Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 10


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 10


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   Mereka bertempur seru melawan Suma Bing.   Disebelah sana agaknya kepandaian si orang berkedok berkelebihan menghadapi tiga laki2 bertubuh kekar itu.   Sementara itu, Racun utara berdiri diluar barisan dan tengah membentak gusar.   "Racun diracun, lekas serahkan Pedang berdarah, supaya kau terhindar dari kematian."   Bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya ber-putar2, suaranya berejek dingin.   "Tua keladi, agaknya kau sedang bermimpi!"   "Kau tidak menyesal?"   "Tiada yang perlu disesalkan. Adalah kau tua keladi ini, aku merasa hina bagi kau. Sungguh tidak malu kau menggunakan pengaruh Bwe-hwa-hwe untuk mengurung aku disini..."   "Tutup mulutmu, sebenarnya kau ingin hidup atau mati?"   "Cerewet!"   "Hehehe, asal Lohu membuka mulut, segera kau akan terbakar hangus menjadi abu."   "Silakan kau bebas buka mulut!"   "Sebenarnya kau mau tidak serahkan Pedang darah itu?"   "Tidak!"   "Baik, jadi kau memang bertekad hendak mati?"   "Tua keladi, mungkin kau kenal juga akan barang yang dinamakan Sam-li-hiang?"   Berobah tegang wajah Racun utara, serunya kaget.   "Sam-li-hiang?"   Racun diracun bergelak menggila, serunya.   "Benar, 'harum tiga lie', aku sudah sebar permainanku itu dalam barisanmu ini. Kalau kau berani melepas api, begitu permainanku itu terjilat api segera berkembang keempat penjuru, dalam jarak lingkungan tiga li jangan kata hanya beberapa gelintir manusia seperti kalian ini, binatang atau burung yang bisa terbangpun akan terbunuh mampus semua!"   "Lohu tidak gampang kena gertak!"   Seru Racun utara penuh kebencian.   "Kau memang kuat bertahan, tapi kau jangan lupa para kurcaci dari Bwe-hwa hwe itu, agaknya mereka sudah suratan takdir harus mampus."   Ucapan terakhir ini membuat para kerabat Bwe-hwa-hwe yang mengepung diluar barisan mundur ketakutan.   Ingin hidup adalah menjadi hak semua manusia, dan itu sudah jamak, siapa yang rela mengantar kematian secara konyol.   Seumpama Racun utara benar2 nekat memberi perintah melepas api belum tentu mereka mau patuh akan perintahnya itu.   Sementara dalam gelanggang, mendadak terdengar suara pekik kesakitan, kiranya dua diantara tiga lelaki kekar yang mengeroyok si orang berkedok sudah pecah hancur kepalanya terkena bogem mentah lawannya.   Segera seorang tua dan dua orang pertengahan umur maju menambal pengeroyokan yang tidak seimbang dalam jumlah, satu lawan empat.   Sementara itu, meskipun lihay, Kangouw-su-okpun tidak mendapat keuntungan melawan Suma Bing, untung permainan senjata mereka sangat aneh, namun demikian toh mereka sudah tidak mampu balas menyerang lagi.   Diam2 Suma Bingpun perhatikan percakapan antara Racun utara dengan Racun diracun.   Seandainya benar semua jagoan atau semua orang yang hadir sama2 mati, tapi Racun diracun sendiri juga tidak luput akan terbakar hangus.   Untuk ini dia harus berusaha secepat mungkin untuk menolong Racun diracun supaya terhindar dari kematian.   Satu pihak dirinya berhutang budi, dilain pihak Pedang darah juga harus direbut kembali.   Dilain pihak, setelah merenung dan berpikir sekian lamanya, se-konyong2 Racun utara bergelak tawa kepuasan, serunya.   "Racun diracun, akal licikmu akan sia2, Lohu akan perintahkan mereka mundur secepatnya keluar lingkungan tiga li, lalu Lohu sendiri yang akan melepas api, bukankah kau sendiri tidak mampu keluar dari kurungan!"   Tindakan Racun utara ini memang sangat licik dan licin, seketika Racun diracun terpaksa mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara.   Se-konyong2 Suma Bing bersuit panjang, beruntun ia kirim delapanbelas kali pukulan.   Dimana bayangan pukulannya berkelebat salah satu dari Kangouw-su-ok segera menjerit seram, tubuhnya terbang muntah darah, sedang yang satu lagi, terpental jauh senjatanya dan terhuyung jatuh duduk.   Dua dari keempat lawannya sudah keok, Suma Bing lebih gampang dan ringan lagi membereskan sisa dua musuhnya.   Tiga gebrak kemudian kedua sisa musuhnya inipun lari ter- birit2 membawa luka.   Sekali menggoyang tubuh gesit sekali Suma Bing melesat menubruk kearah barisan.   Bertepatan dengan itulah terdengar suara kesiur angin baju yang melambai mendatangi, disusul beberapa bayangan orang melesat tiba memasuki gelanggang.   Serta merta Suma Bing menghentikan luncuran tubuhnya.   Waktu ia menegasi berdetak keras jantungnya.   Orang terdepan dari rombongan orang2 yang mendatangi ini mengenakan kedok berpakaian ungu, itulah Ketua Bwe- hwa-hwe adanya.   Dibelakangnya beriring mengikuti tiga laki2 dan seorang perempuan, dan perempuan itu tak lain tak bukan adalah pelindung Bwe-hwa-hwe si mawar beracun Ma Siok-tjeng.   Tiga laki2 lainnya agaknya juga bukan tokoh2 sembarangan.   Begitu melihat Ma Siok-tjeng si mawar beracun yang bersifat cabul ini, sontak Suma Bing merasakan darahnya mengalir deras, wanita jalang ini lebih dibencinya daripada Ketua Bwe-hwa-hwe itu.   Bukankah karena perbuatan cabulnya itu maka dirinya sampai mengotori kesucian Phoa Kin-sian.   Begitu tiba segera Ketua Bwe-hwa-hwe menyapu pandang keempat penjuru, lalu berkata kepada Racun utara.   "Tuan lebih baik istirahat sebentar. Biar aku yang membereskan dan menguasai keadaan disini!"   Lalu ia berpaling kearah si mawar beracun dan berkata lagi.   "Ma- houhoat, kau ringkus si orang berkedok itu!"   Bergegas Ma Siok-tjeng mengiakan, dengan langkahnya yang gemulai menggiurkan ia menuju kehadapan si orang berkedok.   Kedua mata Ketua Bwe-hwa-hwe ber-kilat2 menyedot semangat orang menatap wajah Suma Bing.   Situasi dalam gelanggang seketika menginjak kearus yang menegangkan.   Melihat musuh besarnya ini sepasang mata Suma Bing me- nyala2 geram, tak kuat lagi dia menahan gelora hatinya, wajahnya penuh terselubung nafsu membunuh, per-lahan2 ia melangkah maju beberapa tindak, nadanya dingin mendesis.   "Tuan Ketua, mari kita selesaikan perhitungan kita yang tertunggak itu!"   Ketua Bwe-hwa-hwe menyeringai iblis, ejeknya. "Suma Bing, beberapa kali kau lolos dari tanganku, terhitung jiwamu yang besar beruntung. Tapi hari ini, kau sudah pasti mati!"   Suma Bing ganda mendengus hina.   "Bocah ingusan, jangan kau takabur, segera Pun-hwe tiang (aku) membuktikan perkataanku tadi."   "Hari ini akan kubeset kulitmu hidup2, aku juga bisa segera membuktikan ucapanku ini."   "Baik, silahkan bocah ingusan turun tangan?"   Suma Bing menggerung gusar, serunya.   "Hitung2 kau seorang Ketua, tapi kenapa malu bertemu orang, tentu kau bukan kaum keroco yang tidak mempunyai nama bukan?"   "Hehehe, bocah ingusan, tidak sukar kau hendak mengetahui nama dan asal-usul Ketua ini, nanti kalau napasmu sudah tinggal hembusan yang terakhir, pasti akan kuberitahukan kepadamu. Tidak akan kubuat kau mati penasaran."   Saking menahan gusar, Suma Bing merasa dadanya hampir meledak, sambil berteriak keras dilancarkannya sebuah pukulan dengan pengerahan seluruh tenaganya.   Betapa dahsyat perbawa pukulannya ini, rasanya dapat menggugurkan sebuah gunung.   Sambil menjengek hina, Ketua Bwe-hwa-hwe seenaknya saja angkat sebelah tangannya menangkis.   "Blang!"   Suara dentuman yang menggelegar ini menggetarkan semua hadirin.   Sungguh tidak nyana bahwa Ketua mereka yang dipandang bagai malaikat sakti ini kena tergetar mundur satu langkah oleh pukulan musuh kecilnya itu.   Bahwasanya Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri juga bukan olah2 kejutnya, diluar persangkaannya bahwa hanya terpaut beberapa hari saja ternyata bahwa kekuatan lawan sudah bertambah berlipat ganda.   Disebelah sana si orang berkedok juga tengah bertempur seru dan tegang melawan si mawar beracun Ma Siok-tjeng.   Tapi jelas kelihatan bahwa kepandaian dan Lwekang Ma Siok- tjeng agaknya masih lebih tinggi dari si orang berkedok.   Dalam beberapa gebrak saja si orang berkedok sudah kepayahan dibawah angin.   Karena memandang ringan musuhnya, maka begitu bergebrak kontan Ketua Bwe-hwa-hwe mendapat sedikit kerugian, sungguh memalukan dan merendahkan derajatnya bahwa dia sampai kena cidera ditangan musuh.   Untuk mengambil muka segera ia lancarkan tiga serangan berantai.   Untuk ini Suma Bing juga terdesak mundur tiga langkah.   Hal ini menunjukkan bahwa Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe memang berada diatas kemampuan Suma Bing.   Suma Bing kerahkan seluruh kekuatannya dijari tengah tangan kanannya, cincin iblis segera memancarkan cahaya keras dingin yang menyilaukan mata, dimana tangannya itu bergerak langsung ia menyerang kepada musuhnya.   Terbukalah pertempuran seru dari tokoh silat kelas tinggi yang jarang terjadi didunia persilatan.   Disamping sana, keadaan si orang berkedok seumpama keledai yang kehabisan napas menggeh2, dilihat keadaannya paling banyak dia kuat bertahan sampai duapuluh jurus lagi.   Terang tinggal tunggu waktu saja dia bakal terjungkal ditangan si mawar beracun.   Mengandal keampuhan Cincin iblis.   Suma Bing masih kuat bertahan sementara waktu, namun cepat atau lambat diapun pasti akan kalah.   Bahwa Racun utara Tangbun Lu bisa terjungkal ditangan Suma Bing, mimpipun dia takkan menduga.   Boleh dikata kekalahannya itu adalah kekalahan yang paling mengenaskan selama hidup.   Saat mana, wajahnya membeku pucat, sepasang matanya kesima mengikuti terus gerak gerik Suma Bing.   Sementara itu, Racun diracun masih duduk bersila ditengah barisan dengan tenang dan antengnya, seakan dia tidak mendengar dan tidak kuatir karena mempunyai pegangan untuk menyelamatkan diri.   Terdengar suara tertahan seperti orang hampir muntah seketika si orang berkedok meliuk sempoyongan hampir roboh.   Begitu serangannya membawa hasil si mawar beracun masih tidak tinggal diam begitu saja, badannya terus mendesak maju, dimana suaranya membentak keras, sebuah tangannya terayun lagi menggenjot dada si orang berkedok.   Pukulannya ini dilancarkan secepat kilat.   Terang kalau si orang berkedok sudah tidak mampu berkelit atau menghindar lagi, jiwanya terancam...   Sungguh kejut dan gugup Suma Bing bukan kepalang, gesit sekali tubuhnya berkelebat meninggalkan Ketua Bwe-hwa- hwe, langsung ia menubruk kearah Ma Siok-tjeng.   "Blang, bum!"   Dua dentuman terdengar saling susul disertai pekik kesakitan yang luar biasa dibarengi dua bayangan orang terpental terbang beberapa tombak jauhnya.   Untuk menolong jiwa si orang berkedok, waktu menubruk datang tadi Suma Bing kerahkan setaker tenaganya dikedua tangannya terus disapukan kedepan.   Si mawar beracun Ma Siok-tjeng tidak menduga akan serangan yang mendadak ini, kontan tubuhnya terbang jauh sungsang sumbel.   Tapi tidak urung si orang berkedok roboh juga terkena pukulan si mawar beracun Ma Siok-tjeng.   Untung serangan Suma Bing itu sedikit banyak mengurangi kekuatan pukulan Ma Siok-tjeng, kalau tidak mungkin saat itu si orang berkedok sudah menggeletak mampus.   Bersamaan dalam waktu dua bayangan tubuh orang terpental terbang itu sejalur tenaga angin bagai gugur gunung juga telah menimpa kearah Suma Bing, kira2 hanya terpaut beberapa detik saja setelah Suma Bing lancarkan serangannya.   "Buk!"   Kontan Suma Bing mendehem keras sambil muntah darah, badannya tersuruk maju delapan langkah.   Sebelum tubuhnya berdiri tegak angin pukulan kedua sudah menerpa datang lagi lebih dahsyat.   Sambil kertak gigi, sebat sekali Suma Bing menggeser kedudukan lima kaki, kini mereka muka berhadapan muka, jarak mereka terpaut satu tombak.   Disebelah sana, Ma Siok-tjeng dan si orang berkedok sudah terhuyung bangun dan berkutetan lagi tidak kalah serunya.   Pada saat itulah, se-konyong2 sebuah bayangan terbang melesat memasuki gelanggang langsung menubruk kearah ketua Bwe-hwa-hwe.   Tanpa berjanji tiga orang tua dibelakang Bwe-hwa-hwe-tiang segera memapak maju merintangi bayangan yang baru datang ini.   "Plak!"   Kontan ketiga orang tua tersurut tiga tindak, dan bayangan itupun segera terhenti meluncur dan berdiri bergoyang gontai.   Waktu Suma Bing pentang matanya memandang, bergolaklah darah panasnya, yang datang ini kiranya bukan lain adalah Tang-mo atau Iblis timur, musuh besar keluarganya.   Iblis timur mengekeh tawa panjang terus menerjang kearah Bwe-hwa-hwe-tiang ter-sipu2 Ketua Bwe-hwa-hwe bersiaga menghadapi rangsangan lawan.   Terpaksa tiga orang tua tadi mengundurkan diri.   Mata Suma Bing bersinar buas dengan lekat ia awasi Iblis timur yang tengah bertempur melawan ketua Bwe-hwa-hwe.   Karena kehadiran Tang-mo ini terpaksa pertentangannya dengan Ketua Bwe-hwa-hwe harus diketengahkan dulu.   Dia tengah menerawangi situasi, apakah dia harus turun tangan...   Naga2nya kedatangan Iblis timur ini hendak menuntut balas karena kekalahannya tempo hari waktu dia dikepung oleh Pek-hoat-sian-nio beramai, hingga dia terluka parah akhirnya Pedang darahpun direbut orang lain.   Maka dalam kesempatan ini segera ia lancarkan ilmu silatnya yang paling lihay, setiap serangannya tidak mengenal kasihan sama sekali.   Adalah kepandaian ketua Bwe-hwa-hwe memang bukan tingkat rendah, dicecar sedemikian hebat dia masih seenaknya saja bermain silat.   Digelanggang lain keadaan si orang berkedok sudah terdesak lagi dibawah gencetan si mawar beracun yang ganas.   Sekilas Suma Bing menyapu pandang dingin, lalu maju mendekat dan berkata.   "Heng-tai, kau mundurlah!"   Si orang berkedok menurut dan segera mengundurkan diri.   "Kemana kau lari!"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Hardik si mawar beracun, kedua cakarnya mendadak menyelonong tiba.   "Plak".   "Huk"   Sekali turun tangan, Suma Bing membuat si mawar beracun terhuyung tiga langkah. Segera dengan mata genitnya si mawar beracun pelerak pelerok menatap wajah Suma Bing. Suara tawanya jalang dan berkata.   "Saudara kecil, turun tanganmu ini sungguh tidak kenal kasihan!"   "Perempuan jalang tidak tahu malu, hari ini..."   Desis Suma Bing geram.   "Aduh, kalau bicara sungkanlah sedikit, apa yang dinamakan tidak tahu malu?"   "Hari ini akan kubunuh kau."   "Mengapa?" "Hatimu sendiri lebih jelas!"   "O, jadi kau masih teringat peristiwa dibiara bobrok itu. Tapi aku mencintai kau."   Tanpa terasa merongkol keluar otot2 diwajah Suma Bing.   Sungguh tidak nyana bahwa orang begitu tidak tahu malu berani mengucapkan perkataan rendah dihadapan sekian banyak orang.   Tersimpul dalam benaknya bahwa perkumpulan Bwe-hwa-hwe ini tentu berjalan sesat dan bertujuan tidak lurus.   Maka sambil berludah hina segera ia menghardik.   "Tok-bi-kui, hari ini kau sudah pasti mati!"   Sikap genit si mawar beracun masih belum lenyap, dengusnya aleman.   "Apa kau mampu?"   "Baik kau coba2."   Membarengi ucapannya kontan ia kirim tiga serangan saling susul, perbawa pukulannya ini benar2 sangat mengejutkan.   Tangkas sekali si mawar beracun melejit menyingkir, dari sini ia balas menyerang juga dengan tiga kali pukulan pula.   Mulailah mereka keluarkan ilmu sakti masing2 dan bertempur dengan sengitnya.   Bertepatan waktu Suma Bing turun tangan, tiga orang tua itu berbareng menerjang kearah si orang berkedok.   Agaknya kepandaian tiga orang tua ini hebat juga, dalam gebrak pertama si orang berkedok sudah mencak2 kepayahan! Saat mana, keadaan Tang-mo juga sudah kerepotan menghadapi rangsakan ketua Bwe hwa hwe, sewaktu-waktu jiwanya juga terancam elmaut.   Sebuah pekik kesakitan memecahkan kesunyian udara, selebar muka si mawar beracun pucat pias, badannya sempoyongan dua tombak lebih, sebagian besar rambutnya yang hitam kelam sudah terkupas, sampai kulit kepalanya juga terpapas mengalirkan darah oleh cincin iblis Suma Bing, darah membasahi muka dan kedua pundaknya.   Sekali lagi Suma Bing maju mendekat sambil kirim sebuah pukulan dahsyat.   Seakan copot dan terbang sukma Ma Siok-tjeng dari raganya saking ketakutan, tubuhnya melenting sejauh dua tombak.   Otaknya masih jelas teringat bahwa Suma Bing terang bukan menjadi tandingannya tempo hari.   Sungguh tidak nyana terpaut beberapa hari saja, Lwekang lawan ternyata telah maju demikian pesat.   Beruntun terdengar suara bentakan saling susul, tiga orang tua itu tinggalkan si orang berkedok dan ganti haluan menubruk kearah Suma Bing.   Dada Suma Bing sudah dihuni oleh rasa murka dan kebencian yang meluap2, dengan mengerahkan sepuluh bagian tenaga Kiu-yang-sin-kang tangannya meluncur memapak maju.   Kontan terdengar suara pekik menyeramkan yang menggetarkan suasana gelanggang pertempuran.   Dua diantara tiga orang tua itu tujuh lobang indranya mengeluarkan darah segar dan seketika roboh mampus, seorang yang lain berwajah pucat keabu2an, berdiri terlongong2 ditempatnya tanpa bergerak, mulutnya terdengar menggumam.   "Kiu-yang-sin-kang."   Ketua Bwe-hwa-hwe menggerung keras bagai singa ketaton, dilancarkan tiga permainan silat yang paling hebat sehingga Tang-mo terdesak mundur lagi sempoyongan.   Begitu melejit tubuhnya langsung menerjang kearah Suma Bing, belum tubuhnya tiba angin pukulannya sudah menerjang tiba lebih dulu.   "Bagus!"   Jengek Suma Bing dingin. Dua belas bagian tenaga Lwekangnya dikerahkan dikedua lengannya terus disodokkan kedepan untuk menangkis secara keras lawan keras.   "Dar..."   Terdengar benturan menggeledek, tubuh ketua Bwe-hwa-hwe yang meluncur tiba kena tertolak dan melorot jatuh, sedang Suma Bing sendiri terhuyung dua langkah.   Sementara itu Kangouw-su-ok yang terluka oleh pukulan Suma Bing tadi kini sudah berganti napas dan menyerbu datang lagi mengeroyok si orang berkedok.   Ketegangan semakin meruncing dan mencekam hati, membuat perasaan semua orang susah bernapas.   Dari samping Iblis timur mengaum buas sambil lancarkan serangan mengarah Ketua Bwe-hwa-hwe.   Terpaksa Bwe-hwahwe- tiang membalik tubuh melayaninya.   Mendadak tergerak hati kecil Suma Bing secepat mengambil keputusan, maka dilain kejap ia sudah melangkah lebar menghampiri kearah barisan yang mengurung Racun diracun itu.   Para jagoan yang menjaga diluar barisan serentak merasa kaget dan bersiap waspada.   Segera enam batang pedang melintang ditengah jalan.   Wajah Suma Bing membeku penuh nafsu membunuh, tanpa ragu2 kakinya melangkah terus kedepan se-olah2 keenam orang bersenjata pedang tidak dipandang sebelah mata olehnya.   Maka dilain saat sinar pedang berkelebatan, keenam batang pedang serentak bergerak merangsang kearah tubuhnya.   "Kalian cari mati!"   Sambil membentak keras itu, Suma Bing lancarkan jurus Liu-kim-hoat-tjiok.   Bahwa jurus ini adalah hasil ciptaan Sia-sin Kho Jiang yang memakan waktu ber-tahun2 dan sudah memeras keringatnya, berlandaskan kekuatan Kiuyang- sin-kang lagi, maka betapa hebat kekuatannya dapatlah dibayangkan.   Suara pekik dan jerit kesakitan terdengar saling susul menembus udara, enam batang pedang sampai terlepas dari pegangan dan terpental terbang jauh beberapa tombak.   Malah dua yang terdepan kontan roboh tanpa bergerak lagi, sedang empat yang lain ter-guling2 sungsang sumbel sejauh setombak lebih.   Cepat2 Racun utara mendesak maju dan berkata dingin mengancam.   "Siautju, kau juga bermimpi hendak merebut Pedang berdarah?"   Dengan rasa jijik Suma Bing mendengus hidung, jengeknya.   "Apa pedulimu."   Besar dugaan Racun utara bahwa tujuan Suma Bing hendak memasuki barisan adalah hendak merebut Pedang berdarah dari tangan Racun diracun.   Diam2 ia membantin.   bocah ini sudah mendapat didikan sempurna dari manusia sesat itu, malah tubuhnya kebal racun lagi, lebih baik biar Racun diracun yang menghadapi dan meringkusnya.   Sekali dia sudah masuk dalam barisan, seumpama ikan yang masuk jala, apa pula yang harus kukuatirkan.   Oleh pikirannya ini segera ia ulapkan tangan memberi tanda dan berseru.   "Biarkan dia masuk."   Para jagoan yang menghadang didepan Suma Bing ternyata menurut segera menyingkir memberi sebuah jalan. Sambil menyeringai dingin Suma Bing berkata.   "Jadah tua berbisa, hendak melarang juga kau takkan mampu hitung2 kau tahu gelagat!" -- habis berkata dengan langkah lebar ia memasuki barisan. Dalam pada itu, seorang diri menghadapi keroyokan Kangouw-su-ok, keadaan si orang berkedok sudah seumpama semut dalam kuali panas tinggal menuju ajal saja. Sementara Tang-mo juga semakin terdesak dibawah angin, lama kelamaan ciut nyalinya, bukan saja takkan menang malah jiwa mungkin bisa melayang, akhirnya ia angkat kaki melarikan diri mencawat ekor. Mendapat peluang ini segera Ketua Bwe-hwa-hwe memutar tubuh memandang kedalam barisan. Terlihat olehnya Suma Bing tengah berjalan belak belok mengikuti petunjuk yang diberikan oleh si orang berkedok. Setelah melewati dua lintang pohon, dia bertindak tiga langkah kekiri dan maju selangkah, lalu memutar kekanan lima langkah, benar juga barisan ini tiada perobahan apa. Kini dihadapannya melintang sebuah dahan pohon besar sepelukan dua orang, sekali tangannya diayun dahan besar itu segera menggelundung jauh, kini tinggal dua tumpukan batu tinggi yang merintangi dikanan kirinya, segera Suma Bing menyapunya lagi dengan kedua tangannya... Asal sekali lagi ia memecahkan rintangan terakhir, maka berarti pecahlah barisan ini habis-habisan. Melihat keadaan ini Racun utara melonjak kaget dan berseru.   "Celaka, bocah itu tahu cara pemecahannya..."   Wajah ketua Bwe-hwa-hwe berkerut membesi, tangan diulapkan segera keluar perintahnya.   "Bakar!"   Mendengar perintahnya ini semua anak buahnya segera beramai2 angkat obor. Diluar barisan itu sudah penuh terpasang bahan bakar, sekali sundut saja pasti orang dalam barisan akan terbakar hangus menjadi abu. Tapi Racun utara keburu berseru mencegah.   "Jangan, jangan bakar!"   "Kenapa?"   Tanya ketua Bwe-hwa-hwe mendongkol.   "Waktu terkurung didalam barisan Racun diracun sudah menyebar racun berbisa sam-li-hiang!"   "Sam-li-hiang (harum tiga li)?" "Benar."   "Lalu bagaimana?"   "Saudara ketua boleh segera perintahkan semua bawahanmu secepatnya mundur sejauh tiga li, biar lohu sendiri yang akan melepas api."   "Apa masih keburu? Bocah itu segera akan sudah mengobrak-abrik barisan!"   Sementara itu Suma Bing tengah berpaling memandangi obor2 itu, jantungnya berdetak keras, serta merta langkahnya dihentikan.   Kalau mau dengan mudah saja dia masih ada kesempatan berlari keluar barisan.   Akan tetapi, Racun diracun pernah menanam budi memberikan sebutir obat menolong jiwanya.   Mana boleh orang mati konyol didepan matanya disamping itu dia tidak rela kehilangan kesempatan untuk merebut pulang Pedang berdarah itu.   Kalau Racun diracun mati itu berarti Pedang berdarahpun pasti ikut ludas.   Dalam saat genting itu pikirannya serasa kosong, entah apa yang harus diperbuat...   Otak Racun utara berputar keras, dasar cerdas tak lama kemudian ia berseru girang.   "Ada akal. Begitu menyulut api dengan kecepatan yang paling cepat terus berlari kearah yang berlawanan dengan arah angin. Kalau kepandaian tidak lemah pasti dapat keluar dari lingkungan hawa beracun itu. Silakan saudara Ketua memberi perintah!"   Maka tangan ketua Bwe-hwa-hwe sudah diangkat tinggi, tinggal memberi aba2...   Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara tawa dingin yang mengerikan, suara yang menyedot semangat ini bergema dan berkumandang ditengah udara, membuat orang celingukan tidak tahu darimana suara itu datang.   Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ Semua orang yang hadir merasa merinding dan berdiri bulu kuduknya.   Setelah suara tawa itu lenyap, lantas melesat secarik sinar putih memasuki gelanggang dan menancap diatas sebatang pohon.   Jelas itulah sebuah panji kecil bersegi tiga yang ditengahnya terukir sebuah tengkorak dan dua batang tulang bersilang.   "Pek-kut-ji!"   Tanpa terasa Ketua Bwe-hwa-hwe berseru ketakutan.   Nama Pek-kut-ji ini benar2 bagai geledek disiang hari bolong mengejutkan sanubari semua hadirin, semua berobah pucat ketakutan.   Demikian juga Kangouw su-ok dan si orang berkedok serta merta juga menghentikan pertempuran.   Meskipun kecil dan bentuknja sangat sederhana, tapi panji ini sudah menggetarkan dunia persilatan selama ratusan tahun lamanya.   19 CINT A TIDA K MEN GEN AL WAK TU DAN USIA Suma Bing sendiri juga merasa terperanjat.   Untuk apa Pekkut Hujin muncul disitu dan pada saat yang tepat lagi dengan bertanda khas panji kecilnya itu.   Dulu dalam memperebutkan Pedang berdarah dengan Racun diracun, kalau bukan panji kecil ini muncul secara mendadak dan menggebah pergi ketua Bwe-hwa-hwe, mungkin jiwa Suma Bing sudah lama amblas meninggalkan raganya.   Apa maksud dan tujuan Pek-kut Hujin memperlihatkan jejaknya disini? Pek-kut Hujin pribadi atau muridnya? Adalah Racun utara Tangbun Lu bukan saja bersifat kejam dan keji, wataknya juga sangat licik, licin dan banyak akal muslihatnya.   Begitu melihat Pek-kut-ji muncul, segera ia mundur teratur terus tinggal pergi mencawat ekor tanpa perdulikan orang lain.   Memandang bayangan Racun utara yang lari pontang- panting itu, Suma Bing perdengarkan suara dingin mengejek, terus melanjutkan masuk ketengah barisan.   Semua anggota Bwe-hwa-hwe berdiri terlongong bagai patung ditempat masing2.   Bahwa Pek-kut-ji memperlihatkan diri lagi disaat2 situasi yang menguntungkan pihaknya ini benar2 membuat Ketua Bwe-hwa-hwe gusar, takut dan curiga, setelah sangsi sekian lamanya segera ia berseru lantang kearah rimba sebelah dalam sana.   "Apakah yang datang ini adalah Pek-kut Hujin Lotjianpwe?" Beruntun dia bertanya tiga kali tanpa mendapat penyahutan semestinya. Lebih besar dan dalam rasa curiga menyelubungi hatinya. Maka segera ia berkata kepada si orang tua yang masih ketinggalan hidup itu.   "Thio-hiangtju, kau cabutlah panji kecil itu!"   Si orang tua yang dipanggil Thio-hiangtju itu kontan pucat pias wajahnya, tapi tak berani dia membangkang perintah ketuanya, maka dengan suara gemetar menyahut.   "Baik, hamba terima perintah!" mulut mengiakan namun tubuhnya tetap berdiri tanpa bergerak. Mulut ketua Bwe-hwa-hwe mendehem keras2 dan pandangannya sangat mengancam. Tidak ketinggalan pandangan semua hadirin juga tengah menatap kearah si orang tua ini. Setelah takut2 dan ragu2 sekian lamanya, akhirnya si orang tua nekad juga berkelebat maju terus mencabut panji diatas pohon itu. Tapi baru saja tangannya menyentuh gagang Pek- kut-ji, seketika ia menjerit seram terus roboh binasa. Seakan copot nyali Ketua Bwe-hwa-hwe, segera ia berseru nyaring. "Mundur!" Maka bayangan berkelebatan dalam sekejap mata saja semua orang sudah merat melarikan diri. Setelah Suma Bing memporak-porandakan barisan perlawanan Ngo-heng-tin ini baru terlihat Racun diracun berdiri dan angkat tangan memberi hormat serta katanya.   "Aku harus berterima kasih kepada kau!"   "Tidak perlu!"   Sahut Suma Bing kaku.   "Tapi kau menolong aku sehingga bebas dari kurungan ini."   "Ini sebagai imbalan budi pemberian obatmu tempo hari, dua belah pihak tidak saling berhutang budi, kita seri satu- satu, tentang..."   "Tentang apa?"   "Lain kali kita bertemu lagi, aku sendiri tidak akan lepaskan kau!"   "Mengapa tidak sekarang saja?"   "Apa tuan ingin sekarang juga menyelesaikan perhitungan lama itu?"   "Ya, begitulah."   "Dimana?"   "Disini dan sekarang juga!"   "Tidak bisa"   "Kenapa?"   Tanpa terasa mata Suma Bing melirik kearah Pek-kut-ji sambil menyahut.   "Aku harap kita berpindah ketempat lain"   Racun diracun tertawa ringan, katanya.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Jadi kau takut pada pemilik panji kecil itu?"   Ucapannya ini menimbulkan rasa congkak Suma Bing, serunya keras.   "Apa yang perlu ditakuti, baiklah, disini juga kita selesaikan urusan kita"   "Silakan kau sebutkan dulu ada berapa banyak perhitungan lama?"   "Pertama kau menggunakan Racun tanpa bayangan membinasakan adik Siang Siau-hun dan tunangannya Li Bun- siang. Perbuatan yang kejam telengas ini kau timpakan pada dua jiwa muda yang tidak berdosa, perhitungan inilah yang harus dibikin beres."   "Ada sangkut paut apa kau dengan peristiwa itu?"   "Semua urusan yang kepergok ditanganku, harus kuurus."   Racun diracun mendengus dingin, jengeknya.   "Suma Bing itu merupakan salah paham. Mengapa kau turut campur, biarkan Siang Siau-hun sendiri yang membereskan?"   "Tidak bisa!"   Sahut Suma Bing ketus penuh ketegangan.   "Kenapa tidak bisa?"   "Bahwasanya tanpa begebrak, racun jahatmu itu sudah cukup menamatkan jiwa Siang Siau-hun!"   "Dia kekasihmu?"   "Kau tidak perlu tahu."   "Kalau dia ingin menyelesaikan sendiri dan tidak rela kau membantu?"   Sejenak Suma Bing berpikir, lalu sahutnya.   "Baik juga, yang kedua, segera tuan serahkan Pedang darah kepadaku."   "Kalau aku jawab tidak?"   "Hm, mungkin kau tidak akan mampu berbuat begitu." "Suma Bing, kau sangat takabur, kau tahu berapa jurus kau kuat menghadapi aku?"   "Mungkin bisa kubunuh kau!"   "Kalau kau dapat menangkan aku setengah jurus. Pedang darah segera kupersembahkan kepadamu, atau sebaliknya jangan kau bermimpi lagi."   "Baik sambutlah seranganku ini."   Seru Suma Bing gusar.   Habis ucapannya serangannya sudah menjojoh tiba didepan muka Racun diracun.   Racun diracun berlaku sangat tenang, begitu pukulan lawan mendekat seenaknya saja sebelah tangannja dikebutkan, jangan pandang ringan kebutannja ini, karena sekali gebrak kebutannya ini mengincar berbagai jalan darah didepan dada Suma Bing.   Dengan serangan menghadapi serangan, maka yang menyerang pasti harus membela diri.   Demikian juga keadaan Suma Bing, melonjak keras denyut jantungnya, terpaksa dia harus membatalkan serangannya terlebih dahulu dia harus melindungi jiwa sendiri.   Dimana terdengar dia menggerung keras, serangannya lagi2 sudah merangsang tiba, kali ini ia kerahkan seluruh kekuatan tenaganya, maka perbawa pukulannya ini seumpama geledek menyambar dan air bah melanda.   Agaknya Racun diracun juga tidak mau unjuk kelemahan tangan diangkat ia sambut pukulan Suma Bing ini secara keras juga.   "Bum", benturan keras ini menerbitkan badai angin yang bergulung tinggi dan mengembang deras keempat penjuru hingga pohon2 disekitarnya tergetar rontok daon dan dahan2nya. Tubuh Racun diracun ber-goyang2, sebaliknya Suma Bing tersurut dua langkah. Dalam gebrak permulaan ini jelas kelihatan bahwa Lwekang Racun diracun masih setingkat lebih unggul diatas Suma Bing. Tercekat hati Suma Bing. Bukan saja Racun diracun merajai dalam dunia racun, malah kepandaian silatnya juga bukan olah2 lihaynya. Dalam dunia persilatan pada masa itu yang kuat menandingi kepandaiannya mungkin dapat dihitung dengan jari. Pada saat itu si orang berkedok secara diam2 sudah mendekat maju berdiri diluar lingkungan pertempuran. Se-konyong2 Racun diracun angkat sebelah tangan sambil berseru.   "Tahan sebentar!"   "Tuan ada omongan apa lekas katakan!"   Desak Suma Bing tidak sabaran.   "Saat ini kau masih bukan tandinganku."   "Tiada halangannya kita coba2."   "Agaknya, kita tidak perlu bertempur mati2an."   "Mengapa?"   "Bukankah tujuanmu hanya hendak merebut Pedang berdarah?"   "Benar, aku harus mendapatkannya!"   "Tapi Pedang darah saat ini tidak berada ditanganku."   Suma Bing melengak tertegun. Kalau Pedang berdarah benar2 tidak berada ditangan Racun diracun, seandainya dirinya menang apapula gunanya? Seketika ia bungkam berpikir2. Nada suara Racun diracun sudah berobah kalem dan tidak sedingin semula.   "Suma Bing. Terus terang kuberitahukan, Pedang berdarah tiada gunanya terhadapku, kalau belum mendapatkan Bunga      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com   / iblis, Pedang berdarah berarti barang rongsokan yang tidak berguna. Lebih baik marilah kita adakan janji sejati..."   "Apa maksudmu dengan janji sejati..."   "Sebenarnya Pedang darah sudah kau rebut dari tangan Tang-mo, dan akhirnya terebut pula olehku. Kalau kau bisa memperoleh Bunga iblis. Pedang berdarah tanpa syarat kupersembahkan kepadamu, bagaimana?"   Tergerak hati Suma Bing, sungguh dia tidak habis mengerti apa maksud tujuan sepak terjang Racun diracun. Manusia beracun yang lebih berbisa dari Racun utara ini masa begitu gampang diajak berkompromi. Maka setelah sangsi sekian lamanya ia menegasi.   "Benar2 kau serahkan tanpa syarat?"   "Begitulah maksudku"   "Tapi aku tidak sudi terima kebaikanmu ini."   "Kenapa?"   "Kau telah merebutnya dari tanganku, sudah seharusnya aku merebutnya kembali mengandal kepandaianku."   "Hehehe, Suma Bing, sudah kukatakan kuserahkan tanpa syarat, tak perlu kau turun tangan."   "Tuan ada maksud apa silahkan terangkan secara total?"   "Tiada maksud apa2, kuserahkan tanpa syarat."   Mau tak mau Suma Bing harus berpikir panjang, setelah sekian lama merenung akhirnya ia berkata dengan nada berat.   "Kalau aku tidak bisa mendapatkan Bunga-iblis?"   "Kau boleh merebut kembali mengandal kepandaianmu!"   "Baik, kita tentukan begitu"   "Siapa dia?"   Tiba2 tanya Racun diracun mengalihkan persoalan.   "Seorang sahabatku" "Maksudku siapa dia?"   Sekilas Suma Bing mengerling kearah si orang berkedok, mulutnya terkancing tak tahu dia apa yang harus dikatakan.   Memang dia belum mengetahui siapa si orang berkedok sebenarnya.   Mereka bersahabat dalam pertemuan secara kebetulan karena beberapa sebab...   Terdengar Racun diracun mendesak lagi.   "Sungguh kau tidak tahu siapa dia?"   Dalam keputus asaannya Suma Bing naik pitam dan menyahut ketus.   "Agaknya hal ini tiada sangkut pautnya dengan tuan?"   "Tapi apa kau tidak ingin tahu siapa dia?"   Menatap Racun diracun, tanpa terasa si orang berkedok mundur satu langkah.   Betapa tidak Suma Bing juga ingin mengetahui siapakah si orang berkedok ini.   Tapi terikat oleh perjanjian waktu mereka berkenalan semula, tiada alasan lagi dia minta atau membuka kedok penyamaran orang.   Bersama itu dia juga tidak ingin Racun diracun turut mencampuri hubungan pribadi mereka, maka sambil menggeleng kepala dia menyahut.   "Inilah urusan antara dia dan aku, tidak perlu tuan turut campur, silahkan tuan lanjutkan perjalananmu."   Racun diracun tertawa ejek, desisnya.   "Kalau aku ingin tahu siapa dia sebenarnya?"   "Ini..."   Suma Bing tergagap, entah apa yang harus diucapkan. Sebaliknya si orang berkedok ikut bicara dengan penuh perasaan.   "Tuan apakah maksudmu ini?"   Sepasang bola mata Racun diracun yang memutih itu berputar memancarkan sinar terang menatap tajam diwajah si orang berkedok, seakan hendak menembus isi hatinya, lama sekali baru dia membuka kata.   "Aku hendak menyingkap kedokmu itu."   "Tuan, buat apa kau mendesak orang sedemikian rupa. Bagi seorang Bulim adalah jamak kalau dia mempunyai suatu rahasia pribadi."   "Aku tidak suka melihat orang yang sembunyikan kepala unjukkan buntut!"   "Tapi, tuan, kau sendiri..."   "Aku bagaimana?"   "Apakah yang tuan unjukkan sekarang ini juga wajah aslimu?"   Racun diracun tersentak kaget dan mundur satu tindak.   Adalah Suma Bing juga ikut terperanjat.   Sedemikian hitam kelam raut wajah dan seluruh kulit Racun diracun kiranya juga adalah penyamaran, kepandaian make-up sedemikian lihay boleh dikata jarang diketemukan diseluruh dunia persilatan ini, karena hakekatnya sedikitpun tidak terlihat lobang kelemahan dari penyamarannya itu.   Terdengar si orang berkedok melanjutkan kata-katanya.   "Kepandaian Hian goan tay hoat ih sek tuan benar2 hebat sekali, kepandaian semacam ini..."   "Bagaimana?"   Tiba2 bentak Racun diracun bengis.   Tergetar tubuh si orang berkedok, seakan2 menguatirkan sesuatu dia hentikan kata2 selanjutnya.   Lebih besar rasa curiga dan heran Suma Bing, mengenai kepandaian Hian goan tay hoat ih sek baru sekali ini ia pernah dengar.   Entah mengapa karena bentakan Racun diracun kontan si orang berkedok tidak berani melanjutkan kata2-nya, maka segera ia berpaling dan bertanya.   "Heng-tai, ada apakah?"   Si orang berkedok menggeleng kepala tanpa membuka suara. Terdengar Racun diracun mendengus dingin dan mengancam.   "Orang berkedok, kau buka sendiri kedokmu atau ingin aku yang turun tangan?"   Didesak demikian rupa si orang berkedok mundur ketakutan, sahutnya gemetar.   "Apa tuan betul2 hendak berbuat demikian?"   "Selamanya aku tidak pernah bicara dua kali."   "Apakah sepak terjang tuan ini tidak keterlaluan?"   "Terserah kalau kau beranggapan demikian!" Mulut berkata demikian, Racun diracun sudah angkat langkah mendesak maju kearah si orang berkedok... Dalam situasi yang gawat ini pikiran Suma Bing berkelebat cepat. Meskipun si orang berkedok menutupi mukanya, jelek2 masih terhitung sahabat kentalnya, mana bisa dia mengawasi Racun diracun mendesaknya sedemikian rupa untuk membuka kedoknya. Setelah tetap pikirannya segera ia memburu maju menghadang didepan si orang berkedok dan berkata.   "Tuan, kusilahkan kau segera berlalu!"   Serta merta Racun diracun menghentikan langkahnya, serunya.   "Suma Bing, berdekatan dengan seorang yang belum terang asal-usulnya, berarti lebih berbahaya dari berkawan dengan seekor harimau!"   Suma Bing tergetar oleh ucapan terakhir Racun diracun, tapi selekas itu pula dia menjawab dengan angkuhnya.   "Kukira hal itu tiada sangkut pautnya dengan kau."   "Apa kau hendak merintangi aku?"   "Sudah tentu!"   "Kau tidak menyesal?"   "Selamanya aku belum pernah kenal akan arti menyesal."   "Bagus sekali, begitulah kuharapkan!" Setelah perdengarkan suara tawa lengking sekian lama, mendadak tubuh Racun diracun melenting tinggi terus menghilang dibalik bayangan pohon didalam hutan. Per-lahan2 pandangan mata Suma Bing beralih kearah panji kecil diatas pohon itu. Seketika ia menyedot hawa dingin. Kiranya orang yang telah berani menyentuh Pek-kut-ji tadi kini hanya tinggal tulang kerangkanya saja yang memutih bertumpuk diatas tanah, jangan kata kulit sampai baju serta dagingnyapun sudah lenyap tanpa bekas. Kejadian yang mengejutkan dan menciutkan nyali ini, tidak heran kalau Ketua Bwe-hwa-hwe yang sudah tenar malang melintang segera lari lintang-pukang! "Saudara kecil mari kita pergi."   Kata si orang berkedok lesu penuh kesedihan. Suma Bing manggut2 maka berbareng tubuh mereka melejit tinggi berlari keluar rimba. Tapi baru beberapa langkah saja, tiba2 si orang berkedok menghentikan langkahnya dan berkata dengan nada berat.   "Saudara kecil..."   Terpaksa Suma Bing ikut berhenti, tanyanya.   "Saudara tua ada omongan apa silahkan katakan" "Apakah perguruanmu ada hubungan erat dengan Pek-kut Hujin?"   "Setahuku tidak ada, apa maksud pertanyaan saudara ini?"   "Pek-kut-ji muncul dua kali pada saat2 kau menghadapi bahaya, hal ini tentu bukan secara kebetulan, jelas kiranya memang sengaja hendak menolong kau, apa kau sudah merasa akan hal itu?"   "Hatiku masih diselimuti banyak pertanyaan!"   "Sikap dan sepak terjang Racun diracun terhadap kau agaknya juga sangat ganjil."   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Aku juga merasakan hal itu."   Sahut Suma Bing penuh tanda tanya.   "Saudara kecil, apa kau sudah mulai merasa curiga terhadap aku?"   "Curiga, apa maksudmu?"   "Umpamanya tingkah lakuku..."   "Tidak!"   Sahut Suma Bing tegas tanpa banyak pikir.   Memang terhadap tindak tanduk si orang berkedok sedikitpun dia tidak menaruh rasa curiga.   Jikalau si orang berkedok bermaksud jahat terhadap dirinya, banyak kesempatan untuk dia turun tangan dalam masa2 pergaulan yang telah lalu itu, tapi dia tidak, sebaliknya berulangkali telah menolong jiwanya dari renggutan elmaut.   Kalau dia mengenakan kedok tentu ada kesukaran pribadinya yang susah dijelaskan.   Suara si orang berkedok lirih dan gemetar.   "Saudara kecil, apa kau tidak ingin melihat wajah asliku?"   "Aku tidak bermaksud begitu"   "Tapi aku sudah tidak ingin mengelabui kau lagi!"   Habis berkata, per-lahan2 ia tanggalkan kedoknya.   Maka terlihatlah sebuah wajah yang cakap putih dalam usia pertengahan umur, dagu dan jidatnya memelihara jenggot panjang yang memutih.   Dari kecakapan wajahnya itu terlintas rasa duka dan hampa.   Suma Bing terlongong mengawasi wajah orang, tak tahu dia siapakah orang ini.   "Saudara kecil, kau tidak tahu siapa aku?"   "Aku tidak kenal kau!"   "Akulah Tiang-un Suseng Poh Jiang!"   Suma Bing berjingkrak kaget seperti disengat kala.   Mimpipun ia tidak menduga bahwa si orang berkedok ini kiranya adalah Tiang-un Suseng, musuh perguruannya yang menghilang dan susah dicari itu.   Gelap pandangan Suma Bing, otaknya pepat, hatipun terasa mendelu.   Persahabatan, budi dan dendam kesumat campur aduk bergolak dalam benaknya...   Baru sekarang dia sadar, waktu mereka berkenalan untuk pertama kalinya, dia membawa dirinya kedepan kuburan palsu Tiang-un Suseng itu kiranya mempunyai arti yang dalam.   Dia heran bahwa Tiang-un Suseng Poh Jiang sudah tahu bahwa dirinya merupakan musuh besar daripada Bu-lim-sip-yu.   Mengapa dalam berbagai kesempatan yang ada dia tidak turun tangan melenyapkan jiwanya, malah mengulur tangan untuk bersahabat? Terhitung sebagai seorang sahabat? Atau sebagai musuhkah orang ini? Terbayang akan Sia-sin Kho Jiang yang dikorek matanya dan dikutungi kedua kakinya hingga menjadi manusia tanpa daksa, akhirnya mati secara mengenaskan setelah racun bekerja dalam tubuhnya.   Pesan gurunya sebelum ajal sekali lagi terkiang dalam telinganya.   "... menuntut balas..."   Perintah guru lebih penting! Demikianlah titik berat daripada penilaian terakhir Suma Bing setelah berpikir panjang sekian lamanya. Wajah Tiang-un Suseng yang ber-kerut2 mulai lamban dan tenang kembali, nada suaranya berat dan sember.   "Sumahiangte, bagaimana kau hendak menghadapi aku?"   Suma Bing undur selangkah, sedapat mungkin ia mengekang perasaan hatinya yang bergejolak, katanya dingin.   "Poh-heng, aku tidak akan mengingkari persahabatan kita yang kekal, terutama budimu yang besar terhadapku. Tapi kau adalah salah satu musuh yang ikut mencelakai suhuku kenyataan ini tidak mungkin dihapus..."   "Aku paham, hanya katakanlah bagaimana kau hendak menghadapi aku?"   "Harap kau suka memaafkan, perintah guru harus kulaksanakan."   "Menggunakan cara seperti membunuh Tji Khong Hwesio dulu itu?"   Suma Bing menggigit bibir, katanya.   "Benar, tapi untuk persahabatan kita kelak kalau urusanku sudah beres, pasti aku akan memberikan pertanggungan jawabku."   Tiang-un Suseng Poh Jiang tertawa ewa, ujarnya.   "Saudara kecil, kepala saudaramu yang bodoh ini kau boleh ambil, tapi ada beberapa kata patah hendak kujelaskan."   "Silahkan katakan!"   "Peristiwa di Bu-san dulu, biang keladinya adalah suhengmu Loh Tju-gi. Ketahuilah bahwa Bu-lim-sip-yu juga merupakan satu pihak yang kena cedera. Loh Tju-gi membunuh tiga diantara kita sepuluh kawan, dan menimpakan bencana ini kepada suhumu tujuannya ialah hendak menggunakan kekuatan Bu-lim sip-yu untuk melenyapkan gurumu, dengan demikian ia lepas dari dosa sebagai murid yang durhaka mengkhianati guru..."   Sejenak Tiang-un Suseng merandek menekan perasaan hatinya, lalu berkata lagi.   "Tiga diantara Bu-lim-sip-yu sudah mati ditangan Loh Tju- gi, satu lagi mati ditanganmu.   Leng Hung-seng Ciangbunjin dari Ceng-seng-pay tewas ditangan Ketua Bwe-hwa-hwe, Tjoh Pin Ngo-ouw Pangcu meninggal terbokong oleh suatu tutukan aneh yang mematikan.   Jenazah Lo-san-siang-kiam rebah ditengah jalan Siang-im.   Tulang belulang Goan Hi dari Siaulim terkubur diluar kota Kay-hong.   Kini Bu-lim sip-yu tinggal satu yaitu aku sendiri saudara tuamu.   Hian-te, karena peristiwa dulu itu adalah tipu muslihat orang yang mengadu domba kita, maka aku tidak pandang kau sebagai musuh, bahwasanya dengan perbuatanku ini aku berusaha untuk menebus dosa kita yang telah mencelakai suhumu dulu.   Sudah ucapanku sampai sekian saja!"   Pikiran Suma Bing menjadi pepat dan gundah, demi kebenaran dan keadilan memang dia tidak seharusnya menuntut balas kepada Tiang-un Suseng, namun lantas bagaimana pertanggungan jawabnya kepada gurunya dialam baka? Suasana sesaat mencekam sanubarinya sehingga terasa seakan membeku.   Akhirnya sifat2 Sia-sin Kho Jiang yang menurun dan terpendam dalam benak Suma Bing memenangkan kesadaran dirinya sendiri.   Benaknya mengambil suatu keputusan tegas, maka sambil mengertak gigi ia berkata.   "Poh-heng, aku Suma Bing dapat membedakan antara budi dan dendam. Karena pesan guruku aku harus turun tangan terhadap kau, demi persahabatan kita biar kelak aku bunuh diri untuk menebus kesalahanku ini."   "Itupun tidak perlu", ujar Tiang-un Suseng gemetar.   "Sekarang boleh kau turun tangan, aku tidak akan membalas."   Sebenarnya sanubari Suma Bing terasa sangat pedih, kalau lawan benar2 tidak melawan, dia takkan kuat bertahan.   "Tidak, kau harus melawan, balaslah menyerang sekuat yang kau bisa." "Melawan atau tidak hakikatnya sama saja."   Pada saat itulah se-konyong2 terdengar sebuah helaan napas lirih yang mengandung kepedihan dan kegetiran hati.   Tanpa terasa Suma Bing mengkirik kejut, dimana pandangannya tertuju, terlihat tiga tombak dibelakangnya sana berdiri seorang wanita serba hitam yang rambutnya terurai panjang.   Dia tak lain tak bukan adalah Sim Giok-sia putri Lam-sia dengan Se-kui.   Sekali lagi Suma Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.   Sementara itu, tubuh Tiang-un Suseng juga terhuyung mundur, matanya terbelalak lebar.   Sepasang kekasih yang menderita segala siksaan dan rintangan, akhirnya bertemu lagi setelah berpisah selama tiga puluh tahun lamanya, sang waktu sudah membuat mereka menanjak pada usia ketuaan.   Per-lahan2 Sim Giok-sia menyingkap rambutnya kebelakang kepala, wajah pucat yang berkerut dan layu penuh dibasahi air mata, bola matanya dengan tajam menatap wajah Tiang-un Suseng.   Sinar matanya itu benar2 menyedot sukma dan semangat orang yang dipandang.   Wajah Tiang-un Suseng juga pucat pasi, tubuhnya tergetar hebat menahan gelora hatinya.   "Adik Sia!"   "Engkoh Jiang!"   Sambil berseru serta merta mereka memburu maju dan saling berpelukan dengan kencang.   Per-lahan2 Suma Bing membalik tubuh kearah lain, perasaan hatinya susah dilukiskan.   Musuh besar suhunya! Menjadi kekasih sucinya! Juga menjadi sahabat kentalnya! Bagaimana dia harus mengambil sikap? Se-konyong2 seakan dia mendapat suatu petunjuk, mulutnya menggumam.   "Kalau suhu mengetahui dialam baka pasti dapat mengampuni aku.   Pasti dia orang tua juga rela menghapus dendam kesumatnya.   Ya, biarlah pertikaian ini habis sampai disini...   Samar2 kupingnya mendengar percakapan yang meremukkan hati...   "Adik Sia, aku tahu langit susah ditambal, laut sukar diuruk, kukira hidupku ini akan nestapa sepanjang masa..."   "Engkoh Jiang, tiga puluh tahun, sudah membuat jiwa kita luntur, ada apalagi yang dapat kita peroleh?"   "Adik Sia, cinta tidak mengenal waktu dan segala batas..."   "Ya, tapi sekarang kita sudah tua!"   Karena mencintai Tiang-un Suseng Poh Jiang, Sim Giok-sia dipenjarakan selama tiga puluh tahun oleh ibunya (Setan barat).   Sekarang sepasang kekasih ini dapat bersua kembali.   Cinta mereka masih tetap murni dan abadi, tapi masa remaja sudah lanjut takkan kembali lagi.   Belum tentu mereka takkan bahagia, namun bahagia ini rada terlambat datangnya, pengorbanan yang harus mereka curahkan terlalu besar.   'Kita sudah tua!' kata2 ini rasanya sudah cukup menerangkan segala2nya.   Dalam hati Suma Bing mengambil suatu keputusan drastis, dia tidak boleh merenggut kebahagiaan sucinya yang terlambat.   Hutang darah ini, biar ditumpahkan dan dipikul oleh Suhengnya Loh Tju-gi yang durhaka itu.   Dia tidak tahu apakah keputusan itu benar, namun secara langsung ia merasakan bahwa suhunya yang dialam baka juga tidak akan menentang pendapatnya ini.   Sekilas ia memandang kedua kekasih yang masih berpelukan mesra, sekali melejit bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana.   Lama dan lama sekali baru dua kekasih yang berpelukan dan rindu akan kemesraan itu saling pandang dan tersenyum tawa, tapi senyum tawa mereka adalah kecut, karena mereka sudah menelan kegetiran cinta.   Se-konyong2 Tiang-un Suseng tersadar dan berseru kejut, serunya.   "Kemana dia pergi"   "Adik seperguruanku! (sute)..."   "Apa, Suma Bing adalah Sutemu?"   Sim Giok-sia mengiakan.   "Bagaimana bisa terjadi..."   "Suhunya itu adalah ayah kandungku!"   "O, tapi kenapa kau she Sim?"   "Aku ikut she ibuku, ibuku juga menjadi guruku!"   Dengan penuh kejut dan keheranan Tiang-un Suseng Poh Jiang bertanya.   "Adik Sia, bukankah dulu kau mengatakan bahwa kau adalah seorang bayi yang diketemukan!"   "Memang riwayat hidupku baru belum lama ini kuketahui!"   "Gurumu juga adalah ibumu, mengapa dia mengurungmu selama tiga puluh tahun, masa tiada rasa cinta ibu kepada anak kandungnya..."   Sim Giok-sia tertawa pahit, katanya.   "Kejadian yang dia alami dulu sangat menyakiti hatinya. Aku tidak dapat menyalahkan dia, aku tahu dia sangat sayang kepadaku. Karena kesalahan pahamnya dengan ayahku, maka dia sangat membenci dan mendendam kepada seluruh laki2 didunia ini, maka..."   "Adik Sia, yang sudah lalu biarkanlah pergi, kelak..."   "Kelak bagaimana?"   "Apa kau tidak ada persiapan?"   Dengan sedihnya Sim Giok-sia tertawa ewa, ujarnya.   "Engkoh Jiang, kita sudah tua, lebih baik biarlah kita cadangkan rasa kasih mesra yang sangat berharga ini."   "Adik Sia, gemblengan dan ujian selama tiga puluh tahun, apa yang telah kita dapatkan? Kehampaan yang kita dapat. Tapi juga boleh dikata kita telah memperoleh terlalu banyak."   "Apa?"   "Cinta murni yang abadi dan teguh kukuh tak terpisahkan oleh masa dan usia."   "Adik Sia, apa kau rela cinta kita yang merana dan nestapa ini tiada akhirnya?"   "Sudah terlambat"   "Tidak, seseorang menggunakan seluruh tenaga sisa hidupnya, untuk mengejar sesuatu benda, tujuan yang utama hanyalah untuk mendapat kepuasan hati yang terakhir, meskipun kepuasan itu hanya sekejap mata saja, atau sudah luntur, tapi itu cukup untuk mengganti dan menambal semua pengorbanan yang telah dia curahkan."   Mendengar penjelasan yang merasuk hati ini timbullah sinar terang pada wajah Sim Giok-sia yang kurus kepucatan. Se-konyong2 berobah air muka Tiang-un Suseng, katanya.   "Adik Sia, pertikaian antara Bu-lim-sip-yu dengan ayahmu..."   "Aku tahu biang keladinya yang utama adalah Loh Tju-gi seorang. Memang keputusan ayah menyuruh Suma-sute menuntut balas adalah tidak patut!"   Gemetar suara Tiang-un Suseng.   "Adik Sia selama hayat masih dikandung badan, aku harus mencari bajingan Loh Tju- gi itu..."   "Sudah tentu, aku Suma Bing sudah pasti harus mencarinya."   Sekali lagi mereka berpelukan dengan mesranya, bahagia yang terlambat datang ini, akhirnya mengikat sejoli yang akan melangkah kejenjang hidup baru.   Dalam pada itu sepanjang perjalanan pikiran Suma Bing gundah tidak tentram.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Menurut cerita Si maling bintang Si Ban-tjwan bahwa ibunya masih hidup didunia ini.   Tapi selama sepuluh tahun lebih ini, mengapa tidak terdengar tentang kabar cerita atau jejaknya dikalangan Kangouw.   Semestinya dia sudah muncul lagi untuk menuntut balas pada musuh2 besarnya, hal ini benar2 membuat orang tak habis mengerti! Latar belakang apalagi yang menyebabkan Loh Tju-gi menyekap diri selama empatbelas tahun ini setelah dia menduduki jago nomor satu diseluruh jagad? Sudah dua kali Pek-kut Hujin menolong jiwanya, dengan sengaja atau secara kebetulan? Kalau sengaja, apalagi tujuannya? Lima sisa dari Bu-lim-sip-yu beruntun mati secara misterius, siapakah yang membunuh mereka? Racun diracun pernah mengatakan kalau dirinya sudah mendapatkan Bunga-iblis Pedang berdarah segera diserahkan tanpa syarat.   Meskipun maksud tujuan Racun diracun ini susah diselami, tapi bagaimanapun juga dia harus mencoba sekuat tenaga.   Sebab bukan saja hal itu merupakan pesan terakhir suhunya sebelum ajal, juga menjadi cita2 ayahnya semasa hidup! Kalau bibinya Ong Fong-jui mengatakan bahwa Bunga-iblis berada ditangan seorang momok wanita, bernama Bu-siang- sin-li, pasti hal ini boleh dipercaya.   Usia Bu siang sin li sudah seabad lebih, ilmu silatnya susah dijajaki, dia bersemayam di Bu-kong-san.   Dengan semangat me-nyala2 dan penuh harapan inilah Suma Bing tengah langkahkan kakinya menuju ke Bu-kong-san.   Bersama itu dia juga merasa bahwa perjalanannya ini agak membabi buta, seumpama benar2 dia dapat menemukan Busiang- sin-li, mengandal alasan apa dia hendak minta BungaTiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ iblis yang dipandang pusaka paling berharga dimata para kaum persilatan? Begitulah pikiran Suma Bing me-layang2 jauh, dari sejak pertama kali ia turun gunung melaksanakan perintah suhunya sampai peristiwa yang baru saja dialami, semua terbayang didepan matanya.   Hari itu waktu tengah hari, setelah menangsel perut disebuah rumah makan, setelah Suma Bing menanyakan jalan menuju ke Bu-kong-san kepada pelayan, terus melanjutkan perjalanan.   Dalam perhitungannya dua hari lagi dirinya pasti sudah tiba diwilayah pegunungan Bu-kong-san.   Tengah ia mengayun langkah itulah tiba2 sebuah bayangan manusia dengan kecepatan terbang bagai bintang jatuh meluncur cepat kearah dirinya.   20.   WANITA GILA KORBAN PERMAINAN LOH TJU- GI.   Ter-sipu2 Suma Bing menggeser kesebelah kanan, maksudnya untuk mengelak supaya orang lewat dengan leluasa.   Tapi ternyata bayangan orang itu juga berkelit kearah yang bersamaan dengan sengaja.   Kedua belah pihak meluncur dengan kecepatan penuh, dalam detik2 hampir bertumbukan itulah.   Mendadak Suma Bing menyedot hawa dalam, sebat sekali kakinya menjejak tanah, kontan tubuhnya melesat tinggi ketengah udara terbang melewati atas kepala bayangan orang itu...   Maka terdengarlah suara gemerantang, terlihat bayangan manusia itu juga menghentikan luncuran tubuhnya terus memutar balik.   Waktu Suma Bing mengawasi bayangan orang ini, tanpa terasa ia menyedot hawa dingin karena yang dihadapinya ini kiranya adalah seorang wanita pertengahan umur yang rambutnya acak2an, bajunya kusut masai banyak tambalannya, kedua matanya kuyu redup, dan yang lebih mengherankan bahwa dileher wanita itu terikat seutas rantai panjang warna hitam yang terurai panjang diatas tanah.   Sekilas pandang Suma Bing segera bermaksud tinggal pergi.   "Kau jangan pergi!"   Sebuah suara kaku tanpa perasaan menghentikan langkahnya, suara itu membuat merinding dan tak enak perasaan Suma Bing. Suma Bing tertegun sambil membalik tubuh lagi, tanyanya dingin.   "Siapa kau?"   Mendadak wanita itu berkakakan menggila tak henti2nya, sekian lama dia me-liuk2 tertawa baru berhenti.   Kedua matanya yang kuyu redup mendadak memancarkan sinar kebencian yang ,me-nyala2 menakutkan orang.   Wajah keropos yang pucat pias itu menjadi bengis membeku penuh hawa membunuh, serunya sambil mengertak gigi.    Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Walet Besi Karya Cu Yi Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini