sepasang Iblis Muka Giok, mengikuti dirinya, sebelum Ding Tao memasuki kota, maka mereka akan mendahului pemuda itu dan meninggalkan pesan disertai lambang pengenal mereka pada orang-orang yang kemungkinan besar akan menyusahkan pemuda itu. Tapi kisah pertarungan Ding Tao telah mengundang perhatian dalam bentuk yang berbeda. Meskipun tanpa penyamaran, Ding Tao memilih berjalan bersama rombongan pedagang yang hendak pergi ke kota Wu Ling. Selain mendapatkan teman di sepanjang perjalanan, Ding Tao mendapatkan sedikit yang dengan janji untuk ikut membantu mengawal barang mereka sepanjang perjalanan nanti. Sesampainya mereka di kota Jiang Ling, Ding Tao pun berpamitan. Kepala dari pengawalan yang sebenarnya, seorang berumur 50 tahunan, dengan sebelah daun telinga terpotong setengah, bernama Wang Xiaho, menghitung sejumlah yang dan menyerahkannya pada Ding Tao. "Terimalah ini adik kecil, 10 keping, tidak buruk heh?", ujarnya sambil tersenyum, memamerkan beberap giginya yang hilang. Ding Tao mengangguk sambil tersenyum sopan. "Ya, lumayan, terima kasih banyak paman." "He, kau tahu tidak, dua hari lagi rombongan ini akan kembali ke membawa barang dagangan dan hasil penjualan mereka di sini ke Xiang Yang. Jika kau mau, kau bisa kembali ikut bersamaku. Orangku tidak terlalu banyak dan perjalanan ke Xiang Yang melewati beberapa tempat yang sedikit lebih rawan, aku akan senang mendapat bantuan tenaga beberapa orang lagi.", ujar pengawal tua itu dengan sungguh-sungguh. "Maaf paman, tapi aku harus pergi ke Wuling, ada urusan yang harus kuselesaikan di sana." "Hmm dari caramu bergerak dan berlatih dengan tekun, kutahu kau pasti keluaran dari perguruan ternama. Mungkin kau merasa malu untuk mengikut denganku, bagaimana kalau kau kuanggap sebagai rekanan saja?" "Ah, bukan itu paman, menjadi anak buahmupun tak apa. Hanya saja aku memang ada urusan penting di Wuling." "Benar begitu? Ya sudahlah kalau begitu, he tapi kalau urusanmu di Wuling sudah selesai dan kau butuh pekerjaan, datang saja ke kantor pusat biro pengawalanku. Kau masih ingat kan?" "Ya, tentu saja aku ingat paman, Biro Pengawalan Golok Emas di kota Yong An.", jawab Ding Tao sambil tersenyum sopan, selama perjalanan, dia belajar untuk menyukai paman tua ini dengan kisah-kisahnya. "Hehehe, baguslah kalau begitu, biro pengawalanku memang bukan biro pengawalan besar, tapi aku tidak pernah menerima barang kawalan dari pejabat korup atau tuan tanah yang kejam. Ingat itu baik-baik. Lagipula aku tidak menawarimu untuk jadi orangku, aku menawarimu untuk jadi rekananku.", ujar pengawal tua itu dengan senyum gigi ompongnya yang membuat dia terlihat lucu danramah. "Tentu paman, aku akan ingat hal itu.", jawab Ding Tao sambil tertawa. "Baiklah, kita berpisah sampai di sini, aku masih harus mengawal mereka sampai di penginapan. Ingat jangan lupa, kalaupun kau dapat tawaran yg lebih bagus, sekali-sekali mampirlah.", ujar pengawal tua itu sambil berlalu pergi. Ding Tao melambaikan tangannya pada pengawal tua dan rombongannya. Mereka membalas dengan bersahabat, Ding Tao teman seperjalanan yang menyenangkan, tidak pernah rewel dengan pembagian tugas sehari-hari, bahkan seringkali dia menawarkan bantuan tanpa diminta. Jauh dari jangkauan pendengaran Ding Tao sekelompok kecil pengawal itu membicarakan Ding Tao. "Ketua Wang, bukankah menurutmu setidaknya kita akan berjumpa dua atau tiga kali dengan kelompok begal di sepanjang perjalanan?", tanya anggota termuda dari biro pengawalan Golok Emas. "Ketua Wang benar, kita sudah melalui jalur itu beberapa kali dan setidaknya ada tiga kelompok begal yang berkuasa di sepanjang jalur itu. Tapi besaran tarif pajaknya kita juga sudah tahu and Ketua Wang sudah menyiapkannya.", jawab seorang di antara mereka. "Kakak Ho, kalau begitu kenapa kali ini tidak satupun yang kita jumpai? Apakah menurut Kakak Ho itu ada hubungannya dengan Ding Tao berjalan bersama kita?" "Entahlah, bisa jadi kelompok begal itu sedang punya masalah dalam kelompok mereka. Tapi kukira kemungkinan paling besar, hal itu ada hubungannya dengan Ding Tao, karena untuk mengawasi jalan dan menarik pajak, paling hanya butuh 2- 3 orang. Jika ada yang menolak, biasanya mereka tidak langsung bertindak, tapi kembali untuk menghubungi ketuanya, lalu beramai-ramai menyerang kita." "Tapi tidak kulihat ada yang istimewa dengan Ding Tao, memang badannya tinggi dan berotot, tapi umurnya kurasa tidak jauh berbeda dariku. Aku juga belum pernah mendengar namanya disebut-sebut." "Hmmm memang aneh jika 3 kelompok begal takut dengan orang yang tidak bernama. Tubuh tinggi berotot jelas tidak akan menakuti mereka. Biasanya jika mereka tidak berani mengganggu itu karena orang itu memiliki nama besar. Menurut Ketua Wang bagaimana?" "Kukira, Ding Tao sedikit banyak tentu sudah membuat nama. Melihat umurnya, kejadian itu mungkin baru-baru ini saja terjadi. Cukup lama kita tidak pergi ke daerah selatan, sehingga berita itu belum sampai ke telinga kita. Dengar, setelah selesai mengantar kita mampir ke rumah Guru Chen Wuxi, dia sahabat baikku yang membuka perguruan di kota ini. Telinganya cukup panjang, jika dugaanku benar, tentu dia sudah mendengar sedikit tentang Ding Tao.", jawab Ketua Wang yang tampaknya cukup penasaran juga dengan Ding Tao. Begitu urusan mereka dengan rombongan pedagang yang menyewa jasa mereka selesai. Anggota yang termuda dari Biro Pengawalan Golok Emas, mengingatkan Wang Xiaho. "Ketua Wang, kita pergi ke rumah Guru Chen sekarang?" Pertanyaannya itu disambut tertawa keras oleh anggota yang lain. "Hehehehe, A Sau, kau sudah tidak sabar rupanya." "Hah, tertawa saja semau kalian, aku memang sudah tidak sabar. Bayangkan saja kalau dugaan Ketua Wang benar, Ding Tao umurnya tidak jauh berbeda denganku. Kalau dugaan Ketua Wang benar, wah itu hebat sekali. Apakah kalian tahu, sepanjang perjalanan Ding Tao sempat memberi beberapa petunjuk padaku dan A Chu.", jawab A Sau sambil memonyongkan mulutnya. "Hahaha, asal kau jangan bermimpi jadi jagoan saja, jagoan pedang sering-sering berumur pendek, kau tahu itu? Ibumu bisa marah-marah kalau kau berpikir begitu.", jawab Wang Xiaho. "Iya A Sau, lagipula jadi jagoan pedang tidak gampang, butuh guru yang baik, bakat yang baik dan ketekunan." "Ah kalian ini, jangan dikira aku ini bodoh, aku juga tahu. Akupun tidak bermimpi jadi jagoan pedang, nanti kalau upahku sudah terkumpul aku akan membeli tanah dan bertani.", jawab A Sau. "Hmm, itu rencana yang bagus, akupun kalau sudah mulai berumur akan jadi petani saja. Sayang upahku lebih sering kuhabiskan di pelacuran.", ujar salah seorang yang agak tua. Ucapan itu tentu saja disambut tertawa oleh yang lain. "Heheheheh, dasar kau Xiang Lo, ya, ya, pada akhirnya kalian semua nanti akan meninggalkan aku menjalankan biro pengawalan ini sendirian.", ujar Wang Xiaho sambil tertawa. "Ketua Wang, apa tidak punya rencana untuk pensiun juga?", tanya A Sau. "Tidak, tidak. Aku tidak punya keahlian apa-apa kecuali berkelahi. Sejak kecil aku sudah belajar ilmu silat dan aku tidak tahu tentang hal yang lain.", jawab Wang Xiaho dengan wajah sedikit suram. Yang lain jadi tidak berani bertanya lebih lanjut, karena melihat ekspresi sedih dari Wang Xiaho. Salah satu dari mereka tiba-tiba berkata. "Ketua Wang Xiaho tidak akan sendirian, aku pun tidak ingin ganti pekerjaan, sama seperti Ketua Wang." "Ah Beng, kaukah itu? Hehe, umurmu masih muda, tunggu saja sampai kau bertemu seorang gadis. Mungkin kau akan berubah pikiran.", jawab Wang Xiaho dengan tertawa, wajahnya sudah kembali seperti semula. "He, itu benar, kalau ada yang mau bekerja dengan Ketua Wang sampai mati, itu tentunya aku. Sudah setua ini aku belum juga berkeluarga.", ujar Xiang Lo. "Hahaha, makanya jangan terlalu sering main ke pelacuran.", ujar Wang Xiaho sambil tertawa terbahak-bahak. Susul menyusul, satu per satu, anggota biro pengawalan itu menyampaikan keinginan mereka untuk terus mengikut Wang Xiaho. Wang Xiaho adalah seorang pimpinan yang mampu menumbuhkan rasa setia dari pengikutnya. Sambil bercakap- cakap, Wang Xiaho membawa mereka untuk bertemu dengan Guru Chen. Chen Wuxi seorang ahli silat jurus bangau, perguruan yang dia buka tidak terlalu besar, tapi Chen Wuxi memiliki banyak kenalan di dunia persilatan. Sifatnya terbuka dan murah hati, tidak ragu untuk membantu teman yang sedang kesusahan. Melihat Wang Xiaho datang bersama rombongan, cepat Guru tua ini memerintahkan muridnya untuk menyiapkan hidangan dan minuman. Tubuhnya kurus kering tidak mengesankan sebagai seorang ahli silat, Chen Wuxi lebih menekankan pada penggunaan tenaga lembut daripada tenaga keras. Setelah berbasa-basi Wang Xiaho pun bercerita tentang Ding Tao. "Jadi Saudara Chen, melihat keadaan pemuda ini, aku jadi penasaran, masa dia belum punya nama di dunia persilatan. Kukira karena umurnya yang masih muda, bisa jadi dia baru-baru ini saja membuat berita. Karena aku sudah cukup lama tidak berjalan-jalan ke selatan aku tidak sempat mendengar namanya. Tapi aku yakin kau pasti tahu tentang kabar-kabar terbaru di selatan sini." "Hmm kau bilang dia bernama Ding Tao, badan tinggi besar, wajah lebar cerah dengan garis rahang yang tegas dan mata tajam. Hmm .. Hmm sulit juga kalau tidak lihat orangnya langsung, tapi kukira Ding Tao yang kau ceritakan ini adalah Ding Tao yag baru saja bikin geger di kota Wuling dan di sebuah kota kecil di sebelah barat Chai Sang", ujar Chen Wuxi sambil meniup-niup tehnya yang masih panas. "Ah, jadi benar di usia begitu muda, dia sudah bikin nama di dunia persilatan. Bisakah Saudara Chen cerita sedikit tentang dia?", tanya Wang Xiaho dengan hati tertarik. Anak buahnya yang ikut mendengarkan tidak bisa menyembunyikan rasa tertarik mereka, meskipun mereka tidak berani ikut buka mulut. Hanya bisa memasang telinga baik-baik sambil menikmati penganan kecil yang disediakan. Mata Chen Wuxi yang tajam tentu saja melihat rasa tertarik mereka, dengan sengaja berlambat-lambat dia meniup-niup tehnya, menyeruputnya sedikit demi sedikit. Ketika dilihatnya rasa penasaran mereka sudah mencapai puncaknya, mulailah dia membuka mulutnya. "Orang bilang dia dulunya adalah tukang kebun di kediaman keluarga Huang", demikian Chen Wuxi mulai membuka cerita tentang Ding Tao. Chen Wuxi adalah seorang yang pandai bercerita, saat bercerita tangan dan wajahnya akan ikut bercerita, dengan ahli mengatur irama cerita, kapan dia harus berhenti untuk menyeruput tehnya, kapan dia bercerita dengan lambat atau dengan bersemangat. Chen Wuxi selalu saja membuat perhatian pendengarnya terpaku padanya. Ini adalah salah satu sebab orang suka bertandang ke rumah Chen Wuxi, sebagai guru silat dia biasa-biasa saja, tapi sebagai pendongeng bisa dikatakan dia ini Biksu Khongzhe-nya dari pendongeng. Tanpa terasa ada pendengarnya yang sebegitu tegangnya sampai tidak menyentuh sama sekali makanan dan minuman yang dihidangkan. Tapi ada juga pendengarnya yang saking tegangnya, sampai tanpa terasa menghabiskan makanan kecil yang dihidangkan. Melihat anak buahnya terpukau mendengarkan cerita Chen Wuxi, Wang Xiaho tertawa terkekeh-kekeh. "A Sau, lihat-lihat kalau makan, masa jatah saudaramu kau habiskan juga, hehehehe." Gurauan Wang Xiaho disambut tawa semua yang ada dalam ruangan, A Sau yang jadi pusat perhatian hanya bisa menyengir sambil garuk-garuk kepala, tidak berani menjawab. Setelah kenyang tertawa Chen Wuxi dengan nada yang serius bertanya pada Wang Xiaho. "Saudara Wang, kau bilang Ding Tao ini, berkata hendak pergi ke Wuling?" "Ya, begitulah yang dia katakan, melihat sifatnya yang jujur dan terbuka, kukira dia tidak berbohong. Mendengar ceritamu, kupikir dia hendak kembali menemui keluarga Huang, mungkin hendak meluruskan salah paham yang terjadi." "Hmm, kalau begitu dia akan menemukan kejutan yang tidak menyenangkan.", ujar Chen Wuxi dengan ekspresi serius, tangannya mengelus-elus janggut panjang yang hanya beberapa helai saja. "Saudara Chen, apa maksudmu dengan kejutan yang tidak menyenangkan, apa kau mendengar berita baru dari Wuling yang menyulitkan Ding Tao? Kukira tadi kau mengatakan, permasalahannya sudah jelas dengan pemberontakan Tiong Fa beberapa bulan yang lalu. Apakah berita itu kauragukan kebenarannya?" "Hmm, berita itu sudah kudengar dari beberapa saudara yang berbeda, jadi kuyakin berita itu sudah benar. Tapi ada berita terbaru yang sedikit tidak jelas" "Apa maksud Saudara Chen dengan tidak jelas? Berita apa?" Mengembuskan nafas panjang Chen Wuxi memandangi tamunya. "Hahhh bagaimana ya, aku sendiri masih agak ragu dengan berita yang terbaru ini, jika dikatakan mungkin hanya membuat orang berkuatir tanpa alasan. Tapi kalau sampai benar, lebih baik Ding Tao tahu sebelum dia sampai ke Wuling." "Saudara Chen, jangan bicara berputar-putar lagi, katakan saja berita yang kau dengar itu.", ujar Wang Xiaho tidak sabar, entah kenapa jagoan tua ini menyukai kesederhanaan Ding Tao dan ikut berkuatir dengan nasib pemuda itu. "Nah, akan kukatakan berita itu, tapi sekali lagi kuingatkan, aku sendiri belum yakin dengan kebenarannya." "Ya, ya, ya, sudah berkali-kali kau katakan itu, sekarang katakan saja apa beritanya.", ujar Wang Xiaho tidak sabar. Dasar bawaan dari orok suka mendongeng, Chen Wuxi tidak langsung mengatakannya, tapi dengan pandang mata misterius dia memandangi wajah-wajah menanti di sekelilingnya, kemudian dengan suara rendah berbisik yang membuat setiap orang merasa tegang, dia berkata. "Berita yang kudengar" Sekali lagi dia menunggu saat yang tepat. " ada yang menyerang dan membunuh seluruh anggota keluarga Huang yang ada di Wuling dalam semalam." "Apa?? Saudara Chen kau jangan bercanda, Wuling adalah pusat kekuatan keluarga Huang, setidaknya ada seratusan orang laki-laki yang terlatih dan tiga ratusan bila dihitung dengan anak-anak dan wanita. Kaubilang ada yang membunuh mereka semua dalam waktu semalam? Apa kau gila?" "Nah, nah, bukankah sudah kubilang berita ini sulit dipercaya.", jawab Chen Wuxi menegakkan badan sambil pura-pura marah. "Hehehe, kawan lama, jangan mudah marah begitu. Tapi dari berita yang berhasil kau dengar kira-kira berapa bagian kau yakin akan kebenaran berita ini?", Wang Xiaho bertanya. "Hmmm memang sejak timbul kabar ditemukannya lagi jejak Pedang Angin Berbisik, banyak orang sudah merasakan bakal ada mala petaka lagi yang menimpa dunia persilatan kita. Jika kabar-kabar itu dikaitkan dengan orang-orang yang berhubungan dengan keluarga Huang, mulai dari Ding Tao, lalu Tiong Fa. Tidak aneh jika kemudian ada orang coba menyatroni rumah keluarga Huang.", dengan alis berkerut Chen Wuxi berusaha menimbang-nimbang. "Mungkin saja ada orang menyelusup masuk untuk mencari tahu, tapi dari kabarnya bukankah yang mereka cari harusnya adalah Tiong Fa?", Wang Xiaho ikut berpikir. "Tapi coba pikirkan lagi, ketika Tiong Fa ditemukan berkhianat, keluarga Huang mengumpulkan orang-orangnya untuk membersihkan rumah. Meskipun Tiong Fa lolos, ada kemungkinan Pedang Angin Berbisik, lepas dari tangannya. Bukan tidak mungkin justru karena pedang itu dianggap lebih penting dari Tiong Fa, makanya Tiong Fa bisa lolos dari sergapan keluarga Huang." "Ah, ya, benar, benar, Saudara Chen, uraianmu sungguh masuk akal. Tapi tetap saja, kalaupun keluarga Huang menyimpan pedang itu. Bila ada yang berusaha mencuri masih bisa kuterima dengan akal sehat. Tapi jika kau bilang, ada yang membasmi habis seluruh isi rumah dalam semalam hee bukan saja terlampau kejam, tapi terlampau sulit untuk dilakukan.", ujar Wang Xiaho sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mereka yang mendengar cerita Chen Wuxi ikut larut dalam kesedihan, membayangkan perasaan Ding Tao jika cerita itu benar. "Saudara Wang, soal kejam, kukira ada banyak tokoh yang cukup kejam untuk melakukannya. Orang-orang yang sudah terlampau sering melihat darah, hingga nyawa orang tidak ada bedanya dengan harga seekor ayam. Cuma soal terlampau sulit, justru itu yang membut orang berpikir keras dan bergidik. Coba kau katakan, dari organisasi yang kau tahu, menurutmu ada berapa yang mungkin melakukannya?", tanya Chen Wuxi pada Wang Xiaho. "Hmm kukira Kunlun, Hoasan, Shaolin dan Wudang tidak mungkin terlibat urusan busuk macam begini. Kongtong lebih mungkin, tapi Kongtong yang sekarang tidak punya kekuatan sebesar itu. Kalau mereka mengerahkan seluruh kekuatannya pun, kukira keluarga Huang masih mampu menandinginya, apa lagi keluarga Huang berada di kandang sendiri. Apakah mungkin Tiong Fa sendiri yang menyerang?" "Tiong Fa bisa saja bekas orang dalam keluarga Huang dan tahu banyak kelemahan mereka. Tapi dia baru saja terusir dari keluarga Huang dan harus memupuk kekuatan dari bawah, mana mungkin dia bisa? Jangan lupa juga, kediaman keluarga Huang ada di tengah kota." "Ya, lalu organisasi apa yang cukup kuat dan gila untuk melakukan pembasmian di tengah kota semacam itu?" "Dari beberapa orang yang kuajak bicara, ada kekuatiran yang sama", ujar Chen Wuxi sambil mengamat-amati Wang Xiaho dengan pandangan yang seakan berkata, ayolah pikirkan lagi, harusnya kau bisa menebaknya. Melihat pandang mata Chen Wuxi, Wang Xiaho berpikir lebih keras sampai tiba-tiba satu pikiran melintas. "Astaga apakah mungkin benar kabar angin yang mengatakan bahwa Ren Zuocan berhasil melebarkan sayapnya ke dalam perbatasan secara diam-diam?" Chen Wuxi menganggukkan kepala. "Justru itu kekuatiran yang kami rasakan saat ini. Sekte Matahari dan Bulan menyimpan jagoan-jagoan kelas satu.Menurut kabar angin ada banyak organisasi dan perguruan yang diam-diam sudah bersumpah setia pada Ren Zuocan. Dari segi harta kekayaan Sekte Matahari dan Bulang memiliki harta yang tak terhitung jumlahnya. Pejabat bisa disuap, soal suap-menyuap, meskipun keluarga Huang sangat kaya, tidak mungkin keluarga Huang bisa menandingi Ren Zuocan." "Ren Zuocan tidak perlu mengirim banyak orang, cukup kirim 4 atau 5 jagoan kepercayaannya. Kemudian sebagian besar justru orang-orang dari dalam perbatasan, dia bisa memakai orang-orang dari dalam perbatasan sendiri. Bukan tidak mungkin sejak berita tentang Pedang Angin Berbisik tercium, dia sudah mulai menanamkan orangnya di sekitar kota Wuling. Begitu dia mendapat kepastian, saat itu juga mereka bergerak." Wang Xiaho merasa tenggorokannya kering, ketika dia mengangkat cangkir the untuk diminum, baru dia sadar, bahwa tangannya gemetaran. Melihat tangannya gemetaran, cepat-cepat diletakkannya cangkir kembali ke meja, sambil menunggu hatinya tenang. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Chen Wuxi berpura-pura tidak melihatnya, dia bisa membayangkan perasaaan Wang Xiaho saat itu. Dirinya pun sampai sekarang masih susah makan dan tidur bila teringat penyerangan atas keluarga Huang. "Saudara Wang, sudah beberapa hari ini, sejak mendengar kabar itu dan mencapai kesimpulan yang sama, tidak bisa tidur nyenyak dan makan dengan nikmat. Meskipun bukti-buktinya belum cukup kuat, tapi jika berita pembasmian keluarga Huang itu benar, berarti Ren Zuocan sudah masuk dalam rumah kita, bukan hanya sekedar menunggu di depan halaman." Wang Xiaho yang sudah bisa menenangkan diri, perlahan menyeruput the yang dihidangkan. "Saudara Chen, berita itu sendiri apakah tidak ada yang coba memastikan?" "Berita itu pertama kali, aku dengar dari salah seorang saudara seperguruanku, Wang Ming, dia mendengar kabar itu dari salah seorang rekannya. Beberapa hari kemudian, beberapa saudara yang lain tanpa sengaja berkumpul di sini karena mendengar berita yang sama. Kesimpulan kami sama seperti kesimpulanmu barusan. Untuk meyakinkan, dua dari mereka bersedia pergi ke Wuling untuk memastikan kabar. Harusnya dalam 2-3 hari ini mereka akan mampir ke mari untuk menyampaikan hasil penyelidikan mereka." "Siapa yang pergi ke Wuling?", tanya Wang Xiaho, teh hangat yang manis tidak lagi terasa nikmat, meskipun hatinya sudah jauh lebih tenang tapi perasaan akan adanya bahaya yang datang mengancam tidak juga hilang. "Fu Tong si tongkat besi dan Pendeta Tao pengelana, Liu Chuncao." "Hmm, mereka orang-orang yang teliti, kukira, kabar yang nanti kita dapatkan, tentu akan lebih cermat lagi." "Saudara Wang, bagaimana kalau kalian menginap saja di sini sambil menunggu kedatangan mereka? Aku pun rasanya tidak bisa tenang memikirkan hal ini sendirian.", Chen Wuxi dengan ramah menawarkan. Wang Xiaho berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepala. "Berita ini benar-benar membuat hati orang jadi tidak tenang. Kupikir biarlah aku sendiri dan dua-tiga orang kepercayaanku ikut menunggu berita itu. Sisanya akan kukirim pulang untuk meningkatkan kewaspadaan." "Hee, bukankah kau berencana untuk mengawal barang lagi dua-tiga hari ke depan?", tanya Chen Wuxi. "Tadinya begitu, tapi mendengar kabar ini, seleraku jadi hilang. Saudara Chen, jujur saja, tiba-tiba aku merasa ketakutan. Kupikir sebaiknya segenap orangku berkumpul saja di pusat biro pengawalan kami. Segera setelah medengar kepastiannya dari Fu Tong dan Liu Chuncao, akupun akan kembali ke markas dan mengambil keputusan." "Hmm aku mengerti, aku sendiri sudah memulangkan beberapa muridku yang kunilai belum siap untuk ambil urusan di luaran. Murid baru aku tidak terima, sedangkan murid yang sudah lama belajar dan sedang berada di luaran, aku undang untuk datang kemari.", ujar Chen Wuxi sambil menghela nafas. "Ya badai mau datang, rumah-rumah baiknya diperkuat.", ikut-ikut menghela nafas, Wang Xiaho kemudian memandang anak buahnya. "Kalian mengerti maksudku?", tanyanya pada mereka. Dengan jantung berdebaran mereka mengangguk. Beberapa yang masih muda justru perasaannya bercampur antara cemas dan bergairah. Yang lebih tua apalagi yang berkeluarga, pikirannya lebih tenang dan bisa menimbang dengan baik, mereka lebih berpikir untuk menghindar, hanya saja untuk meninggalkan Wang Xiaho sendirian mereka tidak tega. Melihat kecemasan di wajah pengikutnya Wang Xiaho menjadi jatuh kasihan. Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Badik Buntung Karya Gkh Golok Sakti Karya Chin Yung