Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 24


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 24


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Mendengar perkataan Xun Siaoma dan cara dia mengatakannya, setiap orang yang berada di dalam ruangan bisa merasakan kepedihan hati dari tokoh tua itu.   Mereka pun merasa ikut tercekat oleh kenyataan yang harus dihadapi Xun Siaoma.   Mereka hanya bisa mengangguk untuk menunjukkan bahwa mereka mengerti apa maksud Xun Siaoma.   Xun Siaoma melanjutkan.   "Tapi jika benar dia itu Pan Jun, maka yang membuatku tidak habis pikir, mengapa dia sampai melakukan hal yang sedemikian rupa?"   Ding Tao dan yang lain hanya bisa terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.   "Aku mengenalnya dengan baik, menjadi ketua dari Partai Hoasan adalah hal yang paling dia inginkan.   Dia tidak memiliki ambisi untuk menguasai dunia persilatan.   Lalu mengapa dia bisa terjerat dalam urusan yang busuk begini?", desah orang tua itu dengan sedih.   "Kami berdua sudah membicarakan hal ini", ujar Bai Chungho.   "Kami berkeputusan untuk menyelidiki lebih jauh masalah ini, bukan hanya karena Pan Jun pernah menjadi ketua dari Partai Hoasan, tapi jika ada yang bisa membuat Pan Jun menyalahi kedudukannya sebagai ketua Partai Hoasan.   Maka kita harus menyelidikinya sampai tuntas", ujar Bai Chungho melanjutkan.   Ding Tao memandangi kedua orang tua itu kemudian dengan berhati-hati mengatakan.   "Beberapa orang berpendapat, bahwa penggerak dari kejadian ini adalah Ren Zuocan Apakah tetua berdua juga memiliki pandangan yang serupa?" "Itu adalah salah satu kemungkinan, Ren Zuocan memiliki jaringan mata-mata yang kuat, bahkan dalam perbatasan sekalipun. Jika dia berhasil menarik Pan Jun menjadi salah seorang pembantunya, maka ketua dari partai-partai besar yang lain pun perlu diawasi.", ujar Xun Siaoma. "Kami juga ingin memastikan, alasan apa yang membuat mereka menyerang keluarga Huang? Keluarga Huang memang sedang menanjak tahun-tahun terakhir ini dan Huang Jin menunjukkan ambisi yang besar. Namun mengapa harus mengambil resiko terbongkarnya jaringan mereka dengan menyerang keluarga Huang, jika selama ini mereka berdiam diri? Ada yang mengatakan bahwa Pedang Angin Berbisik sudah jatuh ke tangan keluarga Huang dan sebelumnya pedang itu sempat berada di tanganmu, jadi kamipun ingin mendengar kejelasannya darimu.", lanjut Bai Chungho sambil memandang Ding Tao. Berkerut kening Ding Tao, pertanyaan yang sering mengganggunya kembali muncul, Benarkah mereka menyerbu keluarga Huang di Wuling karena Pedang Angin Berbisik? Jika benar demikian, bukankah sebenarnya dialah yang menjadi awal segala permasalahan? Jika dia tidak datang ke Wuling, Huang Ying Ying dan yang lain tentu masih hidup sampai sekarang. "Bagaimana Ketua Ding? Apakah kau bisa menjawab beberapa pertanyaan yang mengganggu kami itu?", tanya Bai Chungho. "Tentang Pedang Angin Berbisik, kurang lebih memang demikianlah keadaannya. Pada awalnya pedang itu terjatuh ke tanganku, namun saat aku berkunjung ke Wuling, pedang itu direbut orang dari tanganku. Orang itu adalah Tiong Fa, entah bagaimana beberapa waktu kemudian kabar yang kudengar adalah keluarga Huang berselisih dengan Tiong Fa. Menurut dugaan kami pada saat itulah Pedang Angin Berbisik jatuh ke tangan Tiong Fa.", jawab Ding Tao. "Hmm kau sendiri berada di mana saat kejadian itu terjadi? Mengapa kau tidak berusaha merebut kembali pedang itu?", tanya Xun Siaoma menyelidik. "Selain merebut pedang, mereka juga berusaha membunuhku, meskipun berhasil lolos namun siauwtee mendapatkan luka dalam dan terpaksa menyembunyikan diri beberapa bulan lamanya hingga luka itu sembuh. Saat siauwtee keluar dari persembunyian, barulah siauwtee mendengar apa yang terjadi di Wuling.", jawab Ding Tao. "Hmmm rupanya begitu", desah Xun Siaoma. "Kepandaianmu begitu tinggi, dua orang yang menyerangmu siapa mereka itu, apakah kau tahu?", tanya Bai Chungho. Ding Tao berpikir sejenak kemudian menjawab.   "Waktu itu, kepandaian siauwtee belumlah setinggi sekarang, lagipula siauwtee tertidur pulas karena meminum obat tidur yang diberikan Tiong Fa."   Ding Tao tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa obat itu diberikan oleh Huang Ying Ying atas perintah Tuan besar Huang Jin, lagipula dia tidak ingin menjelaskan masalah itu berkepanjangan.   Penjelasan Ding Tao cukup masuk akal, karena saat itu Tiong Fa masih merupakan salah satu pimpinan tua dari keluarga Huang.   Bai Chungho dan Xun Siaoma pun tidak mengejar lebih jauh.   "Jika benar, berarti kemungkinan besar Pedang Angin Berbisik tentu sudah jatuh ke tangan mereka.   Benar-benar berbahaya, jika Ren Zuocan sampai mendapatkan pedang itu, dia bisa seperti Harimau yang tumbuh sayap.", gerutu Bai Chungho dengan wajah gelap.   "Kejadian itu sudah beberapa lama terjadi, jika benar pedang itu di tangan mereka, saat ini tentunya sudah sampai di tangan Ren Zuocan.", desis Ding Tao dengan guram.   "Tidak, soal itu aku yakin belum terjadi", kata Bai Chungho dengan nada sangat yakin.   "Bagaimana Tetua Bai begitu yakin?", tanya Ding Tao dengan heran.   "Hehehe, partai kami memang bukan partai terkuat, tapi dalam soal jumlah kamilah yang terbanyak.   Jaringan mata dan telinga kami meliputi hampir seluruh daratan.   3 hari setelah kejadian di Wuling aku sudah mendengarnya dan segera memerintahkan seluruh anggota partai pengemis untuk mengawasi jalan keluar perbatasan.", jawab Bai Chungho dengan bangga.   "Perbatasan begitu luas, apakah partai pengemis benar-benar memiliki anggota sebanyak itu?", tanpa terasa Chou Liang menyeletuk dengan mata terbelalak.   Bai Chungho menengok cepat ke arah Chou Liang dan Chou Liang yang sadar betapa kata-katanya bisa dianggap sebagai penghinaan buru-buru membungkuk meminta maaf.   "Maafkan aku Tetua Bai, bukan maksudku meragukan perkataan Tetua Bai, aku hanya terkejut membayangkan seberapa besar dan banyak anggota partai pengemis, jika Tetua bisa mengatakan dengan yakin bahwa seluruh jalan menuju luar perbatasan sudah diawasi." "Hehehe, baguslah kalau kau percaya, tapi biarlah kutegaskan sekali lagi, aku yakin bahwa pedang itu belum keluar perbatasan. Seandainya mereka memaksa keluar perbatasan, anggota-anggotaku belum tentu mampu menghalangi, tapi berita tentang usaha mereka keluar perbatasan tentu akan terdengar olehku.", jawab Bai Chungho sambil mengangguk- angguk. "Jika demikian kita harus cepat bergerak untuk mendapatkan kembali pedang itu", ujar Ding Tao dengan bersemangat. "Begitu pula pendapat kami berdua, oleh sebab itu kami datang untuk menemui Ketua Ding. Tampaknya jejak paling jelas yang ditinggalkan kelompok itu adalah Tiong Fa dan ulahnya yang berusaha menguasai seluruh cabang milik keluarga Huang yang telah dia hancurkan.", kata Xun Siaoma. "Benar, bekas pengikut keluarga Huang memiliki ikatan batin yang dekat dengan Ketua Ding, apa yang terjadi di Jiangling beberapa waktu yang lalu membuktikan hal itu. Tentu saja kekuatan Ketua Ding saat ini belumlah cukup untuk merebut kembali cabang-cabang lain dari tangan Tiong Fa dan demi kepentingan yang lebih luas, kami ingin menawarkan bantuan, bagaimana? Apakah Ketua Ding bisa menerima maksud baik kami?, ujar Bai Chungho menjelaskan alasan sesungguhnya dari kedatangan dirinya dan Xun Siaoma. Tawaran yang diberikan cukup mengejutkan Ding Tao, apalagi tawaran itu datang dari dua partai kenamaan dan yang datang untuk menawarkan adalah dua orang Tetua yang sangat dihormati dan ditakuti oleh orang-orang dunia persilatan. Untuk sesaat Ding Tao mengitarkan pandangan matanya pada para pengikutnya yang hadir di ruangan tersebut. Dengan tidak kentara Chou Liang, Ma Songquan dan yang lain perlahan mengangguk tanda setuju, meskipun ada pula yang melakukannya dengan keraguan terbayang di wajah. Melihat mereka satu suara dalam hal ini dan terutama Chou Liang tampak yakin dengan tawaran yang diberikan, Ding Tao pun merasa semakin yakin dengan jawaban yang hendak dia berikan. "Baiklah aku menerima tawaran Tetua berdua.", jawab Ding Tao dengan tegas. Meskipun hanya sekilas namun Ding Tao dapat melihat seulas rasa penasaran dan sakit hati tergambar di wajah anak murid Partai Hoasan dan dia pun merasa mendelu dalam hati. Dengan tulus diapun menyampaikan perasaan penyesalannya tersebut. "Tetua Xun Siaoma sungguh berhati besar, siauwtee di luar sepengetahuan siauwtee telah kesalahan tangan membunuh anak murid perguruan Hoasan, Pendekar pedang kilat Pan Jun. Namun Tetua justru bersedia untuk menawarkan bantuan bagi kami. Sesungguhnya dari hati yang terdalam, aku sangat mengagumi Pendekar pedang Pan Jun, berhadapan dengannya dalam satu pertarungan, mau tidak mau timbul perasaan kagum akan bakat dan kemampuannya.", ujar Ding Tao dengan tulus. "Itu sebabnya, meskipun kami tidak mungkin mengabarkan kejadian ini pada Partai Hoasan, namun kami sudah menyelenggarakan pemakaman Pendekar pedang kilat Pan Jun dengan sebaik-baiknya. Dengan setulusnya aku memohon maaf dari kalian semua atas apa yang terjadi. Saat inipun jika Tetua dan saudara-saudara dari Hoasan hendak mengunjungi persemayaman terakhir dari beliau, aku dapat mengantarkan kalian ke sana."   Ucapan Ding Tao dan penyesalannya yang terlihat tulus dan tidak dibuat-buat, menjadi obat yang manjur bagi luka hati para anak murid Partai Hoasan.   Tidak ada ucapan membela diri yang keluar dari mulut Ding Tao, padahal mereka semua pun tahu apa yang terjadi saat itu.   Ding Tao tidak bisa disalahkan dalam kasus itu, namun pemuda itu justru bersedia memohon maaf pada mereka.   Meskipun rasa sakit hati mereka tidak sepenuhnya hilang, namun rasa permusuhan dalam hati mereka sudah banyak menghilang.   Apalagi setelah Xun Siaoma menjawab Ding Tao.   "Hmm Ketua Ding, mengetahui tingginya ilmu pedang Pan Jun dan mengetahui pula tingkatan yang Ketua Ding miliki, aku tahu bahwa Ketua Ding tidak memiliki banyak pilihan.   Hanya ada dua pilihan terbunuh atau dibunuh.   Jika ada yang patut dipersalahkan, maka itu adalah orang yang sudah membuat Pan Jun tersesat sedemikian rupa.   Kematiannya di tangan Ketua Ding hanyalah akibat, dalam hati aku sudah berketetapan untuk mencari penyebabnya dan membasminya dari muka bumi ini.", ujar Xun Siaoma dengan suara tergetar dan geram.   Jika Xun Siaoma yang selalu bisa menguasai diri dalam segala keadaan hingga menunjukkan goncangan dalam hati, bisa dibayangkan betapa geramnya tokoh tua ini.   "Siauwtee aku berusaha sekuat siauwtee untuk ikut membantu usaha Tetua berdua dalam membongkar masalah ini.", ujar Ding Tao dengan sungguh-sungguh.   "Ya ya tentu saja aku percaya akan ketulusan Ketua Ding.   Kalau begitu kami akan kembali beberapa hari lagi dan merundingkan rencana kita.   Untuk saat ini, Ketua Ding dan sahabat-sahabat sekalian bisa membaca catatan ini", ujar Xun Siaoma sambil menyerahkan selembar catatan.   "Ini adalah catatan dari kekuatan Kaypang dan Hoasan yang sudah disiapkan untuk menjalankan rencana ini.   Lengkap beserta tempat kedudukan mereka saat ini.   Ketua Ding dan yang lain bisa mempelajari dan merundingkannya berkenaan dengan Partai kalian.   Beberapa hari lagi, kita akan merundingkan kepastiannya.", ujar Xun Siaoma.   Ding Tao membaca lembaran itu beberapa saat lalu menyerahkannya pada Chou Liang yang mempelajarinya lebih lanjut.   Ding Tao sendiri berbalik pada Xun Siaoma dan Bai Chungho.   "Siauwtee mengerti, beberapa hari ke depan siauwtee akan berusaha mempersiapkan kekuatan dari pihak siauwtee sendiri. Siapa yang akan berjaga dan siapa yang akan pergi, masalah perbekalan dan sebagainya. Dalam 5-6 hari siauwtee tentu sudah siap bergerak." "Baguslah kalau begitu, 4 hari lagi kami akan kembali berkunjung ke Jiangling dan merundingkan eksekusi rencana ini.", ujar Bai Chungho. "Kalau begitu, jika Ketua Ding tidak keberatan, aku ingin mengunjungi makam Pan Jun.", ujar Xun Siaoma. "Tentu saja tidak keberatan, mari aku akan mengantarkan saudara sekalian ke sana", jawab Ding Tao cepat. Tidak berapa lama kemudian rombongan kecil itu sudah berada di depan makam Pan Jun, anak murid Partai Hoasan merasa terharu ketika melihat betapa Ding Tao menghargai dan mempelakukan Pan Jun dengan hormat dan sebaik mungkin. Masing-masing orang menyalakan sebatang dupa dan berdoa. Entah apa yang berkecamuk di benak mereka, tapi yang jelas, anak murid Partai Hoasan telah mendapatkan sasaran baru untuk menumpahkan kekesalan mereka. Selepas tamu-tamu mereka meninggalkan Jiang Ling, Ding Tao dan para pengikutnya kembali berkumpul untuk membicarakan apa saja yang baru terjadi sekaligus membahas cara kerja dan struktur organisasi yang baru saja terbentuk itu. Selain tawaran bantuan dari Hoasan dan Kaypang, banyak kejutan kecil lain yang membuat mereka cukup bersemangat. Pertarungan antara Ding Tao dengan Xun Siaoma, membuka mata banyak orang akan potensi yang tersimpan dalam diri Ding Tao dan tentu saja dalam partai yang dia pimpin. Beberapa hari sejak pertarungan itu, sudah beberapa kali terjadi ada perguruan maupun badan usaha dan keluarga yang cukup punya nama, menyatakan ingin bergabung di bawah bendera Partai Pedang Keadilan. Tentu saja bukan semuanya bergabung karena memiliki cita-cita yang sama, tidak sedikit yang bergabung karena mengharapkan adanya perlindungan dari Partai yang baru berdiri ini. Tidak bisa disangkal, angin panas sedang bertiup di dunia persilatan. Mereka yang selama ini belum tergabung dalam ikatan yang lebih luas dan kuat, sedang mencari-cari tempat untuk menambatkan perahu kecil mereka. Anak murid keluaran dari perguruan besar, mulai menjalin kembali ikatan yang mungkin sudah lama merenggang. Yang sudah lama tidak berkunjung ke perguruannya, tiba-tiba sering muncul sambil membawa sedikit bingkisan, dan berbasa- basi, membicarakan masa lalu dengan saudara-saudara yang masih tinggal di pusat dan tidak keluar untuk hidup terpisah dari perguruan mereka. Di luar ke enam perguruan besar yang ada, Shaolin, Wudang, Hoasan, Kunlun, Kongtong dan Emei, mungkin hanya Kaypang yang bisa disejajarkan. Tapi Kaypang, sesuai dengan namanya, mengkhususkan diri sebagai organisasi yang melindungi dan beranggotakan para pengemis. Dengan demikian, Partai Pedang Keadilan yang didirikan oleh Ding Tao, mendapatkan banyak sorotan dan menjadi tempat pengharapan bagi mereka yang tidak berasal dari enam perguruan besar tersebut. Memang masih ada beberapa keluarga terkemuka seperti Keluarga Tong yang ahli senjata beracun dan Keluarga Deng yang ahli bahan peledak. Kekuatan mereka bolehlah disejajarkan dengan Partai Pengemis yang sedang menurun perbawanya. Namun mereka adalah organisasi berdasarkan darah keturunan, orang luar tentu saja tidak bisa berharap banyak untuk bergabung dalam kedudukan yang sederajat dengan anggota keluarga tersebut. Setelah mendengar berdirinya Partai Pedang Keadilan, maka kelompok-kelompok kecil yang tidak memiliki sandaran inipun mulai berdatangan untuk menggabungkan diri. Dengan latar belakang demikian, maka dengan sendirinya tidak sedikit dari mereka yang justru lebih merupakan beban daripada dukungan. Namun di antara mereka ada pula, tokoh-tokoh seperti Sun Liang dari keluarga Sun di Luo Yang, yang nilainya bisa berpuluh kali lipat dibanding bergabungnya kelompok-kelompok yang bergabung hanya untuk mencari aman. Meskipun setiap mereka yang datang, tidak datang dengan tangan kosong. Tapi menguntungkan atau tidak, yang pasti membengkaknya jumlah mereka secara mendadak menimbulkan permasalahan tersendiri. Di dalam ruangan itu semua pengikut Ding Tao dari sebelum berdirinya Partai Pedang Keadilan sudah berkumpul. Tang Xiong baru saja melaporkan daftar dari pengikut-pengikut yang baru mengucapkan sumpah setia di hari itu, sekaligus jumlah permohonan yang masuk namun belum sempat diputuskan apakah akan disetujui atau tidak. Ding Tao sedang terhenyak bersandar di kursinya dan menggelengkan kepala.   "Hmm kalau terus menerus seperti ini, bisa- bisa kita tidak akan mengerjakan apa-apa kecuali menghitung jumlah orang yang mendaftar dan jumlah uang yang masuk ke kas Partai Pedang Keadilan."   Li Yan Mao tertawa dengan senyum ompongnya dan berkata.   "Aku tidak melihat ada masalah dengan hal itu."   Gurauan Li Yan Mao disambut tawa kecil dari beberapa orang dan senyum kelelahan dari Ding Tao.   Tentu saja mereka semua mengerti kesulitan yang sedang dihadapi dan gurauan Li Yan Mao tidak lebih hanyalah gurauan belaka.   "Besok pagi, sesuai dengan janji yang mereka berikan, Tetua Xun Siaoma dan Tetua Bai Chungho akan kembali menemui kita.   Sementara di luar perkiraan, jumlah anggota kita membengkak dan kita lebih sibuk mengurusi masuknya anggota baru daripada mempersiapkan rencana untuk membebaskan tiap-tiap cabang usaha keluarga Huang dari Tiong Fa.   Bagaimana menurut kalian?", ujar Ding Tao sambil melihat ke sekelilingnya.   "Tidak ada yang perlu dikuatirkan, tentang rencana itu, kita tidak perlu memperhitungkan tambahan tenaga yang masuk beberapa hari terakhir, dengan demikian perhitungannya akan jadi lebih mudah.   Di pihak lain, kita juga akan memiliki cadangan tenaga setelah pertempuran terjadi.", ujar Chou Liang.   "Apakah nantinya para Tetua tersebut tidak menganggap kita bermain dengan licik, mengajukan pihak mereka sebagai tumbal sementara kita menikmati hasilnya?", tanya Tang Xiong dengan ragu-ragu.   "Tidak, mereka tentunya juga mengerti, anggota yang baru masuk tidak mungkin bisa dipercaya dengan segera.   Lagi pula menunggu memastikan kesetiaan mereka semua, akan memperlambat rencana.   Justru kesibukan saat ini bisa jadi selubung yang tepat terhadap gerakan yang akan kita lakukan.   Tiong Fa berpikir kita sedang sibuk menata di dalam, padahal kita sudah siap untuk mengetuk pintu rumahnya.", jawab Chou Liang dengan cepat.   "Hmm yang kukuatirkan justru tawaran tersebut, apakah tidak mengandung udang di balik batu?", ujar Ma Songquan dengan kening berkerut.   "Soal itu sudah jelas mereka melakukannya bukan tanpa menghitung keuntungan untuk diri sendiri tapi yang lebih penting, tawaran mereka menguntungkan kedudukan kita.", jawab Chou Liang.   "Hmm aku kurang mapan dengan pemikiran seperti itu, seakan-akan setiap orang yang kita temui menyimpan rahasia di balik perkataannya.   Mengapa tidak berprasangka baik saja? Bukankah tidak ada permintaan tertentu yang mengiringi tawaran mereka tersebut?", ujar Ding Tao dengan muram.   "Hahaha, jika orang mengeluarkan modal tanpa mendapatkan hasil kembali, bagaimana mungkin mereka tumbuh menjadi besar? Ketua Ding, bukan maksudku mengatakan mereka itu orang baik atau jahat, hanya saja menurutku wajar saja jika setiap tindakan yang mereka ambil tentu dengan menghitung-hitung keuntungan buat partai mereka sendiri pula.   Masa mereka hendak mengorbankan puluhan nyawa anggotanya demi partai kita?", jawab Chou Liang sambil tertawa.   Muka Ding Tao pun jadi tersipu, namun tidak segera menyangkal dan menyediakan telinganya untuk mendengar.   "Ketua Ding, pandangan Ketua baik adanya dan aku setuju bahwa cara pandang Ketua Ding atas tawaran mereka adalah jalan yang terbaik dalam menanggapi tawaran tersebut.   Dengan demikian, sedikit banyak persahabatan akan terjalin lebih kuat.   Namun terlalu naif jika kita menganggap bahwa mereka pun tidak menarik keuntungan dari serangan ini.", ujar Chou Liang dengan lebih sabar, melihat Ding Tao tersipu malu.   "Partai Hoasan mengalami kemunduran besar dengan matinya Pan Jun, meskipun dari jajaran golongan tua masih ada orang-orang seperti Tetua Xun Siaoma, namun telah terjadi lubang dalam perpindahan generasi.   Keadaan yang hampir sama ada pada kelompok partai pengemis, setelah Tetua Bai Chungho, tidak ada pengganti yang sebesar dirinya." "Dengan mengikat persahabatan dengan Partai Pedang Keadilan yang memiliki generasi-generasi muda berbakat yang berpotensi untuk menjadi besar di masa mereka justru semakin surut.   Kedua tetua itu dengan tidak langsung berusaha memastikan kelangsungan hidup dari partainya.   Pada masa mereka meninggal nanti, jika ada masalah dalam partai mereka atau ada bahaya mengancam.   Partai Pedang Keadilan yang di masa kelahirannya mendapatkan bantuan dari mereka, tentu terikat oleh persahabatan dan juga kepantasan untuk ikut turun tangan dan menyelamatkan mereka dari ancaman yang ada.", ujar Chou Liang menjelaskan.   Ding Tao menghela nafas.   "Tentu saja hal itu wajar dilakukan, saling menolong, saling membantu. Jika mereka mengorbankan puluhan nyawa untuk kita, tentu kita akan melakukan pula yang sebaliknya bagi mereka, bahkan lebih lagi. Di antara sahabat, masa masih ada perhitungan untung dan rugi?" "Ya, justru melihat sifat dari Ketua Ding Tao maka mereka berani menawarkan hal tersebut. Justru melihat dari potensi yang ada, maka barulah mereka berani membayar harga dari persahabatan itu.", ujar Chou Liang sambil tersenyum lembut. "Hmm hmm jika hanya masalah seperti itu, tentunya tidak perlu dipikirkan lebih jauh. Tapi bagaimana masalah Pedang Angin Berbisik? Tidak pernah ada pembicaraan mengenai pedang itu, pedang hanya satu, tapi ada tiga pihak yang bekerja sama untuk mendapatkannya. Jika sudah demikian, lalu siapa yang berhak memiliki pedang itu, seandainya kita berhasil merebutnya?", tanya Ma Songquan mengungkapkan kekuatirannya. Ding Tao menghela nafas dan kemudian menjawab.   "Pedang Angin Berbisik memang sempat jatuh ke tanganku, namun pada hakekatnya bukanlah milikku. Aku tidak membuatnya, aku bukan pula orang yang diberi oleh pembuatnya. Jika Tetua Xun Siaoma atau Tetua Bai Chungho menghendakinya, aku tidak akan berusaha untuk menentang keinginan mereka itu."   Membicarakan pedang pusaka bagi orang persilatan tentu memiliki artinya sendiri.   Bukan tanpa alasan jika mereka rela menyabung nyawa demi mendapatkan pedang pusaka.   Sebilah pedang pusaka bisa menutupi kekurangan seseorang dalam hal tenaga dan kecepatan.   Di tangan seorang ahli pedang seperti Ding Tao, sebilah pedang pusaka tidak ubahnya senjata titipan dewa, yang jika diibaratkan oleh seorang pendongeng, layaknya senjata yang mampu membelah gunung dan mengeringkan air laut.   Oleh karena itu, mereka yang medengarnya ikut mengerutkan alis tanda tidak setuju.   Justru Chou Liang yang tertawa sambil memuji Ding Tao.   "Keputusan yang baik, keputusan yang baik. Satu benda berharga tentu menjadi berharga karena memiliki kelebihan, tapi terlalu memandang tinggi nilai suatu barnag hingga melupakan keseluruhan gambar justru menjadi awal dari kehancuran." "Di jaman tiga kerajaan, kuda mana yang bisa menyaingin kuda berjuluk kelinci merah milik Jendral Lu Bu? Namun demi mendapatkan kesetiaan Lu Bu, tanpa ragu-rau Dong Zhuo menghadiahkan kuda yang berharga tersebut. Demikian juga dengan kecantikan Diao Chan, siapa pula yang meragukannya, namun karena Dong Zhuo tidak rela memberikan Diao Chan pada Lu Bu, jatuhlah buah kepalanya oleh pedang Lu Bu." "Pedang Angin Berbisik, boleh jadi merupakan sebilah pedang pusaka tanpa tanding, namun nyata mereka yang pernah memilikinya dan berusaha mempertahankannya dengan taruhan nyawa, toh akhirnya berakhir seperti Dong Zhuo. Melepaskan apa yang tidak perlu, memiliki pandangan yang jernih terhadap apa yang perlu, adalah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.", ujar Chou Liang menutup uraiannya. Mendengar uraian Chou Liang, rasa penasaran mereka yang tadinya tidak rela Ding Tao menyerahkan Pedang Angin Berbisik pada orang lain jadi jauh berkurang. Hanya Ma Songquan yang masih mendengus dengan kesal. Sebaliknya Ding Tao justru berpikir dua kali tentang keputusannya, apakah dirinya menimbang untung dan rugi seperti yang dikatakan Chou Liang? Dengan mendesah sedih pemuda itu memutuskan bahwa yang paling penting bukanlah untung dan rugi, tapi integritas dirinya sebagai laki-laki. Jika dia kehilangan itu maka seluruh harta dan kekuasaan yang dia dapatkan tidak ada artinya lagi. "Sudahlah, yang penting kita semua bisa menilai, uluran persahabatan Hoasan dan Kaypang, tidak perlu dicurigai, kalaupun mereka memiliki agendanya sendiri, toh kita tetap diuntungkan oleh kerja sama ini.", ujar Ding Tao. "Hmm bagaimana kalau orang-orang Hoasan sebenarnya masih mendendam dan mereka ingin menjebak kita dalam skema penyerangan tersebut? Tiba-tiba berbalik menyerang kita di saat kita mengira bahwa mereka adalah sekutu kita?", tanya Qin Bai Yu yang sedari tadi diam saja mendengarkan. "Ah..apakah mungkin mereka melakukan hal seperti itu? Janganlah berpikir terlalu jauh.", tegur Ding Tao pada Qin Baiyu. "Ya, aku pun berpikir demikian, lebih banyak keuntungannya buat Partai Hoasan jika mereka menjalin persahabatan dengan kita, dibanding jika mereka menjadikan kita lawan. Namun kemungkinan itu tidak boleh dihapuskan begitu saja.", ujar Chou Liang menimpali. "Maksud Kakak Chou bagaimana?", tanay Ding Tao yang diikuti dengan cermat oleh Qin Baiyu dan beberapa orang yang masih ragu akan ketulusan Partai Hoasan. "Kita harus mengatur penempatan masing-masing orang, agar dalam penyerangan nanti, seandainya pun terjadi hal yang sedemikian, orang-orang inti dari Partai Pedang Keadilan tidak sampai jatuh menjadi korban.", jawab Chou Liang yang nampaknya sudah memikirkan masalah ini. "Coba jelaskan", ujar Ding Tao sambil mengerutkan alis, dalam hatinya tentu saja pemuda ini kurang menyukai kecurigaan yang harus timbul antara partai mereka dengan partai Hoasan dan Kaypang. Di lain pihak Ding Tao tidak mau menutup mata pula terhadap kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dan resiko yang ditimbulkan bagi para pengikutnya. Mau tidak mau Ding Tao pun harus bersikap egois, bukan karena dia serakah, tapi karena sebagai seorang pemimpin dia merasa bertanggung jawab pula atas kelangsungan hidup mereka yang ada di bawah pimpinannya. Chou Liang yang sudah memikirkan semuanya, mulai menjelaskan secara terperinci dasar pemikirannya. "Dari 5 anak cabang milik keluarga Huang di luar kota Wuling, 1 sudah kita kuasai dan 4 yang masih berada dalam penguasaan Tiong Fa. Agar Tiong Fa tidak sempat melarikan diri, maka serangan dilaksanakan secara serempak pada ke-4 cabang yang tersisa." "Hal ini tidak mungkin dilakukan sebelumnya, karena kita tidak memiliki kekuatan untuk membagi kelompok kita menjadi enam bagian, dua kelompok menjaga Wuling dan Jiang Ling, dan empat lainnya untuk menyerbu dan menguasai 4 cabang yang tersisa." "Tapi dengan adanya tawaran bantuan dari pihak Hoasan dan Kaypang, ditambah lagi, lonjakan anggota baru yaang diterima oleh partai kita, hal ini menjadi mungkin. Tapi bagaimana jika ada pengkhianatan dari pihak Hoasan dan Kaypang. Hal ini kecil sekali kemungkinannya, tapi tidak boleh diabaikan begitu saja. Karena itu usulanku adalah, biarlah anggota inti dari Partai Pedang Keadilan terkumpul menjadi satu atau dua kelompok, di mana kekuatan Hoasan dan Kaypang pada dua kelompok tersebut, berada di bawah kekuatan kita." "Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan, boleh saja wilayah kita lepas, namun orang-orangnya masih boleh bertahan hidup dan melanjutkan perjuangan di lain tempat. Untuk itu perlu juga kita buat semacam markas rahasia, tempat anggota- anggota inti kita bisa melarikan diri." "Hal ini bukan saja untuk keperluan rencana penyerangan Tiong Fa beberapa waktu ke depan, tapi juga untuk persiapan jangka panjang. DI mana setiap anggota inti selalu tahu, rumah aman tempat mereka bisa menyembunyikan diri untuk sementara waktu." , ujar Chou Liang menjelaskan. Ding Tao memikirkan penjelasan Chou Liang dan menganggukkan kepala perlahan-lahan. "Jadi bisa Ketua Ding lihat, kita tidak perlu mengorbankan anak murid Hoasan dan Kaypang sebagai tameng hidup sementara kita hanya berdiri untuk mengumpulkan hasil. Hanya saja, langkah-langkah penyelamatan diri yang dirahasiakan dari umum, perlu kita miliki. Dan aku yakin, partai-partai seperti Hoasan dan Kaypang pun tentu memiliki prosedur seperti ini.", ucap Chou Liang meyakinkan Ding Tao. "Hmm aku mengerti, hal ini berkaitan pula dengan kerahasiaan akan keterlibatan Guru Chen Wuxi, Saudara Fu Tong dan Paman Song Luo, yang sudah pernah kita bahas beberapa waktu yang lalu.", ucap Ding Tao. "Benar", jawab Chou Liang. "Ketua Ding Tao, apakah maksud ketua, aku bertugas untuk menyiapkan rumah aman seluruh anggota inti Partai Pedang Keadilan?", tanya Song Luo. "Benar Paman Song, selain menyediakan rumah aman, Paman Song Luo, Guru Chen Wuxi dan Saudara Fu Tong akan bekerja sama dengan Saudara Chou Liang untuk membentuk jaringan informan yang bertugas mengumpulkan berita bagi Partai Pedang Keadilan. Mereka yang bekerja untuk paman sekalian, tidak perlu tahu bahwa mereka bekerja untuk Partai Pedang Keadilan.", ujar Ding Tao. "Apakah di situ letak perbedaan antara anggota inti dengan yang bukan?", tanya Chen Wuxi setelah mendengar penjelasan tersebut. "Benar, dengan sendirinya Partai Pedang Keadilan akan terbagi menjadi dua, yang terlihat dan yang tak terlihat, keduanya saling bekerja sama tanpa pihak yang satu mengenal pihak yang lain. Anggota inti, yaitu mereka yang dedikasinya sudah teruji dan dipercaya akan menjadi otak yang menghubungkan kedua bagian tersebut. Di dalam bagian-bagian tersebut, masih akan ada pengembangannya sendiri. Tiap-tiap anggota inti akan dipercaya secara berkelompok atau sendirian, untuk mengembangkan bagian-bagian tersebut. Tujuan utamanya adalah, memastikan bahwa kebocoran atau bahkan kehancuran di satu bagian, tidak akan menghancurkan partai secara keseluruhan. Dengan demikian, akan selalu ada kesempatan bagi anggota inti yang bertahan melewati ancaman tersebut, untuk melanjutkan lagi cita-cita dari partai yang dibentuk ini.", ujar Chou Liang, menjelaskan gambaran besar dari partai yang sedang mereka bangun. "Siapa saja yang menjadi anggota inti?", tanya Fu Tong. "Untuk awalnya, yang menjadi anggota inti adalah mereka yang sudah bersatu kata dan hati sebelum partai ini secara resmi didirikan. Hal ini untuk mengantisipasi luapan anggota baru seperti yang kita saksikan terjadi selama beberapa hari ini.", jawab Chou Liang. "Untuk selanjutnya, melalui proses waktu, apabila terjadi kata sepakat oleh seluruh anggota inti, maka kita akan mengangkat orang-orang tertentu untuk masuk dalam lingkaran terdalam ini.", ujar Ding Tao melanjutkan. "Ada berapa kelompok di dalam Partai Pedang Keadilan sendiri dan siapa-siapa yang dipercaya untuk mengurusnya?", tanya Guru Chen Wuxi. "Ada kelompok, yang pertama Kelompok Mata Langit, tugas mereka menjadi mata dan telinga bagi Partai Pedang Keadilan, mengumpulkan informasi dan berita yang tersebar di luaran. Kelompok ini dibagi lagi menjadi Langit siang dan Langit malam. Langit siang adalah yang bekerja sebagai bagian dari Partai Pedang Keadilan dan Langit Malam yang bekerja di luar naungan Partai Pedang Keadilan." "Untuk Kelompok Mata Langit Siang akan dibentuk oleh saudara Tang Xiong. Sedangkan langit malam pembentukannya akan diserahkan pada Paman Song Luo." "Kelompok kedua adalah Kelompok Pedang Keadilan, penegak hukum rumah tangga, dikepalai dan dibentuk oleh Saudara Ma Songquan beserta isteri. Penyelidikan dan hukuman atas anggota partai yang dicurigai melakukan pelanggaran atas peraturan partai akan dilakukan oleh mereka berdua dan anggota kelompok bentukan mereka." "Kelompok ketiga adalah Kelompok Pedang dan Perisai, selain bertugas sebagai pelindung Partai juga berperan dalam kegiatan penyerangan seperti yang akan kita lakukan beberapa hari lagi. Di dalam kelompok inipun akan terdapat dua bagian, bagian terang dan gelap. Bagian terang, dikepalai dan dibentuk oleh Saudara Li Yan Mao dan Saudara Wang Xiaho. Dan yang gelap, dikepalai dan dibentuk oleh Guru Chen Wuxi serta Saudara Fu Tong." "Kelompok keempat adalah Kelompok Padi dan Emas, dari namanya saja sudah jelas, mereka akan berkaitan dengan jalannya roda usaha yang memberikan kelangsungan hidup bagi seluruh anggota partai. Kelompok ini dipercayakan pada Tabib Shao Yong, Saudara Qin Hun dan puteranya Qin Baiyu." "Selain kelompok-kelompok tersebut, aku dan Pendeta Liu Chuncao akan berfungsi sebagai utusan dari Partai Pedang Keadilan, kami akan bekerja sama dalam berhubungan dengan pihak-pihak di luar Partai Pedang Keadilan.", demikian penjelasan panjang dari Chou Liang, menuturkan garis besar yang sudah mereka rancang sebelum mereka menginjakkan kaki di kota Jiang Ling. Song Luo tampak tertegun, kemudian dengan suara terbata-bata dia bertanya.   "Pengalamanku tidakalh banyak dalam hal- hal yang sedemikian, apakah tugas yang diberikan tidak melampaui kemampuan orang tua seperti diriku?"   Chou Liang tersenyum dan menjawab.   "Paman tidak perlu kuatir, apa saja ketika baru dimulai tentu terlihat sukar. Namun paman sudah pernah mengerjakan hal yang serupa meskipun dalam ruang lingkup yang lebih sempit. Penugasan inipun bukan berarti tiap-tiap orang akan bekerja sendiri tanpa bantuan dari yang lain. Setiap kali ada waktu, tentu kita akan berkumpul bersama seperti saat ini dan dari pertemuan ini tiap kesulitan bisa dibicarakan dan bila perlu bantuan akan diberikan. Jauh lebih penting daripada kemampuan adalah kepercayaan dan Ketua Ding memilih Paman Song Luo karena dia percaya pada paman." "Lagipula, meskipun dibedakan menjadi beberapa kelompok, sebenarnya kita tetap satu tujuan. Seperti pada awal sempat dikatakan Paman Song Luo, Saudara Fu Tong dan Guru Chen Wuxi akan bekerja sama untuk membangun jaringan informan bagi Partai Pedang Keadilan. Pengelompokan bukan berarti kita tidak saling membantu dalam pelaksanaannya, hanya untuk memperjelas, pada situasi tertentu kata-kata siapa yang harus menjadi prioritas.", lanjut Chou Liang yang berusaha membesarkan hati Song Luo. Sambil menyeka keringat dingin yang tiba-tiba muncul Song Luo pun berkata.   "Wah, kalau begitu, sepertinya di kesempatan ini aku harus mengatakan bahwa aku tidak tahu harus memulai dari mana."   Chou Liang tertawa ramah dan menepuk bahu orang tua itu.   "Jangan kuatir, aku sendiri ingin ikut campur dalam menata bagian yang cukup penting ini. Jika paman tidak keberatan tentu aku akan membantu paman." "Hmph pekerjaan begitu besar, bukan hanya Paman Song, aku pun membutuhkan bantuan.", ujar Tang Xiong menggerutu. "Hah tugasmu jauh lebih ringan, karena kau bisa melakukannya atas nama partai, dengan kata lain, kau bisa mencari anggota dari mereka yang sudah termasuk anggota partai. Kalau untuk itu, cukup aku saja membantu dirimu", ujar Liu Chun Cao sambil menggoda Tang Xiong yang memonyongkan bibir mendengar gurauan Liu Chun Cao. "Baiklah, kalau begitu diputuskan saja, Chou Liang akan membantu Paman Song Luo sementara Pendeta Liu Chun Cao membantu Saudara Tang Xiong", ujar Ding Tao dengan senyum lebar. "Tentang rumah aman yang kita bicarakan tadi, menjadi bagian siapakah untuk membangun rumah aman tersebut?", tanya Qin Baiyu. "Rumah aman yang penting akan menjadi tugas mereka yang bergerak di luar partai untuk menyiapkannya. Karena keberadaan rumah-rumah ini harus terjaga rahasianya, bahkan dari mereka yang menjadi anggota Partai Pedang Keadilan. Namun dalam operasionalnya, ada pula rumah aman-rumah aman lain, yang keberadaannya diketahui secara lebih umum oleh seluruh anggota. Untuk rumah aman jenis ini, kita yang berada di dalam partai akan ikut menyiapkannya.", jawab Chou Liang diikuti anggukan kepala oleh Qin Baiyu dan Qin Hun. Dua orang ayah beranak itu sudah dapat membayangkan, bahwa pembangunan rumah aman itu tentu akan berkaitan pula dengan bagian mereka sebagai bendahara dan penjaga lumbung dari Partai Pedang Keadilan. Demikianlah hingga larut malam, mereka membahas rincian dari struktur partai yang baru dibentuk itu. Bagian selanjutnya yang mereka bahas adalah peraturan partai, anggota-anggota baru yang mereka pandang berpotensi untuk ditarik menjadi anggota inti dan banyak hal lainnya lagi. Ketika keesokan paginya Tetua Xun Siaoma dan Tetua Bai Chungho secara diam-diam menemui mereka untuk kedua kalinya, sebuah rancangan yang lebih jelas sudah ada pada Ding Tao. Disertai Chou Liang dan Liu Chun Cao yang bertindak sebagai penasihat Ding Tao dalam pertemuan tersebut, mereka membahas secara terperinci rencana penyerangan atas Tiong Fa dan organisasi bentukannya. Pembicaraan mereka berlangsung dengan singkat, masing-masing pihak tidak menghitung untung dan rugi, tapi satu kata dalam usaha untuk mencapai tujuan yang sama. Karena orang-orang Partai Hoasan dan Kaypang sudah siap beberapa hari sebelumnya, maka segera setelah rencana menjadi matang, pelaksanaannya pun berlangsung dengan cepat. Operasi penyerangan balasan atas kejadian serangan di kota Wuling ini, berlangsung tidak kalah hebatnya dengan kejadian di kota Wuling sendiri. Dalam waktu semalaman, markas tempat berkumpulnya anak buah Tiong Fa di bekas-bekas cabang usaha keluarga Huang, di empat kota berbeda, mendapatkan serangan secara serentak. Mereka memang tidak tahu, di cabang manakah Tiong Fa bersembunyi, tapi secara mendadak mereka menyerang ke empat tempat itu.Hingga tidak ada tempat lain bagi Tiong Fa untuk lari bersembunyi. Meskipun Tiong Fa sempat lolos dari serbuan, seperti yang terjadi di kota Jiang Ling, namun kali ini jaringan luas mata-mata miliki Kaypang ikut pula mengawasi seluruh penjuru kota. Pengikut-pengikut Tiong Fa bisa dikatakan, hampir-hampir tidak memiliki kesempatan untuk melawan. Seperti pada kejadian di kota Jiang Ling, mereka yang mengikuti Tiong Fa karena terpaksa tidak ikut turun tangan untuk membantu Tiong Fa. Bahkan sebagian besar dengan cepat menyatu bersama dengan penyerang yang menghajar orang-orang bayaran Tiong Fa. Berita kemenangan Ding Tao atas orang bertopeng yang menjadi sandaran Tiong Fa, sedikit banyak berpengaruh pada kekuasaan Tiong Fa atas diri mereka. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa bersama dengan Ding Tao adalah orang-orang dari Partai Hoasan dan Kaypang. Dari empat kelompok penyerang, masing-masing dipimpin oleh pentolan kelas atas, yaitu Tetua Xun Siaoma, Bai Chungho, Ding Tao sendiri dan Ma Songquan beserta isteri. Seluruh pengikut inti dari Partai Pedang Keadilan mengikut di bawah pimpinan Ding Tao. Pengikut-pengikut Partai Pedang Keadilan yang lain, sebagian besar berangkat di bawah pimpinan Ma Songquan. Sisanya terbagi secara merata, tergabung bersama kelompok di bawah pimpinan Bai Chungho dan Xun Siaoma. Sementara pengikut dari Hoasan dan Kaypang menyebar secara merata di empat kelompok tersebut. Ditambah sejumlah besar anggota terendah dari Kaypang, yang bekerja sebagai mata dan telinga mereka tanpa ikut terjun langsung dalam penyerbuan. Begitu cepat dan rapi kerja mereka, dalam waktu sehari semalam, seluruh usaha Tiong Fa dilibas habis tanpa sisa. Orangnya pun akhirnya tertangkap oleh Bai Chungho dan sekarang dalam keadaan tertutuk, menjadi pesakitan yang diinterogasi dan diadili di hadapan ketiga pemimpin dari gerakan tersebut. Xun Siaoma, Bai Chungho dan Ding Tao. Tapi Tiong Fa memang tidak malu mendapatkan nama yang disegani lawan di dunia persilatan. Di hadapan tiga orang tokoh itu dia masih bisa menjaga ketenangannya. Jika ketenangan Xun Siaoma bersandar pada pencapaiannya dalam menguasai perasaan, ketenangan Tiong Fa asalnya dari kemampuannya menguasai ekspresi wajah dan tubuhnya. Dalam hati tokoh satu ini merasakan kepahitan yang luar biasa, kebencian dan kemarahan, tapi juga sekaligus ketakutan dan kekuatiran akan nasibnya. Di luaran, sikapnya tidak berubah, masih sama seperti saat dia membujuk Ding Tao untuk menyerahkan Pedang Angin Berbisik. Sama tenangnya seperti saat dia berhadapan dengan Ketua Partai Kongtong, Zong Weixia. Padahal di dalam hatinya dia ketakutan setengah mati, karena di depannya ada Xun Siaoma dan Bai Chungho. Ding Tao tidak masuk hitungan dalam benaknya, karena setinggi apapun kedudukan Ding Tao dan setinggi apapun kepandaiannya, bagi Tiong Fa Ding Tao masihlah Ding Tao, tukang kebun keluarga Huang. "Anjing kecil, aku ingin bertanya dan aku menginginkan jawaban yang jujur keluar daari mulutmu. Seberapa banyak yang aku sudah ketahui dan seberapa banyak yang belum kuketahui, jangan harap kau bisa mengetahuinya. Karena itu jangan berpikir untuk berbohong. Jika sampai kau salah pilih waktu untuk berbohong dan aku mengetahuinya. Aku tidak akan berpikir dua kali untuk melenyapkanmu, karena keterangan dari orang yang berani membohongiku, sama sekali tidak ada harganya bagiku.", kata Bai Chungho dengan dingin. Jika wajah Xun Siaoma tidak berubah juga, baik saat bertemu pertama kali dengan Ding Tao dalam suasana perayaan, maupun sekarang saat duduk bersama sebagai pengadil dan penyidik atas Tiong Fa. Wajah Bai Chungho yang seperti musim semi saat berkunjung pada perayaan pendirian Partai Pedang Keadilan, sekarang berubah seperti musim dingin dengan badai salju yang menunggu di ujung cakrawala. "Tetua sekalian silahkan bertanya, tentu anjing kecil ini akan menjawab sejujur-jujurnya. Tapi jangan salahkan anjing kecil jika dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang Tetua ajukan, karena anjing kecil tentunya tidak mengetahui semua urusan anjing besar.", jawab Tiong Fa sambil menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya. Sepercik kemarahan terlontar dari pandang mata Ding Tao, setumpuk kemarahan dan kebencian menggelegak dalam hatinya, beruntung bagi Tiong Fa pemuda ini pandai mengendalikan diri. Jika tidak tentu sudah sejak beberapa hari yang lalu nyawanya melayang, saat orang-orang kepercayaan Bai Chungho menyeretnya sebagai tawanan, ke hadapan Ding Tao. Bai Chungho hanya mendengus dingin, sementara Xun Siaoma tanpa membayang perasaan memandangi setiap gerak gerik Tiong Fa. Bai Chungho pun memulai interogasi mereka.   "Anjing kecil, benarkah dirimu terlibat dalam penyerangan yang menewaskan hampir seluruh anggota keluarga Huang yang berada di Wuling?" "Benar Tetua Bai, tentang hal itu anjing kecil ini tidak menyangkal keterlibatannya." "Siapakah yang memerintahkan penyerangan itu? Siapa yang menjadi dalang di balik penyerangan itu? Dan apa tujuan sebenarnya dari serangan itu? Apakah semata-mata hanya untuk menguasai usaha dagang keluarga Huang?", tanya Bai Chungho lebih lanjut. "Siapa yang memerintahkan dan siapa yang menjadi dalang di balik penyerangan itu, sejujurnya anjing kecil ini tidak cukup penting untuk mengetahuinya. Demikian juga mengenai tujuan utama dari penyerangan itu, yang jelas pada malam itu Pedang Angin Berbisik direbut dari tangan keluarga Huang, demikian juga beberapa hari setelah serangan itu, dimulailah gerakan untuk menguasai cabang-cabang usaha keluarga Huang yang seperti anak ayam kehilangan induknya.", jawab Tiong Fa dengan lancar. "Hmmm kau bliang tidak tahu siapa yang memerintahkan, lalu keikut sertaanmu dalam penyerangan itu, siapa pula yang menarikmu untuk ikut di dalamnya?", tanya Bai Chungho pada Tiong Fa. Hingga saat ini, yang lain memilih diam, tampaknya Bai Chungho berperan sebagai interogator. Meskipun di ruangan itu ada Xun Siaoma dan Ding Tao, ada pula pengikut-pengikut Kaypang, Hoasan dan juga pengikut Ding Tao yang berotak cerdik seperti Chou Liang. Sampai saat ini mereka semua lebih memilih diam dan mendengarkan. Jika sebelumnya Tiong Fa menjawab dengan lancar dan tanpa ragu, kali ini dia tidak langsung menjawab. Jelas tampak keraguan membayang di wajahnya. Perhatian tiap orang yang ada di ruangan itupun jadi meningkat. "Hmmm kenapa diam? Cepat jawab!", gertak Bai Chungho yang melihat kesangsian Tiong Fa. Perlahan-lahan Tiong Fa pun membuka mulutnya.   "Zong Weixia"   Tiga patah kata dia ucapkan, sebuah nama dia beritahukan dan hampir segenap isi ruangan terkesiap menahan nafas.   Tentu saja ada beberapa orang yang menanggapi kejutan itu dengan dingin.   Salah satu di antara orang-orang tersebut adalah Xun Siaoma, kenapa harus kaget? Jika Ketua dari Hoasan bisa terjerat, mengapa harus kaget ketika mengetahui bahwa Ketua dari Prtai Kongtong pun ternyata ikut terlibat di dalamnya.   Apalagi Partai Kongtong saat ini dikenal dengan sifatnya yang lurus tidak, sesatpun tidak.   "Zong Weixia, apakah yang kau maksudkan adalah Zong Weixia Ketua dari Partai Kongtong?", tanya Bai Chungho menegaskan.   "Benar", setelah memberikan jawaban itu tampaknya Tiong Fa tidak setegang sebelumnya.   Sebelum memberikan jawaban pada Bai Chungho, berbagai pertimbangan sudah berseliweran di benak Tiong Fa.   Bagaimana jika ada orang Zong Weixia yang ikut pula memasang telinga pada pemeriksaan dirinya tersebut? Bukankah sama artinya dia sedang mencari kematian dengan menyebutkan nama tokoh berkepandaian tinggi itu di depan Xun Siaoma, Bai Chungho dan Ding Tao? Tapi jika dia membohong, maka ancaman Bai Chungho sebelumnya bukan pula ancaman kosong, siapa orangnya yang belum tahu akan kehebatan jaringan mata-mata milik Kaypang? Kekuatan Kaypang boleh saja menurun, namun jaringan mata-mata mereka tetap tanpa tandingan.   Ketika akhirnya Tiong Fa memutuskan untuk menjawab dengan jujur, hal itu dia lakukan karena pertimbangan yang sama.   Zong Weixia boleh jadi berkepandaian tinggi dan licin.   Namun tiga orang di hadapannya, atau setidaknya dua orang di hadapannya itu boleh dibilang tokoh yang kenyang makan asam garamnya dunia persilatan.   Selicin-licinnya Zong Weixia, tidak bakal dia berani bermain api dengan dua orang tetua tersebut.   Berita tertangkapnya dirinya, sudah tentu terdengar oleh Zong Weixia dan Zong Weixia hanya akan bisa menebak-nebak, apa yang terjadi dan apa saja yang diungkapkan oleh Tiong Fa.   Meskipun Tiong Fa menutup mulut, menahan siksaan, tidak nanti Zong Weixia dengan mudah melepaskan dirinya.   Karena itu Tiong Fa memutuskan, daripada memusingkan Zong Weixia, lebih baik dia memikirkan terlebih dahulu, bagaimana dia bisa lolos dari tiga orang lawan yang ada di depan mata.   "Dalam penyerangan itu, selain Zong Weixia ada beberapa tokoh lain yang kepandaiannya boleh dikata nomor satu dalam dunia persilatan.   Apakah kau tahu siapa saja mereka itu?", tanya Bai Chungho.   "Hehee selain Ketua Zong Weixia, yang lain selalu mengenakan topeng saat berurusan dengan anjing kecil ini.   Meskipun demikian ada satu tokoh lain yang anjing kecil ini berhasil tahu identitas sesungguhnya.", jawab Tiong Fa sambil menyunggingkan senyum mengejek.   Xun Siaoma menyahut dengan suara dingin.   "Apakah orang yang kaumaksudkan itu sudah mati?" "Kebetulan sekali memang demikian adanya.", jawab Tiong Fa dengan ringan sambil menatap Xun Siaoma. "Hmmm tidak usah kausebutkan namanya, kami tidak tertarik dengan orang yang sudah mati.", dengus Xun Siaoma dengan dingin, wajahnya yang tanpa ekspresi untuk beberapa waktu kehilangan ketenangannya. "Tiong Fa! Jaga mulutmu! Jika kau masih hidup sampai saat ini, itulah karena kemurahan kedua Tetua.", hardik Ding Tao dengan geram. "Ah Ketua Ding Tao yang terhornat, sungguh menakutkan ancamanmu. Baiklah anjing kecil akan berhati-hati dengan lidahnya.", ujar Tiong Fa sambil membungkuk dalam-dalam ke arah Ding Tao. "Keparat..!", geram Ding Tao sambil menahan kemarahannya. Bai Chungho pun sudah mulai hilang kesabaran, dengan suara yang lebih keras dia bertanya.   "Kau mengatakan bahwa malam itu Pedang Angin Berbisik jatuh ke tangan kalian. Sekarang aku ingin tanya, jika benar demikian, di mana sekarang pedang itu berada?"   Tiong Fa menggelengkan kepalanya dan menjawab.   "Lagi-lagi, tentang hal itu, anjing kecil ini tidak tahu apa-apa. Sepanjang yang kutahu tentu Ketua Zong Weixia atau empat orang tokoh lain yang bertopeng itulah yang memegangnya saat ini." "Apakah kau tidak memiliki sedikit petunjuk pun untuk mengurai masalah ini?", desak Bai Chungho. "Sayang sekali tidak, jika anjing kecil ini tahu, tentu akan diberitahukan sekarang juga, demi sedikit jasa untuk ditukarkan dengan nyawa. Namun yang anjing kecil ini tahu hanyalah Ketua Zong Weixia. Hanya dengan dia saja anjing kecil ini berhubungan dalam segala sesuatu yang ada hubungannya dengan organisasi yang mengatur kami semua.", jawab Tiong Fa. Bai Chungho terdiam sejenak, mempertimbangkan benar tidaknya, jawaban-jawaban Tiong Fa. Kemudian dengan perlahan dia berkata. "Kurasa anjing kecil ini berkata jujur, sesungguhnya dia ini hampir-hampir tidak ada harganya untuk dibicarakan. Jika mereka menggunakan jasanya, itu hanya karena dia merupakan orang dalam keluarga Huang. Seorang berhati khianat macam dia, tentu tidak akan dipercaya untuk urusan besar. Bagaimana menurutmu?", ujarnya kepada Xun Siaoma. Xun Siaoma menatap tajam pada Tiong Fa, meskipun di luaran Tiong Fa menyunggingkan senyum kecil, tapi jantungnya sudah berdebaran keras dan seluruh tubuhnya sebenarnya sudah terasa panas dingin. "Jika hendak menelusuri, maka kuncinya ada pada Zong Weixia. Anjing kecil ini sudah tidak berharga, mau dibunuh atau mau dibiarkan hidup, aku tidak ada urusan lagi dengannya." "Akupun berpendapat demikian. Ketua Ding, tentang nasib kepala anjing kecil ini, biarlah kau yang memutuskan", ujar Bai Chungho sambil berdiri meninggalkan kursinya. Xun Siaoma mengikuti jejak Bai Chungho, satu per satu pengikut Hoasan dan Kaypang meninggalkan ruangan itu. Hingga akhirnya tersisa Ding Tao dan para pengikutnya, yang sebagian besar tentu saja adalah bekas-bekas pengikut keluarga Huang. Dendam mereka sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Tiong Fa. Nasib Tiong Fa tidak sulit untuk diramalkan, namun mengapa dalam keadaan demikian pun dia masih bisa bersikap tenang? Sandaran apa yang dimiliki oleh Tiong Fa saat ini? Ding Tao tidak berkata apa-apa, menunggu tidak ada yang tersisa kecuali dirinya dan para pengikutnya, dia pun berdiri, mencabut pedang dari sarungnya dan menghampiri Tiong Fa. Tertegun, tidak menyangka Ding Tao akan mencabut nyawanya begitu saja, tanpa bertanya barang sedikitpu. Mulutnya pun dengan segera terbuka, karena jika Ding Tao mengayunkan pedang sebelum dia sempat berkata apa-apa, betapa sia-sia segala persiapan yang sudah dia buat untuk hari ini. Tapi sebelum sempat Tiong Fa berkata, Tang Xiong sudah maju terlebih dahulu untuk menahan Ding Tao yang sedang berjalan mendekati Tiong Fa.   "Ketua Ding, jangan kau kotorkan pedangmu dengan membunuh pengkhianat ini, biarkanlah aku yang akan memotong kepalanya."   Li Yan Mao, Qin Baiyu dan Qin Hun, serta beberapa orang bekas pengikut keluarga Huang lain yang kebetulan mengikuti proses pengadilan itu ikut menganggukkan kepala.   Pandang mata jijik dan geram dilontarkan ke arah Tiong Fa, tidak ada yang bersimpati padanya.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Padahal setahun yang lalu, mereka masih memandnag tokoh ini dengan segan dan hormat.   Tapi penghargaan mereka dihancurkan oleh Tiong Fa sendiri dalam semalam.   Ding Tao berhenti dan memandangi Tang Xiong, kemudian dengan suara yang tenang dia menjawab.   "Orang itu memang seorang pengkhianat yang rendah, kemarahanku padanya sama panasnya dengan kemarahan kalian, dendamku padanya sama dalamnya dengan dendam kalian. Tapi jika Kakak Tang Xiong berkata demikian, seakan pedangku lebih mulia dari pedangmu, tanganku lebih bersih dari tanganmu, aku tidak bisa menerimanya." "Aku tidak ingin menjadi pemimpin yang berdiri di kejauhan saat pekerjaan yang kotor harus dilakukan. Menjadi bersih atau berpura-pura bersih dengan berlindung di balik mereka yang dipimpinnya. Justru jika bisa, biarlah aku sendiri yang menanggung dosa dan kesalahan, hutang darah dan dendam. Sekarang silahkan Kakak Tang Xiong minggir, biar aku selesaikan kehidupan orang itu sampai di sini, sekarang juga.", ujar Ding Tao sambil dengan lembut mendorong Tang Xiong ke samping. Tang Xiong dan mereka yang mendengarkan ucapan Ding Tao jadi diam tercenung. Memikirkan kembali apa arti menjadi seorang pemimpin. Di saat yang sama Tiong Fa tidak sempat merenungkan perkataan Ding Tao, kalaupun dia mendengar perkataan Ding Tao yang terjadi hanya umpatan dalam hati. Bah anjing kecil itu pandai pula bersilat lidah! Tak kusangka lidahnya tidak kalah pandai menjilat pantat orang! Tapi hari ini tak kujual nyawaku untku jadi barang suap untuk orang-orangmu, geram Tiong Fa dalam hati. "Ding Tao Tunggu!", serunya membuat langkah Ding Tao terhenti untuk kedua kalinya. Ding Tao diam tidak berkata apa-apa, menunggu apa yang hendak dikatakan Tiong Fa. Saat dia melihat ada yang hendak membuka mulut, dengan tidak kentara dia menggeleng perlahan. Melihat Ding Tao tidak mengatakan apa-apa, Tiong Fa menelan ludah dengan perasaan gemas. Padahal dia berharap, orang di depannya bertanya dan dia bisa memainkan perasaan penasaran mereka. Meskipun tidak menguntungkan apa-apa, kecuali untuk sedikit menghibur egonya yang terluka. "Hmm apa kau tidak bertanya kenapa aku menuruhmu untuk menunggu?", jengeknya dengan senyum sinis. Namun tidak ada tanggapan apa-apa yang diberikan oleh Ding Tao, matanya saja yang menatap Tiong Fa dengan pandangan tajam yang seakan siap melumatnya menjadi debu halus. Tidak adanya tanggapan justru membuat Tiong Fa jadi berdebar ketakutan dalam hatinya. Semakin dia takut, semakin benci dia pada pemuda di hadapannya itu. Dalam benak Tiong Fa saat ini Ding Tao adalah sumber bencana dan kejatuhan dirinya. Ketika dia menyadari bahwa pemuda itu membuat dirinya takut, inilah penghinaan terbesar yang pernah dia rasakan, seorang tukang kebun bau kencur, telah berani menakut-nakuti dirinya. "Hmph, kuingatkan saja, jangan berani-berani menyentuhku, karena nanti kau akan menyesalinya", ujarnya dengan suara sedikit bergetar oleh rasa takut. Terbayang dalam benak Tiong Fa, bagaimana suaranya terdengar oleh mereka yang ada dalam ruangan itu. Kepalanya pun serasa ingin pecah oleh rasa malu dan kebencian yang tidak tertahankan. Inilah sulitnya jika manusia tidak mau mawas diri, selalu mencari obyek lain di luar dirinya untuk menjadi kambing hitam dari kesalahannya sendiri. Kegagalan dan kepahitan akhirnya tidak pernah jadi obat bagi jiwa mereka. Padahal sekiranya seorang manusia mau bijak dalam menghadapi segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, keduanya mampu membawa hikmah yang membuat hidup jadi lebih berarti dan pribadi pun jadi lebih mulia. Alis Ding Tao terangkat, seakan bertanya pada Tiong Fa, hanya itu sajakah yang hendak kau katakan? Kemudian dengan tenang dia kembali berjalan mendekati tokoh yang terkenal dengan kelicinannya itu. Menderas keringat dingin membasahi tubuh Tiong Fa, untuk pertama kali dalam hidupnya lidahnya terasa kelu, dan hampir- hampir saja dia tidak sempat berteriak untuk menyelamatkan selembar nyawanya. "Tahan! Tahan! Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu masih hidup! Dan hanya aku yang tahu tempat mereka disekap!", serunya dalam ketakutan yang sangat. Semangatnya terbang merasakan hawa pembunuh yang menguar keluar dari tubuh Ding Tao. Setelah sebelumnya tercekat oleh ketakutan yang sangat, barulah dengan mengumpulkan segenap semangat Tiong Fa mampu bersuara. Suaranya pun melengking tinggi dan penuh rasa ketakutan, dan celananya membayang basah oleh kotorannya sendiri, tidak ada lagi wibawa yang biasa dia tunjukkan. Peristiwa itu tentu akan mengundang tawa terbahak-bahak dari Ding Tao dan pengikutnya, karena begitu lucu dan tidak nyana bisa terjadi pada tokoh sekelas Tiong Fa. Tapi apa yang dikatakan Tiong Fa membuat kaget setiap mereka yang ada di sana. Perasaan Ding Tao pada Huang Ying Ying sudah menjadi rahasia umum bagi para pengikutnya. Bersama dengan pemuda itu, mereka ikut merasakan kedukaannya. Bersama dengan pemuda itu dan dibayangi oleh rasa kehilangan mereka sendiri, seluruh dendam dan benci sedang ditujukan pada Tiong Fa. Sehingga ketika Ding Tao terpaku di tempatnya, terkejut dan kehilangan daya pikirnya, oleh karena mendengar teriakan Tiong Fa, merekapun merasakan keterkejutan yang hampir sama melumpuhkannya. "Apa maksudmu?", tanya Ding Tao dengan terbata-bata. Keringat masih bercucuran di dahi Tiong Fa, jantungnya masih keras berdebaran, seringai muncul di wajahnya yang pucat, "Ha ha ha ha ha Maksudku, Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu, keduanya tidak ikut terbunuh pada malam itu. Ding Tao, kau boleh percaya atau tidak, keikut sertaanku dalam penyerangan itu adalah karena terpaksa."    Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Golok Sakti Karya Chin Yung Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini