Pedang Kiri Pedang Kanan 35
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Bagian 35
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya dari Gan K L Maka pelan2 dia menarik napas dan mengerahkan tenaga, sekali enjot tubuh terus terjun ke bawah. Didengarnya suara lirih, tapi jelas dari sebelah atas. "Bekerja hati2 Kongcu, Losiu doakan kau berhasil." "Dari peta tadi Kun-gi sudah tahu jelas letak Hek-liong-tam, kalau tidak melompat turun ke tempat yang gelap gulita begini pasti selangkah pun takkan mampu beranjak. Karena tempat dia berpijak itu adalah balok batu yang letaknya per-sis di pinggir kolam, selangkah saja lebih maju, kaki akan menginjak tempat kosong dan terjerumus ke Hek-liong-tam. Sebetulnya dia membawa Leliong-cu, di tempat gelap sinar mutiara dapat mencapai setombak jauhnya, tapi kabut tebal di sini laksana awan hitam yang pekat, maka Leliong-cu hanya bagai sinar kunang2 belaka, paling hanya mampu menyinari dua kaki. Hakikatnya Kun-gi juga tidak perlu melihat, karena dalam benaknya sudah terlukis gambaran akan letak kolam naga hitam di bawahnya, sejenak dia berdiri menenangkan hati, lalu menggeremet menyusur dinding gunung terus maju ke arah kanan. Kabut memang amat pekat, pancuran air yang gemericik dari mulut kepala naga di sebelah depan sana masih terdengar jelas, dengan cermat Kun-gi memperkirakan jaraknya tinggal delapan tombak lagi, maka langkahnya semakin ber-hati2. Tengah berjalan, tiba2 terasa sebelah kakinya menginjak tempat kosong, ternyata balok batu yang dibuat jalanan sudah berakhir. Untung dia selalu waspada, karena punggung menempel dinding, meski kaki menginjak tempat kosong tubuhnya tidak segera jatuh ke bawah, segera dia kerahkan ilmu pek-houkang, dengan cara merambatseperticicak diaterus menggeremet maju. Tak lama kemudian dia sudah merambat tiba di bawah kepala naga, sudah tentu iapun tidak bisa melihat kepala naga, cuma suara pancuran saja yang dia dengar di atas kepalanya dan jatuh ke bawah. "Di sinilah tempatnya," Demikian pikir Kun-gi, sementara badannya sudah mulai melorot turun dengan cepat. Sekejap saja dia, sudah melorot tujuh tombak, suara pancuran dalam kolom terdengar semakin keras. Kiranya dia sudah hampir tiba dipermukaan air, selepas matanya memandang kabut hitam tetap tebal, hakikatnyadiatidakbisa melihatkeadaansekelilingnya. Untung badannya tidak keciprat setetes airpun, maka dia lantas kerahkan Jiankintui, badannya terus melorot lebih turun lagi sehingga sepuluhan tombak telah dicapainya, sungguh aneh bin ajaib, ternyata badannya tidak menjadi basah oleh air kolam. Sementara suara pancuran terdengar ber-ada di sebelah atas, jelas bahwa dirinya kini sudah tenggelam di dalam air kolam. Diam2 dia membatin."Leliong-cumemangmestikaanehdiduniaini, masukair tidak menjadikan badanku basah sedikitpun." Mengingat waktu amat berharga, maka dia tidak ayal lagi, dia terus meluncur ke bawah, betapa cepat gerakan badannya, tahu2 kakinya sudah menginjak dasar kolam. Setelah berdiri tegak, kabut sudah tiada lagi, tapi sekelilingnya seperti di-bungkus kegelapan melulu, berada dalam air, mes-ki badan dan pakaian tidak basah, tapi tekanan gelombang air terasa berat juga sehingga badan ikut terombang-ambing. Di tempat nan gelap pada dasar kolam ini, Leliong-cu memancarkan cahayanya yang gemilang, setombak jauhnya dapat disinarinya. Kun-gi tidak banyak pikir, dengan seksama dia periksa sekelilingnya, betul juga dilihatnya delapan tombak ditengah sana, terdapat sebuah benda bundar warna hitam, ternyata itulah gelang baja yang dicarinya itu. Dengan girang cepat dia menghampiri, aneh sekali menghadapi kenyataan di depan matanya, setiap kali dia bergerak maju, air di sekitar badannya seakan2 tersibak ke pinggir memberi peluang dia berjalan maju, sedikit gerakan inipun ternyata menimbulkanreaksicukup besarsehinggaair kolambergolak keras. Setelah dekat dia lebih perhatikan lagi, benda bundar itu memang betul adalah gelang baja sebesar mulut mangkuk. Tanpa ayal dia mulai mengerahkan Tay-lik-kim-kong-sim-hoat, dengan kedua tangan pegang gelang baja, pelan2 dia mulai menariknya ke atas. Jangan dikira gelang ini benda kecil, ternyata waktu ditarik beratnya ribuan kati, umpama Kun-gi tidak pernah meyakinkan Kimkong-sim-hoat ja-ngan harap dia mampu menariknya bergerak. Mendadak tergerak pikiran Kun-gi. "Waktu Suhu mengajarkan Kim-kong-sim-hoat beliau pernah bilang . 'Jangan kau kira pelajaran semadi selama tiga tahun ini merupakan ajaran berat, kelak juga pasti memperoleh manfaatnya.' Memangnya Suhu sudah tahu bahwa hari ini aku bakal menggunakan ilmu ini dalam Hek-liong-tam ini?" "Ayah juga murid didik Siau-lim, malah murid Ciangbun Hongtiang Kay-to Taysu dan belakangan diperkenalkan kepada kakek luar, waktu beliau diutus ke Hek-liong-hwe mungkin sebelumnya sudah direncanakan untuk mewariskan jabatan hwecu kepada ayah, karena kalau bukan murid Siau-lim dan tidak pernah meyakinkan Kim-kong-simhoat,siapapuntakkanmampu menarikgelangbajaini ......" Selagi berpikir itulah, sekeliling dasar kolam terdengar suara gemuruh, air mengalir gemerojok, air dalam kolam laksana diaduk mulai berkisar dan bergolak dengan hebat. Dari suaranya yang gemu-ruh, sedikitnya ada delapan tutup pintu air yang terbuka sehingga air mengalir keluar. Sudah tentu dengan menyurutnya air, tekanan air dengan gejo-laknya yang semakin besar terasa amat berat. Tapi Kun-gi tetap kerahkan ilmu Kim-kong-sim-hoat, kedua tangan dengan kencang berpegang pada gelang baja, meski air dalam kolam berpusar dengan hebat, laksana batu karang yang kukuh dia tetapberdiriditempatnyatanpabergeming. Kira2 setanakan nasi kemudian, gemuruh air yang membanjir keluar itu semakin reda, pusaran airpun mengecil dan tekananpun sirna, keadaan dalam kolam kembali menjadi tenang. Tahu sudah tiba saatnya, pelan2 Kun-gi lepaskan gelang baja yang dipegangnya terus maju lurus ke depan. Dia masih ingat batu karang yang terlukis dalam gambar kulit kambing, letaknya tepat di tengah dasar Herk-liong-tam. Luas Hek-liong-tam hanya dua puluh empat tombak, dari arah manapun kau maju jaraknya tetap sama sekitar dua belas tombak, asal dirinya maju dua belas tombak, pasti akan mencapai batu karang.. Karena berada di dalam air, sudah tentu tidak bisa maju cepat2, tapi setiap langkahnya dia perhitungkan dengan baik, kira2 sepuluhan tombak, lapat2 dilihatnya sebelah depan terdapat banyak batu2 karang yang berserakan, di bagian tengahnya mirip gugusan sebuah bukit yang tegak menjulang di tengah kolam. Tanpa banyak pikir Kun-gi melompat maju, kakinya hanya menutul tepi karang dan cepatsekalibadannyasudah mencapaipuncak karang. Puncak karang itu sudah di luar permukaan air, keadaan sekelilingnya terasa gelap gulita pula ter-bungkus kabut tebal. Puncak karang ini ternyata meruncing kecil ke atas, tempat untuk berpijak paling hanya beberapa kaki lebarnya, cepat sekali Kun-gi sudah menemukan batu raksasa yang bundar itu. Batu ini mirip bola tepat bertengger di pucuk karang, besarnya kira2 dua-tiga kaki, mendekati batu bulat itu Kun-gi langsung kerahkan Kim-kong-sim-hoat, kedua tangan memeluk batu bulat terus pelan2 mengangkatnya ke atas. Batu ini hakikatnya rata dan tiada tempat untuk berpegang, apalagi sudah sekian puluh tahun terendam dalam air, bagian luarnya terbungkus lumut yang amat licin, tapi dengan mengerahkan tenaga kesepuluh jarinya Kun-gi dapat memeluk batu bulat itu dengan kencang, sekuatnya dia angkat pula sehingga batu itu mulai bergeming. Ternyata batu ini memang benar2 bulat mirip bola, cuma separo di antaranya sudah terendam dalam lumpur dan merekat dengan batu karang seperti berakar layaknya, waktu diangkat dari bawah seakan ada daya tarik yang amat kuat memperta-hankannya. Tapi setelah batu bola itu terangkat naik setinggi satu kaki, daya tarik ke bawah itu ternyata sirna, malah batu bulat itu berputar dan pelan2 bergerak ke atas. Waktu Kun-gi menunduk, ternyata tepat di bawah batu bulat tersambung sebatang besi bulat sebesar lengan, kini dia tidak perlu membuang tenaga lagi, besi penyanggah itu telah mengangkat batu bulat itu semakin tinggi. Maka muncullah sebuah lubang bundar di bawah batu bulat, lubang di bawahnya tampak gelap tak kelihatan dasarnya. Kun-gi segera melangkah masuk dan turun ke dalam lubang bundar itu, lapat2 dilihatnya ada undakan batu yang menjurus turun diapit dinding yang sempit. Lorong berundakan ini hanya cukup untuk jalan satu orang, maka seseorang yang berjalan turun tak mungkin mengamati keadaan sekelilingnya, ter-paksa kedua kakinya saja yang menggeremet maju. Kira2 lima puluhan undakan batu kemudian, mendadak lorong sempit ini belok miring, terasa oleh Kun-gi bahwa lorong undakan ini dari lurus menurun menjadi berputar melingkar, malah lingkaran ini agaknya amat besar. Menurut perhitungannya, seolah2 dia berjalan melingkari sebuah kamar batu bulat yang besar sekali, paling tidak ada puluhan tombak luasnya. Tak lama kemudian, undakan batupun berakhir waktu Kun-gi angkat kepala, kiranya kini dirinya berdiri diserambi yang cukup lebar, serambi ini ternyata memang membundar. Rekaannya ternyata tidak salah, serambi yang membundar ini melingkari sebuah kamar batu yang berbentuk bulat. Kamar batu ini terdapat sebuah pintu besar warna merah darah. Sudah tentu pintu batu ini ter-tutup rapat. Beberapa langkah Kun-gi beranjak maju, didapatinya kamar ini ada beberapa pintu, malah bentuksemuanyasama danbercat merahpula. Karena kamar ini bulat, jarak pintu2 itu sama, lalu pada pintu manakah dirinya harus masuk? Maka dia teringat akan perkataan Yong King-tiong. `Hek-liong- hwe Congkoan hanya dikuasai ikan emas ini, sementara Hwecu menyimpan Leliong-cu, kecuali Hwecu tiada orang lain yang tahu bagaimana membukanya." Bahwasanya Yong King-tiong belum pernah datang kemari, sudah tentu sebelumnya juga tidak terpikir dibawahsiniterdapatpintu sebanyakinisehingga membingungkan. Maju lebih lanjut, dilihatnya pintu bercat merah di sini juga tertutup rapat dan kukuh tak bergeming, tiada lubang kunci lagi, memangnya ikan emas yang di terima dari Yong King-tiong ini untuk apa? Serta merta dia mengeluarkan ikan emas itu, dengan seksama diaperhatikan dandibolak-baliksekian lamanya. Ikan emas ini terang bukan terbuat dari emas atau perak, bukan tembaga juga bukan dari besi, kalau ditaruh di telapak tangan, kepala dan ekornya bisa bergerak seperti ikan hidup sungguhan, tapi kecuali pembuatannya yang elok dan bagus, sungguh sukar diraba di mana letak keistimewaannya? Yong King-tiong bilang diperut ikan ada tersimpan kunci rahasia untuk membuka pintu di sini, lalu bagaimana harus mengeluarkannya? Dengan seksama dia bolak-balik ikan emas itu sekian lamanya, sungguh dia tidak habis mengerti cara bagaimana membuka perut ikan dan mengeluarkan kunci dari dalamnya. Kedua tangan coba pegang ekor ikan, tatkala dia perhatikan sisik ikan yang kemilau itu serta memikirkan di sisik manakah kiranya letak rahasianya untuk membuka perutnya? Tak terduga waktu tangan kanannya pegang kepala ikan, tanpa sengaja jarinya menyentuh mata ikan sebelah kanan, segera terdengar suara "klik" Yang lirih, tertampak mulut ikan yang semula terkatup kini terpentang, dari mulutnya ini menjulur keluar sepotong bumbung kecil halus warna kuning emas.. Penemuan yang tidak terpikir sebelumnya ini sudah tentu amat menggirangkan, dengan hati2 dia lolos bumbung halus itu, panjang bumbung kuning ini hanya setengah dim, enteng sekali, belum lagi dia sempat perhatikan lebih lanjut, bumbung halus kecil itu tahu2 sudah merekah dengan sendirinya, di tengahnya tersimpan segulung kertas tipis. Hati2 Kun-gi membeber gulungan kertas tipis itu, lebarnya juga hanya setengah dim, begitu tipis dan halus sekali kertas ini, entah terbuat dari bahan apa, di atas kertas tipis ada gambar sebuah Pat-kwa. Pada setiap segi dari pintu2 itu terdapat kata penjelasannya, tulisannya kecil pula, tapi tulisannya amat rapi jelas. Menurut penjelasan itu, pada delapan pintu itu tiga di antaranya merupakan jalan penyelamat, sementara lima yang lain bisa menyesatkan dan membahayakan, keluar masuk dari setiap pintu juga ada ketentuannya, sekalisalah langkahfatalakibatnya. Dengan seksama Kun-gi menghitung dengan penuh perhatian, letak dari jalan penyelamat berada di barat laut dan timur laut, maka dia ingat2 letak dari kedua pintu ini, lalu dia gulung pula kertas itu serta dimasukkan ke dalam bumbung, dengan jarinya dia sentuh mata kiri ikan sehingga mulut ikan terpentang, dia masukkan pula bumbung kuning itu ke dalam mulut ikan, lekas jarinya menarik balik letak mata ikan. "klik", mulut ikan kembali terkatup rapat. Setelah menyimpan ikan emas itu ke dalam saku, Kun-gi beranjak menuju ke pintu sesuai petunjuk tadi. Delapan pintu dari kamar bundar ini bentuknya serupa tanpa tanda2 tertentu, orang jadi sukar membedakan mana jalan penyelamat dan mana yang menyesatkan. Apalagi berada di dasar bumi ini sukar membedakan arah. Tapi Kun-gi mengambil patokan gambar di mana ujung undakan batu berada, ujung undakan batu terletak di selatan maka bila diurutkan dari selatan menuju ke timur diteruskan ke utara, maka akhirnya dia akan tiba pintu penyelamat yang terletak di barat laut. Dalam hati dia sudah perhitungkan pintu penyelamat adalah pintu keenam dari selatan, kini dia sudah berada di depan pintu keenam menurut perhitungannya, maka tanpa ragu lagi segera dia mendorongnya. Kedua daun pintu warna merah itu ternyata dengan mudah terbuka. Kun-gi langsung masuk berkat cahaya mutiara, dengan seksama dia amat2i keadaan kamar, itulah sebuah lorong panjang selebar satu tombak, kedua sisi dindingnya terbikin dari marmer hijau, demikian pula lantainya dilem-bari marmer warna-warni yang indah sekali. Kecuali itu tiada sesuatu benda apapun yang menarik per-hatiannya. Lorong ini kira2 sedalam lima tombak, di ujung lorong diadang dinding batu pualam, dinding war-na hijau ini terdapat sebuah pintu warna hijau pupus, belum lagi dia beranjak lebih lanjut daun pintu warna hijau itu pelan2 terbuka sendiri. Tanpa ayal Kun-gi masuk ke situ, setelah dia berada di balik pintu, daun pintu itupun menutup sendirinya. SudahtentuKun-gitidak peduli, karenasetelahdirinya masuk dia sudah merancang rencana untuk keluar lewat jalan lain. Tapi setelah dia berada di belakang pintu seketika dia melenggong. Karena menurut rekaannya, kamar di belakang pintu hijau ini pasti adalah kamar batu di mana ilmu pedang peninggalan Tiong- yang Cinjin terukir di dinding. Tak nyana yang terpampang di hadapannya sekarang tak lebih hanyalah sebuah kamar batu bentuk bulat seluas dua tombak, kecuali sekeliling tetap ada delapan pintu yang terpencar, tepat di tengah kamar terdapat sebuah Hiolo besar terbuat dari tembaga setinggi manusia, selain itu tiada benda lainnya lagi. Diam2 Kun-gi menggerutu dalam hati, batinnya. "Tempat ini hakikatnya tidak sesuai dengan kamar batu yang diceritakan Yong King Tiong, memangnya aku salah masuk dari pintu yang keliru?" Karena merasa bimbang, serta merta langkahnyapun berhenti. Pada saat dia melongo itulah tiba2 dilihatnya Hiolo tembaga yang tinggi itu pelan2 bergerak memutar. Sebetulnya Kun-gi juga maklum bahwa kamar2 disini adalah buah karya Sinswi-cu, setiap pintu memiliki alat rahasia yang berbeda, kalau tidak, setelah dirinya memasuki pintu tadi pintu hijau batu pualam itu takkan mungkin bisa menutup sendirinya. Dari sini dapatlah disimpulkan, sejak dirinya mulai memasuki pintu dari barat laut tadi, alat2 rahasia di sini sudah mulai bergerak seluruhnya, maka berputarnyaHiolo raksasainipun takperludibuatheran. Setelah direnungkan dengan kepala dingin, akhirnya dia berkeputusan untuk berdiri tegak tak bergerak saja, akan dia saksikan perubahan yang terjadi selanjutnya. Setelah Hiolo tembaga itu berputar satu lingkaran, tiba2 malah ambles turun ke bawah lantai, maka terunjuklah sebuah lubang bundar di lantai marmer. Tergerak pikiran Kun-gi, pikirnya. "Mungkinkah kamar batu yang dimaksud berada di bawah lubang itu?" Baru sekarang kakinya hendak bergerak, mendadak iapun berpikir pula. "Tak mungkin, kalau aku turun, cara bagaimana pula kunaik kemari, padahal kamar bulat ini terdapat delapan pintu yang mirip satu sama yang lain dan sukar dibedakan, bagaimana aku bisa membedakan pintu yang ma-na merupakan jalan hidup untuk keluar? Bila kesasar, akibatnya tentu fatal." Karena itu diam2 ia memperhitungkan, kini dia berdiri ke arah sana, pintu di belakangnya adalah jalan hidup masuk ke kamar ini, untukkeluarharus lewatkamar keduadari sebelah kiri. Maka dia mengeluarkan tiga batang duri runcing, satu dia taruh di lantai sebagai tanda tempatnya berpijak, lalu dia menuju lubang ditengah kamaritu. Setibadi pinggir lubang dia melongak ke bawah, lubangdibawah ini kosong melompong tiada undakan batu segala, keadaannyapun gelap gulita. Ling Kun-gi tidak berani bertidak gegabah, Leliong-cu dia keluarkan, di bawah penerangan cahaya mu-tiara baru dia bisa melihat bahwa di bawah adalah sebuah kamar batu yang besar dan luasnya mirip kamar atas di mana sekarang dia berada. Hiolo tembaga tadipun tampak tegak di tengah kamar bawah, tinggi lubang kira2 ada dua tombak. Dengan hati2 Kun-gi julurkan dulu kedua kakinya terus menerobos turun, sebelumnya dengan tepat sudah dia perhitungkan, begitu tubuhnya melayang turun dan sebelum menyentuh Hiolo dengan tangkas ia jumpalitan sekali sehingga badannya anjlok tepat di sebelah Hiolo. Setelah berdiri tegak dia angkat tinggi Leliong-cu sambil mengawasi keadaan kamar, ternyata bentuk kamar di bawah ini bulat telur, pada dinding di depan kanan-kiri memang terdapat gambar ukiran yang tajam, tepat di bawah dinding di depannya terdapat sebuah meja sempit panjang yang terbuat dari batu hijau, di atas meja sempit ini tertaruh sebuab kotak kecil dari kayu cendana, agaknya dalam kotak cendana itulah daftar anggota Thayyang-kau disimpan, di samping itu terdapat sebuah tatakan lilin dengan sisa lilin yang tinggal separo. Hiolo tembaga terletak tak jauh di depan meja, kecuali semua ini tiada benda lainnya lagi, pada dinding pualam di depannya sebetulnya terdapat sebuah pintu, tapi kini sudah tersumbat oleh batu hijau. Sedikit menerawang, mengingat waktunya amat mendesak, maka kerja pertama yang harus segera dia lakukan adalah menghancurkan daftar anggota Thay-yang-kau, sisa waktunya untuk mempelajari lebih mendalam ilmu pedang yang terukir di dinding, berapa banyak berhasil dia pelajari bergantung dari waktu dan kecerdasannya. Setelah berkeputusan, segera dia mendekat mejasempit, dikeluarkan ketikan apiserta menyulut lilin. Lalu kotak cendana dia angkat kesamping, gembok tembaga dia tabas putus dengan Seng-ka-kiam serta membuka tutupnya, ternyata kotak cendana setinggi dua kaki ini terbagi dua susun, susun atas dibatasi kayu yang amat cetek sekali, di mana terdapat buku tulisan tangan, pada sampul buku tertera huruf2 yang berbunyi "Thay-yang-yam-sim-hoat" Tergerak hati Kun-gi, batinnya. "Mungkin ini buku catatan Tuan Puteridarihasil ciptaannya." Ia coba membalik lembaran pertama, tampak lembar pertama memuat ilmu pelajaran Thay-yang-sinkang, disusul lagi adalah Thay-yang-cay, Thay-yang-hu-hoat-pat sek, buku setebal sepuluh lembar ini ternyata penuh tulisan hurup2 bergaya indah, dipinggir tulisan terdapat pula gambar dan keterangannya. "Inilah ilmu ciptaan Tuan Puteri, sudah tentu tak boleh dihancurkan," Demikian batin Kun-gi, dengan hati2 dan lempit buku tipis ini laludisimpan ke dalamsakunya. Di lapisan bawah kotak terdapat tiga buku tebal yang penuh tertulia nama dan alamat tokoh2 silat dari berbagai aliran, pada sampul buku pertama terdapat judul yang berbunyi "daftar anggota Thay-yang-kau, pahlawan pejuang kerajaan Beng pada jaman Tingbin." Secara iseng Kun-gi membalik beberapa halaman, dilihatnya nama tokoh2 kenamaan dari Siau-lim, Hoa-san, Bu-tong, Liok-hap bun, Pat-kwa-bun dan lain2 aliran, ada pula orang2 Thianli kau, Toa-to hwe, Kay-pang, Tong-thing-pang dan banyak Pang atau Hwe lainnya, ada pula keluarga dari marga Ban di Ui-san, demikian pula orang2 dari keluaga Tong dari Sujwan serta keluarga besar persilatan lainnya yang kenamaan di Kangouw. Diam2 Kun-gi menghela napas, bahwa untuk membangkitkan lagi kerajaan leluhurnya betapa berat dan susah payah Tuan Puteri telah berkelana di Kangouw, daftar nama tokoh2 persilatan yang kesohor serta gembong2 dari golongan hitam dan aliran putih ini sebagai bukti nyata bahwa dengan dukungan kaum patriot bangsa dari kaum persilatan, usaha Tuan Puteri masih mengalami kegagalan, ini hanya boleh dikatakan takdir memang sudah menghendaki demikian. Apa yang dikatakan Yong King-tiong dalam hal ini memang tidak salah, bila ketiga buku daftar ini terjatuh ke tangan pihak kerajaan yang berkuasa sekarang, meski banyak tokoh2 yang namanya tercantum dalam daftar ini sudah almarhum, tapi anak cucu mereka akan tetap ditangkap dan dipancung kepalanya, kalau hal ini betul2 terjadi betapa luas rentetan penangkapan besar2an ini, sungguh akan banyak sekali korban jiwa manusia yang tidak berdosa. Maka dia tidak banyak lihat lagi, ketiga buku dia tumpuk di atas meja, ia mengerahkan Lwekang pada kedua tangannya pelan2 dia menekan tumpukan buku itu. Kira2 sepemasakan air kemudian baru dia menarik tangannya, sekenanya dia menepuk sekali, maka tumpukan tiga buku itu seketika berhamburan menjadi bubuk lembut tercecer di lantai. Dua tugas sudah dia laksanakan satu, kini tiba saatnya dia mulai mempelajari dan menyelami ajaran ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin di dinding. Maka dia melewati meja sempit mendekati dinding serta memandang dengan cermat. Dinding pualam seluas satu tombak ini terukir seorang kakek berdandan sebagai Tosu (imam) duduk bersimpuh, gayanya duduk bersimpuh ini tampak bayangan perubahan dari tiga gaya lanjut-an, gaya yang satu dengan yang lain agak aneh dan berbeda, perubahan gaya si imam mirip seorang yang lagi melangkah di tengahawan, tam-pakhidup dan mengagumkansekali. Di samping ukiran si imam tua bersimpuh di-beri keterangan sebagai petunjuk latihan terdiri da-ri empat baris tulisan. Sambil berdiri mematung memusatkan daya pikirnya, Kun-gi terpesona sekian lamanya, tapi kemudian ia seperti berhasil menyelami sesuatu, terasa bahwa ilmu yang ter-ukir di dinding ini adalah ilmu latihan pernapasan tingkat tinggi dari aliran To (Tau). Setelah yakin apalbenarakangambarinibaru Kun-gi pindah kedinding kiri. Dinding di sini berbentuk agak panjang, dari kanan ke kiri seluruhnya ada enam gambar ukir-an, seorang yang sedang bermain pedang, ada yang sedang melompat, menusuk dan menabas, gayanya indah dan mengagumkan. Tiga ukiran dibagian terdepan adalah Hwi-liong-sam-kiam, cuma tiada huruf keterangan di dinding, juga tiada nama gaya dan gerakannya, kini jelas bahwa nama2 Sinliong jut hun, Liong-janih-ya dan jurus lainnya adalah nama2 pemberian Lohwecu (kakek luar) sendiri. Dari gambar pertama ber-turut2 dia pelajari sampai gambar keenam, setiap gambar dia perhatikan dengan segenap daya pikirnya, setiap gerak jurus dan variasinya dia ikuti dengan cermat, di samping jari2 tangan bergerak seperti pedang menirukan gaya permainan gambar ukiran. Memang Kun-gi seorang yang cerdik, apalagi ilmu pedang terlatih selama sepuluhan tahun, maka taraf ilmu pedangnya boleh dikatakan cukup sempurna, terutama Hwi-liong-sam-kiam warisan keluarganya sudah teramat apal sekali, gambar di dinding sambung bersambung darisatu ke lain gambardiawali pula dengan Hwi-liongsam-kiam, maka dengan mudah dan lancar dapatlah dia selami dengan baik. Habis mempelajari keenam gambar ini, lalu dia pindah ke dinding sebelah kanan. Seperti dinding sebelah kiri, pada dinding sebelah kanan ini juga terukir enam gambar orang bermain pedang, tapi gambar di sini ada sedikit berbeda, yaitu gambar ketujuh sampai kesembilan masih merupakan kelanjutan dari permainan pedang yang harus dilancarkan melompat sambil menusuk dan membabat, tapi mulai gambar kesepuluh sampai kedua belas, hanyalah seseorang berdiri memeluk pedang dan bersimpuh seperti orang semadi, malah gaya ketiga gambar ini mirip satu dengan yang lain, sukar diraba dan dibedakan di mana letak keanehan dan kemujijatannya?. Secara singkat Kun-gi mengamati dulu keenam gambar ini, lalu diulangi pula dari gambar ketujuh, satu persatu dia pelajari dan selami dengan hati2 sampai gambar kesembilan. Karena pelajaran enam gambar terdepan sudah merasuk dalam benaknya, maka ketiga jurus ilmu pedang sambungan ini dengan sendirinya dapat dipahaminya dengan cepat dan mudah. Tapi mulai jurus kesepuluh sampai kedua belas dia benar2 harus memeras otak, diamat2i kian kemari, tetap kebingungan dan tak tahu ke mana juntrungan ajaran gambar orang memeluk pedang ini serta letak intisari dari gaya yang sederhana ini? Cukup lama Kun-gi memperhatikan ketiga gambar terakhir ini, tapi tetap tak berhasil menyelaminya, terpaksa dia tinggalkan dulu, sembilan jurus ilmu pedang di bagian depan kembali dia ulangi dan dilatih dengan lancar, dengan pedangnya dia mainkan sembilan jurus ilmu pedang itu. Sudah tentu tiga jurus di bagian depan yang diyakinkan sejak kecil dia mainkan dengan bagus sekali, tapi mulai jurus keempat sampai kesembilan, setiap jurusnya ditambah perubahan dan variasi yang membingungkan, untung dia sendiri memang sudah punya dasar yang kuat, kecuali latihan permulaan yang terasa masih kaku, setelah dia ulangi beberapa kali, meski belum dapat bergerak bebas dan wajar, tapi sembilan puluh persen gaya permainan ilmu pedang ini sudah dapat dikuasai dengan baik. Untuk melancarkan keenam jurus ilmu pedang ini kira2 menghabiskan waktu setengah kentongan (setengah jam), mengingat waktu amat mendesak, apalagi untuk sekaligus mengapalkan seluruhnya jelas amat sulit. Terhadap ketiga gambar terakhir dia masih belum berhasil, terasa bahwa ketiga gambar ini pasti mengandang arti yang luas, setelah keluar dari sini takkan mungkin kembali lagi, maka kesempatan ini betapapun tak boleh disia2kan. Maka dia simpan pedangnya dan kembali dia berdiri di depan dinding, memusatkan dan menjernihkan pikiran, dengan lebih teliti dia bedakan ketiga gambar ini. Tapi sudah berulang kali dengan cara yang berbeda dia coba menyambung kesembilan jurus ilmu pedang bagian depan dengan gaya memeluk pedang ini, betapapun dia tetap mengalami kegagalan, rasanya ketiga gaya memeluk pedang ini seperti petilan tersendiri dari sembilan jurus di depannya. Tapi hal ini bagi Ling Kun-gi justeru dirasakan adanya keanehan yaang tersembunyi pada ketiga jurus terakhir ini, sayang pengetahuan sendiri teramat cetek sehingga sesingkat ini tak berhasil memahaminya. Akhirnya Kun-gi ambil keputusan, pikirnya "Umpama tak berhasil kuselami, kenapa ketiga gaya bersimpuh ini tidak kucatat saja perubahan satu dengan yang lain, kelak bila ketemu Suhu, akan kutanya dan mohon petunjuknya saja." Maka dengan tekun dia berusahamerekamketiga gambarterakhir inidalambenaknya. Tak terduga dalam penelitiannya terakhir ini baru disadarinya bahwa ukiran pada bagian gambar pertama ada goresan pada lempitan baju yang agak cetek, tapi gambar kedua goresannya lebih dalam dan lebar, malah pada gambar ketiga kedua mata orang tampak sedikit memicing, seperti menatap tajam ke ujung pedang yang dipeluknya. Jadi ketiga gambar ini hanya ada sekian kecil perbedaannya, kalau tidak diperhatikan betul2 tentu sukar membedakan satu dengan yang lainnya. Kini setelah dia rekam dengan baik ke dalam benaknya, maka tak perlu tinggal lama2 lagi di sini. Setelah membetulkan pakaiannya, dengan laku hormat dia berlutut dan menyembah ke arah meja sempit, dalam hati dia berdoa supaya Tiong-yang Cinjin memberkati kesuksesan pada dirinya yang menunaikan tugas berat ini, serta menyatakan bersyukur bahwa dia telah berhasil mempelajari ilrnu pedang peninggalannya. Lalu dia berdiri, meniup padam lilin, sekali tutul kaki, badannya seketika melejit keluar dari lubang bundar. Berada di kamar sebelah atas, dia mengambil kembali duri bengkok yang dia taruh tadi sebagai tanda, langsung dia melangkah ke arah pintu kedua di sebelah kiri. Kira2 tiga langkah sebelum dia sampai mendorong pintu, daun pintu tahu2 terbuka sendiri, didengarnyasuaragemuruhdibawah lantai. Diam2 Kun-gi membatin. "Sejak tadi aku sedang keheranan, kenapa Hiolo tembaga itu belum juga muncul kembali ke tempat asalnya? Ternyata setelah aku keluar melalui pintu tertentu ini dan setelah pintu terbuka, itu berarti setelah orang yang berada di kamar sudah keluar baru suara gemuruh itu terdengar, suatu tanda bahwa Hiolo besar itu sedang bergebrak naik ke tempat asalnya, Sinswi cu itu memang seorangahliyangjempolan." Hati membatin langkah tetap beranjak, tanpa menoleh langsung dia melangkah keluar pintu, baru beberapa langkah. Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "blang", pintu di belakangnya kembali menutup sendiri, Kini dia kembali melewati lorong panjang yang diapit dinding marmer, bentuk dan keadaan di sini mirip lorong waktu dia masuk tadi. Jalan yang ditempuhnya ini memang yang pa-ling aman sesuai petunjuk tadi, maka dengan leluasa dan lancar dia terus berjalan ke depan tanpa mengalami rintangan apapun.. Setiba di ujung lorong sempit dia dorong pintu terus keluar, kini dia berada di serambi bundar dan menyusuri jalan datangnya semula kembali ke arah selatan, di ujung serambi adalah batu undakan. Kedua tugas berat berhasil dia capai dengan baik, sudah tentu perasaannya lega, maka langkahnya terasa ringan dan cepat sekali dia sudah tiba di ujung undakan. Tampak pada tempat keluar ada sebatang besi tegak ke atas, bagian atas bergantungan sepuluh bo-la batu, sementara ujung yang di bawah terikat pada sebuah batu raksasa, jadi seperti setengah menyanggah batu bulat itu, sehingga sulit bagi orang di luar untuk membukanya. Waktu masuk tadi Kun-gi menghabiskan tenaga untuk menarik bola batu itu ke atas dan di sanggah lebih lanjut oleh batang besi itu, kini untuk keluar, sudah tentu dia harus menyanggah pula bola batu itu. Maka dia kerahkan tenaga pada kedua lengannya, pelan2 mendorongnya ke atas. Tak terduga meski mendorongnya sampai mata mendelik bola batu itu tetap tak bergeming. Keruan ia heran dan bingung. Sejak masuk Ui-liong-tong pengalamannya cukup banyak, dia tahu bila pintu rahasianya terpasang oleh alat rahasia pasti tak mung-kin dibuka oleh tenaga manusia melulu. Bahwa bola batu tak kuasa diangkatnya, maka dia yakin pasti ada alat rahasianya untuk membuka. Maka dia perhatikan dinding di kanan-kirinya.. Tampak di atas dinding sebelah kanan bergantung sebuah roda besi sebesar mulut mangkuk, hatinya menjadi girang, pikirnya. "Mungkin di sinilah letak rahasianya." Segera ia pegang roda itu terus menariknya. Maka didengarnyasuaragemerujukairyang mengalirseperti dituang. "Waktu aku masuk tadi," Demikian batin Kun-gi. "air kolam sudah menurun sedalam lima tombak saja, mungkin setelah bola batu ini kembali ke tempat asalnya, airpun mengalir balik setinggi keadaan semula, kini kalau aku hendak keluar dari sini sudah tentu air kolam harus diturunkan sehingga pucuk karang menongol di luar permukaan baru aku bisa membuka bola batu ini, kalau tidak air akan mengalir masukke dalamsini." Dengan sabar dia menunggu, sementara suata gemerujuk air masih terus terdengar, kira2 setanakan nasi kemudian, suara gemuruh mulai sirna, tiba2 batang besi penyangga bola berputar naik sendiri, maka terbukalah sebuah lubang bundar. Tanpa ayal Kun-gi segera menerobos keluar dari lubang itu. -ooo0dewikz0ooo Luas Hek-liong-tam dua puluh empat tombak, dikelilingi tebing yang curam. Kentongan keempat sudah berselang dan menjelang kentongan kelima, waktu sebelum fajar menyingsing adalah saat2 yang paling gelap. Kolam naga hitam dilingkupi kabut hitam yang tebal lagi, walau lima jari tangan sendiripun tidak terlihat, apalagi berhadanan, bayanganpun tidaktampak. Di ujung sebelah selatan kolam terdapat sebuah jalan ber-liku2 warna hitam, jalan melingkar naik ini terus menembus ke arah selat lembah yang di apit dua gunung. Itulah satu2nya jalan keluar dari kolam naga hitam ini. Tatkala itu, tampak sesosok bayangan orang tengah lari berlompatan bagai terbang meluncur ke arah lembah yang menuju ke Hek-liong-tam. Tiba2 terdengar kumandang hardikan seorang. "Siapa?" Berbareng muncul dua bayangan orang di mulut lembah, dari kanan kiri kedua orang ini merintangi orang tadi. Suasana sedemikian pekat sehingga wajah oraag pun sukar terlihat meski dalam jarak yang dekat, yang kelihatan hanya dua bayangan hitam yang samar2 belaka. Jelas bahwa kedua orang ini mengenakan pakaian serba hitam pula, sampaipun pedang di tangan merekapun berwarna hitam. Tapi pendatang itu juga mengenakan seragam hitam, malah pakai kedok kepala segala, yang kelihatan juga hanya sosok hitam belaka. Baru saja kedua bayangan hitam itu menghardik dan belum lagi gema suara mereka lenyap, bayangan hitam yang datang itu tahu2 sudah berada di depannya, tanpa bersuara kontan ia ayun tangan, tiba2 selarik sinar pedang menyambar keluar seiring gerakan tangannya, sekali berkelebat sinar pedangnya tiba2 berpencar mengincar tenggorokan kedua orang yang mengadang di depannya. Samberan pedang si baju hitam ini bukan saja cepat laksana kilat juga ganas sekali, sehingga lawan yang diserang menjadi kelabakan dan tak mampu menangkis atau berkelit. Tapi kedua lawan inipun bukan kaum lemah, sigap sekali mereka menyingkir ke samping, berbareng pedang mereka serempak juga bergerak, bayangan dua batang pedang dari kirikanan sekaligus menyamber si baju hitam. Si baju hitam menyeringai, pedang berputar, selarik sinar kembali membabat miring kedua la-wannya, bukan saja gaya silatnya indah, serangan yang dilancarkan inipun aneh, lihay dan banyak perubahannya, sungguh ilmu pedang yang tak mudah dilawan. Baru saja orang di sebelah kiri bergerak maju, belum sempat menarik pedangnya untuk menangkis, sinar pedang lawan tahu2 sudah menabas tiba, terdengar jeritan ngeri, pinggangnya terbabat putus, darahpun muncrat, tubuhnya mengelinding ke bawah jurang. Melihat kawannya binasa, sudah tentu orang di sebelah kanan serasa terbang sukmanya, saking kaget dia melompat mundur sambil putar pedang melindungi badan, sementara tangan kirinya sudah merogoh kantong mengeluarkan sebuah sempritan perak dan hendak dijejalkan ke mulut. Padahal gaya tebasan pedang si baju hitam baru saja membinasakan seorang musuh, untuk di tarik balik dan menyerang lawan yang lain jelas tidak sempat lagi, terpaksa dia ayun sebelah tangannya, segulung tenaga raksasa seketika menerjang ke depan. Lwekang si baju hitam ternyata hebat luar biasa, belum lagi orang di sebelah kanan itu sempat meniup peluitnya, pukulan lawan sudah menerpa dadanya, seperti bola yang kena pukulan telak, badan orang ini tiba2 mencelat jungkir balik sam-bil menghamburkan darah, badannya terguling dan akhirnya tak berkutik lagi. Kuatir musuh yang satu ini belum binasa dan sempat meniup peluitnya, si baju hitam segera melejit maju, sekali pedang terayun, dada orangpun ditambah sekali tusukan pula. Pada saat itulah, mendadak ia seperti merasakan sesuatu, dengan sigap segera ia membaliksembari membentak. "Siapa?" Dingin dan singkat hardikan suara ini, tapi nadanya yang nyaring jelas keluar dari mulut seorang perempuan. Memang tidak keliru perasaannya, tampak sesosok bayangan orang tengah melejit rnendatangi dari celah2 ngarai yang curam di seberang sana. Sorot mata si baju hitam seterang lampu menembus cadar mengawasi pendatang itu. Aneh pendatang inipun berpakaian serba hitam, iapun mengenakan cadarhitampula, dipundaknya menongol keluarujung gagang pedang. Dalam sekejap orang itu sudah melayang tiba, teriaknya kejut2 girang. "Kaukah dik?" Suaranya juga seorang perempuan. Setajam pisau sorot mata si baju hitam yang datang lebih dulu, sikapnya tampak melengak ka-get dan bingung, jawabnya dengan suara dingin. "Siapa kau?" "Bukankah kauadikJi-hoa?", tanyapendatangbaru. Hanya sekian saja perubahan sikap si baju hitam yang datang duluan, suaranya kedengaran ketus dan kasar. "Bukan!" Pendatang baru tiba2 menghela napas rawan, ucapnya. "Ai, meskisudahduapuluh tahun kitatidakbertemu, tapisuaramutetap kukenal dengan baik." "Memangnya kenapa kalau kau kenal suaraku?" Jengek si baju hitam yang datang duluan. "Dik," Haru dan pilu suara pendatang baru. "betapapun kita tumbuh dewasa bersama sejak kecil, hubungan kita bagai saubdara kandung bedlaka, setelah aadik pergi, selabma dua puluh tahun ini, sebagai kakakmu setiap saat senantiasa kukenang dan merindukan dikau. .. .. .." "Tutup mulut," Bentak si baju hitam yang datang duluan. "Siapakah adikmu itu?" Agaknya pendatang baru itu sudah menyangka orang akan bertanya demikian, suaranya tetap sabar dan lembut. "Adik tidak mengakui aku sebagai kakak, ini tidak jadi soal, betapapun aku dibesarkan dan diasuh oleh ayah, aku dipandang sebagai puteri sendiri, betapa besar budi kebaikannya terhadapku tak bisa tidak akuharustetap memandangmu sebagaiadik." "Sudah selesai ocehanmu?", jenpek si baju hitam yang datang duluan. "Kudengar adik mendirikan Pek-hoa-pang, kini sudah menjadi Thay-siang-pangcunya pula," Ujar pendatang baru. Ternyata si baju hitam yang datang duluan adalah Thay-siang dari Pek-hoa-pang, tak heran memiliki Lwekang dan kepandaian setinggi itu, hanya sekali ayun pedangnya sekaligus telah membunuhduaahlipedangyangbertugasjagadi Hek-liong-tam. "Betul," Jawab si baju hitam yang datang duluan atau Thay-siang "Sebagai Thay-siang dari Pek-hoa-pang, adik sudah mengerahkan segenap kekuatan Pek-hoa-pang meluruk kemari, seharusnya kau tumpas dan menuntut balas dulu pada pengkhianat bangsa yang sekarang mengangkangi Hek-liong-hwe, kenapa adik justeru hanya main gertak dengan tiga barisan anak buahmu sementara kau sendirisecaradiam2larikemari malah?" "Kenapa aku harus menuntut balas kepada keparat yang menjual bangsa dan Hek-liong-hwe? Han Janto kan tidak membunuh suamiku,kenapaakuharus menuntutbalasbagioranglain?" Bergetar tubuh pendatang baru, jelas hatinya tengah bergejolak dan sedang menekan perasaannya, sesaat kemudian baru dia berkata pula. "Memangnya adik sendiri bukan orang Hek-lionghwe?" "Sejak lama aku bukan orang Hek-liong-hwe lagi," Jawab si baju hitam yang datang duluan. "Memangnya kau tega dan rela Hek-liong-hwe yang didirikan susah payah oleh beliau jatuh ketangan musuh? Tanpa terusik sedikitpun perasaanmu?" "Ayah sudah meninggal, setelah orangnya mati segala urusan impas, Hek-liong-hwe direbut orang dari tangan orang she Ling, ini bukti bahwa dia tidak becus. Memang jerih payah ayah selama tiga puluhan tahun harus dibuat sayang, tapi setelah berada ditangannya justeru beralih ke tangan bangsa lain, itu berarti dia orang yang paling berdosa dalam Hek-liong-hwe, inipun membuktikan pandangan ayah sudah kabur, salah menilai orang yang tidak setimpal menerima warisannya, apa pula sangkut- pautnyasoalini dengandiriku?" Saking dongkol gemetar sekujur badan pendatang baru, tapi dia tetap bersabar, katanya sambil menghela napas. "Sudah dua puluh tahun beliau meninggal, kau masih membencinya begini rupa?" "Kaulah yang kubenci," Teriak si baju hitam yang duluan, suaranya sengit. "Jangan kau salahkan aku dik," Ujar pendatang baru. "ayah sendiriyangambil keputusan." "Maka akupun tidak peduli kepada beliau, seolah dia bukan ayah kandungku," Desissibaju hitamyangdatangduluan. "Dik, betapapun ayah tetap ayah, tiada orang di dunia ini yang tidak mengakui ayah kandungnya sendiri, jangan kau berbicara demikian." "Kenapa tidak boleh kukatakan demikian? Justru karena usianya sudah terlalu lanjut, kalau dia tidak loyo memangnya Hek-liong-hwe bisa direbut musuh secepat itu ...." Orang yang datang belekangan agaknya naik pitam, katanya keras. "Kularang kau bilang begini." "Berdasar apa kau larang aku bicara? Aku justru ingin blak2an, dulu kalau yang dikawinkan dia adalah aku, tentu aku akan membantu dia mengurus Hek-liong-hwe dengan baik, teratur dan beres, mungkin sampai hari ini Hek-liong-hwe tetap Hek-liong-hwe yang jaya dulu, takkan jatuh ke tangan bangsa lain, usianya saat ini sebetulnya baru empat puluh lima, kenapa dia harus mati pada usia dua puluh lima." Agaknya sengaja dia hendak menusuk perasaan si pendatang baru, maka tanpa menunggu reaksi orang dia sudah menambahkan lebih pedas. "Coba kau lihat, dengan kedua tanganku yang kosong ini, bukankah kuberhasil mendirikan Pek-hoa-pang, kekuatan dan kebesaran Pek-hoa-pang tidak lebih asor dibandingkan Hek-liong hwe." Setiap patah katanya setajam ujung pisau meng-ancam ulu hati pendatang baru itu, tanpa terasa dua jalur air mata tiba2 bercucuran dari balik kedoknya katanya mengangguk . "Ucapanmu memang benar dik. Memang salah ayah, aku sendiri juga terlalu tidak becus, seharusnya aku hanya pantas berjodohkan seorang kampungan, menjadi isteri alim dan mendidik putera puteri belaka, memang aku tidak setimpal berjodohkan dia, apalagi dia seorang pahlawan yang memikul tanggung jawab besar, memang akulah yang bikin celaka dia ... ." Akhirnya dia menangia ter-guguk2. Si baju hitam yang datang duluan menyeringai puas, katanya. "Sayang kau insap setelah terlambat." Tanpa melirik lagi segera dia membalikbadanterusberlari kecelah2 mulut lembahsana. Pendatang baru itu terketuk perasaaannya dia lagi tenggelam dalam kepiluan sehingga air mata bercucuran, serta mendengar orang melangkah pergi cepat dia menyeka air mata. "Dik, lekas berhenti. !" Si baju hitam yang duluan menjadi tidak sabar, teriaknya juga. "Akutidakpunyawaktu mendengarkanobrolanmu." "Untuk apa adik pergi ke Hek-liong-tam?", tanya si pendatang baru. "Kenapa aku harus beritahukan padamu?" "Kau kemari untuk mempelajari ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin di dasar gua itu bukan?" "Memangnya aku tidak boleh turun ke sana?" "Dik, kau kan tahu, air kolam itu teramat beracun, kecuali Leliong-cu, tiadaobatpenawarlaindidunia ini." "Kau bawa Leliong-cu itu?" "Akutidakpernah memiliki Leliong-cu." Lama si baju hitam yang datang duluan menatapnya lekat2, tanyanyadingin. "Laluuntukapapula kaukemari?" "Aku sengaja kemari untuk membujuk dan mencegah kau menyerempet bahaya." "Urusanku sendiri, tak perlu kau ikut campur," Jengek si baju hitim yang datang duluan, mendadak dia melangkah pergi lebih cepat, tahu2 dia sudah menyelinap keluar celah2 lembah, menyusuri jalan kecil berliku terus menuju ke bawah. Pendatang baru tak bersuara lagi, secara diam2 iapun mengikut di belakang orang. Tiba2 si baju hitam yang duluan membalik badan, tangannya memegang sebatang pedang kemilau, ujung pedangnya menuding dan sorot matanya memancar dingin, hardiknya. "Setapak lagi kau mengikuti aku, jangan menyesal kalau pedangditanganku takkenal kasihan." Terhenti langkah pendatang baru, katanya dengan rawan. "Mungkin adik berhasil, membuat semacam obat penawar getah beracun itu, tapi kolam ini sedalam dua puluh tombak, kadar racunnya juga teramat besar, kecuali Leliong-cu, apapun tak bisa . ......." "Urusanku tak perlu kau tahu," Bentak si baju hitam yang duluan. "kalau kau tidak menyingkir, jangan salahkan aku bertindak keji padamu." Tanpa hiraukan orang segera dia berkelebat ke depan, larinya bagai terbang meski berjalan di jalan gunung yang licin dan berlumut. Di antara lembah yang diapit gunung, kabut sudah mulai ber-gulung2 tiba, luncuran tubuhnya laksana meteor, dalam sekejap saja ia sudah lenyap ditelan kabut. Pendatang baru menarik napas, dia diam saja tidak mengikuti orang lagi, tapi membalik ke arah timur terus menyusuri sebuah jalanan kecil yang berlumut tebal, jalan di sini tak pernah diinjak manusia. Kabut masih tebal di Hek-liong-tam, lima jari sendiri tak kelihatan, Si baju hitam yang datang duluan itu memang Thay-siang Pek-hoa-pang, sejak kecil dia dibesarkan di Hek-liong-hwe, maka jalan dan liku2, di dasar perut gunung ini dia sudah apal di luar kepala. Walau kabut teramat tebal, tapi tak membawa pengaruh apapun bagi gerakannya, langkahnya tidak menjadi kendur karenanya, badannya meluncur bagai terbang langsung menuju ke kolam. Setiba di pinggir lain, langkahnya tampak lebih hati2, sedikitpun tak berani lena, mengitari dinding sebelah timur, terus maju dan mulai injak pagar batu. Tujuannya jelas ke arah utara di mana kepala naga itu berada, tapi tatkala kakinya mulai beranjak di pagar batu itu, jantungnya tiba2 berdetak keras. Ternyata didapati di tengah kabut di depat sana ada orang, jaraknya tinggal setombak saja. Sudah tentu ketika dia melihat orang di depannya, orang di depan yang memiliki kepandaian tidak rendah juga segera melihat kedatangannya. Betul juga di tengah kabut itu lantas berkumandang sebuah hardikan. "Siapa?" Sudah tentu Thay-siang tidak pandang sebelah mata para penjaga Hek-liong-tam ini meski dia seorang ahli pedang, dengan tegas ia menyahut. "Aku!" Belum lenyap suara "aku" Tiba2 bayangannya melejit maju, pedangnya menusuk cepat ke ulu hati lawan. Tapi Kungfu orang itu ternyata juga amat tinggi, ketika dilihatnya sinar dingin berkelebat tiba, ia kaget juga, cepat ia membentak. "Kau bukan orang kita?!" Pedang yang semula melintang di depan dada segera didorongnya ke depan, gerakannya tidak kencang, tapi laras pedang seluruhnya dilandasi kekuatan dalam, jelas ilmu pedangnya sudah mencapai taraf yang sempurna. Maka terdengarlah suara "trang", serangan Thay-siang laksana kilat itu kena dipatahkan oleh lawan. Bahwa serangan yang disiapkan lebih dulu dengan landasan kekuatan hebat dapat dipatahkan lawan, keruan terkesiap hati Thay-siang, jengeknya. "Sudah tentu aku ini bukan orang Hek-lionghwe." Belum lagi pedangnya ditarik, tangan kirinya sudah melancarkan pukulan yang dahsyat. Lwekangnya amat tangguh maka pukulan yang dilontarkan lihay sekali, baru saja suara benturan kedua senjata bergema, pukulan telapak tanganpun melandai tiba. "Serangan bagus," Teriak orang itu dengan gusar. Tanpa ayal iapun gerakkan telapak tangan kiri, sekuatnya dia menepuk sekali memapak serangan lawan. Lwekang yang diyakinkan orang ini agaknya tidak lebih asor daripada Thay-siang, maka tepukan tangan yang dilancarkan dengan gusar ini sungguh kuat sekali. "Plak", begitu kedua tenaga saling bentur, terdengarlah suara keras, hawa bagai bergolak di sekitar tubuh mereka sehingga menimbulkan angin kencang, pakaian kedua orang melambai2. Thay-siang betul2 kaget, pikirnya. "Kepandaian orang ini begini tinggi, waktuku amat terbatas, aku harus cepat membereskan dia." Mendadak dia lancarkan pula serangan aneh dan ganas, di mana pedangnya terayun, memancarkan cahaya terang melingkar bagai samberan kilat sehingga kabutpun tersampuk buyar. Karena pancaran sinar ini, tertampaklah di depannya berdiri seorang laki2 berjubah hijau berperawakan tinggi kekar, air mukanya mengunjuk rasa kaget, pedang hitam ditangannya berputarcepat, mendadakia berteriakgugup." Harapberhenti!" Betapa sengit dan cepat gerakan pedang kedua belah pihak, belum lagi teriaknya lenyap, terdengarlah suara "trang-trang" Benturan yang keras. Dalam sekejap itu, senjata kedua orang saling beradu belasan kali, padahal mereka hanya bergebrak satu jurus belaka. Setelah sinar pedang sirna, Thay-siang masih tetap berdiri di tempatnya, sementara laki2 jubah hijau menyurut mundur tiga langkah. Karena rasa membunuh sudah membakar, maka Thay- siang mendesis pula. "Bagus, nah sambutlah sejurus lagi." "Tahan sebentar, tahan sebentar!" Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Teriak si jubah hijau. "Berhenti dulu, coba dengarkan sepatah kataku." Terpaksa Thay-siang berhenti, namun pedangnya tetap siaga, serunya; "Mau omong apa, lekas katakan!" "Losiu mohon tanya, bukankah jurus pedang yang Hujin lancarkan barusan adalah Sinliong-jut-hun?" Seperti diketahui Sinliong-jut hun dari Hwi-liong-sam-kiam harus dilancarkan dengan tubuh terapung di udara, tapi Thay-siang sudah meyakinkan jurus ini selama dua puluhan tahun dan sudah kelewat sempurna, maka cukup dengan mengayun tangan saja tanpa mengapungkan badan, gerakannya malah dapat berubah sesuka hatinya, apalagi dilandasi kekuatan Lwekangnya, sinar pedang yang tajam itu dapat diulur untuk melukai musuh, maka tanpa melejit ke udara ia tetap bisa melontarkan jurus serangan lihay ini. Kalau si jubah hijau tidak memiliki ilmu pedang tingkat tinggi mana dia mampu mematahkan serangan yang begitu hebat, pengetahuan dan pengalamannya yang luas menjadikan dia kenal betul jurus pedang yang dilancarkan lawan meski gerak dan gayanya berbeda. Sinar mata Thay-siang berkilat hijau, katanya sambil menyeringai. "Kau dapat mengenali ilmu pedangku, menandakan kaucukup lihay ...." Belum habis bicara, tiba2 laki2 jubah hijau berjingkrak girang sembari berkeplok, lalu menjura dengan gugup, katanya. "Kiranya Ling-hujin adanya, Losiu ...." Thay-siang segera menukas. "Aku bukan Ling-hujin." Laki2 jubah hijau tertegun, katanya. "Barusan Hujin melancarkan Sin liong-jut-bun, kalau engkau bukan Ling hujin, habis siapa?" "Memangnya hanya Ji-giok yang mampu melancarkan jurus pedang itu?" Jengek Thay-siang. Bergetar badan laki2 jubah hijau, sekejap dia melenggong mengawasi Thay-siang, mendadak dia menjura dan berkata. "Ah, kiranya engkau adalah Jikohnio, maaf Losiu berlaku kurang adat." Jikohnio alias nona kedua. Yaitu seperti telah diceritakan, Thaysiang adalah puteri kandung Lo-hwecu Thi Tiong-hong, namanya Thi Ji-hoa. Sikap Thay siang tampak kikuh, katanya tegas. "Sekarang aku adalah Thay-siang dari Pek-hoa-pang. Cepat si jubah hijau mbengiakan. "Ya, ya, Cay-he menghadap Thay-siang." "Darimana kau tahu akan diriku?" Tanya Thay-siang. Laki2 jubah hijau menjura pula, katanya. "Cayhe Yong King- tiong, cukup lama mengikuti Lohwecu, sudah tentu kukenal baik nona." "Apa jabatanmu sekarang dalam Hek-liong-hwe?" Tanya Thaysiang. "Sungguh memalukan, Cayhe pernah mendapat budi pertolongan Lohwecu, atas kebijaksanaannya Cayhe diangkat sebagai Congkoan Hek-liong-hwe, selama dua puluh tahun ini aku selalu berdoa dan mengharap akan datang suatu ketika dapat bebas merdeka, kini beruntung Jikohnio telah kemari, Ling kongcu tadipun telah kemari, syukurlah bahwa penantianku selama initidaksia2." "Ling-kongcu juga kemari", kata2 ini membuat Thay-siang tertegun heran, tanyanya. "Apa katamu? Siapa itu Ling-kongcu?" "Ternyata Jikohnio belum tahu, Ling-kongcu adaalah putera Linghwecu, Thian memang maha adil, Ling-kongcu dilahirkan setelah ayahnya meninggal." Tergerak hati Thay-siang, batinnya. "Tak heran Ji-giok juga muncul di sini, kiranya ibu beranak itupun telah kemari." Lalu dia bertanya dengan menatap tajam. "Kau sudah melihat puteranya Ling Tiang-hong, siapa namanya?" "Dia bernama Ling Kun-gi." Sahut Yong King-tiong. "Ling Kun-gi?" Hal ini benar2 diluar dugaan, Sorot matanya dibalik cadar tampak semakin dingin, dengusnya. "Kiranya dia, masa dia tidak mampus!" Mendadak dia mendelik pada Yong King-tiong, tanyanya gelisah. "Di mana sekarang dia?" Yong King-tiong adalah jago kawakan Kangouw sudah tentu dia merasa ganjil akan nada pertanyaan Thay-siang, naga2nya mengandung maksud kurang baik. Memang sejak kecil dulu ketika Lohwecu masih hidup, nona kedua yang kini menjadi Thay-siang Pek-hoa-pang ini sangat dimanjakan dan terlalu binal, sifatnya rada eksentrik, diam2 dia menyesal barusan telah kelepabsan omong, lekas dia unjuk tawa, katanya. "Ling-kongcu tadi memang muncul di sini, sayang Cayhe tidakmampu menahannya,kinidiasudahpergi." Thay-siangmendengus."Kemanadia, masakautidaktahu?" "Ling-kongcu tidak mau menerangkan, tak enak Cayhe tanya padanya," Sahut Yong King-tiong. Tatkala itu fajar telah menyingsing, walau kabut pagi masih tebal, tapi cuaca sudah remang2, dalam jarak tertentu sudah bisa terlihat jelas bayangan orang. -- Setajam pisau tatapan Thay-siang, tanyanya. "Lalu untuk apa dia datang kemari?" "Bahwasanya Ling-kongcu tidak kenal Cayhe, mana mungkin dia mencariku? Soalnya tadi akupun melihat dia melancarkan Hwi-liongsam-kiam, maka kutanya dia she apa, baru kuketahui dia putera Ling-hwecu." "Meluruk ke Hek-liong-tam, sudah tentu mengincar ilmu silat peninggalan Tiong-yang Cinjin di gua itu. Hm, dengan susah payah aku mengerahkan pasukan besar, memangnya dia yang memungut hasilnya," Sampai di sini mendadak suaranya berubah aseran. "Yong-congkoan berulang kali bilang ayahku almarhum berbudi padamu, dan kau masih tetap setia terhadan beliau, maka ingin kuminta kau bantu menyelesaikan sesuatu, tentu kau tidak keberatan bukan?" Diam2 Yong King-tiong mengumpat. "Perempuan ini memang lihay, tapi aku sudah telanjur omong, tiada jalan lain kecuali menerima permintaannya saja." Sembari menjura dia lantas menjawab. "Kalau ada tugas, silahkan Jikohnio perintahkan saja, Cayhetidakakan menolak." "Bagus, karma kau adalah Hek-liong-hwe Cong-koan, segera perintahkan agar perkeras penjagaan dan suruh para penjaga melarang siapapun datang kemari, barang siapa melanggar harus dibunuh dan habis perkara." Yong King-tiong mengunjuk sikap serba salah, katanya. "Terus terang Jikohnio, Cayhe memang punya dua belas anak buah ahli pedang, tapi Hek-liong-hwe sekarang sudah dikendalikan oleh pihak penguasa, banyak orang baru masuk jadi anggota, tujuannya adalah untuk mengejar pangkat dan kedudukan belaka, mereka kebanyakan adalah cakar alap2 yang amat setia kepada kerajaan, siapapuntakkan mautundukpadaperintahku." "Kalau mereka tidak mau ya sudahlah, untung jalan tembus ke dalam kolam ini hanya satu, maka tugas menjaga pintu masuk ini kuserahkan padamu." "Jikohnio," Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Perintah Maut Karya Buyung Hok Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo