Rahasia Si Badju Perak 8
Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 8
Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H Entah kapan baru dapat kembali lagi setelah bepergian kali ini, demi menghindari diri dari penangkapan. Sebelum berangkat ia harus minta diri kepada ensonya Liu-si. Tapi Hong-gi keburu telah bicara. "Tidak usah, enso menyuruh kita segera berangkat, dia suruh kau waspada dan menjaga diri, tak usah kuatir akan keadaan dirumah." Thian-ih merasa hampa, sekilas ia melirik kearah Hong-gi, terlihat orang telah berganti pakaian mengenakan celana panjang yang ringkas dan leluasa untuk naik kuda, kepalanya juga sudah memakai topi rumput yang besar, terang dia juga sudah siap melakukan perjalanan jauh. Tanya Thian-ih. "Apa kau bisa menunggang kuda? Perjalanan sedemikian jauh apa kau kuat bertahan?" Hong-gi tersenyum, sahutnya. "Meskipun aku tidak pandai silat, sejak kecil aku sudah belajar menunggang kuda dibelakang kebon rumahku dulu !" Nadanya ringan penuh semangat dan kepercayaan. Thian-ih tertawa getir, berkelana tanpa tujuan membawa serta wanita secantik bidadari, bukan saja membuat orang-orang sepanjang jalan ngiler dan sirik, malah mungkin terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Betapapun tubuhnya yang lemah itu takkan kuat menahan terik matahari dan hujan angin. Sekali jatuh sakit susahlah dibayangkan akibatnya. Apalagi kalau pasukan Bhayangkara itu mengejar tiba, bertempur atau melarikan diri dengan adanya dia ikut serta pasti kurang leluasa. Hong-gi cerdik dan cermat, tahu dia apa yang tengah Thian-ih pikir dan kuatirkan. Bola matanya berputar lantas katanya sambil merengut. "Koko, kalau kau tidak mau bawa aku biarlah pasukan Bhayangkara itu datang meringkus aku. Tegakah kau membiarkan aku meringkuk dalam penjara ?" Apa boleh buat terpaksa Thian-ih harus berpikir panjang, tujuan utama perjalanan kali ini adalah Ho-bwe-pang di Kanglam, maka segera ia ayun cambuknya bersama Hong-gi mulai melakukan perjalanan ke selatan. Tidak mengherankan lagi, kecantikan Hong-gi yang luar biasa ini telah menarik perhatian orang-orang di sepanjang jalan. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti pencegatan tokoh-tokoh penjahat semacam Go Hong tempo hari, Thian-ih mengusulkan supaya Hong-gi mengenakan pakaian laki-laki saja. Memang dengan pakaian laki-laki ini mereka dapat mengelabui orang. Sejak hari itu mereka melakukan perjalanan sebagai kakak beradik. Hari itu mereka menginap dalam sebuah hotel. Dilihatnya seluruh tubuh Thian-ih penuh kotoran debu, sebaliknya dirinya masih putih bersih, diam-diam ia merasa heran, teringat olehnya bukankah kedua mutiara mestika itu telah dikembalikan kepada Lim Han, lalu dari mana dan mengapa dirinya sekarang masih dapat menolak kotoran debu itu. Ini benar-benar aneh, waktu diperiksa buntalannya dan seluruh tubuh kudanya juga bersih tanpa tertempel sedikit debu pun. Karena heran diam-diam ia memberi tahu kepada Thian-ih, segera mereka mencari dan menggeledah seluruh perbekalan dan semua yang terbawa termasuk baju yang dipakainya, tapi kedua mutiara itu masih tidak diketemukan. Hari kedua waktu berangkat, tanpa sengaja Thian-ih melihat Hong-gi masih mengenakan anting-anting, Thian-ih tertawa geli ujarnya. "Dik, coba lihat memang kau ini terlalu ceroboh, sudah berpakaian laki-laki tapi tidak mencopot anting-anting, pasti semua orang yang melihatmu akan terheran-heran." Hong-gi terkikik geli juga, cepat ia tanggalkan kedua anting-antingnya, waktu ditimang-timang ia menjadi heran dan mengawasi kedua anting-antingnya itu dengan kesima, serunya kejut. "Koko, lihatlah, bukankah ini kedua butir....................." Sadar telah kelepasan omong cepat-cepat ia telan kata-kata selanjutnya. Thian-ih mengulur tangan menyambuti, memang kedua butir mutiara mestika itulah yang telah diporotkan menjadi permata kedua anting-anting itu. Diam-diam ia heran dan curiga. Terang kalau kedua butir mutiara itu telah diserahkan kepada Lim Han, lalu siapa pula yang mengembalikan dan diganti dengan permata anting-anting Hong-gi. Siapakah yang telah berbuat demikian usil? Mungkinkah si baju perak yang misterius itu, kalau benar dia lalu apa lagi maksud tujuannya ? Kini setelah dapat menemukan kedua mutiara mestika ini, dirinya sudah kadung menjadi pelarian, bagaimana juga tak mungkin menyerahkannya ke kota raja. Terpaksa setelah kembali dari Kanglam, barulah dititipkan orang untuk menolong Lim Han dari penjara. Hari itu mereka sampai di Yang-ciu, terpaut dari markas besar Ho-bwepang tidak jauh lagi, karena terburu nafsu melanjutkan perjalanan Thian-ih kehilangan kesempatan untuk menginap, kini hari sudah hampir petang, mereka masih dipertengahan jalan, entah adakah tempat penginapan di depan sana. Untung sepanjang jalanan ini agak sepi, mereka dapat membedal kuda secepat terbang. Sepeminuman teh kemudian dari kejauhan tampak disebelah kiri jalan didepan sana pintu gerbang sebuah perkampungan, cepat-cepat mereka keprak kuda menuju kesana. Pintu gerbang ditutup rapat, segera Thian-ih maju mengetok pintu dan minta menginap satu malam. Sipenjaga pintu segera berlari masuk memberi lapor. Sambil menunggu Thian-ih angkat kepala dilihatnya diatas pintu gerbang terpancang papan nama besar yang bertuliskan empat huruf emas yang gede-gede, samar-samar dikeremangan malam itu ia membaca "Hong-kiam-san-cheng'' empat huruf tulisan kuno. Thian-ih terkejut, serunya. "Ternyata perkampungannya Kwi-loya !" Hong-gi tidak tahu siapakah Kwi-loyacu itu. Maka Thian-ih menerangkan, Kwi-loyacu ini bernama Kwi Chun, semasa mudanya bekerja sebagai Popiau pada suatu perusahaan expedisi di Kanglam, namanya sudah menggetarkan kalangan Persilatan, pedang panjang dan senjata rahasia yang dinamakan buntut kalajengking belum pernah menemui tandingannya, selama tigapuluh tahun belum pernah terkalahkan, tak heran perusahaannya itu sedemikian besar sampai selatan dan utara sungai besar, relasinya tersebar dimana-mana, maka dikalangan persilatan dia diangkat sebagai ketua dari organisasi expedisi diseluruh daerah Kanglam, karena mengagumi kepandaiannya itu para sahabatnya memberi julukan Thi-piat-kim-liong (naga mas berpunggung besi). Pada usia enampuluh tahun Kwi Chun menanggalkan pedang mengundurkan diri dari dunia persilatan, secara besar-besaran ia umumkan pengunduran dirinya ini kepada semua golongan dan aliran silat seluruh negeri, bahwa untuk selanjutnya dia tidak akan turut campur lagi segala urusan tetek bengek dunia persilatan. Sudahlah jamak bagi kaum persilatan yang hidup dengan sesuap nasi dari penghasilan mengantar barang menanam permusuhan dengan para penjahat, dan akhirnya mereka pasti mengalami banyak keributan dan hidup tidak tentram pada hari tuanya. Apalagi seperti Kwi Chun yang namanya sedemikian disanjung puji sebagai tokoh yang diagungkan, maka pengunduran dirinya itu dianggap tepat dan cerdik. Tengah Thian-ih memberi keterangan, penjaga pintu sudah keluar lagi dengan seorang laki-laki, tapi bukan tuan rumah sendiri. Orang ini menyilahkan Thian-ih berdua masuk. Tampak Thi-piat-kim-liong tengah menanti kedatangannya di ruang tamu yang besar. Setelah saling memperkenalkan diri, dengan seksama Kwi Chun amat-amati Hong-gi yang berada disamping Thian-ih. Segera Thian-ih memperkenalkan. "Ini adalah Cu Bing-cu-hiante !" Takut konangan penyamarannya, Hong-gi segera membungkuk tubuh tanpa membuka suara. Secara lazimnya Thian-ih mengucapkan terima kasih akan kesediaan tuan rumah yang sudi menerima kedatangannya. Kwi Chun hanya ganda tersenyum saja sambil suruh pelayan menyediakan kamar dan segala keperluan. Meskipun dengan ramah ia layani tamunya tapi air mukanya mengunjuk adanya ganjalan hati yang tengah merisaukan benaknya, keningnya selalu berkerut seakan ada sesuatu urusan besar yang tengah dipikirkan. Selagi mereka asyik bicara seorang dayang tiba-tiba melaporkan. "Loya, nona jatuh pingsan lagi, Hujin minta Loya segera masuk." Kwi Chun mengulapkan tangannya, katanya tidak sabaran, "Katakan kepada Hujin suruh dia menyiapkan segala keperluan. Buat apa aku mesti masuk melihat dia meninggal secara mengenaskan begitu!" Thian-ih segera berdiri memberi hormat serta ujarnya. "Kami tidak tahu kalau nona sedang sakit, maaf kalau kedatangan kita ini terlalu mengganggu, silakan paman masuk aku dan Cu-hiante hanya menginap semalam saja, besok pagi-pagi segera melanjutkan perjalanan.'' Kwi Chun menghela napas panjang, katanya. "Thio hiantit, kalau tidak kujelaskan sikap Lohu yang tidak genah ini pasti menimbulkan salah paham kalian dianggap aku sengaja menyepelekan kalian.'' Selang sesaat berkatalah Kwi Chun lebih jauh sambil tertawa getir. "Lohu sudah berusia enampuluh tahun dan hanya dikaruniai seorang anak perempuan, sungguh tak beruntung seminggu yang lalu dia terserang penyakit aneh yang susah diobati, jiwanya sudah diambang pintu akhirat, hatiku menjadi risau........" Tak tertahan lagi segera Thian-ih bertanya. "Entah nona terserang penyakit apa, masa tiada obat mujarab untuk mengobatinya." Sahut Thi-piat-kim-liong menghela napas. "Entah aku ini dulu pernah berbuat dosa apa, penyakitnya itu adalah bisul berbisa. Menurut kata tabib yang memeriksa bahwa selain ada Le-hwe-po-cu yang dapat menyedot bisa dan menyembuhkan luka, kasiatnya sangat mujarab tiada obat lain lagi. Tapi mutiara mestika sedemikian ..........ai!" Tanpa merasa Thian-ih dan Hong-gi saling pandang, sungguh tak nyana didunia ini ada urusan yang sedemikian kebetulan, bukankah Le-hwe-po-cu yang dikatakan itu kebetulan berada pada Hong-gi. Terdengar Kwi Chun berkata lagi. "Kupernah dengar cerita orang katanya di istana raja ada sebutir mutiara mestika itu, selain butir itu kemana pula harus dicari. Gadisku itu tahun ini berumur delapanbelas belum ditunangkan, siapa nyana terserang penyakit jahat begitu, kelihatannya tiada harapan lagi...... Tuhan, oh, Tuhan. Aku Kwi Chun selamanya berlaku lurus dan bijaksana, mengapa pada hari tuaku ini mendapat pembalasan yang tidak adil ini?" Tak tertahan lagi Thi-piat-kim-liong yang sudah tua ini menangis sesenggukan terbawa oleh perasaannya yang sedih dan pilu. Sekilas Hong-gi melirik kearah Thian-ih, Thian-ih sedikit mengangguk, Hong-gi lantas berkata lantang. "Paman Kwi tak perlu susah, kebetulan siautit juga membawa serta Le-hwe-pocu, kalau memang manjur marilah kita coba-coba." Meskipun berpakaian laki-laki namun suara Hong-gi masih kecil melengking, Kwi Chun menyangka pendengarannya yang salah, cepat-cepat ia bertanya. "Apa, dimana Le-hwe-pocu itu?" "Paman," Sahut Thian-ih. "Mungkin sudah takdir, Cu-hiante kebetulan membawa mutiara yang diperlukan itu, kalau memang manjur kasiatnya lekaslah dicoba saja." Saking kegirangan Kwi Chun sampai berjingkrak, serunya sambil menggenggam tangan Hong-gi. "Cu-hiantit, apa betul kau punya mutiara itu?" Matanya berlinang-linang sambil menatap wajah Hong-gi. Hong-gi merasa tangannya kesakitan, tersipu-sipu ia manggut-manggut. Kwi Chun tertawa keras, teriaknya sambil menarik Hong-gi. "Cu-hiantit marilah kau tolong jiwa gadisku, lekas ikut aku." Thian-ih tetap tinggal dalam ruangan itu ditemani pembantu rumah tangga Kwi Chun. Sementara itu Hong-gi terus ditarik masuk keruang belakang, sambil berjalan Kwi Chun berkaok-kaok . "Kabar baik, kabar baik, tuan penolong sudah datang, lekas beritahukan kepada Hujin!" Saking keras dan cepat tarikan Kwi Chun, Hong-gi sampai terseret megap-megap masuk ke sebuah kamar, para pelayan perempuan segera menyingkir mengundurkan diri. Mereka tiba dalam sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar yang lain, diambang pintu mereka bertemu dengan seorang nyonya setengah umur, segera Kwi Chun memperkenalkan. Kiranya nyonya ini adalah istri Kwi Chun sendiri, cepat-cepat Hong-gi membungkuk tubuh memberi hormat sambil menyebutnya bibi. Sepasang mata Kwi-hujin mendelong mengawasi wajah Hong-gi, terang dia terpesona akan kecakapan dan gantengnya wajah yang putih halus ini. Hong-gi sampai kemalu-maluan diawasi sedemikian rupa. Dari dalam bajunya Hong-gi keluarkan mutiara mestika itu terus diserahkan kepada Kwi Chun katanya. "Mutiara yang terporot diatas anting-anting ini adalah Le-hwe-cu, bagaimana caranya penyembuhan ini, maaf Siautit tidak dapat mengerjakan. Sampai disini saja Siautit minta diri, biar kutunggu hasilnya nanti diruang depan sana." Habis memberi hormat terus hendak mengundurkan diri. Lekas-lekas Kwi Chun menariknya, katanya. "Cu-hiantit, nanti dulu!" Lalu ia berbisik-bisik sekian lama dengan Hujin. Hong-gi tidak tahu apa yang tengah mereka rundingkan. Hanya dilihatnya Kwi Hujin manggut berulang-ulang. Kwi Chun mengembalikan mutiara itu ke tangan Hong-gi serta katanya. "Hiantit, menurut keterangan tabib, Mutiara mestika ini cukup diputar-putar sekitar luka bisul itu pasti racunnya segera lenyap, cara ini sangat gampang, tabib juga menambahkan lebih baik kalau yang mengerjakan penyembuhan ini adalah orang muda, maka kami memberanikan diri minta Hiantit suka merepotkan diri." Tanpa menanti jawaban Hong-gi terus ditariknya masuk kedalam kamar. Dua pelayan dalam kamar itu segera mengundurkan diri, pintu ditutup dari luar. Dibawah penerangan sinar pelita tampak diatas ranjang celentang seorang gadis remaja yang bernapas empas-empis tinggal menunggu waktu saja. Hong-gi maju mendekat, dilihatnya kedua pipi gadis ini merah membara, matanya dipejamkan, wajahnya cukup cantik jelita, mungkin karena menahan kesakitan keningnya terkerut dalam, keadaannya diantara sadar dan tiada. Hong-gi kewalahan, sampai sedemikian jauh terpaksa dia harus turun tangan, pelan-pelan ia menyingkap kemul terus membuka pakaiannya, diperiksanya luka bisul dibawah pusernya, bisul sebesar mata uang itu sudah pecah dan mengalirkan darah hitam, sekitarnya merah dan melepuh, keadaan ini memang sangat menguatirkan. Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com Sesaat sebelum turun tangan, segera Hong-gi yang cerdik ini paham segala-galanya tentang maksud Kwi Chun suami istri, mengapa sedemikian besar kepercayaan mereka menyuruh dirinya yang turun tangan. Setelah bimbang sekian lama akhirnya ia mulai bekerja, memutar-mutar mutiara mestika itu disekitar luka bisul sampai beberapa kali. Benar juga warna merah disekitar bisul itu segera lenyap dan kembali berwarna putih seperti sedia kala. Hong-gi bekerja semakin hati-hati, putarannya semakin diperkecil disekitar bisul itu. Mutiara penahan api ini memang benar-benar sangat mujarab kasiatnya, pelan-pelan tapi pasti warna merah yang melepuh itu mulai kempes dan hilang, darah hitam mengalir semakin banyak, bisul berbisa itu juga rada kempes. Napas sigadis mulai teratur dan normal kembali. Sampai putaran yang terakhir darah hitam sudah terkuras semua. Bisul itu juga sudah sembuh kembali, terdengar ia mulai mengeluh dan menggerakkan badan, cepat-cepat Hong-gi membersihkan noda-noda darah, mengancingkan baju dan menutupi tubuhnya dengan kemul lagi. Pada saat itu juga kebetulan nona Kwi telah siuman begitu kedua pasang mata saling pandang, Hong-gi melihat sorot matanya itu mengandung rasa terima kasih tak terhingga, tapi tampak rada-rada malu. Hong-gi segera mundur mengetok pintu, panggilnya. "Paman dan bibi Kwi, penyakit nona sudah dapat disembuhkan, harap bukakan pintu, aku mau keluar." Hari kedua cuaca mendadak menjadi mendung dan hujan lebat. Ini malah kebetulan bagi Kwi Chun untuk menahan tamu-tamunya menginap semalam lagi dirumahnya. Sedemikian ramah dan kasih sayang pelayanannya terhadap Thian-ih berdua seakan anak kandung sendiri. Keruan Thian-ih berdua merasa risi dan tak enak hati, lambat laun mereka menyadari adanya sesuatu yang ganjil dibelakang tabir pelayanan yang istimewa ini. Diam-diam Hong-gi berkata kepada Thian-ih. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kalau kita tidak segera berangkat nanti pasti timbul urusan yang menyulitkan. Kuyakin Kwi-lothau pasti minta kau menjadi comblang." Thian-ih sengaja menggoda. "Baik sekali. Betapa gagah dan ganteng adikku ini, setelah semalam kau tolong jiwa nona Kwi, kalian sudah bersentuhan badan, sudah tentu harus minta aku menjadi comblang, biarlah nona Kwi itu dinikahkan dengan adik angkatku ini. Dan ini memang kebetulan, sanguku di perjalanan sudah habis, Kwi-loya ini kaya raya pasti persennya padaku tidak sedikit nilainya." Habis berkata ia bergelak tertawa sepuas-puasnya. Hong-gi merengut sambil membanting kakinya, omelnya. "Hatiku tengah gugup dan pepat, sebaliknya kau senang mempermainkan orang." Tengah mereka ribut berkelakar, seorang pelayan mengetuk pintu melaporkan bahwa majikannya minta Thio-kongcu keluar menemuinya. Thian-ih bangun sambil tertawa-tawa, ujarnya. "Bagaimana? Betul tidak, adegan ini sudah akan dimulai, tunggulah kedatanganku, tanggung ada kabar gembira bagimu." Saking jengkel dan gugup Hong-gi memburu hendak memukulnya sambil tertawa, dengan tenang saja Thian-ih membetulkan letak bajunya terus berlari keluar kamar, mengikuti pelayan itu menemui majikannya. Naga mas berpunggung besi sudah menanti kedatangannya di ruang tamu. Melihat Thian-ih datang, sambil tertawa berseri ia bangkit dan mengajak ngobrol sekadarnya, lambat laun mereka bicara ke persoalan pokok, mencari tahu riwayat hidup Cu Bing serta keadaan keluarganya. Thian-ih tertawa geli dalam hati, dengan wajar dan samar-samar saja ia menerangkan. Agaknya Kwi Chun sangat puas dengan pembicaraan tahap pertama ini, apalagi diketahui dari keterangan Thian-ih tadi bahwa Cu Bing belum pernah nikah dan belum punya tunangan, puaslah hatinya, akhirnya dengan menghela napas lega Kwi Chun bicara ke persoalan yang pokok. "Beruntung ada mutiara mestika yang dibawa Cu-hiantit itu baru anak gadisku dapat disembuhkan. Mutiara mestika itu betul-betul mujarab, begitu penyakitnya sembuh pagi ini dia sudah bisa makan bubur, baru saja Lohu pergi melihatnya, semangatnya sudah pulih kembali. Sejak kecil ia sudah belajar silat dan karena kesukaannya mengenakan pakaian putih, maka di kalangan Kangouw orang memberi julukan Pek-yan Kwi Tong-ing. Budak kecil ini sangat tinggi hati, orang biasa tidak akan masuk kedalam perhatiannya, maka meskipun ayu remaja sampai sekarang belum dapat menemukan jodohnya. Memang Tuhan sungguh Maha Pengasih dan sudah mengatur jalan hidup seseorang, secara kebetulan bertemu dengan Cu-hiantit..............." Naga mas punggung besi ini berwatak jujur dan polos, secara terang-terangan ia curahkan isi hatinya kepada Thian-ih. Bahwa penyakit bisul beracun Kwi Tong-ing itu tumbuh dibawah pusarnya, mendengar Cu Bing membawa mutiara yang dibutuhkan itu, pula melihat pribadi Cu Bing yang ganteng dan kenal sopan santun, timbullah keinginan mereka untuk mengambilnya sebagai menantu, maka sengaja menyuruh dia turun tangan sendiri menyembuhkan penyakit itu. Kenyataan sekarang penyakit anaknya sudah sembuh seluruhnya, jiwa raga anaknya bagaimana juga sudah menjadi milik Cu Bing. Anak gadisnya juga sudah setuju akan perjodohan ini, agaknya pasangan ini memang sangat cocok satu sama lain, maka diharap Thian-ih suka tolong merangkapkan perjodohan ini. Lalu dikeluarkan sebuah gelang batu Giok, katanya. "Kalau Cu-hiantit setuju harap dia suka terima gelang ini dan menukarnya dengan sebuah barang tanda mata sebagai ikatan perjodohan ini. Gelang ini adalah milik anakku yang selalu dipakainya, harap Ji-chengcu suka memberikan kepada Cu-hiantit..." Dengan keterangan yang panjang lebar ini disangkanya Thian-ih pasti setuju dan tiada persoalan lagi. Lahirnya Thian-ih memang tenang dan tertawa-tawa, namun hatinya risau dan bingung, dalam keadaan yang terdesak, terpaksa ia berkata. "Maksud paman ini memang baik dan menggembirakan sekali, namun tentang perjodohan ini betapapun harus kutanyakan dulu kepada Cu-hiantit, entah bagaimana jawabannya nanti?" Kwi Chun manggut-manggut penuh harapan, katanya tersipu-sipu. "Terima kasih akan jerih payahmu dan persoalan ini kuserahkan kepada Ji-chengcu saja." Diam-diam Thian-ih membatin. "Orang tua ini ceroboh dan gegabah. Untung ketemu Hong-gi yang menyamar jadi pria. Jikalau seorang laki lain yang sudah menikah, bagaimana dengan nona Kwi Tong-ing itu nanti?" Segera ia berdiri dan minta diri, Kwi Chun mengantarnya sampai di pelataran tengah. Saat itu Hong-gi tengah menanti tidak sabaran di dalam kamar, begitu melihat Thian-ih kembali segera ia bertanya. "Bagaimana ?" Thian-ih tersenyum sambil mengangsurkan gelang batu Giok itu, katanya. "Perjodohan ini sudah pasti jadi. Sang mempelai adalah Pek-yan (siwalet putih) Kwi Tong-ing yang kenamaan, pelajaran silatnya mendapat didikan langsung dari orang tuanya, mungkin juga pandai menggunakan pedang dan senjata rahasia. Maka menurut aku, Cu-hiante, pemuda macammu yang lemah tak bertenaga ini, janganlah kelak sampai dihajar oleh mempelai perempuan yang gagah perkasa. Hahaha !" Setelah menanyakan duduk persoalannya, Hong-gi berkata sambil mengerutkan kening. "Koko, bicara terus terang aku sudah menduga akan terjadinya urusan ini. Sekarang lebih baik kita terangkan secara terbuka saja." Thian-ih ragu-ragu, ujarnya. "Kalau kita jelaskan, betapa mereka akan kecewa dan putus harapan ! Siapa tahu bakal timbul hal-hal yang tak terduga, menurut hematku nanti malam, kalau hujan ini sudah reda kita ngacir saja secara diam-diam." Semua perbekalan Thian-ih dan Hong-gi sudah dipersiapkan, nanti punya nanti sampai hari sudah petang hujan masih turun dengan lebatnya. Kwi Chun suami istri mengadakan perjamuan dan menyuruh gadisnya keluar menyatakan terima kasihnya. Dengan sikap yang wajar dan tanpa malu-malu nona Tong-ing menuang dua cawan arak lantas dipersembahkan kepada Hong-gi berdua. Diam-diam Hong-gi mengeluh dalam hati, karena merasa dirinya selalu dilirik, maka dia segera tundukkan kepala tak berani beradu pandang. Begitulah perjamuan ini berjalan terus dengan meriahnya, kalau pihak tuan rumah sedemikian girang dan riangnya, sebaliknya Thian-ih berdua semakin gundah duduk tidak tenang. Sampai tengah malam, perjamuan baru bubar, sekembali di kamarnya Thian-ih dan Hong-gi duduk tepekur dengan risau, untung juga menjelang fajar hujan agak reda, inilah kesempatan baik untuk bolos keluar, maka cepat-cepat mereka tinggalkan gelang batu giok serta menulis sepucuk surat pernyataan terima kasih dan sekadar penjelasan, lalu secara diam-diam menuntun keluar kuda mereka terus dipacu sekerasnya ke selatan dibawah hujan rintik-rintik. Beberapa lama kemudian hari pun sudah mulai terang tanah, dari kejauhan ditengah jalan raya sebelah depan sana membedal cepat empat ekor kuda, begitu dekat tiba-tiba salah seorang diantara mereka berteriak sambil menuding Thian-ih. "Itu dia Thio Thian-ih !" Keruan Thian-ih terkejut, tampak olehnya bahwa mereka adalah para petugas dari kesatuan Bhayangkari, cepat-cepat ia keprak kudanya memacu dengan kencang. Terdengar ke-empat penunggang kuda di belakang sudah mengejar dengan kencang pula, pemimpinnya malah membentak marah. "Thio Thian-ih, seorang kesatria tidak akan melarikan diri ! Hayo berhenti aku ada omongan yang hendak kutanyakan." Thian-ih juga berpikir, secepat lari kudanya ini tentu takkan dapat lari jauh, maka segera ia berpesan kepada Hong-gi. "Dalam keadaan terdesak nanti kau jangan hiraukan aku lagi, cepat-cepatlah kau lari kembali ke perkampungan Hong-kiam-san-cheng, bawalah mereka keluar menolong aku disini." Habis berkata ia menghentikan kudanya dan menanti, sekejap mata saja ke-empat ekor kuda itu sudah mengejar tiba, begitu dekat pemimpinnya segera maju perkenalkan diri. "Jichengcu aku adalah Coan-hun-chiu Yu Liat-bong, dan kuperkenalkan lagi ini adalah Chit-sing-to Kiu san, ini Siau-hun-ho Lu Cau, dan ini adalah Sin-chio-ciang Khu Gi-liong, kita berempat jadi satu krabat dalam kesatuan Bhayangkari." Meskipun Thian-ih belum pernah bertemu dengan Yu Liat-bong dan Kiu San, namun nama julukan mereka sudah pernah didengar di kalangan Kangouw, memang mereka berdua bersama Lim Han dan Siu Hoa serta enam orang lainnya termasuk sepuluh jagoan yang paling jempolan di istana raja. Kedua temannya ini tentu juga bukan sembarang orang. Thian-ih insaf kalau betul-betul bertempur betapa pun tinggi kepandaiannya tentu takkan kuat bertahan menghadapi keroyokan mereka berempat. Terdengar Yu Liat-bong si tangan penembus awan berkata. "Ji-chengcu adalah seorang kesatria, sudah lama kami dengar namamu yang mulia. Kalau kami mengejar sedemikian kencang tak lain tak bukan hanya untuk menolong Lim Han yang masih terkurung di penjara karena penggantian mutiara palsu itu. Sekarang tak peduli kedua mutiara itu kau bekal atau tidak, kuharap kau suka memberi muka turutlah kita ke kota raja untuk melepaskan Lim Han yang menderita dalam penjara.........." Sejenak ia merandek lalu sambungnya lagi. "Tentang kematian Siu Hoa, sudah tentu kita sesalkan kepandaiannya yang masih cetek, dan apa boleh buat. Tapi sayangnya waktu kita periksa jenazahnya, ternyata bahwa pergelangan tangannya terkena sebatang senjata rahasia yang sangat beracun..............." Thian-ih terkejut, tanyanya cepat. "Mana ada kejadian begitu, waktu kita bertempur karena tak sempat lagi menarik tanganku jalan darah di dada Siu-toako kena tertutuk........" Khu Gi-liong yang berdiri disamping Yu Liat-bong segera membentak dengan sedihnya. "Bangsat rendah, kau masih hendak mungkir, Ban-seng-to-hoat yang dimainkan pamanku belum selesai dilancarkan mengapa dia tidak mampu membela diri sampai tertutuk jalan darah mematikan. Sebab musababnya tidak lain karena pergelangan tangannya sudah terkena senjata rahasia yang keji, kau kira dapat mengelabui para orang gagah di seluruh dunia? Hm !" Memang hal ini tidak terpikirkan oleh Thian-ih. Diingat keadaan waktu itu, tenaga dalam sipena berapi Siu Hoa sangat hebat, sedang tutukan itu hanya gertakan belaka supaya lawan menarik kembali serangannya. Memang tiga jurus serangan berantai Siu Hoa belum sempat dilancar- kan habis lantas kena tertutuk mati, sungguh keadaan seperti itu sangat janggal dan mencurigakan, dipikir-pikir tanpa merasa tubuhnya merinding dan berdiri bulu kuduknya. Bukan mustahil si baju perak berpedang emas itu pula yang menjadi gara-gara dalam peristiwa ini? Melihat orang termenung diam, Yu Liat-bong tersenyum ejek. "Ji-chengcu, siapa akan duga murid kenamaan Kiam-bun-it-ho ternyata bisa berbuat serendah itu membokong orang dengan senjata rahasia beracun. Ketahuilah Siu Hoa memikul tugas untuk menangkapmu, sebetulnya ada permusuhan apa dengan kau, sampai sedemikian tega kau turun tangan keji......... Sekarang, keponakan Siu Hoa, Khu Gi-liong ini sudah datang, kita beramai ingin minta pertanggungan jawabmu !" Thian-ih menjawab dengan lantang. "Tuan-tuan harap dengarkan dulu penjelasanku. Sebetulnya aku Thio Thian-ih belajar di Kiam bun-san belum tamat lantas keluar dari perguruan sebab kematian engkohku Thio Thian-ki yang dianiaya itu. Karena besar hasratku hendak menuntut balas maka aku berkelana di kalangan Kangouw, setiap kali aku bertanding dengan orang meskipun ilmu silatku rendah, selalu aku hanya bersenjata pedang dan bertempur secara jantan, belum pernah berlaku keji dan serendah itu, apa lagi menggunakan senjata rahasia beracun yang jahat itu....................." Bantah Khu Gi-liong dengan sedih. "Tatkala itu hanya kau dan pamanku saja yang sedang bertempur, jikalau bukan kau berlaku licik, lalu siapa yang melepas senjata rahasia itu? Masa senjata rahasia itu bisa terbang sendiri mengeram dalam pergelangan tangan pamanku........" Thian-ih ragu-ragu, lalu sahutnya. "Sebetulnya aku tiada niat hendak melukai saudara Siu Hoa, waktu itu serangan tiga jurus berantai yang dilancarkan itu belum selesai, aku turun tangan hanya menggertak dia supaya merobah cara permainannya, tak terduga sedikitpun ia tidak menangkis atau mengelak malah menerjang langsung ke depan sampai aku gelagapan dan tak sempat menarik pulang tutukanku yang tepat mengenai di dadanya. Kalau dipikirkan memang keadaan waktu itu rada-rada janggal dan aneh, mungkin ada seseorang sembunyi dan membokong, maka akulah yang menjadi kambing hitamnya............." "Kentut !" Bentak Khu Gi-liong. "Siapa mau percaya obrolanmu itu !" Kata Thian-ih lagi. "Tentang kedua butir mutiara itu, baru beberapa saat tadi diketemukan di anting-anting nona Hong gi, kalian boleh ambil kembali untuk..............." Ucapannya ini membuat keempat orang itu berjingkrak, Chit-sing-to Kiu San segera membentak. "Thio Thian-ih, kau tak perlu obral mulutmu yang manis itu. Kau sendiri sudah mengaku kalau mutiara itu berada di tangan kalian, apa lagi yang perlu diperdebatkan ! Terang dengan sengaja kau menukar yang tulen dengan yang palsu untuk menipu Lim Han. Tapi kau masih berani membangkang dan melawan petugas hukum yang hendak meringkusmu, malah membunuh Siu Hoa lagi dengan alasan mutiara itu tak berada di tanganmu." "Waktu itu memang kami belum tahu kalau mutiara itu masih ada." Demikian Thian-ih coba menerangkan. "Entah siapa yang menjadi gara-gara memporotkan kedua mutiara itu kedalam hiasan anting-anting nona Hong-gi..............." Yu Liat-bong si tangan penembus awan tertawa ejek. "Ji-chengcu, betapapun ucapan yang menipu orang ini kita takkan mau percaya. Urusan dinas ini harus kau patuhi dan kalian ikut kita ke kota raja." "Mutiara dapat kami serahkan, tapi kami takkan ikut pergi, karena kami masih ada urusan penting." Si tombak sakti Khu Gi-liong menghardik gusar. "Bangsat kurcaci, kau masih berani melawan perintah hukum !" "Wut", tanpa banyak cakap lagi segera ujung tombaknya menusuk tiba terus berputar berpetakan kembang perak, betapa hebat permainan tombaknya ini serasi benar dengan nama julukannya, terpaksa Thian-ih harus melompat menyingkir. Terdengar golok tujuh bintang Kiu San berteriak. "Saudara Yu dan kau Lu Cau kalian cegat perempuan itu, biar aku bantu membereskan yang ini." Thian-ih menjadi gugup, teriaknya pada Hong-gi. "Dik, lekas kembali ke rumah Kwi-locianpwe, jangan hiraukan aku lagi." Tanpa diminta kedua kalinya segera Hong-gi mengayun pecut terus memacu kudanya kembali. Saat itu Yu Liat-bong dan Lu Cau sudah turun dari tunggangannya, tersipu-sipu mereka lompat lagi keatas kuda terus mengudak dengan kencang. Tapi sedikit waktu ketinggalan ini, kuda tunggangan Hong-gi itu sudah berlari sedemikian jauhnya! Dengan tangan kosong Thian-ih layani permainan tombak sakti Khu Gi-liong yang menyerang dengan sengitnya. Saat mana sigolok tujuh bintang juga sudah menerjang tiba! Bentaknya. "Gi-liong, kau minggir, biar aku yang meringkusnya !" Gi-Liong melompat mundur dari kalangan pertempuran. Sebab kedudukan golok sakti tujuh bintang dalam kesatuan Bhayangkari lebih tinggi, dan lazimnya bagi seorang tokoh yang sudah terkenal paling menjunjung tinggi pamor dan gengsi, yang diutamakan adalah berkelahi satu lawan satu secara sportif, takkan sudi dibantu orang lain. Begitu golok tujuh bintang Kiu San berputar, tujuh gelang tembaga yang berbentuk seperti bintang diatas goloknya itu berbunyi gemerantang. Memang inilah pertanda khas dari ilmu goloknya itu, dengan gelang diatas goloknya itu bunyi yang ribut dan memekakkan telinga dapat mengaburkan pemusatan semangat serta merisaukan hati musuhnya. Sekian tahun lamanya nama Kiu San semakin disegani tak lain karena mengandal keampuhan senjatanya ini, maka orang-orang Kangouw memberi julukan golok tujuh bintang kepadanya. Melihat Hong-gi sudah lari jauh, Thian-ih merasa lega, permainannya juga lebih mantep. Kontan ia mendahului kirim sebuah jotosan. Terpaksa Kiu San mundur menghindari sambil melempangkan golok tujuh bintangnya ke depan dengan jurus Peng-sa-bu-hin (tiada bekas diatas pasir datar). Thian-ih tahu golok musuh adalah senjata pusaka, tak berani menangkis maka secepat kilat tubuhnya berkelebat ke samping sambil ulurkan kedua jarinya menutuk Kian-kin-hiat di pundak musuh, gerak cepat serangannya ini benar-benar sangat hebat menakjupkan. Terdengar Kiu San berseru heran sinar goloknya serong membabat ke bawah, dengan mudah sekali ia punahkan serangan Thian-ih ini. Agaknya Lwekang dan kepandaian kedua lawan ini seimbang alias sama kuat, maka pertempuran ini berjalan semakin sengit dan seru, dalam sekejap saja tujuh delapan jurus telah berlalu, diam-diam Thian-ih jadi berpikir; pihak lawan masih ada bala bantuan, sedang aku seorang diri, semakin lama semakin tidak menguntungkan bagiku. Satu-satunya jalan aku harus cepat bertindak atau melarikan diri. Tapi hatinya kuatir akan keselamatan Hong-gi, entah dia sudah dapat lolos sampai ke rumah Kwi Chun tidak? Pantangan terbesar bagi tokoh silat yang sedang bertempur adalah tidak terpusatnya perhatian, sedikit meleng saja sudah cukup memberi kesempatan pada musuh untuk merangsak lebih hebat. Demikian juga bagi golok tujuh bintang yang sudah berpengalaman, melihat kedua mata Thian-ih pelirak-pelirik tahu dia bahwa orang tengah memikirkan atau menguatirkan sesuatu. Maka permainan golok tujuh bintangnya dipergencar sehingga bunyi gelang tembaganya juga gemerantang semakin ribut memekakkan telinga. Ternyata tindakan ini memang berhasil, satu pihak memang Thian-ih berusaha hendak melarikan diri, mendengar suara yang merincuhkan hati lagi semakin kacau balaulah pertahanannya. Sebaliknya Kiu San bertempur semakin gagah dan mantep, berapa gebrak kemudian dia sudah berada di atas angin, begitu ilmu golok tujuh bintang dikembangkan perbawanya semakin nyata bukan olah-olah, angin menderu-deru diselingi suara yang kacau balau, semakin besar daya tekannya sehingga pendengarnya merasa pusing tujuh keliling. Dasar Thian-ih tengah menguatirkan keselamatan Hong-gi, perhatiannya menjadi terpencar, hampir saja pundaknya kena terpapas oleh golok musuh, tapi tak urung begitu golok sedikit disengkelit. "Bret" Bajunya kena tergantol sobek oleh gelang tembaga. Jurus ini benar-benar sangat berbahaya, tapi malah menolong Thian-ih karena dia kaget dan mengucurkan keringat dingin, untuk selanjutnya dia tidak berani gegabah. Bahwasanya orang yang menghadapi bahaya serta merta akan segera memperlihatkan kepandaian aslinya dengan jurus-jurus yang paling lihay dan ampuh. Demikian juga keadaan Thian-ih, sekaligus pukulan tangan dan Ginkang perguruannya dilancarkan, secara berantai dia balas menyerang, sedang kakinya bergerak sedemikian lincahnya berganti-ganti tempat kedudukan, angin pukulannya juga mengandung kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Berkali-kali sudah golok tujuh bintang musuh kena terpental atau serong ke samping kesamber angin pukulannya. Kini dari terdesak keadaannya menjadi berada diatas angin. Karena perhatian terpusat cara bertempur Thian-ih juga semakin bersemangat, dengan mudah saja ia punahkan permainan tujuh golok bintang malah balas mendesaknya. Setindak demi setindak Kiu San mundur teratur, mengambil kesempatan ini mendadak Thian-ih kirim sebuah pukulan sedang kakinya menggeser kesamping terus memutar ke belakang menutup jalan mundur lawan, kedua jari tangan kanan dirangkapkan terus menutuk ke depan dada Kiu San tepat di jalan darah Te-ting-hiat. Tapi sebelum tutukannya mengenai sasarannya, Thian-ih tersentak kaget sendiri, bukankah kematian Siu Hoa tempo hari juga dibawah tutukan jari yang hebat ini, sekali salah jangan terulang kembali, jikalau Kiu San sampai tertutuk mati lagi bukankah berabe. Bukan mustahil tujuh tokoh Bhayangkari lainnya akan meluruk dan mengadu jiwa dengan dirinya. Karena lintas pikiran ini secepat itu pula ia robah serangannya dari tutukan menjadi tamparan, telapak tangannya hanya sedikit menyentuh dan mengusap di depan dadanya. Siapa duga golok tujuh bintang Kiu San seorang tokoh silat yang sudah luas pengalaman bertempur, sedikit perobahan serangan Thian-ih ini lantas memperlihatkan lobang kelemahannya. Gesit sekali goloknya bergerak dengan jurus Bu-hun-kay-hiat (mega mendung menutupi salju) membacok ke pundak Thian-ih. Sekonyong-konyong terdengar suara "trang" Terlihat golok Kiu San itu jatuh di atas tanah, tampak pula Kiu San roboh, perlahan-lahan sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Baru saja langkah Thian-ih hendak diajukan, melihat keadaan ini segera ia siaga dan gesit sekali ia berpaling ke belakang. Di belakangnya adalah barisan pohon-pohon hutan yang agak lebat, samar-samar masih terlihat olehnya sebuah bayangan putih perak yang melambung tinggi membawa sinar keemasan terus terbang menghilang. Thian-ih jadi dongkol dan gusar tanpa mempedulikan akibatnya dengan kencang segera ia mengudak. Dilain pihak Khu Gi-liong sendiri tidak melihat siapakah yang dikejar Thian-ih itu cepat-cepat ia berjongkok memeriksa keadaan golok tujuh bintang Kiu San, matanya terpejamkan, denyut nadinya juga sudah berhenti, tampak sebuah benda kecil berkilau menancap di pergelangan tangannya, keadaan ini mirip benar dengan kematian Siu Hoa yang terkena senjata rahasia berbisa, sekali kena racun yang mengalir ke dalam darah tiada obat dapat menolong jiwanya. Mendelu dan pedih perasaan Khu Gi-liong, bergegas ia bangkit sambil menjinjing tombaknya terus cemplak kudanya mengejar kearah lari Thian-ih. Dalam pada itu Li Hong-gi yang dikejar kencang oleh Yu Liat bong dan Lu Cau melarikan kudanya secepat terbang seperti kesetanan. Betapapun pandai cara menunggang kudanya kalau dibanding dengan para pengejarnya ini masih terpaut sangat jauh. Dalam sekejap mata saja derap kaki kuda di belakangnya semakin mendekat, saking kejut dan ketakutan serasa arwah sudah terbang ke awang-awang. Terdengar Yu Liat-bong berteriak di belakangnya. "Nona Li, tak usah lari lagi ! Kami tidak akan membikin susah padamu, kami hanya mengharap kau suka ikut ke kota raja!" Ke kota raja ! Mana boleh jadi ! Besar tekad Hong-gi untuk ikut Thian-ih pergi ke Ho-bwe-pang. Apalagi di kota raja ada Nyo Hway-giok, bukan mustahil disana bakal terjadi sesuatu diluar dugaan, maka tanpa hiraukan seruan orang ia terus memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar kelintingan kuda yang tengah berlari cepat dari arah depan sana sedang mendatangi, segera terlihat dua orang penunggang kuda yang satu tua dan yang lain muda. Mereka bukan lain adalah Thi-pi-kim-liong Kwi Chun dan anak gadisnya siwalet putih Kwi Tong-ing. Jauh-jauh segera Hong-gi berteriak. "Kwi-lopek, Kwi-cici, lekas tolong aku !" Namun Yu Liat-bong dan Lu Cau sudah mengejar tiba di belakangnya, segera Lu Cau mengulur tangan mencengkram kuduknya, sekuat tenaga Hong-gi meronta mati-matian sampai kuda dan penunggangnya terjungkal roboh. Baru saja Yu Liat-bong hentikan kudanya, mendadak seekor kuda telah membedal tiba serta terdengarlah hardikan yang keras dan serak. "Anak Ing, kau bantulah Cu-kongcu, biar aku yang melayani bangsat kurcaci ini." Terdengar Kwi Tong-ing mengiakan di belakangnya. Kuatir bakal menantunya terluka parah dengan gusar segera Naga mas berpunggung besi menerjang maju sambil mengayun tangannya, karena tidak siaga Yu Liat-bong tak sempat berkelit dengan telak tubuhnya tersampok jatuh dari atas tunggangannya. Tujuan kedua dari pukulan Thi-pi-kim-liong adalah Lu Cau, dilihatnya Lu Cau tengah memburu ke arah Hong-gi, karena tidak membekal senjata terpaksa ia ayun pecutnya terus menyabet. "Tar" Untung Lu Cau masih sempat mengelak, namun demikian kudanya yang menjadi sasaran, karena kesakitan kuda itu sampai berdiri dan berjingkrak-jingkrak. Saking gusar segera Lu Cau melompat turun. Sementara itu sudah terdengar bentakan Yu Liat-bong yang bengis. "Siapa kau, berani kau melindungi pelarian !" Sekarang baru Kwi Chun tahu duduknya perkara. Ternyata Cu Bing telah melanggar hukum, tidak heran ia tidak berani tinggal terlalu lama di rumahnya, meninggalkan gelang batu giok dan menolak perjodohan dengan putrinya, ini tidak lain supaya urusan hukum negara tidak merembet kepada perkampungannya. Haha, biar sekali ini dia tahu diri bahwa bapak mertuanya ini karena urusan bakal mantunya juga berani menghadapi setiap rintangan dan tantangan, seumpama langit bakal ambruk juga tidak peduli lagi. Maka segera bentaknya. "Bedebah, mantuku ini melanggar hukum apa ? Berani kau menuduhnya sebagai pelarian. Kau sangka setelah aku menutup pedang lantas tidak berani turun tangan ? Haha ! Mari maju bersama biar kalian kenal kepandaian asliku meskipun tidak menggunakan sepasang pedangku, mengandal sebatang pecut kecil ini rasanya cukup berlebihan menghadapi kalian bangsa kurcaci !" "Serr !" Tanpa menanti reaksi orang segera pecutnya diayun menyerang ke arah Yu Liat-bong. Belum sempat mendengar jelas perkataan orang tahu-tahu dirinya diserang, keruan Yu Liat-bong dan Lu Cau berjingkrak gusar. Tanpa sungkan-sungkan lagi Yu Liat-bong menangkis dan balas menyerang dengan sepasang kepalannya. Sementara Lu Cau melolos senjatanya yang berupa sepasang tombak pendek bergigi, berbareng mereka maju merangsak dan menyerang. Kwi Chun juga melompat turun dari atas kudanya, lama sudah tidak pernah berkelahi maka terbangkitlah semangat dan darah mudanya. Bagai seekor harimau galak dengan garang ia gerakkan pecutnya terus menerjang menghadapi rangsakan Yu dan Lu berdua. Melihat usia musuhnya ini sudah agak lanjut Yu Liat-bong agak memandang enteng lawan sedikit mengerut alis segera ia berkata pada Lu Cau. "Saudara Lu ! Kau seret saja perempuan itu ! Segera aku menyusul !" Sambil menjinjing tombak pendeknya Lu Cau menghampiri kearah Hong-gi yang sedang menggelendot di haribaan Kwi Tong-ing. Mereka tengah berunding cara bagaimana harus meloloskan diri. Mendengar orang berteriak hendak menyeret perempuannya saja, bukankah yang dimaksud ini adalah dirinya, demikian pikir Tong-ing, sudah tentu hatinya menjadi dongkol katanya tersenyum kepada Hong-gi. "Kongcu, kau rebah saja istirahat, biar aku beri pelajaran pada orang kurangajar ini !" Hong-gi manggut-manggut, tapi kuatir melukai orang dan urusan bakal berlarut tiada habisnya segera ia berpesan. "Cici, jangan melukai mereka, diusir saja sudah cukup !" Mendengar suara kekasihnya sedemikian nyaring lantang agak serak-serak basah, girang hati Kwi Tong-ing, sahutnya tertawa. "Baiklah kuturuti permintaanmu." Melompat bangun terus memapak maju menghadapi Lu Cau. Mendadak Lu Cau merasa pandangannya agak kabur sebuah bayangan putih berkelebat di depan matanya sebelum ia melihat tegas tiba-tiba "Plak" Pipi kirinya tahu-tahu kena digampar dengan kerasnya. Lantas terdengar makian Tong-ing. "Kunyuk, kalau kau tahu diri lekas menggelinding pergi, jangan kau tunggu nonamu ini benar-benar turun tangan." Lu Cau menjadi murka, kedua senjatanya bergerak sambil membentak. "Kau cari mati !" Dari atas dan bawah tombaknya itu masing-masing mengarah pundak dan lambung lawan. Seperti ayahnya Tong-ing sendiri juga tidak membekal senjata, cepat-cepat ia melompat mundur meluputkan diri, sesuai dengan nama julukannya siwalet putih memang Gin-kangnya luar biasa, sekali loncat dua tombak tingginya, begitu meraba badannya untung juga dia membekal beberapa batang senjata rahasia mata uang emas, maka dirogohnya sebatang dipersiapkan ditangannya. Waktu Lu Cau menyerang lagi dengan senjatanya, sekali berkelebat Tong-ing menggeser kedudukan ke samping kanan sambil membentak. "Lihat senjata rahasia !" Dimana sinar emas berkelebat maka terdengarlah Lu Cau berteriak kesakitan. Sitangan penembus awan Yu Liat-bong lantas sadar siapakah orang yg tengah dihadapinya ini, maka cepat-cepat ia mundur dan menghentikan pertempuran serta serunya. "Bukankah tuan adalah Thi-pi-kim-liong Locianpwe?" Semangat tempur Kwi Chun sedang mencapai puncaknya melihat orang mundur dan menghentikan perkelahian ini hatinya menjadi dongkol, jengeknya dingin. "Bagaimana! Sangkamu setelah aku menutup pedang lantas tidak berani berkelahi? Hehe! Kalian berani menyakiti menantuku. Kalau tidak kugebah kalian ini siapa lagi yang harus kupukul?" Kali ini Yu Liat-bong sudah mendengar jelas, tanyanya terheran. "Menantumu? Siapakah menantumu?'' Takut orang membongkar kedok penyamarannya segera Hong-gi menimbrung. "Lopek, kawan-kawannya masih mengepung Thio-toako disebelah belakang sana, mereka bukan orang baik-baik, jangan kau dengar obrolan mereka!" Melihat menantunya tidak kurang suatu apa, girang hati Kwi Chun, serta mendengar Thian-ih tengah terkepung hatinya menjadi gusar lagi, bentaknya . "Masih pura-pura pelo? Tidak lekas pergi, apa masih mau merasakan pecutanku ini !" Sambil mengancam ia mengayun tangan "tar" Pecutnya berbunyi nyaring ditengah udara. Yu Liat-bong ialah paham bahwa yang dimaksud menantunya itu adalah Thian-ih adanya. Sungguh sebal dan runyam demikian pikirnya. Ternyata Thio Thian-ih adalah bakal menantu dari keluarga Kwi ini, naga-naganya urusan ini bakal susah diselesaikan. Tengah ia merenung dan hendak memberi penjelasan sekadarnya, Kwi Chun sudah mengayun pecutnya sambil menerjang maju lagi, terpaksa ia gerakkan kedua tangannya untuk melawan. Dilain pihak Lu Cau sudah terluka parah, untung Tong-ing tidak mendesaknya lagi hanya menjaga keselamatan Hong-gi. Sebaliknya Hong-gi menguatirkan keselamatan Thian-ih. "Cici, lekaslah kau pergi menolong Thio-toako. Dia sedang dikeroyok dua orang disebelah depan sana....... lekas..........lekaslah pergi!" Kwi Tong-ing menjadi heran dan membatin. Sedemikian baik hubungannya dengan orang she Thio ini sampai keselamatan sendiri juga tidak dihiraukan lagi, malah mendesak aku pergi menolong sahabatnya itu. Tengah ia hendak berangkat terasa keadaan disini tidak mengijinkan. Betapapun parah luka dipundak Lu Cau itu masih dapat membuatnya bergerak, sedang ayahnya juga sedang asyik bertempur, kalau dirinya tinggal pergi lalu bagaimana dengan bakal suaminya yang lemah, keselamatannya tiada orang yang menjamin. Tengah hatinya bimbang dan ragu-ragu, mendadak terdengar derap langkah kuda mendatangi dengan cepat, orang diatas kuda lantas berteriak. "Yu-toako, Kiu San sudah terbokong dan mati dibunuh oleh bocah keparat itu dengan senjata rahasia berbisanya lagi !" Bercekat hati Yu Liat-bong, cepat tanyanya. "Mana Thian-ih?" Pendatang ini adalah sitombak sakti Khu Gi-liong, sahutnya. "Dia sudah lari, sudah kukejar tidak kecandak, cepat juga lari bocah keparat itu." Mendengar percakapan itu Hong-gi yang rebah diatas tanah menjadi girang dan kuatir, girangnya bahwa Thian-ih ternyata tidak kurang suatu apa, kuatirnya bahwa dia telah membunuh lagi salah seorang anggota kesatuan Bhayangkari, urusan ini selanjutnya semakin runyam dan susah dibereskan. Dan yang terpenting sejak saat ini dia harus berpisah dengan dirinya, mungkin dia terus melanjutkan perjalanan menuju Ho-bwe-pang, betapapun aku harus mengejarnya kesana. Sebaliknya Kwi Tong-ing berjingkrak girang, batinnya; sahabatmu itu telah lari setelah membunuh orang, hendak kulihat kemana pula kau hendak mencarinya, seorang pelajar lemah seperti kau ini bagaimana mungkin melakukan perjalanan sedemikian jauh seorang diri, jalan yang tepat tinggal dirumah menjadi menantu bapakku. Karena pikirannya ini wajahnya lantas berseri-seri. Tapi melihat pihak lawan kini tambah seorang lagi cepat-cepat ia melindungi didepan Hong-gi. Berkatalah Yu Liat-bong. "Kwi-loyacu adalah seorang gagah yang kenamaan, kami sekalian adalah kesatuan Bhayangkari dari istana raja. Hari ini kita terjungkal dibawah tangan Kwi-lo-enghiong tidak perlu dibuat malu. Tapi entah mengapa Lo-enghiong malah melindungi pelarian yang harus kita bekuk?" Naga emas berpunggung besi juga bukan orang goblok, dari menghadapi para Bhayangkari ini lantas dia teringat akan mutiara mestika yang menyembuhkan putrinya itu. Bukan mustahil bakal mantunya ini dan Thio Thian-ih yang telah mencuri barang-barang mustika milik raja. Tapi jelas kalau Cu Bing ini seorang pelajar yang lemah tak pandai silat, betapapun susah dipercaya dia berani menjadi pencuri. Pasti Thio Thian-ih itulah yang berbuat. Maka segera ia membuka kata. "Kalian sudah salah mencari orang. Hakikatnya dia tidak pandai main silat, bagaimana mungkin melanggar hukum apa segala. Apa lagi mencuri? Bukankah obrolan yang menggelikan saja ? Sudah tidak perlu banyak bacot lagi, lekas kalian pergi, sejak saat ini jangan kalian kemari mencari perkara!" Kata Yu Liat-bong penuh kebencian. "Thio Thian-ih itu kita akan kirim orang untuk mengejar dan mencari jejaknya, tentang Li......" Dia menunjuk kearah Hong-gi. Hong-gi menjadi kuatir, segera dampratnya. "Bedebah untuk apa kau main tuding dan tunjuk aku?" Kata Yu Liat-bong. "Cepat atau lambat kita juga harus menyeretmu pergi kekota raja untuk menjadi saksi, tentang mutiara itu....." Siwalet putih Kwi Tong-ing juga tahu yang diminta mereka itu adalah mutiara mestika yang telah menolong jiwanya itu, bagaimana juga mestika itu tidak bisa diserahkan, karena merasa sayang; kuatir ayahnya menyanggupi untuk dikembalikan cepat-cepat ia membentak. "Lekas pergi, jangan sesalkan nanti nonamu tidak memberi ampun pada kalian!" Sambil mengancam dirogohnya senjata rahasia, mata uang yang berkilauan ditimpali sinar surya. Yu Liat-bong dan Khu Gi-long bergegas mengangkat Lu Cau keatas kuda terus dibawa pergi. Hong-gi masih belum lega, beramai-ramai mereka juga naik kuda membuntuti dibelakangnya setelah melihat mereka benar-benar mengangkut jenazah Kiu San baru mereka menghela napas panjang. Disebelah sana terlihat kuda tunggangan Thian-ih tengah makan rumput, perbekalannya masih utuh. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekian lama Hong-gi berdiri termangu, besar harapannya dia akan kembali lagi, tapi nanti punya nanti setengah harian sudah lewat tanpa terlihat bayangannya. Terdengar Naga mas berpunggung besi membujuk. "Jikalau Ji-chengcu tidak sampai meninggal atau terluka, pasti kepergiannya ini ada urusan penting yang perlu diselesaikan, marilah kita kembali dulu kerumah!" Namun Hong-gi agaknya sudah bertekad bulat, segera barang perbekalan Thian-ih dipindah keatas punggung kudanya, lalu katanya kepada Kwi Chun ayah beranak. "Aku sudah berjanji dengannya melakukan perjalanan menuju ke Ho-bwe-pang, mungkin dia sudah mendahului aku, betapa juga aku harus mengejarnya." Kecut dan mendelu perasaan Tong-ing dilihatnya orang sedikitpun tiada perhatian terhadap dirinya. Sampai pada detik dan keadaan demikian bagaimana juga sikap seorang perempuan yang mudah tersinggung lantas terunjuk dalam lahirnya, karena malu untuk bicara langsung terpaksa ia merengek kepada ayahnya. Sudah tentu sang ayah juga memaklumi perasaan anaknya, maka segera katanya. "Menantuku yang baik, kalau sedemikian besar tekadmu hendak pergi, biarlah Tong-ing ikut serta sebagai kawan dalam perjalanan. Memang kau sudah tidak mungkin tinggal terlalu lama disini supaya mereka tidak mencari onar lagi kepadamu, lebih baik kalau kau langsung menuju ke Ho-bwe-pang. Tong-ing banyak kenal dengan para sahabat dari Ho-bwe-pang. Usia Tong-ing juga cukup dewasa dan sudah saatnya untuk keluar pintu mencari pengalaman. Tapi kita harus pulang dulu supaya Tong-ing mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan diperjalanan!" Raja Silat Karya Chin Hung Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo