Rahasia Si Badju Perak 14
Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 14
Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H "A-hong! Apa kau sudah tidur?" Thian-Ki sengaja pura-pura sudah pulas, setelah berulang kali memanggil tanpa penyahutan, tampak wajah Nisi Hujin berubah bengis dan geram, dirogohnya sebilah cundrik dari balik bajunya terus ditusukkan sekuatnya kearah dada Thian-ki, perobahan yang mendadak ini sudah dalam perhitungan Thian-ki, sebat sekali ia menangkis dengan kedua tangannya. "Bret" Kemul dan gulingnya sampai terobek panjang, tangkas sekali Thian-ki terus berguling turun dari atas ranjang. Dilihatnya Nisi Hujin sudah berganti rupa, wajahnya pucat membesi, kedua matanya tergenang airmata, cundrik ditangannya itu berkilat-kilat terus menubruk maju lagi. Karena kepepet serta bertangan kosong, lagi tiada tempat lowong untuk berkelit terpaksa Thian-ki pasrah nasib kepada Tuhan. Dalam keadaan gawat itulah mendadak sebilah pedang meluncur tiba menangkis cundrik Nisi Hujin itu. Dan tahu-tahu dalam ruangan situ sudah bertambah satu orang berkedok yang mengenakan baju perak membekal sebilah pedang emas. Dengan suara berat orang ini membentak kepada Thian-ki supaya segera melarikan diri. Begitulah dari dalam kamar ketiga orang itu terus kejar mengejar dan bertempur seru sampai diluar. Tiba-tiba Nisi Hujin melejit tinggi ketengah udara, pedang panjang di tangan kirinya itu menaburkan kembang bersinar merabu kearah To Yung, sedang tangan kanan meluncur mencengkram kearah Thian-ki dengan jari-jarinya yang keras bagai cakar garuda mengarah batoknya. Siang-siang To Yung sudah tahu bahwa Nisi Hujin mempunyai simpanan ilmu silat yang aneh lihay dan kejam. Terutama ada semacam ilmu pukulan yang dinamakan Koh-eh-jiau, pukulan dilancarkan dari tengah udara, angin pukulannya saja dapat menggetarkan badan orang sehingga dalam badan orang itu hancur dan segera tamat riwayatnya tanpa dapat tertolong lagi. Demikian juga saat ini dilihatnya Nisi Hujin ada tanda-tanda hendak melancarkan ilmu pukulan yang mematikan itu, meskipun masih terapung ditengah udara, tapi perbawa angin pukulannya sangat besar, seketika Thian-ki terkurung dan terkekang dalam pukulannya itu. Tujuan To Yung adalah lebih penting menolong jiwa sahabat kentalnya itu, maka tanpa banyak pikir lagi segera disambitkan senjata rahasianya. Seketika terlihat Nisi Hujin meliukkan badan di tengah udara, lantas meluncur sambil sempoyongan, tanpa banyak bicara lagi terus putar tubuh lari dengan pesatnya. Terlihat pakaian putihnya itu berkibar-kibar dibawah penerangan sinar bulan purnama, Thian-ki bagai baru sadar dari lamunannya, tanyanya kejut kepada To Yung . "Apa dia terkena senjata rahasia?" To Yung menunduk tanpa bicara hanya sedikit manggut, Thian-ki membanting kaki, serunya. "Celaka, mari lekas kejar, mungkin masih sempat memberi obat pemunah kepadanya." Secepat angin Thian-ki dan To Yung berlari-lari kembali ke markas besar Kim-hoan-kau, suasana malam yang kelam ini sunyi senyap, secara diam-diam mereka mendorong pintu memasuki kamar tidur Nisi Hujin. Terlihat diatas belandar tinggi-tinggi bergelantungan seseorang". Terasa sesal pedih dan kepiluan merangsang sanubari Thian-ki, saking tak tahan lagi terasa pandangannya menjadi gelap terus terbanting pingsan. Situasi di markas besar Kim hoan kau menjadi kacau balau sejak meninggalnya Nisi Hujin dengan cara menggantung diri itu. Malam itu juga To Yung menolong Thian-ki terus melarikan diri sejauh mungkin. Untuk selanjutnya mereka berdua tidak berani tinggal terlalu lama diluar perbatasan sana, seperti dikejar setan mereka terus kembali ke dataran tengah, dimana waktu itu mereka lewat kota raja. Karena Thian-ki selalu murung dan bersedih, diusulkan oleh To Yung secara iseng, secara diam-diam menyelundup ke istana raja untuk tamasya. Benar juga usul ini mendapat sambutan hangat dari Thian-ki, seketika timbul semangat barunya, mengandal ilmu ringan tubuh mereka yang sempurna malam-malam dengan mudah saja mereka selulup timbul di keraton raja itu. Tujuan To Yung semula hanyalah untuk menghibur hati Thian-ki yang terluka akan kematian Nisi Hujin itu, menyelundup ke istana raja ini hanya untuk menghibur diri melihat-lihat dan menambah pengalaman. Tak terduga disini mereka menimbulkan perkara lagi. Kiranya sewaktu luntang-luntung dalam kraton itu, mereka melewati sebuah bangunan gedung besar dan tertutup rapat, lain dari bangunan gedung umumnya yang berada dalam lingkungan istana kerajaan itu. Dimana dilihatnya serombongan thaykam (dorna) mengiring seorang pejabat yang berpakaian dinas tengah lewat. Menggunakan kesempatan inilah To Yung dan Thian-ki semakin jauh beranjak kedalam istana raja itu dengan menyelundup diantara rombongan ini. Siapa tahu setelah belok sana putar sini, sekian lama mereka berjalan rombongan itu membawa To Yung dan Thian-ki ke suatu tempat, yaitu sebuah bangunan gudang. Waktu pintu gerbang gudang ini dibuka seketika pandangan mereka terbelalak, keadaan dalam gudang sedemikian mewah dengan segala harta benda yang tak ternilai harganya, ada mutiara, ada jamrut dan banyak lagi yang menyilaukan mata. Ternyata bahwa upeti dari berbagai daerah dan negara tetangga selama beberapa tahun serta hasil pajak dan harta benda yang dikuras dari rakyat jelata semua disimpan dalam gudang harta kerajaan ini. Setiap benda ada ditempeli kartu keterangan. Sudah tentu Thian-ki dan To Yung menjadi gatal tangan dan ketarik benar untuk mengambilnya. Tak tertahan lagi tanpa berjanji mereka terus melesat masuk dan menyembunyikan diri didalam sana. Untung para rombongan ini hanya mengambil serenceng mainan mutiara yang besar-besar dimasukkan kedalam sebuah kotak kumala terus bergegas mengundurkan diri. Begitu mereka keluar Thian-ki dan To Yung segera meloncat keluar, sedemikian besar gudang ini, tapi penuh dengan segala barang dan benda berharga yang tak terhitung banyak dan nilainya, sehingga tanpa terpasang pelita keadaan gudang itu sudah terang benderang dengan penerangan segala cahaya barang-barang pusaka itu. Thian-ki sampai berjingkrak-jingkrak seperti orang gila yang ketiban rejeki nomplok, setiap benda yang dijamah dan disentuhnya terasa sayang dan tiada yang tidak disenanginya. Tengah mereka kegilaan itulah mendadak terdengar suara berdentum keras. To Yung masih dapat mengendalikan diri, seketika ia sadar bahwa itulah suara pintu gerbang gudang itu tertutup, cepat-cepat ia memperingati Thian-ki terus berlari kearah pintu. Tapi sudah terlambat karena pintu gerbang yang besar terbuat dari pintu baja tebal itu sudah tertutup rapat dan dikunci dari luar. Betapapun tinggi Lwekangnya juga jangan harap dapat keluar dari gudang harta ini. Keruan kejut dan takut mereka berdua bukan buatan, tanpa peduli lagi akan semua harta pusaka yang menyilaukan mata itu, bergegas mereka berlarian kian kemari mencari jalan keluar. Setengah harian mereka berputar-putar, hanya ditemui dipinggir sebelah sana ada sebuah jendela yang dirajeki besi baja besar tak mungkin dapat digeser atau diputuskan. Saking lesu dan kecapaian akhirnya mereka meloso duduk dilantai, harapan satu-satunya adalah kalau ada orang masuk lagi mengambil atau menyimpan harta kemari baru ada kesempatan melarikan diri. Tak tersangka semalam sudah lewat, pintu besi itu masih terkunci rapat. Begitulah nanti punya nanti sampai hari kedua waktu hari sudah hampir magrib, Thian-ki tidak kuat lagi dia bergelantungan diatas jendela menanti orang lewat, terpaksa mereka harus coba-coba menempuh bahaya. Ternyata harapan mereka ini tidak tersia-sia, harap punya harap terlihat seorang dayang tengah berjalan pelan-pelan mendatangi. Tak peduli segala akibatnya lagi segera Thian-ki berseru memanggil. "Cici! Cici!" Dayang itu menjadi heran dan takut serta celingukan, dilihatnya sekelilingnya tiada bayangan seseorang, terang dia curiga akan salah pendengarannya atau mungkin disangka diganggu genderwo. Maka Thian-ki lantas berseru lagi lebih keras. "Disini ! Hai aku diatas jendela !" Sekarang dayang itu mendengar tegas, berputar tubuh kepalanya mendongak memandang ke arah tempat Thian-ki. Kontan Thian-ki berseru memuji dalam hati, Eh, molek benar dayang ini, masih muda lagi paling banyak berusia tujuh-delapan belas, bertubuh langsing dan montok menggiurkan. Semula dayang itu mengunjuk kejut dan heran, sorot matanya rada-rada takut. Tapi dilain saat Thian-ki melihat bola matanya itu berputar-putar entah tengah memikirkan apa. Besar juga nyali dayang kecil ini. Apakah yang tengah dipikirkannya? Demikian batin Thian-ki. Mungkin dia tengah berpikir perlukah dia memanggil orang lain. Thian-ki menjadi gelisah diam-diam dijemputnya sebutir mutiara lalu dipersiapkan, begitu melihat dia lari segera akan disambitnya dan merobohkannya. Namun setelah ditunggu sejenak, agaknya dayang itu sudah bertekad bulat, bukan pergi malah datang menghampiri dibawah jendela, bukan takut dan kuatir sebaliknya wajahnya mengulum senyum riang. Tak terkendali Thian-ki menjadi tegang sendiri, jantungnya berdebur keras. Setelah dekat dibawah jendela, dilihat sekelilingnya tiada seorang pun, lalu dia membesarkan hati maju semakin mendekat, kini jarak mereka sudah dekat hanya teraling rajek besi diatas jendela itu, lapat-lapat terendus oleh Thian-ki bau wangi di sanggul kepalanya, serta melihat lebih tegas betapa cantik jelita dayang ini. Watak Thian-ki memang bergajul dan bangor, terlupakan olehnya bahwa dirinya tengah terkurung ditempat bahaya, dengan termangu-mangu ia pandang wajah nan elok ini, sampai lupa untuk bicara. Dayang itu tertawa manis, katanya. "Kau ingin aku menolongmu keluar bukan?" Melihat orang begitu pintar dan cerdik, girang hati Thian-ki, sahutnya cepat. "Ya, ya benar. Aku yang rendah Thio Thian-ki dengan seorang kawan kesalahan masuk ketempat terlarang ini, harap cici suka mengulur tangan menolong kami keluar, sungguh tak terhingga terima kasih kami ! Harap tanya siapakah nama harum cici?" Dayang itu tertawa lagi, katanya. "Aku she Kim bernama Lee-ing, tidak sukar aku menolongmu keluar, tapi kau harus memenuhi permintaanku dulu." Sungguh tak duga bahwa orang bisa mengajukan syarat, cepat ia menyahut. "Bagus, bagus sekali. Asal cici dapat menolongku keluar dari sini, apapun syaratnya, pasti aku dan sahabatku itu akan melulusi !" Kim Lee-ing memberi tahu kepada Thian-ki bahwa dia sebenarnya berasal dari luar perbatasan di utara. Di rumahnya masih ada ayah bundanya serta beberapa kakaknya. Ayah dan kakaknya itu pandai bermain silat. Dua tahun yang lalu kebetulan waktu ayah dan para kakaknya itu keluar, tiba-tiba Lee-ing diculik oleh orang jahat terus dibawa masuk ke pedalaman sini, dijual kepada seorang pedagang besar dijadikan pelayan. Kebetulan tahun itu gadis keluarga har- tawan itu kena terpilih oleh petugas kerajaan harus dimasukkan ke istana menjadi dayang di kraton, karena berat ditinggalkan anak gadisnya, akhirnya Lee-inglah yang menjadi korban untuk menggantikan gadis majikannya, sejak saat itu dua tahun sudah berselang dirinya menjadi dayang di kraton ini, ayah serta keluarganya diluar perbatasan itu masih belum mengetahui akan jejaknya ini. Syarat yang diajukan ialah supaya Thian-ki suka mengirim kabar kepada ayahnya, dengan kepandaian silat ayah dan para saudaranya yang lihay itu, dia percaya dirinya pasti dapat ditolong keluar dari kraton yang membelenggu hidupnya ini. Tanpa banyak pikir lagi segera Thian-ki menyanggupi. Lee-ing berjingkrak girang, terus berlari pergi. Dengan gelisah dan kurang tentram Thian-ki dan To Yung menanti. Sampai hari menjelang tengah malam, baru terlihat Kim Lee-ing mendatangi, dari balik lengan bajunya dikeluarkan sebilah cundrik yang tipis bagai kertas, sekali iris saja jeruji besi sebesar ibu jari kaki itu dengan gampang kena diputuskan seperti memotong tahu, terbukalah luang untuk keluar melarikan diri. Tersipu-sipu To Yung dan Thian-ki mengemasi dua buntalan besar, dipilihnya benda-benda yang paling mahal dan indah, lalu dengan kedua buntalan besarnya itu mereka bolos keluar dari lobang jendela itu. Malam-malam itu juga mereka kempit pula Kim Lee-ing terus dibawa keluar istana, dengan kepandaian Ginkang yang sempurna itu mudah saja mereka melarikan diri dari lingkungan kraton yang terjaga ketat itu. Mereka insaf bahwa pihak kerajaan pasti akan tahu bahwa gudang harta kerajaan kebobolan dan pasti akan mengadakan penggeledahan besar-besaran, maka mereka bertiga lantas cepat-cepat tinggalkan kota raja. Terlebih dulu mereka pendam barang-barang curian dari gudang harta istana raja itu di ruang bawah tanah dibawah puncak Gun-u-leng bekas markas besar So-keh-pang dulu. Lalu memenuhi permintaan Kim Lee-ing mengantarnya keluar perbatasan. Kim Lee-ing pernah berkata bahwa ayah serta para engkohnya adalah tokoh-tokoh silat kenamaan diluar perbatasan, tinggi ilmu kepandaiannya. Thian-ki bertanya tentang nama serta asal usul perguruan ayah serta engkohnya itu, tapi Kim Lee-ing mandah tertawa saja. Waktu sampai diluar perbatasan, mereka menginap pada suatu rumah makan, disana Thian-ki terlalu banyak minum arak sehingga mabuk, dibawah penerangan cahaya pelita, terasa dalam pandangan Thian-ki betapa cantik moleknya Kim Lee-ing, timbullah nafsu birahi hendak memperkosa si gadis suci ini. Siapa tahu Kim Lee-ing adalah gadis suci keturunan dari keluarga lurus, meskipun cantik tapi hatinya tabah dan bersikap dingin terhadap rayuan Thian-ki, saking tak tahan lagi Thian-ki melolos pedang hendak memaksanya, karena tak sudi ternoda akhirnya dia gigit lidah sendiri untuk bunuh diri. Bersama To Yung, Thian-ki baringkan tubuh Kim Lee-ing dibawah ranjang terus tersipu-sipu tinggal lari supaya tidak meninggalkan jejak dan takut diketahui orang. Siapa duga baru saja mereka keluar dari penginapan itu, ditengah jalan mereka berpapasan dengan enam laki-laki berseragam hitam. Satu diantaranya begitu melihat Thian-ki segera berseru kejut. "Yah, bukankah tuan ini adanya?" Seorang tua diantara mereka segera maju menyapa. "Tuan penolong yang berbudi. Lohu adalah Hek-liong Kim Thay dari luar perbatasan, inilah lima orang putra2ku. Kami mendapat kabar bahwa tuan penolong katanya berada disini. Maka aku orang tua yang bodoh segera membawa kelima putraku ini berkunjung kemari untuk menyatakan banyak-banyak terima kasih akan pertolongan tuan terhadap putri bungsu kami itu !" Habis berkata terus membungkuk tubuh. Bermula Thian-ki berdiri terlongong-longong saking kaget, dasar cerdik dan banyak akal, segera ia menduga bahwa mereka adalah ayah serta para engkoh dari Kim Lee-ing itu yang telah menyambut datang. Lama sudah ia pernah dengan kebesaran nama Hek-liong (naga hitam) Kim Thay sebagai tokoh silat yang paling disegani diluar perbatasan utara. Orangnya jujur bersikap gagah perwira, tapi sepak terjangnya sukar diselami, kadang-kadang lurus tapi juga suka nyeleweng. Senjata tombak pendek bercabang serta senjata rahasia aneh itulah yang telah mengangkat nama serta disegani kaum persilatan! Karena ilmu silatnya yang lihay itu, banyak tokoh-tokoh silat dari aliran hitam atau putih banyak yang gentar dan segan menghadapi gembong kenamaan ini. Diam-diam Thian-ki mengeluh dalam hati, mengapa tidak sebelum peristiwa ini terjadi dia mengetahui bahwa Kim Lee-ing ternyata adalah putri tunggalnya, sekarang kesalahan besar telah terjadi cara bagaimana baiknya? Dalam keadaan yang terdesak dan serba susah ini, terdengar Naga Hitam Kim Thay berkata lagi. "Putriku Lee-ing telah tertolong oleh tuan, betapa besar budi kebaikan ini, kita ayah beranak takkan melupakan selama-lamanya. Harap sukalah memberi tahu dimanakah kiranya sekarang putriku itu berada?" Bukan menjawab dengan kata-kata mendadak Thian-ki malah rangkapkan kedua jari tangan kanannya secepat kilat dan tiba-tiba meluncur menutuk tenggorokan Kim Thay. Kejadian yang mendadak akan serangan keji ini sungguh mengejutkan kelima putra Kim Thay itu, mereka berteriak kejut dan sampai kesima. Di saat kedua jari Thian-ki hampir menyentuh badan orang, tiba-tiba timbul rasa penyesalan dalam benak Thian-ki, maka dari serangan tutukan ia ganti menjadi tamparan, hanya terpaut serambut saja tangannya menyerempet liwat. Sementara itu, untuk menghindar diri Naga hitam Kim Thay doyongkan atas tubuhnya ke belakang, dengan susah payah ia lolos dari lobang jarum ini, namun demikian angin tamparan Thian-ki yang tajam itu cukup membuat tenggorokannya tersumbat sementara dan terasa kulitnya pedas. Tanpa memberi kesempatan mereka bergerak turun tangan, sekali berkelebat Thian-ki kembangkan ilmu ringan tubuhnya yang lincah dan aneh itu, sekejap mata saja tahu-tahu bayangannya sudah menghilang dari pandangan orang banyak. Demikian juga seenteng asap mengembang To Yung juga melesat pergi mengintil dibelakang Thian-ki. Mereka terus lari kembali ke Thio-keh-cheng, disini mereka mengeram dan sembunyi sekian lamanya. Sampai permulaan tahun yang lalu, saking iseng terkenang oleh Thian-ki dan To Yung akan barang-barang yang mereka simpan dan sembunyikan dibawah tanah dibawah gedung bobrok keluarga So-keh-pang itu, sore hari itu mereka sampai di Ki-lam, secara kebetulan dilihatnya putri Li-tihu yang bernama Li Hong-gi diajak ibunya pergi sembahyang di kelenteng. Sudah lama Thian-ki mendengar akan kecantikan Li Hong-gi, sekali pandang lantas ia mengakui bahwa kecantikan Li Hong-gi memang melebihi keelokan Nisi Hujin, kontan berkobar lagi sifat-sifat bangornya yang sudah sekian lama ini terpendam. Malam hari itu Thian-ki lantas menyusup kedalam gedung kediaman Li-tihu. Dibawah cahaya pelita dilihatnya betapa eloknya Li Hong-gi ini, berusia muda masih perawan lagi. Teringat akan usia sendiri yang sudah mulai menanjak pertengahan, seketika timbul suatu perasaan dan angan-angan aneh dalam benaknya. Teringat olehnya bahwa putra tunggalnya Thian-ih sekarang sudah menanjak dewasa, usianya juga sembabat dengan gadis remaja ini. Jodoh Thian-ih kelak mana mungkin bisa memperoleh isteri yang rupawan dan agung seperti Li Hong-gi ini. Terbalik dengan sepak terjang kebiasaannya, tak tega dia memetik kuncup bunga yang sedang mekar ini, terasa rendah dan kerdil dirinya ini bila dibanding dengan sang putri yang kecantikannya melebihi bidadari ini. Seumpama kodok buduk merindukan rembulan, tak berani lagi ia menambah dosa untuk menodai badan Li Hong-gi yang suci bersih. Usia Thian-ih putra tunggal yang diakui sebagai adiknya itu sudah hampir dua puluh, tiba saatnya untuk dicarikan jodoh, apa pula jeleknya kuculik Li Hong-gi ini untuk kujodohkan kepada anakku itu? Demikianlah setelah ia bertekad mengambil keputusan malam itu juga dia culik Li Hong-gi dari gedung Li-tihu terus dibawa ke puncak Gun-u-ling. Mungkin memang sudah takdir Tuhan bahwa perbuatan dosa serta kejahatannya yang sudah bertumpuk-tumpuk sekian banyak ini harus dia tebus dengan kematiannya. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hari itu sungguh jelek nasibnya, malam itu dia berpisah dengan To Yung dan seorang diri melakukan pekerjaannya. Li Hong-gi dimasukkan ke dalam sebuah kantongan besar terus dipanggulnya sampai gedung bobrok markas besar So-keh-pang dulu, tujuannya adalah membawanya masuk untuk disembunyikan di ruang bawah didalam perigi itu. Diluar tahunya sejak kematian putrinya dendam dan geram sekali Naga hitam Kim Thay dan kelima putranya itu, dengan tekun mereka menyirapi dan mencari tahu jejak Thian-ki. Malam itu siang-siang mereka sudah menunggu dan mengatur rencana untuk menanti kedatangannya. Demikian juga Hi Si-ing murid tunggal Thian-ki ternyata juga telah menyusul tiba di puncak Gun-u-ling itu karena dia mencurigai sepak terjang gurunya yang nyeleweng itu. Seorang diri akhirnya Thian-ki tidak kuat bertahan dikeroyok enam orang, dia mati konyol dibawah tangan keenam orang berkedok hitam itu, saking benci dan dendam mereka terhadap Thian-ki, sengaja dengan senjata mereka yang aneh itu mereka mencacah hancur seluruh tubuh Thian-ki, serta meninggalkan catatan yang menerangkan segala hal-ihwal tentang peristiwa yang telah terjadi ini. Itulah cerita panjang yang dituturkan To Yung kepada Thian-ih di dalam ruang bawah tanah itu. Tak lupa diterangkan juga oleh To Yung akan sepak terjangnya sejak kematian Thian-ki semua adalah demi kebaikannya. Persis benar dengan keterangan yang diberikan oleh Hun-tai Siancu kepada Thian-ih tempo hari. Setelah cerita To Yung habis, mereka duduk berhadapan, merenung dan termangu, To Yung tahu bahwa pikiran Thian-ih sedang kacau, maka dia bungkam tak bicara lagi. Diambilnya lagi arak simpanannya untuk diminum dan dihabiskan sendiri. Selang sejenak dilihatnya Thian-ih masih terpekur dalam pikirannya, kedua pipinya merah membara, timbullah rasa kasih sayangnya terhadap putra sahabatnya ini. Harus diketahui bahwa hubungan To Yung dan Thian-ki sedemikian akrab melebihi persahabatan orang lain. Perhatian To Yung terhadap Thian-ki memang lain dari yang lain. Kalau dikata To Yung menjadi bayangan atau duplikat Thian-ki memang tidak berkelebihan. Sekarang Seng-po-sat Thio Thian-ki sibudha hidup sudah mati, maka To Yung lantas mengalihkan perhatiannya terhadap Thian-ki kepada Thian-ih, dipikulnya tanggung jawab keselamatan Thian-ih keatas pundaknya sendiri. Terdengar To Yung berkata halus. "Thian-ih, semua pengalaman dan kejadian yang lalu sudah kututurkan kepadamu, kau tidak menyalahkan aku bukan?! Hatiku gelisah dan pikiran kacau balau perasaan beku lagi, seolah-olah hidupku ini tiada sandaran lagi, besar tekadku untuk menyelimuti dosa serta kejahatan yang telah diperbuat oleh ayahmu. Bersama itu aku ingin kau sukses, luntang lantung kian kemari mengatur tipu daya serta membunuh orang, perbuatan itu tak mungkin tercegah dan kenyataan sudah berlarut, memang harus kuakui bahwa tindak tandukku itu agak kelewat batas.............." Berhenti sebentar, lalu sambungnya lagi. "Tapi, apapun yang telah kulakukan itu adalah untuk kebaikanmu, untuk kebaikanmu............." Suara To Yung sampai gemetar sember. Thian-ih lantas berpikir; persis benar akan keterangan Hun-tai Siancu, meskipun sepak terjang To Yung ini rada nyeleweng, hakikatnya memang untuk kebaikan dirinya. Sudah tentu tak enak hatinya untuk membencinya selalu, karena pikirannya ini hatinya menjadi sedikit lega dan air mukanya juga mulai tenang lagi. To Yung tahu bahwa Thian-ih sekarang sudah dapat memaklumi isi hatinya, tiba-tiba bangkit semangatnya, katanya tertawa. "Sekarang semua sudah beres ! Kau sudah tahu semua duduk perkara ini. Kini ilmu silatmu juga sudah maju pesat setelah digembleng, biarlah kuajarkan juga ilmu riasku serta Ginkangku kepada kau. Tentang pelajaran senjata rahasia yang mengandung bisa itu terserah kau mau mempelajari. Mengandal kepandaianmu sekarang cukup sebagai bekal untuk malang melintang di dunia persilatan, kau harus mewarisi tanggung jawab dan cita-cita ayahmu sebelum ajal, kau harus muncul di Kangouw dengan baju perak serta pedang emasnya itu, lakukanlah dharma bakti bagi sesama manusia untuk kesejahteraan masyarakat umumnya." Sungguh tak kira sedemikian besar simpatik dan penghargaannya terhadap perasaan. Thian-ih tunduk diam tanpa mengeluarkan suara. Kata To Yung lagi. "Hong-gi sangat mencintai kau, entah dimana dia sekarang berada. Namun bagaimana juga aku akan membantu kau mencarinya sampai ketemu, kau juga tidak perlu sungkan dan rikuh-rikuh lagi. Secepatnya kalian harus segera melangsungkan perjodohan ini, supaya lega dan terhibur hatiku. Semua harta benda dalam ruangan ini kuserahkan kepadamu sebagai mas kawin kalian kelak supaya dapat hidup bahagia dan sentosa!" Melihat orang tetap membisu, To Yung juga membisu sebentar, lalu berkata pula memancing. "Apakah kau masih berminat hendak menuntut balas bagi ayahmu? Keenam orang berkedok itu adalah si Naga hitam Kim Thay serta anak-anaknya yang sangat kenamaan di luar perbatasan sana. Sekarang kalau kau berminat menuntut balas, segampang kau membalikkan tangan." Thian-ih melengak tanyanya. "Apa maksudmu ini?" Melihat pancingannya berhasil membuat Thian-ih buka mulut, girang hati To Yung, ujarnya sambil tertawa. "Keenam orang ayah beranak itu begitu kebentur ditanganku, ternyata sedemikian tidak berguna, sedikit aku menipu saja, lantas aku dapat mengurung mereka bersama. Sekarang kalau kau berniat membunuh mereka, seumpama kau menangkap kura-kura dalam belanga, gampang sekali tanpa ada perlawanan. Dan aku tanggung pasti mereka pasrah saja kau penggal kepalanya." Setelah berkata ia bergelak tertawa. Saking heran dan tidak mengerti, Thian-ih bertanya. "Dalam hal ini aku masih belum dapat ambil keputusan, apakah aku harus menuntut balas terhadap mereka !" "Benar!" Seru To Yung sambil bertepuk tangan. "Pendapatku sama dengan kau, meskipun mereka ayah beranak telah membunuh ayahmu, tujuannya adalah menuntut balas akan kematian Kim Lee-ing yang tidak berdosa itu. Betapa juga tindakan mereka adalah benar dan harus dimaklumi. Dan yang terpenting dan harus dipuji, mereka mengantar pulang Li Hong-gi ke Kilam tanpa kurang suatu apa. Maka............waktu aku mengatur jebakan mengurung mereka, untuk membunuh mereka juga hanya sekali kerja saja. Tapi selamanya setiap tindak-tandukku tentu kuperhitungkan sebelumnya. Seperti kau, aku ragu-ragu haruskah aku turun tangan, sekian lamanya aku tidak kuasa ambil keputusan, begitulah sampai berlarut hingga sekarang." Thian-ih berpikir, omongannya ini memang dapat dipercaya. Menurut cerita Hun-tai Siancu bahwa meskipun dia terlalu sumbar menyebar maut sehingga menimbulkan banyak kematian, namun yang dibunuh olehnya itu rata-rata adalah gembong silat jahat yang memang sudah setimpal dengan perbuatannya. Berpikir sampai disini tiba-tiba teringat olehnya akan Ciu Hou, segera ia bertanya gugup. "Paman To, dimana Ban-keh-seng-hud Ciu Hou sekarang?" Panggilan 'paman To' ini membuat hati To Yung syur girang bukan kepalang, wajahnya berseri ria, sahutnya. "Thian-ih, kau tidak usah kuatir, aku tidak membunuhnya. Karena kuatir dia menceritakan kejelekan ayahmu kepada umum, maka kugebah dia dengan berbagai ancaman yang menakutkan itu, sehingga dia tidak enak makan, tidak bisa tidur, selalu dalam kekuatiran. Ciu Hou betul-betul seorang baik, sampai sekarang belum pernah dia mengatakan tentang rahasia-sia itu. Maka aku tidak bisa membunuhnya, tapi kukurung dia di suatu tempat yang terahasia." Kata Thian-ih. "Apa dikurung bersama Kim Thay ayah beranak?" To Yung manggut-manggut, katanya. "Tidak salah. Mereka kukurung disatu tempat, di gunung Bu-ciok-san yang terletak tidak jauh dari Sam-ho. Dulu bersama ayahmu aku pernah menemukan sebuah lembah yang terbentuk oleh alam, maka kali ini aku tipu Kim Thay dan putra-putranya masuk kedalam lembah itu. Demikian juga kuantar Ban-keh-seng-hud Ciu Hou masuk kesana, lalu pintu masuk kelembah itu kututup dengan batu-batu gunung, biarlah mereka hidup berdikari dalam lembah yang serba ada itu." Thian-ih heran, tanyanya. "Kalau dalam lembah itu sedemikian subur serba ada dengan segala hasil makanan, pastilah mereka masih dapat hidup disana. Lalu bila aku ke sana dan turun tangan dalam keroyokan keenam orang itu masakan aku dapat menang. Sebaliknya Paman bilang bahwa untuk membunuh mereka segampang membalikkan tangan, bagaimana keterangan ini?" To Yung memberi penjelasan. "Thian-ih, kau hanya tahu satu tidak tahu yang lain. Lembah yang kukatakan itu belum pernah dijamah oleh jejak manusia, keadaannya juga sangat aneh, terutama sumber air yang mengalir di sana, meskipun bening dan jernih sekali sampai dapat melihat dasarnya, malah berbau wangi lagi. Tapi sekali orang meneguknya kaki tangan lantas terasa lemas tak bertenaga, sampai kerjaan yang rada berat juga tidak mampu dilakukan lagi, apalagi bergebrak dengan orang. Ketujuh orang itu kukurung didalam lembah itu, kalau sampai sekarang mereka masih hidup, betapapun mereka harus minum air jernih itu. Kalau toh kaki tangan mereka tidak bertenaga lagi, masa masih kuat melawan kau yang bertenaga baru. Tapi setelah kupikir-pikir, baik juga kau pergi kesana melepas mereka keluar. Terutama Ciu Hou memang harus dilepas, yang terang kau sekarang sudah mengetahui segala seluk beluk pangkal peristiwa itu. Kalau kau bertemu dengan dia tolong kau beri penjelasan kepadanya tentang kedudukanku yang serba sulit betapa pun minta dimaafkan. Tentang Kim Thay dan putra-putranya terserah kepada kau mau bunuh atau melepasnya." Thian-ih berkeputusan hendak menuju kelembah di gunung Bu-ciok-san itu untuk menolong Ciu Hou. Lalu bagaimana dia harus membereskan Kim Thay serta putra-putranya ? Dia belum dapat ambil kepastian, biarlah kesana dulu dan bekerja mengikuti situasi dan keadaan setempat. Begitulah mereka berhadapan makan minum sambil ngobrol panjang lebar, malam itu mereka menginap dan tidur di ruang bawah tanah itu. Besok pagi To Yung membangunkan Thian-ih, katanya. "Aku sudah menyelidiki keluar, para kesatuan Bhayangkari dan So Tiong kakak beradik serta yang lain-lain sudah mengundurkan diri, sekarang diatas bukit ini tiada seorangpun jua. Inilah kesempatan terbaik bagi kau turun gunung." Teringat oleh Thian-ih akan gadis berkabung itu, tanyanya. "Paman To, bagaimana dengan nona she Lo itu?" To Yung menyahut. "Entah sudah pergi atau mertamu di So-keh-pang. Gadis ayu itu adalah putri tunggal Lo Liong dengan Nisi Hujin. Dulu waktu aku dan ayahmu berada di Kim-hoan-kau, dia masih gadis kecil mungil. Sekarang telah dewasa dan sedemikian besar. Dia berkabung atas kematian ibunya itu, kedatangannya ini juga untuk mencari sibaju perak terang yang dituju adalah aku dan ayahmu. Mungkin samar-samar dia sudah dapat meraba sebab-musabab kematian ibunya itu tersangkut paut dengan kita berdua, namun menurut dugaanku dia masih belum tahu jelas menyeluruh. Mengapa ayah duplikatnya itu mendadak hilang, lantas ibunya bunuh diri. Tidaklah heran kalau dia berdaya hendak memeriksa peristiwa ini." Berhenti sejenak lalu katanya lagi. "Kali ini Lo Ka Siangjin dan kamrat-kamratnya itu mungkin sudah terbasmi habis. Tapi To Yung atau sibaju perak palsu yang kena tertawan oleh mereka itu pasti akhirnya ketahuan, ini hanya soal waktu saja, saat itu tentu akan menimbulkan keributan besar! Lebih baik kau lekas-lekas meninggalkan tempat ini, siapa tahu mereka akan balik keatas sini melakukan pemeriksaan lagi." Sekilas ia melirik kearah Thian-ih, lalu ujarnya menggoda. "Thian-ih kenapa kau ini terkenang dan kepincut pada gadis she Lo itu bukan? Dulu bapakmu jatuh cinta pada ibunya, hahaha !" Cepat-cepat Thian-ih membantah. "Mana aku ada niat begitu, harap paman To jangan terlalu banyak sangka." To Yung tersenyum saja tanpa berkata-kata lagi. Mendadak teringat oleh Thian-ih tentang keterangan Hun-tai Siancu bahwa ibu kandungnya katanya masih hidup dan sehat walafiat, maka cepat-cepat ia bertanya. "Paman To, dimanakah sekarang ibu berada?" To Yung tertegun, matanya memantulkan rasa kejut dan ragu-ragu, menatap tajam kearah Thian-ih. Melihat Thio Thian-ih menanti jawabannya dengan penuh harap dan cemas, To Yung menggeleng. Thian-ih menjadi gelisah, tahu dia bahwa pasti masih ada rahasia apa lagi di belakang ini, maka desaknya lagi. "Paman To, lekas beritahu, dimana ibu berada?" To Yung tetap geleng kepala, katanya. "Tidak bisa! Aku tahu belum saatnya sekarang aku memberitahu rahasia ini." Saking gugup Thian-ih menarik lengan To Yung, desaknya. "Mengapa? Apakah ibuku tidak mau menemui aku atau tidak mau mengakui aku sebagai anaknya lagi?" To Yung berkata sabar. "Bukan begitu! Aku tahu bahwa dia sangat memperhatikan kau, sangat sayang kepadamu. Tapi sekarang belum saatnya mengakui kau karena terbentur oleh sesuatu yang harus dirahasiakan, kalau belum tiba saatnya, bagaimana juga belum dapat kujelaskan kepadamu." Sikap Thian-ih menjadi lesu dan kecewa, To Yung merasa tidak tega, maka bujuknya. "Thian-ih, sekarang tugasmu harus pergi ke Bu-ciok-san dulu, lakukanlah apa yang harus kau kerjakan. Akan tiba satu hari kalian ibu dan anak bertemu dan berkumpul kembali. Dan lagi aku malah berani pastikan bahwa saat itu tidak lama lagi. Meskipun ibumu belum dapat mengakui kau, tapi diam-diam beliau memperhatikan dirimu, baik-baiklah kau pergi melaksanakan tugasmu itu. Setelah segala urusanmu selesai kita bertemu di Hun-tai-san." Dari atas dinding To Yung mengambil sebuah kantongan kulit, dikatakan bahwa isinya adalah bahan-bahan obat untuk rias. Lalu secara singkat To Yung memberi pelajaran tentang merias diri secara sekadarnya yang paling gampang lalu menyerahkan kantongan kulit itu. Dipesannya wanti-wanti kalau menghadapi bahaya dan sulit meloloskan diri, tiada halangan mengandal obat-obatan itu merias diri untuk menyelamatkan diri. Thian-ih tidak enak menampik kebaikan yang diberikan ini, dia menerima sambil mengucapkan banyak terima kasih. Setelah hari menjelang petang, secara diam-diam mereka berdua keluar dari ruang dibawah dalam perigi itu terus berpisah dibawah gunung. Waktu lewat di So-keh-pang, jauh-jauh terlihat keadaan markas besar itu terang benderang, diduganya bahwa para petugas dari istana raja itu pasti masih berada disana, untuk menghemat waktu dan supaya tidak menimbulkan banyak kesukaran, ia lewati saja perkampungan besar itu terus berlari-lari kencang. Betapa juga So Tiong yang gagah perwira dan berpambek kesatria, serta So Hoan si gadis lincah yang simpatik itu akan selalu terkenang dalam sanubari Thian-ih. Apalagi bila teringat pengalaman malam didalam gedung bobrok duduk berdekatan bersama So Hoan tempo hari itu, seolah-olah baru saja terjadi belum lama ini, sampai Thian-ih merasa seperti hatinya dikili-kili. Demikian juga putri Nisi Hujin itu, walaupun mengenakan pakaian berkabung yang sederhana, namun tidak mengurangi kecantikannya. Malam itu didalam gedung bobrok dipuncak Gun-u-ling itu sengaja dia melindungi Thian-ih, bagaimana mungkin dia bakal dapat melupakan ini. Pikir punya pikir, lantas terbayang dan terkenang akan Li Hong-gi, terasakan olehnya bagaimana juga dia tidak boleh menyia-nyiakan kebaikan serta cinta kasih Hong-gi terhadap dirinya, secepatnya aku harus menolong Ciu Hou keluar, lalu kembali ke Hun-tai dan bersama To Yung pergi mencarinya. Waktu terang tanah, Thian-ih menyewa sebuah kereta keledai untuk menggantikan kedua kakinya. Segera kereta keledai itu berlari kencang menuju ke keresidenan Sam-ho yang terletak dipropensi Ho-pak. Perjalanan cukup jauh ini memakan waktu beberapa hari. Siang hari itu Thian-ih tiba di Sam-ho, tiada kesempatan bagi Thian-ih untuk pulang tilik keluarga. Setelah mencari tahu letak gunung Bu-ciok-san, cepat-cepat ia beranjak kesana. Sampai di Bu-ciok san Thian-ih harus berputar kayun menjelajah kesana-kemari mencari lembah Kambing yang diceritakan oleh To Yung itu. Setengah harian sudah tanpa mendapat hasil, yang ditemui adalah alas pegunungan atau batu-batu cadas yang meninggi dan menjulang menembus angkasa. Saking kewalahan akhirnya ia turun gunung mencari perkampungan dan tanya pada para petani atau penebang kayu. Tapi semua yang ditanya pasti menggeleng kepala dengan ketakutan, serta menjawab tidak tahu. Apa boleh buat akhirnya Thian-ih gunakan uang peraknya untuk menyogok, baru akhirnya ia mendapat keterangannya letak Lembah Kambing yang dicarinya itu. Waktu Thian-ih sampai tempat yang dituju memang betul pintu masuk kedalam lembah sana tersumbat oleh sebuah batu gunung yang sangat besar. Thian-ih harus kerahkan seluruh tenaganya untuk menggeser batu besar itu. Setelah batu dapat disingkirkan Thian-ih lantas menyelinap masuk, pandangannya menjadi terang dan nyaman, dihadapannya terbentang sebuah dataran rendah yang subur menghijau, disekelilingnya dipagari dinding batu gunung yang tinggi, sehingga lembah ini menyerupai sebuah baskom besar. Di kejauhan sana serombongan kambing tengah asyik makan rumput di pinggiran sungai. Membelakangi dinding batu sebelah kiri adalah rumpun sebuah hutan kayu siong, sedemikian subur dan lebat daun-daunnya bak secarik gambar diatas kertas. Dalam lembah tidak kelihatan adanya jejak manusia, secara diam-diam Thian-ih menggeremet maju terus melesat masuk kedalam hutan. Terdengar disini burung berkicau bersahutan dengan ramainya, bau harum kembang merangsang hidung, tanpa terasa badan lantas segar dan bersemangat. Waktu ia angkat kepala hampir saja ia berseru kaget, terlihat ditengah hutan sana dibangun sebuah gubuk yang terbuat anyaman daon kering. Didepan pekarangan rumah tampak duduk dua orang tengah bercakap-cakap, salah seorang diantaranya adalah Ban-keh-seng-hud Ciu Hou, sedang seorang yang lain adalah seorang kakek yang berjambang lebat, dapatlah diduga bahwa kakek tua ini pasti si Naga hitam Kim Thay itu. Sesaat sulit bagi Thian-ih mengambil keputusan cara bagaimana ia harus mulai bekerja, sekali berkelebat ia sembunyi dibalik pohon dibelakang mereka. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Terdengar mereka tengah bercakap-cakap dengan suara lirih, dan lesu serta tak bertenaga. Kata Kim Thay. "Saudara Ciu, sibaju perak itu sungguh kejam dan licik, dia menipu dan mengurung kita ditempat semacam ini, sampai ilmu kepandaian juga lenyap tak berguna lagi, hidup merana dengan tanpa tenaga begini sungguh menyiksa dan mengenaskan." Ban-keh-seng-hud Ciu Hou menghela napas, sahutnya. "Persoalan lain sih aku tidak perduli, hanya menurut peruntunganku, saat ini sudah menjelang bulan empat. Ketahuilah bahwa pada bulan empat yang akan datang ini dikalangan Kangouw bakal terbit gelombang keonaran besar yang dahsyat. Peristiwa ini sudah lama bersemi dan tinggal tunggu waktu saja. Bagaimana juga aku harus cepat-cepat dapat pergi kesana untuk mencegah bencana yang bakal terjadi ini. Karena ini hanyalah suatu kesalah pahaman saja, sampai kedua belah pihak harus naik pitam dan harus bertempur mati-matian, latar belakang duduk peristiwa ini hanya aku seorang yang mengetahui. Kalau aku dapat menyusul tiba tepat pada waktunya mungkin masih dapat mencegah timbulnya bencana besar itu." Terdengar Kim Thay sinaga hitam dari luar perbatasan itu menghiburnya. "Saudara Ciu. Sekarang kenyataan kau terkurung disini, lebih baik kau tidak memikirkan segala urusan tetek bengek yang tidak mungkin kau dapat campur tangan lagi. Coba ingin kutanya julukanmu sebagai si Budha hidup penolong berlaksa keluarga, entah sudah berapa banyak umat manusia yang telah kau tolong jiwanya, akhirnya kau sendiri harus mengalami siksaan lahir batin disini. Ini menandakan bahwa Tuhan tidak bermata dan kurang adil. Lebih baik kita tidak usah repot-repot dan menguatirkan segala urusan orang lain. Anak Sin, ambil makanan kemari!'' Terdengar seseorang mengiakan dari dalam gubuk reyot itu lantas terlihat seorang pemuda berjalan keluar sambil membawa daging, buah-buahan serta air minum. Derap langkahnya sangat berat, padahal daging dan buah-buahan serta minuman yang dibawanya itu tidak begitu banyak, tapi agaknya sudah menghabiskan seluruh tenaganya. Segera terlihat pula se- orang pemuda memburu maju membantu membawakan buah-buahan itu. Melihat keadaan ini, diam-diam Thian-ih terperanjat, sungguh lihay benar air jernih dalam lembah kambing ini. Kedua pemuda itu terang adalah putra-putra Kim Thay. Menurut To Yung bahwa kaki tangan mereka sudah lemas tak bertenaga memang bukan bualan belaka. Tampak Kim Thay angkat cangkirnya terus ditenggak habis, ujarnya sambil tertawa getir. "Walaupun sudah tahu bahwa air ini rada aneh, tapi kita bertujuh terpaksa harus meminumnya juga. Tuhan oh Tuhan! Kasihanilah hambamu ini. Sibaju perak yang durjana itu, kenapa tidak jatuhkan tangan jahatnya sekalian menamatkan hidup kita?" Tak tertahan Ciu Hou menghela napas panjang, ujarnya. "Seumpama harus mati sih aku tidak takut. Tapi aku kuatir akan kejadian yang bakal terjadi dipertengahan bulan empat itu, karena kedua belah pihak adalah sama sahabatku yang paling akrab. Bagaimana mungkin aku dapat berpeluk tangan dan berlega hati." Kim Thay bertanya. "Siapakah sahabatmu itu?" "Dia bukan lain adalah Hun-tai Siancu Ui Eng........." Thian-ih berjingkat kaget mendengar keterangan ini. Tak terkira olehnya bahwa Hun-tai Siancu ternyata sudah berjanji dengan orang hendak bertempur menentukan mati hidup. Kenapa aku tidak mengetahui tentang hal ini. Kejadian ini sungguh luar biasa, maka Thian-ih pusatkan perhatiannya mendengarkan penjelasan Ciu Hou selanjutnya. Kiranya Hun-tai Siancu Ui Eng adalah sahabat Ciu Hou sejak masih kanak-anak, waktu masih muda mereka adalah tetangga, tak jauh dari kediaman mereka masih terdapat sebuah keluarga yang mempunyai putra sebaya dengan mereka, pemuda itu adalah Ki-san Tay-hiap Ki Bing yang kenamaan itu. Mereka bertiga sering bermain bersama, diam-diam Ciu Hou dan Ki Bing sama-sama mencintai Ui Eng. Tapi Ki Bing lebih tampan dan gagah, maka Ciu Hou tahu diri dan mundur teratur, diam-diam ia pujikan dan berdoa akan terangkapnya perjodohan mereka. Tapi puluhan tahun kemudian setelah mereka bertiga menanjak dewasa, mereka mulai berkelana di kalangan Kangouw. Setelah berpisah Ki Bing masih berusaha mengejar-ngejar Ui Eng. Tapi entah mengapa Ui Eng masih belum mau menikah dengan dia. Beberapa tahun berselang, pada suatu hari tiba-tiba Ki Bing datang mencari Ciu Hou,melihat wajah temannya ini rada pucat dan kurus, Ciu Hou bertanya kenapa. Ki Bing menerangkan bukan saja Ui Eng sudah tidak menghargai persahabatan mereka yang berlangsung puluhan tahun itu, sekarang malah mencintai seorang begal tunggal yang banyak dosanya. Dia bertanya dan minta pendapat Ciu Hou bagaimana. Ciu Hou merasa dalam hal ini Ui Eng yang bersalah, betapapun Ciu Hou masih merasa simpatik dan sangat memperhatikan keadaannya, pendek kata besar harapannya bahwa Ui Eng bisa menikah dengan Ki Bing. Sekarang setelah mendengar dia tersesat malah kepincut dengan seorang penjahat besar, hatinya menjadi kuatir, bersama Ki Bing mereka mencari Ui Eng untuk membujuknya. Waktu sampai ditempat tujuan karena hari sudah berlarut malam, maka mereka ambil putusan untuk bicara besok pagi saja. Tak kira malam itu juga sipenjahat besar yang dicintai Ui Eng itu mendadak berkunjung datang. Diatas mukanya ada bekas goresan luka bacokan senjata yang dalam dan masih merembeskan darah segar. Malah kelima jari tangan kirinya juga terpapas buntung. Dia berkata, bahwa semua luka-lukanya itu diderita karena pengorbanannya sebagai imbalan cinta kasihnya terhadap Ui Eng, maka dia sengaja melukai diri sendiri sebagai tanda betapa dalam dan suci cintanya terhadap sang kekasih. Sebaliknya dia tanya kepada Ki Bing, kalau Ki Bing juga mencintai Ui Eng, mengapa tidak berani menunjukkan pengorbanannya untuk membuktikan cintanya? Tatkala itu Ki Bing kena dibikin gusar, tanpa banyak omong lagi segera ia lolos pedang terus menabas buntung tangan kiri sendiri. Kontan darah segar memancur deras dari lengannya, saking kesakitan dia kelengar. Untung masih ada Ciu Hou yang segera menolong dan memberi bantuan, baru jiwanya itu dapat diselamatkan. Sedang si penjahat besar itu mandah menjengek dingin terus tinggal pergi. Hari kedua bersama Ciu Hou, Ki Bing menahan sakit menemui Ui Eng. Secara terang-terangan dihadapan Ui Eng ia nyatakan cintanya dengan menabas buntung lengan kirinya ini sebagai bukti akan ketulusan cintanya itu, ditandaskan lagi bahwa rasa cintanya tidak akan kalah mendalam dan suci dari sipenjahat besar yang banyak dosa dan kotor itu. Ciu Hou juga ikut membujuk dari samping, dia mengharap mereka berdua bisa rukun menjadi suami-istri. Tak duga Ui Eng menyangkal keras bahwa dia ada maksud dengan Ki Bing, juga diterangkan bahwa dia belum pernah mengadu cara kompetisi semacam itu untuk memperebutkan cinta mereka. Ditandaskan pula bahwa dia sudah bertekad hendak menikah dengan sipenjahat besar itu. Dikatakan bahwa perasaan serta hubungannya dengan Ki Bing tidak lebih sebagai persaudaraan belaka lain tidak. Gara-gara Ki Bing sendiri yang terlalu gampang mengobral cinta sehingga bisa terjadi kesalah pahaman ini. Saking gusar Ki Bing sampai kelengar jatuh pingsan sekali lagi Ciu Hou harus menolong dan mengusungnya pulang. Sejak saat itu, dari rasa cinta berbalik ia merasa dendam terhadap Ui Eng. Setelah Ui Eng menikah dengan penjahat besar itu, lalu Ki Bing mengasingkan diri ke Ki-san, disini ia memperdalam kepandaian dengan tekun belajar dan menggembleng diri. Ia sesumbar bahwa tangannya buntung karena dipermainkan oleh Ui Eng ia bersumpah hendak mengutungi sebelah lengan Ui Eng juga baru bisa terlampias rasa dendamnya ini. Seumpama air dan api permusuhan kedua belah pihak semakin mendalam, akhirnya diputuskan pada pertengahan bulan empat ini akan diadakan adu kepandaian di Hun-tai-san untuk menyelesaikan pertikaian ini. Beberapa lama berselang sejak peristiwa itu terjadi, secara kebetulan Ciu Hou malah dapat membongkar kejadian salah paham ini. Tak lain adalah karena si penjahat besar itu yang membuat gara-gara. Dia pandai ilmu rias, luka di mukanya serta buntungnya kelima jarinya itu adalah palsu dan pura-pura belaka. Terang gamblang bahwa Ki Bing telah kena dikibuli sampai mengorbankan sebuah lengannya secara sia-sia. Sebaliknya dia masih salah paham dan menuduh bahwa semua ini adalah permainan Ui Eng melulu, lalu mendendam dan ingin menuntut balas. Tapi pernikahan Hun-tai Siancu Ui Eng dengan sipenjahat besar itu juga tidak membawa akibat yang baik, karena sifat sipenjahat sukar dirubah, tanpa bekerja dan luntang-luntung menanam dosa, tak mau mendengar nasehat Ui Eng lagi, saking putus asa akhirnya Ui Eng putuskan hu- bungan suami-istri dan tinggal pergi mengasingkan diri. Memang sejak ditinggal pergi sang istri penjahat besar itu terketuk hatinya, ia sadar akan dosanya dan berusaha memperbaiki, untuk suatu masa yang tidak panjang dia memang dapat mengendalikan diri, tapi watak manusia memang sukar dikendalikan, akhirnya dia melakukan pula kejahatan2 yang sampai mengakhiri jiwanya. Sampai disitu cerita Ciu Hou, mendadak Kim Thay bertanya. "Saudara Ciu! Menurut ceritamu itu aku dapat menebak sebagian, bukankah orang dalam ceritamu itu adalah yang kita bunuh..............." Cepat-cepat Ciu Hou goyangkan kedua tangannya, serunya gugup. "Saudara Kim, kita sebagai kaum kesatria harus mengutamakan kebijaksanaan dan cinta kasih serta berani menghadapi kebenaran. Sekarang orang itu sudah mati, kejelekannya dimasa yang lalu lebih baik jangan diungkat-ungkat lagi, sudahlah tak usah membicarakan soal itu lagi." Kim Thay juga tidak bilang apa lagi, ia menunduk sambil menghela napas panjang. Dilain pihak, Thian-ih sampai mengalirkan keringat dingin mencuri dengar dari tempat sembunyinya. Bukankah cerita yang diperbincangkan itu adalah pengalaman ayahnya yang menggunakan kepandaian ilmu rias paman To untuk mengelabui dan menipu Ki-san Tayhiap sehingga dendam dan bermusuhan dengan Hun-tai Siancu Ui Eng. Terang dalam pertikaian dulu itu Thio Thian-ki telah menggunakan cara yang licik untuk menipu Ki Bing sampai dia bisa mempersunting Hun-tai Siancu. Haya! Bukankah Hun-tai Siancu Ui Eng adalah ibu kandung Thian-ih sendiri, setelah direnungkan dan dianalisa secara menyeluruh akhirnya Thian-ih sadar akan seluruhnya. Benar, untuk menghadapi tantangan Ki-san Tayhiap Ki Bing, pertempuran seru yang sulit menentukan siapa bakal menang dan asor ini, ada kemungkinan dia sendiri yang bakal tertimpa bencana, untuk tidak membuat Thian-ih sedih sengaja dia tidak atau belum mau mengakui hubungan sebagal ibu beranak ini. Berpikir sampai disini terasa hatinya mendelu dadanya terasa seperti dipukul godam. Sekarang hanya satu ingatan merangsang dalam otaknya; aku harus segera kembali ke Hun-tai-san untuk bertemu dengan ibu. Sekonyong-konyong terdengar seseorang berteriak. "Ayah, paman Ciu, lekas kalian kemari, lihatlah pintu lembah ini sudah terbuka !" Tampak diambang pintu lembah sana para putra Kim Thay berlari merubung maju sambil berjingkrak-jingkrak. Kim Thay menggenggam tangan Ciu Hou, lapat-lapat terlihat kedua matanya mengalirkan airmata kegirangan, bibirnya juga bergerak-gerak, suaranya terdengar gemetar dan sumbang. "Saudara Ciu, akhirnya kita akan hidup bebas pula. Tapi entahlah apakah sibaju perak sendiri yang telah datang?" "Selain dia tiada orang lain yang mengetahui lembah kambing ini siapa lagi yang mau kesini?'' demikian kata Ciu Hou. "Mungkin dia mulai insaf dan menyesal maka mau melepas kita. Saudara Kim ada beberapa patah kata ingin kusampaikan. Setelah kalian keluar dan setelah kepandaian kalian pulih, permusuhan dengan sibaju perak itu rasanya juga harus dihapus sampai disini saja, tak usah kau mengejar jejak pembunuh itu lagi, urusan bunuh membunuh pasti tiada akhirnya dan kedua belah pihak pasti akan jatuh korban secara sia-sia, apakah faedahnya?" Naga hitam Kim Thay manggut-manggut, sahutnya. "Saudara Ciu, memang aku bermaksud demikian, ai, pengalaman hidup dalam lembah Kambing ini selama hidup ini takkan dapat kulupakan. Sekarang aku merasa semua sudah berubah, tidak seperti dulu watak ingin menang sendiri sudah padam dalam dadaku. Sejak saat ini kita sekeluarga terhitung lunas bermusuhan dengan pihak sibaju perak. Kelak asal dia tidak mencari perkara kepada kita, kita tidak akan menempurnya!" Ditempat sembunyinya Thian-ih mengangguk-angguk dan bersyukur dalam hati, ia berkeputusan untuk tidak mengunjukkan diri saja biar mereka keluar lembah dan pulang sen- diri-sendiri. Setelah sampai diluar lembah, dari kejauhan Thian-ih melihat ketujuh orang itu ambil perpisahan, seorang diri Ciu Hou putar keselatan menuju ke Kanglam. Sedang Naga hitam membawa anaknya menuju keutara. Tahu bahwa tenaga Ciu Hou belum pulih dan kuatir dia berjalan lambat, setelah sampai dijalan raya, Thian-ih lantas menyewa sebuah kereta terus dibedal kedepan waktu lewat dipinggir Ciu Hou tanpa banyak kata terus disambarnya saja tubuhnya lantas diseret masuk kedalam tenda kereta. Memang tenaga Ciu Hou belum pulih begitu diseret masuk kedalam kereta kejutnya bukan main, sedikitpun dia tidak mampu membela diri, setelah melihat Thian-ih baru dia merasa lega dan bersyukur. Didalam kereta inilah mereka menerangkan segala-galanya, dipesannya kusir kereta untuk menjalankan keretanya secepat mungkin. Didalam kereta itulah Thian-ih membantu penyembuhan Ciu Hou dengan tenaga dalamnya. Karena perjalanan jauh entah sudah berapa kali mereka ganti kareta, meskipun begitu juga telah banyak membuang waktu, waktu mereka hampir tiba di Hun-tai-san sudah tepat jatuh pada pertengahan bulan empat. Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo