Pedang Angin Berbisik 18
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 18
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Hmm kira-kira seperti ini?" Tabib Shao Yong menoleh, berpikir sejenak dan mengangguk. "Kukira begitu dan bukan sekedar pukulan dengan tenaga luar, memang benar pukulan itu menyebabkan lebam, tapi kerusakan di bagian dalam kurasa jauh lebih parah. Satu pukulan yang mematikan, aku tidak heran bila orang yang membedah mayat ini akan mendapati jantungya sudah dalam keadaan hancur." "Hancur?", tanya Liu Chun Cao menegas. "Ya, itu sebabnya tidak terlalu banyak dara menggenang, jantung yang berfungsi memompa darah rusak dan berhenti berdetak dalam waktu sekejap. Sehingga darah pun berhenti berjalan seketika.", ujar Tabib Shao Yong sambil berdiri, menegakkan badan dan mengambil nafas dalam-dalam. "Apakah Pendeta Liu, tahu ilmu pukulan yang seperti itu?", tanya Ding Tao. "Ilmu pukulan yang mementingkan hawa murni dan bertujuan merusak bagian dalam tubuh akan meninggalkan bekas yang demikian. Menggunakan sisi dasar telapak tangan, sepertinya ada beberapa. Tidak ada bekas hangus kehitaman atau luka membusuk oleh racun. Berarti bukan ilmu pukulan geledek, juga bukan tangan beracun", ujar Liu Chun Cao berpikir. "Bukan pula ilmu tangan pasir besi, karena ilmu itu lebih mementingkan kekuatan keras, jika terpukul oleh pukulan itu, beberapa tulangnya pasti sudah patah atau remuk. Kenyataannya hanya ada lebam saja, tulang tidak ada yang patah, namun jantung yang di dalam hancur", sambung Tabib Shao Yong. "Pukulan tenaga dalam dari Wudang sufatnya jauh lebih lembut, melumpuhkan, tentu saja masih bisa mematikan, tapi tidak seketika. Ilmu pedangnya yang lebih kejam dari ilmu pukulan.", ucap Liu Chun Cao. "Seperti ilmu tinju 7 luka?", Tanya Ding Tao. "Ya seperti itu, selain itu masih ada pukulan penggetar jantung milik Hoasan. Pukulan tengkorak putih, dari aliran sesat.", ucap Liu Chun Cao sambil menghitung. "Tapi hampir tidak ada gunanya mengetahui jenis pukulan apa yang membunuhnya. Ciri-ciri sebuah pukulan terkadang bisa dipalsukan, apalagi ketika lawan sudah dalam keadaan tidak berdaya", ujar Tabib Shao Yong. "Hmm pukulan yang mematikan, sebuah tusukan tepat di kepala dan korban yang masih sempat menyeret dirinya beberapa langkah sejak terkena luka pedang. Jadi pertama pembunuhnya menyerang dengan sebuah tusukan pedang yang membuat korban tidak berdaya. Kemudian dengan tidak tergesa-gesa dia melancarkan sebuah pukulan yang mematikan", ucap Chou Liang sambil memperhatikan mayat Mao Bin. Beberapa orang yang lain mulai ikut bergabung dan mendengarkan serta memperhatikan keadaan mayat Mao Bin. "Jika demikian, luka tusukan oleh pedang itu justru lebih penting daripada bekas luka pukulan yang ditinggalkan. Karena pukulan dilakukan dengan waktu yang cukup, sementara serangan pedang harus dilakukan dengan cepat dan tepat", kata Wang Xiaho yang sudah ikut bergabung bersama mereka. Liu Chun Cao berjongkok di dekat mayat Mao Bin, memperhatikan luka tusukan pedang di kepalanya. Dengan menggunakan gagang pedangnya, digerakkannya kepala Mao Bin yang tertelungkup menghadap ke lantai, sehingga sekarang menghadap ke samping. Bekas luka dari dahi sebelah kanan dan tembus di belakang kepala. "Jika dilihat dari bekas lukanya, penyerang menusuk dengan menggunakan tangan kiri, saat dirinya berhadapan dengan Mao Bin. Serangan itu sangat cepat hingga Mao Bin tidak sempat bereaksi, bahkan pedang itu dicabut dengan cepat pula sebelum Mao Bin jatuh oleh lukanya. Terlihat dari jalur luka yang lurus, setebal mata pedang dan tidak terkoyak melebar, baik di ujung masuknya maupun di ujung yang lain", ujar Liu Chun Cao. Wang Xiaho seorang jago golok, demikian pula Tang Xiong, Li Yan Mao lebih suka menggunakan tongkat, sedangkan baik Ding Tao maupun Qin Bai Yu, meskipun sama-sama pengguna pedang namun dalam hal pengalaman mereka harus mengakui kelebihan Liu Chun Cao. Ding Tao merenungi perkataan Liu Chun Cao, kemudian tiba-tiba dia mencabut pedangnya dan menusuk setinggi dahi. Gerakannya cepat dan bertenaga, yang melihat mau tidak mau merasa kagum oleh kecepatan pedangnya. "Apakah kira-kira seperti ini?", tanya Ding Tao pada Liu Chun Cao. "Hmm kurang lebih, tapi kalau Ketua Ding Tao perhatikan jalur arah mata pedang ketua saat menusuk dan saat menarik kembali serangan tidaklah dalam jalur yang lurus, melainkan ada sedikit gerakan mengungkit, karena titik awal serangan lebih rendah dari serangan yang dituju", ujar Liu Chun Cao. Ding Tao berpikir sejenak dan beberapa kali menggerakkan pedangnya dalam gerakan menusuk, mencoba menghasilkan serangan yang akan meninggalkan jejak yang sama pada dahi Mao Bin. Tapi beberapa kali dia mencoba, tidak juga didapati gerakan yang akan meninggalkan bekas seperti pada dahi Mao Bin. Ketika dia mendapatkan satu gerakan yang akan meninggalkan bekas yang sama, dia justru merasa betapa tidak wajarnya gerakan itu. "Hmm sulit sekali, gerakan ini justru terasa tidak wajar.", ujarnya sambil memandang ke arah mereka yang ikut memperhatikan percobaannya itu. Pada saat itu orang yang terakhir, Li Yan Mao, ikut bergabung, di tangannya dia membawa beberapa lembar kertas dan berseru. "Lihat ini, rupanya Mao Bin adalah kaki tangan Tiong Fa!" "Coba berikan padaku", ujar Chou Liang sambil cepat menghampiri Li Yan Mao dengan terpincang-pincang. Penemuan yang didapatkan Li Yan Mao dengan segera menyerap perhatian mereka semua. Dengan tidak sabar mereka memperhatikan Chou Liang yang membaca surat-surat itu dengan cepat. Tapi setelah membaca semua surat itu dalam waktu singkat, bukannya dia memberikan surat itu kepada yang lain, Chou Liang justru mengingatkan mereka. "Ini penemuan penting, semuanya sudah selesai bukan?", ujarnya sambil melihat berkeliling. Semuanya ikut saling menghitung jumlah mereka yang berkumpul dan mengangguk setelah melihat semuanya lengkap ada di situ. "Baiklah sekarang kita pergi secepatnya. Sudah cukup banyak waktu kita habiskan di sini, sebentar lagi Hakim Huo dan para polisi pasti akan sampai." "Ah benar, hampir saja aku lupa. Tabib Shao Yong, biarlah kau kugendong, kita lewat jalan belakang saja, melompati dinding belakang rumah. Bagaimana?", ujar Ding Tao sambil menoleh ke arah Chou Liang yang tentunya lebih mengenali jalan-jalan di perkampungan itu. Chou Liang berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Ya kurasa jalan itupun cukup bagus, aku tahu beberapa jalan kecil di situ. Sebentar saja kita akan sampai dekat gerbang kota Wuling." Bergegas mereka pergi ke bagian belakang rumah, Tang Xiong menggendong Chou Liang di punggungnya sementara Tabib Shao Yong digendong oleh Ding Tao. Yang lain berlompatan dengan ringan melompati tembok halaman belakang yang tidak terlalu tinggi. Dalam waktu singkat, Ding Tao dan rombongannya sudah tidak terlihat, tepat saat Hakim Huo dan para polisinya sampai di tempat. Di sepanjang jalan menuju ke penginapan, tiba-tiba Ding Tao berseru. "Astaga, gara-gara terlampau memikirkan pembunuhan Mao Bin aku jadi lupa dengan nasib saudara-saudara yang lain. Sebaiknya kita periksa keadaan mereka dahulu, bagaimana?" Sepikir dengan Ding Tao, rombongan kecil itupun mengubah arah, berbalik hendak menelusuri kembali perjalanan mereka pagi ini, menjenguk satu per satu bekas pengikut keluarga Huang yang berhasil lolos. Chou Liang yang saat itu menekuni surat-surat antara Tiong Fa dengan Mao Bin dengan alis berkerut, mengikut saja dalam diam, tapi tiba-tiba dia berhenti. "Tunggu tunggu sebentar.", ujar Chou Liang. "Ada apa?", tanya Ding Tao. "Aku sudah membaca habis surat-surat ini, dari beberapa bagian yang kubaca, ada petunjuk tempat markas besar Tiong Fa saat ini. Bukankah ini lebih penting daripada memastikan keselamatan orang-orang yang menolak dirimu? Selalu saja ada kemungkinan Tiong Fa akan menghilangkan jejak, setiap waktu tentu berarti.", jawab Chou Liang sambil memandangi Ding Tao, menunggu pilihannya. Ding Tao berdiri terdiam dan berpikir sejenak kemudian menjawab. "Kita kunjungi saudara-saudara kita sebentar saja, untuk melihat apakah mereka baik-baik saja, sekaligus menyampaikan berita pembunuhan Mao Bin dan meminta mereka untuk berhati-hati." Chou Liang tidak mau berhenti dan bertanya lagi. "Tapi mendapatkan Tiong Fa di markas besarnya, berarti bukan hanya kau bisa membalaskan dendam keluarga Huang tapi juga mendapatkan Pedang Angin Berbisik." Ding Tao menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak ingin pembalasan dendam bagiku lebih penting menyelamatkan nyawa orang. Selisih satu atau dua hari tidak masalah. Kalaupun memang terlambat dan harus kehilangan jejak Pedang Angin Berbisik untuk kesekian kalinya, berarti itu bukan jodohku. Yang penting hati nuraniku tidak akan terganggu oleh karenanya." Chou Liang masih belum mau menyerah. "Dari surat-surat ini, nasib anak cabang keluarga Huang juga disinggung- singgung. Kenyataannya mereka semua jatuh ke dalam kekuasaan Tiong Fa, yang melawan berarti memilih kematian. Dengan menangkap dan mengadili Tiong Fa, akan ada lebih banyak yang bisa diselamatkan." Mendengar perkataan Chou Liang yang terakhir, Qin Bai Yu maju dan bertanya dengan suara penuh kekuatiran. "Bagaimana dengan anak cabang di kota Jiangling, apakah ada kabar mengenao keluargaku? Ayahku Qin Yang Xiu, bagaimana dengan dia?" Chou Liang menengok ke arah Qin Bai Yu dan menggeleng dengan simpati. "Maaf nak, tidak ada kabar mengenao mereka dalam surat ini." Kembali pada Ding Tao dia berkata. "Ada banyak urusan bisa diselesaikan dalam satu gebrakan, jika kita mulai bergerak untuk menggebrak kedudukan Tiong Fa sekarang ini. Meskipun dia bukan otak utama dari pembantaian keluarga Huang tapi dia adalah satu-satunya titik awal yang bisa kita telusuri. Dan sekarang kita sudah menemukan jejaknya, tidak boleh ada keterlambatan." Ding Tao diam berpikir, sementara yang lain menunggu keputusan darinya. Chou Liang berkata sekali lagi. "Sebagai seorang pimpinan, terkadang kita harus memilih antara dua hal yang sama-sama tidak menyenangkan. Dalam satu perjuangan pasti ada korban, seorang pimpinan tidak boleh lemah hati dan meragu dalam keputusannya. Adalah dosa seorang pimpinan jika dia gagal mencapai tujuannya, karena itu berarti orang-orang yang percaya padanya akan mati sia-sia." Ding Tao memandangi Chou Liang kemudian mengangguk. "Saudara Chou Liang, sungguh kau penasihat yang baik. Tujuan didirikannya perkumpulan ini bukan untuk merebut kekuasaan, tapi untuk menjadi pelindung bagi yang membutuhkan. Saat ini ada kemungkinan saudara-saudara kita di kota ini sedang diincar bahaya. Kita tidak boleh menutup mata. Pada saat yang sama, jejak Tiong Fa juga tidak boleh sampai hilang." Sejenak Ding Tao diam, memandangi orang-orang di sekelilingnya yang memperhatikan dia dengan serius. "Apa gunanya satu perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang jika segala sesuatu harus dikerjakan bersama-sama? Sebelumnya aku selalu ragu untuk memecah kelompok kita ini. Seperti induk ayam, mengkhawatirkan anak-anaknya. Sekarang aku sadar, sikapku ini tidak benar dan merendahkan kalian semua. Untuk itu aku minta maaf", ujarnya dengan tulus sambil sedikit membungkuk. "Menyelidiki jejak Tiong Fa membutuhkan pengamatan yang tajam dan otak yang cerdik, Chou Liang sudah membuktikan itu siang tadi, demikian juga Pendeta Liu Chun Cao. Bagaimana kalau aku mengutus kalian berdua untuk mendahului kami melakukan penyelidikan? Kalian bisa memilih beberapa saudara untuk pergi bersama kalian. Hanya saja Paman Li Yan Mao akan kubutuhkan untuk menghadapi saudara-saudara dari keluarga Huang, meskipun mereka tidak menyukai pendirianku, tapi terhadap Paman Li Yan Mao tentu masih ada rasa hormat mereka." Demikianlah akhirnya Ding Tao memulai perannya yang baru sebagai pemimpin sebuah perkumpulan. Sikapnya yang malu- malu dan rendah diri, sudah mulai terkikis, terbentuk oleh rasa tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan padanya. Pandangan yang menghormat dan menghargai dia dari para pengikutnya, membantu dia untuk membuang sikapnya yang tidak menguntungkan sebagai seorang pimpinan. Ding Tao sadar, mulai hari ini, dia harus bisa bersikap sebagai seorang pemimpin dari sebuah perkumpulan. Jika tidak maka bukan saja orang akan menghina dirinya, tapi mereka juga akan merendahkan para pengikutnya, dan itu tidak dia inginkan. Orang-orang ini telah mempercayakan kehidupan mereka di tangannya, demi bersama meraih satu tujuan. Ding Tao berketetapan hati untuk melakukan yang terbaik bagi mereka. Chou Liang mengangguk puas. "Baiklah, sepertinya itu jalan keluar yang terbaik. Hmm menyelidiki markas besar Tiong Fa Kebetulan dia bermarkas besar di kota Jiang Ling, jadi biarlah Saudara kecil Qin Bai Yu ikut bersama kami. Aku juga ingin mengajak Saudara Tang Xiong untuk menambah banyak mata dan telinga. Biarlah Paman Wang Xiaho dan Paman Li Yan Mao yang menemani Ketua Ding Tao, bagaimana?" "Baik, dalam satu-dua hari ini tentu aku sudah akan menyusulmu, segera setelah urusan di kota Wuling selesai. Sebelumnya kita tentukan saja tempat pertemuan kita. Saudara Qin Bai Yu, kau yang tinggal lama di Jiang Ling, menurutmu di mana kita bisa bertemu dengan tanpa menarik banyak perhatian?", tanya Ding Tao pada Qin Bai Yu. "Hmm mungkin di Penginapan keluarga Cang, usahanya tidak terlalu besar dan ramai, tapi juga tidak terlalu sepi. Letaknya ada sedikit di tengah kota, namun tidak dekat dengan keramaian pasar. Banyak orang yang menyukai suasananya yang tenang.", jawab Qin Bai Yu setelah berpikir-pikir. "Bagus kalau begitu kita bertemu di sana saja, coba jelaskan jalan yang nanti harus kami ambil", ujar Ding Tao. Qin Bai Yu pun berusaha menjelaskan jalan yang harus diambil seta tanda-tanda untuk membantu mereka menemukan simpangan dan jalan yang benar. Chou Liang dan Liu Chun Cao, juga ikut bertanya, tentang tempat-tempat yang ramai dan yang sepi, jalan-jalan kecil yang ruwet dan menyesatkan yang perlu dihindari oleh orang asing. Tempat yang tepat jika orang ingin menghilangkan jejak dan banyak pertanyaan lain. Setelah selesai tanya jawab mereka, gambaran yang cukup jelas sudah dimiliki setiap orang mengenai keadaan di kota Jiang Ling. Meskipun tidak sepaham Qin Bai Yu yang besar di sana, setidaknya mereka bisa membayangkan, apa yang harus mereka lakukan jika menemui kesulitan dan jalan-jalan yang baik untuk diambil jika tidak ingin mudah ditemukan orang. "Aku rasa sudah cukup jelas, jika kita ingin mengejar waktu, sebaiknya kita pergi sekarang", ujar Liu Chun Cao. "Benar-benar tapi apakah kita akan berjalan kaki saja atau naik kuda?", tanya Tang Xiong. "Tentu saja naik kuda, kenapa? Apa kau takut aku suruh untuk menggendongku lagi?", tanya Chou Liang. Sambil terkekeh, Tabib Shao Yong yang menyimpan uang perbekalan mereka, segera mengeluarkan kantung uang, menghitungnya lalu menyerahkannya pada Chou Liang. "Nah, kurasa ini cukup untuk membeli 4 ekor kuda dan makan- minum kalian selama beberapa hari." Chou Liang menerimanya dan berkata. "Nah, ini bagian yang paling kusuka, Saudara Tang Xiong, aku akan traktir dirimu bebek panggang malam ini." Kemudian berbalik pada Ding Tao, Li Yan Mao, Wang Xiaho dan Tabib Shao Yong dia membungkuk dan berpamitan. "Ketua Ding Tao, saudara-saudara sekalian, kalau begitu aku pamit dulu sekarang, sampai ketemu lagi di Kota Jiangling." "Selamat jalan, hati-hatilah kalian semua. Hindari konflik, ingat kalian pergi ke sana hanya untuk mengamat-amati saja, jangan lakukan apapun sebelum kita berkumpul lagi.", ujar Ding Tao sambil tersenyum. Setelah Chou Liang dan rombongannya tidak terlihat lagi, tiba-tiba Wang Xiaho menyeletuk. "Pandai juga Chou Liang mengatur, kita orang-orang tua tidak diikutkan dalam rombongannya. Aku tidak bisa membayangkan duduk di atas kuda selama berhari-hari. Bisa putus pinggang tuaku ini." Mendengar itu yang lain pun ikut tertawa, termasuk Ding Tao yang membayangkan bagaimana dia memaksa Wang Xiaho untuk berkuda sepanjang malam dengan istirahat yang minim. Dalam hati dia jadi merasa terharu pada kebaikan orang tua itu. "Baiklah Chou Liang dan yang lain sudah mulai bekerja, kitapun juga. Siapa yang sebaiknya kita temui terlebih dahulu?" Tanya Ding Tao setelah tawa mereka mereda. Li Yan Mao menjawab. "Chu Xiang yang paling tua di antara mereka tapi Lu Feng yang paling menonjol dan berpengaruh. Tadi pun saat mereka memisahkan diri dari kita, bukankah Lu Feng yang pertama-tama menentang pendapatmu? Dia pula yang kemudian diikuti oleh yang lain. Jadi kurasa, saat ini mereka tentu berkumpul di tempat Lu Feng. Jika tidak ada di sana, baru kita lihat ke tempat kediaman Chu Xiang." "Hmm, masuk akal, bagus, kebetulan aku juga masih ingat tempat persembunyian Lu Feng. Ayolah kita ke sana, lebih cepat urusan ini selesai lebih baik", ujar Ding Tao. Rumah tempat Lu Feng tinggal saat ini cukup besar dan berada di dekat sebuah pasar. Sewaktu masih bekerja pada keluarga Huang, Lu Feng sudah menunjukkan kelebihannya dalam memutar uang. Tapi Lu Feng tidak pernah curang dalam pekerjaannya, secara berterang dia meminta ijin pada Tuan besar Huang Jin untuk mencoba peruntungannya dengan membuka usaha dalam bidang barang pecah belas. Tuan besar Huang Jin bukan saja memberikan ijin tapi juga membantu dia mendapatkan pelanggan. Pada saat terjadi serangan Lu Feng sedang berada di rumahnya sendiri, rumah yang juga menjadi toko pribadinya. Itu yang menyelamatkan dia dari pembantaian. Itu juga sebabnya tidak seperti bekas orang keluarga Huang yang lain, Lu Feng tidak merasa takut dengan para penyerang itu. Tentu saja dia jadi lebih berhati-hati karena jika keluarga Huang saja bisa dihancurkan apalagi dirinya. Namun pengertian ini tidak sampai merasuk ke dalam hatinya, karena dia belum merasakan sendiri kehebatan mereka. Seperti dugaan Li Yan Mao pada saat itu, semua orang yang meninggalkan Ding Tao sedang berkumpul di kediaman Lu Feng. Di depan pintu rumah kediaman Lu Feng terlihat dua orang berjaga. Ding Tao yang mengenal dua orang itu dengan segera menghampiri dan menyapa dengan ramah. "Saudara Si Sun, Saudara Yan Bao, apakah yang lain juga sedang berkumpul di sini? Bisakah aku bertemu sejenak dengan kalian semua?" "Ding Tao? Apa maumu ke mari? Apakah kau hendak membujuk kami untuk mengikutimu lagi? Jangan bermimpi, kami tidak mau mengikuti seorang pengecut seperti dirimu!", jawab Si Sun dengan ketus. Beruntung mereka yang mengikut Ding Tao sudah cukup berumur dan memiliki kesabaran di atas rata-rata, hanya Wang Xiaho saja yang mengerutkan alisnya, merasa tersinggung dengan sambutan mereka. Ding Tao yang sempat melihat itu, segera meletakkan tangannya di atas pundak Wang Xiaho. "Tidak apa-apa." Berbalik menghadapi Si Sun dan Yan Bao untuk kedua kalinya Ding Tao berkata. "Jangan salah paham, aku kemari hendak mengabarkan kejadian yang kami temui di rumah Mao Bin." Mendengar jawaban Ding Tao, Si Sun dan Yan Bao saling berpandangan, kemudian Yan Bao bertanya dengan hati-hati pada Ding Tao. "Maafkan sikap Si Sun, Ding Tao, terus terang banyak dari kami yang kecewa terhadap sikapmu. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dengan Mao Bin?" Ding tao berpikir dan memutuskan bahwa sepertinya dari cara mereka menyambutnya kecil kemungkinan dia akan diijinkan masuk, sementara kedatangannya adalah untuk memperingatkan mereka agar lebih berhati-hati. Bukan masalah jika mereka tidak bisa menerima dirinya, asalkan dia sudah bisa memperingatkan mereka. Setelah berpikir demikian tanpa ragu Ding Tao menjelaskan. "Mao Bin dibunuh orang, ketika kami sampai di sana dia sudah meninggal. Dari bekas-bekas yang ada, bisa disimpulkan bahwa penyerangnya punya kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Aku berharap, kalian pun berhati-hati. Bisa jadi orang ini masih mengincar orang-orang yang tersisa dari keluarga Huang." Ding Tao dengan sengaja tidak menyebutkan tentang penemuan mereka akan hubungan Mao Bin dengan Tiong Fa. Dia tidak tega untuk memburukkan nama orang yang sudah meninggal itu. Kabar yang disampaikan Ding Tao mengejutkan dua orang yang berjaga tersebut, muka mereka memucat, teringat dengan penyerangan yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Tanpa sadar keduanya melihat ke sekitar mereka, seakan-akan pembunuh Mao Bin berada di dekat mereka dan sedang bersiap-siap untuk menyerang. "Ding Tao, kau tidak berbohong bukan?", tanya Si Sun dengan sikap yang sedikit melunak. Ding Tao menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak berbohong. Kalian bisa mengirim salah seorang dari kalian untuk memeriksa kebenarannya. Kalian toh kurang lebih, sudah tahu di mana rumah Mao Bin. Tidak jauh lagi dari kedai tempat kita beristirahat, kurasa pemilik kedai itu pun sudah mendengar kabar tentang pembunuhan Mao Bin sekarang ini. Kalian bisa bertanya pada dia." Si Sun dan Yan Bai saling berpandangan sekali lagi, Yan Bao kemudian berkata pada Ding Tao. "Ding Tao, kalian tunggu sebentar di sini, aku akan masuk untuk memberitahukan hal ini pada saudara-saudara yang lain." "Baiklah, aku akan menunggu di sini, tapi aku datang hanya untuk memperingatkan kalian, jika kalian ada keperluan dan tidak bisa menerimaku di sini pun tidak menjadi masalah.", ucap Ding Tao dengan tegas, mengingat kedudukannya saat ini dan perasaan mereka yang mengikut dia, dia tidak ingin terlalu merendah juga. Yan Bao pun masuk ke dalam rumah, sementara Si Sun masih berjaga di luar. Si Sun berdiri menunggu dengan perasaan campur aduk dan serba salah. Dia teringat dengan perkataannya yang terlalu ketus pada Ding Tao tapi untuk meminta maaf dia juga merasa malu. Ding Tao yang menyadari kecanggungan Si Sun, jadi jatuh kasihan. Sambil tersenyum dia mencoba mengajak Si Sun berbicara. "Saudara Si Sun, bagaimana dengan rencanamu setelah ini?" Sekesal-kesalnya Si Sun pada keputusan Ding Tao sebelumnya, disapa dengan ramah membuat permusuhan dalam hatinya sedikit mencair meskipun dengan sedikit canggung dia menjawab. "Entahlah, aku capek hidup dalam ketakutan. Aku memutuskan untuk tidak bersembunyi lagi. Mau mati atau tidak, biarlah aku sudah pasrah saja." Ding Tao merasa trenyuh mendengar hal itu, dengan tulus dia berkata. "Kuharap semuanya sudah berakhir dengan kematian Mao Bin. Sungguh aku berharap kalian semua bisa hidup dengan tenang." Si Sun memandangi Ding Tao untuk beberapa lama, menimbang ketulusan Ding Tao, akhirnya dengan suara perlahan dia menjawab. "Terima kasih Ding Tao, aku pun berharap demikian." Sedikit ragu Si Sun menambahkan. "Apakah kau akan tinggal di Wuling atau pergi lagi ke tempat lain?" "Aku ada keperluan di tempat lain, guru memberi tugas padaku dan aku akan coba untuk menyelesaikannya", jawab Ding Tao. "Kalau kau mampir ke Wuling kembali, jangan lupa untuk mencari diriku. Kau bisa mampir dan berbagi cerita, kau banyak pergi ke berbagai tempat tentu memiliki banyak cerita", ujar Si Sun, di luar dugaan Ding Tao. Senyum merekah di wajah Ding Tao. "Tentu saja, aku tidak akan lupa." Si Sun mengangguk sambil tersenyum, sebelum dia berkata sesuatu, Yan Bao keluar dan mendekati mereka dengan wajah mendung. Setelah sampai di depan Ding Tao dan kawan-kawan, dia terdiam sejenak dan tidak bisa berbicara. Menilik keadaannya Ding Tao merasa bahwa jawaban dari dalam tentu tidak sesuai dengan harapan Yan Bao. Merasa kasihan dengan kedudukan Yan Bao, Ding Tao segera menyapanya. "Saudara Yan Bao, terima kasih sudah menyampaikan berita itu pada saudara-saudara lain yang ada di dalam. Sepertinya urusanku di sini sudah selesai, biarlah aku dan saudara yang lain berpamitan dulu untuk saat ini, mungkin lain kali kami akan mampir kembali." "Maafkan sikap kami Ding Tao", ujar Yan Bao pendek, tidak tahu harus berkata apa lagi. "Ah sudahlah, tidak apa-apa, dalam hubungan antara manusia denga manusia lain memang sering ada salah paham. Aku tidak menyimpan sakit hati pada kalian. Baiklah aku pamit lebih dahulu.", ujar Ding Tao sambil sedikit membungkuk hormat dan berpamitan. "Hati-hati di perjalanan Ding Tao, sampai ketemu lagi", ujar Si Sun dengan nada yang ramah, membuat Yan Bao menengok ke arah temannya itu dengan heran. Tapi tidak lama kemudian Yan Bao lah yang sedikit berteriak pada Ding Tao dan rombongannya yang mulai menjauh. "Ding Tao, Li Yan Mao, Tabib Shao Yong, hati-hatilah kalian di perjalanan." Teriakannya itu disambut dengan lambaian tangan dari Ding Tao dan mereka yang mengikutinya. Setelah mereka cukup jauh dari rumah kediaman Lu Feng, Li Yan Mao bertanya pada Ding Tao. "Ketua Ding Tao, apa rencana kita selanjutnya, akankah kita segera pergi menyusul saudara-saudara yang lain, ataukah kita hendak beristirahat dahulu malam ini dan besok pagi-pagi kita baru bergerak?" "Kita berangkat besok pagi-pagi, malam ini aku ingin berjaga sebentar di dekat kediaman Lu Feng. Aku ingin memastikan tidak akan terjadi apa-apa atas mereka sebelum pergi meninggalkan Wuling", jawab Ding Tao dengan mata lurus menatap ke depan. Li Yan Mao dan yang lain tidak ada yang menentang, mereka sudah cukup mengenal sikap Ding Tao sekarang ini. Wang Xiaho bertanya. "Ketua Ding Tao, bagaimana kalau aku ikut menemani berjaga?" Ding Tao berpikir sejenak, kemudian menjawab. "Tidak perlu, tapi hari ini kita perlu mencari tempat yang baik untuk bermalam, kalian pun tidak boleh lengah. Bukan tidak mungkin pembunuh itu juga mengincar kita." "Kita cari tempat menginap di dekat kediaman Lu Feng saja, jika ada sesuatu, kalian bisa memberi tanda padaku dan aku akan segera datang", lanjut Ding Tao setelah berpikir lagi. "Malam hari, tanda paling baik adalah panah api, biarlah aku akan mencari sebuah busur panah dan membeli sedikit minyak untuk bersiap", sahut Li Yan Mao. "Aku akan pergi bersamamu", kata Ding Tao. Li Yan Mao tersenyum menunjukkan giginya yang ompong. "Jangan begitu Ketua Ding Tao, berikanlah sedikit kepercayaan pada orang tua ini. Masa untuk membeli sedikit barang saja harus ditemani. Aku bukan anak kecil yang baru belajar berjalan." Memerah muka Ding Tao mendengar jawaban Li Yan Mao. "Maafkan aku Paman Li Yan Mao, jika tidak ada kejadian pembunuhan Mao Bin tentu aku tidak akan bersikap demikian. Entahlah aku jadi merasa selalu kuatir dia akan menyerang salah satu dari kita." "Kita semua sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan dan kami memilih untuk mengikuti dirimu dengan segala resikonya. Hidup dalam dunia persilatan memang harus berhadapan dengan bahaya. Tenangkanlah hatimu, kami tentu akan berhati-hati tapi apapun yang terjadi, Ketua tidak perlu merasa bersalah. Ini adalah keputusan kami sendiri", ujar Li Yan Mao dijawab dengan anggukan kepala oleh Ding Tao. "Aku mengerti paman, maafkan sikapku yang sebelumnya." Li Yan Mao dengan senyum bijak menjawab. "Tidak ada yang perlu dimaafkan Ketua Ding Tao, justru sikap Ketua itu membesarkan hatiku. Sudahlah, cukup pembicaraan kita mengenai hal itu, mengenai penginapan, jika hendak mencari penginapan dekat kediaman Lu Feng, sepertinya Penginapan Burung Hong Emas yang paling dekat." Ding Tao membuat keputusan dan berkata. "Hmm.. baiklah, aku dan Paman Wang Xiaho harus mengambil barang-barang dan kuda kami dari penginapan kami yang sebelumnya, sekalian juga mengantar Tabib Shao Yong untuk berkemas. Sementara Paman Li Yan Mao mencari busur dan minyak untuk menyiapkan panah api sebagai isyarat. Setelah selesai semuanya berkumpul di Penginapan Burung Hong Emas." "Aku tidak perlu diantar Ketua Ding Tao, jangan kuatir, doakan saja semoga semuanya berjalan lancar.", ujar Tabib Shao Yong. Ding Tao yang ingin melarang, teringat dengan perkataan Li Yan Mao, dengan berat hati akhirnya dia mengijinkan. "Baiklah Tabib Shao Yong, cepatlah selesaikan berkemas dan menemui kami di Penginapan Burung Hong Emas." "Ketua Ding Tao, mengapa tidak menemani Tabib Shao Yong saja? Aku bisa mengurus barang-barang kita sendirian", ujar Wang Xiaho memberi jalan, bagaimanapun di antara mereka berempat Tabib Shao Yong-lah yang paling lemah. Ding Tao merasa gembira, namun tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dua kali, dia pun menengok pada Tabib Shao Yong dan bertanya. "Tabib Shao Yong, bagaimana menurut pendapatmu?" Tabib Shao Yong terkekeh. "Hahaha, kalau Saudara Wang Xiaho mau bersusah-susah, ya sudahlah, aku tidak mau jadi orang yang tidak tahu terima kasih." Setelah tercapai kesepakatan, mereka berempat tidak membuang-buang waktu lagi. Masing-masing menuju ke tempat masing-masing dan mengerjakan bagiannya. Sebelum hari gelap, ke empatnya sudah berkumpul di Penginapan Burung Hong Emas. Ding Tao masih sempat bercakap-cakap bahkan memberi petunjuk satu-dua gerakan pada Li Yan Mao dan Wang Xiaho. Bahkan Tabib Shao Yong yang sudah terlalu tua untuk mulai belajar ilmu silat pun, minta untuk diajari beberapa gerakan untuk dipelajari. Ketika hari sudah jauh malam, Ding Tao pun keluar dari penginapan dengan diam-diam, memakai baju berwarna gelap, dia bersembunyi dalam bayang-bayang bangunan di sekitarnya. Dengan cepat namun tanpa menarik banyak perhatian, Ding Tao mendekat ke arah kediaman Lu Feng. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Keadaan terlihat tenang saat Ding Tao sampai di sana, hatinya pun merasa lega. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sesaat kemudian telinganya yang tajam menangkap bunyi denting pedang dan keluhan tertahan seseorang yang mendapatkan luka. Suara itu tidak terlalu keras, namun dalam suasana malam yang sunyi dan dari tempat Ding Tao mengintai, suara itu masih bisa tertangkap. "Astaga, aku terlambat", keluh Ding Tao. Tanpa membuang waktu,c epat-cepat dia berlari menuju ke arah kediaman Lu Feng. Sampai di depan rumah, dilihatnya pintu sedikit terbuka, dengan hati-hati Ding Tao mendorong pintu hingga terbuka. Terlihat ada dua orang yang tergeletak tak berdaya dengan luka kecil di keningnya. Mereka berdua mati seketika dengan satu serangan yang mematikan. Tidak mau membuang waktu Ding Tao cepat-cepat masuk ke dalam rumah Lu Feng, dipasangnya telinga baik-baik, sambil terus berjalan mencoba memeriksa dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Keringat dingin menetes saat dia menemukan dua orang lagi dalam keadaan tewas, salah seorang di antara mereka terlihat sedang menghunus pedang, sementara yang lain tewas di atas pembaringannya. Ketika denting pedang yang lain terdengar, cepat Ding Tao berlari menuju ke arah sumber suara sambil berteriak. "Awas ada pembunuh!" Setelah beberapa kali berteriak, mulailah rumah itu dipenuhi dengan suara aktivitas manusia penghuninya. Di saat yang sama Ding Tao berhasil mencapai sumber suara perkelahian itu, kedatangannya masih terlambat, karena pembunuh itu sudah berhasil membunuh satu orang lagi, meskipun kali ini orang itu masih sempat mengadakan sedikit perlawanan. Tapi berkat kecepatan Ding Tao, pembunuh itupun tidak sempat untuk melarikan diri dan dalam waktu yang singkat, belasan orang yang tersisa, mengepungnya bersama-sama dengan Ding Tao. Tapi pembunuh itu tidak menjadi gugup atau takut, sebaliknya dia justru tertawa dingin melihat mereka semua. Ditatapnya Ding Tao lekat-lekat. "Hmm anak muda, sengaja aku tidak menyatroni dirimu untuk kuberi kesempatan hidup dan kulampiaskan rasa kesalku pada cecunguk-cecunguk ini. Siapa sangka kau justru tidak sayang nyawa dan mencari mati. Kuberi kau satu kali lagi kesempatan untuk hidup, pergi dari sini atau kau akan mati." "Jangan main-main, mengapa aku harus pergi? Apa aku harus takut pada orang yang tidak berani untuk menunjukkan mukanya sendiri? Jika kau memanggil saudara-saudaraku ini cecunguk, lalu apa sebutan yang pantas untuk orang bertopeng macam dirimu? Cucu kura-kura?", balas Ding Tao. Melihat keberanian Ding Tao, semangat yang lain jadi ikut terbangkit, dari beberapa orang terdengar dengusan menghina dan tawa kecil sambil menyebut-nyebut panggilan cucu kura-kura. Orang bertopeng itu tampaknya belum pernah dihina orang sebelumnya, begitu mendengar jawaban Ding Tao dan sikap dari sisa-sisa keluarga Huang yang lain, sorot matanya berubah jadi semakin beringas. "Baguslah kalau kau tidak mau pergi, tanganku pun sudah gatal-gatal untuk memenggal kepalamu", dengus orang itu. Dengan senyum-senyum Ding Tao menjawab. "Ah sobat, apa kau ini jarang mandi sehingga tanganmu pun sering diserang rasa gatal?" Lepas sudah kendali diri dari pembunuh bertopeng tersebut, sambil membentak keras dia menyerang Ding Tao. "Kurang ajar!" Dilepaskan dengan segenap amarah, serangan itu datang begitu cepat. Untung Ding Tao sudah bersiap, bekas luka yang ditinggalkan pada mayat Mao Bin dan analisa Liu Chun Cao akan kecepatan serangan dari pembunuh itu, memberikan satu pegangan sendiri bagi Ding Tao. Apalagi saat memasuki rumah Lu Feng, korban-korban yang lain juga mati oleh luka tusukan. Dengan gesit Ding Tao berkelit menghindar, bukannya mundur dia justru berkelit lalu maju mendekat. Dalam perhitungan Ding Tao, jika lawan hendak menyerang, tentu dengan menabasnya bukan dengan cara menusuk. Siapa sangka ternyata mata pedang lawan bisa berbalik arah dengan cepat, pergerakan tangan lawan begitu luwesnya, pedang yang di genggamannya, sekarang digenggam terbalik. Dengan demikian dia bisa menusuk Ding Tao meskipun posisi Ding Tao berada di sebelahnya. Ding Tao yang pada saat itu hendak melancarkan serangan, terpaksa membatalkan niatnya saat dia merasakan desiran angin dari arah belakang tubuhnya. Tanpa memikirkan gengsi, dia membuang tubuhnya ke depan dan bergulingan untuk menyelamatkan diri. Tidak urung ujung pedang lawan masih sempat merobek sebagian dari bajunya. Pedang yang digenggam terbalik dengan cepat dioperkan ke tangan yang lain dan tusukan kilat kembali menyambar. Bagusnya Ding Tao bukan lagi pemuda yang tidak berpengalaman, meskipun dalam keadaan terdesak, pedangnya masih bisa menahan serangan lawan, sambil tubuhnya menghindar dan mencari kedudukan yang lebih baik. Dalam sekejapan 7-8 tusukan dan tangkisan terjadi, bunga api berpercikan dan hawa pedang memenuhi seluruh ruangan. Ding Tao tidak sempat menyerang namun dia berhasil memperbaiki kedudukannya. Lawan yang melihat Ding Tao sudah berhasil memperbaiki kedudukan, tidak memaksakan diri untuk menyerang secara serampangan, melainkan berdiam diri dengan pedang masih dalam posisi siap menyerang. Sedikit saja Ding Tao menunjukkan lubang kelemahan pada pertahanannya, tentu pedang itu akan kembali berkelebat dengan kecepatan kilat. Sebagian rambut Ding Tao lepas dari ikatan, beberapa bagian dari bajunya koyak oleh serangan pedang lawan, namun matanya menatap tajam lawan, siap bertahan dan juga siap menyerang jika lawan menunjukkan sedikit saja kelemahan. Jarak di antara mereka berdua sedikit berjauhan setelah Ding Tao berhasil menghindar tadi. Keduanya diam dengan tenang, pernafasan mereka tidak memburu meskipun baru saja mereka bertarung dengan ketatnya. Dalam bertarung dengan menggunakan senjata, kelengahan sedikit sja bisa berakibat fatal. Pertarungan yang terjadi bukan hanya masalh fisik dan tehnik tapi juga masalah mental. Pada awalnya Ding Tao memiliki sedikit keunggulan karena dia sudah memiliki sedikit pegangan mengenai jurus andalan lawan, ditambah dengan keberhasilannya memancing amarah lawan. Tapi keuntungan itu berbalik, ketika lawan mengeluarkan jurus serangan di luar dugaannya. Lawan yang merasa berada di atas angin tidak mau melepaskan kesempatan. Tapi begitu melihat Ding Tao berhasil memperbaiki kedudukan dan dia tidak lagi memiliki kelebihan atas Ding Tao, dia memilih berhenti dan menunggu munculnya kesempatan lain yang lebih baik. Diam-diam pembunuh bertopeng itu mengakui bahwa tingkatan Ding Tao tidaklah rendah. Sedari tadi dia dengan mudah membunuhi penghuni rumah ini, kecepatan dan ketepatan pedangnya , serta keunikan dari jurus yang dilancarkan, membuat dia berhasil membunuh lawan dalam 1-2 gerakan saja. Siapa sangka kali ini, sasaran pedangnya, Ding Tao berhasil meloloskan diri dari serangannya, padahal posisi Ding Tao sudah tidak menguntungkan. Pertarungan antara dua jago pedang itu mendatangkan perasaan yang berbeda-beda pada sisa-sisa anggota keluarga Huang. Meskipun mereka mendengar cerita tentang kehebatan Ding Tao, baru kali inilah mereka menyaksikannya sendiri. Demikian juga kecepatan pedang dari pembunuh bertopeng itu, membayangkan bahwa mereka harus berhadapan dengan pembunuh bertopeng itu, keringat dingin menetes di punggung mereka. Antara tercekam oleh kehebatan pedang pembunuh bertopeng dan terkagum-kagum melihat kelihaian Ding Tao, apapun yang mereka pikirkan tentang Ding Tao sebelumnya, saat ini Ding Tao adalah sosok malaikat pelindung bagi mereka. Diam-diam mereka berdoa demi kemenangan pemuda itu, meskipun jika mereka melihat keadaan Ding Tao saat ini, bulu kuduk merekapun meremang, membayangkan kekalahan Ding Tao dan kematian mereka. Meskipun malam sudah larut dan di luar rumah hawa terasa dingin, namun di dalam rumah udara malam tidak leluasa untuk bertiup, semilir angin malam yang memasuki pintu depan rumah yang terbuka lebar, tidak mencapai ruangan tempat mereka berkumpul. Tapi bukan hawa dinginnya malam yang membuat setiap orang menggigil gemetar, melainkan hawa pembunuh yang menyebar keluar dari pembunuh bertopeng itu yang membuat mereka menggigil ketakutan. Hanya Ding Tao yang masih berdiri dengan tenang, meskipun dialah yang berhadapan langsung dengan pembunuh bertopeng itu. "Sobat, mengapa diam, apa kau menunggu aku yang memulai?", tanyanya dengan nada santai. "Hmm kenapa? Apa kau sudah tidak tahan lagi untuk terus hidup dan ingin cepat-cepat mati?", jawab pembunuh bertopeng itu. "Hoho bukankah kau tadi sudah menyerangku dan buktinya aku masih hidup sampai sekarang. Hanya saja aku ingin cepat-cepat menyelesaikan pertarungan ini, karena aku sudah mulai mengantuk, menunggu kau berani menyerangku", jawab Ding Tao dengan senyum mengejek. "Heh kalau kau mau cepat, kenapa tidak kau saja yang mulai menyerang", dengus pembunuh bertopeng itu. Mulut mereka bercakap-cakap dengan santai, namun sorot tajam mata mereka memperlihatkan bahwa sekejap pun mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Siapapun tahu bahwa saat menyerang akan ada lubang yang terbuka, jika mereka tidak yakin akan keberhasilan dari serangannya tidak nanti mereka akan bergerak. Baik pembunuh itu maupun Ding Tao, tidak berani bergerak sembarangan. Otak Ding Tao pun berputar keras, setiap kali dia hendak bergerak, dia bisa merasakan ujung pedang lawan seakan-akan hendak menusuk bagian yang terbuka oleh gerakannya itu. Saat dia beringsut sedikit ke belakang, tentu lawan pun beringsut ke depan, menutup jarak yang hendak diciptakan. Dengan demikian Ding Tao selalu berada dalam tekanan lawan, bagaimanapun juga lawan tidak ingin melepaskan kedudukannya yang lebih baik dari Ding Tao. Tentu saja hal ini sangat merugikan Ding Tao dan pemuda itu sadar, dia harus terlebih dahulu menyerang lawan, jika tidak akan tiba saatnya ketika dia kehilangan kewaspadaannya sebentar saja dan yang sesaat itu bisa berarti nyawanya. Keringat dingin mulai menetes di dahinya, rambut yang lepas dari ikatan sesekali melambai menggelitik kelopak matanya, namun Ding Tao tidak berani untuk berkedip sedikitpun. Melihat lawan bisa dengan sabar menanti dia lengah, jantungnya berdegup semakin kencang. Dalam hati dari memaki pula saudara-saudara yang lain, yang hanya bisa terdiam terpaku. Tapi Ding Tao tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya, hawa pembunuh dari pembunuh bertopeng itu harus dia akui sangat mencengkam. Akhirnya Ding Tao memutuskan untuk berjudi, hawa murni mulai dialirkan, bersiap untuk melakukan serangan. Jika dia beruntung, setelah gebrakan-gebrakan ini berakhir, dia akan mendapatkan posisi yang sama kuatnya dengan lawan. Jika dia kurang beruntung, bisa jadi kedudukannya akan makin memburuk atau malah nyawanya melayang. Selama ini, sejak dia menghilang dua tahun yang lalu dan memperdalam ilmu silatnya, baru kali ini dia bertemu lawan yang sedemikian tangguh. Bahkan saat melawan Sepasang Iblis Muka Giok pun, keadaannya masih lebih baik daripada sekarang. Dia masih bisa menyelami ilmu pedang lawan dan menguraikannya. Namun kali ini jagoan pedang yang dia hadapi tidaklah demikian. Serangannya begitu cepat dan tajam, sehingga Ding Tao kesulitan untuk bertahan sambil mengamati serangan lawan. Jurus-jurusnya pun terasa menyimpan berbagai kejutan yang tidak bisa dia pikirkan dalam keadaan bertarung seperti saat ini. Di luar jurus serangan pembunuh bertopeng ini terlihat sederhana, namun Ding Tao mengambil pelajaran dari kecerobohannya yang pertama, jurus-jurus pembunuh bertopeng ini menyimpan kejutan yang tak terduga. Jika bukan seorang yang sangat ahli tentu tidak bisa menggunakan jurus-jurus tersebut dengan baik. Mengubah pegangan pada pedang yang sedang menyerang dengan kecepatan tinggi dan tanpa jeda berbalik menyerang kemudian, pedang dengan kecepatan dan ketepatan yang sama beralih ke tangan yang lain, menyerang beruntun dengan kecepatan kilat. Meskipun Ding Tao tahu apa yang dilakukan lawan, dia tahu tidak mungkin dirinya bisa meniru jurus itu dalam waktu singkat tanpa latihan yang tekun selama bertahun-tahun. Pedang Ding Tao mulai bergetar, bersiap untuk menyerang, namun lawan masih berdiri bagai benteng yang kokoh dan Ding Tao belum bisa memutuskan dengan cara bagaimana dia akan menyerang lawan. Pembunuh bertopeng itu tentu saja melihat gelagat ini, dibalik topengnya, dia tersenyum sinis. Di saat yang kritis itu, tiba-tiba terdengar suitan melengking dari luar ruangan. Diikuti dengan melesatnya sebuah senjata dengan kecepatan yang pesat, ke arah punggung pembunuh bertopeng. Senjata itu dilemparkan melewati pintu ruangan dari sudut yang sangat sempit, tidak ada yang bisa melihat siapa pelempar senjata itu. "Pengecut!", bentak pembunuh bertopeng dengan rasa kesal yang memuncak. Mau tidak mau dia harus bergerak menghindari senjata lempar tersebut dan Ding Tao yang sudah ada dalam kondisi siap menyerang, bagaikan busur sudah dipentang penuh dan hanya tinggal menunggu kesempatan, dengan refleks melontarkan jurus serangan ke arah pembunuh bertopeng tersebut, begitu dia melihat ada lubang kelemahan dalam pertahanan pembunuh bertopeng itu. Serangan Ding Tao datang dengan membadai, bukan hanya menyerang bagian atas, terkadang Ding Tao tiba-tiba bergulingan dan menyerang kaki dari pembunuh bertopeng. Meskipun semua serangan bisa ditangkis atau dihindari, namun Ding Tao tidak memberi kesempatan pada pembunuh bertopeng itu untuk menarik napas. Serangan demi serangan dilancarkan, nafas keduanya sedikit demi sedikit mulai memburu. Tapi Ding Tao dengan hawa murni tenaga inti buminya ternyata memiliki cadangan tenaga yang lebih kuat daripada lawan. Pembunuh bertopeng itupun mulai sadar akan keadaannya yang tidak menguntungkan, setelah berpuluh-puluh jurus dia menunggu serangan Ding Tao untuk mengendor, ternyata serangan Ding Tao tidak juga mengendor. Sementara dirinya sudah mulai kelelahan, jika diteruskan tentu saja akan berakibat buruk bagi dirinya. Dengan menggertak gigi pada salah satu serangan Ding Tao yang mengarah ke lengan kanannya, dengan sengaja dia tidak menghindar namun balik menyerang. Sebuah luka pun menggores dalam-dalam lengan kanannya, namun karena dia membalas menyerang, Ding Tao tidak bisa melanjutkan serangannya dan harus cepat-cepat menarik serangan untuk menghadapi jurus pembunuh bertopeng. Jurus yang dikeluarkan oleh pembunuh bertopeng kali ini sungguh memusingkan. Mata pedang bergerak-gerak, seakan arah serangannya belum ditentukan. Tidak berani untuk menganggap remeh serangan lawan, Ding Tao memilih untuk menempatkan dirinya untuk bertahan dengan rapat terhadap serangan lawan. Pertimbangan Ding Tao, lawan sudah mulai terluka sementara dirinya belum terluka. Tujuan utama dari serangannya tadi adalah untuk menyamakan kedudukan, tapi berbalik justru dia berhasil mengambil keuntungan dari lawan. Ding Tao tidak mau terlalu serakah seperti pada permulaan pertarungan, di mana justru lawan berhasil membuat kejutan yang membalikkan keadaan. Di luar dugaannya pembunuh bertopeng itu bukan mengejar dirinya atau membenahi kedudukannya, pembunuh bertopeng itu justru melesat mundur ke belakang sambil tangannya menjambret orang-orang yang dia lewati dan melemparkannya ke arah Ding Tao. Sungguh hebat tenaga orang itu dan bukan hanya ilmu pedangnya yang mengerikan, ilmu cengkeraman tangannya juga tidak kalah hebat. Setiap kali lawan terpegang oleh tangannya, dengan sendirinya tidak mampu melepaskan diri, diiringi dengan totokan yang kuat menggunakan gagang pedang, lawan dibuat tidak mampu bergerak dalam sekejapan mata. Dengan cara yang ganas ini, pembunuh bertopeng itu tidak memberi kesempatan pada Ding Tao untuk mengejar, karena yang menghalangi jalannya adalah kawan-kawan sendiri. Ding Tao tentu saja tidak bisa menggunakan tangan dan kakinya untuk menangkis tubuh kawan-kawan yang dilemparkan pada dirinya. Dalam keadaan tertotok, tidak bisa bergerak dan mengerahkan tenaga, jika Ding Tao menyingkirkan mereka dari jalannya dengan sembarangan tentu mereka akan terluka berat. Bukan terluka di tangan pembunuh bertopeng itu melainkan terluka oleh Ding Tao. Orang yang paling dekat dengan pintu keluar tidak seberuntung teman-teman lainnya yang dijadikan penghalang bagi kejaran Ding Tao, melihat Ding Tao kerepotan untuk menangkap dan menurunkan teman-temannya tanpa melukai mereka, pembunuh bertopeng itu melepaskan kekesalan hatinya dengan membunuh orang tersebut. Gerakannya cepat, bisa dikatakan dia membunuh atau langsung pergi, tidak selisih jauh waktu yang dia butuhkan untuk menghilang. Tinggallah Ding Tao ditinggalkan sendiri, memandangi belasan tubuh yang terbaring tak berdaya, melengong dan menyesali kekurangan diri sendiri. Menyaksikan pembunuh bertopeng itu pergi tanpa bisa berbuat apa-apa. Lebih pahit lagi dia harus menyaksikan korban jatuh, tanpa bisa berbuat apa-apa/ Tentu saja terlampau keras Ding Tao menilai diri sendiri, jika malam itu dia tidak datang, korban yang jatuh tentu akan lebih banyak lagi. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Setelah semua kawan yang dilemparkan terbaring di lantai dengan selamat, Ding Tao bergegas mengejar keluar, tapi bayangan pembunuh bertopeng itu sudah tidak kelihatan sama sekali. Ding Tao berdiri termangu, matanya memandang ke arah Penginapan Burung Hong Emas dan mencemaskan keadaan ketiga pengikutnya. Tapi di saat yang sama orang-orang sisa keluarga Huang yang ada di dalam rumah Lu Feng juga dalam keadaang tidak berdaya. Sehebat-hebatnya ilmu meringankan tubuh Ding Tao, toh dia masih manusia biasa dan tidak mungkin berada di dua tempat sekaligus. Apalagi ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dibilang nomor satu. Dalam keragua itulah tiba-tiba dia merasakan hadirnya dua orang di belakang tubuhnya. Cepat dia berbalik dan betapa terkejutnya Ding Tao saat dia melihat sepasang pendekar lelaki dan perempuan, yang lelaki gagah dan yang perempuan cantik. "Eh siapa kalian?", tanya Ding Tao dengan terbata. "Ah tunggu, apakah kalian tadi yang membantuku dengan melemparkan senjata rahasia ke arah orang bertopeng itu?", tiba-tiba dia teringat dengan kejadian yang membuat dia berbalik menjadi unggul di saat keadaannya sangat kritis. "Hehehe, Ding Tao, setelah menjadi ketua perkumpulan silat, kau sudah lupa dengan kami?", tanya pendekar wanita itu sambil terkekeh geli dengan suara lembut. Mendengar suara itu segeralah Ding Tao mengetahui siapa yang ada di hadapannya. "Ah kalian berdua rupanya", dengan penuh rasa terima kasih Ding Tao tersenyum memandangi keduanya. "Sungguh aku berhutang banyak pada kalian kali ini." "Heh, tak usah dipikirkan, sekarang cepatlah kau kembali ke penginapan, kuharap teman-temanmu tidak apa-apa, arah larinya pembunuh bertopeng tadi bukan ke arah sana. Tapi tetap saja lebih baik kau memastikan keselamatan mereka. Tentang keselamatan orang-orang di dalam, serahkan saja padaku. Setelah itu, kau bisa kemari secepatnya bersama tabib itu untuk memeriksa keadaan mereka.", ujar iblis jantan dengan senyum bersahabat. Ya siapa lagi sepasang pendekar itu jika bukan Sepasang Iblis Muka Giok. Mengikuti Ding Tao dari kejauhan, membekal ilmu meringankan tubuh yang mumpuni dan ilmu menyamar yang tiada tandingan, keduanya bagaikan bayangan tubuh Ding Tao sendiri. Ding Tao tidak membuang-buang waktu, setelah mengangguk hormat kepada keduanya, dia pun segera berlari secepat mungkin, ke arah Penginapan Burung Hong Emas. Betapa besar rasa percaya Ding Tao pada sepasang iblis itu. Kepergian Ding Tao yang demikian buru-buru, mendatangkan perasaan bersahabat yang luar biasa dalam hati sepasang iblis itu. Lebih daripada jika Ding Tao menghujani mereka dengan kata-kata terima kasih yang tiada putusnya. Mengapa? Tentu saja karena hal itu menunjukkan rasa percaya Ding Tao pada mereka. Tanpa ragu dia meninggalkan orang- orang yang tidak berdaya di tangan sepasang iblis. Jika ada tokoh persilatan yang melihat hal itu, tentu dia akan menggeleng tidak percaya. Bagaimana mungkin, sepasang iblis yang terkenal kejam hendak dipercaya untuk menjaga keselamatan orang? Apakah bukan seperti mempercayakan sekumpulan domba pada sepasang serigala? Apakah Ding Tao seorang yang bodoh? Atau dia seorang yang memiliki mata batin yang jernih dan mampu menembusi isi hati seseorang? Biarlah pembaca sendiri yang menentukan, yang pasti sepasang iblis itu kian yakin pada persahatan yang ditawarkan Ding Tao. Bisa saja mereka dulu adalah sepasang iblis, tapi perlakuan Ding Tao pada mereka sudah mengubah mereka menjadi sepasang sahabat, setidaknya bagi Ding Tao dan kawan-kawannya. Demikianlah Ding Tao meninggalkan Sepasang Iblis Muka Giok untuk berjaga di rumah Lu Feng. Ding Tao berlari mengerahkan segenap kemampuannya, dia tidak lagi peduli apakah ada orang yang memergoki dirinya atau tidak. Dengan sendirinya waktu yang dia butuhkan untuk sampai ke penginapan jauh lebih cepat daripada waktu dia pergi. Saat dia sampai, keadaan terlihat tenang dan damai, tapi hatinya tidaklah tenang. Bukankah rumah kediaman Lu Feng juga tadinya terlihat tenang? Dengan mengendap-endap Ding Tao melompat ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Mereka menyewa dua kamar, Ding Tao bersama Tabib Shao Yong sementara Li Yan Mao bersama Wang Xiaho. Perlahan diketuknya jendela kamar. "Siapa itu?", terdengar suara Tabib Shao Yong bertanya dengan suara perlahan. "Ini, Ding Tao", jawab Ding Tao. Dengan segera jendela pun terbuka dan Ding Tao melompat masuk ke dalam. Di dalam kamar terlihat penuh, karena Li Yan Mao dan Wang Xiaho pun ternyata ikut menunggu Ding Tao. "Ah, Paman Wang Xiaho dan Paman Li Yan Mao jadi ikut berjaga di sini?", tanya Ding Tao sambil tersenyum, suasana hatinya masih hangat karena teringat persahabatan yang ditawarkan oleh sepasang iblis muka giok. "Haha, orang tua susah tidur, daripada Tabib Shao Yong sendirian, sekalian saja kami menunggumu di sini sambil mengobrol.", jawab Li Yan Mao dengan tawa gigi ompongnya. "Heh Ding Tao, wajahmu terlihat cerah, kukira itu artinya kabar bagus yang kau bawa", ujar Wang Xiaho. Diingatkan oleh kejadian di rumah Lu Feng, wajah Ding Tao pun berubah menjadi murung. Dengan singkat dia menceritakan kejadian yang sebenarnya. "Hoo.. tapi mengapa wajahmu terlihat cerah tadi?", tanya Wang Xiaho dengan keheranan. Orang tua ini sudah merasa mengenal watak Ding Tao dengan baik, sehingga tidak ada pikiran buruk tentang Ding Tao yang ada hanyalah keheranan. Demikian juga Tabib Shao Yong dan Li Yan Mao. "Ah, ya sejenak aku terlupa dengan kemalangan yang menimpa teman-teman di kediaman Saudara Lu Feng. Hal itu adalah karena aku bertemu kembali dengan Sepasang Iblis Muka Giok", jawab Ding Tao, teringat kembali dengan sepasang iblis itu hatinya jadi sedikit terhibur. "Ha? Ini lebih aneh lagi, apakah kau berhasil menghajar mereka untuk ketiga kalinya sehingga perasanmu jadi ringan?" "Bukan paman, bukan, justru mereka datang untuk membantu. Bukankah tadi aku bercerita tentang seseorang yang menyambit pembunuh bertopeng itu dengan senjata rahasia, nah sepasang iblis itulah yang melakukannya." Saat menceritakan kebaikan sepasang iblis itu, wajah Ding Tao tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. Berbeda lagi dengan ketiga orang yang mendengarkan, betapa keheranan menghiasi wajah mereka. "Lalu saat aku kebingungan, antara kembali ke penginapan dan menilik keadaan kalian atau tinggal di rumah Lu Feng untuk menjaga mereka sampai mereka mampu menjaga diri sendiri. Sepasang iblis itu menyanggupi untuk menjaga mereka, itu sebabnya aku bisa dengan tenang kembali ke penginapan. Itulah sebabnya perasaanku terasa hangat, oleh tali persahabatan yang mereka ulurkan.", ujar Ding Tao mengakhiri penuturannya. Wajah ketiga orang pendengarnya pun berubah menjadi pucat pasi. Hendak memaki, tapi yang akan dimaki adalah pimpinan mereka, lagipula wajah Ding Tao yang polos membuat mereka tidak tega untuk memaki. Hendak memuji, orang bodoh mana yang mempercayakan sekumpulan orang tertotok pada sepasang pembunuh yang terkenal sadis dan kejam. Dengan suara agak gemetar Tabib Shao Yong berkata. "Kalau mereka dalam keadaan terluka, sebaiknya aku pergi ke sana secepatnya untuk melihat apakah aku dapat menolong mereka. Apakah kau bisa mengantarkanku Ding Tao?" Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Perangkap Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo