Bara Naga 7
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 7
Bara Naga Karya dari Yin Yong Raungan binatang ini bukan saja terdengar buas, galak dan rakus sekali. Siang Cin berdiri sejenak di tengah lorong, keadaan gelap, tiada terlihat apa2 dibalik kerangkeng, tapi raungan keras menggetar seluruh lorong itu jelas bergema dari depan. Terdengar letupan kecil bunga api obor, lidah apinya yang berwarna merah kehijauan menambah suasana lorong terasa seram, apalagi raungan binatang buas semakin keras. Tiba2 terasa lelah merangsang dirinya, Siang Cin menggelengkan kepalanya, selangkah demi selangkah dengan hati2 dia mendekati terali besi, dengan penuh perhatian Siang Cin awasi keadaan di balik kerangkeng sana, tapi yang dilihatnya hariya kegelapan melulu. Bau langu busuk merangsang hidungnya, Siang Cin mengerut kening, bau langu busuk memang ini mirip bau kelek orang gemuk yang tak pernah mandi selama tiga tahun. Pelan2 Siang Cin mendekati terali besi, dengan gerakan enteng terali besi dipentangnya hingga melengkung, segera Siang Cin menyelinap ke dalam, kemudian dua batang terali dicabutnya mentah-mentah, debu krikil sama bertebaran. Bau langu busuk semakin tebal, Siang Cin menggigit bibir, bagai bayangan setan dia melesat maju lebih lanjut, tanah di bawah kakinya terasa lembab licin berlumut, tapi dinding kedua samping justeru mengkilap licin. ini berarti lorong di balik terali ini kosong melompong tanpa ada apa2nya, hal ini rada ganjil. Raung binatang buas entah kenapa knwi tidak terdengar lagi, suasana hening di balik terali besi ini terasa aneh, Siang Cin merasa merinding juga, se-olah2 ada sepasang mata setan yang sembunyi di tempat gelap tengah mengawasi gerakgeriknya, mendadak ia berpaling dan menatap lorong. 86 Di sebelah atas sana kiranya terdapat sebuah belandar batu sepanjang lima kaki dan lebar tiga kaki seperti tergantung di udara, letaknya justeru lepas dari sorotan cahaya obor, di pinggir belandar batu ini menongol keluar sebuah kepala yang ditumbuhi bulu panjang berwarna hitam dan putih, sepasang mata tampak mencorong berkedip2 di kegelapan, ujung hidungnya yang basah tampak berwarna merah mengendus2 liar, dua baris gigi putih runcing dengan kedua taringnya tampak menyeramkan, tepat di tengah batok kepalanya tumbuh sebuah tanduk setengah melengkung ke depan, warnanya kuning emas, tampangnya mirip kepala harimau, tapi juga seperti iblis yang sedang menyeringai seram. Pelan2 Siang Cin maju selangkah, tanpa berkedip ia mengawasi kepala harimau bertanduk yang istimewa itu. Siang Cin sengaja menggodanya, sambil menuding dan menari Siang Cin bergelak tawa, beberapa kali ia sengaja berputar tepat di bawah harimau, maka auman harimau yang kelaparan itu menjadi lebih keras dan beringas, di tengah sampukan angin kencang, segumpal bayangan putih-hitam tiba2 melayang turun menerkam Siang Cin. Cepat Siang Cin menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana seraya berteriak "Binatang!" Dikala dia menjatuhkan diri itulah, terkaman harimau menyamber lewat di atas badannya, tanduknya yang runcing menumbuk dinding sehingga dinding batu ambrol berhamburan, tak ubahnya sebuah martil raksasa yang dipukulkan ke dinding yang keras. Siang Cin melompat bangun, menyusul tangan menghantam, tapi binatang itupun sempat mengelak, dengan cepat harimau itu berputar balik serta menerkam pula dengan beringas. Mendadak Siang Cin merendahkan tubuh, telapak tangannya tegak bagai mata golok terus menggaris ke perut harimau, tapi binatang buas yang aneh ini ternyata cukup cerdik, dengan enteng dia mengegos, berbareng ekornya yang besar panjang itu menyabet. Setelah beberapa gebrak saling serang ini, agaknya harimau itu juga merasakan bahwa lawan yang satu ini jauh lebih kuat dan lihay daripada korban yang pernah masuk ke perutnya, kini dia mendekam sambil meng-gerung2, bola matanya memancarkan cahaya hijau, air liur berbuih meleleh dari ujung mulutnya, taringnyapun menyeringai, sungguh seram dan menjijikan tampang yang buas ini. Siang Cin berdiri diam, menunggu dengan tenang, dengan seksama iapun amati binatang aneh yang lain dari harimau umumnya ini, panjangnya kira2 lima kaki, bulunya warna putih hitam mengkilap, badannya kekar gempal penuh kekuatan, cakarnya yang panjang melengkung tajam, berbeda dengan harimau umumnya yang sembrono asal terkam saja, di balik kepala yang bertanduk itu agaknya penuh akal muslihat yang licik dan jahat. Tanduknya yang kuning emas itu seperti selalu tergosok mengkilap, tak ubahnya sebuah ganco, jelas merupakan senjata yang ampuh. Kembali Siang Cin menepuk tangan, seperti menyapa kenalan baik dia berkata. "Marilah, harimau bertanduk, marilah kita ber main2 untuk menyelesaikan perang tanding ini ........." Pelan2 harimau bertanduk berdiri, selangkah demi selangkah mendekat ke arah Siang Cin, setiap batang bulunya tampak menegak, dengus napasnya mulai berat, matanya menatap tajam ke arah Siang Cin, tanduk yang melengkung itu seperti siap menyeruduk. Lahirnya Siang Cin bersikap tak acuh, yang benar hatinya juga gelisah, dia tahu waktu sudah mendesak, harus secepatnya menolong kawannya, kalau musuh tahu adanya kejadian ini, situasi bisa berubah memburuk baginya, apalagi tempat seram seperti ini siapapun takkan sudi tinggal lama2 di sini. Segera dia menyurut mundur sambil mengerahkan salah satu ilmunya yang tak pernah terpakai selama berkelana di Kangouw, yaitu "Sim-hoa-hong hiat", hawa 87 murni diam2 terhimpun. Harimau semakin dekat, hatinya yang langu sungguh memualkan, apalagi dengus napasnya yang keras, sorot matanya yang mencorong, bulunya yang hitam putih serta cakarnya yang mengkilap tajam, semua itu cukup mengerikan. Mendadak Siang Cin tertawa, bagai anak panah dia mendahului menubruk maju. Hampir pada waktu yang sama harimau juga mengaum serta melompat tinggi menerkam ke arah Siang Cin, tanduknya yang kuning membawa cahaya yang menyilaukan, kuku kaki depannya setajam pisau mencakar ke dada dan perut Sang Cin, betapa garang, cepat dan kuat terkamannya sungguh luar biasa. Siang Cin sedikit mengegos, sambil membertak telapak tangan berkelebat. "plak", dengan telak badan harimau terpukul, menyusul telapak tangan kirinya menepuk ke arah kepala harimau, badan harimau yang besar kekar itu ber-guling2 sambil meraung2 kesakitan, tanduk menggaris tajam di lantai berbatu sampai memercikan lelatu api. Siang Cin tidak berhenti, kedua tangannya bekerja lebih kencang, suara "Plak- plok" Saling susul, sinnentara harimau yang ganas itu terus ber-guling2 di tanah sambil me raung2, darahpun berhamburan, auman yang keras menyeramkan berkumandang menggetar seluruh lorong. Siang Cin membentak dan menubruk maju, kedua tangannya terayun sekuat tenaganya, harimau itu kena ditamparnya mencelat, setelah terbanting dengan keras dan berkelejetan, lalu tak bergerak lais untuk selamanya. Menarik napas panjang, pelan2 Siang Cin menyeka keringat dimukanya, matanya mengawasi harimau bertanduk yang menggeletak itu dan berguman. "Binatang tetap binatang, kecuali tenaganya yang besar, tiada sesuatu yang patut ditakuti . .. ..." Setelah istirahat sejenak, Siang Cin kerahkan hawa murni, cepat sekali tenaganya telah pulih, dengan mudah dia menyelinap masuk lebih lanjut ke dalam sana. Beberapa tombak kemudian, kembali terali besi mengadang jalan, kini di bawah obor yang menyala terang dapat terlihat jelas, seekor gajah warna kelabu sebesar kerbau jantan berdiri di dalam kerangkeng, matanya yang kecil tengah mengawasi Sang Cin dengan heran, gajah kelabu ini kelihatannya jinak. Siang Cin merasa kepalanya sedikit pening, ia bersandar pada terali besi dan menarik napas panjang, dia pandang tajam gajah kelabu di dalam sana, sang gajah juga tengah mengawasinya, sepasang matanya yang kecil, tapi daun kupingnya ternyata besar dan lebar mirip dua kipas raksasa, tidak panjang tapi gadingnya amat runcing dan mengkilah kuning menghimpit bclalainya yang ber-gerak2 naik turun, bentuknya tak ubahnya seperti gajah umumnya, cuma perawakannya sedikit lebih kecil, tapi tepat di belakang kupingnya entah terdapat benda apakah itu? Dua lembar benda bersusun di atas punggung gajah, warnanya ungu, dan tembus cahaya, urat hijau hitam tampak membentang di seluruh lembaran itu. "Gajah bersayap", dalam hati Siang Cin membatin, pelan2 dia berjongkok, dengan kekuatan jarinya dia hancurkan batu lantai, lalu diremasnya menjadi krikil, tubuh gajah bersayap yang besar ini kebetulan merupakan sasaran empuk dijadikan bidikan kerikilnya. Siang Cin tersenyum, katanya pelahan. "Sahabat tua, kelihatannya kau amat sopan dan ramah, kita tiada permusuhan apa2, sebetulnya tak perlu aku memusuhimu, tapi kau berdiri di tempat yang keliru, berada di tengah jalan yang harus kulalui, oleh karena itu, terpaksa aku menyalahimu, sayang sayapmu itu ...." Satu biji batu kecil segera meluncur kencang mendesing, gajah bersayap melengking rendah, matanya yang kecil mengedip, krikil yang mengenai badannya terpental balik dan hancur menjadi bubuk. Melenggong sebentar, Siang Cin mencoba sekali lagi, hasilnya tetap serupa, seperti merasa gatal si gajah bersayap menggerakan kupingnya, sementara hidungnya yang panjang masih ber-gerak2 tak hentinya. Siang Cin menggeleng, sekali lompat dia raih sebatang obor yang tertancap di dinding, katanya penuh penyesalan. "Sahabat yang berkulit tebal, terpaksa kucoba 88 memanggang kulitmu yang gemuk." "Wut", menerobos terali besi obor itu melayang ke arah gajah bersayap, kali ini agaknya gajah itu tahu diri, dia tidak menahan dengan kulitnya yang tebal, mulutnya menguik keras, kulit ungu di punggungnya tiba2 terpentang lebar dan mengeluarkan suara menggelepar, tubuhnya yang gembur besar itu mengapung dua kaki ke atas, obor melayang lewat di bawah perutnya, timpukan obor ini membikin gajah bersayap naik pitam, dengan beringas dia bersuara keras. Beruntun Siang Cin mencabut tiga obor lagi dengan cara yang sama dia timpuk ke dalam, dua obor dengan telak mengenai badan gajah bersayap, maka gajah bersayap ini kini betul2 marah, dengan belalai yang panjang dia memukul terali besi sambil meraung keras, akhirnya belalai membelit terali serta ditariknya sekuatnya, atap lorong sampai ambrol dan debupun berhamburan. Cepat Siang Cin menerjang maju, di mana telapak tangannya bergerak, kembali dia lontarkan jurus Sim hoa hong hiat, sepenuh kekuatannya ia menabas, darah seketika muncrat, belalai gajah yang membelit terali itu ditabasnya putus sebagian. Sudah tentu gajah bersayap itu kesakitan, dia mengamuk dan menerjang terali di depannya, sementara mulut ber kuik2 semakin keras, darah berhamburan dari kutungan belalai, sementara sayap di punggungnya terpentang dan bergerak, lambat laun terali besi sebesar lengan bayi itu kena ditariknya hingga bengkok. Siang Cin mengancing mulut, kedua tangan bekerja sekaligus. "crat", di tengah raungan gajah yang mengamuk, tahu2 sepasang mata kecil sang gajah memuncratkan darah segar, gajah itu semakin murka karena matanya tertimpuk buta, sang gajah kini betul2 telah kehilangan kesadaran, sayapnya menggelepar, kepalanya menerjang kian kemari, raungannya diselingi darah yang berhamburan, suasana yang sudah seram bertambah mengerikan." Sejenak bimbang akhirnya Siang Cin menarik napas dalam2, tiba2 dia menyelinap maju, secepat itu pula tahu2 dia sudah melompat balik dan begitulah secara berulang, pada setiap kali lompatannya terali besi di depannya pasti dia tekuk bengkok sehingga ruang gerak sang gajah semakin sempit karena gerak geriknya terganggu, keruan gajah itu mengamuk semakin hebat. Setelah merapikan diri Siang Cin terus menyelinap masuk, menerobos lewat melalui sela2 terali yang melengkung selebar dua kaki itu terus melayang ke dalam. Agaknya gajah bersayap merasakan kehadiran Siang Cin dari bau badannya, sayapnya kembali menggelepar turun naik dengan kekuatannya yang luar biasa, gadingnya yang runcing dengan belalai yang panjang sekaligus menyapu pergi datang, sementara badannya yang besar itu main tumbuk secara membabi buta. Selincah kera Siang Cin lompat sana dan menyelinap sini dengan tangkas, pada setiap lompatannya, kedua tangan juga bekerja melukai si gajah, di samping menyingkirkan terali besi yang merintangi gerak-geriknya, meski agak payah, tapi akhirnya selicin belut dia bisa menyelinap keluar, tinggal sang gajah yang terluka parah itu masih mencak2 di dalam sangkar besi. Waktu sudah banyak terbuang, setelah menyeka keringat, beruntun dua kali lompatan Siang Cin melayang tiba di depan sebuah pintu batu, tak peduh makhluk apa yang berada di situ, dan apapula akibatnya, dia kerahkan setaker tenaganya menggempur, beberapa kali hantaman kemudian, daun pintu yang terbuat dari balok batu besar dan tebal itupun telah rontok berhamburan, tanpa berhenti Siang Cin terus menerobos masuk. Tapi dia menjerit kaget, tiba2 dia menyelinap keluar pula secepat kilat bagai melihat setan, menyusul dari balik pintu terdengar suara mendesis riuh ramai, ular2 kecil sebesar ibu jari sepanjang tiga kaki berwarna merah darah berlomba merayap keluar, begitu besar jumlah ular yang merayap ini sungguh menggiriskan, lidahnya yang menjulur keluar, baunya yang amis memualkan, siapa yang takkan ngeri?" . Begitu jelek dan menjijikkan, kepala segi tiga binatang melata itu, ekornya kasar, matanya memancar biru, jelas seluruhnya ular2 beracun, Bagai air mengalir saja ular2 itu merayap memenuhi lantai lorong. 89 Belum kaki sempat menyentuh lantai Siang Cin langsung mengapung ke atas, dengan punggung lengket di langit2 lorong tak ubahnya seekor cicak dia awasi ular2 merah di bawah, ular2 itupun mendongak sambil meujulurkan lidahnya, lidah yang bercabang itu mendesis keluar masuk, mau tidak mau Siang Cin menjadi merinding. Seluruh lorong dipenuhi ular, sedikitnya ada ribuan, tempat luang untuk berdiri saja tidak ada, lalu bagaimana baiknya? Memangnya dia harus bergantung terus di atas dinding?, Ia coba menggeser mendekati obor yang tertancap di dinding, dia cabut batang obor dia, bikin remuk gagang obor yang terbuat dari kayu cemara serta dipuntirnya pula, gagang kayu menjadi hancur berkeping, kepingan kayu yang tak terhitung jumlahnya ini disulut oleh Siang Cin, setelah api menyala dia ayun tangannya, membawa deru api yang memancar terang, kepingan kayu itu berhamburan laksana panah berapi. Ular2 yang ada di lorong seketika menjadi kalut, desis suaranya semakin keras sehingga hawa terasa amis dan memualkan, kepingan kayu cemara yang runcing kecil serta menyala itu melukai ular2 yang ada di lorong, ular yang terluka dan terbakar itu menjadi panik dan terguling kesakitan, terjang sana gigit sini, keadaan menjadi kacau antara sesama ular saling gigit, ular merah ini terhitung kecil, tapi taringnya panjang dan melengkung bagai kaitan. Melihat usahanya berhasil mengacaukan barisan ular, maka Siang Cin bekerja lebih lanjut, dari atas dinding dia menggeremet maju, obor kayu cemara ternyata merupakan senjata yang ampuh untuk mengalahkan barisan ular, setiap kali dia mengayun obor, ular sama menyurut mundur dan lari serabutan, tidak sedikit pula yang terbakar, ular2 itu dipaksa menyingkir ke mana saja asal ada tempat luang, maka gajah bersayap yang lagi mengamuk di dalam sangkarnya itu kini menjadi musuh kawanan ular berbisa ini. Gajah besayap dalam sangkar mengamuk semakin jadi, ular2 kecil itu sama merambati keempat kakinya dan menggigit kulit dagingnya yang tebal, terang kawanan ular ini terasa menganggu, gajah bersuara semakin keras, kakinya menggentak2, kedua sayapnyapun menggelepar, maka tidak sedikit kawanan ular yang terinjak hancur. Sekuatnya Siang Cin timpuk pula dua batang obor, kini tinggal dua batang obor lagi yang tertancap di dinding, maka cahayanya jauh lebih gelap, tapi sebatang lagi dia cabut, setelah menarik napas, pelan2 lalu dia melayang masuk ke balik pintu. Di balik pintu ternyata adalah sebuah kamar yang tidak keruan bentuknya, di lanta penuh serakan rumput busuk tercampur najis ular yang tak sedap baunya, Siang Cin tidak berani bernapas di sini kuatir hawanya mengandung bisa, maka tanpa ayal ia terus melayang pula ke depan menerjang dinding di sebelah depan, waktu jarak tinggal satu kaki, tinjunya segera menggempur ke arah dinding, di tengah gemuruhnya dinding yang terpukul retak, badan Siang Cin terpental balik ke belakang, Jumpalitan sekali di udara, Siang Cin tidak jatuh di lantai, tapi kedua kaki terus memancal di tengah udara, kembali tubuhnya melesat maju pula kedepan, kini dinding kena dipukulnya runtuh berantakan, secercah cahaya segera menyorot masuk lewat lubang dinding yang jebol, di sebelah sana kiranya juga sebuah lorong. Siang Cin menyelinap keluar, dengan gaya yang indah dia meluncur ke pengkolan sebelah kiri, belum lagi dia melayang turun, matanya sudah melihat dua orang raksasa aneh dengan rambut kuning gonderong tengah melotot padanya. Kedua raksasa aneh ini hanya memakai cawat kulit harimau kumbang, bulu panjang tumbuh di sekujur badannya. jidat lebar, hidung pesek, bibirnya mencuat keluar, giginya yang kuning gede itu meringis keluar bibir, tampangnya buas dan jelek sekali, lebih mirip orang hutan dibanding manusia. Dengan enteng Siang Cin melayang turun, sorot matanya menatap dingin kedua raksasa yang berwajah kaku ini, bukan saja berbulu badan kedua raksasa ini, ternyata mengkilap seperti berminyak, tinggi besar tak ubahnya sebuah bukit. 90 Sambil menggerung serentak kedua raksasa ini mendorong bangku yang semula mereka duduki, seorang langsung menyambar senjatanya, yaitu sebatang gada besar penuh paku runcing, gada sebesar paha itu cukup kuat untuk mengemplang manpus seekor biruang. Siang Cin menjura, katanya. "Selamat bertemu tuan2, apakah kalian tidak ingin ngobrol denganku?" Dengan langkah yang berat kedua raksasa maju menghampiri, mendengar Siang Cin bicara, mereka berhenti dan saling pandang dengan tak mengerti, wajah mengunjuk rasa heran. Siang Cin tertawa pula, katanya. "Apakah kalian tidak mengerti maksud ucapanku? Ini bukan soal, boleh kalian duduk saja di sana, nanti setelah aku menyelesaikan urusanku, pasti akan kujelaskan kepada kalian." Habis bicara dia coba maju selangkah, seketika kedua raksasa berjingkrak dan menggeram, keduanya mencegat di tengah lorong, gada berpaku terangkat tinggi, taring mereka tampak seram menjijikkan. Pelahan Siang Cin menggeser ke pinggir, dengan jari telunjuk dia memberi tanda pada kedua raksasa itu, lalu ia kerahkan tenaga, ujung jarinya menjojoh dinding batu yang keras. Kedua raksasa berteriak kaget, matanya melotot seperti ingin menikmati tontonan yang menarik. Siang Cin membuat tanda2 yang bersahabat, telunjuknya dia tarik keluar, lalu dia menarik napas panjang2, badannya yang ramping segera merayap lurus ke atas setinggi lima kaki, kemudian melayang turun pula pelan2. Kedua raksasa itu menyaksikan dengan mata terbeliak sambil bersorak gembira, Siang Cin tepuk2 tangan lalu memberi gerakan tangan pada mereka, supaya merekapun mencobanya. Agaknya mereka ragu2, tapi setelah saling bercowetan sebentar, mereka membuang gada masing2. Yang satu menirukan cara Siang Cin menjojok dinding dengan jari, sementara yang lain ber-jingkrak2 ingin mengapung dengan mulut terkekeh geli, keduanya mirip sekali anak2 nakal. Siang Cin menghela napas lega dengan rasa letih, pelan dia menggeremet maju ke sana, dia tepuk bahu kedua raksasa serta tersenyum manis penuh persahabatan, lalu menyelinap di tengah2 mereka langsung menuju ke ujung lorong, di sini memang terdapat sebuah pintu batu yang besar. Setiba di depan pintu Siang Cin menoleh kearah kedua raksasa yang masih bermain dengan asyik sekah. Dia coba mendorong pintu batu ini bagai gunung yang kukuh tak bergeming sedikitpun. Ia mengerut kening, tenaganya memang sudah banyak terkuras, kalau setiap kali harus menggempur dengan seluruh kekuatan, mungkin dia takkan sanggup bertahan lebih lama lagi, maklumlah manusia terdiri dari tulang dan darah daging, bukan terbuat dari kawat dan besi. Sebetulnya Siang Cin tidak ingin mengganggu kedua raksasa yang bermain begitu asyik, dia lebih suka membuka pintu ini tanpa mengeluarkan suara berisik dan tanpa susah payah menolong kawan2nya, tapi kenvataan sekarang tak mungkin terjadi demikian, tanpa kunci untuk membuka gemboknya, pintu tak mungkin bisa dibuka, kecuali menggunakan kekerasan menggempurnya rasanya tiada jalan lain lagi. Dengan menggertak gigi pelan2 dia himpun semangat dan kerahkan tenaga, akhirnya seluruh kekuatan dia pusatkan pada kedua lengan, ketika dia menghembuskan napas diiringi gertakan, pukulan yang dahsyat segera menggempur pintu batu itu. Ditengah suara gemuruh yang bergema sampai lama, batu dan debu sama muncrat, tapi suara gemuruh ini sekaligus membuat kaget kedua raksasa yang lagi ber-main2 itu, sekilas tampak mereka kaget serta berhenti main, dengan pandangan bingung mereka membalik ke sini mengawasi Siang Cin. Tanpa menunggu kedua raksasa ini memaklumi apa yang terjadi, cepat Siang Cin menggempur pula beberapa kali, pintu batu itu lambat laun tergempur runtuh dan ber goyang2, pintu batu yang tebal dan berat ini boleh dikatakan sudah retak parah, kini 91 mudah dijebolnya. Tiba2 kedua raksasa itu meraung gusar, suaranya mirip serigala kelaparan, seperti badak menyeruduk keduanya menerjang datang sambil angkat gada terus mengepruk, sebat sekali Siang Cin menyingkir, sekilas ia lihat mata kedua raksasa yang beringas tak mengenal persahabatan lagi. Sebuah gada menyambar dari samping. Kembali Siang Cin berkelit, sementara raksasa yang lain juga menyerbu tiba dan ber- teriak2 gusar, gada berayun serabutan menimbulkan kisaran angin lesus yang kencang. Siang Cin berkelit kian kemari sambil menyelinap di antara kedua raksasa yang lagi mengamuk ini, serunya dingin. "Kalian mundur saja, aku tidak ingin melukai kalian, tahu tidak? Lekas mundur ... " Kedua raksasa ini adalah manusia liar, mereka meraung2, suaranya lebih mirip binatang buas, sorot matanya yang ber-kunang2 lebih mirip mata elang yang buas, tak kelihatan adanya sifat2 kemanusiaan, maka Siang Cin mengerti sekarang kecuali mengalirkan darah, tiada jalan lain yang dapat dimengerti oleh mereka. Badan yang kasar sebesar kerbau itu tiba2 menerjang maju, bau badan yang apek rnenyusup ke hidung Siang Cin, sementara gada besar teiah mengemplang batok kepalanya, berbareng sebelah kakinya mendepak iganya pula. Sungguh tak nyana bahwa raksasa liar ini juga pandai berkelahi dengan macam2 tipu serangan. Siang Cin menghela napas, dia menyelinap ke samping, mepet dinding, begitu punggung menyentuh dinding, secepat kilat badan membal balik, tiada kata2 yang dapat melukiskan kecepatan gerakannya, tahu2 raksasa di depannya meraung keras seperti babi disembelih. "Duk, duk, duk", ia terhuyung mundur menyusul telapak tangan Siang Cin yang sudah ditarik keluar dari rongga dada si raksasa, telapak tangan berlumuran darah. Tiada peluang bagi raksasa yang lain untuk menyerang maju pula, tangan Siang Cin yang berlepotan darah itu sudah bekerja pula, selagi gada besar si raksasa menyambar lewat di atas kepala Siang Cin, dalam waktu sekejap ini Siang Cin menyarangkan tangannya belasan kali di antara dada dan perut lawan. Rintihan raksasa di kaki dinding sana masih berkelejetan, raksasa yang lain sudah menyusul dengan jeritannya yang menyayat hati, badannya yang sebesar kerbau me-liuk2 sambil ber-putar2 dan akhirnya menumbuk dinding, lalu jatuh tersungkur dengan kepala menyeruduk lantai. Siang Cin mencibir sambil menggeliat letih, tanpa hiraukan kedua korbannya lekas dia beranjak maju, beruntun beberapa kali pukul dia menggempur daun pintu, di tengah gemuruhnya debu dan pasir, daun pintu batu itupun runtuh ber keping2. Sebelum kepulan debu mereda, bayangan Siang Cin sudah menyelinap masuk. Di belakang pintu adalah sebuah kamar yang remang2 dengan sebuah lampu minyak, di atas jerami yang mulai membusuk berduduk empat orang, itulah "dua keping papan" Pau Seh hoa, An Lip, lalu calon isterinya serta ....Kun Sim-ti yang tampak kurus dan lemas. Jantung Siang Cin seperti mengejang, sekuatnya dia tekan emosinya, katanya. "Lo Pau, aku telah datang!" Pau Seh hoa mengawasinya dengan pandangan melongo, tatapannya seperti berlapis kabut, sorot matanya seperti memancarkan rasa ngantuk, lelah luar biasa, bagai melihat seorang asing yang tak dikenalnya. Pelan2 Siang Cin berjongkok di depan Pau Seh hoa, dia terkejut didapatinya tubuh Pau Seh-hoa penuh berlepotan darah yang sudah mengering berwarna hitam, rambutnya yang memang awut2an bagai rumput itu tampak lebih kotor dan tak keruan lagi, Siang Cin menarik napas, lalu memanggilnya pula dengan suara pelahan. "Lo Pau, aku inilah, Siang Cin ...." Berjingkat seperti kena lecutan Pau Seh-hoa, dia terkejut, pada saat lain tubuh Pau Seh-hoa seperti tersentak sadar dari impian buruk, sekuatnya dia geleng2 kepala, Siang Cin di tatapnya lekat2, se-akan2 sudah puluhan tahun tak melihatnya, suaranyapun kaget, girang dan gemetar. "Kongcuya ...... betulkah kau ....oh, oh, 92 memang betul kau, kukira aku sedang bermimpi ...." Derita macam apakah yang telah menyiksa jago kosen yang tak kenal takut ini? Dengan cara keji apa pula laki2 sekeras baja ini dibikin loyo dan linglung begini? Gemertak gigi Siang Cin saking dendam, sesaat dia berdiam diri. satu persatu dia puntir putus borgol di tubuh Pau Seh-hoa, lalu berganti membebaskan An Lip, perempuannya, keadaan An Lip jauh lebih mending dibanding Pau Seh-hoa waktu Siang Cin memuntir putus borgol ditubuhnya, laki2 kasar dan keras hati yang berewok ini, berkata penuh haru. "Inkong, akhirnya kau datang juga, tahukah kau dengan cara apa mereka menyiksa Pau-cianpwe ... kedua binatang liar di luar itu tiga kali setiap hari di suruh menghajar Pau-cianpwe ..... hanya sekeping roti kering pula setiap hari Pau-cianpwe diberi makan, dan yang paling mengenaskaan, setiap malam seorang nenek jahat membawa masuk seekor kelelawar raksasa yang jelek untuk mengisap darah segar Pau-cianpwe ....masih ada lagi, masih ada ...." "Hai," Seru Pau Seh-hoa dengan serak. "An Lip, memangnya kau tak bisa bungkam saja." Dengan pelahan Siang Cin menepuk bahu Pau Seh-hoa, katanya lirih. "Jangan marah Lo Pau, ingatlah selalu, derita dan siksa yang kita alami sekarang akan kita tagih dengan imbalan yang berlipat ganda dari mereka." Habis berkata dia ke sana menghampiri Kun Sim-ti, pelan2 dan hati2 dia membuka borgol di tubuhnya, pembalut di muka Kun Sim-ti sudah terbuka, wajah yang tadinya ayu segar bak kuntum bunga baru mekar itu kini dihiasi segumpal daging warna ungu menjadikan wajahnya kelihatan kurus, kuyu dan harus dikasihani. terpancar perasaan pilu, sedih tak terlampias dari wajah pucat itu, sejak Siang Cin datang sampai sekarang, Kun Sim-ti tetap memejamkan mata, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatah kata, tidak memperhatikan gejolak perasaan-nya, dia hanya diam saja, diam keputus-asaan. Bahwa terakhir Siang Cin baru memeriksa orang yang paling diperhatikan dan dikasihinya, justeru karena terlampau besar perhatiannya, dia tidak ingin cepat2 tahu betapa hebat siksa derita yang dialaminya, meski akhirnya toh dia akan tahu, malah iapun tahu bahwa derita itu telah terjadi dan tak mungkin dihindarkan lagi. Setelah memuntir putus borgol yang membelenggu kedua kaki Kun Sim ti, pelan2 Siang Cin mengelus jalur membiru yang melingkar di kakinya, dengan suara serak dan tersendat dia berkata. "Ci, kau terlalu menderita ...." Kun Sim-ti menggeleng, dia tetap memejamkan mata, Pau Seh-hoe menjilati bibirnya yang kering pecah, katanya. "Luka terbakar nona Kun belum lagi sembuh, dengan kasar mereka membuka pembalut-nya, tidak diberi obat dan tidak dibersihkan lagi, justeru hal2 demikian inilah yang paling dikuatirkan untuk luka2 terbakar ...." Siang Cin menengadah, wajahnya tampak tenang, ia memandang langit2, tapi Pau Seh hoa justeru gemetar, ia tahu, ia paling dapat meresapi apa arti kelakuan sahabatnya ini, tentu banjir darah akan terjadi pula. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Dapatkah Siang Cin menyelamatkan kawan2nya dan cara bagaimana meloloskan diri ? Pengalaman pahit apapula yang akan menimpa mereka? - Bacalah Jilid ke 6 - 93 Jilid 06 Akhirnya Pau Sek-hoa bersuara serak. "lote, apa pula yang kau pikirkan?" Siang Cin menatap datar ke arah Pau Seh-hoa, dia menggeleng, katanya dengan tertawa rawan. "Tiada yang kupikirkan Lo Pau, kau tahu, tiada yang kupikirkan." Ragu2 sejenak lalu Pau Seh hoa berkata pula hati2. "Bekas hitam di wajah nona Kun itu lantaran lukanya dulu tidak dirawat baik2 sehingga menimbulkan borok begitu, kelak bila diobati lagi ada harapan akan sembuh seperti sediakala lote, jangan timbul nafsumu membunuh pula, lote ...., ." Siang Cin berdiri, katanya menyimpangkan persoalan. Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Lo Pau, kau sendiri apa bisa bergerak?" Pau Seh hoa menghela napas, sahutnya. "Sekuatnya masih bisa." Siang Cin berputar ke arah An Lip dan bertanya. "Bagaimana kau An Lip?" An Lip sudah berdiri, dia membusungkan dada, katanya dengan tegas. "Boleh saja!" "Dengan menggendong calon isterimu?" Siang Cin menambahkan. An Lip mengertak gigi, katanya. "Tidak jadi soal." Maka tanpa bicara lagi Siang Cin membopong Kun Sim-ti, sekalian dia tarik Pau Seh-hoa. Badan Pau Seh-hoa yang kurus tinggal kulit membungkus tulang itu terhuyung, katanya dengan ketus. "Tak usah membimbingku, Lo Pau bukan kakek yang sudah loyo" Lima orang beriring keluar dari pintu, Pau Seh-hoa melihat raksasa yang menggeletak mampus dalam keadaan yang mengenaskan, melihat pula dinding yang ambrol dan terali besi yang jebol, setelah menarik napas dia berkata. "Kongcuya, dengan tangan kosong kau menggempur masuk." Sambil memeriksa lorong yang dilewati, dengan tawar Siang Cin menjawab. "Menurut pendapatmu, memangnya aku harus membawa pasukan?" An Lip menggendong isterinya berdiri di samping, dengan penuh kebencian dia berludah pada mayat kedua raksasa, katanya gemas. "Mereka memang patut dibunuh, 94 Inkong, setiap hari kedua babi ini menghajar Pau cianpwe ...." Dengan tenang Siang Cin berkata.`Kalau begitu, kematian cara begini masih untung bagi mereka." Pau Seh-hoa mengusap muka, baru mau bicara, dari ujung lorong sana sayup2 terdengar suara ribut diselingi teriakan kaget dan ketakutan. Terbelalak An Lip, katanya gelisah. "Inkong .... kudengar suara orang..." Siang Cin sibuk memeriksa lorong, katanya tenang. "Mereka takkan kemari dalam waktu dekat, di sana penuh ular2 merah beracun, kukira mereka akan sibuk setengah harian ..... " "Kongcu," Ucap Pau Seh-hoa setelah ragu2 se-jenak; "apa yang sedang kau cari?" Siang Cin mengencangkan gendongan Kun Sim-ti, katanya. "Kupikir, tahanan di bawah tanah ini tak mungkin hanya ada sebuah jalan lorong saja, mereka pasti ada jalan rahasia untuk melowati ketiga kerangkeng binatang itu, tak mungkin mereka terjang masuk kemari seperti caraku tadi ...." Pau Seh hoa mengangguk, katanya. "Kalau begitu, para keparat itu sebentar akan kemari." Wajah Siang Cin yang masih membiru hitam itu tampak kaku, katanya. "Betul, akan segera datang." Mereka berdiri diam di depan pintu, mereka seperti mengharapkan entah di mana nanti tiba2 dinding akan terbuka, lalu orang2 yang bersenjata berbondong menyerbu masuk, mereka sedang menantikan datangnya pertempuran besar. Suara gemuruh bergesernya barang2 berat sayup2 terdengar, seperti di bawah tanah, tapi juga seperti di sebelah atas, Tiba2 Siang Cin tertawa, dia berkata. "Lo Pau, setelah pertempuran ini, bila kita masih hidup, aku akan membuat neraca dan daftar untung rugi betapa banyak aku telah membunuh mereka." Pau Seh hoa memandangnya lekat2, katanya getir. "Kongcu, keganasanmu sudah kuketahui, di situlah letak yang tak bisa kutiru." Siang Cin tertawa, ucapnya. "Waktu mereka menyedot darah segarmu dengan kelelawar, apakah kau tak pernah menyesal telah berlaku bajik terhadap mereka? Lo Pau. ketahuilah, penghuni Cengsiong-san ceng ini tiada satupun manusia baik2, mereka adalah hewan yang bertopeng manusia belaka." Dengan beringas An Lip berteriak. "Inkong, biar nanti kuobrak abrik kawanan bangsat itu." "Bagus," Puji Siang Cin mengangguk. "kau akan memperoleh imbalan berlipat ganda An Lip, ganyang saja, tabahkan hatimu, kesempatan hidup kita jauh lebih besar daripada mereka." Suara Kun Sim ti, yang digendong Siang Cin seperti berkumandang dari kejauhan, lemah dan lirih sekali, hanya Siang Cin saja yang mendengar. "Dik..." Bergetar tubuh Siang Cin, dia sediktt menengadah sebagai tanda mendengar, suara Kun Sim-ti yang lemah dan sedih terdengar pula. "Dik, apakah kita masih ada harapan?" Berpikir sebentar, baru Siang Cin berkata penuh keyakinan. "Kita akan berjuang, Ci, kau tahu, kita berlima tiada seorangpun yang segar bugar." Tiba2 Kun Sim-ti terisak, lekas Siang Cin berkata. "Kak ......" Suara sedih lirih Kun Sim-ti berkata. "Dik, apapun yang akan terjadi, ada omongan yang ingin kusampaikan padamu, kata2ku ini mungkin sudah kau ketahui, sebab sudah kita sembunyikan dalam relung hati sekian tahun lamanya ......aku, aku tidak setimpal, tapi ..... , tetap, tetap akan kuberitahukan padamu ......" Siang Cin bergetar seperti kedinginan dia menggertak gigi, rintihnya dengan rawan. "Kak . ....." Kepala Kim Sim-ti mendekap di pundak Siang Cin, secara langsung dia dapat merasakan dengus napasnya yang tersengal, dengan air mata yang melefeh ia berbisik. "Dik, aku ......aku cinta padamu ... ." 95 Hati Siang Cin tergetar, bibirnya rada pucat, dia mengangguk pelahan. Ya, kata2 inilah yang telah sekian tahun tersimpan dalam sanubari mereka. Sebelum ini, bila mereka duduk berhadapan di bawah penerangan lilin, dikala ber jalan2 menyongsong datangnya musim semi, secara polos bodoh mereka lewatkan suasana yang romantis itu, kini yang tertinggal hanya kenangan pahit melulu? Tapi isi hati ini akhirnya terlimpahkan, dinyatakan dengan tulus dan suci. Siang Cin pejamkan mata, suaranya tegas dan tandas laksana, kukuhnya gunung . "Kak, akupun demikian, malah sudah sejak lama ......" Girang dan haru Kun Sim-ti tak tertahan lagi, dia rapatkan mukanya kepunggung Siang Cin. Sekuatnya Pau Seh-hoa mengangkat badannya, laki2 yang keras hati ini menahan air matanya yang hampir meleleh, tapi ia sengaja berkelakar. "Nah, bagus sekali, seharusnya sudah sejak lama kalian nikah tamasya dan hidup bahagia ......" Kini terasakan juga sesuatu mengetuk sanubarinya, sesuatu yang tak terlupakan selama hidupnya, selama setengah umurnya ini dia hidup sebatangkara, selama kehidupan yang merana ini dia selalu mencari sesuatu yang dapat membuat hidupnya bercahaya, kini dia telah menemukannya, meski sesuatu ini bukan diperoleh bagi dirinya sendiri, tapi dia merasa puas, paling tidak dia sudah membuktikan bahwa di dunia fana ini memang ada cinta murni yang luhur dan di atas segalanya. An Lip menyeka air mata terharu, katanya tiba2. "Inkong, seperti ada gerakan ..... " Siang Cin memang sedang memperhatikan dinding di sebelah kiri, sebuah batu persegi tampak sedang bergerak tergeser keluar, mayat raksasa pertama yang dibunuhnya tadi kebetulan berada di bawah batu yang bergerak itu. Pau Seh hoa mengernyit dahi, katanya. "Kongcuya, kita bertindak menurut petunjuk tadi, jika kita tak dapat menerjang keluar, paling tidak kita harus melakukan apa saja sekuat tenaga." "Sudah tentu," Dingin suara Siang Cin. "mereka takkan melupakan kejadian ini, karena peristiwa di sini akan menimbulkun bayangan takut selama hidup mereka" Di sebelah sana dengan langkah berat An Lip tengah menggeser mencari posisi, kini dia berdiri disudut yang paling mudah untuk menggempur musuh yang akan keluar dari lubang dinding itu. Pelaban Pau Seh-hoa juga duduk bersimpuh tepat di bawah batu yang sedang bergerak itu, ke dua matanya melotot, kedua telapak tangan siap di atas lututnya. Mundur selangkah Siang Cin berkata pelahan kepada Kun Sim ti. "Kak, keadaan amat mendesak, kita berada di lorong yang buntu ini, semuanya terluka lagi, musuh mungkin menggunakan cara yang paling keji untuk menghadapi kita. Kak, maafkan bila kau harus ikut terseret dalam kancah pertarungan ini, tapi aku berjanji sekuat tenaga akan melindungi keselamatanmu . , ... " Lirih dan rawan Kun Sim- ti berkata. "Kenapa kau bilang begini? Kau tahu aku selalu akan mendampingimu, aku tidak takut, betul2 tidak takut... "" Se-konyong2 Pau Seh-hoa mendesis. "Nah sudah datang, orang pertama yang akan kupukul mampus keluar." Bongkah batu besar yang lagi bergerak itu akhirnya terbuka, sesosok bayangan tampak merambat keluar, rnembulat mata Pau Seh hoa., tubuhnya yang bersimpuh tiba2 setengah berdiri, bagai seekor ular yang semula melingkar tiba2 hendak memagut mangsanya, telapak tangan terangkat.terus hendak menggempur..Padahal bayangan itu baru saja keluar, keruan bayangan itu menjerit ngeri, untung mata Siang Cin amat tajam, sekilas dia sudah melihat jelas siapa yang menerobos keluar dari lubang batu itu, ia tak sempat berseru mencegah serangan 96 Pau Seh-hoa, segera dia tutul sebelah kakinya, seeepat kilat ia sempat menahan tangan Pau Seh-hoa, arah pukulan Pau Sehhoa menjadi menceng. "Plak", pukulannya mengenai dinding, batu dinding muncrat berhamburan, merekapun tertolak ke samping. Pau Seh-hoa lantai menggerutu gusar. "Lote, kau gila ......kau....... " Siang Cin menggeleng, lalu berpaling ke arah orang tadi yang menggelendot lemas di kaki dinding sana, rasa kejut masih terbayang di wajahnya. Wajahnya nan jelita tampak pucat, napasnya juga memburu, kedua bola matanya terbelalak, tanpa berkesip memandangi Siang Cin. Dia bukan lain daripada Sek Pin, adik Sek Kui, Wancu (ketua perkampungan) pertama dari Ceng siong san ceng. Dengan tertawa, tenang saja Siang Cin menyapa. "Manusia hidup di mana2 selalu bersua nona!". Sek Pin mengenakan pakaian ungu ketat, gaun panjang dengan ikat pinggang sutera warna putih, bagian luarnya mengenakan mantel kulit rase, topi kain yang lebar, wajah yang pucat bagai orang yang baru sembuh dari sakit, keringat basah di ujung hidung, sikapnya tampak gelisah dan takut. Pelan2 dia merangkak bangun dan mengelus dada, katanya gugup. "Siang Cin, besar amat nyalimu, seorang diri berani kau menerobos ke Lo-koh-ce gunung palsu ini, kini Cengcu dan lain2 sudah tahu perbuatanmu, seluruh kekuatan dikerahkan, daerah ini sudah terkepung rapat .. ... ." Siang Cin mengangguk, katanya. "Hal ini memang sudah kuduga." Suara orang ribut2 dari lorong di mana kamar ular dan gajah bersayap semakin dekat, terdengar pula suara benda2 dipukul, obor bergerak dengan bunga apinya yang bertebaran. Melihat keadaan kelima orang dihadapannya, terbayang rasa iba dan simpatik pada muka si nona, tapi sikapaya tampak teguh untuk bertindak menuruti nuraninya yang suci murni, sekilas dia berpaling ke lorong gana, lalu tanpa ragu berkata. "Siang Cin, waktu sudah mendesak, bawalah orang2mu ikut aku." Sedikit melengak dan ragu2, Siang Cin berkata dingin. "Tentunya ini bukan sebuah jebakan?" Ujung bibir Sek Pin tampak mencibir sinis, wataknya yang keras seketika meledak mengobarkan amarah dan penasaran, katanya merasa terhina. "Kalau betul begitu, tak perlu aku bersusah payah kemari." Siang Cin menatap tajam pada Sek Pin, akhirnya ia mengangguk, katanya. "Baik, tunjukkan jalannya." Tanpa bicara lagi Sek Pin membalik dan menerobos ke dalam lubang darimana tadi dia datang, Siang Cin ikut di belakangnya, lalu An Lip yang memayang isterinya, terakhir adalah Pau Seh hoa. Di balik batu undakan sebelah kanan menurut petunjuk Sek Pin, Siang Cin menginjak sebuah tombol rahasia, maka pintu batu yang bergeser tadi pelan2 bergerak merapat. Lorong bawah tanah ini seperti menjurus ke pusar bumi, miring turun, terasa lembab dan dingin agaknya sudah sekian tahun tak terpakai lagi, bau apek busuk yang umumnya hanya tercium di tempat gelap yang jarang terkena sinar matahari menyesakkan pernapasan, tanah licin berlumut, jauh dekat tak bisa dibedakan, karena gelap gulita, Sek Pin terus menggremet maju sambil me raba2, sepatah katapun tak bersuara..Siang Cin melangkah maju lebih dekat, dengan suara lirih dia berkata. "Nona Sek, nona sudi menyerempet bahaya menolong kami, tak peduli Siang Cin dapat keluar dengan hidup atau mati, bila masih.ada kesempatan pasti takkan kulupakan budi luhur nona." Sek Pin maju terus tanpa bersuara, sesaat kemudian baru dia berkata rawan. "Tak 97 usah kau berterima, kasih, memang ini kehendakku sendiri." Terketuk hati Siang Cin, ia menyesal, katanya kemudian. "Jangan berkata begitu nona, pengorbananmu teramat besar . .... " Lalu Siang Cin menambahkan dengan nada berat. "Nona, apakah engkohmu tahu apa yang kau lakukan sekarang? Kecuali dirimu adakah orang lain yang tahu akan tindakanmu malam ini?" Sek Pin menahan isak tangisnya, katanya sedih. "Engkohku tidak tahu, tapi cepat atau lambat akhirnya dia akan tahu juga. Dia tidak akan mengakuiku lagi sebagai adik, ia pasti akan menghukum aku ... aku dan Hoan-gwat .... " "Siapakah Hoan-gwat?" Tanya Siang Cin. Sek Pin terpeleset ditanah yang licin dan hampir saja jatuh, lekas Siang Cin memapaknya, Sek Pin berkata sotelah menghela napas. "Hoan-gwat adalah pelayan yang paling kusayang, kami tumbuh dewasa bersama sejak kecil." Berjalan beberapa jauh lagi baru Siang Cin berkata pelahan. "Lorong rahasia ini terang sangat panjang, tembus ke mana?" Kini Sek Pin berjalan lebih hati2, katanya. "Hampir lima tahun lorong ini tidak dipakai lagi, letaknya antara dua puluh kaki di bawah tanah, panjangnya dua li, karena tanahnya yang sering longsor, maka pembangunan lorong rahasia ini sudah dihentikan lima tahun lalu, lorong ini tembus ke gunung di belakang perkampungan . ..." "Mungkinkah ergkohmu takkan curiga akan lorong rahasia yang terbengkalai ini? Tidak curiga bahwa kau yang menolong kami? Kecuali lorong rahasia ini, adakah jalan rahasia lain untuk masuk ke Lo-koh-ce?" Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Berpikir sekian lama baru Sek Pin berkata pula. "Sudah lima tahun lorong ini tidak terpakai, banyak orang tahu bahwa lorong ini sudah buntu dan tak bisa digunakan lagi, bulan yang lalu, tanpa sengaja Hoan-gwat dengan . ...dengan temannya bertemu di sini, didapatinya longsoran tanah di sini ternyata sudah bergerak lagi, sehingga terbuka sebuah terowongan selebar tiga kali. Waktu itu secara diam2 Hoan-gwat beritahukan padaku, semula tidak kuperhatikan, tak nyana hari ini begini besar manfaatnya, menolong kau sekaligus juga mencelakakan diriku ...." Siang Cin geleng2, baru saja dia mau bicara Sek Pin sudah menyambung. "Engkohku pasti tidak tahu kalau lorong di sini masih dapat digunakan dan lebih penting lagi bahwa dia tak menduga akan perbuatanku yang durhaka ini, oleh karena itu, dalam waktu singkat mereka takkan memburu kemari, tapi bila mereka telah masuk lewat jalan rahasia lain dan kehilangan jejak kalian, pasti mereka akan menduga kalian telah kabur lewat lorong rahasia yang terbengkalai ini." Berpikir sebentai, tiba2 Siang Cin berkata. "Menurut perhitungan waktu, seharusnya mereka segera akan tiba di tempat kurungan kami dari jalan rahasia yang lain, tapi kenapa setelah kita pergi sekian lama masih belum kelihatan bayangan mereka?" Sek Pin menunduk malu, sesaat baru dia bersuara pula. "Aku kuatir mereka tiba lebih dulu maka ....maka kunci pintu yang disimpan engkohku telah kucuri ...." Siang Cin mengangguk maklum, sebabnya orang2 Ceng-siong-san-ceng ribut dilorong tempat binatang buas itu ialah karena pintu jalan rahasia yang lain terkunci dan tak bisa dibuka, terpaksa mereka harus masuk menurut jalan yang ditempuh Siang Cin, walau harimau bertanduk sudah mati tapi gajah bersayap yang terluka dan ular2 merah itu mungkin menjadi rintangan bagi mereka. Jalan semakin datar, maka langkah mereka bertambah cepat pula, tiba2 Siang Cin berkata pula dengan setulus hati. "Nona Sek, kami sangat berterima kasih atas pengorbanan dan pertolongan . ......." Tanpa berpaling Sek Pin berkata dingin. "Sekarang kalian harus berusaha meninggalkan Cengsiong-san-eeng secepatnya, satu jam yang lalu Im-bing long-kun 98 Ih King-hok telah tiba, mungkin sekarang dia sudab berada dalam barisan orang2 Cengsiong san-ceng." Mendengar nama ini mau tak mau Siang Cin terkesiap, tanyanya. "Ih King-hok? Ih King-hok dari Ang-tong-nia itu?" Sek Pin juga terperanjat mendengar nada ucapan Siang Cin, langkahnya diperlambat, tanyanya heran. "Sudah tentu, memangnya di dunia ini ada Ih King hok kedua?" Setelah merandek sebentar, dia berkata pula kuatir. "Kau juga kenal dia? Siang Cin, belum pernah aku melihat kau seprihatin ini ... .. orang ini membuatmu takut?" Sambil tertawa tawar Sang Cin berkata. "Tidak, mungkin ada orang yang mampu mengalahkan Naga Kuning, tapi TIada seorangpun yang mampu membuat Naga Kuning jeri. Aku hanya merasa heran, Ih King-hok bertabiat aneh, tinggi hati, sUka menyendiri. tak pernah mencampuri urusan duniawi, bagaimana mungkin sekarang dia bergaul dengan orang2 Ceng - siong - san ceng yang terkenal jahat dan sampah dari kaum persilatan ini?" Dengan mendengus Sek Pin berkata kurang senang. "Hm, bicaralah yang bersih, kaum jahat dan sampah persilatan apa? Setiap orang punya pendiriannya. Kau menjelekkan orang lain, belum tentu orang akan memuji sepak terjangmu ......" Tertawa Siang Cin dan berkata.. "Ya, memang, kalau tidak, mayat takkan bergelimpangan sebanyak itu." Saking dongkol Sek Pin membanting kaki langkahnya dipercepat, Siang Cin menarik lengan Kun Sim-ti dalam gendongannya, lalu memberi tanda ke belakang sambil menyusul dangan langkah cepat, jalan rahasia sepanjang dua li itu mungkin sudah akan tiba di ujung. Kini terasa jalan yang mereka tempuh mulai menanjak naik, turun dan naik pula, tidak lama kemudian, dari depan sudah terasa ada embusan angin yang segar. Menarik napas panjang, Siang Cin berkata. "Sudah sampai." Sek Pin mangangguk sambil menuding kedepan, Siang Cin pusatkan perhatian memandang ke sana. Tertampak sebuah tangga batu berputar naik ke atas, mulut terowongan tertutup oleh sesuatu benda yang hitam gelap. Siang Cin tertawa, dia tahu itulah tumpukan rumput kering, karena dari sela2 lubang tumpukan benda hitam itu dia dapat melihat sinar bintang yang kelap-kelip di cakrawala. Setiba di undakan Sek Pin tampak tegang dan gelisah, setelah menarik napas, sekilas ia bimbang dan takut, akhirnya dia menepuk tangan dua kali, cepat dari luar mulut lorong berkumandang pula dua kali tepukan balasan. Sek Pin berteriak tertahan. "Hoan-gwat ....." Benda hitam yang menutup mulut terowongan tampak digeser ke pinggir, ternyata memang tumpukan rumput kering, seorang dara jelita segera menongol, tanyanya gugup dan tegang. "Siocia, sudah datang semua?" "Ya," Sahut Sek Pin. "Hoan-gwat, bagaimana keadaan di luar?" Wajah jelita di atas itu tampak takut2 dan ngeri. "Hampir saja aku mati ketakutan, sinar pedang dan golok gemilapan di dalam dan luar kampung, bayangan orang simpang siur, baru saja kulihat The moacu membawa sebarisan anak buahnya berlari lewat di depan sana. Siocia, lekas kalian naik kemari ...." Mendadak Siang Cin melangkah maju, katanya.. "Untuk Menjaga kemungkinan, biar aku naik lebih dulu." Habis berkata ia terus melayang ke atas, baru saja tubuhnya muncul, seorang nona berpakaian hitam di mulut gua itu segera hendak menjerit kaget. Tapi Siang Cin sempat mendekap mulut si gadis yang hampir menjerit, katanya tenang. "Jangan berisik, aku Siang Cin." Gadis itu mengenakan pakaian serba hitam, dengan kerudung warna hitam pula, 99 wajahnya bundar kwaci manis dan mungil, usinya sekitar delapan belasan, kalau tidak lantaran kaget sehingga mukanya tampak pucat, mungkin dia akan kelihatan lebih jelita. Siang Cin unjuk tawa ramah kepada dara remaja ini, lalu dia membalik bantu menarik Sek Pin keluar, disusul An Lip dan isterinya lalu Pau Seh-hoa. Mulut gua ini berada di sisi sebuah batu gunung, sekelilingnya adalah rumput alang2 yang tumbuh tinggi setengah badan orang, bayangan puncak tinggi tampak berdiri tegak di kejauhan, angin malam meniup kencang sehingga rumput dan pepohonan bergerak mengeluarkan suara berisik, suasana pegunungan yang liar dan sepi ini terasa seram dari menggiriskan. Pau Seh hoa memandang sekelilingnya dan menarik napas panjang ber-ulang2 untuk menghirup hawa segar. Siang Cin juga memandang jauh ke kegelapan alam, katanya lirih. "Lo Pau, pegunungan ini merupakan tempat sembunyi paling baik bagi kita." Pau Seh hoa memegang dagu, sahutnya dengan serak. "Ya, untuk sementara saja, memangnya kita berani pelesir di jalan raya sekarang?" Pelan2 Siang Cin berpaling pada Sek Pin, Si nona tengah mengawasinya dengan tatapan tajam, katanya pelahan. "Siang Cin, kau boleh pergi." Menghela napas masgul, Siang Cin berkata; "Apakah engkohmu akan menghukummu?" Tampak senyum aneh menghias wajah Sek Pin, tapi senyum ini lantas beku oleh kerongkongan yang seperti tersumbat, lekas dia berpaling, lalu berkata dengan sedih. "Tergantung betapa banyak yang dia ketahui ....... " Sampai di sini dia membalik pula, deagan lagak tenang ia menyambung. "Paling tidak, sekarang dia belum tahu, atau mungkin bila aku bisa menutupi perbuatanku dengan baik, mungkin selamanya dia tidak akan tahu " Siang Cin rnemandangnya, dia tahu orang senugaja menghibur diri, urusan tak mungkin begitu mudah, orang2 Ceng siong-san-ceng tidak bodoh, terutama Sek Kui si durjana itu. Pau Seh hoa menghampirinya, katanya serak. "Kongcuya, sekarang kita boleh berangkat bukan?" Siang Cin menengadah memandang angkasa, bibirnya bergetar, sesaat kemudian baru berkata. "Kami akan berangkat nona Sek, kau harus jaga dirimu baik2, demikian pula nona Hoan gwat." Sek Pin diam saja, sinar matanya tampak kabur, dengan berat dan seperti tak terasa dia mengangguk, se-olah2 mengandung derita batin yang tak terperikan, takut karena dirinya telah melakukan suatu kesalahan atau jeri menghadapi hukuman yang bakal menimpa dirinya? Atau mungkin karena menyesal akan perbuatannya sendiri? Sedikit membungkuk kepada Sek Pin sebagai tanda hormat, Siang Cin lantas melangkah pergi, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba2 Sek Pin memburu maju tanyanya dengan muka pucat dan suara gemetar. "Kau ..... Siang Cin, apakah kau akan datang lagi?" Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata. "Aku akan kembali, nona Sek, aku pasti akan datang lagi." Sek Pin menyurut mundur dengan perasaan ngeri, badannya gemetar menghadapi tatapan Siang Cin yang penuh rasa dendam membara, tubuhnya gemetar mendengar nada ucapnya yang kaku dingin itu, katanya pula dengan duka nestapa. "Kembali dengan kedua tanganmu yang berlepotan darah itu?" Menguwasi muka orang Siang Cin berkata dengan tegas. Kau tahu aku pasti berbuat 100 begitu, nona Sek, aku juga takkan melupakan kebaikan dan pertolonganmu malam ini, sejak masih bocah Siang Cin sudah pandai membedakan antara budi dan sakit hati." Langkah Siang Cin berlima semakin jauh, jalan yang mereka tempuhpun semakin jelek dengan batu gunung yang runcing dan licin. Pau Seh-hoa berpaling, dilihatnya Sek Pin berdiri ditempatnya seperti dibungkus kegelapan, pelayannya Hoan-gwat masih tetap mendampinginya, Pau Seh-hoa dapat meresapi betapa masgul hati si nona yang terpencil dalam kesunyian. Pau Seh-hoa berjalan dengan payah, lama sekali baru dia berkata. "Kongcuya, apa kau akan naik ke puncak gunung?" Siang Cin menggeleng, katanya tawar. "Tidak, kita hanya berputar melalui kaki gunung." Di atas punggungnya Kun Sim-ti menghela napas lelah, katanya lirih. "Dik, kau tidak letih?" Berdetak jantung Siang Cin, dengan haru dia usapkan telinganya ke pipi si nona, dia tahu bukan hanya soal sepele ini yang ingin diajukan oleh Kun Sim-ti, dalam hatinya tentu ingin tahu siapakah Sek Pin. Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Tugas Rahasia Karya Gan KH