Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 37


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 37


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Ucapan saudara cilik tadi sangat tepat, apa perlunya diadakan pemilihan Wulin Mengzhu lagi? Bukankah sudah ada Bhiksu Khongzhen dari Shaolin dan Pendeta Chongxan dari Wudang yang pantas untuk menjadi pimpinan kita semua? Jika salah seorang dari mereka mau mengajukan diri, maka aku Bai Shixian akan mendukung mereka dengan sepenuh hati. Siapa yang tidak setuju, boleh berhadapan dengan dua kepalanku ini!"   Merah wajah beberapa orang calon Wulin Mengzhu yang lain mendengar ucapan Bai Shixian.   Watak orang ini rupanya sama kerasnya dengan tinjunya.   Mudah panas dan tidak sabaran, main hantam jika bertemu dengan orang yang tidak sesuai dengan dirinya.   Lima orang calon Wulin Mengzhu yang lain jadi serba salah, dalam hati memaki-maki tiga orang calon Wulin Mengzhu yang bangkit dan berbicara.   Ucapan ketiga orang calon Wulin Mengzhu itu sendiri mengundang berbagai macam perasaan dan dugaan dari tiap-tiap orang yang mendengarnya.   Ada yang tergerak dengan perkataan mereka yang tidak mementingkan diri sendiri.   Di pihak lain ada yang melihatnya sebagai satu kecerdikan dalam menanggapi situasi.   Bagi lima calon lain yang mereka memaki-maki kelicinan lawan.   Kenapa mereka menganggapnya sebagai satu kelicinan? Licin karena mereka dengan sengaja menampilkan satu peranan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang maju sebagai calon demi kepentingan bersama dan bukan demi kepentingan pribadi.   Dalam benak mereka yang berpikiran demikian, 8 orang calon itu seluruhnya tentu maju demi kepentingan pribadi.   Jika ada seorang yang menyarankan Bhiksu Khongzhen dan 5 orang ketua perguruan besar yang lain untuk mengikuti saran Bai Chungho, tentu akan ada 7 orang lain yang menolaknya.   Dengan demikian, usulan Bai Chungho itu dengan sendirinya akan gagal, sementara yang maju dan menyatakan setuju pada usulan Bai Chungho akan mendapatkan nama baik, tanpa harus melepaskan ambisinya untuk merajai dunia persilatan.   Ximen Lisi sendiri termasuk orang yang berpikiran demikian, tapi pikirannya justru bekerja lebih cepat dibandingkan 6 orang calon Wulin Mengzhu yang lain.   Begitu Ximen Lisi "menyadari kecerdikan"   Ding Tao, dia pun cepat berpikir, kalaupun ada 2 orang calon Wulin Mengzhu yang mendukung usulan Bai Chungho, masih akan ada 6 orang calon Wulin Mengzhu yang menolaknya.   Sebelum ada yang sempat sampai pada pemikiran dengan demikian, maka dia pun secepatnya mengambil keuntungan.   Bagaimana dengan Bai Shixian? Banyak orang memandang Bai Shixian sebagai pendekar angin-anginan, mudah tergerak dan tidak memiliki prinsip yang teguh.   Sulit dimengerti mengapa dia berbuat demikian atau demikian.   Karena mendengar segerombolan penyamun menganiaya sepasang pengantin baru, dia pun berangkat untuk menghajar mereka semua, padahal kenal pun tidak.   Di lain hari dia menghajar pula seorang pemilik rumah makan, hanya gara-gara pemilik rumah makan itu memandanginya.   Dibilang lurus tidak, sesat pun tidak, sikap dan perbuatan Bai Shixian sulit dimengerti orang.   Namun secara keseluruhan mereka memandang Bai Shixian sebagai orang yang jujur dan terbuka.   Kemungkinan besar dia ikut berdiri dan mendukung Ding Tao serta Ximen Lisi karena tergerak hatinya oleh ucapan mereka berdua.   Ada pun dia menjadi orang ketiga yang menyatakan persetujuannya, adalah satu kebetulan.   Setelah Bai Shixian, calon Wulin Mengzhu yang lain tidak berani mengikuti apa yang dilakukan oleh Ximen Lisi dan Bai Shixian.   Jika ada seorang lagi yang mendukung, bukankah jadi 4 suara melawan 4 suara, bisa-bisa Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan benar-benar mengubah pendirian mereka.   Lagipula setelah 3 orang memberikan suara, kalaupun mereka ikut berdiri dan memberikan suara, tentu nilainya sudah jauh berbeda.   Nilai yang tertinggi tentu bagi yang berdiri pertama kali, semakin lama nilainya semakin rendah.   Tinggal ke 5 orang calon Wulin Mengzhu yang tidak cukup cepat untuk angkat bicara, berdiam diri dengan perasaan serba salah dan wajah yang tidak enak untuk dilihat.   Sementara di bawah panggung suara orang bergumam sudah seperti sekumpulan lebah yang mendengung.   Perdebatan antara mereka yang menyukai Ding Tao, Ximen Lisi dan Bai Shixian dengan mereka yang menganggap perbuatan mereka tidak lebih dari sebuah peran untuk memenangkan hati orang lain.   Beruntung mereka tidak perlu berada dalamkeadaan serba salah terlampau lama.   Bhiksu Khongzhen dengan cepat mengatasi keadaan.   Bhiksu tua itu mengangkat tangannya.   "Harap tenang", ujar Bhiksu tua itu, suara yang disertai pengerahan tenaga dalam, mampu menggetarkan hati setiap orang dan membuat suasana menjadi tenang.   Setelah semua orang tenang, baru Bhiksu Khongzhen melanjutkan.   "Tentang pemilihan Wuling Mengzhu ini dan pendirian Shaolin, sudah dibicarakan panjang lebar sebelum akhirnya diambil satu keputusan. Tentu saja, apa yang dinyatakan oleh Ketua Bai Chungho, Ketua Ding Tao, Saudara Ximen Lisi dan Saudara Bai Shixian, adalah sesuatu yang baik. Namun yang baik itu belum tentu bisa dijalankan tanpa adanya kesalah pahaman dan pertentangan pendapat dengan semua pihak." "Setelah memikirkan hal ini secara mendalam, memang rasanya tidak ada jalan lain kecuali lewat adu kepandaian. Bagaimanapun juga yang hendak dipilih adalah pemimpin bagi dunia persilatan. Jika dipilih mengikuti perasaan satu orang atau satu perguruan, bagaimana pun juga tentu akan mudah timbul kecurigaan atau perkataan-perkataan yang tidak enak didengar, yang dengan mudah bisa menyulut pertikaian di antara saudara sendiri. Beda bila pemilihan ini didasarkan pada adu kepandaian yang adil dan disaksikan oleh kita semua.", ujar Bhiksu Khongzhen menjelaskan. Penjelasan ini nyata membuat banyak orang merasa puas, lepas dari kenyataan bahwa Shaolin sudah menyatakan diri akan menolak calon-calon tertentu, pun seandainya apabila mereka berhasil menunjukkan kelebihan mereka dibandingkan calon- calon yang lain. Banyak orang menunggu Bai Chungho untuk kembali bertanya atau mengajukan keberatan, namun Ketua dari Partai Kaypang itu memilih diam setelah mendengar penjelasan Bhiksu Khongzhen. Setelah menunggu beberapa lama tidak ada yang mengajukan keberatan lebih lanjut, Bhiksu Khongzhen pun berkata, "Baiklah, kukira semua yang hadir di sini bisa menerima tata cara yang hendak kita pakai untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Wulin Mengzhu. Jika demikian, aku minta tiap-tiap calon Wulin Mengzhu memperhatikan medali giok masing-masing. Di atas medali tersebut, telah tertulis angka-angka, seluruhnya ada 64 medali giok yang disiapkan. 9 tidak pernah kembali, 8 di antara 9 itu ada di tangan kalian. Berdasarkan angka yang tertera di medali giok akan kita tentukan bagaimana pertandingan ini dilaksanakan, siapa akan melawan siapa, sampai pada akhirnya tersisa 1 orang pemenang."   Masing-masing calon pun mulai melihat medali giok yang mereka pegang.   Beberapa calon yang lebih teliti sudah terlebih dahulu memeriksa medali giok yang mereka pegang, jauh-jauh hari dan sudah tahu angka yang tertera di sana.   Satu per satu mereka menyampaikan angka pada medali giok mereka, sementara Bhiksu Khongzhen dibantu seorang anak murid Shaolin mencatatnya dalam sebuah lembaran sutra.   Di atas lembaran itu sudah tergambar peta kompetisi dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini, tinggal mengisikan nama sesuai dengan urutan angka yang tertera di medali giok masing-masing.   Di saat kesibuka itu terjadi, Ma Songquan sedari tadi justru tidak memperhatikan kegiatan di sekelilingnya, matanya menatap tajam ke arah Guang Yong Kwang.   Sejak Bhiksu Khongzhen mengatakan bahwa pemilihan Wulin Mengzhu akan dilakukan berdasarkan adu kepandaian, demi memenuhi rasa keadilan seluruh anggota dunia persilatan, Ma Songquan mengarahkan pandangan matanya ke arah Guang Yong Kwang.   Lama kelamaan Guang Yong Kwang tentu saja sadar dengan tatapan tajam dari Ma Songquan.   Ketua Partai Kunlun yang masih muda itu pun wajahnya mulai memerah, awalnya dia berusaha menatap balik, namun yang ditatap balik tidak juga menunjukkan perubahan apa-apa.   Adu melotot ini terjadi cukup lama, namun perlahan-lahan tentu saja orang di sekeliling mereka mulai menyadari ada yang aneh dengan mereka berdua.   Bhiksuni Huan Feng yang ada di sebelah Guang Yong Kwang pun menggamit tangan anak muda itu dan bertanya.   "Ketua Guang Yong Kwang, apakah ada masalah?"   Sadar dirinya mulai menjadi perhatian banyak orang Guang Yong Kwang pun jadi salah tingkah, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan dan menggelengkan kepala.   "Ah tidak ada apa-apa. Benar tidak ada apa-apa."   Demikian dia berujar, meyakinkan orang di kiri dan kanannya, saat dia melirik ke arah Ma Songquan, pendekar itu sudah mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.   Dengan santainya dia bercakap-cakap dengan Chu Linhe dan Wang Xiaho yang ada di dekatnya.   "Kakak, kenapa kau iseng memelototi bangsat itu?", tanya Chu Linhe pada Ma Songquan.   "Hemm biar dia sedikit tahu rasa, seenaknya saja mau bermain-main dengan kita.", jawab Ma Songquan.   "Saudara Ma Songquan benar, melihat dia salah tingkah hatiku sedikit puas.   Bayangkan saja, dari perkataan Bhiksu Khongzhen, sudah jelas mereka memutuskan untuk melakukan pemilihan Wulin Mengzhu lewat adu kepandaian.   Tapi dia menyatroni partai kita dengan alasan untuk mencari dukungan, seakan-akan pemilhan dilakukan berdasarkan besarnya pengaruh tiap-tiap tokoh.   Lebih lagi dia berani menjanjikan dukungannya untuk Ketua Ding Tao.   Dukungan macam apa coba yang bisa dia berikan?", gerutu si tua Wang Xiaho.   "Jika dipikir memang rasanya tidak mungkin dia menyatroni tempat kita untuk mencari dukungan, kukira yang lebih tepat adalah dia ingin menyingkirkan saingan dari temannya si Lei Jianfeng itu.", sahut Tang Xiong setengah berbisik sambil melirik ke arah Lei Jianfeng yang duduk di ujung kiri deretan kursi, di seberang mereka.   "Hmm tindakan yang merugikan Kunlun Kalau Saudara Chou Liang justru berpendapat, bahwa orang yang menggerakkannya adalah otak di balik pembantaian di Wuling yang nyata mampu menggerakkan pula Ketua dari Hoasan.", gumam Li Yan Mao.   "Akhir-akhir ini aku justru berpikir sedikit berbeda dan dari tindakan pencegahan yang diambil oleh Saudara Chou Liang, kukira dia juga mencurigai hal yang sama", ujar Tang Xiong.   "Maksudmu bagaimana?", tanya Wang Xiaho.   "Itu markas di Jiang Ling bisa dikatakan kosong dari orang-orang lama Partai Pedang Keadilan, bahkan keluarga Ketua Ding Tao juga disembunyikan.   Bukankah Saudara Chou Liang mengkhawatirkan ada musuh di dalam?", tanya Tang Xiong.   "Memang beberapa gerakan orang-orang Kunlun sejak mereka gagal menyatroni kita cukup mencurigakan.   Namun itu terjadi setelah penyerangan mereka, jadi bagaimana hal itu mengubah pemikiranmu tentang alasan serangan mereka?", tanya Li Yan Mao heran.   "Hmm akhir-akhir ini aku mulai berpikir, bahwa serangan mereka terlalu tepat waktunya.", ujar Tang Xiong.   "Terlalu tepat?", sekali lagi Li Yan Mao bertanya.   Tapi kali ini Ma Songquan yang menjawab.   "Mereka datang kira-kira 3 minggu setelah Ketua Ding Tao mulai mengurung diri. Jika ada orang yang memberi kabar tentang hal itu, setidaknya akan memberi kabar setelah Ketua Ding Tao 2-3 hari mengurung diri. Dengan berjalan cepat dari Jiang Ling ke pusat Perguruan Kunlun kurang lebih makan waktu 7 hari, membuat rencana bisa makan waktu 1-2 hari, bagaimana pun resiko dari penyerangan itu cukup besar. Dari rombongan itu berangkat hingga sampai ke Jiang Ling, makan waktu 7-8 hari, ditambah waktu untuk memastikan berita 1-2 hari." "Seandainya Saudara Ma Songquan dan Chu Linhe terlambat 1 hari saja atau Guang Yong Kwang lebih cepat 1 hari saja, hasilnya mungkin akan berbeda.", sambung Tang Xiong. Lama mereka semua terdiam, membayangkan apa yang terjadi jika apa yang diaktakan Tang Xiong benar terjadi, tiba-tiba Li Yan Mao kemudian menghembuskan nafas panjang dan berujar.   "Bagus juga Saudara Chou Liang berhasil memonopoli penggunaan burung merpati sebagai pembawa pesan di sekitar kota-kota tempat kita menancapkan kekuasaan."   Chu Linhe tersenyum kecil dan berkata.   "Benar, bukan saja menambah pemasukan kita dari orang-orang pemerintahan dan orang kaya yang ingin mengirimkan pesan memakai merpati. Tapi kita juga bisa mengawasi setiap pesan-pesan yang keluar masuk daerah kita. Lawan pun dipaksa untuk mengirimkan kabar dengan pengirim pesan yang lebih lambat dibandingkan memakai merpati."   Wang Xiaho tersenyum lebar.   "Aku ingat sewaktu Saudara Chou Liang baru saja berhasil mendapatkan persetujuan dari pejabat negara untuk mengatur lalu lintas pengiriman pesan dengan merpati pos. Hehe, beberapa orang nekat mengirimkan merpati-merpati pos mereka sendiri dan selama beberapa hari aku dan anak buahku setiap hari makan merpati panggang."   Tawa kecil pun menyebar di antara pengikut Ding Tao, hanya Ding Tao yang menghela nafas, meskipun dia juga ikut geli membayangkan Wang Xiaho yang berpesta panggang merpati.   Tapi helaan nafas Ding Tao mengingatkan pengikutnya bahwa Ding Tao sebenarnya kurang setuju dengan tindakan yang diambil Chou Liang.   Meskipun akhirnya dia menyerah, setelah Chou Liang mengajukan argumentasinya, dan terbukti memang monopoli iut menguntungkan mereka.   Meskipun beberapa partai lain kemudian melakukan hal yang serupa dengan mereka, tapi dengan meluasnya pengaruh Partai Pedang Keadilan di bagian selatan, pada akhirnya bisa dikatakan seluruh cabang-cabang mereka bisa terhubung dengan baik lewat merpati pos, sementara lawan mereka jadi kesulitan untuk mengirimkan berita keluar dari wilayah mereka.   Pengikut Ding Tao pun terdiam beberapa lama sampai kemudian Tang Xiong kembali memecahkan kediaman mereka.   "Yang jadi pemikiran sekarang ini, jika memang ada kebocoran di Jiang Ling, lalu siapakah orangnya? Dan siapakah penghubungnya di luar?" "Sekarang tidak perlu dipikirkan lagi, kita sudah sampai di sini", jawab Wang Xiaho dengan tenang. Untuk beberapa lama Tang Xiong memikirkan perkataan Wang Xiaho, akhirnya dia menganggukkan kepala. Untuk sementara ini hal itu harus dilupakan, daripada pikiran bercabang dan tidak ada satu pun pekerjaan yang selesai, lebih baik selesaikan saja satu per satu. Lagipula bukankah masih ada Chou Liang yang memang khusus berurusan dengan hal-hal yang demikian?, pikir Tang Xiong dalam hati. Perhatian mereka pun kembali kepada Bhiksu Khongzhen yang tengah mengumumkan urutan pertandingan. Hasil dari undian adalah sebagai berikut. Di putaran pertama, Ding Tao akan melawan Bai Shixian; Shan Zhengqi akan melawan Tong Baidun; Lei Jianfeng akan melawan Deng Songyan; Ximen Lisi akan melawan Lu Jingyun. 4 pemenang dari putaran pertama akan saling bertanding dan dua pemenang dari putaran kedua akan bertarung untuk memperebutkan kursi Wulin Mengzhu. Sederhana saja, tidak ada yang terlalu rumit. Sederhana, bisa dimengerti dan bisa diterima semua orang. Setelah urutan pertandingan dibacakan, maka panggung pun dikosongkan dan tinggal dua orang yang berdiri di sana. Di tengah panggung, Ding Tao dan Bai Shixian saling berhadapan. Bai Shixian bertubuh tinggi besar, biasanya dia selalu menatap mata lawannya dari ketinggian. Hari ini dia bertemu lawan yang sama tinggi dengan dirinya. Bedanya tubuh Ding Tao terlihat lebih padat dan lentur. Jika sekilas dilihat maka Ding Tao berhadapan dengan Bai Shixian, seperti sebatang pohon yang sudah tumbuh tinggi berhadapan dengan sebongkah batu raksasa. Sama tingginya, namun yang seorang mengesankan kecepatan, kelenturan dan keseimbangan, sedangkan yang seorang lagi, mengesankan kekuatan yang tak tergoyahkan. Suasana berubah sunyi senyap begitu dua tokoh yang berada pada satu tingkatan yang sama itu, berdiri berhadapan. Ding Tao yang pertama-tama merangkapkan tangan di depan dada dan menyapa lawan.   "Saudara Bai Shixian, senang bertemu, sudah lama siauwtee mendengar nama besar tinju petir Bai Shixian."   Bai Shixian menyeringai lebar dan balik menjawab sambil merangkapkan tangan di depan dada.   "Heehee.. nama Ketua Ding Tao pun sudah kudengar. Ketua Partai Pedang Keadilan dalam waktu kurang dari 1 tahun sudah merajai daerah selatan." "Ah itu semua berkat kerja keras saudara-saudara yang lain.", jawab Ding Tao merendah. "Ha ha ha , kerendahan hati Ketua Ding Tao juga sudah kudengar, ternyata bukan hanya omong kosong. Entah bagaimana dengan ilmu pedang Ketua Ding Tao, apakah juga setinggi apa yang dikatakan orang. Aku bukan orang yang pandai bicara, lebih suka aku menggunakan kepalan tanganku. Nah mari kita mulai saja sekarang.", ujar Bai Shixian untuk kemudian dengan segera mengambil kuda-kuda dengan kedua tinju petirnya siap melontarkan serangan. "Baiklah, apakah Saudara Bai Shixian tidak menggunakan senjata?", tanya Ding Tao ragu-ragu. "Huhh! Bertahun-tahun yang kuandalkan adalah sepasang tinjuku ini, bagaimana mungkin sekarang aku menggunakan senjata. Kudengar kau seorang pendekar pedang, tidak usah ragu, cabut saja pedangmu dan aku dengan dua kepalanku ini", jawab Bai Shixian dengan gusar. Ding Tao pun mengerutkan alisnya, memang ada benarnya jika seseorang sudah melatih tinjunya sekian puluh tahun, bisa dikatakan, menggunakan senjata justru akan mengurangi kedahsyatan serangannya. Di lain pihak, bagaimana pun juga besi tentu lebih keras dari otot dan tulang, pedang tentu lebih tajam dari kepalan, karena itu Ding Tao merasa ragu untuk mencabut pedangnya "Tunggu apa lagi?!", tanya Bai Shixian dengan gusar. "Silahkan Saudara Bai Shixian yang mulai lebih dahulu", jawab Ding Tao sambil mengambil kuda-kuda, namun pedang tidak juga dia cabut dari sarungnya. "Hmph! Terserah apa katamu!", gerung Bai Shixian sambil melompat ke depan mengirimkan tinju petirnya. Tinjunya benar-benar seperti petir, orang yang melihat besar tubuhnya seringkali terkejut oleh kecepatan serang Bai Shixian. Tubuhnya yang tinggi besar itu tiba-tiba terihat kabur oleh kecepatan geraknya yang sukar ditangkap oleh mata. Bahkan oleh mata para pendekar yang sudah terlatih untuk menangkap gerak cepat lawan yang ada di hadapannya. Lebih lagi bagi orang-orang biasa yang melihat di kejauhan, Bai Shixian terlihat seperti antara ada dan tidak ada. Dikatakan menghilang bukan menghilang, karena mata mereka masih menangkap sosok tubuhnya, namun otak mereka tidak dapat mencerna apakah Bai Shixian ada di sana atau di sana. Dalam keadaan masih bergerak maju, tinjunya sudah bergerak memukul ke depan. Pergerakannya tepat benar, kapan dia maju menutup jarak antara dirinya dengan Ding Tao, kapan kakinya menghentak di lantai panggung, untuk kemudian kekuatan yang dibawa itu menggerakkan tubuh, mengalirkan tenaga dari kaki, panggul, bahu sampai pada kepalan tangannya yang melayang bagai petir menggelegar. Orang yang hanya pernah mendengar cerita akan Bai Shixian, jadi terbuka matanya. Kisah Bai Shixian menghabiskan satu gerombolan penyamun seorang diri, hanya berbekal dua kepalan tangannya memang sulit dipercaya. Jika Bai Shixian menggunakan senjata mungkin masih bisa dimengerti, karena setiap orang yang jatuh tentu tidak akan bisa berdiri lagi. Tapi hanya dengan dua kepalannya saja, bagaimana dia bisa menghabiskan satu gerombolan penyamun? Yang jatuh masih ada kesempatan untuk bangkit karena rekannya akan membuat repot Bai Shixian sehingga dia tidak sempat memberikan pukulan kedua. Sehingga satu gerombolan itu akan jadi jumlah yang tak terbatas. Ada pula yang berpikir bahwa Bai Shixian menggunakan ilmu totok atau ilmu kuncian untuk mematahkan persendian lawan. Dengan demikian setiap kali ada yang jatuh oleh serangannya, tidak akan bangkit kembali untuk kedua kalinya. Atau jika tidak, gerombolan penyamun itu tentu segerombolan penyamun rendahan yang tidak mengerti ilmu bela diri. Sekarang setelah melihat sendiri seperti apa tinju petir Bai Shixian, dengan sendirinya cerita itu jadi mudah untuk dipercaya. Tinju petir Bai Shixian terlontar dalam hitungan kurang dari sekejap mata. Tenaga tinju petirnya tidak berada di bawah kecepatannya, orang yang terkena tinju petir itu sudah pasti tidak akan sanggup berdiri lagi. Tinju itu bergerak dengan cepat, kurang dari sekejapan mata tinju itu sudah sampai di depan dada Ding Tao. Jadi apakah nasib Ding Tao sama dengan nasib segerombolan penyamun itu? Terlempar jatuh dan tidak bangkit lagi oleh satu pukulan saja? Sudah tentu tidak, Ding Tao toh tidak selemah atau selamban gerombolan penyamun itu, jika tidak mana mungkin dia bisa mengalahkan Pan Jun dengan pedang kilatnya? Jika tinju petir Bai Shixian tidak bisa menjatuhkan Ding Tao, apakah itu artinya kali ini Bai Shixian yang jatuh tersungkur atau setidaknya dipukul mundur dalam keadaan terluka? Jika tinju petir senjata andalannya bisa dihindari, bukankah ganti kedudukan Bai Shixian yang terancam? Tunggu dulu, jika semudah itu mengalahkan Bai Shixian, sejak dulu tentu sudah banyak orang yang mengalahkannya. Tinju petir Bai Shixian sungguh cepat. Bukan hanya cepat, tinju itu juga menyimpan banyak perubahan. Bukan hanya cepat dan menyimpan banyak perubahan saja, tinju itu juga menyimpan kekuatan penghancur yang mengerikan. Jangankan Ding Tao yang menjadi sasaran, beberapa orang penonton yang duduk di barisan terdepan pun bisa merasakan hawa panas yang mengikuti tinju tersebut. Jadi apa yang terjadi dengan Ding Tao? Atau lebih tepatnya apa yang terjadi dengan dua orang yang sedang berhadapan itu? Mata Ding Tao yang tajam membuat pemuda itu mampu melihat kerumitan tinju petir Bai Shixian yang terlihat sederhana. Perasaannya yang peka bisa melihat kerumitan yang tak tertangkap oleh matanya, mata hatinya merasakan kengerian maut yang membayang dari tinju petir Bai Shixian. Tinju itu sendiri datang dengan kecepatan kilat, tidak mungkin Ding Tao mampu meraba seluruh perubahan yang ada dan menentukan gerakan apa yang harus dia lakukan dalam waktu yang sesingkat itu. Dalam waktu yang singkat itu Ding Tao dipaksa untuk memutuskan cara terbaik untuk lolos dari serangan tinju Bai Shixian. Akankah dia menghindar? Jika menghindar, ke mana dia harus menghindar? Ataukah dia sebaiknya menangkis serangan Bai Shixian? Jika ditangkis, hendak ditangkis seperti apa? Tinju Bai Shixian ada dua, yang satu sedang menyerang, lalu tinju yang satunya lagi akan melakukan apa? Jika terlalu banyak berpikir, belum sempat bertindak tinju itu tentu sudah menghajar dadanya terlebih dahulu. Di sini pengalaman sangat berpengaruh, setidaknya Ding Tao sudah memiliki pengalaman bahwa berpikir terlalu panjang akan merugikan dalam pertandingan di mana semuanya berlangsung dalam hitungan kejapan mata. Dalam waktu yang singkat itu, Ding Tao mengambil keputusan, sejak dari dia menangkap gerakan Bai Shixian sampai dia mengambil keputusan, jedanya sepersekian dari kecepatan tinju Bai Shixian yang kurang dari sekejapan mata. Gerakan pembelaan dirinya lebih merupakan reaksi yang dipicu oleh kengerian yang muncul dari tiju petir itu. Ding Tao pun bergerak mundur, sambil menjaga kedudukan tangan dan tubuh tetap seperti semula. Tujuannya hanya dua, mengurangi kekuatan tinju yang datang dan memberi dia kesempatan untuk berpikir dan mengamati jurus serangan Bai Shixian sejenak lebih lama. Di saat yang dirasa tepat Ding Tao pun mengerahkan tenaga, tangan kirinya menyilang di depan dada, dengan hawa murni disalurkan sepenuhnya untuk menahan serangan lawan. Tangan kanan bergerak pula menahan tangan kiri yang sudah disilangkan, selain memperkuat pertahanan, gagang pedang juga teracung ke arah lawan, siap melancarkan serangan bilamana dimungkinkan. Kakinya sendiri dibiarkan dalam keadaan melayang dan bukan dengan kuda-kuda tertancap kuat di tanah. Dalam sekejapan dua kekuatan saling berbenturan. Dalam sekejapan mata, Bai Shixian harus menentukan langkah apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Gagang pedang teracung ke arah kepalanya, Ding Tao yang tidak sempat atau tidak mau mencabut pedang dari sarungnya, memilih menggunakan gagang pedang yang terbuat dari baja untuk mengancam lawan. Apakah Bai Shixian berani mencoba meneruskan serangan kedua yang sudah disiapkan? Ataukah dia sebaiknya mundur dahulu dan merencanakan serangan kedua perlahan-lahan? Jika gerakan Bai Shixian yang menyerbu ke depan itu cepat, gerakan Ding Tao yang mundur ke belakang juga tidak kalah cepat. Jarak antara serangan Bai Shixian dimulai sampai benturan tenaga itu terjadi sepersekian saja lamanya. Yang terlihat oleh penonton adalah dua bayangan yang saling beradu untuk kemudian diam. Ya. Diam. Sesaat setelah benturan terjadi bukan hanya Bai Shixian yang dihadapkan pada pilihan-pilihan. Ding Tao pun dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dia bisa menggunakan tenaga pukulan Bai Shixian untuk mendorong dirinya lebih jauh lagi ke belakang. Dia bisa pula menghentakkan kakinya ke bawah dan ganti mendorong Bai Shixian mundur, sembari pedangnya menyerang begitu ada jarak yang tepat di antara mereka berdua. Atau bisa pula dia melakukan seperti apa yang dia lakukan sekarang. Ding Tao memilih menggunakan tangannya sebagai peredam pukulan Bai Shixian, tanpa memanfaatkannya untuk melontarkan diri ke belakang, tidak pula balas mendorong ke depan. Keputusannya cukup tepat, seandainya dia melontarkan diri ke belakang, Bai Shixian sudah siap untuk menyusulkan tinju petir yang kedua. Seandainya dia mendorong Bai Shixian mundur, maka Bai Shixian sudah bersiap untuk menggunakan dorongan itu, untuk mendorong dirinya sendiri lebih jauh ke belakang. Tujuannya agar Ding Tao kehilangan momentumnya untuk menyerang dengan pedang, di saat yang sama Bai Shixian kembali mendapatkan jarak yang tepat untuk melontarkan tinju petirnya. Tapi keputusan Bai Shixian yang selanjutnya tidak kalah pula tepatnya, begitu menyadari apa yang hendak dilakukan Ding Tao. Bai Shixian tidak ingin dirinya jatuh dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Jika Ding Tao tetap rapat dalam jarak yang sama, maka gagang pedang Ding Tao yang lebih unggul dari tinju petirnya. Karena untuk mencapai serangan puncak tinju petir dia justru membutuhkan jarak yang lebih panjang dibandingkan Ding Tao yang menggunakan senjata. Tinju petir adalah tinju yang menggunakan seluruh pegas dalam tubuh untuk melontarkan serangan terkuatnya, dimulai dari kaki menjejak, pergelangan kaki, lutut, panggul, pinggang, bahu, siku sampai ke pergelangan tangan, ditambah dengan kecepatan tubuh saat awal dia melontarkan tubuhnya memperpendek jarak dengan lawan. Dalam jarak dekat, justru tinju petir kehilangan puncak kekuatannya. Sementara serangan seperti apa yang akan digunakan Ding Tao dia belum bisa meraba karena Ding Tao belum menyerang. Yang pasti Ding Tao yang memegang senjata berada dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Kerasnya gagang pedang yang dari baja itu sudah pasti lebih keras dari batok kepala Bai Shixian. Atau jika Ding Tao cukup kejam, bisa juga mengarah pada mata. Di saat yang sekejap mata itu pula Bai Shixian mengambil keputusan untuk melontarkan seluruh tenaganya ke tinju yang sedang menyerang. Tidak ada tenaga yang disimpan untuk mengeluarkan tinju yang kedua. Benturan antara dia tenaga raksasa pun terjadi. Mereka yang berdiri di barisan terdepan masih bisa merasakan ledakan udara yang terjadi akibat benturan tersebut, p adahal mereka masih berjarak beberapa kaki dari dua orang jagoan itu. Gerakan kedua orang itu seperti badai yang tiba-tiba mengamuk dan tiba-tiba berhenti. Mereka yang menyaksikan hatinya dibuat terbang dan tercekam. Terbang nyalinya saat melihat kecepatan dan dahsyatnya benturan. Tercekam karena saat yang diam ini, hanyalah sesaat sebelum badai mengamuk kembali. Dua orang itu berdiri berhadapan. Ding Tao berdiri tegak, sementara Bai Shixian berdiri dalam posisi tubuh jauh condong ke depan dengan tangan terulur lurus, menempel pada tangan kiri Ding Tao yang bersilang. Melihat kedudukan Bai Shixian yang terlalu condong ke depan, sementara Ding Tao masih berdiri dengan berimbang, jika dilihat di permukaannya saja, maka ini adalah saat yang paling tepat bagi Ding Tao untuk menyerang. Kenyataannya Ding Tao sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menyerang. Begitu Bai Shixian memutuskan untuk mengerahkan seluruh tenaganya di tinju yang pertama, Ding Tao merasa seluruh tubuhnya dilanda hempasan gelombang air pasang dan dipaksa untu menggunakan segenap tenaganya untuk menahan. Jangankan menyisakan tenaga untuk balas menyerang, untuk menahan serangan pun Ding Tao sudah kewalahan. Itu sebabnya meskipun kedudukan Bai Shixian tampaknya kurang baik, Ding Tao tidak memiliki tenaga yang dia yakini cukup besar untuk menyerang Bai Shixian tanpa membahayakan diri sendiri. Baik Ding Tao maupun Bai Shixian dipaksa untuk menghempaskan hampir seluruh tenaga mereka dalam serangan yang lamanya hanya sekejap mata itu. Sehingga untuk sesaat mereka pun seperti kehilangan tenaga untuk bergerak. Terkejut juga Bai Shixian melihat tenaga simpanan Ding Tao, alis matanya naik ke atas dan memandangi pemuda itu dengan pandangan yang baru. Bai Shixian yang mengagung-agungkan sepasang kepalan tangannya, memandang pendekar lain yang menggunakan senjata sebagai jagoan yang setengah matang, karena mereka menyandarkan diri pada sebentuk senjata. Siapa sangka, ternyata ada juga pendekar pedang yang memiliki tenaga setara dengan dirinya. Tentu saja hal ini tidak tepat benar, karena sebelum berbenturan, Ding Tao terlebih dahulu menghindar ke belakang, sehingga tenaga Bai Shixian sudah susut beberapa bagian sebelum mereka mulai beradu tenaga. Sebaliknya Ding Tao sendiri juga menatap kagum pada lawan yang ada di hadapannya. Tidak pernah terpikirkan olehnya ada manusia yang memiliki kekuatan keras sebesar ini. Jika dia beradu keras lawan keras sudah tentu dia akan terlempar ke belakang dan menderita kerugian. Sekarangpun saat dia memilih untuk menggunakan kelembutan untuk menahan serangan lawan, tangan kirinya yang beradu dengan tenaga lawan terasa nyeri dan pegal-pegal. Dalam satu gebrakan ini Ding Tao harus mengaku kalah satu pukulan. Untungnya Bai Shixian tidak tahu hal ini dan Ding Tao cukup cerdik pula untuk tidak memperlihatkan rasa nyeri yang dia rasakan. Dua orang jagoan yang sedang bertarung itu, untuk sesaat lamanya saling berpandangan. Melihat pandang mata Ding Tao yang penuh kekaguman, Bai Shixian tiba-tiba merasa geli, begitu dia mendapat tenaga untuk melompat mundur raksasa ini pun tidak membuang waktu. Bai Shixian pun melompat ke belakang sambil tertawa berkakakan.   "Bagus! Bagus! Tidak rugi dirimu jadi jagoan pedang yang menaklukkan 6 propinsi di bawah kekuasaanmu." "Saudara Bai Shixian terlalu berlebihan", ucap Ding Tao merendah. Namun Bai Shixian bukan hanya melompat ke belakang sembarangan, dia melompat untuk mendapatkan jarak yang tepat untuk menyerang kembali. Begitu kata-katanya selesai, dia pun kembali menggunakan tinju petirnya untuk menyerang. Tapi Ding Tao yang menjawab juga tidak kehilangan kewaspadaannya, sembari berbicara dia pun dengan gesit melompat menghindar. Kali ini Ding Tao sudah bisa meraba ke mana dia harus menghindar dan bagaimana dia harus membalas serangan lawan. Meskipun dia belum bisa menangkap seluruh perubahan yang ada dalam tinju petir Bai Shixian, tapi menghadapi jurus yang sama untuk kedua kalinya, Ding Tao tidak merasakan kengerian yang sama seperti saat menghadapi jurus itu untuk pertama kalinya. Bagaimana pun juga dia sudah sempat melihat dan merasakan satu kali jurus serangan lawan. Selain itu, tangan kirinya masih terasa nyeri dan dia tidak yakin bisa menghadang serangan Bai Shixian untuk kedua kalinya. Serangan Bai Shixian sendiri kali ini dilepaskan dengan sedikit persiapan, lebih mengutamakan kecepatan dan kejutan. Bai Shixian juga maklum bahwa Ding Tao sudah sempat merasakan tinju petirnya dan tidak berharap terlalu banyak bahwa Ding Tao akan termakan pukulannya. Dengan sendirinya dia menyiapkan pula tenaga untuk bertahan dan menyarangkan serangan susulan. Kedua orang itu pun mulai saling menyerang dan bertahan dengan lebih hati-hati. Belasan jurus pun dengan cepat berlalu, benturan dahsyat di saat awal pertarungan justru tidak terjadi untuk kedua kalinya. Baik Ding Tao maupun Bai Shixian masih tidak ingin berbenturan dengan segenap tenaga mereka, untuk kedua kalinya. Keduanya memilih bertarung dengan mengandalkan kecepatan dan kerumitan jurus-jurus mereka. Beberapa kali serangan Bai Shixian sempat masuk, meskipun tidak dengan telak. Demikian juga sebaliknya, ada juga serangan Ding Tao yang menghajar tubuh Bai Shixian, meskipun bukan di tempat yang mematikan. Sampai menginjak jurus ke-20, belum juga Ding Tao mencabut pedangnya. Sehingga lepas dari masuknya beberapa serangan dari kedua belah pihak, belum ada satu pihakpun yang terluka parah hingga tidak mampu melanjutkan pertarungan. Jika hendak dinilai dari kerusakan badan yang dialami, sebenarnya Ding Tao yang berada pada posisi kalah, karena tangan kirinya menderita nyeri yang sangat hebat. Pukulan Bai Shixian di gebrakan awal sudah membuat tulang dari legan kiri Ding Tao retak. Untung saja bengkak di lengan kiri Ding Tao masih ditutupi oleh lengan bajunya yang panjang. Ding Tao pun cukup cerdik dan tabah, sehingga meskipun dia harus menahan nyeri setiap kali dia menggunakan tangan kirinya, tidak jarang dia justru menyerang Bai Shixian menggunakan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga yang cukup besar. Serangan itu juga dilaksanakan pada saat yang tepat dan dengan jurus yang memaksa Bai Shixian untuk menghindar dan bukan menangkis lengan kirinya. "Hmm apa Ding Tao merendahkan lawannya? Mengapa sampai sekarang tidak juga dia mencabut pedangnya? Bukankah dia seorang ahli pedang?", salah seorang dari mereka yang menonton bertanya sambil menonton pertarungan itu. Pertanyaan yang sama dengan bentuk kalimat yang berbeda terdengar di beberapa tempat yang lain. Pertanyaan yang tidak diarahkan pada orang tertentu, tapi merupakan pertanyaan buat setiap orang yang sama-sama menonton dan mendengar pertanyaan itu. Mereka yang mendengar itu pun menjawab, ada berbagai macam jawaban. Salah satunya adalah jawaban dari pendukung Lei Jianfeng.   "Hmph bocah muda itu rupanya begitu sombong, Sudah jelas ilmu andalannya adalah ilmu pedang, tapi dia tidak mau mencabut pedangnya."   Ada juga yang menjawab.   "Itulah kebesaran dan keadilan dari seorang ketua dan tokoh dalam dunia persilatan. Meskipun umurnya masih muda namun Ketua Ding Tao jelas memahami dua hal tersebut. Bagaimana pun juga, tidak adil jika seorang yang bersenjata melawan seseorang yang tidak bersenjata dalam pertarungan satu lawan satu."   Ada juga yang menyahut.   "Sudahlah diam saja dan lihat. Kalau Ding Tao mencabut senjatanya yang tidak mendukung dia akan bilang dia menang karena senjata. Jika tidak mencabut, dibilangnya dia sombong. Dicabut atau tidak, yang penting siapa yang masih berdiri setelah pertarungan selesai, dialah yang menang dan melanjutkan ke babak berikutnya."   Ada banyak lagi macam jawaban, tapi jika dikelompokkan kurang lebih tiga macam jawaban itu mewakili mereka.   Yaitu mereka yang mendukung Ding Tao, yang berusaha menjatuhkan nama Ding Tao dan yang hanya ingin melihat tanpa mendukung baik Ding Tao maupun Bai Shixian.   Tapi yang pasti jawaban mereka semua tidaklah tepat benar, karena kalaupun Ding Tao ingin mencabut pedangnya, dia tidak bisa.   Karena lengan kirinya sudah tidak bisa menggenggam dengan benar, lalu bagaimana dia bisa mencabut pedang dari sarungnya? Tapi karena tidak ada seorang pun yang tahu tentang cedera di lengan kiri Ding Tao, sementara pemuda itu beberapa kali menyerang hebat Bai Shixian dengan lengan kirinya, maka pikiran itu pun tidak mampir dalam benak mereka.   Sepandai-pandainya Ding Tao menyembunyikan cedera pada lengan kirinya, Bai Shixian bukan pendekar kemarin sore, yang baru saja menginjak dunia persilatan.   Bukan sekali ini saja Bai Shixian terlibat dalam pertarungan, pelan namun pasti Bai Shixian mulai curiga pada keadaan lengan kiri Ding Tao.   Dia pun mulai menimbang-nimbang kekuatan pukulan tinju petirnya dan himpunan hawa murni Ding Tao yang dia tunjukkan selama puluhan jurus itu berlangsung.   Sambil berkelahi otaknya pun membuat perhitungan.   Menghitung-hitung kekuatan pukulannya dan kekuatan Ding Tao, Bai Shixian pun mulai yakin bahwa tulang lengan kiri Ding Tao yang terpukul oleh tinju petirnya setidaknya tentu sudah retak sekarang ini.   Dalam satu kesempatan Ding Tao menggunakan tinju kirinya untuk memukul perut Bai Shixian yang terbuka.   Menurut perhitungan Ding Tao, Bai Shixian masih bisa menghindari tinju kirinya.   Siapa sangka Bai Shixian justru terlambat menghindar beberapa kejap, tinju Ding Tao pun tanpa bisa dihindari lagi masuk telak memukul perut Bai Shixian.   Bai Shixian pun terhuyung ke belakang sambil menggerung.   "Ugh keparat"   Tinju Bai Shixian segera bergerak memukul berturutan memaksa Ding Tao menjauh tanpa sempatmengirimkan serangan susulan.   Di saat terakhir Ding Tao masih sempat menahan tenaganya, sehingga tinju kirinya tidak memukul perut Bai Shixian dengan kekuatan penuh.   Meskipun demikian tinjunya sudah meluncur terlalu cepat dan benturan yang terjadi membuatrasa nyeri menyerangnya dengan hebat.   Peluh pun memenuhi dahi Ding Tao yang menahan diri untuk tidak menggerung kesakitan.   Bai Shixian melompat mundur beberapa langkah, seakan khawatir Ding Tao mengirimkan serangan yang lain.   Namun dalam hati dia tersenyum senang, pukulan Ding Tao masuk bukan karena kelengahan Bai Shixian.   Bai Shixian dengan sengaja menyediakan perutnya untuk dipukul, ini suatu pertaruhan, namun Bai Shixian yakin 8 dari 10 kemungkinan, dia yang menang dalam pertarungan itu.   Kalaupun dia salah, dia sudah mengumpulkan hawa murni untuk menahan tinju Ding Tao sebisa mungkin.   Sambil menyiapkan diri untuk menerima pukulan Ding Tao, mata Bai Shixian yang tajam mengamati wajah Ding Tao dengan lekat.   Ekspresi wajah Ding Tao yang terkejut dan khawatir saat Bai Shixian tidak bisa menghindari tinju kirinya.   Kerutan di dahi menahan nyeri saat tinju kiri Ding Tao menghantam perutnya.   Ditambah lagi dengan betapa lemahnya pukulan Ding Tao yang mengenai perutnya, jelas-jelas Ding Tao berusaha menahan tenaganya di saat-saat terakhir.   Semua itu hanya memiliki satu arti dan Bai Shixian pun melonjak kegirangan dalam hati.   Dengan sengaja dia berpura-pura terhuyung setelah kakinya mendarat kembali di panggung.   Dengan cermat dia menghitung jarak antara dirinya dengan Ding Tao.   Sebelum Ding Tao sempat mengejar, Bai Shixian pun mengerahkan jurus pamungkasnya, tinju petir yang dikembangkan sampai ke puncaknya.   Diiringi bentakan yang menggelegar, Bai Shixian pun berkelebat secepat kilat menyerang.   Ding Tao yang baru saja pulih dari serangan rasa nyeri yang menyerang lengan kirinya merasakan hawa pembunuhan yang begitu kuat terpancar dari serangan Bai Shixian.   Bukankah Ding Tao sudah menghindari jurus yang sama beberapa kali? Ketika Bai Shixian tiba-tiba menyerangnya di awal pertarungan, memang Ding Tao terpaku dan dalam waktu yang singkat itu tidak bisa mendapatkan jalan keluar kecuali menyurut mundur ke belakang sambil menyilangkan tangan untuk menahan tinju petir Bai Shixian.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tapi pada serangan yang kedua, bukankah dia sudah mulai dapat meraba serangan lawan dan melihat jalan keluar? Mengapa sekarang di saat Bai Shixian kembali menggunakan jurus yang sama, yang sudah beberapa kali dia lihat, Ding Tao kembali merasakan kengerian yang dia rasakan saat pertama kali Bai Shixian menggunakan jurus itu? Kengerian yang membuat dia merasa tidak ada jalan lain bagi dirinya kecuali menyurut mundur sambil menyilangkan tangan untuk menahan serangan tinju Bai Shixian? Dalam sepersekian kejap yang singkat itu, sembari tubuhnya menyurut mundur seperti yang dia lakukan pada serangan Bai Shixian yang pertama, Ding Tao menyadari kenyataan akan tinju petir Bai Shixian.   Tinju petir Bai Shixian yang dilancarkan pertama kali, adalah tinju petir yang sama dengan tinju petir yang dilancarkan Bai Shixian kali ini.   Tinju petir itu juga adalah tinju petir yang berbeda dengan tinju petir yang sempat dia hindari beberapa kali dalam sekian puluh jurus yang terjadi dalam pertarungan mereka.   Tinju petir, tapi bukan tinju petir.   Jurus yang bukan jurus.   Terlihat serupa namun tak sama.   Inilah tinju petir yang menjadi jurus pamungkas Bai Shixian.   Jika umumnya ketika pendekar bertarung melawan pendekar lain, tidak dengan segera menggunakan jurus pamungkas mereka, melainkan perlahan-lahan meningkatkan ilmunya dari tataran tertentu naik ke tataran berikutnya, dan baru ketika tidak ada jalan lain lagi, barulah mereka menggunakan puncak ilmunya, tidak demikian dengan Bai Shixian dalam pertarungannya melawan Ding Tao kali ini.   Bai Shixian justru mengerahkan puncak ilmunya pada gebrakan yang pertama.   Biasanya seseorang tidak ingin sembarangan menggunakan jurus utama yang dia miliki dalam sebuah pertarungan, apalagi pertarungan itu dilakukan di depan banyak orang, karena semakin sering orang melihat jurus yang dia gunakan, maka semakin besar kesempatan seseorang untuk mengamati, mempelajari dan mencari kelemahan dari jurus tersebut.   Tapi Bai Shixian memiliki jurus yang bukan jurus.   Jurus tinju petir yang nampak seperti tinju petir tapi bukan tinju petir.   Entah ada berapa orang yang pernah melihat tinju petir yang sebenarnya.   Apalagi yang selamat hidup-hidup dari tinju petir yang sesungguhnya itu sehingga bisa mengenali perbedaan jurus tinju petir yang sesungguhnya dan tinju petir yang kosong tak berisi.   Bai Shixian pun mengeluarkan segenap kekuatannya tanpa ragu-ragu.   Jika pada serangan yang pertama, serangannya sudah sedemikian mengerikan, betapa lebih lagi serangannya yang terakhir ini.   Kali ini Bai Shixian sudah memiliki kepastian akan menang dengan satu jurus pamungkasnya ini.   Tidak ada lagi yang perlu disimpan.   Sudah belasan tahun dia memoles dan memoles jurus simpanannya ini.   Berulang kali dia memikirkan sendiri cara untuk memecahkan serangan tinjunya.   Jika dua tangan atau seluruh tenaga digunakan untuk menahan serangan tinju petir, maka petir kedua siap menyambar.   Saat serangan kedua ditahan, tinju petir yang ketiga sudah siap untuk menyambar.   Jika lawan mengelak ke kiri atau ke kanan atau ke mana saja selain mundur ke belakang sambil menahan serangan, maka kembangan selanjutnya dari tinju petir sudah siap untuk menyerang.   Seperti gerakan petir yang acak dan sulit diduga, demikian pula perkembangan yang tersembunyi dalam serangan tinju yang terlihat sederhana itu.   Apa yang dilakukan Ding Tao saat gebrakan pertama mereka adalah jalan keluar terbaik yang bisa dia sendiri bisa temukan.   Menyurut mundur untuk mengurangi tenaga tinju petir yang sampai.   Menggunakan satu tangan untuk menahan serangan tinju petir dan satu tangan yang lain menyiapkan serangan balasan.   Tapi sekarang satu dari tangan Ding Tao sudah cedera dan tangan yang cedera adalah tangan yang tidak membawa senjata.   Itu artinya Ding Tao harus menahan serangan Bai Shixian dengan tangan kanan yang menggenggam senjata.   Jika tadi sembari tangan kiri menahan tangan kanan mengancam dengan gagang pedang dari baja.   Maka sekarang yang bisa dilakukan Ding Tao hanyalah tangan kanan menahan dan tangan kiri yang sudah mau patah mengancam hendak menyerang.   Jika Bai Shixian harus mempertaruhkan batok kepalanya untuk diadu dengan gagang pedang yang terbuat dari baja, diapun tidak berani mengambil resiko itu.   Tapi kali ini yang hendak beradu dengan batok kepalanya adalah sebuah kepalan tangan yang terdiri dari tulang, darah dan daging.   Otak memang organ tubuh yang mudah cedera, tidak lebih seperti sebuah agar-agar yang dengan sedikit tepukan saja bisa hancur dan rusak.   Namun alam memberikan pelindung bagi organ terlemah itu.   Tulang tengkorak manusia, bisa dikatakan adalah bagian yang terkuat dan terkeras dari tubuh manusia.   Kepalan tangan yang tidak terlatih dengan mudah bisa mengalami cedera jika harus beradu dengan batok kepala manusia yang keras.   Apalagi Bai Shixian sudah bersiap, jika tinju kiri Ding Tao benar-benar menyerang, maka dia pun akan mengadu tinju Ding Tao dengan dahinya.   Bagian terkeras dari kepala manusia.   Bagian yang sudah dilatihnya bertahun-tahun untuk menutupi kelemahan tinju petir yang dia miliki.   Terlebih lagi lengan kiri Ding Tao sudah dalam keadaan retak, Bai Shixian pun yakin jika itu terjadi maka kerugian yang lebih besar ada pada Ding Tao.   Bukan saja tangan kanannya akan terhajar oleh tinju petir, tangan kirinya pun sudah pasti akan patah oleh benturan itu.   Selanjutnya Ding Tao tidak memiliki satu tangan pun untuk menahan tinju petir yang datang berikutnya.   Terlebih lagi jika Ding Tao tidak menggunakan tinju kirinya untuk menyerang Bai Shixian, itu artinya setelah Bai Shixian menghajar lengan kanan Ding Tao, maka tinju petir yang kedua akan menyelesaikan pertarungan itu.   Yang dijelaskan panjang lebar dengan kata-kata, terjadi dalam sekejapan mata.   Sekali lagi tubuh Bai Shixian dan Ding Tao tampak mengabur bagi mereka yang melihatnya.   Sekali lagi terjadi benturan maha dahsyat dan ledakan udara yang menerpa sekalian mereka yang duduk di deretan terdepan.   Sekali lagi terjadi benturan antara dua kekuatan raksasa, kali ini hati setiap orang bukan saja tercekam oleh dahsyatnya benturan yang terjadi.   Suara berderaknya tulang dan jeritan yang menyayat hati, mengiringi benturan antara dua orang pendekar pilih tanding tersebut.   Ketajaman pikiran Bai Shixian sudah membongkar kelemahan Ding Tao.   Tahu kekuatan lawan dan tahu kekuatan sendiri, adalah kunci untuk bertempur seratus kali dan memenangkan seratus pertempuran.   Apakah ada kemungkinan dia akan kalah? Tinju pamungkasnya yang menggetarkan langit sudah dilancarkan sementara Ding Tao harus menghadapinya dengan sebelah tangan terluka.   Apakah masih ada kemungkinan Bai Shixian menemui kekalahan? Apakah masih ada kemungkinan Bai Shixian kalah? Nyatanya Bai Shixian salah menilai Ding Tao, tidak pernah terbayangkan dalam benak Bai Shixian bahwa Ding Tao akan menggunakan tangan kirinya yang sudah retak untuk menahan tinju petir yang dilontarkan oleh Bai Shixian.   Ledakan udara yang terjadi diiringi pula dengan suara berderaknya tulang Ding Tao yang patah oleh tinju petir Bai Shixian.   Meskipun Ding Tao sudah menyurut mundur sejauh mungkin ke belakang, meskipun Ding Tao mengerahkan hawa murninya untuk melindungi lengan kirinya, tidak urung tinju petir Bai Shixian menghajar lengan kiri Ding Tao hingga patah.   Namun dengan menguatkan diri untuk menggunakan lengan yang sudah retak untuk menahan serangan Bai Shixian, maka tangan kanan Ding Tao pun memiliki kesempatan untuk mengirimkan serangan balasan.   Suara tulang yang berderak bukan hanya berasal dari patahnya lengan kiri Ding Tao.   Suara tulang yang berderak itu juga berasal dari pecahnya batok kepala Bai Shixian yang beradu dengan gagang pedang Ding Tao yang terbuat dari baja.   Saat Ding Tao membalas serangan Bai Shixian dengan sebuah pukulan menggunakan gagang pedang ke arah kepala Bai Shixian, Bai Shixian sendiri sudah bersiap untuk menyambut serangan Ding Tao dengan membenturkan dahinya.   Kenyataan bahwa Ding Tao justru berkeras untuk menahan serangan Bai Shixian dengan lengan kirinya yang cedera, sehingga dia bisa membalas serangan Bai Shixian dengan kekuatan penuh, tidak sempat diolah oleh otak Bai Shixian yang sudah menyiapkan rencana sebelumnya.   Gagang pedang yang melaju disambut dengan sebuah tandukan sekuat tenaga.   Gagang pedang baja sudah tentu berbeda dengan tinju manusia.   Kerasnya dahi Bai Shixian yang sudah terlatih masih kalah keras dengan gagang pedang dari baja.   Dahi yang sudah terlatih belasan tahun itu, dahi yang biasa memecahkan kayu setebal jari kaki itu, kini pecah dan melesak ke dalam dihantam oleh gagang pedang dari baja.   Dahsyatnya hasil dari serangan Ding Tao sebagian besar juga disebabkan oleh kerasnya tandukan Bai Shixian sendiri.   Ding Tao sendiri pun terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, baik oleh karena pukulan tinju petir, maupun tandukan kepala Bai Shixian.   Lengan kirinya patah terkulai, bahu kanannya pun terasa pegal.   Tapi akibat yang lebih parah dari benturan mereka berdua dialami oleh Bai Shixian yang sudah melesak ke dalam dahinya, dengan darah mengucur keluar dari kedua lubang telinga, mata, hidung, mulut dan dahinya yang berlubang.   Dengan cepat para pengikut kedua calon memburu ke depan, Tang Xiong dan Li Yan Mao dengan cepat menahan tubuh Ding Tao yang terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang ke belakang.   Wang Xiaho dengan cekatan mengambil pedang Ding Tao yang jatuh bergelontangan di atas lantai panggung.   Ma Songquan dan Chu Linhe dengan cepat berdiri menghadang di depan Ding Tao, siap menghadapi jika ada yang menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Ding Tao.   Menyusul dengan cepat belasan pengikut Ding Tao yang lain berlompatan dan berbaris di belakang mereka berdua.   Di sisi lain, para pendukung Bai Shixian melakukan hal yang sama.   Bedanya jika Tang Xiong dan Li Yan Mao, memapah Ding Tao yang masih hidup dan perlahan-lahan mulai pulih nafas dan juga tenaganya.   Maka para pendukung Bai Shixian sedang memapah Bai Shixian yang sudah kehilangan kesadarannya, dengan badan mengejang dan meregang nyawa.   Kematian Bai Shixian terjadi dalam sebuah pertarungan yang adil dan disaksikan banyak orang.   Tidak ada dasar untuk membalaskan dendam.   Kalaupun ada dari pendukung Bai Shixian yang ingin membalas dendam, mereka tidak punya kesempatan, di depan mereka menghadang Ma Songquan, Chu Linhe dan belasan pengikut Ding Tao yang lain.   Terdengar sorak sorai dari para penonton yang mendukung Ding Tao, senyap dari mereka yang mendukung Bai Shixian.   Tapi baik mereka yang mendukung Ding Tao maupun mereka yang mendukung Bai Shixian, mau tidak mau merasa kagum pada kepandaian ditunjukkan oleh kedua orang tersebut.   Bai Shixian boleh saja mati di atas panggung, namun kisah kepahlawanannya dan dua kepalan dengan tinju petirnya masih hidup sampai beberapa generasi kemudian.   Tapi apakah Bai Shixian masih bisa menikmati ketenaran itu? Apakah harumnya nama Bai Shixian sampai juga pada arwahnya? Siapa yang tahu? Adakah segala usaha yang dilakukan manusia masih berarti bagi dirinya sendiri setelah dia mati? Dua orang bhiksu Shaolin yang ahli dalam hal pengobatan, dengan cepat mendekati kedua orang jagoan yang baru saja selesai bertarung itu.   Di belakang mereka masing-masing, mengikuti dua orang bhiksu yang lebih muda membawa tas berisi berbagai macam obat dan peralatan.   Shaolin memang gudangnya ilmu, perpustakaan mereka yang besar sudah terkenal di seantero negeri, berisi berbagai macam kitab pengetahuan, dari ilmu pengobatan, ilmu perbintangan, ilmu bercocok tanam, ilmu silat dan banyak lagi ragam lainnya.   Yang memeriksa Bai Shixian hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan sedih, meskipun tetap berusaha berbuat sebisa mungkin untuk meringankan penderitaan Bai Shixian.   Beberapa jarum dengan cekatan ditancapkan di beberapa tempat, sementara peralatan ketabiban dicuci dengan obat.   Bhiksu tua itu berusaha dengan sehati-hati mungkin mengambil serpihan tengkorak yang masuk ke dalam otak.   Tapi apa yang bisa dia lakukan, bhiksu tua itu berkali-kali menggelengkan kepala sambil menyebut-nyebut nama Buddha.   Entah jalan darah mana yang ditotok, atau titik apa yang ditusuk dan obat apa yang diberikan.   Bai Shixian sudah tidak lagi mengejang-ngejang dan perlahan tertidur pulas.   Tetapi meskipun dia masih bernafas, belum pernah bhiksu tua itu melihat ada orang yang bisa hidup setelah menerima luka seperti itu.   Sebisa mungkin bhiksu tua itu membersihkan luka, memberikan obat, kemudian membebat kepala Bai Shixian dengan kain yang bersih.   Sambil mengiringi para pendukung Bai Shixian membawa tubuh tinggi besar itu ke tempat yang sudah disediakan, bhiksu tua yang welas asih itu terus menerus membacakan doa sambil sesekali menghela nafas.   Di tempat lain rekannya yang berjenggot panjang dengan warna seperti salju sedang memeriksa lengan Ding Tao.   Gerak- geriknya cekatan, demikian pula dua orang bhiksu muda yang membantunya.   "Hmm..   patahan yang bagus", katanya sambil menarik nafas lega saat dia memeriksa lengan kiri Ding Tao.   "Ketua Ding Tao, harap gigit kayu ini", ujarnya sambil mengangsurkan sebatang kayu kecil yang sudah dibebat kain.   Ding Tao mengangguk dan tanpa banyak bertanya melakukan apa yang disuruh.   "Siao Fei, siapkan baluran untuk patah tulang, pelat dan perban.   Siao Xiang siapkan obat untuk membersihkan luka, juga jarum dan benang.", demikian bhiksu tua itu mulai memberikan perintah pada kedua orang pembantunya, sementara dia sendiri bekerja merawat Ding Tao.   Dengan cekatan Bhiksu tua itu menotok bagian-bagian tertentu hingga darah berhenti mengucur.   Tulang yang patah dikembalikan ke tempatnya.   Luka akibat patahan tulang yang menembus otot dengan cepat dibersihkan,kemudian dijahit.   Obat dibalurkan dan pelat dipasang, agar tulang yang patah dan sudah kembali ke tempatnya tidak lagi berubah tempat.   Dengan cekatan pelat-pelat itu dibebat dengan kain yang sudah disiapkan.   Dahi Ding Tao pun penuh dengan peluh yang bercucuran, beberapa kali dia menggeram menahan sakit yang luar biasa.    Si Rase Hitam Karya Chin Yung Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini