Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 56


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 56


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Baik, maaf jika pada akhirnya aku percayakan sisanya pada tetua sekalian.", jawab Ding Tao.   "Hm..   tidak masalah, kulihat sekarang kau sudah tumbuh jadi lebih dewasa, sungguh pantas untuk menjadi pemimpin sebuah partai.", ujar Zhu Yanyan dengan bangga.   "Ya, kami semua bangga padamu, sekarang pergilah menyepi, jangan pikirkan macam-macam, kami yang tua ini pun masih punya semangat, kau tidak perlu khawatir.", ujar Chen Taijiang sambil tersenyum, aneh kali ini mukanya tidak terlihat sedih.   "Ya, aku percaya pada tetua sekalian, juga padamu Nona Wang Shu Lin.", ujar Ding Tao tiba-tiba mengalihkan perhatiannya pada Wang Shu Lin.   Tentu saja Wang Shu Lin jadi berdebar-debar, sejak Ding Tao bebas dari pengaruh buruk Obat Dewa Pengetahuan dia menjauhkan diri dari Ding Tao, demikian pula pemuda itu.   Tiba-tiba sekarang Ding Tao menegurnya secara langsung.   Apalagi kemudian Ding Tao berkata.   "Tetua sekalian, kalau boleh aku minta ijin untuk berbicara berdua saja dengan murid kalian." "Hm.. tentu saja boleh, pergilah kalian berdua, kami percaya kalian berdua sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan urusan kalian sendiri.", ujar Shu Sun Er dengan wajah cerah. "Eh guru aku toh tidak ada yang hendak dibicarakan", ujar Wang Shu Lin tiba-tiba merasa gugup dan tidak memiliki keberanian untuk berdua saja dengan Ding Tao. "Jangan bodoh, pergilah sana, tak pernah kulihat kau sepenakut ini.", ujar Shu Sun Er sambil mendorong Wang Shu Lin pergi. Ding Tao sudah mendahului berjalan keluar dari rumah, Wang Shu Lin yang sedikit terlambat di belakang masih menoleh sekali lagi pada guru-gurunya. Mereka pun memberi tanda dengan tangan, menyuruh gadis itu pergi bersama Ding Tao. "Moga-moga ada kepastian dengan hubungan mereka berdua", ujar Hu Ban berharap. "Entahlah, Ding Tao yang sekarang memang sudah jauh lebih dewasa, tapi seringnya seorang laki-laki yang tahu tanggung jawab dan berada dalam posisi sepertinya, wanita jadi berada pada urutan yang ke sekian", ujar Shu Sun Er dengan mata jauh menerawang. "Hmm lalu mengapa kau tadi terlihat begitu senang, masakan kau berharap Wang Shu Lin patah hati?", tanya Pang Boxi pada Shu Sun Er. Shu Sun Er tersenyum.   "Lelaki bukan cuma satu orang, yang kuharapkan hanyalah agar Ding Tao tidak menggantung terus Anak Shu Lin, jika jadi ya jadi, kalau tidak ya tidak. Dengan begitu Anak Shu Lin pun bisa berjalan ke depan dan tidak terus menerus menantikan sesuatu yang tak pasti."   Hu Ban menengok ke arah Shu Sun Er, kemudian kembali memandang ke arah perginya Wang Shu Lin, perlahan dia menghela nafas.   "Kau benar dia masih muda, masih sangat muda sayang jika waktu harus berjalan terus untuk menantikan yang tidak mungkin." "Hei apa kau menyindirku?", tanya Shu Sun Er sambil melirik ke arah Hu Ban. "Oh tidak, tidak", ujar Hu Ban sambil tersenyum kecut. Tiba-tiba Shu Sun Er tampak melembut perlahan dia bilang.   "Aku bukannya tidak mengerti perasaanmu tapi kita sudah tua, jadi biarlah kita simpan saja perasaan ini dalam hati." "Hei hei jika kalian berdua sudah tua, lalu bagaimana denganku? Aku tidak mau menjadi tua.", keluh Chen Tai Jiang membuat mereka tertawa geli. "Hahaha, tapi perkataan Adik Taijiang kali ini ada benarnya, sudah lama kami mengamati kalian berdua, sebagai saudara kami pun merasa sedih. Kalau memang Adik Sun Er sudah berpikir demikian, kenapa juga harus berhenti sampai di sini. Kita toh sudah tua, sudah bisa memandang segala sesuatunya dengan lebih matang, tahu mana yang berlebihan dan mana yang wajar.", ujar Khongti sambil mendorong bahu Hu Ban. Hu Ban sudah berumur, tapi masih bisa juga tersipu malu, mengumpulkan segenap keberaniannya dia pun mendekati Shu Sun Er dan berkata.   "Adik Sun Er, mungkin kau pandang ini tak perlu, tapi tapi jika kau tidak keberatan aku berharap kita bisa "   Mengambil nafas dalam-dalam Hu Ban kemudian berkata.   "Sun Er, menikahlah denganku." "Nah begitu baru benar", ujar Pang Boxi sambil menepuk pundak Hu Ban, diikuti Khongti dan Chen Taijiang, tentu saja dengan berbagai komentar. Zhu Yanyan hanya ikut tertawa saja, sementara Shu Sun Er jadi tersipu malu. "Kalian ini semua, rambut kalian saja sudah beruban, tapi tingkah kalian masih seperti anak-anak.", ujarnya sambil menggelengkan kepala dan bergerak hendak pergi. Tapi buru-buru Hu Ban menahan lengannya.   "Adik Sun Er, tunggu sebentar, jangan salah mengerti, aku tidak lupa dengan umur kita, aku hanya berharap, bisa menghabiskan sisa umurku sebagai suamimu."   Shu Sun Er bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata Hu Ban, langkah kakinya pun terhenti dan ketika matanya bertemu pandang dengan mata Hu Ban, hatinya pun tersentuh, sudah sedemikian lama Hu Ban menanti dirinya, seberapa besar rasa cinta Hu Ban tidak bisa dia pikirkan.   Setelah lama mereka saling memandang, akhirnya Shu Sun Er melepaskan tangannya dari genggaman Hu Ban dengan lembut, dan berkata.   "Ya sudahlah terserah kalian, tapi aku tidak mau pesta macam-macam, awas saja kalau kalian berani membikin pesta yang berlebihan."   Mendengar jawaban Shu Sun Er itu pun, Khongti, Chen Taijiang dan Pang Boxi bersorak-sorak, sementara Hu Ban dan Zhu Yanyan tertawa bahagia.   Tetua Shen sebagai orang luar sedikit banyak bisa meraba hubungan di antara mereka berdua ikut merasa bahagia dan tertawa.   "Apakah kita perlu mengundang orang-orang di desa?", tanyanya.   "Tidak, jangan, cukup kita sendiri saja, jangan membuatku malu, masa sudah setua ini masih juga mencari suami.", ujar Shu Sun Er sambil cepat-cepat pergi dengan wajah mulai memerah karena malu.   Sorakan dan godaan Khongti, Chen Taijian dan Pang Boxi masih bisa didengarnya ketika dia berjalan menjauh, meski di mulut dia memaki, namun dalam hati Shu Sun Er pun merasa bahagia.   Di tempat lain Wang Shu Lin sedang berdebar-debar duduk di dekat Ding Tao yang tampak jauh lebih dewasa.   "Ini tidak mudah", ujar Ding Tao membuka percakapan.   " tidak apa jika tidak dibicarakan", ujar Wang Shu Lin suaranya berbeda jauh dengan saat dia menjadi Ximen Lisi.   "Tidak, aku berhutang budi padamu, aku bersalah jika mendiamkan saja masalah ini.", ujar Ding Tao lembut tapi juga tegas.   Tiba-tiba perasaan Wang Shu Lin seperti tenggelam dan dia pun kehilangan kekuatan untuk berkata-kata.   "Nona Wang Shu Lin, apakah aku salah jika aku menduga bahwa nona menaruh hati padaku?", tanya Ding Tao hati-hati.   Lama Wang Shu Lin tidak menjawab dan Ding Tao pun menanti dengan sabar menunggu jawaban darinya.   Akhirnya Wang Shu Lin mendapatkan kekuatan untuk menjawab.   "Tidak tidak salah apakah Kak Ding Tao tidak merasakan hal yang sama?, suara Wang Shu Lin bergetar dan hampir- hampir tak terdengar.   Ding Tao pun menghela nafas dalam-dalam.   "Maafkan aku nona, tapi aku tidak bisa membalas perasaan nona."   Terisak Wang Shu Lin pun bergerak hendak meninggalkan tempat itu.   Tapi tangan Ding Tao dengan cepat menahannya dengan lembut.   "Nona, tunggu dulu" "Ada apa lagi Ketua Ding Tao?", tanya Wang Shu Lin menahan isak.   "Nona betapa mudah bagiku untuk jatuh cinta padamu dalam segala hal, nona ini adalah wanita di antara wanita.   Hanya saja memang sengaja aku tutup hatiku dari Nona Wang Shu Lin.   Nona tentu tahu sejarah kelamku, cinta pertamaku, pernikahanku.   Kalaupun aku buka hatiku, di dalamnya sudah ada banyak cinta, terbagi dengan yang lain.", Ding Tao berkata dengan lembut, tangannya tegas menggenggam tanpa terlalu keras meremas.   "Nona Wang Shu Lin, sesungguhnya aku merasa bersalah pada nona jika aku terima cinta nona, sementara dalam hidupku, nona bukanlah yang satu-satunya.   Bahkan pada Adik Ying Ying pun, aku sedang berpikir untuk melepaskannya.   Dia pun seorang gadis yang baik, dia pantas mendapatkan cinta yang sepenuhnya, yang utuh dari seorang pemuda yang baik.   Bisakah nona mengerti itu?", tanya Ding Tao pada Wang Shu Lin.   "Entahlah, aku tidak sebijak tuan, jadi sulit buatku untuk mengerti.", jawab Wang Shu Lin dengan hati tak karuan.   Memang benar dia sudah siap untuk mencintai Ding Tao dari kejauhan, tapi dalam hatinya juga masih berharap.   Percakapan ini, menghapuskan harapan itu dan dia sendiri tidak bisa mengerti apa perasaannya saat ini.   Sakit dan malu, tapi dia juga tidak bisa membenci Ding Tao.   "Lalu mengapa tentang Nona Huang, tuan masih berpikir, sedangkan bagiku dengan mudahnya tuan membuat keputusan? Tidak ingatkah tuan, apa yang terjadi di kaki Gunung Songshan?", tiba-tiba ada rasa tidak mau terima yang muncul dan bertanyalah dia.   Di luar dugaan Ding Tao tiba-tiba menarik gadis itu ke dalam pelukannya.   "Nona betapa mudah bagiku untuk mencintaimu", bisiknya di telinga Wang Shu Lin, membuat perasaan gadis itu semakin kacau.   "Tapi aku percaya dan aku memutuskan, biarlah di antara kita yang ada hanyalah hubungan kasih antara seorang kakak dengan adiknya.   Apakah itu bukan kasih yang lebih murni dari kasih antara lelaki dan wanita yang biasanya mengharapkan sesuatu?", bisik Ding Tao dengan lembut.   "Aku juga ingat di kaki Gunung Songshan ada seorang pemuda yang sangat mencintaimu.   Tidak bisakah kau buka hatimu untuknya? Jika Adik Shu Lin bisa membuka hati untuknya, aku yakin dengan mudah Adik Shu Lin bisa mencintainya.", kembali Ding Tao berbisik lembut.   Hati Wang Shu Lin yang mulai terhibur, kembali terasa mengkal mendengar bujukan Ding Tao itu, dia pun meronta hendak lepas dari pelukan Ding Tao sambil berujar.   "Supaya aku melupakanmu, supaya kau bisa kembali pada dua orang isterimu dan kekasih mu itu kan?"   Tapi Ding Tao tidak hendak melepaskan pelukannya, justru dia mempererat pelukannya itu.   "Shu Lin Shu Lin cobalah berhenti berpikir rasakan saja, rasakan ketulusanku ini"   Bercampur baur perasaan Wang Shu Lin, dia pun menangis terisak-isak dalam pelukan Ding Tao.   Perlahan-lahan dia pun tidak lagi meronta, hanya menangis terisak, perlahan, dalam pelukan Ding Tao yang memberinya kehangatan.   "Aku tidak mengerti aku tidak mengerti", ujar Wang Shu Lin dalam isaknya.   "Aku pun tidak mengerti seandainya saja kita bertemu sebelum semuanya itu terjadi", ujar Ding Tao dengan suara tercekat.   Dan Wang Shu Lin pun merebahkan kepalanya di dada Ding Tao, tangannya erat memeluk pemuda itu, seakan tak ingin melepaskannya.   Dia pun berbisik perlahan.   "Ciumlah aku sekali saja sekali saja"   Ding Tao mengangkat dagu gadis itu dengan lembut, dihapusnya air mata yang membasahi pipi gadis itu..   Ding Tao memandangi wajahnya dalam-dalam, kedua pasang mata mereka bertemu, memadang mesra dan lembut.   Tersenyum, Wang Shu Lin pun menutup matanya.   Ding Taomenghela nafas dalam-dalam, kemudian dengan lembut dia mencium keningnya, lalu kedua pipinya dan dengan lembut dia memutuskan untuk tidak mengikuti keinginan hatinya untuk mencium bibir gadis itu, melainkan dia memeluk kembali gadis itu dengan erat.   Wang Shu Lin tersenyum dengan sedih, namun kali ini dia tidak lagi meronta, diisinya dadanya penuh-penuh dengan udara, lalu dihembuskannya perlahan-lahan.   Seiring dengan hembusan itu, dia buang pula segala perasaan sakit, tidak rela dan kemarahan yang masih tersisa di dalam dadanya.   Perlahan-lahan Ding Tao pun merenggangkan pelukannya.   "Apakah menurut kakak , Zhu Jiuzhen adalah seorang pemuda yang baik?", tanya Wang Shu Lin masih bersandar pada dada Ding Tao.   "Seharusnya kau yang lebih tahu, dari sekilas yang kulihat, aku hanya tahu bahwa dia sangat mencintaimu.   Meski terkadang ada bermacam-macam bentuk cinta, ada cinta yang ingin memiliki dan dengan demikian justru membuat yang dicintai menderita karena terlalu dikekang.", jawab Ding Tao.   "Jadi menurut kakak aku harus bagaimana?", tanya Wang Shu Lin.   "Aku hanya meminta, cobalah buka hatimu, beri dia kesempatan.   Jangan pula karena aku yang meminta kemudian adik menerima cintanya tanpa pertimbangan.   Umur adik masih muda, jalani saja perlahan-lahan, jika kemudian adik yakin dia bisa membahagiakan adik, tentu saja adik harus menerima cintanya.", ujar Ding Tao memberi nasehat.   "Jika aku sudah menerima cintanya tapi kemudian ternyata aku salah, apa yang harus kulakukan?", tanya Wang Shu Lin dengan sedih.   "Jika terjadi demikian, maka carilah aku, datang padaku.", ujar Ding Tao sambil mendekap gadis itu.   "Kakak berjanji tidak akan berubah hati padaku?", tanya Wang Shu Lin, sambil membalas dekapan Ding Tao.   "Tidak, aku berjanji tidak akan berubah hati padamu.", jawab Ding Tao.   "Meski aku sudah bukan lagi seorang gadis? Meski kakak sudah rujuk kembali dengan isteri-isteri kakak? Meski kakak sudah menikah dengan Nona Huang?", tanya Wang Shu Lin kembali terisak.   "Tidak, aku berjanji tidak akan berubah, aku akan selalu ada untukmu.   Yang kuminta hanyalah berikan kesempatan pada dirimu untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih sempurna.", ujar Ding Tao dan kali ini dia tidak bisa menahan diri, untuk tidak mengangkat dagu gadis itu dan kemudian mencium bibirnya dengan mesra.   Untuk beberapa lamanya mereka pun saling berpagutan, berciuman dengan ketat, mencurahkan segala perasaan hati mereka.   Ketika kemudian mereka saling memisahkan diri dengan nafas sedikit memburu, Ding Tao pun membelai rambut gadis itu, membelai pipinya dan sekali lagi mengecup kening gadis itu.   "Ingatlah, benar-benar kuminta, berikan pada dirimu, kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih sempurna.   Bagaimana pun juga, adalah tidak mungkin seorang lelaki membagi hatinya pada banyak wanita, tanpa ada yang akan merasakan sakit hati.   Mengertikah kau? Meski kau menjadi milikku, hatiku akan sedih bila melihatmu bersedih, tapi jika aku bisa melihatmu berbahagia, meski itu dengan orang yang berbeda, aku pun akan merasa bahagia.   Mengertikah kau?"   Wang Shu Lin pun menganggukkan kepala, untuk kemudian menyurukkannya ke atas dada Ding Tao dan Ding Tao pun dengan lembut memeluk dan membelai-belai rambutnya yang halus dan panjang.   Lama mereka duduk berdua, dengan Wang Shu Lin bersandar pada Ding Tao, saling berbicara mengenai masa lalu mereka, kekhawatiran mereka dan harapan mereka tentang masa depan.   Ketika akhirnya mereka berpisah, hati mereka sudah lega dan tidak lagi dipenuhi beban perasaan mengenai hubungan mereka.   Ketika Wang Shu Lin melambai, dia melambai dengan senyum di wajahnya, meski matanya sedikit membasah oleh air mata.   Ding Tao pun memulai pengasingannya dengan perasaan tanpa beban, langkahnya mantap, berjalan menuju ke tempat yang jauh, mencari hutan atau tempat sepi lainnya, di mana dia bisa berlatih tanpa terganggu.   Sementara Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya pun sibuk dengan urusan yang ditinggalkan Ding Tao pada mereka, tidak kurang dari tiga hari setelah kepergian Ding Tao mulailah datang utusan dari Shin Su, menyampaikan hasil dari tugas yang diberikan Ding Tao pada mereka.   Maka Wang Shu Lin dan enam orang gurunya pun membagi tugas, mereka meninggalkan Desa Hotu, Tetua Shen sudah menyanggupi untuk menjadi penghubung antara mereka dengan Ding Tao nanti.   Segala pesan untuk Ding Tao sementara dia masih menyepi akan diterima olehnya.   Wang Shu Lin sendiri pergi ke Shan Xi, selain untuk memperkuat perkumpulan yang dia miliki demi membantu Ding Tao pada saatnya dibutuhkan nanti, dia pun kembali ke Shan Xi untuk belajar membuka hatinya untuk Zhu Jiuzhen.   Tidak mudah memang, apalagi dia sudah pernah berpikir, bahwa seluruh hati, jiwa dan tubuhnya akan dia serahkan pada Ding Tao.   Namun Ding Tao sendiri yang meminta, meski berat Wang Shu Lin pun berupaya untuk menutup hatinya bagi Ding Tao, meski mungkin jauh di dalam perasaan itu masih ada.   Tapi kita tidak akan mengikuti perjalanan mereka, terlalu panjang jika apa yang dilakukan tiap-tiap orang harus diceritakan.   Kita akan mengikuti perjalanan Ding Tao seorang, dua hari perjalanan akhirnya Ding Tao mendapatkan tempat yang cocok untuk menyepi.   Tempatnya dekat dengan sebuah sungai kecil, jadi mudah untuk mendapatkan air, juga tersedia ikan untuk ditangkap.   Pepohonan di sekitarnya cukup rapat, tidak terlihat ada jalan setapak, kecuali jalan setapak yang terbentuk karena binatang-binatang yang lalu lalang untuk minum dan mandi di sungai kecil itu.   Justru dari jalan setapak itu Ding Tao menemukan sungai kecil itu.   Melihat keadaaannya, Ding Tao berharap, tempat itu termasuk tempat yang jarang didatangi manusia.   Karena tidak ada tanah lapang, Ding Tao pun akhirnya berlatih di sungai kecil itu, dia berjalan sampai menemukan tempat di mana airnya tidak terlalu dalam, hanya sampai di pinggangnya saja dan dasarnya cukup datar dan luas untuk berlatih.   Berlatih di dalam air tentu tidak semudah berlatih di atas tanah lapang, tapi Ding Tao menjadikannya bagian dari latihan itu sendiri.   Meski tentu saja, fokus Ding Tao saat ini bukan lagi melatih keseimbangan atau menguatkan kuda-kuda, dia mencari sesuatu yang lebih dari itu.   Dia berusaha menyelami lagi apa saja yang pernah dia pelajari, lebih dalam lagi dari yang sampai saat ini dia dapati.   Jika tidak berlatih tentu dia bermeditasi, sedikit sekali waktu yang dia gunakan untuk beristirahat atau mencari makan.   Dalam satu hari, mungkin dia hanya makan beberapa ekor ikan atau pernah juga dia cukup beruntung sehingga dia mendapatkan seekor kelinci, pernah juga seekor ular, binatang lain yang lebih besar dia tidak mau, bukan karena pantangan tertentu, hanya saja dia seorang diri dan Ding Tao merasa sayang jika daging binatang itu harus terbuang sia- sia.   Tapi sekian hari sudah berlalu, Ding Tao tidak juga mendapatkan kemajuan, semakin sering dia berlatih semakin rasanya sia-sia saja.   Tidak ada yang lebih lagi yang bisa dia gali dari segenap ilmu yang sudah dia pelajari.   Tidak ada yang baru yang bisa dia dapatkan, kecuali dari dua ilmu, warisan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang terkadang kemudian dia menyadari perubahanan atau variasi yang sebelumnya tidak dia sadari ada dalam gerakan itu.   Tapi sebenarnya bukan itu pula yang dia cari, pemahaman yang demikian hanya menambah pengetahuannya, tapi tidak membantu dia untuk lebih menyatu lagi dengan jurus-jurus yang ada padanya saat ini.   Dalam ketekunannya berlatih dan berusaha untuk sampai pada tahap yang selanjutnya, tanpa sadar Ding Tao semakin berlebihan dalam berlatih dan semakin lupa pada tubuh fisiknya.   Pada satu hari, setelah malam sebelumnya dia tidur larut malam, pagi harinya Ding Tao sudah mulai berlatih kembali, mengulang satu per satu setiap jurus yang pernah dia pelajari, mulai dari yang pertama kali dia pelajari sewaktu dia masih kanak-kanak sampai pada jurus-jurus yang diwariskan kedua tetua padanya.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Berulang kali tanpa henti, pikirannya yang sudah membentur jalan buntu akhirnya membuat dia bergerak tanpa berpikir.   Ketika akhirnya dia sadar, barulah terasa perutnya perih, otot-ototnya terasa sangat lemah.   Hampir-hampir dia tidak kuat berjalan ke tepian.   Ketika sudah sampai di tepi sungai, Ding Tao pun roboh kelelahan, pingsan, masih dengan baju yang basah dan perut yang kosong.   Ketika dia tersadar kembali, malam sudah tiba, tubuhnya menggigil kedinginan, bajunya sudah kering dengan sendirinya.   Ketika dia meraba dahinya, terasalah betapa panas tubuhnya, meski dia menggigil kedinginan.   Dengan tubuh gemetaran Ding Tao mengenakan baju dan jubah luarnya.   Susah payah dia menyalakan api unggun.   Perutnya yang terasa perih tak dia hiraukan, dalam keadaan demam Ding Tao pun jatuh tertidur kembali.   Entah berapa kali dalam tidurnya dia terbangun dan tertatih-tatih pergi ke sungai untuk meminum air sungai sebanyak- banyaknya dan kemudian kembali ke api unggun untuk sekali lagi bergelung dan akhirnya jatuh tertidur.   Pagi datang kembali dan Ding Tao terbangun, hampir-hampir tidak ada kekuatan dan dia bisa merasakan tubuhnya demam begitu hebat.   Sadar dia tak boleh terus menerus melewatkan waktu tanpa mengisi perutnya dengan makanan, Ding Tao memaksakan diri untuk pergi ke sungai dan berusaha menangkap ikan.   Ding Tao harus bekerja keras, apa yang biasanya bisa dia lakukan dengan mudah, sekarang membutuhkan segenap konsentrasi, kekuatan dan kecepatan yang dia miliki.   Syukurlah usahanya tak sia-sia, sekaligus dia menangkap beberapa ekor ikan, lebih banyak dari biasanya.   Hari itu pun berlalu tanpa latihan, hanya demam yang tinggi, istirahat, makan dan minum.   Tak dapat lagi dia memikirkan yang lainnya.   Baru kali itu dia merasakan dirinya selemah itu.   Mungkin tidak separah saat dia sedang membersihkan diri dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, tapi pada saat itu pikiran Ding Tao juga tidak sedang berjalan sehingga dia tidak benar-benar menyadari keadaannya.   Berbeda dengan sekarang ini.   Dengan keadaan tubuh yang lemah itu, tak ada yang bisa dilakukannya, Ding Tao tiba-tiba merasa lemah dan tak berdaya.   Dalam gemetar dia tiba-tiba tertawa geli, geli dan juga pahit, dia tertawa menertawakan kesombongannya, kepongahannya.   Inikah Ding Tao yang hendak menyelamatkan dunia?, pikirnya dalam hati.   Betapa lemahnya sesungguhnya dia sebagai manusia.   Hanya sehari saja dia bekerja tanpa makanan dan dia sudah jatuh sakit tak berdaya.   Betapa terbatasnya sebenarnya dirinya itu.   Bagaimana mungkin dia berpikir untuk mengubah dunia, meruntuhkan gunung dan mengeringkan laut, jika dia jatuh tak berdaya hanya karena perkara perut? Pikiran-pikiran ini membuat Ding Tao merasa dirinya begitu kecil.   Setengah mengigau karena demam, mulailah timbul perasaan mengasihani diri sendiri, bertanyalah dia mengapa dia ditinggalkan kedua orang tuanya dalam usia begitu muda.   Mengapa dia harus mengalami fitnah orang.   Mengapa dia harus dipisahkan dari kekasih hatinya.   Mengapa pula orang yang dicintainya begitu dalam justru mengkhianati dia.   Perlahan menetes air mata dari kedua matanya, Ding Tao merasa sedih, marah dan tak berdaya.   Dipandangnya langit dan keluarlah segala tuduhan dari hatinya.   Entah berapa lama dia terbaring di sana, menatap langit biru kelam dengan bintang bertaburan di atasnya.   Antara tidur dan mengigau oleh karena demam panas tubuhnya.   Antara sadar dan tak sadar, dia bertanya, dia meminta, dia menuntut kepada langit yang ada di atasnya.   Entah berapa lama dia seperti tu, tanpa sadar oleh lelah dan tekanan perasaan dia pun tertidur pulas.   Saat dia bangun demamnya sudah mulai turun, kesadarannya pun perlahan-lahan kembali.   Ketika matanya terbuka yang pertama kali terlihat olehnya adalah langit yang berwarna biru kelam, perlahan-lahan berubah jadi keunguan, bintang- bintang masih bersinar terang sementara jauh di timur matahari perlahan-lahan mulai bersinar.   Segala caci maki yang dia lontarkan semalam tiba-tiba membuat dia malu.   Betapa langit bermurah hati, dalam sakitnya cuaca begitu cerah, angin menerpa tubuhnya terasa sejuk membuai.   Kehangatan api unggun menyelimuti tubuhnya.   Perlahan Ding Tao bangun dan menyandarkan tubuhnya di pohon yang terdekat, perasaan nyaman memiliki tempat untuk bersandar, memandang tulang-tulang ikan yang berserakan, entah bagaimana dia memasak ikan-ikan itu, dia pun tidak sadar dengan cara apa dia bisa memakannya tanpa harus tersedak dengan duri-duri ikan itu.   Ding Tao pun merasa malu.   Ding Tao merasa dirinya semakin kecil, semakin tak berarti, hanya sejumput debu dalam alam semesta yang tak terbatas.   Siapa aku?, pertanyaan itu pun terlontar tanpa sadar.   Betapa pendek umur manusia, manusia lahir dan mati, matahari masih terus berjalan dari timur ke barat tanpa henti.   Pohon-pohon yang berumur ratusan tahun, ada saatnya tumbang dan membusuk, tapi lautan tetap pasang dan surut tanpa henti.   Segalanya terus berjalan, yang baru datang yang lama pergi.   Sesungguhnya apa artinya manusia ini, seperti embun yang datang di pagi hari dan menghilang begitu matahari sudah bersinar terang di atas langit.   Tak ubahnya bunga-bunga rumput liar, yang hari ini berkembang besok sudah berguguran.   Teringat itu semua, Ding Tao merasa dirinya makin kecil.   Semakin dia malu telah mencaci langit, semakin malu dia mencaci Yang Maha di atas sana.   Matahari, udara, makanan dan kehidupan, semuanya diberi tanpa pernah dia diminta imbalannya.   Adakah matahari hanya bersinar untuk mereka yang berbuat baik? Tidakkah Dia yang Maha memberi seperti seorang ibu yang bersabar pada anaknya yang nakal, menerima segala caciannya dengan sabar.   Menina bobokkan dia dengan hangatnya api unggun, menurunkan demamnya dengan hembusan angin yang sejuk, menaunginya dengan cuaca yang cerah, memberinya makan di luar sadarnya.   Sebenarnya selama hidupnya apa yang sudah pernah dia lakukan untuk membalas segala kebaikan dalam kehidupan yang dia terima? Mungkin dia kehilangan kedua orang tuanya, tapi sebagai ganti ada banyak orang-orang yang datang dan melimpahinya dengan kasih.   Di masa kecilnya ada Tabib Shao Yong dan ada gurunya Gu Tong Dang.   Ada pula Huang Ying Ying ya Huang Ying Ying yang telah dia khianati kesetiaannya, ketika dia menyerahkan hatinya pada Murong Yun Hua.   Lalu dalam perjalanan hidupnya dia bertemu dengan sahabat-sahabat, orang-orang terhormat yang menghargai persahabatan lebih dari nyawa mereka sendiri.   Ada berapa orang yang hidup dan pernah mendapatkan persahabatan yang sedemikian rupa? Lalu dia di sini, merasa dirinya hidup menderita dan diterpa ketidak adilan.   Betapa sempit cara dia memandang.   Sekali lagi Ding Tao merasa malu.   Teringatlah dia pada orang-orang yang telah dia bunuh, pada kehidupan yang telah dia renggut sebelum waktunya, demi menyelamatkan nyawanya sendiri.   Dipandanginya kedua belah tangannya, yang sudah berlumuran darah.   Ketika dia dulu kembali ke Wuling, benarkah itu karena cinta? Tiba-tiba dia bertanya.   Apakah itu cinta? Dia merasakan cinta pada kecantikan dan kebaikan Huang Ying Ying.   Tapi kemudian ketika dia bertemu dengan Murong Yun Hua betapa mudahnya hatinya tergetar dan jatuh cinta pula pada yang lain.   Apakah itu cinta? Ketika dia berpikir tentang cinta, yang ada dalam angan-angannya adalah satu kehidupan yang berbahagia dengan wanita yang dicintainya.   Benarkah demikian? Ataukah dia sedang berangan-angan hidup dengan wanita yang bisa membuatnya bahagia, wanita yag bisa memenuhi keinginannya sebagai seorang pria, seorang wanita yang setia, dengan laku lembut, manja yang bisa membuatnya bahagia? Apakah benar dia mencintai Hua Ying Ying, Murong Yun Hua, Murong Huolin dan bahkan Wang Shu Lin? Ataukah sebenarnya dia hanya mencintai dirinya sendiri? Cintanya timbul karena mereka membuat dia bahagia, ketika Murong Yun Hua mengkhianatinya, berubahlah cintanya menjadi benci.   Itukah cinta? Teringat juga bagaimana dia mencium Wang Shu Lin dengan penuh nafsu, apakah itu cinta? Dia sudah meminta gadis itu untuk mencari kebahagiaan yang lebih sempurna bersama lelaki yang tidak menduakannya, bagaimana bisa dia melakukan sesuatu yang seharusnya menjadi hak lelaki itu? Sungguhkan cintanya itu murni, sungguhkah cintanya itu suci? Terhuyung-huyung Ding Tao berjalan ke tepian sungai, jatuh terduduk di sana dia memandangi air yang mengalir tiada henti.   Dia pun merasa diri semakin tak berarti, seperti air yang datang dan pergi, sebentar ada sebentar lagi tiada.   Dan antara yang ada dan tiada itu telah dia isi dengan kebohongan, dengan penipuan pada diri sendiri.   Teringat dia dengan igauannya semalam, sungguh dalam kisah hidupnya dialah pahlawan, dialah korban.   Tapi ketika hari terang, sadarlah dia, dia bukan pahlawan, dia juga bukan korban.   Kejatuhannya adalah kesalahannya sendiri, dalam kesalahannya dia sudah pula mengorbankan orang lain.   Berpikir demikian, berpikirlah pula Ding Tao, tiap-tiap orang adalah pahlawan dan korban dalam kisah hidupnya sendiri.   Bahkan Murong Yun Hua pun pastilah demikian, meski apa yang dia lakukan, tentulah dia memiliki alasan dan pembelaannya sendiri.   Berpikir demikian, perasaannya terhadap Murong Yun Hua berubah jauh lebih baik.   Di saat yang sama Ding Tao belum selesai menghakimi dirinya sendiri, sudah tak teringat lagi dia dengan pertemuan lima tahunan dan pertarungannya dengan Ren Zhuocan.   Siapakah aku?, sekali lagi pertanyaan yang sama bergaung dalam benaknya.   Tak ada yang baik yang dia temukan untuk menjawab pertanyaan itu.   Segala kebaikannya tiba-tiba terlihat begitu semu, kebaikan yang terdorong kecintaan pada diri sendiri, kebaikan pada sesama yang begitu dangkal dan tak berarti, selalu berkait dengan untung dan rugi.   Jika Sepasang Iblis Muka Giok tidak menunjukkan persahabatan padanya, tapi sebaliknya meludahi uluran persahabatan yang dia berikan, masihkah dia akan memandang mereka sebagai sahabat? Masih bisakah dia memandang mereka dengan kasih? Bukankah dia akan meludah dan berkarta, bahwa seekor babi selamanya babi, tak akan mereka mengerti apa itu kebaikan orang, tak akan mengerti uluran kemurahan.   Kebaikannya begitu dangkal, begitu mudah berubah, pemikirannya tentang pengampunan tentang kesempatan bagi setiap orang untuk berubah hanyalah seumur embun pagi dan sependek ujung kukunya.   Sedikit panas sudah menguapkannya, selangkah tersesat sudah membuat dia kehilangan kepercayaannya.   Begitu terpuruk Ding Tao dalam penghakimannya hingga tiba-tiba dia berpikir, Adakah manusia sepertiku punya harga untuk hidup? Matanya memandang kosong jauh ke kedalaman sungai itu, hatinya kelu, diam tak mampu lagi berbicara, pikirannya mendelu yang terngiang hanyalah hujatan dan penghakiman pada diri sendiri, bahkan itu pun perlahan semakin sayup dan yang ada hanya kekosongan, kehampaan dan keputus asaan yang tak bertepi, tanpa awalan dan tanpa akhiran.   Kakinya perlahan berjalan ke tengah sungai, membiarkan tubuhnya sedikit demi sedikit semakin terendam oleh air sungai yang dingin menggigik tulang, seakan ingin menghukum diri sendiri sampai setiap rasa bersalah yang menggerogotinya hilang, tapi rasa bersalah dan tak berharga itu tak juga mereda.   Di saat itulah tiba-tiba sebuah kehangatan menyelimuti dirinya, sebuah suara memenuhi hatinya.   Suara yang tak berbahasa, untaian kata-kata yang penuh makna tapi tak dapat dia katakan ataupun tuliskan.   Suara yang begitu keras hingga mengguncangkan dia, membangunkan dia dari dari keputus asaannya.   Suara yang demikian lembut hingga dia mendapatkan penghiburan.   Seperti sapuan angin yang keras, meniup habis setiap kegalauan hatinya.   Begitu kejut Ding Tao oleh apa yang dia alami, tubuh yang tadinya tercenung, merunduk lemas, tiba-tiba tegak saking rasa kejutnya.   Apa itu?, tanyanya dalam hati.   Tapi suara itu sudah tidak berkata-kata lagi, namun masih begitu nyata dalam benaknya apa yang dia rasakan barusan.   Dia mencoba menguraikannya dalam kata namun tak dapat.   Yang ada hanya rasa, bahwa dia berharga dalam sebuah gema yang tak ada akhirnya.   Seakan tiba-tiba dia di ngatkan kembali pada bagaimana dia dijaga dalam sakitnya.   Betapa dia dikasihi dalam segala kekurangannya, sebuah perasaan syukur yang membuncah tumpah ruah, sulit diungkapkan dalam kata.   Sekilas dia terbayang dan sekilas dia paham, mengapa Ma Songquan dan Chu Linhe bisa begitu setia padanya.   Sekilas dia mengerti dan bisa merasakan apa yang dirasakan Chou Liang ketika mereka pertama kali bertemu.   Tapi dia juga bisa mengatakan betapa berkali lipat kebaikan yang dia telah dia terima dalam hidup ini.   Kebaikannya pada Ma Songquan, Chu Linhe dan Chou Liang demikian dangkal, tapi sekarang ketika dia menyadari ketika dia memandang dirinya sendiri dan mendapati dirinya sekotor dari sepasang iblis muka giok, ketika dia memandang dirinya sendiri dan merasakan perasaan yang sama bagaimana Chou Liang merasa orang tak menghargai dirinya.   Kemudian berbalik apa yang dia ulurkan pada mereka, diulurkan pada dirinya tapi dengan beratus kali lipat adanya.   Dia yang mengatakan dirinya berharga, jauh lebih mulia dari dirinya, Dia yang mengatakan dirinya berharga sudah melihat sampai kedalaman dirinya melihat segala kedangkalan, kedegilan dan kebusukannya.   Untuk pertama kalinya Ding Tao tiba-tiba mengerti mengapa bisa mereka mengorbankan nyawa mereka demi dirinya karena dia pun bisa merasakan perasaan yang sama bagi Dia yang menerima dia apa adanya ini.   Untuk pertama kalinya dia lepas dari pusat keakuan yang selama ini menjerat dia.   Setelah lepas dari jerat keakuan, pikirannya pun terbuka pada keberadaan dirinya dengan hubungannya dengan yang lain yang ada di luar dirinya.   Siapa aku?, tiba-tiba pertanyaan itu kembali padanya.   Dan sambil tertawa Ding Tao menjawab, Tidak ada aku di sini. Dipandangnya langit yang kini sudah berwarna kemerahan, dipandangnya air sungai yang terus mengalir, dihirupnya udara yang sejuk membelai tubuhnya.   Ini aku, pikirnya.   Dulu aku tak ada, sekarang aku pun tak ada Dari ayah dan ibuku, aku terbentuk Oleh susu dan makanan aku dijalin sedemikian rupa. Oleh udara ini, oleh sinar matahari ini, oleh sungai, laut, pepohonan, segala macam binatang, oleh tanah, oleh sesama, aku dihidupkan. Dipandangnya air sungai dan sambil tertawa berkatalah dia.   "Apa kabarmu saudaraku laki-laki?"   Tangannya bergerak meraih dedaunan dari ranting yang menjulur ke atas sungai kecil itu dan dia berkata.   "Kau juga saudaraku." Siapa aku? Aku tidak ada Bagaimana dikatakan aku jika unsur pembentuk dirinya selalu berubah, dia yang sekarang sudah berbeda dengan dia belasan tahun yang lalu. Dan bagian dari dirinya pun ada yang kembali pada alam dan nantinya seluruhnya akan kembali pada alam. Dari unsur-unsur yang sama dia berbagi asal dengan manusia, binatang dan pepohonan, seperti rumput yang tumbuh di sana-sini, namun jauh di dalam tanah, ternyata berasal dari satu akar. Apakah dia satu atau semua? Dan seluruhnya itu, baik segala makhluk hidup, maupun unsur-unsur lain dalam alam semesta, seluruhnya ada dalamNya. Aku ada di semua. Tidak ada aku. Ding Tao merasa dirinya kecil bagai sebutir debu dalam padang pasir yang luas, setetes air di lautan. Tapi dia juga besar karena dia juga padang pasir, dia juga lautan, dia bukan besar karena dia, tapi dia besar karena DIA. Siapa aku? TIDAK ADA AKU Dalam ledakan pengertian yang tak bisa diuntai dalam kata-kata, yang diungkapkan dalam hening bukan karena dia diam, tapi karena dia terlalu rumit, seperti untaian jutaan mutiara dijalin dan dipintal dalam sebuah kelopak bunga teratai yang terkembang, Ding Tao pun mulai bergerak. Tidak ada aku, setiap gerakan bukanlah gerakannya, sekaligus adalah gerakannya. Bukan matanya yang melihat, meski memang matanya yang melihat. Bukan telinganya yang mendengar meski memang dengan telinganya dia mendengar. Bukan tangannya yang mengibas meski memang tangannya yang mengibas. Bukan dia tidak sadar, tapi dia penuh dengan kesadaran, bukan dia yang menggelorakan air di sungai kecil itu. Bukan dia yang berputar dan menggulung air hingga dasar sungai pun tersibak mengering di sekitar dirinya. Bukan dia yang menebah dasar sungai dan menghamburkan batu-batuan hitam itu menjadi serbuk debu. Bukan dia tapi DIA. Aku itu tidak ada. Dalam sebuah ledakan seluruhnya berhamburan, baik air maupun tanah, debu-debu berterbangan, pepohonan di sekitarnya terhuyung-huyung bagai diterpa badai. Lalu perlahan semuanya diam. Ding Tao diam tak bergerak, air sungai kembali memenuhi dasar sungai, membentuk pusaran kecil di sekitar tubuhnya, debu-debu yang berterbangan perlahan-lahan jatuh di sekelilingnya. Ding Tao diam, siapa Ding Tao? Tidak ada Ding Tao. Pertemuan lima tahunan akhirnya tiba juga, seluruh dunia persilatan baik yang di dalam perbatasan maupun yang di luar perbatasan terserap dalam pusaran yang tak terlihat. Dua kekuatan besar akhirnya siap untuk berhadapan. Ren Zhuocan memiliki keyakinan, dengan kematian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, Ren Zhuocan tak memiliki tandingan. Siapa pun yang mewakili tokoh-tokoh dunia persilatan dari dalam perbatasan tak akan mampu menandinginya, itu artinya dia yang terkuat dan dialah yang paling berhak untuk berkuasa atas semuanya. Jika mereka tetap menentang, itu artinya perang dan dia yang akan menang. Di lain pihak seluruh dunia persilatan dalam perbatasan telah bersatu di bawah panji keluarga Murong. Dengan kematian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, yang mereka bawa adalah kesatuan mereka. Dalam jumlah ada kekuatan. Ren Zhuocan boleh jumawa, tapi dia hanya ada satu orang. Ren Zhuocan boleh memiliki puluhan ribu bawahan, tapi merekapun sekarang telah bersatu dan tidak akan kalah jika hanya dalam hal jumlah. Dalam hal tokoh-tokoh besar mereka masih memiliki 5 perguruan besar yang sekarang bersatu di bawah satu panji. Semangat mereka makin bangkit, ketika Murong Yun Hua menunjukkan hasil latihannya selama ini di depan banyak orang. Disusul kemudian maju puluhan orang terlatih dari keluarga Murong, diikuti pameran kepandaian dari murid-murid utama 5 perguruan besar. Meski ada kekecewaan karena Wudang menyatakan diri menutup dari urusan dunia luar, namun melihat pameran kekuatan itu, semangat setiap orang pun melambung tinggi. Tapi yang terlihat di luar tidak sepenuhnya sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Ada sekelompok kecil orang yang menghadapi pertemuan lima tahunan ini dengan hati berdebar-debar dan semangat tak menentu. Kecil jumlah mereka namun akan besar akibatnya bila apa yang mereka tunggu-tunggu ternyata benar adanya. Pertemuan lima tahunan kali ini, tidaklah sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Demikian besar gerakan yang terjadi dalam dunia persilatan hingga setiap orang awam pun mengetahuinya. Bukan hanya orang-orang dalam dunia persilatan saja yang menantikan hasil dari pertemuan ini dengan dada berdebar, tapi juga sekalian pembesar negeri, karena para polisi rahasia sudah mengendus ambisi Ren Zhuocan dan hubungan baik Ren Zhuocan dengan penguasa di luar perbatasan. Mereka pun sadar, pertemuan lima tahunan kali ini adalah pertemuan yang menjadi penentuan. Gugurnya dua orang tokoh besar yang selama ini membuat ambisi Ren Zhuocan terganjal, membuat perimbangan kekuatan berubah mengkhawatirkan. Meski dari dunia persilatan di dalam perbatasan pun muncul Murong Yun Hua yang menyatukan mereka di bawah satu bendera. Maka dengan hati berdebar, orang-orang kerajaan ini pun mengamati berjalannya pertemuan lima tahunan ini. Kuda-kuda pembawa pesan berpacu hilir mudik, memberikan laporan pada pejabat di pusat sana. Ketika tokoh demi tokoh berdatangan, partai demi partai mengirimkan kekuatannya, setiap perubahan ini pun segera dilaporkan ke atas sana. Yang di luar pengetahuan mereka adalah Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya, Shin Su dan 49 orang saudaranya. Bergerak dalam bayangan, apa yang mereka lakukan tak tampak di permukaan. Namun saat ini mereka sendiri sedang menanti-nanti dengan hati berdebar. Tetua Shen yang sudah ada bersama-sama dengan mereka dibanjiri pertanyaan. Tapi tak satupun ada yang bisa dijawabnya. "Hahhh aku pun tak tahu, sampai aku pergi meninggalkan Desa Hotu, aku tak juga melihat batang hidung Ketua Ding Tao.", jawab Tetua Shen sambil menghembuskan nafas kuat-kuat, berusaha mengusir pergi perasaan marah yang sudah mau timbul karena berkali-kali dihujani pertanyaan, terutama oleh Shin Su dan saudara-saudaranya yang tidak bisa menerima bahwa Ding Tao belum juga muncul, sementara waktunya semakin dekat. "Tidak mungkin Ketua Ding Tao gagal, kalaupun gagal dia pasti tetap datang untuk mempertaruhkan nyawa.", gumam salah seorang dari mereka dan kurang lebih seperti itulah isi percakapan mereka dari hari ke hari. Tidak heran Tetua Shen hampir dibuat gila oleh isi percakapan mereka itu. Zhu Yanyan dan yang lainnya pun kadang rasanya sudah hampir hilang kesabaran. Tapi setidaknya mereka berutung, karena pada saat kelompok itu mulai bertanya, bukan ada mereka bertujuh orang-orang itu bertanya, tapi pada Tetua Shen yang tugasnya memang menunggu kedatangan Ding Tao di Desa Hotu. "Mengapa Tetua Shen tidak menunggu sehari dua hari lagi?", itulah salah satu isi pertanyaan mereka. Begitu buruk suasana hati Tetua Shen sehingga beberapa kali dia pun pergi meninggalkan penginapan sendirian untuk pergi ke warung dan minum arak sepuasnya. Jika sudah demikian, maka dia pun akan memaki Ding Tao panjang pendek. Semakin dekat dengan diadakannya pertemuan lima tahunan, semakin sering Tetua Shen pergi untuk minum arak. Satu hari, tinggal dua hari lagi menjelang Pertemuan Lima Tahunan diadakan, Tetua Shen benar-benar dalam keadaan yang buruk, hari masih pagi ketika dia sudah melarikan diri dari kejaran pertanyaan dan berkunjung ke kedai arak langganannya. Pelayan di sana sudah tentu hafal dengan kesukaan kakek tua ini, meski sedikit janggal bahwasannya di hari sepagi itu Tetua Shen sudah datang untuk minum arak, tapi yang namanya pelanggan adalah raja, buru-buru kakek tua itu disambut dengan ramah. "Selamat pagi tuan, apa pesanannya pagi ini? Apa seperti biasanya? Mungkin mau ditambah sedikit makanan yang agak berat untuk mengganjal perut?", sapa pelayan warung itu dengan ramah. "Ya, boleh juga, sediakan yang seperti biasanya dan beri juga aku beberapa biji bakpau.", jawab Tetua Shen yang sudah merasa baikan begitu mendengar sapaan ramah dari pelayan warung itu. Memang dibandingkan pertanyaan Shin Su dan kawan-kawannya, sapaan pelayan itu terdengar seperti nyanyian biduan yang merdu di telinga. Dalam waktu singkat, apa yang diminta Tetua Shen pun sudah tersedia, dua guci arak yang sudah dihangatkan ditambah satu piring berisi bakpau yang masih mengepul karena baru keluar dari pancinya. "Mari tuan, silahkan dinikmati, kalau nanti ada yang kurang, panggil saja saya.", ucap pelayan itu sambil menyajikan pesanan Tetua Shen. "Heheheh, bagus, bagus, kau siapkan saja lagi dua guci arak, supaya kalau yang ini habis kau bisa cepat menghidangkan yang berikutnya", ujar Tetua Shen sambil terkekeh puas. "Baik tuan, tentu tuan", jawan pelayan itu dengan sigap, membuat hati Tetua Shen makin hangat. Makan dan minumlah Tetua Shen sampai puas dan seperti biasa, kalau sudah mula terpengaruh arak maka yang dimaki- makinya adalah Ding Tao. "Nah, kau pp.. ppikir baik-baik aa a apa bbukan anak anak anak haram jadah dia itu? Aku sudah begitu baik padanya, tapi tapi dia malah lupa dengan janjinya. Ss..s.ssampai hari ini bhathang hh hi.. hi ..hhidungnya pun tidak tidak terdengar?", ujar Tetua Shen pada pelayan yang lewat dengan beberapa kata-katanya sedikit tidak jelas. Pelayan itu tentu saja setuju dengan apa pun yang dikatakan Tetua Shen.   "Tentu saja benar tuan, orang seperti itu sudah sepantasnya mendapat hajaran."   Pelayan sudah lewat dan Tetua Shen masih mengomel.   "Heh.. he hehehe, benarr juga pelayan itu, bo..bo..boocah sial itu harus kuhajar, cuma dengan cara apa aku menghajarnya"   Dan mulailah Tetua Shen menyebutkan jurus-jurus andalannya sembari membayangkan dirinya menghajar Ding Tao.   Sialnya dasar seorang ahli silat, dalam mabuknya pun dia bisa membayangkan bagaimana Ding Tao akan menghadapi jurus-jurusnya dan pada akhirnya bukan dia yang menghajar Ding Tao malah dirinya yang kena hajar Ding Tao.   "Kep kep keppparat! Sungg..gguhh bocah ssial!..   Mmasamasa masa aku kalah lagi", ujar Tetua Shen dengan sendu.   Tiba-tiba datang seorang tua lain, tubuhnya terbungkuk-bungkuk di balik jubah yang kebesaran, wajahnya sudah sama keriput dengan rambut panjang dan jenggot yang beruban, di punggungnya terikat sebuah bungkusan yang besar.   "Sobat, siapa bocah sialan yang bikin hatimu jengkel itu?", tanyanya sambil menarik kursi dan ikut duduk di meja Tetua Shen.   "Ss..   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   siapa..siapa lagi kalau bukan Ding ding..   Ding Dong!", jawab Tetua Shen sambil melirik temannya yang baru datang.   "Hahaha lalu mengapa tidak kau hajar saja bocah nakal itu?", tanya teman barunya itu.   "Hmm justru justru itu sudah kuhajar, tapi justru balik aku yang kena hajar", jawab Tetua Shen dengan kesal.   "Kalau begitu biar aku bantu kau menghajar si Ding Dong itu", jawab teman barunya.   "Hahaha bagus..   eh bagus ya bagus, kalau kita berdua sama-sama tua, tenttu harus bekerja sssama, supaya orang muda tidak kurang ajar pada kita", jawab Tetua Shen sambil tertawa bergelak.   "Kalua begitu ayo kita pergi sekarang, antar aku ke tempat Ding Dong yang kurang ajar itu, biar kubantu kau menolong dia.", jawab teman barunya itu.   "Bbagus! Bagus! Ayo kita cari bb bo bocah haram jadah itu!", sahut Tetua Shen sambil berdiri sempoyongan dan menaruh sepotong uang perak di atas meja.   Pelayan pun cepat-cepat mengantar dia pergi sambil berkata.   "Terima kasih tuan, lain kali datang lagi"   Yang dijawab Tetua Shen dengan lambaian tangan, sambil berjalan sempoyongan setengah dipapah oleh teman barunya itu.   Pelayan yang melihat tingkah polah dua orang itu pun hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil memonyongkan bibir.   "Kalau sudah tua memang susah kalau punya anak tidak berbakti.   Hmm..   makanya si A Sau harus kuajar benar-benar supaya tidak lupa jasa orang tua.   Kalau tidak nanti tua aku bakalan seperti kakek itu.", gumamnya sembari mengantungi uang perak dan membersihkan meja.   Sementara itu Tetua Shen yang dipapah teman barunya, berjalan sempoyongan, berputar-putar di dalam kota, melewati gang sempi dan jalan-jalan yang tidak karuan.   Ketika sampai di satu tempat yang sepi tiba-tiba dia mencengkeram teman barunya itu.   "Sobat, boleh tahu siapa namamu?", tanyanya dengan keren, hilang sudah kata-katanya yang tidak jelas dan jalannya yang sempoyongan.   Tapi ditegur demikian sobat barunya tidak menjadi gugup malah tertawa.   "Hahaha, Tetua Shen, masa sudah lupa dengan namaku? Ini aku Ding Dong."   Mendengar jawaban itu melototlah mata Tetua Shen, dan dia pun memaki-maki sambil membanting kaki.   "Benar-benar haram jadah! Jika tidak ingat siapa dirimu dan apa kedudukanmu sudah kuajak kau bertarung sampai mati. Bocah edan, kau menghilang sedemikian lama, sekarang begitu muncul kau malah mengajak bercanda tidak karuan. Apa kau tidak tahu betapa repotnya aku harus menjawab pertanyaan dan tuduhan 50 orang pengikutmu yang tidak becus itu!?"   Tetua Shen pun sampai nafasnya memburu karena kesal dan juga lega, akhirnya Ding Tao yang ditunggu-tunggu itu tiba juga.   Ding Tao yang tadinya bangkit keinginannya untuk bercanda karena secara tidak sengaja mendengar caci maki Tetua Shen atas dirinya jadi merasa kasihan juga melihat orang tua itu, maka sikapnya pun berubah dengan tulus dia memberi hormat.   Katanya.   "Tetua Shen, maaf aku sudah membuatmu repot, tapi bukan maksudku demikian, ketika aku datang ke rumahmu kau sudah pergi. Aku membaca pesanmu, tapi untuk tidak menarik perhatian, terpaksa aku mengambil jalan memutar dan menyamar. Kemudian karena 50 pengikutku yang kurang becus itu kecolongan di Jiang Ling, terpaksa aku turun tangan sendiri diam-diam. Makanya aku datang sangat terlambat, tapi syukurlah segala urusan sudah selesai." "Heh sudahlah aku sudah puas memaki-makimu, lagipula dengan kau datang, kau bisa suruh tutup mulut 50 orang pengikutmu itu. Omong-omong mereka salah apa di Jiang Ling?", tanya Tetua Shen terhibur hatinya, bagaimana pun juga sejak awal dia sudah menyukai bahkan menghormati Ding Tao, jika bukan karena terus menerus disudutkan oleh pengikut Ding Tao tidak nanti dia memaki-maki Ding Tao. "Mereka salah menghitung jumlah pengikut Murong Yun Hua yang punya kepandaian, sebenarnya tidak seluruhnya dibawa ke mari, namun ada 10 orang yang masih berjaga di Jiang Ling, dengan sendirinya Tetua Hua Ng Lau, Adik Hua Ying Ying dan Adik Murong Huolin yang sudah setuju untuk membebaskan Pendekar pedang Jin Yong jadi kesulitan. Untung aku datang di waktu yang tepat dan bisa membantu mereka membebaskannya.", jawab Ding Tao kemudian serba singkat menceritakan keadaan di Jiang Ling waktu itu. Setelah mendengar cerita Ding Tao, Tetua Shen pun ikut menghela nafas lega.   "Syukurlah Ketua Ding Tao bergerak dengan bijak. Tidak hanya terima laporan tapi Ketua Ding Tao masih menyempatkan diri memastikan keadaan di tempat-tempat yang penting. Dengan adanya Pendekar pedang Jin Yong di pihak kita, rencana kita bisa dikatakan akan berjalan dengan mulus." "Ya, semoga saja begitu, di mana yang lainnya sekarang berada?", tanya Ding Tao kemudian. "Ayo, aku antarkan ke mereka, biar bungkam mulut 50 orang bebek itu.", ujar Tetua Shen dengan bersemangat. "Eh, bungkusan yang kau bawa-bawa itu apa?", tanya Tetua Shen tiba-tiba. Ding Tao pun tersenyum dan menjawab sedikit berahasia.   "Oo ini oleh-oleh untuk Ketua Partai Kongtong Zhong Weixia, kupikir aku harus memberikan sedikit hadiah supaya semuanya berjalan lebih lancar." "Hmm hmm boleh saja kau bermain rahasia denganku, tunggu saja sampai kau bertemu dengan 50 orang pengikutmu itu. Kita lihat apa kau masih bisa bermain rahasia.", jawab Tetua Shen sambil mengulum senyum Mendengar jawaban Tetua Shen itu Ding Tao tertawa saja. Kedatangan Ding Tao itu tentu saja disambut dengan gembira oleh mereka semua, untuk beberapa lama Ding Tao pun harus melayani berbagai pertanyaan yang datang tak henti-hentinya. Termasuk tentang bungkusan yang dibawa-bawa Ding Tao. Benar saja ramalan Tetua Shen, akhirnya Ding Tao harus membuka juga rahasia dari bungkusan besar itu, meski dia berpesan sungguh-sungguh agar kisah dari bungkusan besar itu tidak menyebar ke mana-mana. Setelah pertanyaan mereka semua terpuaskan barulah mereka bisa mundur sejenak dan meresapi Ding Tao yang sekarang ini. Dalam ketenangan itu, masing-masing dari mereka, bergantung dari kepekaan mereka, bisa merasakan perubahan yang terjadi dalam diri Ding Tao. Sesuatu yang kasat mata, tak bisa dijelaskan, entah dari sikap tubuhnya atau dari ekspresi pada raut wajahnya, terasalah ada satu perbawa yang keluar, yang membuat mereka merasa tunduk di luar maunya. Zhu Yanyan yang pertama bertanya.   "Tetua Shen, bagaimana, secepatnya kita harus menyusul para tokoh dunia persilatan yang sudah berangkat ke Gurun Gobi. Bisa kubayangkan saat ini tenda-tenda sudah memenuhi dataran yang luas itu, dengan satu sisi penuh oleh pengikut Ren Zhuocan dan perguruan-perguruan dari luar perbatasan yang sudah ditaklukkannya dan di sisi lain Murong Yun Hua sebagai Wulin Mengzhu dengan hampir seluruh saudara-saudara kita." "Tentu saja, kita sudah terlambat beberapa hari, hari ini juga sebaiknya kita bergegas pergi ke sana. Tentunya jika Ketua Ding Tao tidak ada masalah dengan hal ini, karena seperti yang sudah ketua ceritakan, pagi ini dia baru saja sampai di kota ini setelah menyelesaikan berbagai urusan.", jawab Tetua Shen. "Lalu bagaimana dengan ujian yang Tetua Shen ajukan, apakah masih perlu untuk menguji kesiapan Ketua Ding Tao untuk menghadapi Ren Zhuocan?", tanya Zhu Yanyan. Tetua Shen pun terdiam sambil memandangi Ding Tao, yang dipandangi hanya tersenyum-senyum saja. Cukup lama Tetua Shen menimbang-nimbang. Kemudian dia bertanya.   "Apa hati dan pedang sudah menyatu?"   Ding Tao pun menjawab.   "Apa itu hati? Apa itu pedang? Tidak ada aku, tidak ada pedang, hanya ada satu."   Tetua Shen dan yang lainnya pun diam merenungkan jawaban Ding Tao, akhirnya Tetua Shen pun menghela nafas dan berkata.   "Sudahlah kita berangkat saja, apa yang mau diuji jika orangnya tidak ada."   Shin Su dan teman-temannya yang masih rendah ilmunya hanya bisa saling berpandangan dan mengangkat bahu.   Bahkan dari enam guru Wang Shu Lin pun hanya Zhu Yanyan yang bisa meraba maksud mereka berdua.   Bagi yang lain, meski merasa jawaban itu punya arti, tapi mereka sendiri tak berani mengartikannya.   "Baiklah, kalau kita Shin Su, sebaiknya kau siapkan semuanya, segera setelah segalanya siap, kita langsung berangkat.   Sementara kita bersiap, Ketua Ding Tao bisa beristirahat sejenak.", ujar Zhu Yanyan.   Shin Su dan rekan-rekannya pun segera bekerja, menyiapkan bekal, kuda dan segala yang diperlukan nanti dalam perjalanan.   Juga tenda dan selimut, karena pertemuan lima tahunan kali ini akan diadakan di dataran gurun Gobi, tidak ada tempat lain yang lebih tepat untuk bertemunya ratusan ribu pesilat dari kedua belah pihak.   Selain letaknya yang tepat berada di perbatasan, juga dataran yang luas itu satu-satunya yang bisa menampung jumlah orang-orang dari kedua belah pihak yang jumlahnya sudah melewati 100.000 dari masing-masing pihak saja.   Jumlah yang besar ini tentu saja sampai pula di telinga para pembesar negeri, baru kali ini seluruh dunia persilatan bergabung menjadi satu, di bawah satu panji.   Melihat jumlah mereka, mau tidak mau setiap penguasa propinsi dan kota, berdebar-debar.   Jumlah sebesar itu bisa dengan mudah menaklukkan satu propinsi.   Setiap mata memandang peristiwa di Gurun Gobi, dalam gegap gempitanya suasana, tak terdengar nama Ding Tao yang hilang beberapa bulan sebelumnya.   Dalam keramaian itu lah Ding Tao dan mereka yang membantunya, menyebar diam-diam.   Shin Su dan saudara-saudaranya tetap diminta untuk menghindar dari pekerjaan yang berbahaya, mereka menyebar entah sebagai kelompok orang awam yang ikut mendapatkan keuntungan dari keramaian itu, atau mereka yang sekedar mencari pengalaman.   Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya memisah menjadi dua kelompok.   Wang Shu Lin kembali pada perannya sebagai Ximen Lisi didampingi Lu Jing Yun, Zhu Jiuzhen dan orang-orang kepercayaannya, sudah membawa pengikutnya yang berjumlah ratusan, ikut berada di bawah panji Murong Yun Hua sebagai Wulin Mengzhu.    Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Rase Emas Karya Chin Yung Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini