Walet Besi 12
Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 12
Walet Besi Karya dari Cu Yi "Kesalahan besar?" "Bu Tiat-cui adalah tokoh yang memegang kunci pemecahan misteri ini. seharusnya kau membiar-kannya hidup, seharusnya kau tidak membunuhnya" "Situasi SUCI c* h sangat mendesak. Aku tidak bisa menimbang-nimbang terlalu banyak" "Apa maksudmu situasi sudah mendesak?" "Apakah kau tidak melihat pedang yang dipegang oleh Bu Tiat-cui?" "Aku melihatnya" "Dia tiba-tiba membalikkan badan dan berusaha membunuhku. Apa yang harus aku lakukan?" "Cu Taiya! Apakah Bu Tiat-cui yang menyerangmu pertama kali?" "Betul" "Dia pertama ingin membunuhmu, setelah itu kau berusaha membela diri dan membunuhnya. Ini membuktikan kalau ilmu silat dan ilmu pisaumu lebih hebat dibanding dirinya. Kalau anda tidak bermaksud membunuhnya, anda tidak perlu menancapkan pisau itu di tubuhnya. Lagipula jalan darah pentingnya sudah menempel sebatang jarum besi. Cu Taiya! Bukankah ini adalah sebuah kesalahan besar?" "Aih...! ini hanyalah sebuah kebetulan... Thiat- yan....ini sungguh sebuah kesalah pahaman..." "Cu Taiya, aku tidak ingin mendengarkan kata-kata bohongmu lagi. aku sekarang ingin menanyakan tentang sebuah barang. Tentang berlian merah darah itu..." "Ini....mana mungkin aku tahu dimana berlian itu berada?" Thiat-yan berkata dengan dingin. "Cu Taiya, kesabaran ku ada batasnya. Aku harap kau bisa berpikir dengan baik baik..." Wie Kie-hong menarik tangan Tu Liong agar mereka berdua pergi ke ruang tengah. Wie Kie-hong terlihat sangat emosi ketika mengatakan kata-kata ini. "Tu toako! Lihatlah... sebenarnya mengapa bisa terjadi seperti ini?" Tu Liong tampak larut dalam pemikiran. Dia berkata. "Kie-hong, argumentasi Thiat-yan bukan tidak masuk akal. Cu Taiya sudah menggunakan jarum besi menusuk jalan darahnya lalu memaksa dia mengatakan semua hal tersebut. Setelah itu dia membunuh Bu Tiat-cui untuk menutup mulut. Ini adalah sebuah kemungkinan yang masuk akal." "Tu toako! Tadi Cu Taiya sudah menanyakan begitu banyak pertanyaan, namun ada satu pertanyaan yang tidak ditanyakannya..." "Pertanyaan apa?" "Beberapa hari sebelumnya, didalam kamar Bu Tiat-cui ini juga terdapat mayat seorang pria. Dia juga mati karena jarum besi yang sama. Apakah Cu Taiya tahu tentang hal ini? mengapa dia tidak menanyakan tentang hal itu?" "Kie-hong, dari hal ini kau membuat kesimpulan kalau Cu Taiya sedang berbohong?" "MMmm.." "Wie Kie-hong! kalau seperti ini kau belum cukup mengerti Cu Taiya" "Apa maksud kata-katamu?" "Cu Taiya adalah seorang pendekar tua yang terkenal di kalangan dunia persilatan. Terlebih lagi dia pintar membuat siasat. Kalau dia memang ingin membuat sebuah alibi, dia tidak mungkin membuat kesalahan.... aku merasa kalau dia sengaja meninggalkan banyak kesalahan seperti ini" "Oh...?" "Ide untuk melukai Tiat Liong-san juga dia yang memikirkannya. Ini aku sudah yakin. Tapi dia masih belum mendapatkan hasil yang dia inginkan" "Oh...?" Sekali lagi Wie Kie-hong merasa kaget "Juga bisa dikatakan, demi mendapatkan berlian merah darah itu dia sudah membunuh Tiat Liong-san. Tapi sampai sekarang dia belum mendapat-kan berlian merah darahnya" "Tu toako! Apakah kau hanya menebak hal ini?" "Dengarkan dulu semua kata kataku....Tiat Liong-san juga seorang pendekar kalangan dunia persilatan. Kali pertama datang ke kota untuk menilai berlian tidak berhasil dilakukannya. Kali kedua datang ke kota, dia seharusnya waspada terhadap mata-mata yang mengintainya, berlian merah darah itu tidak mungkin disimpan didalam kopor kulit. Apalagi disimpan dalam gudang sitaan. Itu adalah tempat umum, semua orang bisa mengambilnya setiap saat." "Mm.." "Wie Kie-hong, apakah kau memperhatikan keadaan disekeliling kita?" Mendadak Wie Kie-hong tampak terkejut, tapi dia tidak melihat apa-apa. karena itu dia bertanya. "Memangnya ada apa dengan tempat ini?" "Gang San-poa sudah menjadi kuburan massal" "Oh?" Wie Kie-hong merinding. "Aku menduga, Cu Taiya sudah memper-siapkan sebuah jebakan untuk kita disini. Membunuh Bu Tiat-cui hanyalah sebuah permulaan" "Menurut Tu Toako siapa yang sekarang memegang berlian merah darah itu?" "Sepertinya ini adalah masalah terakhir dari misteri yang sedang kita pecahkan" "Tu toako... ini bukanlah tebak-tebakan biasa. Ini adalah perkara hidup dan mati. Menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?" "Mencari kesempatan bertindak" "Tu toako! Kalimat ini sangat tidak jelas" "Kau harus melatih kemampuanmu membuat tebakan. Tiap orang pasti memiliki kesempatan untuk berhasil, dan bisa juga kalah ........baiklah sebaiknya sekarang kita berdua kembali masuk kedalam" Maka kedua orang ini kembali masuk ke dalam kamar samping. Ternyata Cu Siau-thian dan Thiat-yan masih saling mempertahankan pembelaan masing masing. Jelas terlihat kalau mereka berdua sedang menyaksikan semua yang dikerjakan oleh Tu Liong dan Wie Kie-hong. "Nona" Tampaknya Cu Siau-thian harus menunggu Tu Liong dan Wie Kie-hong ada dihadapannya barulah dia mau melanjutkan kata katanya. "Dugaan yang sudah kau buat tidak masuk akal. Kalau ayahmu membawa berlian merah darah itu kemanapun dia pergi, saat ini kalau berlian itu tidak berada dalam tangan Oey Souw, pastilah ada di dalam tangan Leng Souw-hiang. Bagaimanapun tidak mungkin berlian itu ada didalam tanganku. Berkata seperti apapun aku tidak mungkin terlibat dalamnya. Kalau ayahmu sudah menyembunyikan berlian merah darah itu disuatu tempat rahasia, maka dengan begitu aku lebih tidak ada hubungannya lagi. kau sudah salah besar mencariku untuk mendapatkan berlian itu" "Adik Yan...." Sekarang Tu Liong ikut campur mulut. "apakah kau berpikir kalau berlian merah darah milik ayahmu ada ditangan Cu Siau-thian?" "Betul" "Alasannya?" "Dari lima orang yang membantu mencelakai ayahku, empat orang sudah meninggal. Yang tersisa tinggal dia seorang. Karena itu kecurigaan pada dirinya adalah yang palingbesar" "Apa tujuan utamamu datang ke kota Pakhia ini?" "Tentu saja mencari berlian merah darah itu" "Jika demikian, bagimu berlian ini adalah kunci utama alasan kedatanganmu kemari" "Sebenarnya memang begitu" "Kalau begitu coba kau pikirkan dengan seksama. Menurut pandanganku berlian merah darah itu tidak mungkin ada didalam tangan Cu Siau-thian" "Mengapa demikian?" "Kalau pada waktu itu dia sudah berhasil mendapatkan berlian merah darahnya, dia tidak perlu membunuh Hui Taiya dan Leng Taiya. Hui Taiya tidak dapat melihat, Leng Taiya kehilangan tangannya, menghadapi Cu Taiya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. untuk apa Cu Taiya membunuh mereka?" Thiat-yan terdiam tidak berkata apa-apa. sepertinya dia mengerti apa yang ingin dikatakan Tu Liong. Cu Taiya" Tu Liong berkata perlahan lahan. "pertama tama aku ingin mengaku salah. Siasat permainan yang sudah kau mainkan sudah terlalu banyak. Tidak aneh Thiat-yan merasa curiga.... bagaimana situasi kejadian yang sebenarnya hanya dirimulah yang paling mengerti. Kalau kau tidak menjelaskan hal yang sebenarnya pada kami semua, mungkin kesalah pahaman ini akan semakin berlarut larut." "Tu Liong, penjelasan apa yang ingin kamu dengar dariku?" "Aku ingin menanyakan dua hal padamu" "Silahkan" "Siapa yang membunuh Hiong-ki?" "Tidak tahu" "Dimana ayah Kie-hong saat ini?" "Tidak tahu" Mendadak tampang Tu Liong menjadi sangat dingin., dia lalu berkata. "Cu Taiya, sebenarnya kedua pertanyaan ini bisa kau jawab, mengapa kau pura-pura tidak tahu?" Tiba-tiba saja Cu Siau-thian tertawa dingin. Dia lalu berkata pada Tu Liong dengan sikap dingin. "Tu Liong! Aku sudah membawamu dari luar kota dan memeliharamu sampai menjadi orang. Sekarang kau berani berkata seperti ini padaku. Tidakkah kau merasa kalau kau sudah kelewatan?" "Cu Taiya ! aku pasti mengingat budi mu yang memelihara diriku sampai mati. Tapi...." "Tapi apa? masalah ini tidak ada urusannya sama sekali dengan dirimu. Tidak ada budi baik, tidak ada dendam. Ketika orang lain sudah menodongkan senjata padaku, tidak menolongku tidak apa-apalah. Mengapa kau malah berbalik membantu orang lain melawan diriku? Apakah perbuatanmu dapat dimaafkan?" "Cu Taiya! Seharusnya kau sudah tahu bagaimana akrabnya aku dengan Wie Kie-hong. Urusan ini sangat besar kaitannya dengan dirinya" "Memang apa kaitannya dengan dirinya?" "Kaitannya adalah mengenai keberadaan ayahnya saat ini. apakah dia masih hidup atau sudah mati.... Cu Taiya ! aku masih ingin menanyakan dua pertanyaan lagi" "Tanyakanlah" "Aku sungguh berharap kali ini kau bisa memberikan jawaban yang memuaskan" "Aku akan berusaha" "Dimana ayah Kie-hong sekarang?" "Tidak tahu" "Kalau begitu dimana adik angkatmu Boh Tan-ping sekarang?" "Tidak tahu" Tu Liong sudah menanyakan empat perta-nyaan. Semuanya dijawab tidak tahu. Thiat-yan berkata dingin. "Tu Siauya, kau sudah membuang-buang tenaga. Walaupun kau menanyakan seratus pertanyaan lagi, semuanya akan sia-sia saja. Cu Taiya si tua bangka ini, mulutnya sangat keras. Sedikitpun tidak akan membocorkan rahasia apa-apa" "Tu Liong" Cu Siau-thian berkata sedikit tergesa-gesa. "aku ada sedikit salah paham dengan Thiat-yan. Aku percaya aku bisa meluruskan kesalah-pahaman ini dengan cepat. Bisakah kalian berdua meninggalkan kami berdua sebentar saja?" Selama ini Wie Kie-hong tidak berkata apa apa. hanya karena dia sangat menghargai Tu Liong, dan juga mempercayainya, mendadak dia berkata. "Tu toako, sebaiknya kita pergi sekarang" Tu Liong sangat mengerti Wie Kie-hong. Kalau dia sudah berkata pergi, pastilah ada alasan yang istimewa. Karena itu dia tidak berkata apa-apa lagi. dia mengikuti Wie Kie-hong pergi keluar ruangan. Setelah melangkah keluar pintu masuk, dia baru bertanya pada Wie Kie-hong. "Ada apa?" "Bukankah tadi kau mengatakan kalau gang San-poa ini sudah menjadi perangkap? Mengapa kita tidak membuktikannya sendiri?" "Perangkap ini bukan untuk menjebak kita" "Kalau begitu perangkap ini untuk siapa?" "Menjebak Thiat-yan" "Tu toako! aku rasa kau tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Kalau dia tidak mempunyai rasa percaya diri yang penuh, dia mana mungkin berani masuk perangkap dengan gamblang seperti ini?" "Oh?" "Tu toako! kalau tidak percaya kita berdua berpencar untuk memeriksa keadaan disekitar rumah ini. mungkin Cu Taiya menyembunyikan sesuatu. Mungkin juga Thiat-yan tidak datang kemari sendirian." "Baiklah, aku akan pergi memeriksa kesana ... kau pergi kesana...." Tu Liong menunjuk nunjuk. "Nanti kita akan bertemu lagi didepan pintu kamar samping" "Baik" Gerakan Tu Liong sangat cepat. Sebentar saja dia sudah masuk ke dalam bayang-bayang rumah. Wie Kie-hong juga segera membalikkan tuLuh. Didepannya sudah terbentang lorong yang gelap. Dia baru akan memulai penjelajahan rumah ini ketika tiba-tiba saja dia menyadari kalau seseorang sudah berdiri dihadapannya. dia berdiri ditengah keremangan ruangan. Raut mukanya sama sekali tidak terlihat. "Siapa kau?" Wie Kie-hong bertanya kaget, pada waktu yang bersamaan, dia sudah memasang pose siap untuk bertarung. Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apakah kau Wie Kie-hong?" Lawan bicaranya tidak menjawab pertanyaan. Suaranya terdengar serak. "Tidak salah. Kau siapa? Apakah kau orang yang pada waktu itu memberitahuku untuk tidak menyerahkan payung pada nona Thiat-yan ?" "Jangan tanyakan siapa diriku....aku hanya ingin kau mendengarkan kata-kataku. Cepatlah pergi dari sini. Semakin jauh kau pergi semakin baik. semakin cepat kau pergi juga semakin baik." "Kemana aku harus pergi?" "Terserah dirimu" "Apakah kau adalah kaki tangan Cu Siau-thian?" "Bukan" "Kalau begitu berapa banyak orang yang sudah disembunyikan Cu Siau-thian disini?" "Tidak sedikit" "Apakah kau takut aku disini mendapatkan bahaya?" "Betul" "Masih ada temanku disini. Aku harus memberitahu dia dan pergi bersama-sama...." "Apakah temanmu itu bernama Tu Liong?" "Betul" "Tenanglah. Cu Siau-thian sangat menyukai dirinya. Dia tidak mungkin mendapat celaka" "Aku tidak dapat meninggalkan dirinya begitu saja disini" Orang itu segera berjalan mendekat. Sekarang Wie Kiehong bisa melihat mukanya dengan lebih jelas. Wie Kie-hong sempat tersentak kaget. Orang ini tampak aneh. Alisnya berwarna putih dan matanya berwarna merah. Dengan suara rendah dia berkata. "Cepat pergi!! kalau lebih lama lagi kau pasti tidak akan bisa melarikan diri" "Maaf!" Wie Kie-hong berkata dingin. "Kau tidak menjelaskan asal-usulmu. Bagai mana aku tahu apakah kau bermaksud baik atau jahat?" "Wie Siauya! kalau kau mau mendengarkan kata-kataku, kau bisa pergi dengan cepat dari tempat yang berbahaya ini. aku bersedia menceritakan apa yang ingin kau ketahui." "Tentang apa?" "Contohnya siapa yang sekarang sedang memegang berlian berwarna merah darah itu. siapa yang memiliki ide untuk mencelakai Tiat Liong-san pada waktu itu. bagaimana Hui Taiya dan Leng Taiya mati. Masih ada lagi....masih ada lagi tentang keberadaan ayahmu dan lain sebagainya" Tawaran ini terdengar sangat menjanjikan. Wie Kie-hong merasa sedikit ragu-ragu. "Apakah kau bisa menepati kata-katamu?" "Wie Siauya, seharusnya kau sudah bisa menebaknya dari kata-kataku. Aku adalah orang yang jujur" "Baiklah..." "Kie-hong!" Mendadak dari tengah kegelapan ruangan, Tu Liong berteriak padanya "jangan dengar kata-katanya. Dia sedang berbohong!" Wie Kie-hong tertegun. Tampaknya orang yang beralis putih pun sama-sama tertegun "Kie-hong! tadi kau sudah bertanya padanya apakah disini ada kaki tangan Cu Siau-thian. Dia menjawab 'tidak sedikit'. Aku sudah menggeledah seisi rumah. Jangankan anak buah Cu Siau-thian. Aku bahkan tidak menemui bayangan hantu apapun disini. Asalkan dia sudah berkata satu kebohongan saja, semua yang dikatakannya tidak bisa diandalkan." Orang itu berkata perlahan-lahan. "Tuan pastilah Tu Siauya..." "Betul sekali" Tu Liong mulai berjalan mendekat. Orang itu mundur dua langkah. Seperitnya dia tidak ingin berada terlalu dekat dengannya. Dia tampak seperti tidak ingin dilihat oleh Tu Liong. "Biarkan aku melihat siapa dirimu" Tu Liong terus berjalan mendekat. "Tu Siauya harap jangan berjalan lebih dekat. Jangan memaksa seperti ini." "Kenapa? Apakah kau takut aku mengenali-mu?" "Tu Siauya, dengarkan peringatanku. Anak muda seperti kau dan Wie Kie-hong tidak akan mampu melihat betapa liciknya Cu Taiya. Dia memang menyembunyikan kaki tangannya didekat sini, hanya kau tidak mampu melihatnya. Jangan bertarung dengan mereka, kalian yang akan rugi" "Siapa namamu?" "Jangan tanyakan siapa namaku. Suatu saat nanti kalian pasti akan mengetahuinya" "Mengapa tidak memberitahu kami sekarang?" "Aku memiliki masalah sendiri" "Kau melakukan hal ini, apakah kau tidak takut Cu Taiya membalas perbuatanmu?" "Aku tidak takut. Nyawaku ini dari awal sudah tidak berharga lagi" "Tu toako, mendengar kata-katanya, sepertinya dia orang yang jujur" Tu Liong hanya terdiam, dia tidak segera membuat keputusan." "Tu Siauya, apa yang sedang kau pikirkan?" Orang itu terus bertanya. "Aku ingin bertanya satu hal padamu" "Baiklah. Cepat tanyakan" "Dimana Thiat-yan sekarang?" "Jujur saja sekarang dia sedang berada dalam situasi yang tidak menguntungkan, tapi anak itu sangat pintar, dan dia mampu berimprovisasi mengikuti keadaan. Karena itu dia tidak mungkin berada dalam bahaya yang tidak dapat ditanganinya." "Kie-hong!" Sekarang Tu Liong segera mem-buat keputusan. "Kita pergi" Wie Kie-hong masih merasa keheranan. Dia kembali berpaling pada orang itu hanya untuk melihatnya melangkah mundur masuk lebih jauh dalam kegelapan rumah. Setelah orang itu tidak terlihat, mereka berdua bergegas pergi. "Mengapa kau tiba-tiba mempercayai kata-katanya?" Tanya Wie Kie-hong sambil berusaha mengejar Tu Liong sambil terus berlari keluar rumah. "Karena orang itu sudah memanggil Thiat-yan dengan panggilan 'anak itu', orang jahat tidak mungkin menggunakan panggilan semacam itu ketika berbicara" "Tu toako, kemana kita pergi sekarang?" "Sekarang kita pergi ke rumah paman Tan Po-hai melihat keadaan" "Oh?" Wie Kie-hong merasa kaget. "apakah kau pikir paman Tan Po-hai sudah mendapat masalah?" "Kalau Cu Taiya memang adalah orang jahat seperti yang sudah kita pikir selama ini, dia tidak mungkin meninggalkan paman Tan Po-hai begitu saja. Dia adalah saksi hidup satusatunya yang tersisa" 0-0-0 Walaupun hari menjelang subuh, mereka tidak berhenti, mereka terus berlari segera menuju ke kediaman Tan Po-hai. Ternyata dia sedang memainkan alat musiknya seperti biasa, seolah olah tidak terjadi masalah apapun. Tan Po-hai melihat kedua pemuda ini datang tergesa-gesa, dia merasa heran. Dia bertanya. "Tuan muda sekalian! apakah ada masalah darurat?" "PamanTan!" Tu Liong merasa aneh, tapi dia tidak ingin membuat Paman Tan menjadi terkejut. "kami datang kemari ingin menanyakan sesuatu padamu" "Oh?" Tan Po-hai berhenti bermain dan lalu menurunkan alat musiknya. Tu Liong tidak membuang waktu. Dia segera menanyakan pertanyaan yang sudah mengganjal dihatinya selama ini. "Saat itu siapa yang menjadi dalang dan memikirkan semua siasat mencelakai Tiat Liong-san?" "Leng Taiya" "Jadi dari awal sampai akhir kau bekerja membantunya T' "Kalau tidak aku harus berbuat apa? semuanya sudah diatur oleh Cu Taiya. Dengan status sosialku waktu itu, aku tidak punya hak untuk melakukan apapun tanpa persetujuan Leng Taiya." "Kalau begitu Cu Taiya sudah diperalat ?" Raut wajah Tan Po-hai berubah. Dengan dingin dia bertanya. "Tu Siauya! mengapa kau berpikir seperti ini?" "Yang paman maksudkan adalah Cu Taiya sudah memelihara dan merawatku sampai aku menjadi dewasa, aku tidak seharusnya tidak berpikir tidak hormat seperti ini, bukan?" "Betul" "Manusia harus mempunyai pemikiran yang tidak egois, tidak benar mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama. Betul?" "Sebenarnya kalian kemari untuk apa?" "Kami ingin mendapatkan jawaban yang benar." Kata-kata Tu Liong masih terdengar terus mendesak. "Tu Siauya! saat itu Cu Taiya sangat kaya, dan agar bisa tinggal didalam kota, dia terpaksa menjadi egois dan menggunakan nama besar Leng Taiya. Mengenai bagaimana situasi sebenarnya ketika Tiat Liong-san dicelakai, tentang hal itu aku tidak begitu jelas." "Paman Tan, aku menebak kalau Hui Taiya dan Leng Taiya sudah dibunuh oleh Cu Taiya. Oleh karena itu kau pun harus berhati-hati" Ternyata paman Tan Po-hai tidak menunjukan reaksi apaapa. dia tidak tampak terkejut. Dengan sangat tenang dia berkata. "Apakah kau pikir Cu Taiya akan membunuhku?" "Mungkin juga" "Aku rasa tidak mungkin" "Jangan terlalu yakin" "Aku tidak menghalangi jalannya sama sekali. Apakah dia ada alasan untuk melukaiku?" Wie Kie-hong ikut campur mulut. "Paman Tan, banyak banyaklah menjaga diri. kami masih ada urusan lain, tidak dapat tinggal disini berlama-lama" Wie Kie-hong tampak terburu-buru pergi, ini membuat Tu Liong merasa curiga. Tanpa disadari dia melirik ke arah Wie Kie-hong. Sebaliknya Wie Kie-hong mendelik pada Tu Liong berusaha memberikan isyarat padanya. Karena itu Tu Liong tidak berkata apa-apa lagi. dia hanya mengikuti Wie Kie-hong berjalan keluar. Setelah keluar dari kediaman paman Tan Po-hai, Wie Kiehong berputar menuju taman belakang rumah itu. Tu Liong sungguh merasa heran. Dia bertanya. "Ada apa?" Wie Kie-hong tidak berkata apa-apa. Gerak-geriknya sudah mencerminkan jawabannya. Dia hanya menarik Tu Liong, dari taman belakang mereka mengendap-endap masuk kedalam rumah Tan Po-hai. Sepertinya Tu Liong mengerti apa tujuan Wie Kie-hong melakukan hal ini. tapi dia tetap bertanya juga pada Wie Kiehong. "Kau pikir kalau Paman Tan pasti akan dibunuh malam ini?" "MMmm..." Wie Kie-hong menggangguk-anggukkan kepala. Dia terus mengendap-endap masuk. Tu Liong terus menempel dibelakangnya bagaikan ekor Dari dalam kamar tempat mereka tadi berbicara tidak terdengar suara permainan alat musik Paman Tan, namun dari jendela kertas terlihat bayang-bayang manusia. Tidak hanya satu, tapi ada dua orang. Suara percakapan mereka sayup-sayup ter-dengar "Tuan Boh, semua kata-kataku tadi tidak ada yang salah ucapkan?" "MMmm.." "Tuan Boh! seumur hidupku ini aku tidak menginginkan ketenaran ataupun harta kekayaan. Aku hanya ingin hidup tenang. Dari awal aku tidak ingin terlibat dalam masalah ini. sekarang aku bisa membuktikan diri dan menolong Cu Taiya. Tolong anda katakan hal yang bagus didepan Cu Taiya, kalau dia mengijinkan, aku akan segera pergi" Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mm...." Orang yang bermarga Boh itu tampaknya tidak banyak bicara. Dia tampak ingin segera mengakhiri percakapan. "Apakah kau masih ada perintah lainnya?" "Ada satu urusan lagi. aku harap kau bisa maklum" "Oh...?" "Aku juga hanya menjalankan perintah" "Aku mengerti. Aku sungguh mengerti" "Kalau begitu harap anda jangan marah padaku" "Ini....apa maksudnya ini?" "Cu Taiya sudah berpesan padaku kalau dia sudah kehilangan semua teman baiknya. Yang tersisa tinggal anda sendiri, anda pasti merasa kesepian" "Cu Taiya ingin aku mati?" "Cu Taiya mengutusku kemari untuk mengantarmu ke surga" "Tuan Boh........selama bertahun-tahun, dihadapannya aku sudah berlaku seperti pesuruh mengerjakan semua yang diperintahkan dan mencari dengar berita. Apakah dia masih tidak puas denganku?" "Kalau kau bersedia menyusul Hui Ci-hong, Leng Souwhiang dan beberapa teman-teman lamamu pergi ke neraka, Cu Taiya pasti akan lebih senang lagi" Tan Po-hai mulai gemetaran.... "Kalau aku hidup, dia tidak akan dirugikan" "Aku tahu, Cu Taiya juga tahu. Tapi kalau kau tidak mati, terhadap Hui Ci-hong dan Leng Souw-hiang sepertinya tidak adil kan?" "Cu Taiya kejam sekali....tuan Boh, anda bisa dibilang seorang pria jantan, kau membantunya seperti ini, mengetahui rahasia miliknya sebanyak itu, apakah kau pikir dia bisa tenang sebelum membunuhmu?" "Kau memang teman yang baik. bahkan sekarang setelah kau nyaris mati, kau masih memikirkan diriku." "Nanti kau pasti tidak akan bisa terus hidup dengan baik" "Tenanglah, aku punya hubungan khusus dengan Cu Siauthian" "Tidak ada gunanya. Kau bukan anak yang dilahirkan sendiri olehnya. Dia pasti akan membunuhmu juga. Hanya saja waktunya belum sampai" "Kau memang orang yang baik. aku tidak tega membunuhmu secara kejam. Sekarang berbaringlah di lantai, pejamkan matamu. Aku pasti akan membunuhmu dengan cepat dan tanpa rasa sakit...." Tiba-tiba Wie Kie-hong menyerbu masuk ke dalam ruangan, dia segera mencabut pedangnya dan menerobos masuk dari jendela kamar. Jendela kamar hancur berkepingkeping, pecahannya terbang ke empat penjuru. Suasana tengah malam yang sepi menjadi riuh karena bunyi keras jendela yang hancur dan teriakan Wie Kie-hong. Pedang gigi gergaji Boh Tan-ping sudah keluar dari sarungnya. Ketika jendela didobrak, dia sedang bersiap-siap memancung kepala Tan Po-hai. Tiba-tiba dia menyadari kalau situasi mendadak sudah berubah. Dia segera merubah arah serangan dan menebas ke arah jendela. Wie Kie-hong masih berada ditengah udara ketika sabetan pedang gigi gergajinya datang. Dia tidak bisa menghindari serangan senjata mematikan ini. terpaksa dia menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan Boh Tan-ping. Tu Liong pernah merasakan kehebatan pedang gigi gergaji Boh Tan-ping. dia segera berteriak memberi peringatan. "Kie-hong! hati hati!" Teriakannya ini hanya menggambarkan apa yang ada didalam hatinya, tapi jeritan itu sama sekali tidak menolong. Sepertinya Wie Kie-hong pasti akan terluka. Pedang bertemu pedang, sekarang terdengar dentingan keras besi yang saling beradu. "TANGLANG!" Setelah Wie Kie-hong menjejakkan kedua kakinya di lantai, dia segera memburu kedepan menyabetkan pedangnya ke arah Boh Tan-ping. kali ini Boh Tan-ping yang terpaksa menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan beruntun ini. "TANGLANG!" Tu Liong pun tidak ketinggalan, dia ikut menyerbu masuk kedalam. Karena tidak membawa senjata, Tu Liong tidak dapat berbuat banyak. Dia hanya bisa melihat Wie Kie-hong yang terus menyerang Boh Tan-ping. Pedang Wie Kie-hong terus menyambar nyambar dengan hebat. Boh Tan-ping pun tampaknya bisa menangkis semua serangannya dengan mudah. Setelah melangkah mundur cukup jauh, Boh Tan-ping mulai terdesak, tidak jauh dibelakangnya sudah ada tembok. Kalau dia hanya menangkis serangan seperti ini, dia pasti akan terjepit. Ketika sedang berpikir seperti ini, Wie Kie-hong sudah menyabetkan pedangnya sekuat tenaga ke arah leher Boh Tan-ping. Boh Tan-ping tersentak kaget. Segera dia menunduk. Pedang Wie Kie-hong menebas udara kosong dengan suara tebasan yang sangat keras. Boh Tan-ping memanfaatkan kesempatan ini. dia segera berguling-guling di lantai menjauh dari Wie Kie-hong. Malang baginya, ketika berguling menjauh dia berguling menuju sebuah meja kayu bundar. Wie Kie-hong sudah kembali menyerang ke arahnya. Masih berguling di lantai, Boh Tan-ping segera menggebrakkan tangan kirinya ke lantai. Dia segera meluncur ke atas dan mendarat dengan lembut di atas meja. Namun setelah ini dia kembali meloncat menjauh. Dia meloncat pada waktu yang tepat, karena beberapa detik kemudian pedang Wie Kie-hong sudah membelah meja kayu menjadi dua bagian. Boh Tan-ping mendarat dengan lembut dekat paman Tan Po-hai... Tidak terduga, Paman Tan yang lemah lembut berhasil mengumpulkan keberanian untuk membantu Wie Kie-hong melawan Boh Tan-ping. Sebenarnya Paman Tan juga tidak tahu dari mana datangnya keberanian ini. dia mengangkat sebuah kursi dan segera menghempaskannya ke kepala Boh Tan-ping. Untunglah Boh Tan-ping masih siaga. Walau-pun konsentrasinya terhadap Wie Kie-hong buyar, tapi dia masih sempat menebaskan pedangnya untuk menghancurkan kursi yang melayang ke arah kepalanya. Sekali lagi terdengar suara keras "BRAAAKKK" Pertarungan segera terhenti. Pada awalnya Wie Kie-hong masih berniat untuk terus menyerangnya, namun setelah mendarat, Tu Liong memegang bahunya dengan tegas. Dia mengerti apa maksud Tu Liong. Pedang gigi gergaji Boh Tan-ping terkulai lemas di sisi badannya. Dia tidak menggerak gerakkan pedangnya lagi. Tu Liong sudah berpengalaman melawannya. Dia tahu kalau Boh Tan-ping sedang menunggu kesempatan baik untuk kembali menyerangnya lagi. "Boh Tan-ping! kita bertemu lagi" Seru Tu Liong dengan suara dingin. Boh Tan-ping tidak menjawab. "Apakah Cu Taiya sudah mengutusmu kemari membunuh Paman Tan untuk menutup mulut?" Boh Tan-ping tetap tidak bersuara. Dia terus mendelik dingin ke arah kedua pemuda ini. "Tu toako, dari gelagatnya jawaban pertanya anmu sudah sangat jelas, untuk apa kau bertanya lagi?" "Karena aku ingin memberinya saru kesempat-an lagi" "Kau ingin memberiku kesempatan apa?" Akhirnya Boh Tan-ping membuka mulut, namun sifatnya masih bermusuhan seperti sebelumnya. "Aku ingin memberimu kesempatan untuk membuka lembaran hidup yang baru" "Hidup baru? MMMmmm??" Boh Tan-ping tetap terdengar angkuh. Didalam pikirannya, dia belum kalah. "Boh Tan-ping, semua kartu Cu Taiya sudah terbuka. Untuk apa kau masih mematuhi semua perintahnya? Jatuhkanlah pedangmu, kita rundingkan baik-baik. Satu kalimat saja bisa menyelamatkan jiwamu" "Tu Liong, apakah kau pikir kata-katamu mempunyai kuasa yang lebih besar dari pada kata kata Cu Taiya? Anak kecil! tidak tahu diri! cepat pergi! kemarin ini aku masih mengampuni jiwamu, jangan menyia-nyiakannya" Tu Liong tidak menghiraukan kata katanya. Dia langsung bertanya.. "Boh Tan-ping, pedang gigi gergajimu itu sudah membunuh berapa banyak orang?" "Tidak sedikit" "Apakah ini termasuk Hiong-ki?" "Hiong-ki? Apakah dia orang yang sudah menolongmu tempo hari?" "Tidak salah" "Dia adalah satu-satunya orang yang berhasil lolos dari pedangku hidup-hidup" "Kalau begitu berarti Hiong-ki bukan dibunuh olehmu?" "Bukan" "Kalau begitu siapa yang sudah mem-bunuhnya?" "Apakah kau hanya ingin tahu tentang masalah ini?" "Ya" "Kalau aku mengatakannya, kau belum tentu percaya" "Boh Tan-ping, tidak perlu membuang waktu, yang kita miliki sekarang ini hanyalah waktu. Kau juga tidak perlu memusingkan apakah aku akan mempercayai kata-katamu atau tidak. Kalau kau bisa menjawab pertanyaan ini, tolong segera jawab" "Apa manfaatnya bagiku kalau aku menjawab?" "Kami mungkin akan melepaskanmu" "HUH! Berani sekali kau berkata begitu" "Kami berdua bisa membunuhmu sekarang juga. Ini bukan sedang menggertak" Boh Tan-ping menunduk, sepertinya dia mengerti keadaan tidak menguntungkan baginya. Dia menyapu tatapan ke muka kedua pemuda ini lalu dengan baik_baik berkata. "Aku yakin kalian berdua memiliki kemam-puan untuk membunuhku, tapi setelah membunuhku, bagaimana kalian akan menghadapi Cu Taiya?" Tu Liong tertawa dingin. "Boh Tan-ping! kau sungguh tidak mengerti situasi. Kau pikir aku masih berada dibawah sayap Cu Siau-thian? Asalkan kejahatannya sudah terbukti, dia tidak bisa melarikan diri" "Tu Liong, jangan terlalu percaya diri" "Kalau Cu Siau-thian memang sudah mencerita kan aku dihadapanmu, seharusnya kau tahu kalau aku bukanlah orang yang percaya diri secara buta....Boh Tanping ! kau tidak usah membuang waktu lagi. siapa yang sudah membunuh Hiong-ki?" "Wie Ceng" "Kau bohong!" Wie Kie-hong yang dari tadi diam sekarang berteriak keras. "Aku tadi sudah bilang, kalau aku jawab kalian pasti tidak percaya. Tapi kalian berkeras bertanya juga" "Aku tidak percaya ayahku tega membunuh orang" "Wie Kie-hong, kau sudah melihat sendiri pedang ayahmu mendongkel jendela kamar tidur ayah tirimu Leng Souw-hiang. Pada malam itu dia bermaksud membunuh Leng Souw-hiang tapi diketahui olehmu, sehingga niatnya tidak ter-capai." Wie Kie-hong kemudian berteriak teriak seperti orang gila. "Kau bohong! Kau bohong!" "Kie-hong! tenanglah!" "Tu toako! Apa kau percaya kata-katanya?" "Kamu tenanglah sedikit! biarkan aku bertanya padanya...." Tu Liong berusaha menenangkan Wie Kie-hong, setelah itu dia kembali bertanya pada Boh Tan-ping. "Mengapa Wie Ceng ingin membunuh Hiong-ki?" "Karena Hiong-ki sudah jadi rintangan" "Rintangan bagi siapa?" "Tentu saja rintangan bagi Wie Ceng" Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Memangnya apa yang diinginkannya?" "Tentu saja berlian merah darah yang selama ini jadi gunjingan semua orang" "BOHONG!!!" Sekali lagi Wie Kie-hong berteriak. "Kie-hong, biarkan dia terus menjelaskan..." Sekali lagi Tu Liong berpaling pada Boh Tan-ping. "Sekarang dimana berlian merah darah itu?" "Tentu saja ada pada Leng Souw-hiang" "Boh Tan-ping, ada satu hal yang harus kau mengerti. Wie Ceng adalah abdi setia Leng Souw-hiang" "Kata setia suatu saat mungkin bisa berubah" "Berubah karena apa?" "Berubah karena hubungan untung rugi" "Untung rugi? Sepertinya Wie Ceng tidak tahu-menahu mengenai urusan berlian ini" "Pada awalnya dia memang tidak tahu. Belakangan dia mengenal Thiat-yan. Dan Thiat-yan menjanjikan akan membeli berlian merah darah itu dengan harga tinggi. Karena itu Wie Ceng berubah" "Boh Tan-ping! kau bohong! Hiong-ki diam-diam selalu membantu Thiat-yan. Bisa dikatakan Dia dan Wie Ceng berdiri pada jalan yang sama. Mana mungkin dia merintangi usaha Wie Ceng?" "Sebenarnya anggapanmu kalau Hiong-ki sedang membantu Thiat-yan juga salah. Sebenarnya dia juga sedang mengincar berlian merah darah itu" "Dimana Wie Ceng sekarang?" "Dia sedang menunggu sebuah kesempatan" "Kesempatan apa?" "Kesempatan membunuh Cu Siau-thian" "Apa motivasinya membunuh Cu Siau-thian?" "Mungkin Cu Siau-thian adalah saingan terakhirnya dalam mendapatkan berlian itu." "Mengapa kau memakai kata mungkin? Boh Tan-ping berkata perlahan lahan. "Karena ini adalah pemikiran Wie Ceng. Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tapi satu hal yang pasti. Cu Taiya sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah ini." Wie Ceng sudah menjadi orang yang sangat misterius. Semua urusan sudah dilemparkan pada dirinya. Hanya kalau Wie Ceng sendiri muncul menerangkan pada semua orang, semua urusan pasti akan menjadi jelas, masalahnya dimana Wie Ceng sekarang? Mengapa dia tidak mau menampakkan dirinya? Boh Tan-ping selalu membela Cu Taiya. Sepertinya dia sudah membuat kesepakatan dengan Cu Siau-thian. Ini sudah jelas. Tu Liong kembali memikirkan semuanya dari awal sampai akhir. Setelah itu dia berkata perlahan lahan. "Boh Tan-ping, selama ini kau selalu membela Cu Siauthian...." "Kata-kataku itu semuanya kenyataan" "Apakah yang kita lihat selama ini tidak terhitung kenyataan? Cu Siau-thian sudah meng-utusmu kemari untuk membunuh Paman Tan, hanya karena dia adalah saksi satusatunya yang masih hidup. Tadi kita berdua sudah mendengar semuanya dengan jelas dari luar jendela" "Tu Liong" Boh Tan-ping tertawa dingin dan berkata. "kepintaranmu sudah menjadi bumerang bagimu" "Apa artinya kata-katamu itu?" "Dari awal sampai akhir, Cu Taiya sudah menjadi kambing hitam dan menanggung semua fitnah. Sekarang ini dia hanya berusaha membela diri" "Hahaha...." Tu Liong tidak kuasa menahan tawa. "Bagaimana sebenarnya hubunganmu dengan Cu Taiya? Mengapa kau membelanya mati-matian seperti ini?" "Tidak ada hubungan apa-apa" "Tidak ada hubungan apa-apa? apakah kau bahkan tidak mengenalnya?" "Kau bisa mengatakan kalau aku adalah pendekar yang tidak senang melihat ketidak adilan." "Seorang pendekar baik yang tidak menyukai ketidak adilan yang bernama Boh Tan-ping. kalau kau mengira hanya karena umur kami yang masih sangat muda, sehingga kami tidak mengerti kejadian waktu itu? kau sudah mebuat kesalahan besar, kau adalah adik angkat Cu Siau-thian, benar?" Boh Tan-ping tertegun Tu Liong meneruskan kata-katanya. "Setelah itu kau berselisih paham dengan Cu Siau-thian dan lalu pindah membela Tiat Liong-san, ini pun adalah sebuah siasat agar kau bisa menjadi mata-matanya?" Boh Tan-ping tampak ingin membela diri, tapi dia tidak mengatakan apa apa. Kata-kata Tu Liong menyembur bagaikan bendungan yang jebol. Sekali meluncur tidak dapat dihentikan. Dia meneruskan kata-katanya. "Dari dulu kebanyakan pendekar muncul dari kalangan persilatan. Orang yang sungguh jahat ataupun pemimpin besar pun banyak yang datang dari dunia persilatan. Menurut dugaanku, masalah berlian merah darah ini adalah sebuah siasat agar orang lain tidak ikut campur. Mungkin di baliknya masih ada alasan lain" "Alasan lain apa?" Boh Tan-ping akhirnya membuka mulut "Aku sebenarnya berharap kau bisa mem-beritahu padaku" "Maaf, aku tidak tahu apa-apa" "Boh Tan-ping, ada satu hal yang tidak bisa kau sangkal" "Tentang apa?" "Kau selalu berada di sisi Thiat-yan, tapi kau selalu mengabdi pada Cu Siau-thian." "Tu Liong! aku ingin mengatakan sesuatu yang belum kau ketahui" "Tentang apa?" "Thiat-yan tidak bermusuhan dengan Cu Siau-thian" "Oh...?" Tu Liong diam-diam terkejut "Setelah datang ke kota Pakhia, Thiat-yan sudah melukai beberapa orang, tapi dia tidak melukai Cu Siau-thian sama sekali. Kemarin ini di tengah hutan di Sie-san, kalian pasti sudah berhasil melukai Cu Siau-thian, tapi kalian dihentikan oleh Thiat-yan. Sebenar-nya apa cerita dibaliknya, seharusnya kalian sudah bisa memikirkannya" Tu Liong baru saja mengerti tentang satu hal, namun sekarang dia kembali terperangkap dalam sebuah misteri yang lain. Kata-kata Boh Tan-ping ada benarnya juga. Apa cerita dibalik masalah ini? "Tu Liong" Boh Tan-ping menggunakan kesempatan ini untuk melanjutkan kata-katanya. "kau masih muda, emosimu sangat meledak-ledak. Kau belum tentu dapat membuat sebuah kesimpulan yang tepat. Kau jangan terburu-buru, sebaiknya dengar-kanlah kata-kata Cu Siau-thian" "Dia sudah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Paman Tan Po-hai adalah orang yang baik. semua orang di Pakhia juga menge-tahuinya. Mengapa dia ingin membunuhnya?" Boh Tan-ping menjawab dengan dingin. "aku yakin pasti ada alasan yang tepat bagi Cu Siau-thian membunuh Tan Po-hai. Kalau tidak...." "Kata-kata mu sangat sulit diterima" "Tu Liong, saat ini Cu Siau-thian sedang bersama- sama Thiat-yan di kediaman Bu Tiat-cui. Mengapa kau tidak segera pergi bertanya pada mereka berdua. Mungkin juga...." "Tidak perlu. Aku hanya ingin bertanya beberapa hal lagi padamu" "Tu Liong, mungkin aku tidak dapat menjawabnya." Boh Tan-ping tampak sedang berusaha menghindari masalah. "bagaimana kalau sekarang kita bersama-sama pergi kesana untuk berbicara?" Setelah berkata demikian, Boh Tan-ping membalikkan tubuh dan segera berjalan keluar rumah. Tidak kalah cepat, Wie Kie-hong merintangi jalan. "Berhenti!" "Ada apa?" Dengan dingin Boh Tan-ping bertanya "Dimana ayahku sekarang?" "Aku tidak tahu...." Sepertinya Wie Kie-hong sudah kehabisan kesabaran. Selama ini dia selalu mendapat jawaban "tidak tahu". Setelah Boh Tan-ping berkata seperti itu, Wie Kie-hong segera mencabut kembali pedangnya. Dia segera menyerang Boh Tan-ping. gerakannya sangat cepat. Tidak di sangka ternyata Boh Tan-ping juga sudah bersiap sedia. Dia segera menghindari serangan. Pertarung an kedua kembali terjadi. Wie Kie-hong segera menghujamkan pisaunya ke arah Boh Tan-ping. Boh Tan-ping menghindari tusukan pisau dengan gesit. Namun dia menyadari kalau sekarang dia sudah terpojok. Dia berdiri di sudut ruangan. "Apa-apaan ini?" "Tu toako, sebaiknya kau bawa Paman Tan pergi dari sini" Wie Kie-hong berkata pada Tu Liong. Tu Liong hanya mengangguk, dan menarik tangan Paman Tan dan bergegas pergi dari rumahnya. Wie Kie-hong membalikkan kepala kembali menatap Boh Tan-ping. "Aku tanya sekali lagi. dimana ayahku?" "Aku tidak tahu" Mendadak Wie Kie-hong memburu kedepan. Boh Tan-ping terpojok. Dia sudah tidak dapat lari kemana-mana lagi. Pisau Wie Kie-hong segera meluncur mengarah muka Boh Tan-ping. Boh Tan-ping mengelak serangan dengan mencondongkan kepalanya ke kanan. Wie Kie-hong menyabetkan pisaunya ke arah kanan, bermaksud terus memburu Boh Tan-ping. Boh Tan-ping menunduk dan segera berguling-guling menjauh. Sekali lagi Boh Tan-ping terpojok. Dia berdiri membelakangi dinding. Dia bergumam tidak jelas, tampaknya dia dongkol dan mengumpat mengapa ruangan tempat tinggal Paman Tan sangat sempit. Wie Kie-hong menendang tembok dan melun-cur menuju Boh Tan-ping. Boh Tan-ping segera mengayunkan pedang gigi gergajinya ke arah Wie Kie-hong. Untung Wie Kie-hong masih dapat menahan Lajunya. Pedang gigi gergaji menancap lemari. Wie Kie-hong segera menyabetkan pisaunya ke pegangan pedang. Dia bermaksud menebas tangan Boh Tan-ping. Segera Boh Tan-ping melepaskan pedangnya. Wie Kie-hong memanfaatkan kesempatan ini untuk menekan Boh Tan-ping. Sekali lagi Boh Tan-ping terdesak di pojok ruangan. Kali ini Wie Kie-hong sungguh sudah membuatnya tidak berdaya. "Katakan! dimana ayahku berada?" "Aku tidak tahu" Wie Kie-hong menatap matanya dalam-dalam. Boh Tan-ping tahu kalau tidak bicara, Wie Kie-hong sungguh akan melukainya. Wie Kie-hong menarik nafas dalam-dalam Dia segera mengayunkan pisaunya ke arah leher Boh Tanping. "Tunggu!!" Pisau Wie Kie-hong berhenti tepat ketika ujung pisau yang tajam menyentuh lehernya. Wie Kie-hong menunggu Boh Tan-ping meneruskan katakatanya. Boh Tan-ping menelan ludah. Setelah beberapa saat, dia melanjutkan kata-katanya. "Wie Kie-hong, apakah kau ingin menjumpai ayahmu?" "Tentu saja" "Pergilah ke gang San-poa" Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apakah saat ini dia ada di gang San-poa?" "Ya. Dia ada di dalam rumah kediaman Bu Tiat-cui" "Untuk apa ayahku ada disana? bukankah tadi kau bilang Thiat-yan dan Cu Siau-thian juga ada disana?" "Tidak salah. Ketika aku meninggalkan rumah Bu Tiat-cui sebelum kemari, ayahmu sedang berbaring. Dia terluka parah, dia terus menerus mengeluarkan darah segar. Kalau kau cepat kesana, mungkin kau masih sempat mengantar kepergiannya" "Siapa yang sudah membunuhnya?" "Thiat-yan" Mendadak emosi Wie Kie-hong meledak. Dia mengamuk seperti orang gila. Tanpa memperdulikan apa-apa lagi, Wie Kie-hong segera melepaskan Boh Tan-ping. dia lalu berlari keluar. Boh Tan-ping tidak berkata apa-apa. Dia hanya melihat kepergian Wie Kie-hong dalam diam. 0-0-0 Tu Liong terus berlari menyusuri gelapnya malam. Tan Pohai mencoba mengimbangi kecepatan larinya tanpa banyak hasil. Nafasnya sudah memburu hebat bagaikan seekor kerbau Tan Po-hai berusaha memanggilnya "Saudara Tu Liong, tolong jangan terlalu cepat" Akhirnya Tu Liong mengurangi kecepatan larinya, tidak jauh berlari akhirnya mereka berhenti. Tan Po-hai hanya bisa berdiri membungkuk mengejar nafasnya. Setelah nafasnya mulai teratur, Tan Po-hai bertanya. "Saudara Tu Liong, kau hendak pergi kemana?" "Aku bermaksud pergi menemui Cu Siau-thian di kediaman Bu Tiat-cui" "Aku tidak yakin aku kuat mengikutimu lari kesana" Tu Liong menimbang-nimbang keadaan ini. setelah beberapa lama, Tu Liong berkata padanya. "Paman Tan, sebaiknya kau pergi mencari kereta kuda untuk mengantarkanmu ke kediaman Leng Taiya dan menunggu Wie Kie-hong. Setidaknya paman aman berada disana. nanti kita akan bertemu lagi. aku hanya khawatir Cu Siau-thian diamdiam sudah mengutus seseorang mengikuti anda. Kalau demikian, rasanya anda malah lebih celaka" Tan Po-hai memang orang yang sungguh besar hati. dia hanya berkata singkat "Hidup mati sudah ada jodohnya. Kaya miskin juga sudah diatur langit. Kalau memang aku sudah ditakdirkan mati, bgaimanapun juga aku tidak dapat melarikan diri, aku khawatir masalah di dalam rumah Bu Tiat-cui bisa menjadi runyam. Kalau aku berada disisimu, aku khawatir aku hanya akan menyusahkan kalian." "Paman Tan, kau harus berhati-hati. setelah nanti sampai ke kediaman Leng Taiya, jangan pergi kemana-mana lagi." Akhirnya mereka berdua menghentikan sebuah kereta kuda yang lewat, Tu Liong mengantar Tan Po-hai naik kereta, dan memandang kereta pergi menjauh. Setelah kereta hilang dari pandangan, Tu Liong melanjutkan larinya ke gang San-poa. Angin malam berdesir lembut, cahaya rembulan yang tertutup awan perlahan-lahan kembali menyinari jalan yang sedang ditempuhnya. Mendadak dari kejauhan dia melihat bayangan berwarna putih. Pertama dia pikir dia sudah salah melihat. Apakah dia sedang melihat hantu? Tu Liong menegadah melihat langit. Memang bulan sedang purnama. Dia pernah mendengar, katanya ketika sedang bulan purnama atau bulan sedang gelap, banyak kejadian kejadian mistis yang sering terjadi. Tapi dia yakin dia tidak sedang salah lihat, dia terus berlari mendekati bayangan putih itu. Dalam hatinya dia merasa sedikit seram juga, namun setelah sangat dekat, hatinya kembali merasa tenang. Ternyata memang bukan sosok hantu. Itu adalah seorang calon nikoh berkepala gundul. Memang Hai Ceng yang biasa dikenakan para calon nikoh selalu berwarna putih atau hitam. Tu Liong bersyukur nikoh ini tidak mengena-kan yang berwarna hitam. Melihat Tu Liong berlari mendekat, dia menempelkan kedua telapak tangan dan membungkuk menyapa dengan ramah. "Omitohud..." Tu Liong merasa kikuk juga. Namun dia tahu tata krama untuk menyapa para nikoh seperti ini. Dia mengikuti apa yang dikerjakan nikoh itu. "Omitohud... nikoh datang jauh-jauh ketempat seperti ini ditengah malam begini ada urusan apa?" "Apakah Tuan muda tahu dimana aku bisa menjumpai Cu Siau-thian?" 0-0-0 Dalam gelap malam, Wie Kie-hong terus berlari bagaikan orang kesurupan. Didalam kepalanya berseliweran berbagai macam pikiran, dugaan dan pertanyaan. Air mata terus berderai turun. Dia sudah jenuh merasa bingung dengan semua pertanyaan dan tipuan. Tampaknya tidak ada satupun urusan yang sungguh masuk logikanya. Mendadak dia mendapat satu ingatan. Orang yang ditemui di dalam kediaman Bu Tiat-cui, yang bersuara serak dan beralis putih... apakah orang itu adalah ayahnya? Rasanya dia sudah beberapa kali mendengar suara seraknya. Rasanya dia adalah orang yang berbisik pada dirinya didalam kamarnya ketika jendela kamar tidur mendiang ayah tirinya didongkel orang. Suara yang sama yang sudah menyapanya didalam perjalanannya menyerahkan payung kertas pada nona Thiatyan. Mengapa dia tidak memikirkan hal ini ketika dia sedang berhadapan dengannya? "Mana mungkin aku bisa terpikirkan kalau ayahnya mendadak muncul dihadapannya?" Katanya pada diri sendiri. UGH! Kalau memang demikian, dia sudah melewatkan sebuah kesempatan besar. Kesempatan besar yang menjadi sebuah tragedi besar. Memikirkan bahwa ayahnya sekarang mungkin sudah tiada karena kebodohannya, Wie Kie-hong semakin menggila. Dia mempercepat larinya sampai pinggangnya terasa linu. Dia tidak memperdulikan nafasnya yang memburu. Tujuan larinya tidak lain adalah kediaman Bu Tiat-cui. Malam semakin larut, suasana pun sangat sunyi. Suasana dalam gang San-poa juga sama heningnya dengan tempattempat lainnya. Tidak terasa hawa pembunuhan sama sekali. Pintu masuk depan taman Bu Tiat-cui setengah terbuka. Tapi didalamnya tidak terdengar suara apa-apa. Wie Kie-hong menunggu sampai nafasnya kembali normal. Barulah dia berani melangkahkan kaki masuk kedalam. Lampu-lampu didalam rumah sudah dinya-lakan, namun dia tidak menjumpai seorang pun. Tirai yang menutup pintu masuk ruang samping separuh tersibak membuka. Mayat Bu Tiat-cui masih terbujur kaku di tempat dia meninggalkannya tadi. Ternyata selain mayat itu masih ada orang lain yang sedang duduk di bangku yang biasa diduduki oleh Bu Tiat-cui. Dia duduk bersandar, kepalanya tertegadah kebelakang. Tangan kanannya memegang dada. Darah segar belepotan membasahi tangannya. Wie Kie-hong berusaha melihatnya dengan lebih teliti. Ternyata orang ini masih bernafas walau sangat perlahanlahan. Wie Kie-hong ingin segera masuk. Namun dia tiba-tiba teringat Tu toako. Dia selalu berhati hati. kalau misalnya dia sedang ada bersamanya, dia pasti akan menarik bahunya. Dia akan memperingatkannya agar lebih waspada. Karena itu Wie Kie-hong meneliti ke empat penjuru ruangan sampai jelas, setelah itu dia segera berjalan mendekati orang yang terluka ini. Kepala Wie Kie-hong sudah terasa sangat panas. Dia bagaikan semut didalam kuali. Dia mempelajari raut muka orang yang terluka ini. Alisnya berwarna putih, namun matanya tertutup rapat, ternyata dia adalah orang yang tadi sudah menyuruhnya untuk segera pergi. Tiba-tiba suara Boh Tan-ping teriang nyaring didalam telinganya. "Kalau kau cepat pergi kesana, kau mungkin masih sempat mengantar kepergiannya" Dia pasti Wie Ceng ayah kandungnya. Segera Wie Kie-hong menjulurkan tangan untuk memeriksa luka yang dideritanya. Mendadak orang ini meloncat berdiri dan menyanderanya seperti ketika dia menyandera Bu Tiat-cui. Orang itu ternyata sama sekali tidak terluka, berpura-pura sekarat dan menggunakan kesempatan untuk menangkapnya adalah tindakan yang sangat picik. Ini jelas adalah tipuan Cu Siau-thian yang lain. Wie Kie-hong kembali merasa bimbang. Apakah orang ini sungguh adalah ayahnya? Kalau memang benar, untuk apa dia berbohong pura-pura sekarat? Bagaimana kalau seandainya dugaannya salah? Gerakannya sangat cepat, kekuatannya pun luar biasa. Namun orang itu tidak tampak meng-gunakan tenaga apaapa. hanya saja setelah bahunya dicengkram, betapapun Wie Kie-hong berusaha melepaskan diri, dia tidak bisa. "Mengapa kau kembali kesini?" Orang itu bertanya. "Aku mendengar kalau anda terluka, karena itu aku segera berlari kemari" "Kalau kau berbaik hati pada orang lain, kau sudah menjahati dirimu sendiri" Ternyata orang ini masih sempat memberikan petuah padanya. "Kau yang sudah datang sendiri kemari mengantar nyawa. Jangan menyalahkanku" Entah bagaimana caranya, namun hati Wie Kie-hong mendadak menjadi dingin. Dia berbicara dengan tenang. "Aku punya satu pertanyaan untukmu" "Katakanlah" "Siapa namamu?" "Memang ada urusan apa denganmu?" "Ada urusan yang sangat besar, aku segera datang kemari karena seorang keluarga sedang terluka disini" "Seorang keluarga? Keluarga siapa?" "Aku" Wie Kie-hong menjawab dengan suara keras "Apa hubunganmu dengannya?" "Dia adalah ayahku" "Coba kamu lihat sendiri, apakah aku mirip ayahmu?" Hati Wie Kie-hong sungguh terasa dingin. Katakanlah ayahnya tidak ingin mengakuinya, dia tidak mungkin memperlakukannya seperti ini, dan berkata seperti ini padanya. "Tadi Boh Tan-ping sudah memberitahuku kalau ayahku sedang terluka disini. Karena itu aku segera pergi kemari. Kalau tidak demikian, untuk apa aku datang kembali masuk kedalam bahaya setelah kau menyuruh aku pergi menjauh?" "Ternyata kau sudah ditipu" "Ini adalah balas budi seorang anak" "Siapa nama ayahmu?" "Wie Ceng" "Wie Ceng? Siapa yang memberitahumu kalau ayahmu masih hidup?" "Sudah banyak orang yang memberitahuku. Bahkan Thiatyan pun mengatakan padaku" "Aku beritahu. Ayahmu sudah meninggal dari dulu" "Betulkah? Dimana dia meninggal?" "Seperti kabar yang beredar. Dia meninggal ketika pergi keluar kota menunaikan tugas" "Bagaimana dia meninggal?" "Tentu saja dibunuh orang" "Siapa yang sudah membunuh ayahku?" "Sebenarnya ini adalah sebuah rahasia besar, namun sekarang sepertinya sudah tidak penting lagi.... orang yang membunuh ayahmu adalah Cu Siau-thian" "Mengapa? Mengapa dia membunuh ayah-ku?" "Menurut dugaanku, Leng Taiya sudah mengutusnya pergi keluar kota untuk menyelidiki satu hal. Kalau hal ini memang diketahuinya, pasti akan merugikan Cu Siau-thian." "Kalau begitu siapa dirimu?" "Aku adalah orang kepercayaan Cu Siau-thian. Aku juga pembunuh bayarannya" Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tapi tadi kau sudah melepaskan aku dan kakak... "Itu karena aku masih memiliki hati nurani. Aku pasti menolong pemuda yang berjiwa luhur..." "Ada pepatah yang mengatakan, kalau membantu seseorang, bantulah sampai selesai. Kalau mengantarkan seorang Buddha, antarlah sampai ke barat." "Sayang aku memiliki prinsip. Kalau mencoba membunuh orang, aku tidak akan mencoba membunuhnya untuk kedua kali. kalau menolong orang, aku pun tidak akan menolong kedua kalinya. Lagipula tadi Cu Taiya tidak tahu kalau aku ada kesempatan untuk membunuhmu. Sekarang jebakan ini sudah dipersiapkan olehnya. Kalau aku tidak membunuhmu, dia pasti tidak akan mengampuni diriku" "Aku masih ingin bertanya padamu, jawab dengan jujur sebagai permintaan terakhirku" "Silahkan" "Akhir-akhir ini kau sudah membunuh berapa banyak orang?" "Tidak sedikit" "Siapa saja?" "Kebanyakan yang mati sudah dibunuh olehku" "Hui Taiya, Leng Taiya, masih ada Hiong-ki?" "Tidak salah" "Mengapa harus membunuh mereka?" "Aku hanya membunuh berdasarkan perintah, kalau kau mau tahu alasannya, sebaiknya kau bertanya pada Cu Siauthian." "Apakah sekarang kau mendapat perintah untuk membunuh aku dan Tu toako?" "Betul. Sebentar lagi Tu Liong pasti akan menyusul kemari" "Kemana perginya Thiat-yan?" "Thiat-yan?" Orang beralis putih ini tertawa dingin "HUH! Seharusnya dia sekarang sedang ada di sebuah kuil dan menjadi seorang nikoh" Wie Kie-hong mengernyitkan kening. "Apa maksud kata-katamu? Tadi dia masih ada disini berdebat dengan Cu Siau-thian" Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo