Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 43


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 43


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Melihat kedudukan dirinya dan kedudukan Thai Wang Gui, menilik postur tubuh Thai Wang Gui saat ini, Ding Tao tidak melihat ada jalan untuk melepaskan diri dari telapak tangan Thai Wang Gui yang menempel di dadanya.   Mata mereka saling bertemu dan seringai kejam di wajah Thai Wang Gui semakin lebar.   Meskipun Thai Wang Gui belum melakukan apa pun, mereka berdua sudah sama-sama tahu apa yang akan terjadi berikutnya.   "Ketua Ding Tao aku persembahkan padamu Xi Xing Da Fa", ucap Thai Wang Gui perlahan-lahan, menikmati saat-saat kemenangannya.   Bukan hanya jantung Ding Tao yang berhenti berdenyut, puluhan bahkan ratusan denyut jantung mereka yang menyaksikan ikut serasa berhenti berdenyut ketika Shao Wang Gui sampai pada hitungan satu.   Tangan Hua Ying Ying tanpa sadar mencengkeram tangan kakaknya erat-erat, sampai Huang Ren Fu mengerenyit menahan sakit.   Lupa akan kedudukannya Hua Ying Ying tiba-tiba maju ke depan, mendekati para tetua yang menyaksikan pertarungan itu dengan tegang.   "Tetua Ayah cepat tolonglah Ding Tao mengapa kalian tidak melakukan sesuatu? Nyawanya dalam bahaya.", seru Hua Ying Ying sambil menatap tidak mengerti ke arah mereka.   "Ying Ying pertarungan belum berakhir", jawab Hua Ng Lau dengan sedih.   "Apa maksud ayah? Bukankah sudah jelas Ding Tao yang kalah?", tanya Hua Ying Ying tidak mengerti.   Hua Ng Lau menghela nafas dengan sedih, mulutnya terbuka hendak menjelaskan namun tak sampai ada keluar kata-kata.   Hua Ng Lau hanya menggelengkan kepala dengan sedih.   Xun Siaoma-lah yang akhirnya menjelaskan.   "Memang keadaan saat ini, tidak ubahnya seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus yang sudah ditangkap.   Tapi selama Thai Wang Gui belum memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan, meskipun tipis harapan bagi Ding Tao, bukan berarti harapan itu hilang.", ujar Xun Siaoma menjelaskan.   "Nona tenanglah, percayalah, kami pun tidak ingin melihat Ding Tao celaka.   Begitu Thai Wang Gui menggunakan Xi Xing Da Fa untuk mengakhiri pertarungan dan kesempatan untuk menang itu sepenuhnya tertutup, aku danBhiksu Khongzhen akan maju ke depan untuk menyelamatkan Ketua Ding Tao.", ujar Pendeta Chongxan dengan prihatin.   "Kenapa harus menunggu selama itu? Apakah jabatan Wulin Mengzhu itu begitu besar artinya? Apakah demi jabatan itu kalian hendak mengorbankan Ding Tao?", ujar Hua Ying Ying sambil terisak menahan tangis.   "Ying Ying! Kendalikan dirimu.   Ingat dengan siapa kau bicara?", tegur Hua Ng Lau dengan keras.   "Tidak apa kami mengerti perasaan Nona Hua Ying Ying", ujar Bhiksu Khongzhen sambil menepuk-nepuk pundak Hua Ying Ying untuk menenangkannya.   "Lihatlah nona, lihatlah sorot mata Ketua Ding Tao", ujar Bhiksu Khongzhen pada Hua Ying Ying.   Dalam keadaan putus asa, Hua Ying Ying mengikuti perkataan Bhiksu Khongzhen, sambil menghapus air mata yang merebak, dia berusaha memandang ke arah Ding Tao yang berada di atas panggung.   "Lihatlah, sorot matanya masih menunjukkan keinginan untuk berjuang.   Itu bukan sorot mata kekalahan.   Jangan berpikir bahwa kesempatan itu hilang, selama seseorang masih mau berusaha, kesempatan tidak akan hilang.   Jangan kita khianati keberaniannya dengan memutuskan sedikit harapan yang ada dengan tindakan kita.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan sabar.   Hua Ying Ying memandang ke arah Hua Ng Lau, dengan senyum sedih Hua Ng Lau menganggukkan kepala dan membelai kepala puteri angkatnya itu.   "Bhiksu Khongzhen benar, kita tidak bisa mengkhinati semangat Ding Tao dengan tindakan kita yang terburu-buru. Percayalah, kami semua tidak akan tinggal diam dan menyaksikan Ding Tao celaka tanpa berbuat apa-apa."   Masih terisak, akhirnya Hua Ying Ying pun menganggukkan kepala.   Huang Ren Fu dengan tertatih-tatih mendekati adiknya, kemudian sambil berpegangan tangan mereka berdua menyaksikan pertarungan yang tengah terjadi di atas panggung.   Saat itu Thai Wang Gui yang berada di atas angin berusaha menikmati kemenangannya.   "Anak muda bagaimana? Apakah kau mau menyerah sekarang? Jika kau mau berlutut dan menyembahku sebanyak 3 kali aku akan mengampuni selembar nyawamu.", ujar Thai Wang Gui dengan senang.   Ding Tao tidak menjawab, pikirannya masih berputar dan mencari jalan.   Sungguhpun dia tidak melihat ada jalan baginya untuk lepas dari tangan Thai Wang Gui yang melekat di dadanya.   Tiba-tiba Ding Tao bergerak berputar, berusaha melepaskan telapak tangan Thai Wang Gui dari dadanya.   Namun Thai Wang Gui dengan cepat berlari berputar mengikuti putaran Ding Tao.   Sebenarnya putaran Ding Tao lebih kecil, sementara Thai Wang Gui harus bergerak mengitari Ding Tao.   Seharusnya cepat atau lambat Thai Wang Gui akan ketinggalan dan Ding Tao bisa melepaskan diri dari ancaman Xi Xing Da Fa.   Kenyataannya sudah beberapa kali mereka berputar, Thai Wang Gui masih bisa mengimbangi kecepatan Ding Tao.   Pertama memang ilmu meringankan diri Thai Wang Gui lebih tinggi dari Ding Tao.   Kedua, telapak tangan Thai Wang Gui yang menekan dada Ding Tao, dia gunakan juga sebagai rem untuk menahan gerakan Ding Tao.   Gagal melepaskan diri dengan putaran badan, Ding Tao berusaha menyerang tangan Thai Wang Gui yang menempel di dadanya.   Namun dengan pedangnya Thai Wang Gui mencegah Ding Tao untuk menarik pedangnya mendekat ke dada.   Ding Tao pun mencoba bergerak mundur, pemuda itu menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai, melemparkan dirinya sambil tetap berputaran.   Namun Thai Wang Gui masih juga bisa mengikutinya.   Dengan cepat keduanya berubah jadi bayangan yang bergerak ke sana ke mari.   Ding Tao bergerak secepat dia bisa tapi Thai Wang Gui menunjukkan kelebihannya sebagai seorang dedengkot tokoh sesat di jamannya.   Sambil terkekeh-kekeh, Thai Wang Gui bergerak seperti sosok arwah penasaran yang menghantui Ding Tao.   "Heheheheh, kau tidak bisa lari ke mana pun, menyerah saja heheheheh", ujar Thai Wang Gui sambil terkekeh-kekeh.   Ding Tao terus bergerak sampai nafasnya putus dan kepalanya serasa hendak meledak oleh denyutan pembuluh darah dahinya.   Terhuyung-huyung pemuda itu pun berhenti berlari, telapak tangan Thai Wang Gui masih menempel di dadanya.   Pemuda itu pun mau tidak mau mengakui ketangguhan lawan, mau tidak mau dia harus mengakui bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk memenangkan pertarungan ini.   Dengan pasrah dia berdiri menanti Thai Wang Gui mengirimkan serangan terakhir.   Melihat sorot keputus asa-an di mata Ding Tao, mata Thai Wang Gui-pun berkilat-kilat puas,dengan nada jumawa dia berkata.   "Heh, sudah siap untuk mati? Apa kau tidak mau menyembah-nyembahku untuk minta ampun?"   Sorot mata Ding Tao yang tadinya penuh diwarnai keputus asa-an pun menyala, berkobar oleh rasa marah.   Dadanya serasa ingin meledak menyaksikan kejumawaan Thai Wang Gui.   Di saat-saat kemtian menjelang, sebuah pikiran melintas di benaknya.   Satu-satunya perlawanan yang bisa dia lakukan.   Seulas senyum terbentuk di wajah Ding Tao.   "Hahahaha, mau bunuh, bunuh saja. Tapi hati-hati jangan sampai kemudian kau terguling-guling karena terkejut lagi."   Alis Thai Wang Gui pun berkerut karena kesal, dia paling sebal jika ada lawan yang tidak ketakutan saat hendak dia bunuh.   Meskipun bukan sekali dua, dia bertemu lawan seperti itu, tapi setiap kali dia berhadapan dengan orang yang demikian, perasaan kesal yang sama selalu mengganggunya.   Tapi Ding Tao berkali-kali lipat lebih mengesalkan.   Urat-urat di dahinya mulai menonjol keluar, wajahnya memerah oleh murka yang kembali meledak.   "Hmm baiklah kalau begitu, melihat keberanianmu akan kuampuni nyawamu", ujarnya sambil menyeringai kejam.   Ya, terkadang dibiarkan hidup setelah berhadapan dengan Thai Wang Gui bisa terasa lebih sengsara daripada mati.   Karena Thai Wang Gui tentu sudah punya rencana sendiri dalam benaknya bila dia berkata demikian.   Rencana yang akan membuat setiap orang normal yang mendengarnya bergidik dan muntah-muntah.   Apalagi bagi orang yang menjadi sasarannya.   "Tapi pertama-tama, silahkan kau cicipi dulu hidangan pembukanya Xi Xing Da Fa!", dengan kata-kata itu, Thai Wang Gui mengerahkan tenaga hisap Xi Xing Da Fa.   Seketika itu juga Ding Tao merasakan dadanya seperti dihunjam satu tenaga yang tak terlihat, tapi perasaan itu hanya sesaat saja, karena di detik berikutnya yang dia rasakan adalah hawa murninya terhisap keluar.   Ding Tao sudah pasrah, tidak ada yang bisa dia pikirkan untuk menolak hisapan lawan.   Memang benar Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bisa menghindar dari Xi Xing Da Fa dengan mengosongkan bagian yang dihisap dari hawa murni untuk beberapa saat lamanya.   Segera setelah Xi Xing Da Fa kehilangan sasaran, mereka mundur dan kembali mengalirkan hawa murni melalui bagian tersebut.   Namun Thai Wang Gui berhasil menempelkan telapak tangannya di bagian dada, di pusat energi jantung Ding Tao.   Tentu saja berbeda dengan kasus di mana Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui berusaha menggunakan Xi Xing Da Fa pada tangan atau pedang Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan saat mereka menangkis serangan.   Tidak mungkin Ding Tao mengosongkan pusat energi jantungnya dari hawa murni, jika demikian sama saja artinya dia membunuh diri.   Tapi di saat yang kritis itulah terjadi sesuatu di luar kehendak atau lebih tepatnya di luar kesadaran Ding Tao sendiri.   Digerakkan oleh naluri untuk bertahan hidup, tubuh Ding Tao-lah yang menggeliat dan menerapkan Yi Cun Kai di luar kesadarannya.   Kehendak seseorang untuk bertahan hidup, kekuatan yang membuat seorang bayi menangis dan mencari tetek ibunya saat baru dilahirkan.   Kekuatan yang melampaui kesadaran manusia sendiri.   Sebuah reaksi yang sulit ditentang oleh kesadaran manusia, seperti jika ada orang yang mendekatkan jarum pada bola mata, meskipun orang tersebut secara sadar berusaha sebisa mungkin tetap membuka kelopak mata, tapi pada saat jarum itu menyentuh bola mata atau bahkan mungkin sebelum tersentuh pun, kelopak mata akan bergerak menutup dengan sendirinya.   Seakan ada dua bagian dari diri manusia yang berebut hak mengambil keputusan, yang satu adalah alam sadarnya dan ada pula sisi lain yang berada di luar kesadarannya.   Demikian pula pada diri Ding Tao kali ini, secara sadar dia sudah berpasrah, namun secara tidak sadar, kemauan untuk terus bertahan hidup itu menggeliat dan berjuang.   Pada awalnya pemuda ini hanya bisa mengamati apa yang terjadi pada tubuhnya, karena sudah tidak ada niatan untuk berjuang melawan serangan Thai Wang Gui, dibiarkannya saja tubuhnya bekerja tanpa dirinya melakukan sesuatu apa pun.   Ding Tao hanya berdiri menjadi pengamat, menurut akalnya, semakin dia mengerahkan hawa murni tentu akan semakin banyak yang terhisap oleh lawan.   Saat itu dia berpikir, lebih cepat lebih baik, daripada terus menerus dihinakan lawan yang mempermainkan dirinya seperti seekor kucing mempermainkan tikus tangkapannya.   Dan memang benar untuk beberapa saat hawa murninya seperti membobol dan terhisap dengan kuat.   Ding Tao pun menutup mata, pasrah menerima kematian.   Tiba-tiba matanya terbuka lebar, terjadi sesuatu yang di luar perkiraannya, saat Yi Cun Kai mulai terbentuk di sekitar tubuhnya, justru semakin sedikit hawa murni yang terhisap keluar, padahal dia masih bisa merasakan tenaga hisap Xi Xing Da Fa tidaklah berkurang.   Matanya yang terbuka lebar, berbentrokan dengan pandang mata Thai Wang Gui dan dalam sekejap mata itu pula Ding Tao menyadari bahwa Thai Wang Gui sama terkejutnya dengan dirinya.   Sungguh sebuah satuan waktu yang sangat singkat, antara timbulnya kesadaran Ding Tao dan Thai Wang Gui bahwa telah terjadi sesuatu pada tubuh Ding Tao yang menahan tenaga hisap Xi Xing Da Fa, sampai pada akhir dari pertarungan.   Waktu itu menjadi singkat karena pada saat dia menyadari bahwa perkembangan itu di luar perhitungan Thai Wang Gui, serentak semangatnya untuk tidak menyerah pun bangkit.   Di saat yang singkat itu, otak Ding Tao bekerja dengan cepat, pertama dia sadar jika diukur tinggi rendahnya ilmu, dia masih 2 atau 3 tingkat di bawah Thai Wang Gui.   Kesempatan yang muncul oleh kejadian ini adalah kesempatan yang langka.   Kalaupun dirinya berhasil membebaskan diri dari Xi Xing Da Fa, jika Thai Wang Gui masih hidup, maka dirinya akan jatuh dalam permainan jurus-jurus Thai Wang Gui untuk kedua kalinya.   Kedua kesempatan seperti saat ini belum tentu akan muncul kembali untuk kedua kalinya.   Oleh karena itu dia harus bertindak sekarang juga memanfaatkan keterkejutan Thai Wang Gui yang menggoyahkan kedudukan iblis tua itu.   Bertarung terus menerus dalam tekanan, membuat seluruh urat syaraf di tubuh Ding Tao menajam.   Pemikiran ini berjalan seperti kilat, sebelum Ding Tao sampai pada akhir pemikirannya, tangan kanannya yang memegang pedang sudah meluncur turun, menusuk Thai Wang Gui dari atas ke bawah.   Thai Wang Gui justru berbeda, keterkejutannya tidak membuat benaknya bergerak dengan cepat dan mengambil keputusan yang penting yang menolong dirinya.   Semenjak puluhan jurus dia merasa berada di atas angin, Thai Wang Gui bertarung tanpa ada tekanan.   Ketika tiba-tiba Xi Xing Da Fa seperti menghisap karet yang liat, bukannya menghentikan Xi Xing Da Fa dan menjauh, iblis tua itu justru merasa penasaran dan berusaha memperkuat daya hisap Xi Xing Da Fa sambil berusaha mengamati dan menganalisa apa yang sebenarnya sedang terjadi.   Sebenarnya bisa dikatakan Yi Cun Kai adalah lawan dari Xi Xing Da Fa, dengan Yi Cun Kai hawa murni yang tidak berwujud berubah sifat seakan-akan menjadi berwujud, sehingga membentuk selaput hawa pelindung di sekitar tubuh penggunanya.   Hawa pelindung yang bukan saja menghentikan serangan halus tapi juga serangan kasar.   Berbeda dengan kebanyakan ilmu kebal yang ada pada saat itu, misalnya Ilmu baju besi milik Shaolin, di mana hawa murni digunakan untuk menguatkan bagian-bagian tubuh tertentu.   Karena berubah sifatnya inilah Xi Xing Da Fa kesulitan untuk menghisapnya.   Meskipun lambat, tapi perlahan-lahan Thai Wang Gui mulai bisa meraba apa yang sedang terjadi.   Namun percuma saja dia memahami hal ini karena pada saat itu pedang Ding Tao sedang meluncur ke arahnya tanpa dia sadari.   Karena pikirannya tidak lagi tertuju pada pertarungannya dengan Ding Tao yang secara tidak sadar sudah dia anggap selesai semenjak dia mengerahkan Xi Xing Da Fa, maka kesadarannya pun terlambat dalam menangkap serangan pedang Ding Tao yang datang bagai kilat.   Jika besi saja bisa dipotong, apalagi dengan daging dan tulang manusia.   Decit suara pedang yang menembus tulang belulang terdengar saat pedang Ding Tao menembus tulang pundak Thai Wang Gui, terus melaju dan terus bergerak mengiris otot dan tulang-tulang rusuk hingga sampai di jantung Thai Wang Gui, terus tak berhenti hingga pedang itu keluar kembali di sisi yang lain dari tubuh Thai Wang Gui.   Dengan mata terbelalak tak percaya, Thai Wang Gui pun jatuh tanpa daya dengan tubuh terbelah menjadi dua.   Melihat kengerian itu, kemarahan Ding Tao tiba-tiba menguap hilang digantikan oleh perasaan ngeri, jijik dan bersalah atas pembunuhan yang baru saja dia lakukan.   Thai Wang Gui yang mati dengan cara mengerikan tidak terlihat seperti sosok iblis yang menakutkan.   Dalam keadaan tanpa nyawa, jika dilihat kembali, Thai Wang Gui tak ubahnya seperti seorang kakek-kakek lanjut usia yang lain.   Berbeda antara apa yang dirasakan Ding Tao dengan yang dirasakan oleh sisa anggota keluarga Huang yang lain.   Juga termasuk di antara mereka, ratusan bahkan mungkin ribuan orang lain yang pernah menjadi korban Thai Wang Gui dan memendam dendam.   Pekik sorak sorai, umpatan, sumpahan dan ucapan syukur terdengar di mana- mana.   Serentak mereka mengacungkan senjata sambil memandangi Shao Wang Gui yang masih berdiri tak percaya.   Padahal baru beberapa saat yang lalu mereka esmua hanya berdiri dalam diam, mendendam tapi tak memiliki keberanian.   Shao Wang Gui yang tersadar dengan cepat memburu ke atas panggung, hendak mengambil Pedang Angin Berbisik yang masih ada di genggaman Thai Wang Gui, tapi bukan hanya Shao Wang Gui yang berpikir demikian.   Sebelum dia sampai di sana Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen sudah sampai di atas panggung terlebih dahulu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Pedang Angin Berbisik yang dia incar tiba-tiba saja sudah berpindah tangan, ketika menengok ke arah Ding Tao yang masih kehabisan tenaga, sudah ada Bhiksu Khongzhen di hadapannya.   "Shao Wang Gui bagaimana? Apakah kau mau menyerah baik-baik?", tanya Pendeta Chongxan dengan Pedang Angin Berbisik di tangan.   Shao Wang Gui yang terkejut dan marah tidak bisa menjawab dengan segera, tapi ketika perasaannya sudah pulih dengan cepat dia menjawab.   "Chongxan jangan bodoh, apa kau kira aku datang sendirian saja? Dengar dengan satu suitan ribuan orang pendukungku akan memenuhi tempat ini. Jika kau tidak mau melepaskan diriku, mungkin benar aku akan tertangkap, tapi jangan salahkan aku jika lapangan ini akan banjir dengan darah."   Tersenyum simpul Pendeta Chongxan menjawab.   "Hmm apa benar demikian?"   Marah oleh senyum Pendeta Chongxan yang meragukan kata-katanya, Shao Wang Gui pun bersuit kencang.   Suitannya dipenuhi hawa murni, terdengar mengalun dan menusuk telinga sampai beberapa li jauhnya.   Selesai bersuit dia pun menatap tajam ke arah Pendeta Chongxan dan berkata.   "Heh, sekarang kau baru menyesal."   Kemudian suasana pun menjadi lengang beberapa saat.   Setiap orang menanti dengan tegang, bahkan Pendeta Chongxan sendiri sedikit menegang mendengar suitan Shao Wang Gui.   Namun saat demi saat berlalu dan tidak terjadi apa-apa.   Dari wajah yang tegang, orang-orang pun berubah menjadi bingung dan heran.   Lain lagi dengan Shao Wang Gui, tadinya dengan penuh percaya diri dia menatap Pendeta Chongxan dan bersuit tanpa menengok ke sekelilingnya.   Tapi sekian lama dia menunggu, tidak terjadi sesuatu apa pun yang menunjukkan keberadaan orang-orang yang sudah berjanji untuk mendukung gerakannya.   Perlahan Shao Wang Gui mengitarkan pandangan, mula-mula hanya melirik ke kiri dan ke kanan dengan ujung matanya.   Tidak menangkap sedikitpun pergerakan dia mulai menengok ke kiri dan ke kanan.   Tidak juga melihat ada pergerakan dari rekan-rekannya, dia pun memalingkan tubuh dan melihat ke sekelilingnya, berputar, memandangi orang-orang di sekelilingnnya dengan wajah bodoh.   Seorang pun tak terlihat, bahkan Wu Shan Yee pun diam-diam sudah pergi meninggalkan tempat.   Keringat dingin mengucuri punggung Shao Wang Gui, sambil menelan ludah dan wajah memerah oleh rasa malu dia berpaling kembali ke arah Pendeta Chongxan.   "Ap apa lalu apa maumu sekarang?"   Melihat ini, meledaklah tawa setiap orang.   Betapa rusak sudah segala nama dan kemegahan yang dibangun oleh sepasang iblis itu.   Shao Wang Gui pun meradang namun tidak berani untuk bertindak gegabah, tidak sedikitpun lewat dalam ingatannya untuk membalaskan dendam Thai Wang Gui.   Yang dia cari saat ini adalah jalan untuk melarikan diri dan hidup.   Kalaupun dia memanggil orang-orang yang sempat menjadi pengikutnya, hal itu tidak lepas dari keinginannya untuk membuat celah bagi dirinya untuk melarikan diri.   Siapa sangka, tak satupun dari mereka muncul membantu, bahkan Wu Shan Yee yang sudah muncul justr u diam-diam menghilang di saat perhatian setiap orang tumpah pada dirinya.   Ding Tao yang terhuyung hendak jatuh, dengan cepat dipapah oleh Bhiksu Khongzhen.   "Ketua Ding Tao, anda sudah memenangkan pertarungan, dengan sendirinya jabatan Wulin Mengzhu itu sudah resmi jadi milikmu. Berikan saja perintah padaku dan Pendeta Chongxan, biar kami bisa menyelesaikan urusan."   Dengan lemah Ding Tao memalingkan kepala ke arah Shao Wang Gui kemudian berkata.   "Jika dia bersedia untuk menyerah baik-baik, maka tangkap dia hidup-hidup. Musnahkan ilmunya, putuskan urat besar di pergelangan kaki dan tangan. Kemudian penjarakan dia di biara Shaolin sampai akhir hidupnya. Jika pihak Shaolin tidak keberatan biarlah dia merenungkan dan menebus dosa-dosanya di bawah bimbingan para guru sekalian. Tapi jika dia melawan, maka kuserahkan nasibnya pada sekalian saudara yang ada di sini." "Baik tentu saja pihak Shaolin tidak keberatan, nah ketua lebih baik memulihkan dahulu keadaan ketua.", jawab Bhiksu Khongzhen sembari mengalihkan Ding Tao pada Hua Ng Lau yang sudah ikut pula menyusul ke atas panggung bersama dengan orang-orang lain yang bersimpati pada Ding Tao. Berjalan ke sisi Pendeta Chongxan, Bhiksu Khongzhen pun berkata pada Shao Wang Gui.   "Nah, Shao Wang Gui, kau sendiri sudah mendengar apa keputusan Wulin Mengzhu yang terpilih atas dirimu. Tinggal dirimu sendiri yang menentukan apakah hendak melawan atau menerima kemurahannya itu?"   Otak Shao Wang Gui pun berputar cepat, puluhan tahun yang lalu, dialah yang meminta-minta jalan hidup pada Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen.   Pada dasarnya iblis tua yang satu ini memang seorang pengecut yang mencari selamat bagi dirinya sendiri.   Persahabatan antara dirinya dengan Thai Wang Gui muncul atas dasar keegoisan dan kelicikan.   Di masa itu Shao Wang Gui yang menyadari kekuatan Shaolin dan Wudang, mengambil kesimpulan bahwa dia membutuhkan sekutu untuk menguasai dunia persilatan.   Atas dasar itu, dia pun pergi menemui Thai Wang Gui, dia pun tidak keberatan menduduki kedudukan kedua dalam persekutuan itu.   Baginya justru kebetulan jika Thai Wang Gui menghendaki kedudukan pertama, karena perhatian orang pun akan tertuju pada Thai Wang Gui.   Sifat licik dan pengecut ini pula yang membuat mereka yang tadinya berjanji untuk mendukung mereka, memilih untuk pergi diam-diam daripada maju membela Shao Wang Gui.   Sebagian besar dari mereka bersedia untuk mendukung karena diiming-imingi oleh kekuasaan dan didasari juga oleh rasa takut.   Ketika mereka melihat Thai Wang Gui ternyata kalah di tangan Ding Tao, belum lagi di sana masih ada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, bahkan Pedang Angin Berbisik pun jatuh pula ke pihak lawan, maka hilang sudah segala alasan bagi mereka untuk tetap mendukung sepasang iblis itu.   Namun jika yang masih hidup adalah Thai Wang Gui, mungkin masih ada beberapa orang yang akan menyediakan diri untuk maju dengan mengharapkan imbalan berupa hutang budi dari setan tua itu.   Karena Thai Wang Gui memang bengis dan kejam, tapi dia juga tidak melupakan orang yang berjasa pada dirinya.   Berbeda dengan Shao Wang Gui yang akan mengorbankan siapa saja demi keuntungannya sendiri.   Selain rasa takut, tidak ada lain yang membuat orang patuh pada perintahnya.   Sadar dirinya sudah ditinggalkan, Shao Wang Gui pun menghitung-hitung kemungkinannya untuk lolos dengan usaha sendiri.   Dilihatnya di depan ada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang sudah menggenggam Pedang Angin Berbisik.   Di dekat Ding Tao yang sedang menghimpun kembali hawa murninya ada Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu yang mungkin bisa dijadikan sandera namun di sekitar gadis itu banyak juga para pengikut Ding Tao yang merubung, berbaris menjaga anak-anak muda itu.   Belum lagi ada tokoh kawakan macam Bai Chungho dan Xun Siaoma yang juga berdiri di sana sambil mengawasi dirinya dengan sepasang mata mereka yang tajam.   Ketika Shao Wang Gui menoleh ke kiri, kanan dan belakang, tidak terbilang banyaknya tokoh-tokoh dunia persilatan yang berbaris mengepung.   Wang Shu Lin, Zhu Jiuzhen, Lu Jingyun, Tong Baidun dan banyak lagi tokoh-tokoh kelas atas yang ada di sana.   Satu per satu, mereka bukan lawan yang setanding, tapi ratusan jumlahnya yang sekarang bersiap untuk menangkap dirinya.   Ding Tao yang menang melawan Thai Wang Gui sudah dipandang sebagai Wulin Mengzhu, meskipun sumpah setia belum diucapkan.   Siapa yang mau menunjukkan sikap menentang atas perintahnya? Siapa pula yang tidak ingin membuat jasa di hadapannya? "Bagaimana? Apa kau masih mau melawan?", sekali lagi Bhiksu Khongzhen bertanya.   "Tunggu dulu!", ujar Shao Wang Gui dengan panik, bagaimana pun juga dia ngeri jika membayangkan ilmunya akan dimusnahkan untuk kedua kalinya.   Bhiksu Khongzhen pun mengerutkan alisnya.   "Shao Wang Gui apa lagi yang kau pikirkan? Lihat ke sekelilinngmu, ada banyak orang yang pernah menjadi korban kebiadabanmu. Bahwasannya Ketua Ding Tao mengeluarkan perintah yang sedemikian sudah merupakan satu kemurahan yang sulit kau cari bandingannya. Jika kau mengatakan tidak, percayalah padaku, ada ratusan orang yang akan bersorak gembira oleh keputusanmu itu dan bergerak maju untuk mencincang tubuhmu dan memuaskan dendam mereka."   Tidak berlebihan perkataan Bhiksu Khongzhen ini, Shao Wang Gui pun bukannya tidak melihat sorot mata penuh dendam di mata banyak orang yang mengepungnya kali ini.   Tidak berlebihan juga jika dikatakan Ding Tao sudah banyak bermurah hati padanya, karena tidak sedikit orang yang merasa penasaran pada tawaran Ding Tao itu.   Apalagi mereka yang berasal dari keluarga Huang, utamanya Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu, meskipun dua orang muda itu saat ini lebih mengkhawatirkan keadaan Ding Tao yang cukup lemah setelah himpunan hawa murninya sempat dihisap oleh Thai Wang Gui.   "Tunggu bukannya aku tidak mau menyerah.   Tapi apakah Ketua Ding Tao tidak bisa memberikan sedikit keringanan? Bukankah ilmuku sudah dimusnahkan, mengapa juga urat besar di pergelangan kaki dan tangan juga harus diputuskan.   Kalau demikian, bukankah seumur hidup aku akan jadi orang cacat? Apakah hukuman ini tidak terlalu berlebihan?", ujar Shao Wang Gui mengiba.   Betapa jauh berbeda, berbalik 180 derajat, selicik-liciknya Thai Wang Gui tidak akan sedemikian tidak tahu malu hingga berbuat demikian.   Tapi justru inilah yang menakutkan dari Shao Wang Gui, apa pun akan dia lakukan, asalkan perbuatan itu menguntungkan dirinya.Tidak heran mereka yang tadinya sudah berjanji mendukung sepasang iblis itu, diam-diam melarikan diri begitu melihat Thai Wang Gui mati terbunuh di tangan Ding Tao.   Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun sampai menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah orang yang satu ini.   Apalagi mereka yang tidak sesabar dua orang tokoh itu, beberapa umpatan tertahan pun terlompat keluar dari mereka yang tidak tahan.   Tapi sungguh tebal muka Shao Wang Gui, terhadap umpatan-umpatan itu pun tidak sedikitpun dia menunjukkan rasa marah atau tersinggung atau malu.   Bhiksu Khongzhen pun menghela nafas dan menjawab.   "Shao Wang Gui Shao Wang Gui, bukankah dulu kami sudah memberikan kesempatan itu padamu? Ilmumu kami musnahkan dan kami biarkan kalian berdua hidup. Nyatanya, entah dengan cara apa, kalian berdua berhasil mendapatkan kembali ilmu kalian, bahkan mempelajari ilmu sesat yang lainnya." "Menilik akal sehat saja, Ketua Ding Tao bukanlah tandingan dari Thai Wang Gui, tapi kenyataannya Ketua Ding Tao berhasil menang melawannya, ini menunjukkan perlindungan langit pada dirinya. Seandainya bukan karena perlindungan langit ini. Seandainya Thai Wang Gui menang dan berhak atas kedudukan Wulin Mengzhu, kami dari enam perguruan besar jelas tidak akan menyetujuinya. Tapi puluhan ribu orang yang ada di sini tentu akan terbelah menjadi dua bagian yang hampir sama besarnya. Bukankah saat ini akan terjadi banjir darah seperti yang engkau ancamkan?" "Melulu melihat dari hal ini saja, sudah adil rasanya jika Ketua Ding Tao menjatuhkan hukuman mati padamu. Apalagi jika ditimbang bahwa kalian berdua pula yang bertanggung jawab atas pembantaian di Wuling. Tapi di atas itu semua, Ketua Ding Tao masih memberikan jalan hidup padamu, apakah kau masih menawar lagi?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan sungguh-sungguh setelah menjelaskan panjang lebar. Curahan kata-kata sepertinya tidak berguna buat iblis ini, meskipun diucapkan dengan tulus dan sepenuh hati, tidak juga kata-kata itu mampu menyentuh hati Shao Wang Gui yang kelam. Jika iblis itu masih bersikap rendah hati, hal itu tidak lepas dari kedudukannya yang tidak mungkin menang. Tapi otaknya sendiri terus berputar berusaha meringankan hukuman yang akan dia terima. "Dengar, setidaknya jangan putuskan urat di kaki dan tanganku, kali ini sudah pasti tidak seperti dahulu. Apalagi dalam tahanan Biara Shaolin, bukankah kalian dapat memeriksa keadaanku hari per hari?", ujarnya memohon. Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen saing berpandangan, dengan senyum prihatin Bhiksu Khongzhen menggelengkan kepala perlahan-lahan. Pendeta Chongxan diam sejenak dan melirik ke arah Ding Tao yang masih duduk bersila menghimpun kembali semangat dan hawa murninya, sebelum menganggukkan kepala. "Tunggu tunggu, coba dengar, aku memiliki satu barang yang akan aku tawarkan pada kalian, asalkan kalian mau memberikan sedikit keringanan.", ujarnya cepat-cepat, ketika melihat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bergerak mendekat. Langkah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun terhenti, bukan berarti mereka orang-orang yang tamak harta, tapi mereka cukup kenal kelicinan Shao Wang Gui, jika barang yang hendak dia tawarkan itu bukanlah satu benda pusaka yang sangat berharga, tentu tidak akan dia tawarkan untuk menggantikan urat besar di kaki dan tangannya. Bukan hanya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan saja yang tertarik, para ketua enam perguruan besar dan tokoh-tokoh kelas atas yang sudah berbaris mengepung pun ikut tertarik dengan tawaran Shao Wang Gui ini. "Hmm Shao Wang Gui, benda apa yang kau maksudkan ini? Masakan ada benda yang cukup berharga untuk menebus kesalahanmu yang sudah sedemikian bertumpuk sampai ke atas langit?", tanya Pendeta Chongxan dengan alis berkerut. "Ah tidak, tidak, dosaku memang sudah terlampau banyak dan sudah sepatutnya orang rendah ini dihukum seberat- beratnya. Tapi aku hanya minta sedikit keringanan saja, supaya jangan aku menghabiskan sisa hidupku dalam tahanan dalam keadaan cacat. Bahkan untuk itu pun apa yang hendak kutawarkan ini tidak ada artinya, namun aku berharap kesungguhanku memohon ini bisa menyentuh perasaan sekalian pahlawan di sini yang berbudi dan berbelas kasih.", ujar Shao Wang Gui sambil merunduk-rundukkan badan. Kalau orang yang tidak tahu ujung pangkal dari peristiwa ini dan melihat keadaan Shao Wang Gui sekarang, tentu akan jatuh belas kasihan padanya dan memaki-maki sekalian orang dunia persilatan sebagai tukang menindas orang yang lemah. Tidak demikian dengan perasaan sekalian mereka yang sudah kenyang menyaksikan atau mendengar tentang kekejaman iblis tua yang satu ini, dengan pandangan dingin mereka menunggu Shao Wang Gui menjawab. Melihat tidak ada yang tergerak oleh permohonannya, Shao Wang Gui pun menelan ludah dan memaki dalam hati, kemudian menjelaskan.   "Yang hendak aku tawarkan adalah, lencana penanda kewibawaan Wulin Mengzhu yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Sejak Wulin Mengzhu terpilih yang terakhir menghilang tanpa jejak, lencana itu ikut hilang bersamaan dengan dirinya." "Bukan hanya sebagai penanda yang memiliki perbawa tersendiri, lencana itu juga berhiaskan mutiara katak salju yang bisa menghisap racun sejahat apapun. Lencananya sendiri terbuat dari logam istimewa yang memiliki daya hisap terhadap segala macam logam, sehingga pemakainya sulit diserang menggunakan senjata rahasia karena senjata rahasia yang dilemparkan padanya akan tertarik lencana dan melekat di sana."   Mendengar penjelasan Shao Wang Gui maka lapangan itu pun jadi berisik oleh suara orang yang saling berbicara satu dengan yang lainnya.   Lencana yang hilang itu sempat menjadi benda pusaka yang dikejar-kejar dan dicari-cari oleh seluruh tokoh dunia persilatan, siapa sangka pusaka itu justru jatuh ke tangan Shao Wang Gui.   Lencana itu sendiri memiliki banyak arti, pada masa Wulin Mengzhu yang terakhir, dia tidak ubahnya sebagai penanda kekuasaan Wulin Mengzhu, barangsiapa memegang lencana itu memiliki kekuasaan yang sama dengan Wulin Mengzhu sendiri.   Jika Wulin Mengzhu perlu mengutus seseorang untuk mewakili dirinya, maka dia akan memberikan kekuasaannya pada orang tertentu yang dia percaya untuk melaksanakan tugas tertentu.   Pada saat pengangkata Wulin Mengzhu saat itu, sumpah setia dilakukan bukan hanya kepada Wulin Mengzhu tapi juga pada kekuasaan yang disematkan atas lencana itu.   Tentu saja sebuah benda mati tidak lebih dari sebuah benda mati.   Kekuasaan yang muncul ada pada orang yang memegangnya, namun Wulin Mengzhu sendiri sudah tentu tidak menyerahkan lencana itu pada sembarang orang, sehingga lencana itu sendiri akhirnya mewakili satu mitos akan orang-orang yang tak terkalahkan.   Lepas dari segala cerita khayal dan tahayul yang dilekatkan pada lencana itu, lencana itu sendiri, seperti yang dikatakan Shao Wang Gui terbuat dari benda-benda pusaka yang sulit dicari tandingannya.   Mutiara Katak Salju yang dikatakan Shao Wang Gui memang benar adanya bisa menawarkan segala macam jenis racun.   Demikian juga dengan bahan untuk membuat lencana itu, yang memiliki daya hisap terhadap segala macam jenis logam.   "Shao Wang Gui apakah kami bisa memegang kata-katamu itu?", tanya Pendeta Chongxan.   "Tentu saja, tentu saja, nyawaku yang jadi taruhannya, masakan aku mau main-main dengan ucapanku?", jawab Shao Wang Gui cepat.   Masuk akal memang jawaban Shao Wang Gui ini, meskipun terkenal sangat licik, dia juga terkenal sangat takut mati.   "Shao Wang Gui, aku tidak percaya kata-katamu itu, tunjukkan benda itu pada kami sekarang, baru kami mau percaya.", uajr Bai Chungho dari tempatnya di sisi Ding Tao.   "Oh..   tidak tidak, kau kira aku begitu bodohnya membawa barang berharga itu ke mana-mana dalam kantong celanaku.   Tidak barang itu kusimpan baik-baik di sarang rahasia kami.   Tapi aku tidak menipu, asalkan Ketua Ding Tao memberikan janji untuk tidak memutuskan urat-urat di tangan dan kakiku, aku akan mengantarkan kalian ke sana.   Jika aku berbohong bukankah belum terlambat bagi kalian untuk membunuhku?", jawab Shao Wang Gui dengan cepat, akalnya yang licik tidak mudah terjebak dengan pertanyaan Bai Chungho.   "Huh bagaimana juga kalau kau ternyata membawa kami berputar-putar, sambil mencari cara untuk melarikan diri? Siapa yang tahu juga di dalam sarangmu itu ada jebakan apa saja?", jawab Bai Chungho sambil berjalan mendekat.   "Tidak..   tidak masakan aku berani melakukan itu", jawab Shao Wang Gui sambil cengar-cengir.   "Ahh keparat, lihat saja mukanya, sudah jelas dia merencanakan itu diam-diam", seru Bai Chungho sambil mengacung- acungkan kepalan tangannya di depan wajah Shao Wang Gui.   "Dengar, aku bisa memberikan petunjuk, dan biar salah seorang dari kalian yang mengambilnya sendiri, sementara aku kalian tahan di sini.   Bagaimana?", tawar Shao Wang Gui mencoba memberikan jalan keluar.   Ding Tao yang saat itu sudah membuka mata mencoba berdiri.   "Bagaimana perasaanmu?", tanya Hua Ying Ying yang dengan cepat memegang tangannya, khawatir jika pemuda itu masih merasa lemas.   Ding Tao pun menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, dirasakannya tidak ada sesuatu yang mengganggu, sambil tersenyum dia menjawab.   "Aku merasa baik-baik saja, memang sedikit lemas setelah menguras bergitu banyak tenaga. Tapi selain itu tidak ada masalah lain." "Syukurlah", ucap Hua Ying Ying dengan lega. Huang Ren Fu yang juga berada di sana, sedang menatap Shao Wang Gui dengan mata penuh kemarahan. Pemuda itu tidak menyadari percakapan antara Ding Tao dan adiknya. Ding Tao yang hendak menyapa pun jadi ragu-ragu untuk menyapa. Hua Ying Ying mengikuti arah pandang mata Ding Tao dan menyadari apa yang menjadi ganjalan dalam hati pemuda itu. Hua Ying Ying bisa merasakan amarah kakaknya, namun karena dalam hatinya saat ini hanya dipenuhi oleh perasaan cintanya pada Ding Tao, masalah Shao Wang Gui dan keinginan untuk membalas dendam hanya berbisik lirih dalam hatinya. Hua Ng Lau sebagai ayah dan guru bagi dua orang anak muda itu menghela nafas. "Ketua Ding Tao, ada urusan yang lebih besar, lebih baik diselesaikan terlebih dahulu", ujarnya sambil menunjuk Shao Wang Gui yang sedang membela diri terhadap desakan Bai Chungho. Ding Tao memandang orang tua itu dan menganggukkan kepala dengan hormat.   "Tetua benar, kalau boleh tahu, siapakah nama tetua? Apakah benar tetua ini yang menyelamatkan Adik Ying Ying dan Saudara Ren Fu? Jika benar sungguh kami semua, berhutang budi pada tetua." "Ini ayah angkatku, namanya Hua Ng Lau, atau lebih dikenal sebagai Tabib Dewa Hua, sekarang namaku berubah jadi Hua Ying Ying, sedangkan kakak menjadi murid tunggalnya. Kami hampir saja mati di tangan anjing-anjing Tiong Fa jika saja ayah tidak menolong kami waktu itu.", celoteh Hua Ying Ying menjawab pertanyaan Ding Tao. Mendengar jawaban Hua Ying Ying itu, Ding Tao pun buru-buru memberi hormat, membungkuk dalam-dalam.   "Ah benar- benar mata siauwtee ini tidak berguna"   Cepat-cepat Hua Ng Lau menahan bahu pemuda itu.   "Ketua Ding Tao tidak perlu begitu, di antara sekeluarga sendiri tidak perlu banyak adat."   Ding Tao memandangi Hua Ng Lau dan Hua Ying Ying dengan penuh rasa syukur, meskipun bencana yang terjadi menimbulkan banyak luka, tapi perbuatan-perbuatan baik menyembuhkannya.   "Sungguh, tidak pernah kusangka, sampai ah sudahlah. Setelah ini kita harus banyak menghabiskan waktu untuk saling bercerita." "Tentu saja, untuk sekarang ini, biarlah urusan yang lebih besar diselesaikan terlebih dahulu.", ucap Hua Ng Lau sambil tersenyum ramah. Dalam hati tabib tua ini memuji anak angkatnya yang pandai menilai orang. Sejak pemilihan Wulin Mengzhu dilaksanakan, dia mengamati tindak tanduk Ding Tao dan sedikitpun tidak mendapati ada yang kurang dari diri pemuda ini. Sikapnya yang terlalu lemah pada lawan, mungkin dilihat banyak orang sebagai kelemahan. Tapi tidak bagi Hua Ng Lau, sebagai seorang tabib, nalurinya untuk menyelamatkan nyawa manusia, siapa pun itu, justru berjalan selaras dengan kelemahan Ding Tao. Meski terkadang, ada kalanya seorang tabib justru harus mengorbankan anggota tubuh tertentu yang sudah terlanjur busuk, untuk menyelamatkan keseluruhan tubuh, pikir tabib tua itu sambil memandangi Ding Tao yang berjalan ke arah Shao Wang Gui yang sedang dikepung banyak orang. Melihat Ding Tao datang mendekat, dengan sendirinya mereka yang sedang mengepung Shao Wang Gui pun bergerak menyibak, memberikan jalan bagi Wulin Mengzhu yang baru. Ding Tao merasa sedikit aneh, pemuda itu pun berulang kali membalas penghormatan yang diberikan pada dirinya, meskipun hanya dengan anggukan kecil atau sedikit membungkukkan badan jika yang memberi jalan seorang yang lebih tua. Ketika akhirnya sampai, Ding Tao melihat Bai Chungho yang sedang mengacung-acungkan kepalan tangannya ke wajah Shao Wang Gui. Melihat Shao Wang Gui, wajah Ding Tao yang tadinya ramah, berubah menjadi keras. Inilah orang yang memorak-porandakan kehidupannya. Teringatlah kembali dia dengan saat-saat di mana dia baru mendengar berita tentang apa yang terjadi di Wuling. Teringat dengan puluhan kuburan yang baru digali, pada wajah-wajah orang yang baru saja kehilangan keluarganya. "Shao Wang Gui aku sudah mendengar semua ocehanmu. Mengertilah satu hal ini, aku tidak tertarik pada sekalian benda pusaka. Kau boleh simpan lencana itu di jurang yang terdalam. Pilihanmu hanyalah dua, menyerah atau mati.", tegas ucapannya tidak ada keraguan di dalamnya. Wajah Shao Wang Gui pun berubah jadi pucat pasi.   "Tunggu tunggu.. lencana penanda kekuasaan Wulin Mengzhu, bukanlah sembarangan benda pusaka. Bayangkan berapa banyak nyawa orang yang bisa kau selamatkan dengan mutiara katak salju itu. Pikirkan tentang orang yang penting bagi dirimu, kau bisa memakaikan lencana itu pada diri mereka dan melindungi mereka dari serangan senjata rahasia." "Dia benar Ketua Ding Tao, tapi Ketua Ding Tao juga benar, perbuatannya sudah melampaui batas hukuman yang Ketua Ding Tao tawarkan sudah sangat ringan jika dibandingkan dengan dosa-dosanya.", ujar Bhiksu Khongzhen. "Jadi jika menurut Tetua, bagaimana yang sebaiknya?", tanya Ding Tao dengan hormat. Bhiksu Khongzhen tersenyum.   "Jika Shaolin memutuskan untuk menerima Ketua Ding Tao sebagai Wuli Mengzhu, hal itu karena kami percaya bahwa Ketua Ding Tao akan mengambil keputusan-keputusan yang tepat."   Ding Tao terdiam sejenak, sebelum kemudian kembali menatap ke arah Shao Wang Gui dan memberikan keputusan, "Keputusanku sudah bulat, seandainya benda pusaka itu ada di tempat ini, aku mungkin akan memikirkan kembali keputusanku.   Namun karena benda itu tidak ada di sini, menunda lebih lama lagi pelaksanaan hukuman hanya akan menimbulkan resiko yang tidak perlu.   Karena itu Shao Wang Gui, keputusanku sudah tetap, menyerahlah sekarang atau kau memilih jalan kematian."   Shao Wang Gui tergagap, iblis itu sadar Ding Tao tidak bisa ditawar-tawar lagi keputusannya, meskipun dengan iming-iming benda pusaka.   Tiba-tiba iblis itu bergerak sangat cepat, tangannya terayun hendak mencengkeram leher Ding Tao.   Serangan ini di luar dugaan banyak orang, karena sejak tadi Shao Wang Gui merunduk-runduk seperti seorang pengecut, tidak ada yang menduga tiba-tiba muncul keberaniannya untuk menyerang.   "Sreet", lima jari terkembang menyambar dengan kecepatan kilat.   "Cring!", suara pedang dicabut dari sarungnya.   Dan sebelum satu orang pun dapat bereaksi, serangan itu sudah berhenti, beberapa jengkal sebelum mengenai leher Ding Tao, Pedang Angin Berbisik yang ada di tangan Pendeta Chongxan sudah menyambar leher Shao Wang Gui.   Shao Wang Gui pun dipaksa untuk membatalkan serangannya, ketika dia bergerak mundur, dia bisa merasakan keberadaan Bhiksu Khongzhen di belakangnya.   Berendeng di sisi kirinya bergerak dengan cepat menyusul Bai Chungho, di depan Ding Tao sudah pula menghunus pedang pusakanya.   Desingan pedang terhunus memenuhi telinga Shao Wang Gui, hawa pembunuh meliputi seluruh tempat di sekelilingnya.   Seperti ikan yang sudah terperangkap jaring yang sedemikian rapat, Shao Wang Gui tidak melihat satu celah pun bagi dia untuk menyelamatkan diri.   Iblis tua itu pun melemparkan diri berlutut sambil berteriak.   "Baiklah aku menyerah!"   Secepat kilat mereka bergerak, hampir bersamaan.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Secepat kilat juga mereka berhenti saling menyerang.   Satu lawan satu, Shao Wang Gui dan Pendeta Chongxan mungkin lawan yang seimbang, tapi dua lawan satu, Shao Wang Gui tahu dia tidak punya kesempatan menang, apalagi .   Tadinya dia berharap bisa menyerang Ding Tao dengan tiba-tiba dan menjadikan pemuda itu sebagai sandera, tapi kedua orang tokoh besar itu tidak bisa ditipu oleh kelicikannya, disusul dengan kecekatan setiap tokoh kelas atas yang sudah mengepung dirinya.   Peluh pun membasahi dahi Shao Wang Gui, dia sudah membuat satu perjudian dan dia kalah dalam taruhan itu.   Tapi Shao Wang Gui masih belum ingin mati, dia memilih menyerah meskipun itu artinya dia akan hidup sebagai orang cacat.   Tidak ingin mengambil resiko lebih jauh, Pendeta Chongxan segera menotok titik-titik penting di tubuh Shao Wang Gui, sehingga kekuatan Shao Wang Gui hilang untuk sementara.   Setidaknya sampai hukumannya selesai diputuskan.   "Aku menyerah, tapi terimalah ini, lencana tanda kekuasaan Wulin Mengzhu, kuharap Ketua Ding Tao bersedia memberikan sedikit keringanan.", ujar Shao Wang Gui sambil menyerahkan sebuah lempengan yang terbuat dari logam misterius.   Logam itu memancarkan cahaya keemasan, di bagian tengah terdapat 3 buah mutiara berwarna putih salju.   Di satu sisi ukiran naga dan burung phoenis menghiasi lencana itu, di sisi lain tertulis Naga di langit, Harimau di darat, memberi hormat.   "Lencana kekuasaan Wulin Mengzhu!? Ah keparat iblis tua, rupanya membawa-bawa lencana itu ke mana-mana.   Jadi benar dugaanku, kau hanya membuang-buang waktu, menunggu kami lengah?", maki Bai Chungho.   "Tetua, bisakah melihat apakah itu benda yang asli?", tanya Ding Tao pada Pendeta Chongxan yang berdiri paling dekat dengan Shao Wang Gui.   Shao Wang Gui masih dalam keadaan belutut, menyerahkan lencana itu pada Pendeta Chongxan yang dengan wajar menerimanya, tanpa terlihat ada perasaan curiga atau takut-takut.   Pendeta Chongxan dengan teliti mengamati lencana itu, kemudian mengangsurkannya pada Bhiksu Khongzhen yang bergantian dengan Bai Chungho dan Xun Siaoma serta ketua dari enam perguruan besar yang lain, memeriksa dan mengamati lencana itu.   Bhiksu Khhongzhen lah yang kemudian menjawab, sembari memberikan lencana itu pada Ding Tao.   "Menurut pengamatanku lencana itu asli, selamat Ketua Ding Tao, benar-benar langit menunjukkan pilihannya pada hari ini. Tidak disangka di hari Ketua Ding Tao terpilih, lencana yang sudah lama hilang pun muncul kembali."   Bergantian para tokoh yang hadir pun memberikan ucapan selamat yang diterima Ding Tao dengan wajah sedikit bersemu merah.   "Jadi bagaimana keputusan Ding Tao atas Shao Wang Gui", setelah suasana reda Pendeta Chongxan pun bertanya.   Ding Tao dengan alis berkerut diam berpikir, akhirnya dia menjawab.   "Musnahkan ilmu silatnya, kemudian putuskan urat besar di pergelangan kaki. Namun untuk kesediaannya menyerah dan memberikan lencana ini tanpa paksaan, biarlah urat besar di pergelangan tangannya tidak perlu diputuskan."   Shao Wang Gui pun menyembah-nyembah sambil menghaturkan terima kasih yang tiada tara.   Beberapa orang mengerutkan alis, namun kejutan yang terjadi timbul dari seorang yang masih muda.   Siapa lagi jika bukan Huang Ren Fu.   "Tidak! Tidak! Tidak! Ding Tao apakah kau sudah silap oleh benda pusaka? Bagaimana kau bisa mengatakan dia menyerahkannya dengan rela? Jika bukan karena terpaksa tidak akan dia menyerahkannya begitu saja.   Aku sudah diam saja ketika kau mengijinkan iblis itu untuk hidup sebagai orang cacat.   Tapi kau justru mengurangi lagi hukumannya! Apa kau sudah hilang akal!? Dia itu pantas mati beribu-ribu kali!", seru Huang Ren Fu menerobos kerumunan orang banyak.   "Saudara Ren Fu", ujar Ding Tao berusaha menyabarkan pemuda itu.   "Jangan panggil aku saudara! Apa kau lupa siapa yang memberimu makan dan tempat tinggal saat kau masih kanak- kanak!? Bagaimana kau bisa memberikan hukuman seringan itu pada iblis ini?", ujar Huang Ren Fu dengan mata melotot.   "Ren Fu! Hentikan! Sikapmu ini sudah keterlaluan!", Hua Ng Lau menyusul pemuda itu dan menegurnya dengan keras.   "Tapi guru!" "Diam kataku!", seru Hua Ng Lau dengan wajah marah.   Semarah-marahnya Huang Ren Fu, pemuda ini tidak kehilangan rasa hormatnya pada Hua Ng Lau, orang yang dia pandang sebagai penolong jiwanya dan lebih penting lagi, penolong jiwa adiknya.   Sambil mengepalkan tangan dia menundukkan kepala.   "Ketua Ding Tao, harap maafkan muridku yang masih muda ini.", ujar Hua Ng Lau dengan sedih.   Ding Tao pun menghela nafas, kemudian melihat ke sekelilingnya, dia tahu banyak orang yang terkejut oleh tindakan Huang Ren Fu, namun sebagian besar dari mereka bisa mengerti kedudukan pemuda itu dan apa yang mendorongnya melanggar aturan dan memaki-maki seorang Wulin Mengzhu.   Apalagi Ding Tao tidak memandang dirinya lebih tinggi dari Huang Ren Fu, dalam pandangannya Huang Ren Fu masihlah tuan muda Huang dan dirinya adalah seseorang yang dahulu bekerja untuknya.   "Saudara Ren Fu aku mengerti kemarahanmu dan aku yakin setiap orang yang ada di sini merasakan hal yang sama denganmu.   Aku pun merasakan kemarahan yang sama, meskipun sebagian besar rasa marahku mendingin pada saat aku melihat pedangku membelah tubuh Thai Wang Gui menjadi dua.   Benar memang dua orang ini melakukan banyak perbuatan jahat, tapi saat melihat kematian datang menjemputnya, betapa aku merasa, lepas dari apa yang sudah mereka lakukan, mereka pun manusia tak ada bedanya dengan kita.", ujar Ding Tao menjelaskan.   "Aku bisa memberikan banyak alasan padamu, mengapa aku mengampuni nyawa Shao Wang Gui.   Salah satunya adalah adanya 5 orang yang memimpin penyerangan atas keluarga Huang di Wuling, 3 orang sudah kita ketahui tapi masih ada 2 orang yang belum tertangkap.   Shao Wang Gui yang masih hidup adalah rantai yang akan menghubungkan kita pada dua orang tersebut.", ujar Ding tao memberikan penjelasan.   Penjelasan yang kedua ini nampaknya lebih mudah diterima oleh mereka yang mendengarnya daripada penjelasan Ding Tao yang pertama.   Penjelasan ini masuk di akal mereka dan penilaian mereka atas Ding Tao pun meningkat satu lapis.   Tapi bukan Ding Tao namanya jika dia hanya mengatakan apa yang ingin didengarkan orang, pemuda itu pun melanjutkan.   "Tapi aku tidak akan beralasan demikian, karena meskipun hal itu benar, tapi bukan itu yang membuatku memutuskan untuk memberikan Shao Wang Gui kesempatan untuk hidup.", ujarnya menghapuskan sedikit pengertian dalam hati orang- orang yang mendengarkan.   Sekali lagi mereka dihadapkan pada kenyataan, bahwa Wulin Mengzhu yang terpilih kali ini adalah orang yang membingungkan.   "Dengar, dengarlah baik-baik, karena aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa dari kalian semua. Sebagai bagian dari orang-orang yang pernah menerima budi baik keluarga Huang, aku menginginkan pembalasan. Namun sebagai Wulin Mengzhu dan sebagai manusia aku menolaknya." "Cobalah kita tilik diri kita masing-masing, adakah dari kita yang bebas sepenuhnya dari rantai dendam dan pembalasan? Jika hari ini aku sebagai Wulin Mengzhu, menggunakan kedudukanku untuk membalaskan dendam keluarga Huang. Maka apa hakku untuk menolak, jika suatu saat nanti datang seseorang menuntut keadilan yang sama. Keadilan dari sudut pandang dirinya? Jika dendam itu sudah berjalan turun temurun, dan bukankah hal itu bukan hal yang baru, lalu kepada siapakah aku harus berpihak? Kalaupun kemudian aku memutuskan untuk memihak salah satu pihak, apakah itu menjadi penyelesaian yang terbaik? Pada akhirnya di tanganku, dunia persilatan ini akan terbagi-bagi, antara mereka yang puas dengan keputusanku dan mereka yang tidak puas." "Jika hari ini Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui hampir saja membuat lapangan ini banjir darah. Jika hari ini aku membalaskan dendam keluarga Huang dengan kedudukanku sebagai seorang Wulin Mengzhu, banjir darah itu akan datang juga oleh tanganku sendiri. Meskipun bukan sekarang, tapi mungkin beberapa tahun lagi." "Tindakanku kali ini, kalian ingatlah baik-baik. Selama aku menjadi Wulin Mengzhu, segala dendam di masa lampau hendaknya kalian lupakan. Jika ada pertentangan antara dua keluarga, jangan berharap aku akan memihak salah satu dari mereka. Siapa yang mengingkari keputusanku ini dan berusaha membalas dendam, dialah yang akan jadi lawanku sebagai Wulin Mengzhu. Lupakan dendam pribadi, galang persatuan demi kepentingan bersama. Ingat di luar sana masih ada Ren Zuocan, bahkan bukan tidak mungkin di belakang Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui masih ada pula tangan lain yang menggerakkan.", ujar Ding Tao menutup penjelasannya. Lama suasana pun jadi lengang, masing-masing orang memikirkan perkataan Ding Tao dan merenungkannya. Ada yang puas, ada yang tidak puas. Tapi bila mengingat keadaan mereka saat itu, dengan adanya ancaman dari luar, mau tidak mau mereka menerima kebenaran dari perkataan Ding Tao. "Kalian sudah mendengar pendirianku, sebelum kalian menyesal, pikirkanlah baik-baik, apakah kalian masih mau mengangkatku menjadi Wulin Mengzhu?", tanya Ding Tao setelah membiarkan tiap-tiap orang cukup waktu untuk berpikir. Ditanya demikian, banyak orang menjadi terkejut, tidak menyangka Ding Tao masih memberikan kesempatan pada mereka untuk menolak penunjukan dirinya sebagai Wulin Mengzhu. Padahal tidak terbersit sedikitpu kemungkinan itu dalam benak mereka. Bahkan mereka yang merasa kurang puas pada penjelasan Ding Tao pun, tidak memandang apa yang disampaikan Ding Tao sebagai sesuatu yang disampaikan oleh calon Wulin Mengzhu, melainkan oleh seorang Wulin Mengzhu. Satu keputusan yang harus diterima, senang atau tidak. Tapi tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk berpikir karena Ketua dari partai pengemis dengan hikmat menjawab pertanyaan Ding Tao itu dengan cepat. "Kami dari Partai pengemis, bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang baru, Ketua Ding Tao dari Partai Pedang Keadilan. Sejak saat ini, setiap anggota partai pengemis, wajib melakukan perintah dari Ketua Ding Tao atau dari perwakilan yang dikirimnya, dengan penanda Lencana Naga dan Burung Phoenix.", ucap orang tua itu sambil membungkuk hormat. Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun segera menyusul, disusul kemudian oleh Xun Siaoma yang mewakili Partai Hoasan dan Bhiksuni Huan Feng dari Emei. Setelah itu berturut-turut Kunlun dan Kongtong mengucapkan sumpah, dengan sendirinya tokoh-tokoh duni persilatan yang lain pun susul menyusul mengucapkan sumpah. Kemudian dengan dipimpin oleh Bhiksu Khongzhen, seluruh mereka yang hadir di kaki Gunung Shongsan itu mengucapkan sumpah setia menerima Ding Tao selaku Wulin Mengzhu, untuk secara bersama mengikuti dan menegakkan keputusan yang dia keluarkan. Setelah semua upacara singkat dan sederhana dilakukan, pecahlah kegembiraan mereka semua, Biara Shaolin tidak pelit- pelit dalam mengeluarkan berbagai macam hidangan dan minuman. Dengan gesit bhiksu-bhiksu muda dari Shaolin mengeluarkan meja serta peralatan makan. Tentu saja tidak semua orang mendapatkan meja, hanya bagi mereka yang sebelumnya sudah disediakan kursi kehormatan saja. Panggung kayu dirobohkan dan dibersihkan pula dengan cepat. Jumlah anak murid Shaolin yang mencapai ribuan dan terpimpin dengan baik membuat semuanya berjalan dengan cepat. Kecekatan orang-orang Shaolin dalam mengubah lapangan menjadi tempat sebuah perayaan mengagumkan banyak orang. Meskipun sebagai sebuah biara tentu saja semua jenis makanan yang dikeluarkan adalah masakan dari barang tidak berjiwa, demikian pula minuman yang mereka hidangkan tidak mengandung arak. Namun suasana sudah cukup meriah tanpa adanya arak sekalipun. Mereka yang tidak mendapatkan meja dan kursi pun mendapatkan bagian yang tidak berbeda. Bedanya mereka harus menikmatinya sambil berdiri atau duduk di atas tanah. Namun buat orang-orang dari dunia persilatan yang sudah bisa dengan kehidupan yang keras, hal-hal seperti itu tentu tidak menjadi masalah. Di luar sepengetahuan orang, Zhong Weixia tanpa kentara mendekati Shao Wang Gui yang sudah diikat kaki tangannya dan menjatuhkan secarik kertas di dekat kakinya. Tidak ada orang yang melihat Zhong Weixia melakukan hal itu. Tidak ada pula yang melihat bagaimana Shao Wang Gui mengambil secarik kertas itu diam-diam dan menyelipkan kertas itu di dalam sepatunya. Meskipun pengawasan terhadap Shao Wang Gui cukup ketat, tapi mereka yang bertugas menjaga tidak mencurigai Zhong Weixia. Mereka juga tidak mengawasi tiap gerak-gerik Shao Wang Gui yang sudah tertutuk oleh Pendeta Chongxan dan terikat erat oleh tali yang kuat. Apalagi suasana sedang riuh ramai, merayakan diangkatnya Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu. "Ketua Ding Tao, tentang pelaksanaan hukuman atas diri Shao Wang Gui, apakah tidak sebaiknya dilaksanakan secepatnya?", tanya Bai Chungho yang duduk semeja dengan Ding Tao. "Hmm dalam suasana perayaan seperti ini, melaksanakan satu hukuman, apakah bukan sebuah pertanda yang buruk?", tanya Guang Yong Kwang yang juga duduk di meja yang sama dengan alis berkerut. "Heh! Kalau menurutku sih, membiarkan setan itu dalam keadaan sekarang ini justru merupakan pertanda yang buruk. Entah bagaimana menurut Ketua Ding Tao?", ujar Bai Chungho sambil melirik ke arah Guang Yong Kwang, tapi pengemis tua itu tidak ingin memancing perselisihan dengan Perguruan Kunlun, oleh karenanya dia kembali melemparkan masalah itu pada Ding Tao. Ding Tao tidak segera menjawab, melainkan bertanya pada Bhiksu Khongzhen terlebih dahulu.    Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Karya Chin Yung Si Rase Hitam Karya Chin Yung

Cari Blog Ini