Pedang Angin Berbisik 52
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 52
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Tapi entah bagaimana caranya, pedang itu tetap saja mampir ke dadanya. Yang dia tahu hanyalah dadanya yang tiba-tiba terasa basah, banjir oleh darah dan pandangan matanya yang semakin gelap. Sebelum dia jatuh dengan luka menganga dan kehilangan kesadaran dia masih sempat mendengar seruan Bhiksu Khongzhen penuh rasa khawatir. "Chongxan! Saudara Chongxan!" Lamat-lamat dia melihat Pendeta Chongxan terhuyung-huyung dengan dada dihiasi belasan luka. Pandangannya makin mengabur, bayangan ronce-ronce merah yang menghiasi tubuh Pendeta Chongxan lamat-lamat bisa dia kenali sebagai senjata rahasianya.Sisa-sisa ketegangan yang masih menjalari tubuhnya pun dia lepaskan, dengan seulas senyum puas, tubuhnya terbanting ke atas tanah. Sementara Pendeta Chongxan yang sempat terhuyung-huyung sudah pula mendapatkan keseimbanganya dan berdiri dengan gagah. Baju dan jubahnya sudah berwarna merah oleh darah, pada serangan yang terakhir seharusnya dia masih bisa menghindar tapi Pendeta Chongxan memilih meneruskan serangannya. Akibatnya tubuhnya pun penuh luka dihujani senjata rahasia lawan, beberapa sempat dia pukul jatuh dengan pukulan tangannya, tapi belasan yang lain menghujani tubuhnya tanpa bisa dicegah. Melihat keadaan sahabatnya, Bhiksu Khongzhen pun jadi gelap mata. Mengikuti jejak Pendeta Chongxan, tanpa mempedulikan lagi keadaan fisiknya yang sudah renta, Bhiksu Khongzhen pun mengerahkan simpanan hawa murninya, menerapkan ilmu andalannya meski aliran hawa murni yang berlebihan itu merusak sistem energi dalam tubuhnya. Zhong Weixia yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sudah menyambar datang dengan pukulan tinju 7 lukanya. Sebuah ledakan dengan suara tak terdengar namun menggetarkan dada terjadi saat tinju Zhong Weixia menghantam dada Bhiksu Khongzhen. Hebat, sungguh hebat, pukulan telak Zhong Weixia seperti tak terasa sedikitpun oleh bhiksu tua itu, malah Zhong Weixia yang terpental ke belakang seakan menabrak tembok yang tak terlihat. "Genta emas tingkat akhir", seru Xun Siaoma yang tergetar melihat pameran ilmu kebal yang ditunjukkan Bhiksu Khongzhen. "Keparat! Serang dia!", geram Zhong Weixia dengan gemas, bukan hanya tangannya saja, dadanya pun terasa nyeri akibat benturan hawa murni yang terjadi. Tidak menunggu aba-aba kedua kalinya, Guang Yong Kwang, Bai Chungho dan Xun Siaoma berkelebat cepat menyerang Bhiksu Khongzhen yang berdiri kokoh seperti gunung karang.Mereka sadar saat ini adalah pertaruhan hidup mati, Bhiksu Khongzhen yang sudah mengerahkan ilmunya sampai pada puncaknya tidak bisa dibuat main-main. Bhiksu Khongzhen pun tidak berdiam diri saja, selesai menerapkan ilmu genta emas, tangannya bergerak menyerang dengan pukulan telapak Buddha. Satu saja sudah menguras hawa murni dan membebani tubuh rentanya, apalagi dua sekaligus. Namun perbawanya sungguh hebat, lawan pun dibuat kebat-kebit oleh serangan Bhiksu Khongzhen yang membadai. Zhong Weixia yang berteriak untuk menyerang, justru dirinya sendiri tidak ikut maju menyerang. Dia berdiri diam, mengatur hawa murninya yang bergerak liar tak terkendali setelah benturan yang terjadi melawan ilmu kebal Bhiksu Khongzhen. Daya penghancur tinju 7 luka memang hebat, namun ilmu kebal genta emas milik Bhiksu Khongzhen berhasil mementalkannya, menahannya sebelum daya hancur itu sepenuhnya lepas dari pukulan Zhong Weixia. Akibatnya sekarang Zhong Weixia harus berhadapan dengan hawa pukulannya yang membalik, memukul diri sendiri. Lagipula Zhong Weixia tidak ingin berhadapan dengan Bhiksu Khongzhen yang sedang kesetanan. Jika Zhong Weixia bisa berpikir demikian, sudah tentu Bai Chungho yang tidak kalah liciknya dengan Zhong Weixia sampai pada kesimpulan yang sama. Di luarnya saja dia terlihat maju bergebrak, kenyataannya dia lebih banyak menghindar dan memukul tempat kosong. Tiga orang tokoh kelas satu itu pun dibuat jadi bulan-bulanan oleh serangan Bhikau Khongzhen yang bergerak tanpa henti. Tidak kurang dari tiga kali pukulan Bhiksu Khongzhen mampir telak di tubuh Guang Yong Kwang, di ujung bibir ketua muda perguruan Kunlun itu sudah dihiasi dengan darah segar. Keadaan mereka pun makin payah, ketika Pendeta Chongxan yang sudah terluka tiba-tiba kembali bergerak menyerang. Meski pendekar yang bersenjatakan tombak berkait ikut pula maju dalam pertarungan, namun kegarangannya sudah jauh berkurang, apalagi jika berhadapan dengan Pendeta Chongxan, seakan dia berhadapan dengan hantu yang tidak bisa dibunuh. Pucatlah wajah Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang, selamanya orang yang punya ambisi besar paling takut dengan kematian. Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat, sisa lima orang yang masih hidup dibuat kalang kabut oleh serangan dua orang jagoan tua yang tak juga padam. Tadinya Zhong Weixia berharap kekuatan keduanya akan surut dengan cepat, sudah bukan rahasia lagi jika pengerahan tenaga yang berlebihan itu menghancurkan tubuh keduanya yang sudah renta. Namun saat yang ditunggu itu tak juga tiba, malah beberapa kali mereka hampir saja melewati gerbang neraka dan hanya dengan gerakan menyelamatkan diri tanpa malu-malu saja mereka lolos dari kematian. "Mundur! Mundur!", akhirnya Zhong Weixia pun tak tahan lagi. Begitu mendengar seruan Zhong Weixia, lima orang jagoan itu pun berlari mundur tanpa ingat harga diri lagi. Lima orang jagoan yang namanya menggetarkan dunia persilatan, lari lintang pukang, dikejar dua orang jagoan tua yang sudah mendekati ajalnya. Kalau diceritakan, siapa pun juga tidak akan percaya, kenyataannya demikianlah yang terjadi. Sementara itu Ding Tao terus yang berpacu dengan Hu Ban, Shu Sun Er dan Wang Shu Lin, bergerak dengan cepat semakin lama semakin dekat dengan tempat pertempuran. Melewati pondok persembunyian mereka yang sebelumnya, Hu Ban pun berteriak-teriak kesetanan. "Tahan dia! Tahan dia! Kakak Zhu Yanyan! Khongti! ", seru Hu Ban panik. Tapi bagaimana bisa Zhu Yanyan, Khongti dan Chen Taijiang yang tidak siap hendak menghentikan Ding Tao yang menderap cepat melewati pondokan mereka. Saat ketiganya berlompatan keluar ke pelataran Ding Tao sudah jauh lewat di depan. "Apa yang terjadi?", tanya Zhu Yanyan sambil berlari mengiringi kuda Hu Ban yang menderap dengan cepat. "Ketua Ding Tao hendak mencari Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.", jawab Hu Ban panik. "Bodoh! Bagaimana bisa terjadi demikian?", seru Khongti yang berlari sedikit di belakang. "Bagus! Apanya yang bodoh sejak semula seharusnya kita tidak melarikan diri!", seru Pang Boxi dari belakang. "Gila! Kalian semua sudah jadi gila!", geram Khongti tanpa berhenti. Malam yang tadinya sepi itu pun jadi ramai oleh suara derap kaki mereka. Rencana yang sudah diatur baik-baik rusak semuanya, berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala tiap-tiap orang. Tindakan Ding Tao yang dilakukan tanpa ada pertimbangan, sebenarnya justru mewakili keinginan hati setiap orang. Di lain pihak, tindakan yang hanya menuruti keinginan hati itu membahayakan seluruh rencana yang sudah disusun. Pengorbanan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan terancam jadi sia-sia oleh tindakan Ding Tao yang terburu-buru hanya mengikuti ledakan hati, tanpa menggunakan pertimbangan sedikit pun. Mereka berpacu tanpa berusaha menyembunyikan kehadiran mereka, dengan sendirinya bergerak cepat menuju ke arah terjadinya pertarungan. Beberapa li ditempuh dalam waktu yang singkat, berbeda dengan saat mereka berangkat. Sampai di tempat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mencegat perjalanan Zhong Weixia dan rekan-rekannya. Bekas-bekas pertarungan pun dengan mudah terlihat di mana-mana. Apalagi api unggun yang dibuat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan belum padam, cahayanya yang menari-nari menerangi keadaan di sekelilingnya. Ding Tao pun melompat turun dari kudanya. "Tetua! Tetua! Bhiksu Khongzhen! Pendeta Chongxan!" Tidak berapa lama kemudian Hu Ban, Zhu Yanyan dan yang lain pun sampai di tempat itu. Sudah sampai di sana, lupalah mereka pada keperluan mereka untuk menahan Ding Tao. Mereka justru ikut mencari-cari Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen. Tidaklah sulit menyusuri pertarungan yang baru saja terjadi dari bekas-bekasnya yang jelas terlihat, Ding Tao sudah mengambil sebuah potongan kayu dari api unggun dan membuat obor seadanya. Demikian juga yang lain, sembari berjalan mereka mencari-cari berkeliling, semakin lama semakin dekat dengan tempat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan berdiri. Keduanya sudah dalam keadaan yang sangat payah, tubuhnya sudaj rusak dari dalam oleh sebab penggunaan hawa murni yang berlebihan. Di saat yang sama, hanya simpanan hawa murni mereka yang berlimpah itu pula yang masih menopang kehidupan mereka sampai pada saat itu. Keadaan mereka tak ubahnya sebatang lilin yang sudah mau terbakar habis. Lilin yang membuat api terus menyala, tapi nyala api itu juga yang menghabiskan lilin, cepat atau lambat pastilah padam juga pada akhirnya. "Kami di sini", ujar Bhiksu Khongzhen dengan suara lembut. Mendengar suara Bhiksu Khongzhen itu, Ding Tao dan yang lainnya pun bergegas menghampiri. Alangkah hancur hati mereka ketika mendapati keduanya dalam keadaan kuyu, terlebih keadaan Pendeta Chongxan yang bukan saja mengalami luka di dalam, tapi juga belasan senjata rahasia yang menghiasi tubuhnya. "Tetua", cepat Ding Tao memburu ke arah mereka berdua. "Kakak", Zhu Yanyan dan Khongti tidak kalah cepat pula datang menolong. Dua orang jagoan tua itu pun kemudian dipapah untuk duduk bersender pada pohon-pohon yang ada di dekat mereka. Zhu Yanyan yang sedikit mengerti ilmu pengobatan, berusaha menolong sebisanya, dengan hatu-hati senjata rahasia yang menancap di tubuh Pendeta Chongxan dicabut untuk kemudian lukanya dibersihkan, ditaburi obat dan dibalut. Betapa pedih perasaan Zhu Yanyan, ketika membuka jubah luar dan baju Pendeta Chongxan, tubuh yang kurus dan renta itu masih harus dihiasi dengan luka-luka yang tidak ringan. Air mata tidak hentinya mengucur dari mata Zhu Yanyan. "Sudahlah memang sudah saatnya", ujar Pendeta Chongxan lemah. "Mengapa kalian justru berada di sini?", tanya Bhiksu Khongzhen yang keadaannya sedikit lebih baik dari Pendeta Chongxan. Ditanya demikian, menunduklah Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya, tak mampu menjawab pertanyaan Bhiksu Khongzhen. Tidak demikian dengan Ding Tao, dengan air mata bercucuran, pemuda itu menghaturkan hormat sambil membentur- benturkan kepalanya ke atas tanah, penuh sesal dia berkata. "Maafkan saya yang datang terlambat maaf maaf maaf" "Bocah tolol Bagaimana bisa kau mengatakan terlambat, jika seharusnya kau sudah berada puluhan li jauhnya dari sini?", jawab Bhiksu Khongzhen dengan suara lembut. "Kakak maafkan kami gagal menjalankan tugas kami", ujar Khongti dengan suara perlahan. "Sudahlah manusia berencana, langit yang menentukan", jawab Bhiksu Khongzhen tersenyum lembut. Pendeta Chongxan hanya diam saja sambil memejamkan mata, berusaha mengatur jalannya hawa murni melewati jalur- jalur energi yang sudah rusak parah. "Kakak apa yang harus kami lakukan sekarang?", tanya Zhu Yanyan putus asa tak mampu lagi berpikir, dia dan juga yang lain sudah cukup maklum dengan keadaan kedua orang tua itu. "Tidak ada yang bisa kalian lakukan, kecuali menjalankan rencana kita sebelumnya. Tidak perlu menghindari kenyataan, baik kalian maupun kami sendiri, toh sudah cukup maklum dengan keadaan diri kami saat ini", ujar Bhiksu Khongzhen lemah lembut, tak sedikitpun tersirat rasa takut menghadapi kematian. Zhu Yanyan dan yang lain termangu, hendak pergi tak tega, tidak pergi tidak ada pula yang bisa mereka lakukan. Tiba-tiba Pendeta Chongxan membuka matanya. "Tunggu sebentar, kukira kawanan serigala itu tidak akan kembali dalam waktu dekat. Ketua Ding Tao, kemarilah" Ding Tao pun datang menghampiri Pendeta Chongxan dengan hormat. "Apakah tetua ada satu pesan?" "Duduklah dekat di sini", ujar Pendeta Chongxan sambil menunjuk dekat kakinya. Ketika Ding Tao mengikuti perintahnya, cepat tangan Pendeta Chongxan bergerak dan mengunci telapak tangan Ding Tao dengan jari tepat di titik energi di tengah telapak tangan Ding Tao. "Diamlah, jangan melawan atau aku mati sia-sia." Bukan hanya Ding Tao yang terkejut, gerakan Pendeta Chongxan yang sebat di luar perkiraan setiap orang. Mereka semua yang menyaksikan pun terkejut sebelum diam oleh rasa haru. Di saat-saat yang terakhir Pendeta Chongxan mengalirkan simpanan hawa murninya yang tersisa ke dalam tubuh Ding Tao. Ding Tao tak tega untuk menerima, tapi juga tak tega untuk menolak. Pemberian ini sungguh terlampau besar dan menjadi beban yang berat dalam hatinya. Tapi menolak pun tak mungkin, karena seperti yang dikatakan Pendeta Chongxan, jika Ding Tao melawan atau mendorong balik hawa murni yang masuk, sama saja dia membunuh Pendeta Chongxan yang keadaannya sudah sangat lemah. Melihat apa yang dilakukan Pendeta Chongxan, Bhiksu Khongzhen tertawa perlahan dan berkata. "Ah dalam segala hal kau selalu selangkah lebih dahulu dariku." Belum selesai dia berucap, Bhiksu Khongzhen sudah pula berpindah ke sisi Ding Tao yang lain, meniru apa yang dilakukan Pendeta Chongxan dia pun mengalirkan sisa hawa murni yang masih ada padanya ke dalam tubuh pemuda itu. Tidak ada yang bisa dilakukan Ding Tao kecuali menerima pemberian itu dengan air mata bercucuran. "Tenangkan hatimu, kuasai pikiran dan kehendak, jangan biarkan hawa murni kami berkeliaran liar dalam tubuhmu", ujar Bhiksu Khongzhen dengan lembut, m engingatkan Ding Tao yang batinnya sedang mudah tergerak. Menyadari keadaan sendiri, Ding Tao pun berusaha keras untuk tidak menyia-nyiakan pengorbanan orang. "Tak perlu merasa sungkan, tak perlu merasa bersalah. Sebentar lagi kami akan mati, tubuh kami sudah tak kuat bertahan, lalu apa gunanya hawa murni yang kami kumpulkan puluhan tahun lamanya ini? Tenangkan hatimu, jika kau ingin membalas budi, inilah jalan yang terbaik.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan lembut. "Jangan merasa berhutang budi pada kami berdua, sebenarnya justru kami hendak meminta tolong pada Ketua Ding Tao, apa yang kami berikan tak lebih dari sebuah titipan dari kami. Dengarkanlah Zhu Yanyan berenam, pesan kami, permohonan, harapan, kami yang kami minta darimu mereka berenam sudah mendengarnya.", ujar Pendeta Chongxan menambahkan. "Saya mengerti keinginan tetua berdua, tentu akan kuusahakan meski harus mempertaruhkan nyawa.", ujar Ding Tao menjawab dengan sepenuh hati. "Yang kami minta justru memerlukanmu dalam keadaan hidup. Jadi jangan berpikir tentang kematian, carilah jalan kehidupan dan pikul beban yang kami berikan.", ujar Pendeta Chongxan dengan tegas. "Kami tidak butuh orang putus asa yang mencari kematian. Yang kami cari adalah lelaki tangguh yang berani hidup memikul tanggung jawab", ujar Bhiksu Khongzhen dengan suara tidak kalah tegasnya. "Mengerti mengerti", Ding Tao pun menjawab dengan sungguh-sungguh. Mendengarkan percakapan antara Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan dan Ding Tao, tiba-tiba Zhu Yanyan bangkit berdiri. "Adik, marilah kita bersihkan bekas-bekas kedatangan kita di tempat ini. Saat kita pergi nanti, janganlah ada petunjuk bahwa pernah ada orang lain selain tetua berdua dan lawan-lawannya yang menginjak tempat ini." Mendengar perkataan Zhu Yanyan, semangat yang lain pun jadi terbangkit, Hu Ban bangkit berdiri dan menjawab. "Kakak benar, bagaimana pun juga belum terlambat, jika Zhong Weixia dan rekan-rekannya berpikir bahwa kita sudah pergi jauh ketika mereka dihadang oleh tetua berdua, maka mereka pun akan membatalkan pengejaran dan segala usaha kita tidak terbuang sia-sia." "Hmmm benar juga, baik ayo kita kerjakan.", ujar Pang Boxi. "Hati-hati, hanya hapuskan keberadaan kita saja, jangan menghapuskan jejak tetua berdua atau yang lain", ujar Hu Ban sambil bergerak mulai menghapuskan keberadaan mereka, bekas jejak kaki mereka ketika memapah Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen, kuda-kuda mereka yang ditambatkan tak jauh dari sana dan segala sesuatunya yang tepikirkan. Mereka berenam bekerja dengan teliti, sementara mereka bekerja, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sudah selesai pula menyalurkan hampir seluruh simpanan hawa murni mereka ke dalam tubuh Ding Tao. Hanya tersisa sedikit untuk menyambung nafas mereka beberapa lama. "Ketua Ding Tao, sekarang tinggalkanlah tempat ini, jangan berpikir untuk kembali sebelum kau menemukan jalan untuk mengalahkan lawan.", kata Bhiksu Khongzhen. "Ingat, beberapa hari lagi, keadaanmu tentu akan mulai memburuk, di Desa Hotu ada tabib yang cukup hebat, kuharap dia bisa membantu.", sambung Bhiksu Khongzhen pula. Mendengar ucapan Bhiksu Khongzhen, tiba-tiba teringatlah Ding Tao dengan bungkusan yang diberikan Tabib Shao Yong. Bukankah pesan-pesan Tabib Shao Yong begitu jelas, jika dihubung-hubungkan dengan peristiwa yang terjadi sampai dengan sekarang. Jelas Tabib Shao Yong adalah bagian dari pengikut Murong Yun Hua, namun di saat yang sama dia juga mengasihi Ding Tao. Hanya saja bisakah dia mempercayai Tabib Shao Yong. Dengan tangan bergetar Ding Tao mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. Kemudian perlahan-lahan dibukanya, ada secarik surat di situ. "Ketua Ding Tao apa itu?", tanya Bhiksu Khongzhen ingin tahu, melihat perubahan di wajah Ding Tao tentu bungkusan itu punya arti yang penting. Kebetulan Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya juga sudah selesai dengan pekerjaan mereka dan baru saja datang. Mereka pun sama memandang ke arah Ding Tao penuh rasa ingin tahu. Dengan terbata Ding Tao pun menjelaskan dengan serba singkat tentang pembicaraannya dengan Tabib Shao Yong sebelum mereka pergi memasuki gedung tempat pernikahan Ding Tao akan dirayakan. "Ah, bukankah ada surat di situ, coba bacakan.", ujar Bhiksu Khongzhen pula. Ding Tao pun membuka secarik surat pendek yang disertakan bersama dengan bungkusan itu. Anak Ding Tao, saat kau membaca surat ini, mungkin kau dalam keadaan putus asa dan hilang semangat. Kuminta janganlah hilang harapan, selama masih ada kehidupan, selalu masih ada harapan. Nyonya Murong Yun Hua tidak akan membunuhmu, di sinilah kau memiliki kesempatan. Seperti yang dilakukannya pada Pendekar pedang Jin Yong, dia akan menawanmu dalam keadaan hidup-hidup. Pengaruh Obat Dewa Pengetahuan akan membuatmu tak ubahnya mayat hidup. Tapi dia tidak tahu kau memiliki obat ini, obat untuk menawarkan pengaruh buruk dari Obat Dewa Pengetahuan terhadap tubuhmu. Aku sudah menyelidiki ramuan ini sejak aku mendengar keputusan Nyonya Murong Yun Hua untuk memanfaatkan dirimu. Maafkan aku yang renta ini, aku terjepit antara hutang budi serta janji setia pada keluarga Murong dan kasihku padamu, sebagai seorang ayah pada anaknya. Pula kekuasaan keluarga Murong begitu besar, aku pun tak tahu, siapa-siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu. Ingat baik-baik, tunggu selama dua minggu sebelum kau meminum obat ini. Supaya ada waktu untuk membersihkan tubuhmu dari sisa-sisa Obat Dewa Pengetahuan. Masa dua minggu itu tentu sangat menyiksa, tapi tidak ada jalan lain, agar obat yang kuberikan bisa bekerja dengan sempurna. Ada begitu banyak yang ingin kusampaikan, tapi hal itu tidaklah mungkin kusampaikan dalam surat ini. Sabarlah, aku akan mencari-cari kesempatan untuk menemuimu diam-diam. Sejenak lamanya mereka semua terdiam, sampai Bhiksu Khongzhen memecahkan keheningan itu. "Bagus, bagus, jelas- jelas langit sudah memberi jalan dan bantuan. Aku yakin Ketua Ding Tao pasti berhasil melewati semua cobaan ini." "Ketua Ding Tao, hatiku sekarang merasa tenang. Kalian cepatlah pergi dari sini, jangan sia-siakan pertolongan dari langit. Sudah tidak ada lagi yang perlu dikuatirkan, bahkan pengaruh buruk Obat Dewa Pengetahuan pun sudah ada obatnya", ujarnya lagi penuh semangat. "Selain itu, jika kalian baca baik-baik, terlihat ada jalan untuk membersihkan nama Ketua Ding Tao dari fitnahan orang. Setidaknya membuat orang berpikir dua kali tentang siapa benar dan siapa yang salah.", tibat-tiba Pendeta Chongxan ikut menimbrung. "Menurut tetua berdua bisakah aku mempercayai Tabib Shao Yong?", tanya Ding Tao ragu-ragu, hatinya terbagi dua antara curiga dan percaya. "Aku yakin dengan ketulusan hatinya", jawab Pendeta Chongxan dengan mantap. "Percayalah pada kami, sekarang jangan buang waktu lagi lebih lama di sini. Pergilah cepat, sejauh mungkin sebelum kawanan serigala itu muncul kembali di sini.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan tegas. "Bagaimana dengan tetua berdua?", tanya Ding Tao dengan berat hati. "Tolol, bocah bodoh, masakan kau masih juga bertanya? Sekarang pergilah, sungguh hati kami sudah merasa tenang mendengar isi surat itu. Benar-benar satu penghiburan sebelum kami menutup mata untuk selama-lamanya.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa senang. "Pergilah, cepatlah pergi", sambung Pendeta Chongxan, senyumnya lemah karena kekuatannya sudha mulai memudar. "Ayolah pergi", ujar Zhu Yanyan sambil menggamit tangan Ding Tao. Dengan berat hati akhirnya Ding Tao pun berpamitan, membungkuk memberi hormat untuk ke sekian kalinya. Mengucapkan janji dan kata perpisahan. Betapapun berat hati mereka untuk meninggalkan tempat itu, pada akhirnya mereka pun pergi juga. Menderap pergi, jauh meninggalkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang duduk bersila menyambut kematian. "Saudara Khongzhen", ketika sudah tidak ada orang lagi, Pendeta Chongxan tiba-tiba berkata. "Ada apa?", tanya Bhiksu Khongzhen. "Aku menyesal di akhir hidupku ternyata aku membunuh orang lagi Setelah sekian lama hahh ternyata aku masih belum bisa menahan diri dan kelepasan tangan membunuh orang.", ujar Pendeta Chongxan dengan sedih. Bhiksu Khongzhen pun terdiam. "Hehh aku pun tidak lebih baik, jika tidak ada yang terbunuh oleh tanganku, itu bukan karena kelebihanku tapi lebih karena kemampuan mereka sendiri" Lama keduanya sama-sama terdiam, kemudian Bhiksu Khongzhen berkata lagi. "Saudara Chongxan, apakah menurutmu ilmu silat selamanya adalah ilmu untuk membunuh?" Pendeta Chongxan tidak dapat segera menjawab, ketika akhirnya dia menjawab, dia berkata. "Entahlah entahlah tapi kuharap tidak demikian, kuharap ilmu silat akan terus berkembang, cara pandang manusia terus berkembang dan filosofi seni membunuh pun bisa melampaui dirinya dan sampai pada tujuan yang lebih mulia." Keesokan paginya mayat mereka berdua pun ditemukan oleh Zhong Weixia yang pergi bersama-sama dengan orang banyak. Kabar yang tersiar keluar, keduanya mati terbunuh dalam sebuah pertarungan ketika berusaha menangkap Ding Tao hidup-hidup. Ada berbagai macam cerita, mulai dari ketangguhan Ding Tao yang di luar dugaan kedua jagoan tua itu, sampai kecurangan yang dilakukan Ding Tao untuk menang, bahkan ada pula cerita yang mengatakan bahwa Ding Tao mendapatkan bantuan dari orang luar. Kabar yang lebih mengejutkan muncul beberapa hari kemudian, yaitu kesepakatan dari lima perguruan besar yang ada, Hoashan, Shaolin, Kongtong, Enmei dan Kunlun untuk mengangkat Murong Yun Hua sebagai pengganti Ding Tao, dan mereka bersepakat untuk menurunkan ilmu-ilmu dari lima perguruan besar pada Murong Yun Hua. Hanya Wudang yang diam dalam masalah ini, pihak Wudang menyatakan perkabungan atas kematian Pendeta Chongxan dan menarik diri dari dunia persilatan selama waktu yang tidak ditentukan. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Menurut kabar burung, Murong Yun Hua ternyata sebenarnya menguasai ilmu tenaga dalam yang sangat dahsyat, di luar sepengetahuannya sendiri. Selama ini dia melatihnya hanya sebagai ilmu kesehatan dan untuk menjaga kecantikan. Kenyataan yang sebenarnya baru ketahuan secara tidak sengaja, ketika Bhiksuni Huang Feng memeriksa nadi Murong Yun Hua yang pingsan setelah kejadian heboh larinya Ding Tao dari Jiang Ling. Berdasarkan temuan itu, juga menilik kepribadian Murong Yun Hua dan sepak terjangnya selama ini, lima perguruan besar itu pun sepakat untuk memberikan kedudukan Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu pada Murong Yun Hua, karena untuk mengadakan pemilihan kembali waktunya sudah tidak memungkinkan. Satu minggu sudah berlalu, perjalanan ke Desa Hotu berjalan lancar tanpa halangan. Meskipun demikian masih butuh beberapa minggu sebelum mereka akan sampai di perbatasan, sebelum akhirnya sampai ke Desa Hotu. Mengikuti petunjuk surat Tabib Shao Yong, juga nasehat dari Zhu Yanyan, sampai dengan dua minggu berlalu Ding Tao lebih berkonsentrasi untuk membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa obat dewa pengetahuan. Zhu Yanyan berpendapat, sebaiknya Ding Tao juga menahan diri untuk tidak makan daging dan minum arak dalam waktu dua minggu itu. Selama dua minggu itu, Ding Tao hanya diperbolehkan makan sayur-sayuran dan akar-akaran. Tubuhnya pun menjadi semakin kurus, ditambah lagi dengan efek samping dari terhentinya konsumsi Obat Dewa Pengetahuan, wajahnya jadi kuyu, layaknya orang berpenyakitan. Bukan hanya sulit berpikir, tubuhnya pun terasa lemas dan sakit-sakitan di seluruh persendian. Di pagi dan siang hari, ketika mereka melakukan perjalanan Ding Tao akan duduk diam di dalam kereta atau tandu. Sesekali bila dia sudah merasa sangat bosan, maka dia pun meminta untuk keluar dan berjalan kaki. Tapi tidak sampai beberapa puluh langkah, tentu dia sudah kecapaian dan harus kembali duduk di dalam kereta. Tubuhnya yang tinggi membuat dia tampak jauh lebih kurus daripada yang sebenarnya, mata dan tulang pipinya menonjol keluar dan kulitnya berwarna pucat. Bukan hanya itu saja, dari hari ke hari, ingatannya makin sering datang dan pergi tak tentu arah. Pada setiap orang yang bertanya, Ding Tao diakui sebagai suami Wang Shu Lin yang menderita penyakit berat dan saat ini dalam perjalanan untuk mencari tabib sakti yang katanya terdapat di luar perbatasan. Jika ditanya siapa nama tabib sakti tersebut, maka mereka akan menjawab, bahwa mereka sendiri kurang tahu. Hanya saja sudah tidak ada jalan lain, setiap tabib yang mereka temui sudah mengangkat tangan, menyerah tak bisa menyembuhkan penyakit Ding Tao. Melihat wajah tampan yang kuyu itu, mudah saja orang merasa bersimpati dengan keadaan Ding Tao. Tidak ada yang berpikir inilah Ding Tao yang terkenal itu, karena sedikitpun kegagahannya tidak tersisa. Tidak ada yang bisa membayangkan tengkorak hidup itu mengangkat senjata apalagi bertarung dengan garang. "Kakak, ayo makan aku masakkan sup kentang untukmu.", ujar Wang Shu Lin sambil masuk membawakan makanan untuk Ding Tao. "Makan?", tanya Ding Tao seperti orang bingung. "Iya, makan, lihat apa yang aku masakkan untuk kakak hari ini. Memang Cuma sayur dan kentang, tapi aku sudah bumbui, kentangnya juga manis, cobalah pasti rasanya enak.", ujar Wang Shu Lin dengan ceria. "Makan ah ya makan terima kasih", jawab Ding Tao sambil memandangi sup yang dibawakan Wang Shu Lin. Lama dia hanya memandangi saja makanan yang sudah dibawakan Wang Shu Lin, sampai Wang Shu Lin kemudian bertanya. "Apa kakak mau aku suapi?" "Suap? tidak, tidak, aku bisa makan sendiri", ujar Ding Tao sambil menggelengkan kepala. Dengan canggung dia mengangkat mangkuk dan mulai makan dengan sumpitnya. Sesuap, dua suap, lalu berhenti dengan wajah berkerenyit. "Apakah tidak enak?", tanya Wang Shu Lin dengan nada sedih. "Aku mual", ujar Ding Tao. "Cobalah beberapa suap lagi, jika tidak, mana ada tenaga nanti", bujuk Wang Shu Lin dengan sabar. Siapa gadis ini?, tiba-tiba Ding Tao lupa siapa gadis yang memaksa dia untuk makan itu. Dipandanginya Wang Shu Lin lama sekali, sembari mengingat-ingat, Ah ya, dia setiap hari yang membawakan makanan. Dia juga tidak akan pergi kalau makanan ini belum habis. Tapi siapa dia? Siapa namanya?, dalam hati dia bertanya. Lama sebelum nama itu tiba-tiba muncul di benaknya, Wang Shu Lin ya namanya Wang Shu Lin. Teringat nama gadis itu dia merasa sedikit lebih baik, kembali dia makan beberapa suap, Tapi siapa dia? Lama dia berpikir sampai sebuah ingatan terlintas dalam benaknya, kemarin ketika pemilik penginapan bertanya tentang mereka, Dia isteriku Kebetulan waktu itu Wang Shu Lin mengaku dia sebagai isterinya, sedang Zhu Yanyan menjadi ayah mertuanya, Pang Boxi dan yang lain ada yang menjadi paman ada pula yang berlaku sebagai pelayan. Teringat hal itu, hati Ding Tao jadi sedih sekali, baik karena penyakitnya, maupun kesusahan yang harus ditanggung oleh "isterinya" Yang masih muda dan cantik itu. Betapa kaget Wang Shu Lin ketika Ding Tao tiba-tiba menarik dirinya, seberapa kuat sebenarnya Ding Tao, tentu saja tidak cukup kuat untuk menarik jatuh Wang Shu Lin ke dalam pelukannya. Namun antara terkejut dan terenyuh melihat keadaan Ding Tao, tubuh gadis itu terasa lemas dan jatuh begitu saja dalam pelukan Ding Tao. Gemetarankarena lemah, Ding Tao memeluk Wang Shu Lin dan membelai-belai rambutnya yang hitam tebal, sembari menciumi pipi gadis itu dengan air mata menetes dia pun berkata berulang-ulang. "Isteriku ah isteriku aku sudah menyusahkanmu" Berdebaranlah jantung Wang Shu Lin dalam pelukan pemuda itu, wajah yang tirus dan cekung, tidak mengurangi ketampanannya dalam pandangan Wang Shu Lin yang sudah jatuh cinta. Berada begitu dekat dengan Ding Tao tubuhnya terasa panas dingin, tapi juga terenyuh mendengar perkataan Ding Tao. Ah dia memang lelaki yang baik, andainya dia benar jadi suamiku, keluh Wang Shu Lin dalam hati. Wajah mereka satu dengan yang lain begitu dekat, betapa Wang Shu Lin menikmati kemesraan ini, dia masih ingat, setiap saat bisa saja salah seorang gurunya memergoki mereka. Tapi kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini? Sebentar lagi Ding Tao akan mulai meminum penawa Obat Dewa Pengetahuan, secepatnya ingatannya pulih kembali, tentu tidak akan ada lagi kejadian seperti ini. Wajah Wang Shu Lin tiba-tiba merah padam, sebuah keinginan muncul dalam hatinya, sebagian dari dirinya melarang untuk mengikuti keinginannya itu, tapi sebagian yang lain mendorongnya untuk melakukan hal itu. Jantungnya berdebar makin kencang, semakin dia berpikir untuk melakukannya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara Zhu Yanyan menyapa pemilih penginapan di luar. Entah setan dari mana yang datang, Wang Shu Lin pun mendekat dan mencium bibir Ding Tao dengan mesra. Ding Tao yang menganggap Wang Shu Lin sebagai isterinya, tentu saja menyambut ciuman itu dengan hangat. Sejenak lamanya Wang Shu Lin melayang-layang dalam sentuhan yang intim dan mesra itu, kemudian dia pun menarik diri, melepaskan diri dari pelukan Ding Tao dengan lembut. "Kakak, ayo cepat habiskanlah makanannya Bukankah kakak ingin cepat sembuh? Untuk dirimu sendiri, juga untukku", pintanya dengan mesra. "Ya..ya, aku aku habiskan tapi kau jangan pergi jauh-jauh" Jawab Ding Tao. "Tidak aku akan menunggu di sini ", jawab Wang Shu Lin dengan mesra. Tidak berapa lama Zhu Yanyan membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. "Bagaimana keadaannya?" "Seperti biasa sedangkan ingatannya sepertinya semakin buruk saja.", jawab Wang Shu Lin dengan sedih. Ding Tao pun memandangi Zhu Yanyan dengan pandangan mata kosong untuk beberapa lama sebelum tiba-tiba dia hendak bangkit berdiri dan memberi hormat. "Ayah mertua" "Tidak usah bangun, duduk sajalah, habiskan makananmu", ujar Zhu Yanyan buru-buru menopang tubuh Ding Tao yang goyah saat henda berdiri. Zhu Yanyan melirik Wang Shu Lin dengan alis terangkat, Wang Shu Lin pun wajahnya bersemu merah dadu dan mengangkat bahu. "Ayah, sudah kubilang, ingatannya semakin lama semakin buruk" "Benar ayah, maafkan aku bukan maksudku tidak sopan, tapi untuk beberapa saat aku tidak ingat siapa ayah.", ujar Ding Tao dengan wajah sedih. Telinga Zhu Yanyan yang tajam membuat dia tahu, pemilik penginapan sedang ada di depan pintu memasang telinga. Zhu Yanyan pun menggelengkan kepala dengan sedih, tidak tahu harus tertawa karena lucu atau menagis karena sedih. Sekarang dia jadi ayah mertua Ding Tao dan Wang Shu Lin jadi anaknya. Hendak meluruskan kesalah pahaman Ding Tao juga bukan urusan mudah, apalagi di depan ada telinga-telinga yang serba ingin tahu. Sudah bisa dia bayangkan, kisah sedih yang akan dibicarakan keluarga pemilik penginapan ini nanti malam. "Ya ya.. tak apa.. sudahlah kau baik-baik makan, jika nanti kita dapatkan obatnya tentu kau akan jadi baik kembali.", ucapnya dengan prihatin. "Shu Lin, kalau suamimu selesai makan, datanglah dahulu ke kamarku, ibumu ingin berbicara denganmu. Biarlah Boxi yang menjaga suamimu nanti.", ujar Zhu Yanyan pada Wang Shu Lin dengan hati rawan. Wang Shu Lin sudah bisa menduga untuk urusan apa dia dipanggil, dengan wajah bersemu merah dia menjawab. "Baik ayah apakah sebaiknya sekarang saja?" "Tidak usah, kau temani dulu suamimu sampai dia selesai makan. Nak, aku tinggal dulu ya, kau makanlah yang banyak", ujar Zhu Yanyan sebelum meninggalkan ruangan itu. Benar saja dugaan Zhu Yanyan, di depan kamar pemilik penginapan itu berpura-pura sedang menyirami pot bunga yang besar, padahal sejak tadi tentu telinganya dipasang baik-baik dekat pintu kamar. Sambil berbasa-basi sebentar Zhu Yanyan pun pergi kembali ke kamarnya sendiri, di sana sudah ada Shu Sun Er dan Hu Ban. "Hehh celaka celaka", keluh Zhu Yanyan begitu masuk ke dalam kamar. "Ada apa memangnya? Apakah keadaannya semakin buruk?", tanya Hu Ban. "Bukan itu, tapi celaka yang lain.", ucap Zhu Yanyan sambil menggelengkan kepala, kemudian dia pun bercerita apa yang terjadi barusan. Mendengar cerita Zhu Yanyan Hu Ban justru terkekeh geli. "Heheheh, bocah nakal itu tentu sekarang merasa sedang ada di awang-awang, pemuda yang dia cintai mengira dia adalah isterinya." "Jangan sembarangan, ini bukan lelucon, kalau sampai terjadi sesuatu bagaimana?", Zhu Yanyan menggerutu. "Kita nikahkan saja mereka berdua", jawab Hu Ban dengan entengnya. "Orang sableng! Jangan bicara sembarangan, bagaimana kalau setelah Ding Tao sadar dia menyesalinya? Jangan main-main urusan pernikahan.", sambar Shu Sun Er sembari memukul pundak Hu Ban. "Mana mungkin dia menyesal? Kalau dia menyesal berarti matanya buta, atau dia bukan laki-laki", jawab Hu Ban tidak mau kalah. "Hei Sun Er benar, kita harus berhati-hati, bagaimana pun juga aku tidak rela kalau muridku sampai salah langkah dalam hidupnya.", sahut Zhu Yanyan. "Jadi sekarang maunya bagaimana?", Hu Ban balik bertanya. "Kukira Wang Shu Lin sudah tidak bisa dibiarkan terlalu sering berduaan dengan Ding Tao.", jawab Zhu Yanyan. "Benar, aku akan lebih sering memperhatikan keduanya.", jawab Shu Sun Er. "Hmm aku sih percaya dengan Wang Shu Lin, lagipula pakah tidak aneh, kita sudah terlanjur mengatakan pada setiap orang bahwa Wang Shu Lin adalah isteri Ding Tao.", ujar Hu Ban menyanggah. Zhu Yanyan saling berpandangan dengan Shu Sun Er kemudian berkata. "Itulah susahnya aku pun inginnya percaya dengan Wang Shu Lin, tapi anak itu seringkali lebih mengikuti apa kata hatinya." "Aku percaya dia tidak akan membuat malu kita", jawab Hu Ban dengan tegas. "Hhh soal itu aku juga percaya, tapi seorang gadis yang sedang jatuh cinta? Aku khawatir otaknya sama tidak lurusnya dengan otak Ding Tao", ujar Shu Sun Er sembari menghela nafas. Hu Ban terkekeh geli mendengar otak Wang Shu Lin disamakan dengan otak Ding Tao. "Jadi bagaimana baiknya?" "Sudah kusuruh dia datang ke mari setelah Ding Tao selesai makan, Sun Er, kau nasehati dia baik-baik, kalian sama-sama perempuan tentu lebih leluasa untuk bercakap-cakap. Kemudian sebisa mungkin kita jangan meninggalkan mereka berduaan terlalu lama, setidaknya tentu itu akan membantu Wang Shu Lin untuk menahan diri dari godaan.", ujar Zhu Yanyan memutuskan. "Hehe, baiklah biar aku yang jadi pengawasnya, sepertinya seru juga melihat sandiwara ini.", ujar Hu Ban dengan ringan, dibalas Shu Sun Er dengan mata melotot. Di kamar Ding Tao sendiri, Wang Shu Lin memperhatikan pemuda itu dengan hati berdebar. Sikap dan perkataan Zhu Yanyan sudah cukup dia pahami, apalagi sebelumnya dia memang sudah melakukan sesuatu yang kurang pantas dengan Ding Tao. Dalam hatinya pun timbul peperangan batin, namun kegalauan itu tidak terlampau mengganggunya, sebagian besar dari dirinya masih terbuai dengan ingatan akan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Ding Tao. Tidak mengapa, sedikit saja.., sebentar saja, tidak lama lagi dia akan kembali ingat dan kami akan kembali berjauhan meski dekat, terpisah oleh sebuah pembatas yang tak terlihat. Ya sedikit saja aku ingin merasakan kedekatan itu, aku toh masih bisa menjaga diri agar tidak melampaui batas, pikir Wang Shu Lin menghibur dirinya sendiri. Mendapatkan ketetapan itu, hatinya jadi jauh lebih tenang, ketika Ding Tao sudah selesai makan, dia pun menghampirinya dengan mesra. "Nah sekarang, kakak beristirahatlah lebih dahulu, aku hendak pergi menemui ibu." "Baiklah apakah nanti kau akan kembali?" Tanya Ding Tao sambil memegangi tangan Wang Shu Lin. "Entahlah, kita lihat saja nanti", jawab Wang Shu Lin dengan lembut dia membantu Ding Tao berbaring ke atas pembaringan. Sekali lagi mereka begitu dekat, tubuhpun terasa hangat. Tanpa ragu Wang Shu Lin membaringkan kepalanya di atas dada Ding Tao beberapa lama, lalu mengecup bibirnya dengan mesra sebelum pergi meninggalkan Ding Tao sendiri dalam ruangan. Satu ingatan seperti hendak muncul dalam benak Ding Tao, ingatan tentang kemesraan dengan isterinya. Sebuah percintaan yang panas membara, hingga mengingatnya saja membuat darahnya bergejolak. Apakah itu Wang Shu Lin? Tentu saja itu Wang Shu Lin, siapa lagi jika bukan dia? Kepalanya terasa pening karena terlalu banyak berpikir, Ding Tao pun akhirnya memejamkan mata, satu-satunya saat di mana dia bisa bebas dari penderitaan, meskipun tidurnya pun seringkali pendek-pendek dan penuh dengan kesakitan dan mimpi buruk yang tidak dia mengerti keesokan paginya. Di saat Ding Tao tidur, Wang Shu Lin sedang duduk manis di depan gurunya Shu Sun Er. "Anak Shu Lin, apakah kau tahu mengapa gurumu mmeintamu untuk datang menghadap?", tanya Shu Sun Er langsung pada masalahnya. "Murid bisa menduga guru, tentunya ini masalah hubunganku dengan Ketua Ding Tao.", jawab Wang Shu Lin. "Bagus, kau memang murid yang cerdas, kebetulan juga watak kita berdua sedikit mirip, jadi kukira pembicaraan ini tidak perlu berputar-putar. Katakanlah padaku benarlah pengamatan kami bahwa kau menaruh hati pada pemuda itu?", kata Shu Sun Er. Ditanya demikian, jantungnya berdegup dan wajahnya terasa panas, Wang Shu Lin menjawab dengan pipi memerah. "Benar guru." Shu Sun Er menghela nafas lalu membelai rambut muridnya itu penuh rasa sayang. "Tak perlu kau malu atau menutupi apa-apa dari gurumu ini. Dia memang pemuda pilihan, tidak heran jika kau jatuh hati padanya. Mungkin kau lupa, tapi watak ayahmu sedikit banyak ada kemiripannya dengan dia." "Benarkah itu guru?", tanya Wang Shu Lin sambil mencoba mengingat-ingat sosok ayah yang sudah meninggalkan dia saat usianya masih sangat muda. Shu Sun Er tertawa lembut, matanya menerawang mengingat sosok ayah Wang Shu Lin ketika dia masih hidup. "Ya, ada kemiripannya, meskipun ayahmu lebih pandai bicara dari pemuda itu, tapi kukira dia menggemari ilmu silat sama seperti ayahmu menggemari ilmu sastra. Selebihnya sifat mereka hampir tak ada bedanya." Untuk sesaat lamanya, dua wanita beda generasi itu sama-sama terdiam, berusaha mengenang sosok seorang yang sudah lama meningalkan mereka. Ingatan Shu Sun Er tentu saja jauh lebih hidup dan berwarna. Yang teringat oleh Wang Shu Lin hanyalah ingatan samar tentang seorang ayah yang penyabar dan suka tertawa, bertubuh tinggi juga tampan. Apa benar dia mirip Ding Tao? Entahlah, tapi mungkin itu sebabnya dia menyukai Ding Tao sejak pertama kali mereka bertemu. Semakin dia mengingat ayahnya, semakin yakin dia dengan ucapan gurunya, semakin pula dia jatuh hati pada Ding Tao. "Tapi kau harus tahu, cintamu bisa jadi cinta yang tak berbalas.", ucap Shu Sun Er tiba-tiba, menarik kembali Wang Shu Lin keluar dari khayalannya. Wang Shu Lin terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku tahu guru aku tahu itu Dia sudah beristeri, kalaupun isterinya mengkhianati dia belum berarti aku memiliki kesempatan karena dia juga sudah memiliki cinta pertamanya sendiri." "Kalau kau sudah mengerti itu, mengapa kau masih saja berkeras dengan cintamu padanya? Padamkan saja api cinta itu Shu Lin, karena itu hanya membawamu pada kesengsaraan dan penderitaan.", kata Shu Sun Er prihatin. Wang Shu Lin menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa guru aku tidak bisa" Shu Sun Er menghela nafas. "Ai sudahlah, hati memang sulit dikendalikan, aku pun tak akan memintamu untuk melupakan cintamu padanya. Tapi Shu Lin, kau harus berhati-hati, jangan sampai kau melupakan kehormatanmu sebagai seorang wanita. Gurumu Hu Ban mengarang cerita untuk menutupi perjalanan kita, aku tahu maksudnya tidaklah buruk. Dia sayang padamu seperti juga kami semua, hanya saja pandangannya tentang nilai-nilai terlalu longgar. Apa kau mengerti maksudku Shu Lin?" "Maksud guru, tentang sandiwara kita, bahwasannya aku berpura-pura menjadi isteri Ketua Ding Tao?", tanya Wang Shu Lin masih dengan mata sedikit membasah. "Ya. Dan kudengar dari gurumu Zhu Yanyan, Ding Tao saat ini mengira kau benar-benar adalah isterinya, benarkah itu?", tanya Shu Sun Er. "Be benar guru", jawab Wang Shu Lin sedikit terbata. "Apakah kau merasa senang dengan keadaan seperti ini?", tanya Shu Sun Er, matanya tajam mengawasi setiap gerak tubuh dari muridnya. "Tentang itu aku murid", Wang Shu Lin berusaha menjawab dengan jujur namun rasanya terlalu memalukan untuk berkata. "Kau merasakan cintamu berbalas, sikapnya yang mesra padamu membuatmu seakan hidup dalam mimpi yang indah, impianmu untuk hidup bersanding dengannya sebagai suami isteri yang selama ini bagimu tidak lebih dari sebuah khayalan sekarang menjadi kenyataan. Benarkah demikian Shu Lin?", tanya gurunya dengan lembut tanpa nada menghakimi, melainkan sekedar menggambarkan apa yang dirasakan muridnya. "Benar guru Guru sungguh murid tidak pernah membayangkan akan jadi seperti ini, murid juga tahu setelah dia meminum penawar Obat Dewa Pengetahuan, tentu sikapnya akan berubah 180 derajat. Tapi, tidak bolehkah aku menikmatinya, walau sebentar saja. Setidaknya dalam waktu 1 minggu ini aku bisa merasakan, impianku jadi kenyataan.", jawab Wang Shu Lin dengan nada mengiba. "Anak bodoh, jika hanya karena mengikuti keinginan hati, kau tidak menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita bagaimana jawabmu pada guru dan nenek moyangmu?", tegur gurunya "Guru, aku tidak akan pernah mencintai lelaki lain. Jika aku akan menikah, aku hanya akan menikah dengannya. Dalam hati dia sudah benar-benar kuanggap sebagai suamiku sendiri, jika sekarang dia memandang aku sebagai isterinya, itulah satu-satunya masa dalam hidupku di mana itu bisa terjadi.", keluh Wang Shu Lin. "Shu Lin, tapi itu semua adalah semu semata, kemesraannya padamu, bukankah kemesraan yang dia ingat dengan isterinya? Cintanya padamu saat ini, adalah cintanya untuk orang lain, bukan untuk dirimu.", ujar Shu Sun Er mengingatkan. Diingatkan demikian, pecahlah tangis Wang Shu Lin, meski tak terdengar suara isakannya, namun air matanya meleleh juga akhirnya. Dengan sedih dia merebahkan kepalanya di atas dada gurunya yang memeluknya dengan rasa sayang. "Maafkan aku guru tapi tapi aku sudah terbawa suasana aku tidak bisa berpikir lurus aku sudah sudah", ujar Wang Shu Lin terbata-bata. Betapa terkejut hati Shu Sun Er, namun wanita yang sudah cukup kenyang dengan pahit manisnya kehidupan ini masih bisa menahan hatinya dan bertanya hati-hati. "Apa yang sudah kau lakukan?" Dan Wang Shu Lin pun menceritakan smua apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Ding Tao sebelum Zhu Yanyan datang, perasaannya, ketakutannya tapi juga keinginan hatinya sampai pada apa yang kemudian dia lakukan. Dalam hati Shu Sun Er pun menghela nafas lega, karena kejadiannya belum sejauh yang dia khawatirkan. Tapi juga sekaligus khawatir dan sedih karena kekhawatiran mereka semua bukannya tak berdasar. Cukup lama dia biarkan Wang Shu Lin menumpahkan segala isi hatinya. Ketika gadis itu sudah mulai tenang barulah Shu Sun Er mulai bicara. "Muridku kau selalu berkata, setelah satu minggu ini lewat, semuanya akan kembali seperti sebelumnya. Kau akan diam menyimpan cintamu dan kenangan indah bersamanya dan dia dengan urusannya sendiri tanpa perlu tahu apa yang kau rasakan." "Benar guru biarlah satu minggu ini saja untukku, karena dia memang bukan milikku.", jawab Wang Shu Lin. "Shu Lin Shu Lin kau tak tahu apa yang kau bicarakan, dulu aku pun pernah berpikir demikian, meski nasib tidak memberikanku kesempatan yang satu minggu itu. Tapi hidup dengan cinta yang tak berbalas adalah hidup penuh penderitaan apalagi jika kau terus mengikatkan dirimu pada cinta itu", ujar Shu Sun Er dengan sedih. Wang Shu Lin memandang gurunya ingin tahu, baru kali ini dia mendengar gurunya Shu Sun Er bicara tentang cinta. Melihat pandang mata Wang Shu in, Shu Sun Er tersenyum sedih. "Aku mencintai ayahmu Shu Lin, bahkan sampai sekarang pun dialah satu-satunya cinta dalam hidupku tapi dia mencintai ibumu. Jangan berpikir yang buruk, tidak pernah lewat dalam benakku sedikitpun untuk merebut cintanya. Aku mengatakan ini semua padamu sekarang, hanya agar kau mengerti, bahwa aku bisa memahami perasaanmu." Mendengar pengakuan gurunya, berbagai macam perasaan timbul dalam hati Wang Shu Lin, tapi pada akhirnya yang menang adalah rasa iba dan rasa senasib sepenanggungan. Sambil mengeluh perlahan dia sekali lagi memeluk gurunya, namun kali ini bukan untuk menumpahkan kegalauannya, tapi lebih pada keinginan untuk berbagi kekuatan dan duka. "Oh guru aku tidak pernah tahu", keluh gadis itu. "Hahaha, sudahlah, aku toh sudah tidak muda lagi dan tidak seperti dirimu aku sudah tidak terikat dengan cinta. Tapi justru karena itu aku bisa mengatakan padamu, jalan yang kau pilih adalah jalan yang penuh kesusahan. Sebisa mungkin Shu Lin, lupakan cintamu, kau masih muda dan masih banyak kesempatan untuk mendapatkan cinta yang lain.", ujar Shu Sun Er sambil menepuk-nepuk punggung muridnya dengan sayang. Kemudian Shu Sun Er berkata kembali. "Tapi aku juga tahu watakmu tak jauh berbeda dengan watakku, karenanya aku tahu, kau pasti tidak akan mau melupakan cintamu ini, meski kau tahu cintamu itu hanya membawa penderitaan saja." Wang Shu Lin hanya terdiam mendengar perkataan gurunya, tidak menyanggah, tidak pula menjawab, hanya diam menundukkan kepala. "Karena itu aku tidak akan berkata apa-apa lagi padamu mengenai hal itu. Juga selama satu minggu ini, aku pun tidak akan mengatakan apa-apa, hanya saja pintaku, kau tetap menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita. Kamipun sebagai gurumu tentu akan ikut memasang mata dan telinga, kukira tanpa kuberitahu pun kau mengerti.", kata Shu Sun Er. Wang Shu Lin menganggukkan kepala. "Aku mengerti guru aku juga mengerti untuk menjaga kehormatanku, tapi aku tidak berani berjanji apa-apa. Terkadang terkadang hatiku berbicara lebih lantang dari pikiranku." "Aku mengerti tapi Shu Lin, kau juga harus waspada, terkadang pikiran yang keruh sulit membedakan mana yang kata hati dan mana yang godaan nafsu belaka. Setelah ini, kau pergilah bermeditasi, sungguh-sungguh kau berusaha tenangkan pikiranmu dan tiliklah kembali apa yang terjadi hari ini. Apakah murni itu kata hatimu, ataukah nafsu ikut berbicara dengan menyamar sebagai cinta yang suci.", ujar Shu Sun Er dengan tegas. Wang Shu Lin tercenung dengan rasa malu ingin dia menepiskan segala ucapan gurunya, tapi juga rasa hormat pada gurunya membuat dia sungguh-sungguh dalam mendengarkan nasihat gurunya itu. Pada akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh. "Aku mengerti guru aku akan melakukannya." Shu Sun Er menatap muridnya dengan tegas tapi juga jelas memancar perasaan sayangnya pada gadis itu. "Baguslah, sekarang kau pergilah bermeditasi dan renungkan perkataanku barusan." "Baik guru, aku pamit dulu kalau begitu", ujar Wang Shu Lin, memberi hormat kemudian beranjak pergi dari ruangan. Ketika tangannya sudah hendak membuka pintu, tiba-tiba Shu Sun Er berkata. "Shu Lin, kau berkata setelah satu minggu lewat dia akan lupa, tapi kukira belum tentu demikian, bisa jadi apa yang terjadi satu minggu ini akan teringat pula olehnya. Entah apa akibatnya, tapi kau ingatlah ada kemungkinan dia mengingatnya." Wang Shu Lin merasa darahnya berdesir kencang mendengar perkataan gurunya, tapi cepat dia mengendalikan diri, "Baiklah guru, aku akan pikirkan semuanya itu." "Ya, aku percaya padamu. Sekarang pergilah bermeditasi.", ujar Shu Sun Er pula. Begitu keluar Wang Shu Lin bertemu dengan Zhu Yanyan dan Hu Ban yang berjaga di depan kamar sambil bermain catur. "Guru", kata Wang Shu Lin perlahan, dia yakin kedua gurunya pasti mendengar juga percakapan mereka di dalam. "Hmm pergilah bermeditasi ", ujar Zhu Yanyan sambil menepuk tangan gadis itu. Sekilas Wang Shu Lin memandang wajah Hu Ban yang terlihat muram, dalam hati Wang Shu Lin ikut bersedih untuk gurunya itu, Dia bukannya tidak tahu Hu Ban menyimpan hatinya untuk Shu Sun Er, pengakuan Shu Sun Er tadi pasti menyakiti hatinya. Atau mungkin sebenarnya gurunya itu pun sudah lama menyadarinya? Mungkin itu juga sebabnya dia bersikap malas dan menganggap ringan segala urusan. Tapi tetap saja, dia tentu tergetar juga mendengar pengakuan Shu Sun Er tadi, karena selamanya Shu Sun Er tak pernah mengungkapkan secara terang-terangan isi hatinya. "Baiklah aku pamit dulu guru", ucap Wang Shu Lin sembari memberi hormat. "Ya Shu Lin kami tidak menyalahkanmu sedikit pun, masalah hati memang masalah yang rumit. Kami hanya berharap kau tidak mengambil jalan yang salah karenanya.", ujar Zhu Yanyan. "Aku mengerti guru terima kasih untuk perhatian guru sekalian.", jawab Wang Shu Lin. "Ya ya, kami percaya padamu", ujar Zhu Yanyan. "Shu Lin aku mengerti perasaanmu, dengarkanlah nasehat gurumu Sun Er, dia pun pasti mengerti perasaanmu.", tiba-tiba Hu Ban ikut bicara. Zhu Yanyan pun menghela nafas sedih, meski dia tidak ikut mengalami masalah percintaan tapi dia bisa membayangkan perasaan mereka. Sejak kecil dia sudah memasuki Wudang untuk menjalani kehidupan membiara, meski seorang pendeta Tao tidak dilarang untuk beristeri, tapi tidak jarang juga yang memilih untuk hidup selibat dan Zhu Yanyan entah mengapa sejak kanak-kanak sudah terpikat dengan kehidupan yang demikian. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ada masanya dia mulai tertarik dengan lawan jenis, namun masa-masa itu singkat dan dengan cepat pendalaman ilmu agama dan limu pedang mengalihkan perhatiannya. Satu minggu itu pun berlalu dengan berbagai macam pertentangan batin, baik bagi Wang Shu Lin juga bagi ke-enam gurunya. Hanya Ding Tao yang benar-benar menikmati waktu yang satu minggu itu. Otaknya yang susah diajak berpikir dan mengingat hal-hal yang lampau, justru membuat dia terhibur dengan keberadaan Wang Shu Lin yang mendampingi dia sehari-hari. Pengkhianatan Murong Yun Hua, kematian para pengikutnya bahkan kematian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, adalah peristiwa yang terlalu lampau bagi Ding Tao untuk mengingatnya. Satu-satunya penderitaan yang dia rasakan adalah keadaan tubuhnya yang sangat lemah, persendian yang ngilu-ngilu dan nafsu makan yang hilang. Tapi semuanya itu bisa dia tanggung dengan keberadaan Wang Shu Lin yang selalu mendampingi dia sejak dia bangun dari tidurnya sampai dia tertidur kembali. Wang Shu Lin yang sangat menghormati guru-gurunya, mengikut nasehat mereka baik-baik. Direnungkannya setiap gejolak hati dan perasaan yang timbul dalam dirinya. Dipilahnya, dipertanyakannya dan diselidikinya, dengan hati-hati dia berusaha berjalan menurut hati nuraninya, meski ada kalanya pula dia terlena dengan keadaan dan penjagaannya pun melonggar. Namun sampai pada waktunya Ding Tao mulai meminum penawar Obat Dewa Pengetahuan, Wang Shu Lin masih bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita. Tiga hari terakhir menjelang berakhirnya waktu yang dua minggu itu, Zhu Yanyan memutuskan bahwa sebaiknya mereka mencari tempat yang baik untuk tinggal selama beberapa waktu. Perjalanan mereka pun terhenti di sebuah kota kecil di daerah utara, sebenarnya mereka sedikit segan berhenti di kota yang kecil karena kedatangan mereka jadi begitu mencolok. Namun Zhu Yanyan sendiri berkeras agar mereka bisa menetap setidaknya selama beberapa hari sebelum dan sesudah Ding Tao memulai pengobatannya. Setidaknya Wang Shu Lin sudah cukup lama hidup di daerah utara, sehingga dari kebiasaan maupun cara berbicara, cukup sesuai dengan cerita yang mereka karang. Bahwa mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah mereka di daerah dekat perbatasan di utara, setelah pergi untuk berobat di ibu kota. Tapi tetap saja, rombongan mereka yang cukup besar, menarik perhatian orang. Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo