Pedang Angin Berbisik 33
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 33
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Kami masih banyak urusan yang tidak bisa ditinggalkan di rumah. Maaf, terpaksa tawaran Ketua Ding Tao kami tolak." Ding Tao tentu saja bisa ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan dan menjawab "Ah, baiklah kalau begitu, aku pun tidak berani memaksa. Apakah segala sesuatunya untuk perjalanan pulang sudah disiapkan? Jika tidak sebisa mungkin kami akan membantu." Guang Yong Kwang menggelengkan kepala. "Tidak perlu, pulang-pergi, segala sesuatu tentu sudah kami siapkan. Sekali lagi maaf kalau kami harus menolaj maksud baik Ketua Ding Tao. Sudahlah, kami berpamitan sekarang." Sambil berkata demikian Guang Yong Kwang tidak menunggu jawaban dari Ding Tao, sekali lagi merangkapkan tangan di depan dada, kemudian berbalik pergi meninggalkan ruangan. Pengikutnya yang berjumlah belasan pun segera mengikuti tindakannya. Bersama-sama mereka merangkapkan tangan di depan dada dan berbalik mengikuti Guang Yong Kwang dalam sebuah barisan yang rapi. "Bo He cepat antarkan tamu", ujar Ding Tao buru-buru. Bo He pun berlarian menyusul rombongan dari Kun Lun. "Mari Ketua, kami antarkan keluar." Guang Yong Kwang hanya menganggukkan kepala tanpa mengurangi sedikitpun kecepatan dia melangkah. Hingga Bo He pun harus mengikuti kecepatan langkah Guang Yong Kwang yang berjalan dengan langkah panjang-panjang. Tidak berapa lama kemudian, rombongan dari Kunlun sudah jauh meninggalkan ruang pertemuan. Ding Tao yang mengawasi kepergian mereka dengan perasaan yang campur aduk, menghela nafas lalu berpaling ke arah mereka yang berada di belakangnya. Ma Songquan, Chu Linhe, Chou Liang dan para pengikutnya yang lain. Melihat wajah-wajah yang penuh semangat, kesedihannya melihat Guang Yong Kwang yang pergi dalam keadaan patah semangat, hilang seketika. Senyum pun terkembang di wajah Ding Tao dan sambil merangkapkan tangan di depan dada dia pun mengucapkan terima kasih pada mereka semua. "Terima kasih, berkat kerja keras kalian semua, partai kita terlepas dari keadaan nyang membahayakan. Bahkan akhirnya berbalik mendapatkan dukungan dari perguruan Kunlun yang kuat." Ucapan Ding Tao itu pun disambut dengan sorakan yang keras. Kegembiraan yang sejak tadi ditahan-tahan akhirnya meledak juga. Perasaan lega setelah lolos dari keadaan yang sulit, ditambah dengan kemenangan yang gemilang, perasaan setiap orang membuncah dengan kegembiraan. Selain itu, sikap Ding Tao tidaklah seperti kebanyakan ketua yang berpegang ketat pada tinggi-rendah kedudukan. Sikapnya pada bawahan sangat longgar, tidak meminta penghormatan yang berlebihan. Itu sebabnya sikap para pengikutnya terhadap dirinya tidaklah terlalu kaku dan diwarnai dengan aturan dan lebih longgar dibanding hubungan antara pengikut dan ketua di perguruan dan perkumpulan lain. "Ketua hebat sekali pertandingan terakhir tadi!" "Benar! Sekali-sekali perguruan-perguruan besar itu harus dibuka matanya, supaya mereka tidak sembarangan memandang rendah orang!" "Baru tahu rasa mereka sekarang! Berani-beraninya mau mempermainkan kita." "Hah!!! Untung saja Ketua masih bermurah hati pada mereka." "Hei kalian lihat lantai marmer yang melesak ke dalam itu?" "Kalian lihat bagaimana Ketua Kunlun sampai berpeluh dahinya memikirkan jurus serangan Ketua Ding Tao?" "Ya, padahal Ketua Ding Tao justru dengan mudah bisa memecahkan jurus-jurus yang dia keluarkan." Demikianlah mereka ramai saling bersahutan membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Ding Tao dan para pimpinan yang lain hanya bisa tertawa saja melihat kegembiraan mereka. Bagaimana pun juga mereka bisa ikut merasakan kegembiraan yang dirasakan. "Sebenarnya jika bukan karena Nyonya Murong Yun Hua, kejadiannya bisa berbeda.", salah seorang dari mereka berujar sambil mengingat-ingat urut-urutan peristiwa yang terjadi. "Benar, benar, kau benar. Tadinya kupikir aku akan mati hari ini, sudah terbayang-bayang wajah anak dan isteriku yang menangisi mayatku yang terbelah dua.", sahut yang lain. "Aku juga" "Ah, kalian ini semuanya penakut. Sudah memilih jalan pedang, masa masih memikirkan hidpu dan mati." "Hmm jangan mengecilkan jasa Nyonya Murong Yun Hua." "Eh, jangan salah, bukan begitu maksudku. Tapi harusnya yang kalian pikirkan adalah tanpa campur tangan Nyonya Murong Yun Hua, saat ini mungkin partai kita tinggallah nama saja. Sudah menjadi boneka dari perguruan Kunlun." "Ya kau benar juga." "Sungguh beruntung Ketua Ding Tao memiliki isteri yang demikian." "Kita juga ikut beruntung, bukan hanya ada Ketua Ding Tao yang nomor satu ilmu pedangnya. Di sampingnya juga ada Nyonya Murong Yun Hua yang ahli strategi." "Lalu masih ada juga Tuan Ma Songquan, Nyonya Chu Linhe, Tuan Chou Liang, Pendeta Liu Chuncao, Tuan Sun Liang", demikian salah seorang dari mereka menghitung satu per satu pimpinan Partai Pedang Keadilan. "Hahaha", Chou Liang tertawa. Ketika semua orang menoleh ke arahnya dia pun berucap. "Tidak perlu dihitung-hitung, yang pasti pahlawan penyelamat Partai Pedang Keadilan kita hari ini adalah Nyonya Murong Yun Hua." "Benar, tidak seorangpun dari kami dapat hadir untuk mencegah Partai Kunlun membuat kekacauan saat mereka baru saja datang. Jika bukan karena kecerdikan dan kebijakan Nyonya Murong Yun Hua, mungkin keadaan akan sangat buruk bagi kita semua.", ujar Ma Songquan memperkuat pernyataan Chou Liang. "Benar" "Benar..", setiap orang saling berpandangan dan bergumam. "Sudahlah, sudah cukup kita bersenang-senang. Sekarang jangan lupa dengan tugas-tugas kalian, kita baru saja melewati keadaan yang berbahaya tapi bukan berarti kita bisa melonggarkan kewaspadaan.", ujar Ma Songquan setelah keadaan mereda. "Lagipula, bukankah ada banyak yang harus kalian bicarakan? Bagaimana dengan jurus-jurus yang tadi dijelaskan Ketua Ding Tao pada kalian.", sambung Chu Linhe. Teringat dengan hal itu, para penjaga pun jadi bersemangat kembali. Dengan senyum penuh arti mereka saling berpandangan. "Nah, sudah paham? Baiklah kalian sekarang kembali ke posisi kalian masing-masing.", ujar Ma Songquan sambil tersenyum kecil. "Baik Tuan Ma!", ujar mereka beramai-ramai. Dalam waktu singkat ruang pertemuan itu pun telah kosong, hanya tinggal Ding Tao, Ma Songquan, Chu Linhe dan Chou Liang. Ruang yang tadi terasa penuh dan ramai, tiba-tiba jadi lenggang terisi hanya dengan 4 orang saja. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Ding Tao yang pertama memecahkan keheningan itu. "Kali ini hampir saja kita semua celaka." Chou Liang mengangguk. "Benar, jika bukan karena siasat Nyonya Murong Yun Hua, kukira Ketua Guang Yong Kwang dan orang-orangnya akan menyerbu masuk ke dalam. Korban akan banyak yang berjatuhan, meskipun bagaimana akhir dari pertarungan itu belum bisa dipastikan tapi sudah pasti siapa pun yang menang, kedua pihak akan sama-sama merugi." "Aku heran, apakah hal ini sama sekali tidak terpikir oleh Ketua Guang Yong Kwang?", ujar Ding Tao sambil mengerutkan alis. "Orang-orang dari perguruan ternama seringkali memiliki sifat seperti itu. Di luar perguruan mereka, apalagi sebuah partai yang baru terbentuk, sama sekali tidak mereka pandang sebelah mata.", jawab Ma Songquan. "Meskipun demikian", Ding Tao bergumam tapi tidak mampu menyelesaikan perkataannya. "Meskipun demikian, keputusan yang diambil Ketua Guang Yong Kwang sangatlah tidak bijak. Kalaupun dia berhasil menundukkan kita, bukankah namanya bisa tercemar? Apalagi jika dia kalah, pertaruhan yang dia lakukan, kemungkinan besar tidak akan memberikan hasil yang baik. Ketua Ding Tao yang merasakan beban yang sama sebagai seorang pimpinan, merasa keputusan itu sangatlah ganjil, bukankah benar demikian?", urai Chou Liang menjelaskan. "Benar Kakak Chou Liang benar sekali. Keputusan itu kurasa sangat ganjil, sehingga di belakang keputusan Ketua Guang Yong Kwang ini, kurasa masih ada latar belakang yang belum terungkap.", ucap Ding Tao sambil menganggukkan kepala dengan puas karena Chou Liang bisa menguraikan apa yang dia rasakan. Ma Songquan dan Chu Linhe ikut tercenung mendengar kecurigaan itu. "Apakah hal ini masih ada hubungannya dengan serangan atas Keluarga Huang di Wuling? Tidak banyak orang yang bisa menggerakkan ketua dari perguruan Kunlun. Jika benar ada orang di belakang Ketua Guang Yong Kwang, maka kurasa kemungkinan besar orang itu adalah orang yang sama, yang berhasil mempengaruhi Hoasan." Ujar Ma Songquan perlahan- lahan. Ding Tao dan Chou Liang saling berpandangan, dengan wajah serius Ding Tao menganggukkan kepala. "Kakak Ma Songquan benar jika melulu demi kepentingan Kunlun, apa yang dilakukannya kali ini terlalu beresiko. Namun jika hal itu dikarenakan oleh orang lain yang menyuruhnya, maka ada kemungkinan besar orang yang sama yang menggerakkan peristiwa di Wuling adalah orang yang menggerakkan Ketua Guang Yong Kwang." "Kalau begitu akan kusediakan orang-orang khusus untuk mengamati gerakan Ketua Guang Yong Kwang.", ujar Chou Liang dengan alis berkerut. "Hmm pertama Hoasan, sekarang Kunlun dan jika benar kata Tiong Fa, maka yang ketiga adalah Kongtong. 3 perguruan dari 6 perguruan terbesar", gumam Chou Liang berpikir. "Apakah menurut Saudara Chou Liang, 3 perguruan besar yang lain pun juga terlibat?", tanya Chu Linhe. "Entahlah sulit dikatakan, tapi kemungkinan itu tentu saja ada. Kebanyakan orang akan dengan serta merta mengatakan bahwa hal itu konyol. Tapi kenyataannya Hoasan terlibat, kemudian dari kesaksian Tiong Fa, Kongtong pun terlibat dan yang terakhir dari pergerakan Kunlun kecurigaan yang sama muncul.", jawab Chou Liang. "Dengan kekalahan Kunlun, mereka sekarang menjadi pendukung kita dalan pemilihan Wulin Mengzhu. Jika benar mereka bekerja untuk lawan, apakah hal ini tidak jadi membahayakan?", tanya Ding Tao. "Bisa jadi demikian mereka bisa jadi musuh dalam selimut.", jawab Chou Liang, "Apakah sebaiknya kita batalkan saja kesepakatan itu?", tanya Ding Tao khawatir. "Kurasa tidak perlu, mereka jadi musuh dalam selimut yang membahayakan kita, jika kita tidak mewaspadai mereka. Selama kita selalu waspada dan menyadari adanya kemungkinan itu, mereka tidaklah membahayakan.", jawab Ma Songquan. "Saudara Ma Songquan benar, lagipula kalaupun benar Ketua Guang Yong Kwang berada di bawah pengaruh tokoh misterius ini, bukan berarti seluruh Perguruan Kunlun berada di bawah pengaruhnya. Coba saja kita tilik kasus yang terjadi pada Hoasan, apa yang dilakukan Ketua Pan Jun ternyata tidak diketahui oleh para tetua di Hoasan.", sambung Chou Liang. "Saudara Chou Liang, bisa jadi demikian, tapi bagaimana kalau misalnya ternyata Tetua dari Hoasan pun berada di bawah pengaruh tokoh misterius itu dan persekutuannya dengan partai kita hanyalah cara untuk mendekati kita dan bersiap-siap untuk menusuk dari belakang bilamana diperlukan?", tanya Ma Songquan tiba-tiba. "Kakak Ma Songquan janganlah terlalu berprasangka buruk, kukira Tetua Xun Siaoma bisa dipercaya", cepat Ding Tao menjawab. Tapi Chou Liang menggelengkan kepala dan berkata. "Maafkan kami Ketua Ding Tao, tapi sebenarnya yang dikatakan oleh Saudara Ma Songquan itu bukannya tidak beralasan." "Kakak Chou Liang, jangan bilang kalau kau pun mencurigai Tetua Xun Siaoma. Bukankah kita sampai pada keadaan yang sekarang ini pun oleh bantuan mereka.", keluh Ding Tao. Chou Liang tertawa kecil. "Ketua Ding Tao, masalahnya begitu rumit, hingga siapa lawan dan siapa kawan tidak bisa ditentukan dengan jelas. Selama tokoh misterius dan orang-orangnya belum terungkap. Setiap orang harus diwaspadai." "Kalau Saudara Chou Liang sudah mengatakan demikian, aku pun bisa bernafas lega", ujar Ma Songquan sambil tertawa. Ding Tao menengok ke kiri dan ke kanan. Ketika melihat dua orang yang paling dia percayai, Ma Songquan dan Chou Liang rupanya sepikiran, dengan sedih dia pun menggelengkan kepala dan mengeluh. "Hahh apa jadinya jika terhadap teman pun kita masih harus saling mencurigai" "Hmmm kami pun berharap, satu saat nanti semua ini akan terbongkar. Kukira waktunya yang paling mungkin bagi orang- orang yang bersembunyi dalam gelap ini untuk muncul adalah saat pemilihan Wuling Mengzhu nanti. Jika ada orang-orang yang berpura-pura saja menjadi teman, hal itu akan terlihat pada saat pemilihan itu terjadi.", ujar Ma Songquan. "Benar, aku pun berpendapat demikian, kita semua tahu bahwa tokoh misterius itu kemungkinan besar adalah Ren Zuocan. Jika dia bergerak setelah Ketua Ding Tao berhasil merebut kedudukan Wulin Mengzhu, maka hal itu sudah sangat terlambat. Jalan terbaik baginya adalah menempatkan orangnya untuk memenangkan kedudukan Wulin Mengzhu dan jika itu tidak mungkin, maka jalan kedua adalah dengan menggunakan pemilihan Wulin Mengzhu untuk mengadu domba orang-orang kita.", sambung Chou Liang. "Dan dengan kecurigaan yang timbul di antara kita, hal itu tidak sulit untuk dilakukan.", keluh Ding Tao menyesali keadaan. "Hm hal itu tidak akan terjadi, setidaknya tidak di partai kita ini. Di sini semuanya sudah ada dengan lengkap. Ada Ketua Ding Tao yang mempercayai setiap orang, tapi ada pula Chou Liang yang mengawasi setiap orang.", ujar Ma Songquan sambil memutar bola matanya disambut tawa oleh ketiga orang yang lain. Demikianlah dengan segala kerumitannya, hari-hari menjelang pemilihan Wulin Mengzhu pun jadi semakin dekat. Apakah Ding Tao dan Partai Pedang Keadilan akan mampu muncul sebagai pemenang? Ataukah kedudukan itu akan direbut oleh kelompok lain? Kunjungan Guang Yong Kwang ke Jiang Ling mungkin adalah peristiwa paling menghebohkan yang terjadi sebelum diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu. Namun rentetan kejadian akibat dari tersebarnya berita itu tidaklah sedikit. Salah satu yang patut dicatat adalah kunjungan wakil ketua perguruan Emei ke Jiang Ling, salah satu yang bisa dikatakan istimewa adalah kunjungan Biksuni Huan Sin justru untuk bertemu Murong Yun Hua, bukan bertemu Ding Tao yang menjadi ketua. Nama Murong Yun Hua memang melambung tinggi sejak kejadian tersebut, bukan hanya jadi buah bibir di kalangan pengikut Partai Pedang Keadilan tapi juga sampai di kalangan luar. Perguruan Emei yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan termasuk salah satunya. Sedemikian harum nama Murong Yun Hua, hingga Biksuni Huan Sin menyempatkan diri untuk bertemu. Di lain pihak meskipun kekalahan Kunlun semakin mengokohkan kedudukan Partai Pedang Keadilan di antara partai-partai lurus di masa itu, gerombolan perampok dan tokoh-tokoh sesat pun dikabarkan menyatukan kekuatan untuk ikut bersaing dalam pemilihan Wulin Mengzhu. Para pimpinan Partai Pedang Keadilan pun tidak pernah berhenti bekerja untuk memperkokoh kedudukan mereka. Di 7 kota besar di bagian selatan daratan, nama Partai Pedang Keadilan menjadi sosok pemimpin di antara partai-partai lain dalam dunia persilatan. Tidak ada penjahat yang berani menampakkan batang hidungnya di mana Partai Pedang Keadilan membangun cabang. Nama-nama seperti Ma Songquan, Chu Linhe, Liu Chun Cao, Sun Liang, Tang Xiong dan Wang Xiaho menjadi momok yang menakutkan bagi kaum penjahat. Kelihaian mereka tidak terlepas dari semakin meningkatnya ilmu Ding Tao sendiri semenjak dia mempelajari koleksi kitab-kitab milik Murong Yun Hua. Meskipun Ding Tao tidak pernah ikut menampakkan diri, nama besarnya mampu menggetarkan hati setiap lawan. Di saat para pengikutnya bekerja keras di luaran, Ding Tao tidak kalah sibuknya dengan latihan-latihan pribadinya. Sedikit demi sedikit, ilmu-ilmu yang dia pelajari semakin melebur dalam dirinya. Setiap kali ada waktu, pengikut-pengikut utamanya akan menemani dia berlatih. Sejak kunjungan Guang Yong Kwang ke Jiang Ling, sekarang ini tentu selalu akan ada satu atau beberapa pengikut utama Ding Tao yang berjaga di Jiang Ling, demikian juga ilmu barisan yang dilatih oleh pengikut Partai Pedang Keadilan yang lain sudah semakin matang, sehingga Ding Tao bisa berlatih dengan tenang. Berkembangnya Partai Pedang Keadilan tentu saja memiliki bebannya sendiri, semakin hari semakin sulit bagi Chou Liang untuk mengamati dan menilai mereka-mereka yang bergabung dalam partai. Oleh sebab itu pada salah satu pertemuan antar pimpinan, Chou Liang menegaskan sekali lagi, bahwa segala urusan kelompok inti Partai Pedang Keadilan harus sangat dirahasiakan. Jumlah mereka pun sudah tidak akan ditambahkan lagi dalam waktu dekat ini, mengingat dengan semakin besarnya partai semakin sulit untuk menyeleksi pengikut-pengikut yang ada. Kebesaran Partai Pedang Keadilan tampil dalam seluruh kesemarakannya pada saat diadakan pesta sebagai tanda syukur atas kelahiran putera Ding Tao yang pertama. Dari 7 cabang hadir perwakilan-perwakilan bersama dengan para pimpinan partai-partai dari daerah-daerah yang berdekatan, yang mengakui kepemimpinan Partai Pedang Keadilan. Dari enam perguruan besar pun hadir untuk mengucapkan selamat, meskipun yang datang bukanlah pimpinan perguruan, namun kedudukan mereka yang dikirim pun tidaklah rendah. Tidak seperti perayaan didirikannya Partai Pedang Keadilan, tidak ada tamu yang datang dengan niat mencoba-coba. Yang mungkin tidak diketahui oleh seorangpun adalah hadirnya Dewa Obat Hua Ng Lau dengan anak angkat dan muridnya. Duduk bercampur di antara para pengunjung yang datang tanpa undangan, Hua Ng Lau, Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu tampil dengan sangat sederhana. Layaknya orang persilatan tidak ternama yang datang sekedar untuk melihat. Di antara mereka bertiga tentu saja yang paling menyolok adalah Hua Ying Ying yang cantik, untuk itu khusus Hua Ying Ying, Hua Ng Lau memberikan sedikit samaran. Hua Ng Lau memang tabib yang ahli, pengetahuannya tentang berbagai macam tumbuhan membuat dia pandai meramu berbagai jenis obat-obatan, termasuk ramuan yang sangat berguna bagi mereka yang ingin menyamar. Kulit Hua Ying Ying yang putih mulus, dengan cermat dibuatnya sedikit lebih gelap dengan beberapa noda yang membuat wajahnya tidak menarik meskipun tidak sampai menjijikkan sehingga menarik perhatian, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pakaian yang kebesaran dan terbuat dari bahan yang kasar, menyempurnakan dandanan Hua Ying Ying. Tidak terlalu berlebihan hindda menarik perhatian, di saat yang sama orang yang mengenal Hua Ying Ying pun tidak akan menoleh dua kali untuk melihat gadis itu. Seandainya ada yang mengenali gadis itu, mungkin orang itu adalah Ding Tao, namun sebagai tuan rumah Ding Tao lebih sibuk menerima dan bercakap-cakap dengan tamu-tamu undangan yang jumlahnya tidak sedikit. Tidak ada waktu baginya untuk menyapa tamu-tamu yang datang tanpa diundang. Jumlah tamu-tamu seperti itupun sangat banyak, mereka yang datang untuk melihat keramaian atau sekedar ingin menambah pengalaman dan melihat tokoh-tokoh yang mereka kenal namanya tanpa pernah melihat orangnya. Hua Ng Lau, Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu mengikuti perayaan tersebut di meja mereka dengan banyak berdiam diri. Tidak banyak kata yang mereka ucapkan, selain basa basi sewajarnya dengan tamu-tamu lain yang duduk semeja dengan mereka. Mereka datang hanya sekedar untuk memenuhi keinginan Hua Ying Ying untuk melihat Ding Tao terakhir kalinya, sebelum memutuskan seluruh pertalian dengan masa lalunya. Selesai perayaan, mereka pun ikut bersama dengan tamu- tamu yang lain membubarkan diri dan beristirahat di penginapan tempat mereka menginap beberapa hari sebelumnya. Kamar itu sudah mereka pesan selama seminggu penuh, Hua Ng Lau yang berpengalaman sudah bisa membayangkan bagaimana ramainya Kota Jiang Ling pada saat perayaan itu dan berangkat jauh-jauh hari. Sudah seperti itupun, mereka cukup kesulitan untuk mencari penginapan yang baik, sehingga akhirnya mereka bertiga harus cukup puas dengan satu kamar saja. Tapi hal itu tidak membuat mereka mengeluh, justru pengaturan seperti itu sesuai dengan keadaan mereka saat itu. Hua Ng Lau memandang Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu belum sepenuhnya siap untuk terjun dalam dunia persilatan. Hanya karena rengekan Hua Ying Ying saja maka akhirnya Hua Ng Lau mengalah dan mengajak mereka berdua ke Jiang Ling untuk menilik keadaan Ding Tao. Usai membersihkan diri ala kadarnya, mereka pun duduk berkumpul di kamar itu. Sementara Hua Ying Ying terlihat diam dalam lamunan, Huang Ren Fu tidak berani menegurnya dan Hua Ng Lau pun untuk beberapa lama membiarkan Hua Ying Ying berpikir. Baru setelah Hua Ng Lau melihat adanya perubahan pada roman muka Hua Ying Ying, orang tua itu membuka mulutnya. "Nah Anak Ying, kau sudah melihat bagaimana keadaan Ding Tao. Apakah hatimu sudah merasa lega?", tanya orang tua itu dengan sabar. Hua Ying Ying menengok ke arah Hua Ng Lau dan terdiam beberapa lama sebelum menjawab. "Kakak Ding Tao memang terlihat baik-baik saja, keluarganya harmonis dan kedudukannya pun menanjak dengan cepat, tapi entah mengapa, aku merasa bahwa dia tidak sepenuhnya bahagia." Huang Ren Fu yang sejak tadi terdiam pun bertanya. "Maksud Adik Ying tidak bahagia bagaimana? Bisa dikatakan hampir semua yang diinginkan seorang laki-laki telah dia dapatkan, bukan hanya cukup tapi bahkan berlimpah. Kekayaan, kekuasaan, ketenaran dan segala macam keinginan lainnya." Huang Ren Fu tidak sampai hati untuk berkata wanita, meskipun dalam benaknya hal itu termasuk dari deretan keinginan laki-laki pada umumnya yang telah didapatkan Ding Tao dengan kedudukannya saat ini. Hua Ng Lau pun memandang puteri angkatnya dengan rasa tertarik. Hua Ying Ying terdiam berusaha mengerti apa yang dia rasakan dan merangkaikannya dengan kata-kata. "Maksudku entahlah, mungkin hanya perasaan saja, tapi Kakak Ding Tao, rasanya dia bukan orang yang akan berbahagia berada di bawah sorotan banyak orang seperti yang kita lihat hari ini. Bisa kubayangkan seandainya dia boleh memilih, dia akan lebih bahagia mencangkul lahan dan menebar benih-benih, mencampur kotoran kuda dengan tanah untuk dijadikan pupuk atau mencabuti tanaman-tanaman liar hingga bersih." Huang Ren Fu menggelengkan kepala tak percaya. "Adik Ying Adik Ying, perasaanmu itu hanya timbul karena dalam hatimu hanya ada Ding Tao yang dulu yang masih menjadi seorang tukang kebun di rumah kita. Tidak mungkin dia lebih bahagia mencampur kotoran kuda daripada menjadi ketua dari sebuah partai yang besar." Hua Ying Ying hanya bisa tersenyum lemah sambil mengangkat pundak mendengar ucapan Huang Ren Fu. "Mungkin memang begitulah yang sesungguhnya Entahlah" Justru Hua Ng Lau yang membela puteri angkatnya itu, orang tua yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu berkata. "Memang pada umumnya kita berpikir demikian, namun sebenarnya bahagia atau tidaknya seseorang tidak bisa disama ratakan. Ada orang yang lebih berbahagia dengan kehidupan yang sederhana namun jauh dari konflik. Ada pula orang yang merasa bahagia dengan menaklukkan tantangan demi tantangan. Orang seperti apa Ding Tao itu, aku tentunya tidak mengenal dia sebaik kalian berdua. Jadi akupun tidak bisa mengatakan pendapatku mengenai hal ini." Huang Ren Fu mengerutkan alis dan bertanya. "Guru, sekalipun Ding Tao mungkin lebih memilih kehidupan yang damai, bukankah dia juga memiliki kewajiban untuk mengamalkan bakat dan kebisaaan yang dia miliki untuk kepentingan yang lebih besar? Jika seseorang memiliki kelebihan namun tidak mengamalkannya, bisakah dia hidup dengan bahagia? Tidakkah hidupnya akan dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan dan penyesalan?" Hua Ng Lau tersenyum mendengar pertanyaan Huang Ren Fu. "Jalan berpikir orang itu bermacam-macam, demikian pula apa yang mereka pikirkan tentang apa maksudnya mengamalkan kepandaian." Setelah berucap demikian Hua Ng Lau tidak langsung melanjutkan, dia terlebih dahulu menyeruput the hangat yang disajikan Hua Ying Ying untuk mereka bertiga. "Umurmu dan umur Ding Tao tidak berbeda jauh, dari cerita yang kudengar tentang dia, bisa kubayangkan pendiriannya mengenai kewajiban dan tanggung jawab, juga pengalamannya dalam hidup. Dalam hal ini kurasa engkau benar, sekalipun dia lebih berbahagia hidup dengan damai, jauh dari konflik, jika saat ini dia melakukan hal yang demikian, hati nuraninya tentu akan merasa bersalah karena merasa tidak berbuat apa-apa." "Ayah, apakah tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menolongnya?", ujar Hua Ying Ying tiba-tiba. Hua Ng Lau tidak segera menjawab, dia termenung memandangi gadis itu. Hua Ying Ying yang ingat bahwa dia sudah berjanji untuk melupakan masa lalunya setelah menilik keadaan Ding Tao untuk terakhir kalinya pun jadi terdiam dan menundukkan kepala. Huang Ren Fu-lah yang kemudian memecahkan kediaman itu. "Guruaku ingat apa yang dikatakan Adik Ying Ying sebelum guru setuju untuk datang ke Jiang Ling ini, tapi sebenarnya bukan hanya Adik Ying Ying, aku pun merasakan hal yang sama. Jika Ding Tao berada pada kedudukannya yang sekarang. Sebuah situasi yang sebenarnya tidak dia kehendaki, namun tetap dia terima karena rasa tanggung jawab dan kepeduliannya. Bagaimana dengan diriku? Tidakkah aku juga memiliki kewajiban? Apakah aku ini bukan seorang laki-laki seperti dirinya?" Hua Ng Lau pun mengalihkan pandangannya, dipandanginya wajah Huang Ren Fu yang bernyala-nyala dengan semangat seorang muda. Lama dia memandang dalam diam, kemudian dia pun menghela nafas dan memalingkan muka. Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying tidak berani mengatakan apa-apa, mereka ikut berdiam, menunggu Hua Ng Lau membuka suara. "Hahh. Mungkin umurku memang sudah mulai tua, sehingga semangatku pun mulai padam", ujar Hua Ng Lau sambil menghela nafas. "Ayah siapa bilang usia ayah sudah tua, kalaupun benar sudah tua, toh ayah tidak kalah dengan kami-kami yang masih muda. Coba saja ayah adu lari dengan Kakak Ren Fu, pasti ayah yang menang.", ujar Hua Ying Ying dengan manja sambil meraih tangan Hua Ng Lau yang sudah penuh keriput seperti kulit jeruk. "Heheheheh, kamu ini bisa saja", ujar Hua Ng Lau sambil terkekeh geli. Huang Ren Fu ikut tersenyum melihat gurunya tertawa, suasana yang tadinya sedikit muram jadi kembali ceria, meskipun semuanya diam. Hua Ng Lau termangu-mangu cukup lama sebelum akhirnya menengadahkan kepala. "Baiklah, kalian memang anak-anak yang bandel. Akan ku ikuti kemauan kalian, sebagai gantinya kalian harus benar-benar mendengarkan perkataanku.", ujarnya dengan bibir tersenyum namun serius. "Wah ayah memang benar-benar berjiwa muda, terima kasih ayah.", sorak Hua Ying Ying sambil merangkul Hua Ng Lau, gadis ini dengan cepat menjadi akrab dengan Hua Ng Lau. "Terima kasih guru", ujar Huang Ren Fu dengan singkat namun matanya yang berbinar-binar berbicara jauh lebih banyak tentang perasaannya. Sungguhpun mereka baru berkumpul dalam hitungan bulan saja, namun dalam waktu yang relatif singkat itu, sifat Hua Ng Lau yang kebapakan, terbuka dan penyabar, membuat Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu menjadi akrab dengan cepat. "Hahahaha, jangan terlalu cepat merasa senang, kalian toh belum mendengar bagaimana caranya kita membantu dia.", ujar Hua Ng Lau sambil tertawa. "Memangnya dengan cara seperti apa ayah ingin membantu Kakak Ding Tao?", tanya Hua Ying Ying dengan sedikit was was. "Pertama-tama aku tetap berpendapat bahwa sebaiknya Ding Tao tidak mengetahui tentang keberadaan kalian, apakah kalian setuju dengan hal ini?", ujar Hua Ng Lau. Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu berpandangan sejenak sebelum menganggukkan kepala. Bukankah hal itu sudah mereka putuskan sejak mereka pertama kali mendengar tentang keadaan Ding Tao dari Hua Ng Lau? Dengan berjalannya waktu hidup bersama Hua Ng Lau, sepasang kakak beradik itu pun makin bisa menghargai dan menikmati kehidupan Hua Ng Lau yang sederhana. Sehingga saat ini tidak setitikpun melintas dalam hati mereka, keinginan untuk mendapatkan kembali kehidupan mereka sebagai keluarga Huang yang kaya raya dan berkuasa. "Bagus hal yang kedua sangat berkaitan dengan hal yang pertama tadi. Karena kita tidak ingin Ding Tao mengetahui tentang keberadaan kita, maka cara kita membantunya pun harus dengan diam-diam. Perlu kalian sadari, saat ini kedudukan Ding Tao dalam dunia persilatan sangatlah kuat, tidak ubahnya kedudukan ketua dari enam perguruan besar. Sehingga sebenarnya kekuatan kita bertiga bisa-bisa dikatakan tidak ada hitungannya.", ujar Hua Ng lau menjelaskan. "Kalau begitu, bantuan seperti apa yang bisa kita berikan?", tanya Huang Ren Fu dengan bergumam. "Sebagai sebuah partai yang besar, kesulitan yang paling besar tentu saja dalam mengawasi pengikut-pengikut dan sekutu- sekutunya. Mereka tidak kekurangan tenaga, namun apakah ada pengkhianat di antara kumpulan mereka? Apakah ada yang menyalah gunakan nama partai mereka untuk kepentingan sendiri? Itulah yang sulit untuk diawasi, karena sedemikian besarnya jumlah pengikut dan sekutu mereka.", jawab Hua Ng Lau. "Hmm jadi menurut ayah, kita akan bekerja diam-diam, mengawasi dan mengamati orang-orang Partai Pedang Keadilan?", tanya Hua Ying Ying. "Ya, begitulah, kukira itu adalah cara yang paling baik untuk sedikit menyumbangkan tenaga buat Ding Tao tanpa perlu menunjukkan keberadaan kita.", jawab Hua Ng Lau. "Tapi seperti yang guru katakan, jumlah mereka begitu banyak, lalu siapa yang harus kita awasi terlebih dahulu? Atau di wilayah mana kita beroperasi?", tanya Huang Ren Fu sambil mengerutkan alis. "Heheheheh, tentang hal itu, kita harus sadar bahwa kita hanyalah manusia biasa bukan dewa yang bisa melihat segala sesuatunya secara bersamaan dari satu tempat. Baiklah kita memilih salah satu kota di mana Partai Pedang Keadilan memiliki cabangnya. Kemudian kita akan tinggal di sana sebagai salah satu penduduk dari kota itu, sambil hidup seperti biasa, kita buka mata dan telinga kita lebar-lebar.", ujar Hua Ng Lau dengan ringan. Hua Ying Ying pun ganti mengerutkan alis. "Ayah kenapa kedengarannya apa yang kita lakukan tidak ada bedanya dengan biasanya?" "Heheheheh, apakah kau memiliki saran yang lebih baik?", Hua Ng Lau ganti bertanya. Hua Ying Ying pun terdiam, tadinya dia membayangkan bisa melakukan sesuatu yang besar, namun penjelasan Hua Ng Lau mengenai kebesaran Ding Tao saat ini menyadarkan dirinya. Demikian juga Huang Ren Fu, meskipun usulan Hua Ng Lau tidaklah tepat benar di hatinya yang muda dan penuh semangat, namun diapun tidak menemukan usulan lain yang lebih bagus. "Janganlah hal ini membuat kalian kecil hati, sekarang yang penting, sekecil apa pun kita bisa ikut menyumbangkan tenaga dan pikiran demi kebaikan negeri ini. Asalkan kalian tekun berlatih, dalam hitungan tahun kalian pun akan memiliki tingkatan yang patut diperhitungkan dan bisa lebih banyak berbuat.", ujar Hua Ng Lau yang bisa melihat keraguan akan diri sendiri membayangi perasaan Huang Ren Fu. Huang Ren Fu menganggukkan kepala dengan tekad yang kuat. Saat ini dia tertinggal jauh dengan Ding Tao yang sudah terlebih dahulu melesat melebihi dirinya. Namun dia berjanji dalam hati, akan bekerja keras untuk menutup ketertinggalannya itu dan suatu saat dia pun bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi negerinya dan mengharumkan nama keluarganya. Hua Ying Ying sendiri tidak terlalu memikirkan masalah itu, dia lebih berpikir tentang hubungannya dengan Ding Tao. Memang benar dia sudah memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya yang lama sebagai Huang Ying Ying, namun melihat Ding Tao meskipun hanya dari kejauhan membuat dia kembali mempertanyakan keputusannya. Logika dan hatinya saling bertentangan, menurut akal sehatnya inilah jalan yang terbaik, tapi hatinya masih sulit untuk menerima. Diam-diam Hua Ng Lau memperhatikan sikap Hua Ying Ying dan berusaha meraba perasaan gadis itu. Mulutnya sempat terbuka hendak bertanya, namun setelah berpikir sejenak lamanya, dia memutuskan untuk membiarkan Hua Ying Ying merenungkan sendiri masalahnya. Dalam benaknya Hua Ng Lau sudah merencanakan banyak hal untuk kedua anak muda yang ada di hadapannya itu. Mereka berdua adalah generasi penerus yang akan meneruskan nama besar Hua dalam dunia persilatan. Sungguh ajaib memang, bagaimana sebuah tujuan bisa membuat seseorang lebih bersemangat dalam menjalani hidup. Hua Ng Lau bertiga akhirnya memutuskan untuk tidak menunggu sewa kamar mereka habis sebelum mereka pergi dari Jiang Ling. Ketiganya sudah tidak sabar untuk mengerjakan apa yang sudah mereka rencanakan. Malam itu juga mereka sudah menentukan kota tujuan mereka berikutnya dan pagi-pagi benar. Orang tua dan dua orang anak muda itu sudah mengosongkan kamar dan pergi meninggalkan Jiang Ling. Mereka bertiga pergi ke kota Gui Yang, cabang ke-7 dari Partai Pedang Keadilan baru saja didirikan di sana. Dengan pertimbangan bahwa di cabang yang baru dibentuk, tentu lebih banyak hal yang perlu diluruskan, dibandingkan dengan cabang yang sudah mapan, mereka bertiga pun memutuskan untuk membantu Ding Tao secara diam-diam, mengawasi perilaku pengikut Partai Pedan Keadilan yang ada di Gui Yang. Dua bulan lagi, pemilihan Wulin Mengzhu akan dilakukan. Waktu dua bulan memang terhitung singkat, Hua Ng Lau sendiri tidak yakin apakah yang mereka kerjakan akan meberikan pengaruh besar pada jalannya pemiihan. Tidak seperti Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu yang bersemangat untuk melakukan sesuatu, meskipun kecil, untuk membantu Ding Tao menyelesaikan tugas-tugasnya. Hua Ng Lau sebenarnya lebih berpikir demi kedua orang anak muda itu. Harapannya adalah di sisa umurnya dia bisa mewariskan sebanyak mungkin ilmu yang dia miliki pada dua orang anak muda itu. "Ren Fu, gerakan kakimu kurang mengalir, terlalu kaku, dengan demikian ada waktu yang terbuang saat dirimu berpindah dari satu kedudukan ke kedudukan yang lain. Ingat, dalam penggunaan jurus ini, kaki harus bergerak dengan cepat tanpa mengerahkan tenaga secara berlebihan.", seru Hua Ng Lau setelah Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying selesai mempraktekkan jurus-jurus dari ilmu yang sedang dia ajarkan. "Sedangkan kau Ying Ying, gerakan tubuh bagian atas, kurang serasi dengan gerakan tubuh bagian bawah. Akibatnya pada saat perpindahan dari satu kedudukan ke kedudukan yang lain, banyak lubang kelemahan yang terbuka dan dapat diserang lawan. Bagaimana, kalian mengerti?", tanya Hua Ng Lau setelah menjelaskan pada dua orang muridnya. Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying menjawab hampir bersamaan. "Kami mengerti ayah" "Kami mengerti guru" "Bagus, kalau begitu coba ulangi sekali lagi gerakan kalian. Kali ini cobalah melakukannya dengan lebih perlahan, sebisa mungkin lakukan dahulu gerakannya dengan benar, baru kemudian kita coba melakukannya lebih cepat." "Baik ayah" "Baik guru" Sekali lagi kedua orang anak muda itu bergerak, memperagakan ilmu yang sedang diajarkan Hua Ng Lau. Keduanya termasuk cerdas dan cepat sekali dalam menghafalkan jurus-jurus yang diajarkan. Demikian juga dengan teori yang melatar belakangi setiap gerakan, sehingga dalam waktu yang beberapa bulan mereka sudah mampu menghafalkan dengan lengkap ilmu langkah ajaib yang hendak diwariskan Hua Ng Lau. Tinggal bagaimana mereka berlatih agar tubuh mereka mengingat setiap gerakan dengan tepat, sehingga dalam pertarungan yang sengit pun secara otomatis mereka akan bergerak dengan sempurna. Sambil memperhatikan gerakan kedua orang muda itu, Hua Ng Lau sesekali memberikan petunjuk. "Jangan berlebihan dalam memperhatikan bagian tubuh tertentu. Perhatian kalian harus luas dan tidak terbatas. Ying Ying, tanganmu terlambat bergerak." Tidak berapa lam kemudian, ganti Huang Ren Fu yang mendapatkan teguran. "Ren Fu, gerakan kakimu sudah cukup mengalir, namun sekarang kau ketularan Ying Ying. Awasi gerakan tubuh bagian atas." Sebagai seorang guru Hua Ng Lau berlaku tegas dan keras, kedua orang anak muda itu digemblengnya tanpa ampun. Sepanjang perjalanan dari Jiang Ling ke Gui Yang, di setia ptempat yang memungkinkan dia akan memerintahkan keduanya untuk berlatih. Dengan sengaja Hua Ng Lau memilih jalan yang melewati hutan belukar, gunung dan sungai-sungai yang deras. Fisik kedua anak muda itu pun jadi terlatih oleh kondisi alam yang sulit. Otot-otot kaki mereka menjadi kokoh, keseimbangan mereka pun jadi semakin baik. Setelah sampai di Gui Yang pun, Hua Ng Lau tidak membuang-buang waktu, saat mereka belum mendapati tempat tinggal yang cocok, dia memilih untuk tinggal jauh di luar di perbatasan kota. Di tempat yang sepi itu dia lebih bebas untuk melatih kedua tanpa takut terlihat orang. Segera setelah dia mendapatkan tempat yang cocok untuk ditinggali dan juga berlatih, barulah mereka tinggal di dalam kota Gui Yang. Hua Ng Lau yang terlihat sederhana rupanya memiliki simpanan uang yang cukup banyak. Hal ini tidaklah aneh, kepandaiannya dalam mengobati orang tentu saja membuat dia mudah untuk mengumpulkan uang. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pada pasien yang miskin memang dia lebih suka memberikan pengobatan secara Cuma-Cuma, dengan imbalan seikhlas pasiennya. Namun terhadap orang yang kaya, Hua Ng Lau tidak sungkan-sungkan untuk membebankan biaya yang cukup mahal. Sementara Hua Ng Lau sendiri hidup secara sederhana. Dengan sendirinya setelah bertahun-tahun, uang simpanannya pun jadi lumayan besar. Kali ini demi menggunakan waktunya yang tersisa dengan sebaik-baiknya, Hua Ng Lau tidak segan-segan menghabiskan uang simpanannya untuk membeli sebuah rumah yang cukup besar. Rumahnya sendiri sederhana, namun ada pekarangan dan ruangan yang luas untuk dia menanam tanaman obat-obatan dan melatih Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying. Demikianlah di kota Gui Yang muncul satu toko obat yang baru. Selain menjual obat, Hua Ng Lau pun membuka pemeriksaan gratis. Demi menjaga kerahasiaan, Hua Ng Lau mengganti namanya jadi Lau Peng, Hua Ying Ying pun jadi bernama Lau Hoa dan Huang Ren Fu sekarang dikenal sebagai Lau Pai. Agar tidak terlalu mencolok, Hua Ng Lau sebisa mungkin menyembunyikan kepandaiannya baik dalam hal ilmu bela diri maupun dalam hal pengobatan. Tidak jarang dia harus menelan rasa bersalah dengan menolak pasien yang sakitnya sudah cukup berat. Meskipun dia bisa menyembuhkan pasien itu, namun Hua Ng Lau tahu, jika dia menyembuhkan pasien dengan penyakit seberat itu, namanya akan dikenal orang dengan cepat. Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Hua Ng Lau diam- diam menguji tabib-tabib yang ada di Gui Yang, terkadang dengan menyamar sebagai seorang pasien. Ada kalanya dia berpura-pura bertanya sebagai rekan seprofesi. Dengan cara itu, Hua Ng Lau pun tidak sekedar menolak pasien dengan penyakit yang berat, tapi dia juga bisa mengarahkan mereka untuk menemui tabib-tabib yang cukup pandai untk menyembuhkan penyakit mereka. Berbeda dengan Huang Ren Fu yang lebih sering mengurung diri di ruang latihan dan rajin berlatih ilmu bela diri, Hua Ying Ying yang juga mempelajari ilmu pengobatan lebih sering terlihat bersama Hua Ng Lau di tokonya. Penampilannya yang menarik, meskipun telah dipermak sedemikian rupa oleh Hua Ng Lau, membuat toko Hua Ng Lau cukup laris, terutama laris didatangi oleh anak-anak muda yang tertarik dengan Hua Ying Ying atau sekarang dikenal sebagai Lau Hoa. Hua Ng Lau tentu saja tahu bahwa hati Hua Ying Ying beum bisa melupakan Ding Tao sepenuhnya, oleh karena itu Hua Ng Lau pun memasang aksi sebagai seorang ayah yang galak. Terkadang saat mereka bertiga makan malam bersama, cerita lucu mengenai pemuda yang dibuat lari ketakutan oleh kegalakan Hua Ng Lau membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Hal-hal kecil seperti ini tanpa terasa membuat Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu terhibur, sehingga mereka melewati hari-hari di Gui Yang dengan gembira. Tanpa terasa hampi satu bulan mereka sudah tinggal di Gui Yang, di sela-sela pekerjaan dan latihan mereka, seperti yang sudah direncanakan, mereka pun memasang mata dan telinga, mengawasi gerak-gerik orang-orang Partai Pedang Keadilan yang ada di Gui Yang. Sebenarnya jika tidak diingatkan oleh murid dan anak angkatnya, mungkin Hua Ng Lau tidak akan terpikir untuk melakukan hal itu. Tapi hari-hari mereka berlalu tanpa ada kejadian penting. Nama besar Partai Pedang Keadilan rupanya memberikan pengaruh yang cukup besar di Gui Yang. Tidak ada tokoh persilatan yang berani mencari perkara di kota itu. Di lain pihak, mereka yang bernaung di bawah panji-panji Ding Tao pun tidak banyak berulah. Reputasi Chou Liang dan jaringan mata-matanya membuat mereka berpikir dua kali untuk mencatut nama Partai Pedang Keadilan demi keuntungan sendiri. Semuanya berjalan dengan baik dari hari ke hari, sampai satu hari di mana Hua Ng Lau, puteri angkat dan muridnya sedang berjalan-jalan melepaskan lelah di kota. Pagi hari itu Hua Ng Lau bangun dengan perasaan yang ceria. Selesai membersihkan diri, seperti biasa dia duduk di teras, menghadap ke pekarangan yang besar dan mulai dipenuhi tanaman obat-obatan. Sambil menyeruput teh hangat, tabib tua itu menikmati segarnya udara pagi. "Hmmm langit begitu cerah, udara juga terasa lebih segar daripada hari-hari biasanya. Rasanya sayang kalau harus menghabiskan waktu di toko yang pengap dan bau obat.", gumam Hua Ng Lau sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang sudah reyot, yang berkeriyut-keriyut setiap kali Hua Ng Lau mengubah posisi tubuhnya. Semakin dipikir, semakin Hua Ng Lau ingin berjalan-jalan menikmati hari dan beristirahat sejenak dari kesibukan yang rutin mereka lakukan setiap harinya. "Kalau diingat-ingat, sejak tinggal di Gui Yang, kami belum pernah berjalan-jalan di kota. Huang Ren Fu menghabiskan waktunya untuk berlatih sedangkan Ying Ying jika tidak berlatih atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tentu akan membantu di toko.", gumam tabib tua itu, mengingat-ingat kegiatan mereka sehari-hari. Memikirkan hal itu, diapun melompat bangun dan bergegas menuju ke dapur, di waktu pagi seperti ini Hua Ying Ying tentu sedang memasak di sana. "Ying Ying Ying Ying apakah kau ada di dapur?", seru tabib tua itu saat dia sudah hampir sampai di sana. Tergopoh-gopoh, Hua Ying Ying pun berlari keluar. "Ya ayah aku ada di sini. Ada apa?" Hua Ng Lau tidak menghentikan langkahnya. "Hahaha, rajin benar anak ayah yang satu ini. Apakah kau tahu di mana kakakmu berada?" Sembari bertanya Hua Ng Lau terus berjalan menuju ke dapur diikuti oleh Hua Ying Ying yang masih belum mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh ayah angkatnya itu. Kebetulan Huang Ren Fu juga sedang berada di dalam dapur, membantu adiknya meniup kayu bakar agar cepat menyala. Mendengar suara gurunya, pemuda ini pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Saat Hua Ng Lau sudah di depan pintu, Huang Ren Fu pun sudah siap untuk keluar menyambut, "Hoo, rupanya kau di sini juga. Bagus, jadi laki-laki memang harus ringan tangan dan tidak segan-segan membantu di mana pun itu dilakukan.", ujar Hua Ng Lau dengan senyum lebar. "Ah, selamat pagi guru, ada apakah gerangan? Tidak biasanya pagi-pagi begini guru mencari-cari kami.", jawab Huang Ren Fu sambil tidak lupa memberikan hormat pada gurunya. Sikap Huang Ren Fu terhadap Hua Ng Lau memang lebih formal dibandingkan Hua Ying Ying, jangankan Hua Ng Lau yang penyabar, terhadap ayah kandungnya sendiri Tuan besar Huang Jin yang cenderung keras terhadap anak-anaknya pun, dia satu-satunya yang bisa bersikap manja tanpa mendapat teguran. "Hehehe, hari ini kalian jangan bekerja, Ying Ying tidak perlu memasak, Ren Fu tidak perlu berlatih. Cepatlah mandi dan merapikan diri, kita akan berjalan-jalan di kota. Melihat-lihat pasar dan keramaian. Aku akan membelikan dua setel baju baru. Kemudian kalau lapar kita mampir ke rumah makan." , ujar Hua Ng Lau dengan penuh semangat. "Wah ada apa dengan ayah? Mengapa tiba-tiba jadi suka pelesiran begini?", ujar Hua Ying Ying tidak bisa menyembunyikan keheranannya, meskipun dia ikut bersemangat dan merasa senang dengan ajakan Hua Ng Lau. "Hahaha, tidak ada apa-apa, hanya saja saat bangun tadi pagi perasaanku terasa sangat baik dan aku teringat, semenjak kita tinggal di Gui Yang belum pernah sekalipun kita berjalan bersama-sama, sekedar mencari kesenangan tanpa banyak memikirkan pekerjaan.", jawab Hua Ng Lau. "Ehmm guru, apakah guru tidak keberatan jika aku tinggal saja di rumah?", tanya Huang Ren Fu hati-hati. "Tinggal di rumah? Kenapa?", tanya Hua Ng Lau. "Aku masih ingin melatih kembali ilmu yang baru guru ajarkan. Ada beberapa bagian dari teori yang guru ajarkan, yang masih belum bisa kupahami dengan sempurna.", jawab Huang Ren Fu. "Hmm tidak bisa, tidak bisa. Kalian berdua harus ikut. Dengar Ren Fu, bukan tanpa alasan aku mengajak kalian berdua untuk bertamasya. Kalian perlu ingat, baik tubuh maupun pikiran, keduanya memiliki batas-batas kekuatan. Jika terus menerus dipaksa bekerja, hasilnya justru akan menjadi buruk. Seperti kapak yang sudah tumpul dipakai untuk menebang kayu. Hari ini mari kita mengistirahatkan pikiran dan tubuh kita dari rutinitas sehari-hari.", kata Hua Ng Lau menjelaskan. "Hmm baiklah guru, aku mengerti.", jawab Huang Ren Fu. "Nah kalau begitu, pergilah kalian bersiap-siap.", ujar Hua Ng Lau untuk kemudian meninggalkan dapur dan kembali menikmati teh hangatnya. Akhirnya mereka bertiga pun berkeliling di kota Gui Yang dengan santai. Puas melihat-lihat berbagai keramaian, Hua Ying Ying seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Beda dengan Hua Ying Ying, Huang Ren Fu hanya tertawa geli mengamati tingkah laku adiknya, tanpa benar-benar menikmati perjalanan mereka. "Hee sepertinya kau tidak terlalu senang.", tanya Hua Ng Lau. "Tidak juga guru, aku cukup menikmati, sesekali melihat keramaian di luar setelah begitu lama mengurung diri dalam ruang yang tertutup rasanya cukup menyenangkan juga.", jawab Huang Ren Fu sambil tersenyum. "Ah syukurlah kalau begitu", ujar Hua Ng Lau. "Cuma memang aku lebih suka bertamasya di alam bebas dengan pemandangan yang indah, daripada berjalan-jalan di tengah kota.", ujar Huang Ren Fu. "Kalau begitu lain kali, kita sempatkan waktu u ntuk melihat-lihat Danau Baihua, bagaimana?" "Boleh juga guru", jawab Huang Ren Fu. Begitulah guru dan murid itu bercakap-cakap sendiri, sementara Hua Ying Ying melihat-lihat barang dagangan yang dijual di sebuah toko kain yang terbesar di kota Gui Yang. Huang Ren Fu hanya tertawa lebar saat akhirnya Hua Ying Ying keluar dengan membawa beberapa gulung kain. "Hei jangan hanya tertawa-tawa, bantu aku membawa barang-barang ini.", seru Hua Ying Ying yang kesulitan membawa semua barang yang dia beli. Selesai menemani Hua Ying Ying memuaskan dirinya, mereka bertiga pun pergi ke salah satu rumah makan yang cukup terkenal di kota itu. Hua Ng Lau dengan royal memesan berbagai macam masakan yang mahal. Sambil menunggu pesanan mereka datang, ketiga orang itu pun bercakap-cakap ringan di antara mereka sendiri. Di saat mereka bersenda gurau, tiba-tiba wajah Hua Ng Lau berubah. Perubahan itu sendiri tidak terlalu kentara, namun Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu yang sudah mulai mengenal tokoh tua ini dengan dekat melihatnya. "Ayah, ada apa?", tanya Hua Ying Ying dengan suara perlahan. "Hmmm ini sedikit aneh, jika tidak salah yang barusan masuk dan duduk di sana itu adalah salah seorang pendekar Kunlun dan di sebelahnya bukankah dia salah seorang pimpinan Partai Pedang Keadilan di Kota Gui Yang ini.", jawab Hua Ng Lau dengan suara setengah berbisik. "Dari mana guru bisa tahu bahwa orang yang datang itu adalah murid Kunlun?", tanya Huang Ren Fu ingin tahu. "Kalian perhatikan gagang pedang yang dia bawa, lihat bentuk dan simbol yang ditatahkan di ujungnya. Itulah pedang milik perguruan Kunlun, yang membawanya kemungkinan besar adalah anak murid perguruan Kunlun.", jawab Hua Ng Lau. Huang Ren Fu menganggukkan kepala tanda mengerti, selintas dia mencoba memperhatikan gagang pedang orang yang baru datang diam-diam. Setelah beberapa kali mencuri pandang, dapatlah dia melihat ciri-ciri yang membedakan gagang pedang milik murid Kunlun dengan gagang pedang pada umumnya. Pada umumnya perguruan-perguruan yang cukup besar dengan jumlah murid yang sudah lewat lebih dari dua generasi dengan perguruan yang lebih dari satu cabang, memang membuat tanda-tanda semacam ini. Tanda-tanda ini dibuat dengan maksud untuk memudahkan mereka saling mengenal saat berkelana dalam dunia persilatan. Tentu saja ada kemungkinan orang luar dengan sengaja meniru-niru tanda tersebut. Itu pula sebabnya dalam setiap perguruan selalu ada orang-orang yang khusus ditugaskan untuk menjadi penegak peraturan. Selain untuk mengamati murid-murid sendiri agar tidak berbuat onar di luar, mereka juga bertugas untuk memastikan tidak ada orang yang memalsukan tanda perguruan mereka dan merusak nama perguruan. Mereka ini keras bertindak pada murid perguruan yang berbuat onar, tapi lebih keras lagi pada orang luar yang berani memalsukan tanda perguruan mereka. Kalaupun orang itu dibiarkan hidup, tentu sudah dalam keadaan cacat dan jadi orang yang tidak berguna. Satu-satunya kegunaannya adalah untuk memberi tahukan pada orang lain, betapa mengerikannya hukuman buat orang yang memalsukan ciri perguruan itu. "Apa yang aneh dengan pertemuan mereka itu? Bukankah sejak beberapa bulan yang lalu, Kunlun sudah menjadi sekutu Partai Pedang Keadilan?", tanya Huang Ren Fu. "Memang begitu yang terjadi, namun bukankah dari kabar yang beredar, hal itu terjadi karena mereka terpaksa, terikat oleh satu kesepakatan yang merugikan mereka. Tapi sekarang kita lihat seorang pendekar Kunlun bercakap-cakap akrab dengan seorang dari Partai Pedang Keadilan.", jawab Hua Ng Lau. "Memang agak mencurigakan apakah menurut guru ada kemungkinan orang-orang Kunlun berusaha membuat rusuh Partai Pedang Keadilan dari dalam, dengan menarik orang-orang penting di dalamnya ke pihak mereka?", tanya Huang Ren Fu. "Hmm apakah tidak mungkin , mereka ini kebetulan saja bersahabat? Atau mungkin Kunlun benar-benar berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan Partai Pedang Keadilan?", Hua Ying Ying menyela. "Bisa jadi hal itu terjadi, tapi bayangkan sebuah perguruan ternama dengan sejarah ratusan tahun seperti Kunlun harus mengakui kekalahan di tangan sebuah partai yang baru muncul. Mengenal sifat-sifat orang di dunia persilatan yang mengagungkan nama baik, apakah menurutmu mereka akan menerima hal itu begitu saja?", tanya Huang Ren Fu pada adiknya. "Hmmm.kalau begitu apa yang akan kita lakukan?", tanya Hua Ying Ying. "Sebaiknya kita amati saja dulu mereka, sebisa mungkin aku akan berusaha mendengarkan isi pembicaraan mereka. Kalian berdua bersikaplah yang wajar agar tidak menarik perhatian.", bisik Hua Ng Lau. Menguping pembicaraan orang memerlukan ketrampilan tersendiri, apalagi di tempat keramaian. Yang jadi masalah bukanlah suara orang yang terlalu pelan, tapi bagaimana memisahkan satu suara dengan suara yang lain. Hua Ng Lau yang sejak muda berkelana sendirian terbilang ahli dalam bidang menguping pembicaraan orang. Bukan hanya membedakan suara, dia juga bisa membaca gerak bibir. Ketika suara tidak terdengar, maka mata yang menjadi telinga. Dengan dua keahlian itu, maka Hua Ng Lau pun mampu mengikuti pembicaraan kedua orang yang ada di hadapannya, meskipun hanya sepotong-sepotong saja. "kenapa terlambat? persediaan di rumahku sudah hampir habis" "ada kesulitan kurasa dia anak buah Chou Liang" " sudah curiga" "Tidak masih aman berhasil kukecoh" "perlu tambahan" " ada rekan lain ... tapi akhirnya berhasil kubujuk juga " " bagus, ketua pasti akan senang mendengarnya " Mereka masih bercakap-cakap untuk beberapa lama, namun dari potongan yang dia dengar sampai saat ini Hua Ng Lau sudah bisa mendapatkan gambaran dari keadaan yang terjadi di Gui Yang. Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying yang bercakap- cakap dengan riang, sebenarnya juga ikut berusaha mendengarkan. Kesulitan mendengarkan, mereka hanya bisa mengamati raut wajah Hua Ng Lau. Melihat wajah Hua Ng Lau yang makin lama makin tegang, dengan sendirinya mereka pun ikut merasa tegang. "Sebaiknya kita keluar sekarang", ujar Hua Ng Lau mengambil keputusan. Tanpa menunggu jawaban dari anak angkat dan muridnya, dia menggamit seorang pelayan yang kebetulan melewati meja mereka. "Pelayan, tolong bungkus sisa makanan yang belum habis." Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sambil menyisipkan uang tips buat pelayan tersebut Hua Ng Lau menambahkan. "Cepat ya, aku sedang ada urusan penting." Uang memang jadi raja buat sebagian besar manusia, kebetulan pelayan tersebut termasuk salah satu di antaranya, bergegas dia membungkuk-bungkuk hormat dan menjawab. "Baik tuan, baik, tunggu di sini sebentar." Sambil menunggui pelayan itu membereskan meja dan membungkus makanan mereka, setiap kali ada kesempatan, Hua Ng Lau serba sedikit memberi tahukan apa yang sudah dia dengar pada Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying. Tidak lama mereka menunggu, semua makanan yang belum habis sudah selesai dibungkus rapi. Hua Ng Lau bertiga pun meninggalkan rumah makan itu, setelah berada di luar barulah Huang Ren Fu berani bertanya. "Guru, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?", tanya pemuda itu. "Pertama, kita pastikan dulu bahwa benar yang datang itu adalah anak murid perguruan Kunlun. Untuk itu aku butuh kau untuk mencari perkara dan bergebrak beberapa jurus dengannya. Tapi ingat, kau berkelahi untuk mengingat-ingat jurus yang dia pakai, bukan untuk mencari kemenangan. Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo