Pedang Angin Berbisik 8
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 8
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng ---------- o ---------- Sore harinya setelah semua urusan selesai, Huang Ying Ying yang mengaku tidak enak badan meminta agar makanan diantarkan ke kamarnya. Rencananya dia akan memberikan sebagian makanan itu untuk Ding Tao. Dia dan kakaknya belum berani memindahkan pemuda itu ke tempat lain. Huang Ren Fu sebenarnya keberatan dengan pengaturan itu, tapi Huang Ying Ying dengan sungguh-sungguh dan sedikit kesal berkata. "Boleh saja kau tidak percaya pada Ding Tao, masakan kau juga tidak percaya padaku? Apa kaupikir adikmu ini perempuan murahan yang akan menjajakan dirinya pada setiap lelaki?" Dengan menahan kesal Huang Ren Fu menjawab. "Tapi apa kata orang nantinya?" "Aku tidak peduli apa kata orang, yang penting nuraniku sendiri. Apa kakak pikir aku senang dengan keadaan seperti ini, akupun terganggu dengan keadaan ini. Tapi apa ada cara lain yang lebih baik? Memindahkan Ding Tao di saat ini sangatlah susah dilakukan tanpa menarik perhatian orang. Apalagi Paman Tiong Fa punya mata yang bukan main tajamnya.", jawab Huang Ying Ying dengan air mata merebak. Akhirnya Huang Ren Fu mengalah, sambil membuang muka dia berkata. "Aku tahu sudahlah kuharap pemuda itu cukup berharga untuk kau berani mempertaruhkan nama baikmu sendiri." Huang Ying Ying hanya bisa menggigit bibir tanpa mampu menjawab, karena menjawab berarti mengakui perasaannya pada Ding Tao. Huang Ren Fu akhirnya terpaksa meninggalkan adiknya sendirian dengan seorang laki-laki di kamarnya. Sebenarnya dia yakin tidak akan ada yang terjadi di antara keduanya. Dia mempercayai Huang Ying Ying sepenuhnya, gadis itu mungkin saja terkadang bersikap tidak pedulian terhadap pendapat orang, tapi dia percaya Huang Ying Ying bisa menentukan sendiri batas-batasnya. Demikian juga dengan Ding Tao, Huang Ren Fu percaya pada pemuda itu, hanya orang buta yang tidak bisa melihat sorot mata Ding Tao yang penuh cinta saat bersama dengan Huang Ying Ying. Tapi sorot cinta yang terpancar dari mata pemuda itu begitu tulus, bersih dari sorot mata nakal dan kurang ajar. Lagipula Ding Tao sedang terluka parah, jangankan berbuat macam-macam, untuk menggerakkan tubuhnya pun pemuda itu pasti akan sangat kesakitan. Setidaknya itu yang dikatakan Tabib Shao sebelum meninggalkan sebungkus obat untuk Ding Tao. Tidak banyak yang bisa dilakukan Tabib Shao sekarang ini, kecuali menunggu tubuh Ding Tao memulihkan dirinya sendiri. Sedikit obat yang diberikan adalah untuk membantu Ding Tao tidur dan mengistirahatkan tubuhnya tanpa diganggu oleh rasa sakit yang disebabkan oleh luka-lukanya. Mungkin ada banyak alasan bagi Huang Ren Fu untuk merelakan, meninggalkan keduanya bersamaan. Semoga saja kepercayaan Huang Ren Fu itu tidak salah tempat. Baru setelah kakaknya pergi dan Huang Ying Ying menutup pintu kamarnya, barulah gadis itu meresapi keadaannya saat itu. Dia sedang berdua sendirian dengan Ding Tao di dalam kamarnya, gadis itu tiba-tiba merasakan jantungnya berdebaran dan mukanya memerah. Untuk beberapa saat lamanya gadis itu melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan, tengkurap gadis itu menutupkan bantal ke atas kepalanya dan memaki-maki dirinya sendiri karena tiba-tiba merasa gugup dan salah tingkah. "Sialan, sialan, Ding Tao sialan, kenapa perasaanku jadi begini. Ah sial, ini gara-gara ucapan Kakak Ren Fu, memangnya apa yang akan kami lakukan?", gerutunya sambil memukul-mukul kasur. Dasar sedang sial, di saat itu terbayang cerita emban pengasuhnya yang centil tentang bagaimana rasanya berciuman dengan kekasih untuk pertama kalinya, di luar kemauannya Huang Ying Ying membayangkan dirinya dicium oleh Ding Tao dan membaralah wajahnya. Dengan kesal bercampur debar-debar aneh gadis itu memukuli kepalanya sendiri. "Bodoh! Bodoh! Bodoh! Huang Ying Ying bodoh sekali kamu! Ah sialan!" Dengan geram gadis itu berdiri lalu mengambil pedang pendeknya dan dengan menggertak gigi dia mulai berlatih. Gerakannya cepat dan gesit, perlahan-lahan dia mulai larut dalam latihan. Obat tidur yang diminum Ding Tao sudah mulai hilang efeknya, kesadarannya perlahan datang. Rasa nyeri yang tadi ditekan oleh obat juga perlahan datang kembali. Sambil mengeluh panjang Ding Tao membuka matanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya, otaknya terasa sulit sekali disuruh bekerja. Lama Ding Tao mengamati keadaan sekelilingnya, tidak mengerti, tempat apa ini? Perlahan tangannya meraba-raba ke sekelilingnya, agak lama baru dia sadar ada segaris cahaya. Pemuda itu mencoba bangkit berduduk, menggigit bibir menahan nyeri, berhasil juga dia duduk dan segera saja kepalanya menyentuh baju-baju yang digantungkan. "Kain", pikirnya. "Ini wangi ini", meskipun kesadaran itu datang sedikit demi sedikit, Ding Tao mulai menduga-duga, apakah dia ini sekarang ada dalam lemari pakaian Huang Ying Ying? Bau ini, bau wangi khas yang sering dia cium saat berdekatan dengan gadis itu. Dengan gugup Ding Tao berusaha bangkit berdiri dan keluar dari tempat itu. Tapi setelah berhasil berdiri, kakinya terasa lemah, tidak tahan untuk menopang tubuhnya yang sudah bangkit berdiri. Semakin guguplah pemuda itu saat dia merasa tubuhnya terguling ke depan tanpa bisa berbuat apa-apa. Gerakan jatuh yang tiba-tiba itu membebani tulang-tulang rusuknya yang baru saja dihajar kemarin. Nyeri yang sangat menusuk luka-luka di bagian yang terpukul dan tanpa bisa ditahan Ding Tao terpekik menahan sakit. Diiringi oleh suara gedubrakan saat dia membentur lantai, Ding Tao keluar dari lemari pakaian Huang Ying Ying. Huang Ying Ying pun terlonjak kaget mendengar suara itu. Wajahnya jadi pucat, bagaimana kalau suara itu terdengar sampai di luar? Cepat dia menendang bangku yang ada di dekatnya sambil memaki. "Sialaaan !!" Kemudian dengan jari di bibir, dia memberi tanda untuk Ding Tao yang sedang memandang ke arahnya untuk diam. Dia sendiri cepat-cepat mendekati pintu kamarnya dan menempelkan telinga. Mendengar-dengar apakah ada orang di sana. Saat tidak terdengar apa-apa di luar, perlahan Huang Ying Ying membuka pintu kamarnya dan mengintip keluar. Dengan nafas lega dia masuk kembali sambil menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Matanya pun jatuh tertuju pada Ding Tao yang memandang ke arahnya dengan raut wajah kebingungan. Cukup lama mereka hanya saling memandang, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ding Tao dengan perasaan bersalah mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi hingga dirinya bisa berada di dalam lemari pakaian Huang Ying Ying. Akhirnya dengan nada bersalah dan putus asa dia berusaha menjelaskan. "Adik Ying, aku tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini. Yang kuingat" "Ssst jangan terlalu keras bersuara, tenanglah. Aku tahu, kemarin malam ada orang coba membunuhmu.", bisik Huang Ying Ying yang sekarang telah duduk di sisi pembaringannya dekat dengan tempat Ding Tao terjatuh. "Benar, benar, Adik Ying apa mereka sudah tertangkap? Lalu mengapa aku sampai berada di sini?" Huang Ying Ying menggeleng, dari sorot matanya Ding Tao menangkap satu kepedihan. "Tidak Ding Tao, mereka belum tertangkap. Tahukah kamu siapa yang melakukannya?" Ding Tao menggeleng. "Tidak, waktu itu aku sangat mengantuk, tidak sedikitpun aku mendengar suara mereka. Aku baru tersadar setelah merasakan satu nyeri yang hebat di hatiku. Saat sadarpun aku tidak sepenuhnya bisa menangkap kejadian di sekitarku dan kedua orang itu, mereka memakai topeng hitam menutupi wajahnya." Membayangkan keadaan Ding Tao saat itu, air mata merebak di pelupuk mata Huang Ying Ying, dengan lembut dipegangnya tangan Ding Tao. "Maafkan aku Ding Tao, akulah yang memberikan obat itu padamu" Ding Tao yang bisa merasakan kepedihan hati gadis itu mencoba menenangkannya. "Adik Ying, jangan bersedih, aku tahu maksud baik dirimu dan ayahmu. Hanya waktunya saja sangat bertepatan dengan datangnya dua orang itu." Mendengar itu Huang Ying Ying jadi merasa makin bersalah, karena ayahnya yang telah merencanakan pencurian dan pembunuhan itu. Tapi dia tidak bisa mengatakan hal itu pada Ding Tao, tidak berani dia membayangkan apa yang akan terjadi jika Ding Tao tahu hal itu. Bagaimana jika pemuda itu kemudian membencinya? Atau bagaimana jika pemuda itu kemudian pergi untuk berkelahi dengan ayahnya? Huang Ying Ying tidak peduli dengan Pedang Angin Berbisik, dia tidak peduli dengan Ren Zuocan. Tidak perlu Ding Tao jadi pendekar pedang nomor satu asal pemuda itu tidak membencinya saja dia sudah bahagia. Dengan sedih gadis itu menggeleng lemah, Ding Tao yang melihat gadis itu semakin bersedih menjadi semakin bingung. "Adik Ying, Adik Ying, janganlah bersedih, jangan pernah merasa bersalah terhadapku. Adik Ying hanya engkau selalu baik padaku sejak dulu, itu aku tahu dengan jelas. Adik Ying ingatkah kau dua tahun yang lalu? Saat aku lulus ujian naik peringkat waktu itu?" Dengan mata yang membasah Huang Ying Ying menatap Ding Tao lalu mengangguk perlahan. + "Hari itu, hari yang selalu kuingat selama dua tahun ini, apakah kau tahu mengapa aku merasa bahagia saat mengenangnya?" "Karena kau jadi juara waktu itu?" "Bukan, bukan karena itu, tentu saja ada rasa senang, tapi bukan itu yang membuatku terkenang. Melainkan senyummu, tawamu saat kau melihat aku dinyatakan sebagai lulusan terbaik. Aku masih teringat sorakanmu saat itu. Hari itu kau terlihat begitu gembira, dan akulah yang membuatmu tertawa serta bersorak. Karena itu Adik Ying, janganlah lagi bersedih, karena hal itu akan membuatku merasa bersedih pula." Rayuan gombal pemuda udik macam Ding Tao tentu saja kalah jauh dengan rayuan seorang pemuda romantis yang sudah ahli. Tapi ketulusan Ding Tao tidak bisa disamai mereka ini, apalagi yang mendengarnya adalah Huang Ying Ying yang sedang jatuh cinta pada pemuda itu. Langsung saja mukanya bersemu merah, senyum di bibir merekah, dengan pipi masih dihiasi tetesan air mata yang belum mengering, membuat dirinya tampak lebih cantik dari biasanya. Ding Tao yang merasa lega, melihat senyum di wajah Huang Ying Ying, tanpa terasa menjadi lebih longgar lidahnya. Dibantu dengan efek obat yang diminumnya belum benar-benar hilang. Meskipun Ding Tao sudah tidak lagi diserang rasa kantuk, tapi kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Suasana dan kondisi saat itu juga terasa begitu aneh bagi nalar Ding Tao dan di luar akal sehatnya, membuat Ding Tao tidak memijak pada kenyataan sehari-hari. Apa yang biasanya dia pendam saja, terlontar keluar dengan begitu mudahnya. "Adik Ying, tahukah kau betapa berat saat guru dan aku memutuskan untuk pergi tanpa pamit dua tahun yang lalu? Bukan karena aku gentar oleh beratnya kehidupan berkelana, tapi karena aku takut dipandang rendah oleh dirimu, sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih. Jika ada penghiburan bagiku, itu adalah janji guru, bahwa setelah aku menamatkan ilmu keluarga Huang, aku akan mempunyai cukup bekal untuk menghadapi bahaya dan kembali untuk menjelaskan semuanya ini padamu." Huang Ying Ying jadi makin terharu, mengingat justru karena hal itulah nyawa Ding Tao jadi terancam dan pemuda itu kehilangan pedang pusaka yang sangat berharga. Mengeluh pendek, gadis itu menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Ding Tao. Ding Tao yang untuk bangkit berdiri pun harus bersusah payah, menyeringai kesakitan saat tubuh Huang Ying Ying yang lembut itu membentur tubuhnya yang masih nyeri. Dengan sekuat tenaga pemuda itu menahan diri agar tidak berteriak kesakitan. Tubuhnya memang sakit dan perlu waktu cukup lama sebelum nyeri itu tidak lagi menusuk, tapi jangankan rasa sakit, jika saat itu dia ditembusi pedangpun, pemuda itu rela. "Adik Ying selama dua tahun, hanya bayanganmu yang memberiku kekuatan.", gemetar suara Ding Tao, dengan memberanikan diri pemuda itu memeluk tubuh Huang Ying Ying dengan lembut. "Ah Kakak Ding aku.. aku pun demikian.", balas Huang Ying Ying dengan jantung berdebaran. Tentu saja ini tidak sepenuhnya benar, memang Huang Ying Ying sudah sejak lama menyukai pemuda itu, tapi tidak seperti saat ini. Rasa kagumnya baru benar-benar tumbuh saat Ding Tao kembali dari pengembaraannya yang dua tahun itu. Dan rasa kagum itu semakin bertumbuh hingga benar-benar berkembang menjadi rasa cinta saat Ding Tao menunjukkan kegagahanny adalam pertandingan persahabatan di hari sebelumnya. Tapi kata-kata itu terasa manis di telinga Ding Tao, dan bagi Huang Ying Ying pun rasanya kata-kata itu sudah tepat. Saat itu rasanya sudah bertahun-tahun lamanya dia mencintai Ding Tao, bahkan sejak mereka masih kanak-kanak. Bersandar di dada Ding Tao yang bidang, gadis itu merasa begitu bahagia, berbisik pada Ding Tao, dengan tulus dia berjanji. "Kakak Ding, mengenai pedangmu, aku berjanji akan membantumu untuk mendapatkannya kembali." "Pedangku? Pedang?" Ding Tao dengan tiba-tiba melepaskan pelukannya dan melonjak kaget. Baru sekarang dia teringat akan pedangnya, pedang yang dipercayakan gurunya kepadanya. Begitu kagetnya hingga dia lupa pada luka di dadanya dan meloncat berdiri. Baru setelah dia meloncat berdiri dan rasa sakit itu menyerang hebat, pemuda itu mengaduh dan berpegangan pada lemari pakaian yang ada di dekatnya, menahan agar tubuhnya tidak sampai jatuh. Huang Ying Ying memandang Ding Tao dengan cemas, cemas akan luka Ding Tao, cemas pula pada reaksi pemuda itu, yang rupanya belum sadar bahwa dia sudah kehilangan Pedang Angin Berbisik. Padahal Huang Ying Ying yang mengenal baik pemuda itu, tahu betul bagaimana Ding Tao menjunjung tinggi tanggung jawab yang dibebankan pada dirinya. "Kakak Ding jangan terlampau kuatir, duduklah dahulu." Ding Tao yang sudah bisa menguasai dirinya, menganggukkan kepala dengan lemas, lalu dibantu oleh Huang Ying Ying, perlahan-lahan dia duduk di samping Huang Ying Ying. "Adik Ying, apa yang sebenarnya terjadi? Aku ingat ada orang yang menyerangku, sewaktu aku tertidur pulas. Tidak banyak yang kuingat selanjutnya, yang ada hanya keinginan untuk melarikan diri dari bahaya dan mencari tempat yang aman." Huang Ying Ying kehilangan akal, apa yang harus dia ceritakan pada pemuda itu? Dengan terbata-bata, gadis itu menceritakan bagaimana Ding Tao jatuh pingsan di depan kamarnya. Peristiwa terbunuhnya Zhang Zhiyi, tuduhan Tiong Fa pada Ding Tao dan juga penemuan Tabib Shao Yong yang telah membersihkan nama Ding Tao meskipun di luaran temuan itu masih dirahasiakan. Diceritakannya juga tentang apa yang telah dia lakukan bersama dengan kakaknya dan reaksi Tuan besar Huang Jin yang mendukung keputusan mereka. Dalam hatinya gadis itu merasa bersalah, karena telah menutupi kejadian yang sesungguhnya. Ding Tao yang baru saja sadar dari tidurnya, untuk beberapa lamanya tidak mampu berkata apa-apa. Jangankan berbicara, pikirannya masih dengan lambatnya berputar untuk mengolah masukan-masukan baru yang sangat berat dan susah dicerna. "Tetua Tiong Fa yang merencanakan ini semua?", tanyanya dengan nada tidak bisa percaya. "Iya, setidaknya itu dugaan kami. Kakak Ding, apakah kau marah padaku? Jika bukan karena obat itu", air mata kembali merebak di mata Huang Ying Ying. Tapi jari Ding Tao dengan cepat menyentuh bibir gadis itu, memberi tanda agar dia berhenti berbicara. "Adik Ying, jangan salahkan dirimu sendiri. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku sangat berterima kasih padamu. Kalau bukan karena pertolonganmu, bukan hanya kehilangan pedang, akupun akan kehilangan nyawa." "Tapi Kakak Ding, pedang itu bukankah sangat berharga? Bagaimana juga dengan pesan Pelatih Gu padamu?" Dengan lembut Ding Tao meraih tangan Huang Ying Ying. Begitulah awal pertama berpegangan tangan masih ragu, setelah ternyata Huang Ying Ying tidak marah, bahkan gadis itu sempat merebahkan tubuhnya, bersandar di dada Ding Tao, pemuda ini pun jadi makin berani. "Adik Ying, seluruh orang di dunia persilatan boleh saja memandang pedang itu sebagai pusaka yang paling berharga. Tapi bagiku", sampai di sini jantung Ding Tao berdebaran makin cepat. "Bagiku bagiku, dirimu jauh lebih berharga. Aku aku sudah sejak lama, aku mencintaimu.", merah padam wajah Ding Tao seusai mengucapkan kata-kata itu. Tiba-tiba muncul rasa khawatir, khawatir jika Huang Ying Ying menolak cintanya. Berbeda dengan perasaan Ding Tao, perasaan Huang Ying Ying bagaikan dibuai ke angkasa. Sekali lagi gadis itu merebahkan dirinya ke atas dada Ding Tao yang bidang, dengan berbisik dia menjawab. "Aku, aku juga" Singkat saja jawaban Huang Ying Ying, tapi yang singkat itu sudah membuat Ding Tao merasa bahagia sekali. Belasan tahun lamanya dia memendam rasa suka, entah sudah berapa kali sejak dia meninggalkan kediaman keluarga Huang, dia membayangkan saat-saat seperti ini. Ketika saat itu akhirnya tiba, sungguh sulit untuk dilukiskan bagaimana perasaannya. "Maksudmu, aku juga bagaimana?", tanyanya menegas. "Ya begitu itu", dengan malu-malu Huang Ying Ying menjawab. "Begitu itu bagaimana?", mata Ding Tao berkilat nakal, saat huang Ying Ying melirik ke arah wajahnya dan dengan gemas gadis itu pun mencubit Ding Tao keras-keras, sampai anak muda itu mengaduh-aduh minta ampun. Untuk sesaat sepasang kekasih itu tertawa, lupa akan keadaan mereka yang sesungguhnya. Bahaya masih mengintai di luar, tapi tidak salah kalau ada yang mengatakan, bagi orang yang sedang jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Setelah beberapa lama, tertawa tertahan, keduanya akhirnya berhenti tertawa dan saling pandang. Dengan suara yang lebih tenang Huang Ying Ying bertanya. "Kakak Ding benarkah kau mencintaiku? Meskipun keluargaku sudah sudah merebut pedangmu dengan cara yang licik?" Ding Tao tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan lembut ditariknya pundak gadis itu, dan bibirnya dengan lembut mengecup bibir Huang Ying Ying. Sebenarnya debaran jantung Ding Tao sudah membuat telinganya serasa mau pecah, tapi entah bisikan setan dari mana. Keinginan itu tiba-tiba muncul tanpa bisa ditahan. Huang Ying Ying yang bisa menduga apa yang akan dilakukan Ding Tao pun, sama-sama terbawa suasana. Bukannya menolak, gadis itu justru menutup matanya. Seandainya Huang Ren Fu melihat adegan itu, mungkin pemuda itu bakal menyesal tujuh turunan. Nafas keduanya memburu, debaran jantung mereka semakin kencang, getaran-getaran yang belum pernah mereka rasakan membuat pikiran mereka makin berkabut. Perlahan bibir mereka bukan hanya bertemu, tapi menempel semakin erat, bertaut, saling memagut. Kepala Ding Tao terasa berdenyut keras, tapi dia tidak juga berhenti, seperti mereguk air yang manis tapi dahaga tidak juga hilang. Samar-samar terasa tubuh Huang Ying Ying yang lembut tapi panas membara, semakin merapat di dadanya. Sepasang tangan yang lembut melingkar di lehernya, bibir yang merah merekah menempel erat di bibirnya dan sepasang dada yang ranum sekarang menyentuh tubuhnya. Tangan Ding Tao dengan sendirinya bergerak, perlahan, bergerak hendak membelai sepasang dada yang ranum itu Huang Ying Ying terpekik kaget saat dirasanya kedua tangan Ding Tao membelai lembut sepasang buah dadanya. Bajunya dari sutra yang halus dan baik kualitasnya, membuat jari Ding Tao yang membelai lembut terasa jelas dan ketika bagian tertentu dari dadanya tersentuh, sensasi yang dia rasakan begitu kuatnya hingga gadis itu pun memekik kaget. Jengah dan malu gadis itu menggeliat dan melepaskan diri dari pelukan Ding Tao. Tubuhnya menginginkan lebih, tapi yang sekejap itu sempat membuat pikirannya jernih. Huang Ying Ying terbagi oleh dua kekuatan, sebagian dirinya ingin melompat kembali ke pelukan Ding Tao, tapi bagian dirinya yang lain menahan tubuhnya untuk mendekati pemuda itu. Tapi batas keseimbangan itu begitu tipis, satu sentuhan saja dari Ding Tao mungkin akan meluluhkan pertahanan terakhir gadis itu. Ding Tao sama terkejutnya dengan Huang Ying Ying, meskipun sedikit berbeda. Saat Huang Ying Ying menggeliat dan melepaskan dirinya, sensasi yang mengabutkan pikirannya terputus sejenak dan untuk sesaat pikirannya menjadi jernih. Yang sesaat itu cukup, cukup untuk mengingatkan Ding Tao akan akibat dari perbuatan mereka, kehormatan Huang Ying Ying, hati nuraninya. Yang sesaat itu sudah cukup untuk menahan pemuda itu melakukan lebih jauh. Nafasnya masih memburu, jantungnya masih berpacu kencang, tubuhnya masih meminta lebih, tapi Ding Tao sudah kembali menguasai dirinya. Dengan penuh rasa khawatir dipandanginya Huang Ying Ying, yang duduk terdiam dengan kepala menunduk. Dibukanya mulut untuk berbicara, tapi tidak yakin apa yang harus dikatakan. "Adik Ying, maafkan aku. Aku tahu seharusnya aku tidak boleh melakukan apa yang baru saja kita lakukan. Tapi saat itu, sulit sekali untuk berpikir dengan jernih.", Sulit sekali untuk meluruskan benaknya. Kata-kata seperti bertaburan tanpa arti. Akhirnya dengan menghela nafas Ding Tao menyerah untuk memikirkan alasan-alasan, dengan jantung berdegup dia meminta maaf. "Aku belum pernah merasakan yang seperti itu sebelumnya. Maaf, aku jadi tidak bisa menahan diri." Lama mereka terdiam, masing-masing tidak ada yang berani mendekat. Tiba-tiba Huang Ying Ying bertanya. "Kakak Ding, tentang tadi, apakah itu mengubah pikiranmu tentang diriku? Apakah aku jadi menjijikkan di matamu?" Cepat Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, tentu tidak demikian. Aku aku mencintaimu, di mataku, kau seorang gadis yang sempurna. Tidak mungkin aku, tadi itu, akulah yang salah. Untung Adik Ying cepat sadar, jika tidak, entah apa yang bisa kulakukan." Memerah wajah Huang Ying Ying, kata-kata Ding Tao mengingatkan dia pada pengalaman yang tadi terjadi, dengan lemah gadis itu menggelengkan kepala, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Saat pandang matanya jatuh pada makanan yang sudah tersedia, Huang Ying Ying merasa lega, ada bahan untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Kakak Ding, kau seharian tidak makan, tentu kau lapar." Ding Tao ikut merasa lega karena terlepas dari topik yang menyulitkan dia. Dengan antusias dia menyambut tawaran Huang Ying Ying. "Ya, perutku memang lapar sekali. Tiba-tiba baru saja terasa betapa lemasnya badan ini. Tapi Adik Ying tentu juga belum makan, ayolah, jangan aku sendirian yang makan." Mengangguk kecil Huang Ying Ying bergegas menghampiri meja, perlahan diaturnya mangkok-mangkok dan alat makan yang lain, di atas pembaringan. Ketika Ding Tao hendak membantu dengan lembut tapi tegas dia melarang. "Jangan, Kakak Ding masih harus banyak beristirahat, selain karena belum makan sepanjang hari, Kakak Ding juga sedang terluka. Duduk sajalah, sebentar juga selesai." Ada rasa bersalah tapi juga bahagia karena dilayani dengan telatennya oleh gadis yang dia cintai, Ding Tao memaksakan diri untuk duduk dan menunggu dengan sabar. Tidak lama kemudian, mereka berdua mulai menikmati hidangan yang sudah mulai dingin. Meskipun dingin, tapi karena disantap berduaan, hidangan yang dingin pun rasanya sudah seperti makan masakan kerajaan. Baik Huang ying Ying maupun Ding Tao masih teringat oleh perbuatan mereka sebelumnya, sebagai akibat, cara berbicara dan tingkah laku mereka pun jadi terlampau sungkan. Selesai mereka bersantap, sejenak mereka saling berpandangan dengan perasaan hati yang kikuk. "Ehm, Adik Ying, kupikir, sebaiknya aku kembali bersembunyi dalam lemari pakaianmu." "Ya" "Besok setelah beristirahat, kita bisa membicarakan lagi masalah Pedang Angin Berbisik dan pengkhianatan Tetua Tiong. Sesungguhnya terlalu banyak kejutan yang aku alami hari ini. Moga-moga besok, pikiranku sudah jauh lebih jernih." Sekali lagi Huang Ying Ying mengangguk lalu menunduk malu. Ding Tao pun ragu, jika dia menuruti kata hatinya, mungkin saat itu dia akan memeluk dan mengecup gadis itu sekali lagi sebelum meninggalkannya. Tapi dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika lagi-lagi dia kehilangan pengamatan diri. Setelah berdiri diam tanpa kata untuk beberapa lama, dia mengangguk pada Huang Ying Ying, kemudian berbali badan untuk bersembunyi di dalam lemari pakaian gadis itu lagi. Sesaat sebelum dia menutup pintu lemari, terdengar Huang Ying Ying berkata. "Selamat malam Kakak Ding, aku aku mencintaimu." Seulas senyum menghiasi wajah Ding Tao di dalam lemari yang remang-remang, dengan suara lembut dijawabnya, "Selamat malam Adik Ying, aku juga mencintaimu." Setelah itu Huang Ying Ying memadamkan lilin yang ada di kamarnya, tidak terdengar suara apa pun dari kamar itu. Meskipun sebenarnya cukup lama Huang Ying Ying berbaring dengan wajah merona merah, mengingat kejadian yang telah terjadi. Lama, sebelum akhirnya dia tertidur pulas, terbuai dalam mimpi yang indah. Jika Huang Ying Ying tertidur, beda lagi dengan Ding Tao. Segera setelah dia berpamitan pada Huang Ying Ying, pemuda ini mulai bermeditasi, berusaha memulihkan himpunan hawa murninya yang sedikit banyak membuyar. Berkerut alis pemuda itu ketika dia merasakan adanya hawa murni liar di dalam tubuhnya. Mungkin itulah hawa murni dari pukulan Tinju 7 Luka, yang dikatakan Tabib Shao. Pemuda itu tidak berani terlalu gegabah, perlahan-lahan dia berusaha mengatur hawa murni dalam tubuhnya. Awalnya dia berupaya untuk mendorong hawa murni yang liar itu ke dalam tantien, menyatukannya dengan hawa murninya sendiri. Tapi usaha itu gagal, keduanya tidak bisa menyatu, melainkan saling melawan. Gagal dengan usahanya, maka usaha lain coba dilakukan oleh pemuda itu, diusahakannya untuk mendorong keluar hawa murni liar itu dari tubuhnya. Tapi usaha inipun gagal, hawa murni yang liar ini tidak mudah untuk diatur. Kembali dua hawa murni yang berbeda sifat dalam tubuhnya saling melawan. Semakin keras Ding Tao berusaha mengendalikan hawa murni liar itu, semakin kuat pula perlawanannya. Khawatir justru memperparah luka di tubuhnya, Ding Tao terpaksa membiarkan hawa murni yang liar itu bercokol dalam tubuhnya. Sekarang perhatiannya lebih tercurah pada usaha untuk menguatkan hawa murninya sendiri. Setidaknya hal itu akan dapat membantu dirinya untuk "mengamankan" Hawa murni asing itu dari kemungkinan untuk merusak tubuhnya dari dalam. Entah berapa lama Ding Tao larut dalam latihannya, ketika dia berhenti, tubuhnya terasa jauh lebih nyaman, meskipun jauh di dalam sana, masih terasa ada kekuatan asing yang diam tapi tidak juga menghilang. Ketika teringat dengan penjelasan Huang Ying Ying mengenai keadaan dirinya, sesuai dengan pengamatan Tabib Shao Yong, pemuda itu mengeluh perlahan. Tanpa menggunakan hawa murninya dalam sebuah pertarungan, ibaratnya dia harus berkelahi dengan tangan dan kaki yang terikat. Mau tidak mau Ding Tao pun jadi teringat dengan Pedang Angin Berbisik, berbekal pedang itu di tangan dalam keadaannya sekarang ini tentu akan sangat membantu. Kekurangannya dalam hal tenaga, masih bisa diimbangi dengan tajamnya pedang. Kembali teringat pemuda itu dengan pesan-pesan gurunya. Tekad yang kuat terbentuk dalam dirinya, selama dia masih hidup, dia akan berusaha untuk memenuhi pesan gurunya. Entah dengan pedang pusaka atau tanpa pedang. Sebuah rencana mulai terbentuk di benaknya, yang pertama kali harus dia lakukan adalah menyembuhkan dirinya. Sepanjang dirinya masih menderita luka yang menghalangi dia untuk dengan bebas menggunakan hawa murninya, tidak ada artinya Pedang Angin Berbisik ada di tangannya. Jangankan dalam keadaan terluka, dalam keadaan segar bugar pun, masih perlu dipertanyakan apakah dia bisa menandingin Ren Zuocan atau tidak. Lebih baik Pedang Angin Berbisik berada dalam tangan Tiong Fa, daripada jatuh ke tangan Ren Zuocan. Apalagi pemuda itu masih teringat tutur kata Tiong Fa yang penuh semangat. Ding Tao pun berharap, serangan Tiong Fa pada dirinya tidak sepenuhnya didorong oleh ketamakan pribadi seperti dugaan Huang Ying Ying dan kakaknya. "Mungkin saja dia masih berpikir jika aku tidak pantas untuk menyandang pedang itu. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga, terlampau mudah pedang itu lepas dari tangan. Bukankah Pendekar besar Jin Yong, kehilangan pedang itu karena diracun orang? Seharusnya ku pun lebih berhati-hati dalam soal makan dan minum. Kejadian yang menimpa Pendekar Jin Yong dan pengalamanku kemarin malam, harus jadi pelajaran yang berharga." Demikian pemuda itu berpikir dan berpikir. Semakin lama dia berpikir, semakin kuat keyakinannya bahwa untuk sementara ini lebih baik dia tidak berusaha untuk mendapatkan kembali Pedang Angin Berbisik. "Biarlah tersimpan di sini, jika kami berusaha untuk mendapatkan kembali pedang itu tapi gagal. Tetua Tiong bisa saja menghilang bersama dengan pedang itu dan makin sulit lagi bagi kami untuk mendapatkannya kembali. Biarlah Tetua Tiong menyimpannya untuk sekarang ini, dalam keadaanku yang sekarang, kesempatan Tetua Tiong untuk berhasil menghadapi Ren Zuocan dengan menggunakan pedang itu lebih besar daripada kesempatanku." Jika bukan Ding Tao, siapa lagi yang bisa berpikir seperti itu? Betapa banyak jago dunia persilatan yang rela mati untuk mendapatkan pedang itu, tapi Ding Tao bisa melepaskannya tanpa sesal. Bukan berarti dia sudah melupakan pesan gurunya, tapi dia memahami semangat yang terkandung dalam pesan gurunya itu. Bukan masalah kepemilikan pedang yang penting, melainkan usahanya untuk meredam ambisi Ren Zuocan yang membahayakan negara. Setelah mencapai satu keputusan, Ding Tao pun menjadi lebih tenang. Memejamkan mata, pemuda itu membiarkan rasa lelah dan kantuk menguasai dirinya, memberikan waktu bagi tubuhnya untuk menyembuhkan diri. Ketika semua orang sudah terlelap tidur, justru ke empat pimpinan dalam keluarga Huang sedang melakukan pertemuan rahasia. "Tabib keparat !! Bagaimana bisa dia berani-beraninya menghubungi Adik Ying, jika bukan gara-gara dia, masalah tentu tidak jadi serumit ini.", geram Huang Ren Fang. Tiong Fa yang sedari tadi menundukkan kepala, menghela nafas. "Sudahlah, kali ini aku yang salah. Segala sesuatunya berjalan tidak sesuai rencana. Dimulai dari kegigihan Ding Tao mempertahankan pedang itu dan kemudian berlanjut dengan kekalahan demi kekalahan, pada puncaknya kekalahanku dalam pertandingan." Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Menggeleng perlahan, Tiong Fa berdiri lalu berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu. "Kegagalan yang berturut-turut itu, ditambah lagi oleh ketidak mampuanku dalam menerima kenyataan akan bakat Ding Tao yang melebihi dugaanku, membuatku berbuat terlalu sembrono." "Apa maksudmu?", tanya Tuan besar Huang Jin dengan dingin. Tiong Fa menoleh ke arahnya dan maklum, pernyataannya tadi bisa juga dianggap sebagai satu sindiran, karena pada akhirnya Tuan besar Huang Jin-lah yang membuat rencana untuk mengambil pedang Ding Tao malam itu juga. Malam yang di mana kehidupan Zhang Zhiyi diakhiri. "Tidak perlu gusar begitu Adik Jin, kalau kita mau berpikir lebih jernih, bukankah memang terlalu terburu-buru apa yang kita lakukan malam itu? Pertama Ding Tao masih beberapa hari tinggal di rumah kita, ada banyak waktu untuk membuat rencana yang lebih matang. Tapi yang lebih penting lagi adalah, pun seandainya semuanya berjalan sesuai rencana, bagaimana kita akan menjelaskan munculnya Pedang Angin Berbisik di tangan keluarga Huang?" "Hampir semua orang penting dalam keluarga kita sudah mengetahui bahwa Ding Tao memilikinya, jika tiba-tiba pedang itu jatuh ke tangan kita, bukankah dengan mudah bisa ditebak bahwa kita telah merampas pedang itu secara paksa? Pada akhirnya masalah yang mirip meskipun tidak sama persis dengan masalah yang kita hadapi sekarang akan muncul. Yaitu retakan-retakan dalam keluarga kita sendiri, yang akan melemahkan kedudukan kita." "Kita semua berbuat kesalahan, terlalu terburu nafsu melihat pedang ada di depan mata. Tapi aku akui kesalahan terbesar ada padaku. Sejak kegagalanku untuk mendapatkan pedang itu dengan cara damai sampai dengan kegagalanku untuk membungkam Ding Tao untuk selamanya. Kegagalanku yang berulang-ulang ini yang menempatkan kita pada posisi yang sekarang ini." Huang Yunshu menatap sosok Tiong Fa dengan matanya yang tajam, meskipun keriput sudah menggariskan guratan waktu di wajahnya yang tua. "Kau berbicara dengan cukup lancar, menganalisa kesalahan-kesalahan kita. Aku yakin, saat ini juga kau sudah memiliki jalan keluarnya." "Benarkah itu Kakak Tiong?", tanya Tuan besar Huang Jin dengan raut wajah yang dingin. Meskipun dia bisa menerima penjelasan Tiong Fa, hatinya masih panas mengingat kekacauan yang terjadi dan saat ini kekesalannya itu tertumpah pada Tiong Fa. Tiong Fa bukan Tiong Fa namanya jika gugup atau marah melihat pandang ,ata Huang Jin yang dingin. Di hadapan orang lain, wajahnya selalu terlihat tenang, tidak ada yang bisa tahu gejolak perasaan dalam hatinya. "Sebenarnyalah demikian, sejak aku terpaksa membunuh Zhang Zhiyi, aku sudah sadar, terlalu banyak lubang dalam pekerjaanku malam itu. Kecuali jika ada dewa-dewa yang menolongku, hampir sudah bisa dipastikan cepat atau lambat akan ada orang-orang yang menyadari keterlibatanku, setidaknya mencurigai keterlibatanku. Jadi aku pun mulai membuat rencana untuk membebaskan kita dari permasalahan itu." "Jadi apa rencanamu itu?" Dengan senyum tipis Tiong Fa menjawab. "Kita berikan saja apa yang mereka inginkan. Pada waktunya, kau berhasil mengungkapkan bukti-bukti pengkhianatanku. Sayang aku terlalu cepat mencium hal itu dan berhasil melarikan diri." Berkilat mata Huang Jin. "Dan apa yang akan kau lakukan setelah berhasil melarikan diri?" "Hmm beberapa orang dari keluarga Huang ternyata sudah lama beralih kesetiaannya padaku, dengan sendirinya mereka itu pun ikut menghilang bersamaan dengan menghilangnya diriku. Tidak jelas apa yang terjadi, tapi jika ada kejahatan di luar yang dilakukan Tiong Fa, hal itu tidak ada hubungannya dengan keluarga Huang.", selesai mengucapkan hal itu Tiong Fa kembali duduk di kursinya, dan dengan tenang menatap ke arah Huang Jin, menunggu keputusannya. "Hmm dengan jalan itu, maka nama keluarga Huang pun bisa dibersihkan dari keterlibatanmu dalam masalah Ding Tao dan pedangnya. Meski sepertinya kekuatan keluarga Huang terpecah, tapi sebenarnya tidak, karena kau dan pengikutmu tetap bekerja bagi keluarga. Justru pengaturan ini membuat kedudukan keluarga Huang semakin aman. Kami yang berdiri dalam terang dan kau yang bekerja dalam gelap. Tapi apa keuntungannya bagimu? Pengaturan ini memang sangat menguntungkan keluarga Huang, tapi bagaimana dengan dirimu?" Tiong Fa menegakkan badannya dan menampilkan wajah sedih untuk beberapa saat lamanya. "Aku akan meninggalkan keluargaku, mereka tidak ada sangkut pautnya dengan pengkhianatanku, dengan sendirinya keluarga Huang akan berdiri untuk melindungi mereka. Kemurahan hati Tuan besar Huang Jin tiada bandingan, putera Tiong Fa si pengkhianat bahkan diangkat anak." Melihat Tuan besar Huang Jin tidak mengatakan apa-apa, Tiong Fa melanjutkan uraiannya. "Dengan demikian, pekerjaanku dalam gelap yang mendukung gerakan keluarga Huang untuk tampil ke depan dalam dunia persilatan, sama juga artinya aku sedang bekerja demi anak keturunanku sendiri." Kemudian dengan seringai di wajahnya dia menambahkan. "Lagipula, menikmati uang dan kekuasaan, entah itu dalam kegelapan atau di bawah terangnya matahari, sama sekali tidak ada bedanya bagiku. Semua tetap sama, semakin keluarga Huang berkuasa semakin besar pula kuasaku." Dengan dingin Tuan besar Huang Jin menambahkan. "Pengaturan ini pun, justru semakin memperbesar kebebasanmu untuk menggunakan kekuatan yang ada di tanganmu, demi tujuanmu sendiri." Tiong Fa tidak merasa perlu untuk menutupi apapun dari saudara iparnya ini, kepercayaan mereka sejak lama dibangun atas dasar saling membutuhkan. "Ya, tapi kaupun tahu, aku cukup bijak untuk mengetahui, bahwa lebih baik aku bersungguh-sungguh bekerja demi keluarga Huang daripada mengkhianatinya. Kerajaan yang terpecah hanya akan menjadi lemah dan menjadi mangsa empuk bagi lawan-lawannya." "Hmm, lalu bagaimana dengan Pedang Angin Berbisik?", tanya Tuan besar Huang Jin. Tiong Fa yang sudah memikirkan hal itu menjawab dengan ringan. "Sebaiknya untuk sementara pedang itu aku yang membawa." Tuan besar Huang Jin tidak mengatakan apa-apa, hanya alis matanya saja yang terangkat, meminta penjelasan lebih lanjut. Perasaannya sudah jauh lebih tenang, rencana Tiong Fa tampaknya akan membereskan semua kekacauan yang terlanjur terjadi. "Hanya sampai aku berhasil membunuh Ding Tao, setelah itu, kita bisa mengatur siasat agar terjadi bentrokan antara keluarga Huang dengan sekelompok pengkhianat. Hasil dari pertempuran itu, meskipun tokoh utamanya, yaitu aku, berhasil lolos. Tapi Pedang Angin Berbisik jatuh ke tangan keluarga Huang.", jawab Tiong Fa, menjelaskan rencananya mengenai Pedang Angin Berbisik. "Kurasa tidak perlu sejauh itu, Pedang Angin Berbisik, sebaiknya disimpan di sini, daripada Paman Tiong membawa- bawanya keluar. Tentu saja kita tidak akan mempergunakannya, sampai Ding Tao mati dan rencana penyerangan ke sarang Paman Tiong Fa terjadi.", ujar Huang Ren Fang. Tajam mata Tiong Fa melirik ke keponakannya, kemudian dengan tersenyum dingin dia menjawab. "Tentu saja, tidak masalah, meskipun membuat pekerjaan kita sedikit lebih banyak, karena jika pedang itu memang ada di tanganku, tentu lebih mudah untuk menunjukkan hal itu, bahwa memang akulah yang malam itu menyatroni kamar Ding Tao." "Ya paman benar, tapi kurasa paman cukup cerdik untuk mengerjakan itu semua tanpa benar-benar memiliki pedang itu di tangan. Bahkan untuk sementara kita bisa menyebar desas-desus di luaran bahwa Ding Tao masih memiliki pedang itu dan mempercepat matinya pemuda itu. Kalaupun dia lolos dari pelacakan kita, akan banyak orang di luar sana yang mengendus-endus keberadaannya." Kesal hati Tiong Fa, tapi dia tidak mau memperpanjang masalah itu. "Hmm, sudah kukatakan tadi, tidak ada masalah. Kalau menurutmu itu lebih baik, tapi tentu saja keputusan tetap ada di tangan ayahmu." Huang Jin tersenyum dingin. "Kalau Kakak Tiong, tidak ada masalah, akupun tidak ada masalah. Jadi biar saja pedang itu disimpan di sini." Tuan besar Huang Jin mengangguk-angguk puas, semua masalah sudah berhasil dipecahkan. Tidak ada kerugian berarti, hanya seorang Zhang Zhiyi. ---------------------------- o -------------------------- Pagi hari datang memberikan kesegaran, untuk sesaat lamanya benak mereka yang baru saja terbangun setelah semalam tertidur lelap, menikmati kesegaran yang dirasakan. Sebelum masalah-masalah yang kemarin dan kekuatiran tentang masa depan, menyergap dan menarik kembali mereka pada kenyataan hidup yang seringkali tidak menyenangkan. Bahagianya orang yang setelah bangun lalu sadar akan apa yang telah terjadi dan membayangkan apa yang di depan nanti, justru tersenyum dan tertawa, lalu bangkit dengan sepenuh semangat menyambut hari yang baru. Ding Tao dan Huang Ying Ying, Tiong Fa dan Tuan besar Huang Jin, hari itu mereka bangun pagi dengan semangat yang menyala. Tersenyum mengenang hal-hal yang terjadi semalam dan dengan perasaan yang segar, menanti-nanti hal baik yang akan terjadi hari ini. Jika Ding Tao dan Huang Ying Ying ikut mendengar pembicaraan Tiong Fan dan Tuan besar Huang Jin semalam, tentu berbeda lagi perasaan mereka. Demikian juga sebaliknya, jika saja Tuan besar Huang Jin ikut menyaksikan kejadian semalam di kamar Huang Ying Ying, mungkin dia tidak akan tersenyum selebar sekarang. Apakah ada yang menangisi matinya Zhang Zhiyi? Sayangnya pemuda itu belum berkeluarga, meskipun kematiannya masih jadi bahan pembicaraan di hari yang ketiga ini, tapi tidak ada yang menangisi kepergiannya. Saat Huang Ying Ying membuka pintu lemari, Ding Tao masih tertidur lelap. Perlahan gadis itu mengambil pakaian yang hendak dipakainya. Lalu berlutut di depan pemuda itu dan untuk beberapa lama dia hanya diam mengamati wajah kekasihnya. Dengan wajah bersemu merah, gadis itu melompat berdiri dan pergi untuk mandi. Ding Tao terbangun oleh suara gemericik dari arah kamar mandi, sejenak dia tercenung dan mengingat-ingat di mana dia berada sekarang. Ketika ingatannya sudah terkumpul, pemuda itu pun bangkit dan duduk bersila. Hatinya terasa ringan, masalah pedang sudah tidak lagi membebani dirinya. Perasaan yang lama terpendam sudah diungkapkan dan mendapat sambutan baik. Hari ini adalah hari terbaik buat dia. Dengan mudah pemuda itu menyatukan pikirannya dan mulai melatih himpunan hawa murninya. Hawa liar dari Tinju 7 luka, masih bersembunyi dalam tubuhnya, tapi pemuda itu sudah mulai mengenali sifat- sifat dari hawa murni asing dalam tubuhnya itu. Meskipun dia belum bisa mengendalikan atau membebaskan diri darinya, tapi setidaknya dia bisa membuat hawa asing itu tertidur dan tidak mengganggu saat Ding Tao sedikit demi sedikit berusaha menggunakan hawa murni miliknya untuk membantu tubuhnya menyembuhkan diri dari luka. Suara gemericik air sudah lama berhenti, langkah kaki terdengar mendekat ke arah lemari, kemudian terdengar suara Huang Ying Ying berbisik. "Kakak Ding, aku mau pergi keluar untuk makan pagi bersama, kakak tunggu sebentar ya, nanti aku bawakan sarapan untuk kakak." Istirahat yang cukup dan hawa murni yang mulai terhimpun lagi, membuat tubuh Ding Tao terasa jauh lebih segar daripada kemarin. Selama Huang Ying Ying berada di luar, Ding Tao menyibukkan dirinya dengan latihan tenaga dalam, menghimpun hawa murni dan perlahan mencoba menyalurkannya ke bagian-bagian tubuh yang diinginkan. Masih banyak jalur yang belum berhasil ditembus dan dengan adanya hawa murni asing dalam tubuhnya, Ding Tao tidak bisa seleluasa sebelumnya dalam menggunakan hawa murni. Setiap kali dirasanya hawa murni yang asing itu ikut bergejolak, maka ditahannya penggunaan hawa murni dalam tubuh. Menunggu hawa pukulan Tinju 7 Luka, kembali tertidur. Cemas juga hati Ding Tao mengamati pergolakan yang terjadi dalam tubuhnya. Hawa pukulan Tinju 7 Luka, membuat dia tidak bisa dengan leluasa mempergunakan himpunan hawa murni yang dia miliki. Terbayang dalam benaknya, apa yang terjadi dalam sebuah pertarungan bila penggunaan hawa murni harus dibatasi. Menghadapi lawan yang belum sampai pada taraf menggunakan hawa murni dalam bertarung, tidak akan menjadi masalah, tapi lawan-lawan yang ada di hadapannya sekarang bukanlah anak-anak kemarin sore. Dalam hati diulanginya keterangan Tabib Shao yang disampaikan oleh Huang Ying Ying. Biksu Khongzhe dan Pendeta Chong Xan, dua orang sakti yang mungkin bisa menyembuhkan lukanya. Ada juga Perguruan Kongtong, tapi jika orang yang menyerangnya masih ada hubungan dengan Perguruan Kongtong, pergi ke sana, akan jadi perjalanan bunuh diri. Kesempatan paling baik adalah pergi ke Shaolin atau ke Wudang. Menyadari situasinya yang sekarang kurang menguntungkan bagi Huang Ying Ying, pemuda itu memutuskan, semakin cepat dia pergi, semakin baik. Sewaktu Huang Ying Ying kembali ke kamarnya, Ding Tao sudah mengambil keputusan, untuk pergi malam itu juga. Huang Ying Ying kembali ke kamarnya, diikuti oleh kakaknya Huang Ren Fu. Huang Ren Fu semalaman susah tidur, membayangkan keadaan adik perempuannya yang "memasukkan" Laki-laki ke dalam kamar. Ketika mereka bertemu pagi itu, ingin rasanya dia menginterogasi Huang Ying Ying, tapi rasa sayangnya mencegah dia untuk bertanya. Dia hanya bisa berharap dalam hati, kedua pasangan itu mampu menahan diri. Tapi ketika Huang Ying Ying hendak kembali ke kamar, tanpa banyak omong, cepat-cepat pemuda itu menjajarinya. Huang Ying Ying tentu saja bisa mengerti, dia tidak sekeras malam sebelumnya. Kejadian semalam menyadarkan dia, bahwa godaan itu sedemikian besar, malah ada rasa bersyukur bahwa Huang Ren Fu mengikutinya. Sambil berjalan mengikuti Huang Ying Ying, Huang Ren Fu masih menyempatkan diri untuk mencomot 3 buah bakpau daging. Dia lihat Huang Ying Ying hanya sempat membawa sepotong kue dan beberapa macam buah-buahan. Buat anggota keluarga yang lain, kedekatan dua bersaudara itu tidaklah terlalu mengundang pertanyaan. Mereka berdua memang dikenal saling menyayangi. Sesampainya di kamar, mereka terlebih dahulu memastikan bahwa tidak banyak orang lalu lalang di luar. Huang Ren Fu memilih duduk di dekat jendela yang sengaja dia buka, sehingga dia dapat dengan mudah mengamati keadaan di luar. Setelah dia yakin keadaan cukup aman, Huang Ren Fu mengangguk perlahan pada Huang Ying Ying. Hati kedua bersaudara itu tidaklah tenang, di siang hari begini, tentu akan ada saja orang yang lewat. "Kakak Ding, kami membawa sedikit makanan untukmu", bisik Huang Ying Ying sambil membuka pintu lemari, tidak lebar- lebar, hanya setengah terbuka. Ding Tao yang sudah menyelesaikan latihannya, menyambut Huang Ying Ying dengan senyuman. Ketika dilihatnya Huang Ren Fu duduk di pinggir jendela, pemuda itu pun mengangguk dengan sopan. "Terima kasih Adik Ying, terima kasih Saudara Fu." "Ini, makanlah saja dulu, tidak banyak yang bisa kubawa, tapi Kakak Ren Fu juga sempat mengambil 3 potong bakpau buatmu.", dengan lembut Huang Ying Ying meremas tangan pemuda itu, lalu pergi ikut berduduk dengan Huang Ren Fu di pinggir jendela. Huang Ren Fu sudah mengambil papan catur dan sedang mengaturnya di atas meja kecil yang ada. Dua bersaudara itu dengan cepat mulai memainkan permainan catur sambil mengobrol, seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang berbeda dari hari biasanya. Dengan penuh syukur Ding Tao menikmati makanan yang mereka bawakan. Pemuda itu mengunyah makanannya perlahan- lahan, sesekali dia mencuri pandang pada dua bersaudara yang sedang bermain catur. Terkadang dia sempat bertemu pandang dengan Huang Ying Ying yang sedang melihat ke arah dirinya. Sorot pandang keduanya, tentu saja tidak lepas dari pengamatan Huang Ren Fu. Dalam hati pemuda itu mengeluh, apakah sepasang kekasih ini bisa bertahan melawan godaan, jika berhari-hari setiap malam mereka tinggal berdua dalam satu kamar? Jangankan berhari-hari, baru satu malam saja, hubungan mereka sudah terlihat jauh melangkah. Mungkin mereka sendiri tidak merasa, tapi Huang Ren Fu bisa melihat dengan jelas, perbedaan mereka berdua, hari ini dan hari-hari sebelumnya. Sebagai seorang kakak, meskipun dia ikut berbahagia untuk adiknya, tidak urung terselip juga rasa khawatir dan dorongan untuk melindungi adiknya dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Otaknya pun berputar keras, mencari cara untuk mengeluarkan Ding Tao dari kamar Huang Ying Ying adiknya. Tidak sabar rasanya pemuda ini menanti Ding Tao selesai bersantap, sebuah rencana sudah mulai terbentuk dalam benaknya. Ingin dia segera mengajukan rencana itu pada Ding Tao, tapi Ding Tao justru makan dengan begitu lambatnya. Dua kali permainan sudah Huang Ren Fu memenangkan permainan catur itu dan satu kali Huang Ying Ying memenangkannya, sebelum Ding Tao selesai menyantap habis seluruh makanan yang dibawa. Tiga kali sudah, ada pelayan yang datang dan pintu lemari pakaian harus terburu-buru ditutup sementara makanan dipindahkan dulu ke meja. Sudah tentu perasaan ketiga orang itu sangat tegang dan tidak nyaman dan berharap malam segera tiba kembali. Terkecuali Huang Ren Fu yang tidak tahu, haruskah dia merasa senang bila malam tiba. Rahasia keberadaan Ding Tao di kamar Huang Ying Ying akan lebih aman, tapi justru "keamanan" Adiknya yang akan membuat dia susah tidur. Karena itu ketika dia melihat Ding Tao selesai bersantap, segera saja Huang Ren Fu mengajak pemuda itu berbicara. "Ding Tao, bagaimana keadaanmu hari ini?" "Sudah lumayan baik Saudara Fu, kukira hari ini juga aku sudah bisa meninggalkan rumah kalian." "Meninggalkan rumah kami?", Huang Ren Fu menegas, meskipun dia tidak ingin Ding Tao berlama-lama di kamar Huang Ying Ying, tapi perkataan Ding Tao itu jauh di luar dugaannya. Apalagi bagi Huang Ying Ying, bukan main kagetnya, dengan suara tercekat dia bertanya. "Kakak Ding, apa kakak sedang bercanda? Kondisi kakak belum pulih benar, mengapa hendak cepat-cepat pergi? Apakah Kakak Ding merasa sakit hati pada keluarga kami?" "Adik Ying benar Saudara Ding, apakah kondisimu sudah benar-benar pulih, jika belum sebaiknya kau bersabar dulu.", tambah Huang Ren Fu yang merasa lega sekaligus khawatir. Lega bagi adiknya tapi khawatir bagi Ding Tao, seperti sebagian besar dari anak muda yang menyaksikan pertandingan antara Ding Tao dan keluarga Huang, pertandingan itu telah menimbulkan kekaguman dan rasa simpati dalam hatinya. "Adik Ying, jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidak sedikitpun aku menyimpan rasa sakit hati pada keluarga kalian.", ujar Ding Tao berusaha menenangkan hati Huang Ying Ying. "Saudara Fu, Kondisiku sudah jauh lebih baik dan kurasa istirahat lebih banyak tidak akan membuatnya jadi lebih baik lagi. Apalagi situasi sekarang tidak begitu nyaman untuk kita semua, karena itu setelah memikirkannya, aku memutuskan untuk berusaha keluar dari rumah kalian malam ini juga." Memerah wajah Huang Ying Ying mendengar penjelasan Ding Tao, tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan dengan situasi yang kurang nyaman, tapi hatinya masih berat untuk melepaskan pemuda itu. Sambil menggigit bibir dia bertanya dengan lemah. "Tapi, bagaimana dengan urusan pedangmu? Apakah kau tidak menginginkannya kembali?" Ding Tao menggeleng. "Tidak, hal itu sudah kupikirkan pula baik-baik tadi malam. Dalam keadaanku sekarang ini, dengan cara apa hendak merebut kembali pedang itu? Kalaupun kemudian aku berhasil mencuri kembali Pedang Angin Berbisik dengan bantuan kalian, besar kemungkinan aku tidak akan berhasil mempertahankan pedang itu di luaran. Bukan tidak mungkin pedang itu justru akan jatuh ke tangan antek-anteknya Ren Zuocan. Lebih baik pedang itu ada dalam tangan Tetua Tiong daripada jatuh ke tangan mereka." Sambil menggelengkan kepalanya sekali lagi dia menegaskan. "Tidak, sudah kupikirkan baik-baik dan menurutku untuk sementara ini aku tidak akan melibatkan diri dengan masalah pedang itu." "Saudara Ding, baik sekali pemikiranmu, tapi jika demikian apa yang akan kau lakukan dengan pesan Pelatih Gu untukmu?", tanya Huang Ren Fu. "Pesan guru yang utama, adalah menggunakan bekal yang akan kumiliki untuk membantu dunia persilatan kita membendung ambisi Ren Zuocan dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya, dengan atau tanpa Pedang Angin Berbisik. Menimbang keadaanku saat ini, maka yang terpenting adalah menyembuhkan luka dalam tubuhku terlebih dahulu. Mungkin aku akan mencoba pergi ke Shaolin dan memohon kebaikan hati Biksu Khongzhe.", jawab Ding Tao dengan suara yang wajar, tanpa menyembunyikan apa pun. Huang Ren Fu semakin kagum pada pemuda itu, pada ketenangannya dan juga pada kebesaran hatinya. "Saudara Ding, sungguh aku merasa kagum padamu. Jika kau mengijinkan aku memanggilmu sebagai sahabat, aku akan sangat merasa berbahagia.", ujar Huang Ren Fu dengan tulus. Wajah Ding Tao pun memerah karena malu. "Saudara Fu terlampau tinggi memuji, tentu saja aku akan dengan senang hati menjadi sahabatmu." Tertawa bergelak Huang Ren Fu bergerak melompat, dalam satu lompatan yang ringan dia sudah sampai di depan Ding Tao, tangannya terulur menawarkan persahabatan. Ding Tao pun dengan senang menerima uluran tangan itu. Jabatan tangan yang hangat mewakili perasaan dalam hati. "Sahabat.", ujar Huang Ren Fu pendek. "Sahabat.", jawab Ding Tao tidak kalah pendeknya. Tapi yang singkat itu membawa seribu arti, jauh lebih dalam daripada sebuah upacara mengikat sumpah setia sebagai saudara. Huang Ying Ying tentu saja merasa ikut senang dengan hal itu. Yang satu adalah pemuda yang dia kasihi, yang seorang lagi adalah kakak yang dia sayangi. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat mereka bersahabat demikian akrab, hatinya jadi terhibur. Dengan manja dia pun mengeluh,"Huuh dasar anak laki-laki, ketemu teman, lupa dengan saudara sendiri." Ding Tao dan Huang Ren Fu tertawa mendengar keluhan Huang Ying Ying. Tiba-tiba gadis itu berbisik. "Ssstt.. ada yang mau lewat." Dengan cepat Huang Ren Fu kembali ke tempat duduknya, berpura-pura sedang berpikir untuk mengalahkan adiknya dalam permainan catur. Ding Tao dengan cepat menutup kembali pintu lemari. Menunggu sampai keadaan aman, barulah mereka kembali bercakap-cakap. "Saudara Ding, apakah sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu untuk meninggalkan rumah kami malam nanti? Seperti kata Adik Ying, kiranya keputusan itu janganlah karena terdorong oleh rasa sakit hati, jangan pula kau terlalu mengkhawatirkan situasimu saat ini yang terpaksa bersembunyi di dalam kamar Adik Ying. Karena kupikir, aku sudah menemukan jalan untuk memindahkanmu dari kamar ini ke kamarku.", ujar Huang Ren Fu. Mendengar itu Ding Tao jadi berpikir pula sejenak, memang alasan utama dari keputusannya untuk keluar malam itu juga, adalah untuk mejaga kehormatan gadis yang dikasihinya. Dengan hati berdebar, Huang Ying Ying menunggu jawaban dari Ding Tao. Sesaat kemudian Ding Tao menegakkan kepala dan menjawab. "Ya, sudah kupikirkan matang-matang, rasanya ini keputusan yang terbaik, jika orang-orang sudah selesai memeriksa segenap penjuru kota, tentu mereka akan berpikir ulang dan sadar bahwa kemungkinan terbesar justru aku masih bersembunyi di sini. Pada saat itu, untuk meloloskan diri akan jadi semakin sulit." "Hemm benar juga pemikiranmu, semakin lama berada di sini keadaanmu justru semakin berbahaya.", gumam Huang Ren Fu. Huang Ying Ying mendesah sedih, sadar bahwa alasan Ding Tao cukup kuat, gadis ini tidak dapat lagi menahan Ding Tao lebih lama. Perpisahan dengan Ding Tao akan menyedihkan hatinya, tapi dia tidak ingin Ding Tao terancam bahaya hanya untuk menyenangkan dirinya. "Kakak Ding, jika demikian, aku akan menyiapkan bekal bagimu.", sambil berbangkit berdiri dan menyembunyikan mata yang mulai membasah, Huang Ying Ying cepat-cepat meninggalkan kamar. Pandang mata Huang Ren Fu dan Ding Tao mengikuti kepergian gadis itu. Huang Ren Fu mendesah, dia sadar akan perasaan Huang Ying Ying pada Ding Tao. Diapun berdiri hendak meninggalkan kamar itu. Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH