Rahasia Si Badju Perak 15
Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 15
Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H Keruan gugup dan gelisah mereka berdua bukan main. Entahlah apakah Ki-san Tayhiap Ki Bing betul-betul menepati janjinya meluruk ke Hun-tai-san tidak. Untung hari itu seluruh tenaga dan Lwekang Ciu Hou sudah pulih kembali, tanpa menunggang kereta lagi segera mereka kembangkan Ginkang dan berlari secepat terbang. Jantung Thian-ih serasa sudah hampir melonjak keluar dari rongga dada. Setelah melewati jembatan tali gantung itu, lantas Ban-keh-seng-hud Ciu Hou merasakan firasat jelek. Dipesannya Thian-ih supaya tidak menerjang masuk secara gegabah, mungkin saat itu Hun-tai Siancu dengan Ki-san Tayhiap sudah saling gebrak, kedua belah pihak adalah tokoh silat kelas wahid, waktu berhadapan mengadu kepandaian sekali-kali pantang diganggu atau direcoki sehingga kaget. Maka sambil berjinjit kaki berdua mereka memasuki Hun-tiong-khek, dari luar samar-samar telah terdengar suara beradunya senjata tajam serta terlihat berkelebatnya sinar pedang yang berkeredepan. Saking gelisah Thian-ih bersiap menerjang masuk hendak membantu ibunya, untung Ban-keh-seng-hud Ciu Hou keburu mencegahnya, katanya dengan nada berat. "Thian-ih, jangan sembrono, bila ibumu melihat kau sedikit meleng atau terpencar perhatiannya mungkin akan mengalami bencana, betapapun kita harus hati-hati bertindak............" Sambil berkata-kata lirih itu mereka sudah tiba diambang pintu Hun-tiong-khek, tampak seorang perempuan dengan membekal sebilah pedang panjang berpakaian serba putih berdiri tegak membelakangi pintu, dia bukan lain adalah murid Hun-tai Siancu Cia In-hun adanya. Tampak wajah Cia In-hun pucat pasi, air mata berlinang di kelopak matanya, begitu melihat kedatangan Thian-ih bersama Ciu Hou segera ia datang menghampiri lalu memberitahu dengan suara tertekan. "Sudah bertempur selama dua hari tiada yang kalah atau menang, babak pertama mengadu Lwekang, lalu ilmu pukulan dan Ginkang, sekarang sedang menjajal senjata rahasia dan babak terakhir nanti adalah mengadu ilmu pedang. Aku sangat kuatir, tidak berani bersuara juga tidak bisa turun tangan membantu. Terpaksa aku menonton saja disini seorang diri, sekarang kalian telah tiba cobalah cari daya upaya untuk melerai mereka!" Sementara itu Thian-ih dan Ciu Hou sudah melihat di tengah pelataran Hun-tiong-khek sana Hun-tai Siancu tampak mengenakan pakaian ringkas yang agak pendek, tangannya membekal pedang dan tengah menempur seorang laki-laki pertengahan umur dengan serunya. Memang Kit-san Tayhiap Ki Bing buntung sebelah lengan kirinya, lengan bajunya yang panjang melambai-lambai tertiup angin, sedang tangan kanan menyekal sebilah pedang yang berkilauan menyilaukan mata. Tatkala mana dalam gelanggang tengah bertempur dengan sengitnya, masing-masing memusatkan segala daya upaya serta semangat dan perhatiannya untuk mengalahkan musuh, sedikitpun mereka tidak hiraukan siapa-apa yang telah datang ke tempat gelanggang pertempuran ini. Terlihat Hun-tai Siancu mengacungkan batang pedangnya keatas, dibarengi dengan sinar pedang yang berkilauan itu beruntun ia menusuk beberapa kali, jurus serangan semacam ini sungguh sangat ganas dan aneh serta cepat luar biasa. Tapi kepandaian Ki-san Tayhiap Ki Bing ternyata juga bukan olah-olah hebatnya, meskipun hanya berlengan satu, tapi pedang ditangan kanannya itu bergerak sedemikian lincah dan hebat juga, tampak dengan jurus Tok-pi-hoa-san (lengan tunggal membelah gunung Hoa) pedangnya membacok turun dari atas, namun sampai ditengah jalan mendadak ia rubah pula dengan jurus Tong-cu-pai-hud (anak kecil menyembah Budha), gerakan dari atas kebawah lalu menyontek ke atas lagi ini sekaligus telah memunahkan serentetan serangan Hun-tai Siancu yang hebat itu, maka terdengarlah berdentingnya suara senjata beradu sehingga memercikkan lelatu api, dari gerak adu kekuatan dan kelincahan ini jelas sekali bahwa Lwekang dan kepandaian silat kedua belah pihak sama-sama kuat dan setanding, sukar ditentukan siapa menang dan asor. Begitulah gebrak selanjutnya terus terjadi serang menyerang dengan serunya, sekejap mata saja dua puluhan jurus telah lewat. Terlihat sinar dan hawa pedang telah berkelebatan menyambar-nyambar membumbung tinggi, lapat-lapat terdengar suara guntur diantara deru angin yang keras, nyata bahwa pertempuran kali ini sudah mencapai puncak yang paling dahsyat dan susah dipisahkan lagi. Sekonyong-konyong terlihat sinar pedang Hun-tai Siancu melesat tiba memotong dengan sebuah gerak bundaran terus langsung menusuk ke arah dada. Ki Bing berkelit miring sambil melangkah maju setindak, terpaut serambut saja pedang lawan hampir mengenai tubuhnya. Bertepatan dengan inilah Hun-tai Siancu melesat lewat dari sampingnya, mendadak menggunakan ketika badan mereka berdekatan ini, kedudukan kakinya ia robah melintang miring terus sengaja menumbuk tubuh lawan. Betapapun Ki Bing tidak mengira kalau lawan dapat bergerak begitu lincah, kedudukan kakinya menjadi sedikit goyah, dimana sebelah kakinya terhuyung maju ke kanan tinggal kaki kiri yang menumpang seluruh tubuh, ia berusaha membalikkan ujung pedangnya untuk menyodok ke belakang. Tapi menggunakan kesempatan sedikit goyah kedudukan kakinya itu Hun-tai Siancu sudah kembangkan ilmu pedangnya sampai berpetakan sekuntum bunga pedang terus memapas kearah lengan kanan yang menyelonong ke belakang ini. Lengan kiri Ki Bing sudah buntung jadi lengan baju kirinya itu kosong dan melambai-lambai, sedikitpun tiada kesempatan untuk membantu mengganti posisi atau menggunakan tenaga. Apalagi gerak jurus tangan kanan ini juga telah dilancarkan penuh dan sukar ditarik pulang atau dirubah lagi, dalam keadaan yang gawat itulah, terlihat betapa lihay dan kenyataan bahwa Ki-san Tayhiap yang kenamaan sebagai tokoh silat kelas wahid bukanlah omong kosong belaka. Dalam menghadapi bahaya sedikitpun dia tidak menjadi gugup, ujung pedangnya mendadak menyelonong tiba terus membacok miring memapas ke belakang batok kepala Hun-tai Siancu. Tepat sekali memotong ikat kepala diatas sanggul Hun-tai Siancu, dimana angin pegunungan menghembus keras, seketika rambut panjang Hun-tai Siancu jatuh terurai dan melambai-lambai. Meskipun agak terkejut Hun-tai Siancu tidak menjadi gugup, gerak pedang menjadi sedikit lambat terus menyontek miring keatas. "bret" Pedangnya juga berhasil memapas ujung jubah Ki Bing. Tanpa berjanji lagi mereka berdua lantas loncat mundur kebelakang. Saat inilah yang memang dinantikan oleh Ciu Hou dan Thian-ih, tapi belum sempat mereka berteriak, gerak langkah Ki-san Tayhiap ternyata begitu enteng bagaikan air mengalir dan awan mengembang, secepat kakinya menyentuh tanah tubuhnya terus menubruk tiba lagi, pedang panjangnya membacok miring melancarkan sebuah tipu aneh yang lain dari yang lain. Dimana mata pedangnya memapas lewat dari pinggir kuping Hun-tai Siancu mendadak merobah arah terus menukik membacok turun. Belum sempat Ciu Hou berseru kejut buru-buru telah ditelannya kembali kuatir mengganggu pemusatan pikiran Hun-tai Siancu. Terdengar Hun-tai Siancu membentak keras tubuhnya terjengkang kebelakang, lalu segesit tupai badannya meloncat keatas tepat pada waktunya ia menghindar diri dari serangan Ki Bing itu. Sungguh berbahaya dan sangat menguatirkan sekali. Sampai Ciu Hou dan lain-lain yang menonton dipinggiran mengalirkan keringat dingin. Begitulah setelah badan Hun-tai Siancu terapung ditengah udara waktu meluncur turun bak sekuntum bunga teratai, tanpa bersuara pedang panjangnya berkelebat berkilauan melindungi badan. Mendadak Ki Bing menyedot hawa dalam-dalam lalu menghardik keras, seluruh tenaganya dikerahkan diatas batang pedang terus diacungkan keatas. Saat mana badan Hun-tai Siancu tengah meluncur turun dan belum sempat menginjak tanah, terpaksa dia harus tekankan pedangnya untuk menangkis. Sekali ini, karena Ki Bing berada diatas tanah datar gampang meminjam tenaga, kedudukannya lebih kuat, maka begitu kedua pedang saling beradu, kontan pedang panjang Hun-tai Siancu kena terpental miring, posisinya sangat berbahaya. Belum sempat Thian-ih berseru kejut, situasi pertempuran ditengah gelanggang telah berobah lagi. Maklum bahwa dalam hal Ginkang Hun-tai Siancu sudah mencapai kesempurnaannya, badannya seenteng kapas selemas dahan pohon liu membarengi dengan meliuknya tubuh diatas udara itu, sebelah kaki kanannya menendang mengarah mata kiri Ki Bing. Ki Bing terkejut dan mengegos dengan gugup, namun tendangan susulan dari kaki kiri Hun-tai Siancu juga telah merangsang tiba secepat kilat. "Blang'' dengan tepat menendang pundak Ki Bing, sehingga ia terguling beberapa langkah keluar. Enteng sekali Hun-tai Siancu melayang turun dan hinggap ditanah, serunya. "Apakah perlu bertanding lagi?" Belum lagi Ki Bing menyahut, tiba-tiba Ban-keh-seng-hud Ciu Hou keburu berteriak. "Stop. Jangan diteruskan dan dengar penjelasanku.'' Ki-san Tayhiap Ki Bing melengak melihat kehadiran Ciu Hou ini. Sementara itu Hun-tai Siancu juga sudah melihat Thian-ih, seketika sepasang matanya memantulkan rasa kasih sayang yang mesra, teriaknya penuh perasaan sampai suaranya tersendat. "Anak Ih, kau sudah pulang?" Thian-ih segera maju sambil menyahut. "Ya, anak telah kembali, Bu, tuan ini........" Belum Hun-tai Siancu menjawab, Ciu Hou telah berkata. "Thian-ih, dia inilah Ki-san Tayhiap Ki Bing, lekas kau maju menghadap pada angkatan yang lebih tua." Thian-ih tertegun, ia ragu-ragu karena Ki Bing tadi bertempur melawan ibunya. Tapi disamping sana Hun-tai Siancu lantas membentak. "Anak Ih, betapa juga dia seorang angkatan tua yang gagah perwira, lekas menghadap pada paman Ki, jangan karena tadi dia telah bertempur dengan ibumu lantas kau lupakan adat kesopanan. Ketahuilah meskipun tadi kita bertempur sebagai musuh, tapi dia juga salah seorang sahabatku." Mendengar ucapan ibunya ini terpaksa Thian-ih maju memberi hormat serta sapanya. "Selamat bertemu paman Ki !" Ki Bing melenggong, tanyanya pada Hun-tai Siancu, "Jadi dia adalah putra dari perampok besar itu?" Ciu Hou segera menyelak . "Ki Bing, kau tak boleh berkata demikian, dia terima perintah ibunya untuk menghormat padamu, sebab kau adalah sahabat Hun-tai Siancu, mana bisa kau alihkan persoalan lain dalam hal ini. Apalagi kesalah pahaman kalian itu sudah tiba saatnya dibereskan. Biarlah kuberitahu padamu, aku paling jelas mengenai peristiwa itu. Dulu waktu kau mengutungi sebelah tanganmu itu, hakikatnya memang Hun-tai Siancu tidak tahu menahu, semua ini adalah gara-gara ayahnya Thio Thian-ki itu yang mengatur tipu daya." Bicara sampai disini ia menuding kearah Thian ih, lalu sambungnya. "Tapi sekarang Thio Thian-ki sudah meninggal, tidak seharusnya kau timpakan dosa-dosa almarhum kepada mereka yang masih hidup. Bukan saja tidak seharusnya kau salah paham terhadap Hun-tai Siancu, dendam sakit hatimu terhadap Thio Thian-ki juga harus dihapus !" Bicara sampai disini lantas Ciu Hou bercerita tentang bagaimana dengan tipu muslihatnya Thio Thian-ki telah mengejar-ngejar dan sampai berhasil mempersunting Hun-tai Siancu. Baru sekarang Ki Bing tersadar dan tahu jelas duduk perkaranya, lekas-lekas ia angkat tangan dan berkata kepada Hun tai Siancu. "Sekarang Ciu Hou sudah menjelaskan segala-galanya, sungguh aku sangat menyesal banyak tahun ini aku telah salahkan kau secara semena-mena betapapun kau harus memaafkan kecerobohanku ini?" Hun-tai Siancu tersenyum, sahutnya. "Bukan saja aku harus memaafkan kau, aku juga harus minta maaf kepadamu. Mengapa tidak, bagaimana juga Thio Thian-ki adalah suamiku, walaupun yang mengatur tipu muslihat mencelakai kau adalah dia, sebagai istri apa yang telah dibuat oleh suamiku aku harus mintakan maaf untuknya.'' lalu ia membungkuk tubuh memberi hormat sedalam-dalamnya kepada Ki Bing. Segala peristiwa dalam dunia ini paling ditakuti kalau salah paham semakin dalam, sekarang kesalah pahaman itu sudah dapat diatasi dan sudah dijelaskan duduk perkaranya. Secara gamblang dan berbesar jiwa, Hun-tai Siancu mau memintakan maaf akan dosa-dosa Thio Thian-ki almarhum, maka lega dan lapanglah perasaan Ki Bing, apalagi selama ini memang dia sangat menghargai Hun-tai Siancu, maka segera ia membalas hormat juga, ujarnya. "Hun-tai Siancu, kau juga tidak perlu minta maaf, yang harus disesalkan adalah kebodohanku, sampai sedemikian gampang aku kena pancing dan dipermainkan oleh Thio Thian-ki. Tapi kau sendiri juga telah kena dikelabui, seumpama kau tidak menikah dengan dia, kau takkan hidup kesepian mengasingkan diri di-puncak pegunungan sini menyia-nyiakan masa remajamu yang sangat berharga !" Hun-tai Siancu tersenyum getir, katanya. "Meskipun kita suami istri tidak dapat hidup rukun dan bahagia sampai dihari tua, tapi pertemuan kita ibu beranak ini sudah cukup menambal kesenangan hidupku dihari tua ini." Melihat Hun-tai Siancu masih mengukuhi pendapatnya dulu, Ki Bing menghela napas, katanya. "Betapapun kita ini sahabat lama, pengalaman hidup masing-masing menyerupai impian belaka. Untuk selanjutnya biarlah nama Ki-san Tayhiap ini terpendam ditelan masa, aku tidak akan muncul didunia ramai. Silakan, silakan!" Ciu Hou segera maju menarik Ki Bing, katanya dengan nada berat. "Tidak peduli perjodohanmu dengan Hun-tai Siancu telah dirusak dan dikacaukan oleh Thio Thian-ki. Tapi sekarang kalian sudah saling memaklumi dan saling maaf, persahabatan lama harus dipulihkan dan dijalin kembali. Jadi sekarang setelah mereka ibu beranak dapat berkumpul kembali, pertemuan yang menggembirakan ini harus dirayakan, mana bisa kau mau tinggal pergi begitu saja. Sedikitnya kau harus menginap beberapa hari disini, jangan kata lain persoalan, aku Ciu Hou terhitung kenalan kentalmu, apalagi setelah sekembalimu ini kau hendak memendam diri kapan kita dapat bertemu kembali, betapapun kau harus menunggu dan berkumpul gembira beberapa hari disini." Hun-tai Siancu juga lantas ikut bicara sambil tersenyum simpul. "Ki Bing, ucapan Ciu Hou memang benar, tinggallah beberapa hari disini, aku harus mengundang kau menikmati arak kegirangan.'' Ki Bing tertegun heran, tanyanya. "Apa kau mengundang aku minum arak kegirangan, siapa yang bakal menikah?" "Minum arak kegirangan anakku ini!" Kata Hun-tai Siancu sambil menuding Thian-ih. Ucapan Hun-tai Siancu ini bukan saja membuat Ki Bing tertegun, Thian-ih sendiri juga melengak kaget, katanya. "Ibu, aku sudah bersumpah sehidup semati dengan Li Hong-gi, lalu siapakah yang bakal kau ambil sebagai menantu?" Habis berkata ia melirik kearah Cia In-hun. Menurut dugaan Thian-ih, pastilah Hun-tai Siancu menjodohkan Cia In-hun kepadanya. Siapa tahu diluar sangkanya terdengar Hun-tai Siancu tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya. "Anak Ih, maksud hatimu masa aku tidak dapat menyelaminya!" "Ketahuilah bahwa paman To telah bersusah payah mewakili kau mengundang datang Nona Li kemari, juga murid tunggal ayahmu itu sudah diajak kemari pula !" Demikian Hun-tai Siancu memberi keterangan. Lalu ia berpaling ke-arah Cia In-hun dan berkata lagi. "Silakan mereka keluar untuk menghadap pada Ki dan Ciu dua locianpwe." Tak lama kemudian pandangan Thian-ih terasa terang terbelalak, tampak dengan langkah yang gemulai selemas dahan pohon liu Li Hong-gi berjalan keluar sambil menunduk malu-malu. Di belakangnya ikut keluar Hi Si-ing, tapi sekarang berwajah terang tidak seperti orang gila lagi. Tak tertahan lagi segera ia mengajukan pertanyaan. "Apakah ibu yang menyembuhkan penyakit Hi Si-ing itu?" Hun-tai Siancu menggeleng kepala, sahutnya. "Masa aku ada kemampuan itu, paman To-mu itu yang menyembuhkan!" Segera Thian-ih bertanya lagi. "Lalu dimana sekarang paman To, belum lama anak berpisah dengan dia, masakan sudah begitu banyak urusan yang telah dikerjakan!" Hun-tai Siancu tersenyum geli, ujarnya. "Selamanya memang dia bekerja secara misterius, ini tidak perlu diherankan lagi. Sekarang dia tengah menuju ke Bo-toh mewakili aku mengundang Nisi kecil kemari, menurut perhitungan dalam jangka tiga hari ini pasti mereka sudah tiba di- sini." Segera terbayang dalam benak Thian-ih akan gadis berkabung yang membawa kayu perabuan itu. Sebab wajahnya seperti pinang dibelah dua mirip betul dengan Li Hong-gi, maka tanyanya lagi. "Bu, buat apa kau undang dia kemari, bukankah dia ............" Sampai disini ia ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Lagi-lagi Hun-tai Siancu terkekeh tawa, ujarnya. "Ada sesuatu hal yang tidak kau ketahui, justru karena perbuatan ayahmu semasa hidup itu, aku sebagai istrinya harus berusaha untuk menyelesaikan dan menghimpas semua dosa yang tertunggak selama ini, supaya tidak terlalu berlarut dan mempengaruhi angkatan muda yang akan datang. Walaupun Nisi Kecil itu jauh-jauh meluruk datang kemari hendak menuntut balas terhadap ayahmu, namun terhadap kau dia pernah mengulurkan tangan melindungi jiwamu, apalagi anak ini juga harus dikasihani, aku berhasrat mengambilnya sebagai putri angkatku, untuk menuntunnya kearah jalan yang benar supaya tidak menimbulkan bibit bencana bagi masyarakat." Mendengar penjelasan cara penyelesaian ini, sungguh girang Thian-ih bukan kepalang, serunya riang. "Bu, cara penyelesaian begini adalah yang paling tepat, hanya aku kuatir Nisi kecil terlalu mengukuhi akan dendam sakit hatinya, dan tidak mau menurut." Hun-tai Siancu tersenyum welas asih, katanya. "Aku menghadapinya dengan kejujuran hanya dengan kejujuranlah dapat menundukkan orang, kupikir Nisi kecil itu sangat pintar tentu dia dapat membedakan antara buruk dan baik, kau tunggu dan lihatlah perkembangannya." Sikap Hun-tai Siancu yang halus dan welas asih penuh pengertian ini bukan saja membuat Thian-ih tunduk, para hadirin yang lain juga merasa terharu akan kebaikan hatinya. Terutama Ki-san Tayhiap Ki Bing lebih menyesal dan terketuk sanubarinya akan sepak terjangnya tadi yang berangasan, maka segera ia berkata dengan penuh ketekadan. "Hun-tai Siancu, kita adalah sahabat lama, selama ini aku belum pernah menghadapimu secara terhormat. Sekarang biarlah aku membayar hutang-hutangku itu bagaimana?" Hun-tai Siancu tersenyum, sahutnya. "Hakikatnya kau tidak membuat kesalahan apa-apa terhadap aku, kalau terjadi pertempuran tadi itu karena kesalah pahaman, tidak perlu kau menghukum dirimu sendiri." "Sungguh aku bersyukur akan jiwamu yang besar dan bijaksana ini." Demikian kata Ki Bing. "Tapi hari pernikahan Thian-ih sudah diambang pintu, biarlah aku yang menjadi orang tua bersenang-senang, mengundang para sahabat dunia persilatan yang sealiran untuk ikut merayakan pernikahan ini, bagaimana pendapatmu." Ciu Hou segera ikut bicara. "Pernikahan Thian-ih ini adalah urusan besar memang seharusnya dirayakan secara besar-besaran. Supaya semua sahabat di dunia persilatan mengetahui meskipun Thian-ki dulu bejat dan banyak dosanya, tapi anak istrinya adalah dari aliran lurus yang gagah perwira, dapat membedakan antara benar dan buruk, sekaligus kita dapat mencuci pandangan dan pendengaran umum." Pertandingan silat antara Hun-tai Siancu dan Ki-san Tayhiap Ki Bing ini merupakan pertandingan silat tingkat tinggi yang jarang terjadi selama puluhan tahun akhir-akhir ini hidup atau mati dapat ditentukan dalam satu gebrakan saja dan susah diduga. Cia In-hun sendiri selama ini sangat menguatirkan keadaan Hun-tai Siancu. Sekarang setelah damai dan suasana diliputi persahabatan yang akrab keadaan menjadi tenang dan menyegarkan badan. Terutama terlihat Thian-ih dan Li Hong-gi duduk di pinggiran sana penuh mesra kasih. Hati kecilnya menjadi girang-girang duka. Girang karena gurunya sudah rujuk kembali dengan musuh besar serta sahabatnya, juga duka karena sampai saat itu hari depannya masih terkatung-katung, sebelum ini besar harapannya dirinya bisa menikah dengan Thio Thian-ih. Tapi sekarang tambatan hatinya itu sudah bakal menjadi menantu keluarga Li, tiada harapan lagi bagi dirinya dalam soal perjodohan ini, tak tertahan lagi air mata mengalir deras saking duka. Mendadak terdengar Hun-tai Siancu berseru keras. "In-hun, kau tidak perlu berduka hari depanmu gurumu sudah mengaturnya dengan sempurna." Lalu dia panggil Hi Si-ing dan Cia In-hun menghadap berdiri berendeng di hadapannya, katanya penuh perasaan. "Hi Si-ing adalah murid tunggal suamiku almarhum, sedang In-hun adalah murid tunggalku pula, usia kalian sembabat, yang pria gagah tampan, yang perempuan ayu jelita, merupakan pasangan yang setimpal dan cocok, kukira perjodohan ini dapat dirangkapkan." Mendengar dirinya bakal mempersunting istri demikian cantik, sungguh girang Hi Si-ing bukan kepalang seperti putus lotre beberapa juta, cepat-cepat ia berlutut menyembah kepada Hun-tai Siancu nyatakan terima kasih sebesar-besarnya. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekilas Cia In-hun melirik ke arah Si-ing, meskipun tidak setampan dan segagah Thian-ih, tapi juga seorang pemuda yang cukup ganteng dan mengenal cinta kasih. Diam-diam ia membatin. rasanya juga tidak sia-sia aku menikah dengan dia, maka ia juga berlutut dan menyembah di hadapan Hun-tai Siancu menyatakan terima kasih akan karunia ini. Suasana menjadi tambah semarak dan riang gembira. Terutama Hi Si-ing yang paling girang dapat mempersunting seorang istri yang cantik rupawan. Malam itu Hun-tai Siancu mengadakan perjamuan sekedar merayakan kabar gembira ini. Hari kedua, Ki Bing menulis puluhan undangan yang segera disebar mengundang tokoh-tokoh silat yang kenamaan di berbagai tempat. Tiga hari kemudian, dibawah gunung Hun-tai-san mendatangi sebuah kereta gandeng yang reyat-reyot mendaki ke atas puncak, orang yang berjalan di depan kereta ternyata bukan lain adalah To Yung adanya. Kebetulan Cia In-hun dengan calon suaminya Hi Si-ing sedang iseng dan tamasya melihat-lihat pemandangan dan mencari angin, dari kejauhan segera mereka berteriak memanggil. "Paman To." Hi Si-ing juga segera berlari menghampiri. Waktu sudah dekat begitu ia melihat di atas kereta duduk seorang gadis yang cantik bak bidadari berwajah mirip benar dengan Li Hong-gi, ia menjadi kesengsam dan heran serta garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, tanyanya keheranan kepada Cia In-hun. "Bukankah nona Li tadi berada dirumah? Bagaimana bisa dia datang dari bawah gunung ?" Belum lagi Cia In-hun menjawab, terdengar To Yung sudah bergelak tertawa terpingkal-pingkal, katanya. "Si-ing, coba kau lihat tegas, siapakah dia?" Dengan cermat dan seksama Si-ing dan In-hun melihat lebih tegas lagi, namun masih belum dapat membedakan, siapakah dia sebetulnya. Tapi dari gerak gerik To Yung yang melucu itu sedikit banyak mereka sudah dapat menduga bahwa gadis diatas kereta ini pasti bukan Li Hong-gi adanya. Melihat kedua muda muda ini berdiri melongo saja, baru To Yung memberi penjelasan. "Dia adalah Nisi kecil itu. Lekas kalian laporkan kedatangannya kepada Hun-tai Siancu, katakan bahwa aku berhasil mengundang Nisi kecil kemari!" "O, kiranya Nisi kecil." Cia In-hun berjingkrak girang terus putar tubuh lari sekencang-kencangnya bergandeng tangan dengan Hi Si-ing, memberi laporan kepada Hun-tai Siancu. Tak lama kemudian semua orang sudah sampai di Hun-tiong-khek. Pertama-tama Thian-ih yang menyambut diluar pintu. Begitu melihat kehadiran Thian-ih ini, kontan Nisi kecil tertegun dan berdiri melongo. To Yung tertawa besar, serunya. "Aku tidak ngapusi kau bukan!" Nisi kecil membalasnya dengan senyuman manis terus loncat turun dari atas kereta untuk bertemu dengan Thian-ih. Setelah memberi hormat segera Thian-ih berkata. "Ibuku sudah menanti dikamar belakang, masih ada lagi Ciu Hou dan Ki Bing dua Locianpwe juga berharap bertemu dengan kau." Lalu dia berjalan didepan membawa Nisi kecil keruang belakang. Dalam pada itu Hun-tai Siancu, Ki Bing dan Ciu Hou juga sedang berjalan keluar menyambut, terutama Hun-tai Siancu dengan kasih sayang segera ia genggam kedua tangan Nisi kecil serta katanya welas asih. "Nak, perjalanan yang jauh ini tentu melelahkan sekali." Waktu Nisi kecil masih berada di Bo-toh, To Yung sudah menjelaskan asal-usul serta serangkaian usahanya yang melerai permusuhan dendam sakit hati yang ditanam oleh suaminya, maka begitu mendengar ucapan Hun-tai Siancu yang halus penuh kasih sayang, seketika ia teringat akan ayah bundanya, tak tertahan lagi airmata mengalir deras. Hun-tai Siancu menghela napas panjang, lalu katanya berpaling kearah To Yung. "Apakah kau sudah jelaskan maksud hatiku kepadanya?" "Aku sudah menjelaskan kepada Nisi kecil," Sahut To Yung. "Dan lagi dia sudah tahu bahwa Thian-ih ternyata adalah putra tunggalmu." Sebelah tangan Hun-tai Siancu menyekal pergelangan tangan Nisi kecil sedangkan tangan yang lain menyekap lengan Thian-ih, katanya kepada Nisi kecil dengan suara haru tersendat. "Balas membalas tentu tiada akhirnya, dendam sakit hati dari angkatan tua biarlah dibawa ke liang kubur oleh mereka, kalian dari angkatan muda biarlah angkat saudara di hadapanku saja. Nisi kecil, aku dapat menganggapmu sebagai putri kandungku sendiri. Apalagi aliran agamamu diluar perbatasan itu hakikatnya bukan bersumber dari aliran yang lurus, kembalilah ke jalan benar dan pelajarilah ilmu sejati dari golongan lurus." Nisi kecil manggut-manggut sambil berlinang air mata, sahutnya. "Dapat berjumpa dengan kau orang tua, benar-benar merupakan keberuntungan Siau-li (aku) yang besar. Seakan menyingkap kabut, aku melihat langit yang terang, besar benar rejekiku ini." Sungguh girang Hun-tai Siancu hari ini, susah dilukiskan dengan kata-kata, segera ia duduk di kursi kebesarannya menerima sembah sujud dari Nisi kecil. Sejak saat itu ia ketambahan seorang putri angkat. Demikian juga segera Thian-ih bersama Li Hong-gi maju memberi selamat kepada Nisi kecil. Baru sekarang Nisi kecil berkesempatan melihat wajah Li Hong-gi yang benar-benar mirip dengan wajahnya. Maka dia membatin dalam hati; tak heran Thian-ih pernah kesalahan mengira aku adalah calon istrinya ini. Beberapa hari kemudian, para tokoh-tokoh silat kenamaan yang diundang sudah berduyun-duyun berkunjung keatas Hun-tai-san, untuk mengikuti perjamuan pernikahan Thian-ih dengan Li Hong-gi serta Hi Si-ing dengan Cia In-hun. Kalau semua hadirin bergembira makan minum dengan riangnya, adalah So Hoan di sebelah sana tiada selera menyikat hidangan didepannya. Kiranya sejak pertemuan pertama kali dulu serta pengalamannya didalam gedung bobrok diatas Gun-u-ling itu, siang-siang hatinya sudah tertambat oleh Thian-ih, diam-diam ia sudah berkeputusan dalam hati untuk menikah dengan dia. Tapi sekarang pemuda pujaannya menjadi suami Li Hong-gi, bahwasanya hati perempuan rada dengki dan jelus, belum perjamuan selesai dengan alasan mabuk arak diam-diam ia tinggalkan perjamuan. Setelah perjamuan bubar baru diketahui dia tengah menangis di belakang pohon diluar sana, menangis karena cintanya tidak terbalas. Terpaksa So Tiong harus membujuknya dengan susah payah. Beberapa hari kemudian sejak pernikahan itu, Thian-ih menghadap ibunya dan mengutarakan maksudnya hendak mengembalikan kedua butir mutiara yang dicuri oleh To Yung dari gudang harta di istana raja itu, langsung diserahkan kepada petugas Bhayangkara di kotaraja serta dijelaskan duduk perkara sebenarnya. Maka sejak hari itu setelah semua perkara dapat dibereskan, karena terbukti tidak bersalah Lim Han dilepas keluar dari penjara. Karena dengan rela hati Thian-ih mau menyerahkan kembali barang-barang pusaka, atas kebijaksanaan sang Raja segera Thian-ih dianugrahi sebuah pangkat Bhayangkari kelas satu tituler, serta memberikan piagam penghargaan. TAMAT. Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo