Pedang Darah Bunga Iblis 25
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 25
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H Pelan2 ketua Jeng siong hwe menanggalkan cadar yang menutupi mukanya, terlihat sebuah wajah yang halus putih dan cantik rupawan dibasahi airmata. Katanya sesenggukan. "Nak, kau tahu siapa aku ini?" "Ibu!" Keluh Suma Bing dengan sedihnya. Airmata membanjir keluar dengan derasnya. Sungguh mimpi juga dia tidak nyana bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah ibundanya, yaitu San hoa li Ong Fang lan yang dirindukan siang dan malam. Sejak dapat berpikir dalam ingatannya tiada terbayang bentuk wajah ibundanya. Namun dari bentuk wajah dan raganya Ong Fong jui dapat diperkirakan keadaan ibunya. Dan ternyata bahwa perkiraannya tidak berbeda jauh dengan keadaan ibundanya yang sebenarnya. Sambil berkeluh panjang San hoa li Ong Fang lan menubruk maju terus mencopoti borgol yang mengekang Suma Bing terus memeluknya kencang sambil menangis gerung2. "Nak, apakah ini bukan dalam mimpi?" "Bu, bukan mimpi, inilah kenyataan! Sudah lama sekali aku mencari kau orang tua!" "Nak, beritahukan pengalamanmu sekian tahun ini?" Sambil mencucurkan airmata, Suma Bing menceritakan keadaan dalam jurang dibawah puncak kepala harimau itu, secara kebetulan dirinya tertolong oleh gurunya Sia sin Kho Jiang, sampai pertemuan mereka ibu dan anak ini. Bercerita pada saat2 yang menyedihkan, ibu dan anak tanpa terasa saling berpelukan sambil menangis tanpa tertahan. Setelah ceritanya habis, baru Suma Bing menyinggung tentang permusuhannya dengan Bwe hwa hwe... Begitu mendengar anaknya menyinggung Loh Cu gi itu musuh bebuyutan, berobah airmuka ketua Jeng siong hwe geramnya sambil mengertak gigi. "Jadi Loh Cu gilah yang menjadi sesepuh dan tulang punggung dari Bwe hwa hwe?" Suma Bing mengiakan. "Aku bersumpah harus mencacah dan menghancur leburkan tubuhnya." "Bu, urusan ini biarlah berikan kepadaku saja. Bukan saja Loh Cu gi itu adalah musuh besar keluarga kita, dia juga seorang murid murtad yang mendurhakai guru. Menurut pesan suhu aku harus mencuci bersih nama baik perguruan dan menuntut balas sakit hatinya. Maka biarlah kedua urusan ini kulaksanakan bersama." "Nak, memang Tuhan yang Maha Kuasa selalu memberkahi umatnya yang saleh, sungguh tidak nyana secara aneh kau dapat tetap hidup. Malah ketiban rejeki besar dan dapat mempelajari ilmu digdaya yang tiada taranya lagi. Memang benar, hutang darah ini seharusnya kaulah yang menagih. Dialam baka tentu ayahmu dapat istirahat dengan tentram dan meram! Hanya aku ini..." "Kau kenapa bu?" Ketua Jeng siong hwe tertawa getir, sahutnya. "Nak, tiada muka aku bertemu lagi dengan orang dikolong langit ini, lebih2 malu rasanya berjumpa dengan ayahmu dialam baka..." Berkata sampai disitu suara tawanya berganti menjadi sesenggukkan. Sudah tentu Suma Bing maklum akan maksud perkataan ibunya. Siapa dapat menduga Loh Cu gi si binatang buas berkedok manusia itu dapat memerankan tragedi yang dapat menyayatkan hati dalam dunia fana ini. Maka katanya dengan suara sember. "Bu, sebabnya sampai kau mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar adalah untuk anak. Aku percaya pasti ayah tahu dan memaklumi keadaanmu yang terdesak itu..." "Nak, dulu itu memang salah ibumu!" "Tidak, bu, kau tidak salah kau terdesak oleh keadaan. Kalau kau berkata demikian maka tiada tempat lagi bagi anakmu ini berpijak." "Sudah nak, tak perlu kita perbincangkan persoalan itu lagi. Ibumu masih tetap hidup sampai sekarang setelah ternoda, hanyalah karena aku hendak menuntut balas..." "Bagaimana ibu sampai bisa menjadi ketua Jeng siong hwe ini?" "Apakah kau pernah dengar julukan Ceng gi ci sin?" Suma Bing tertegun, katanya. "Malaikat keadilan? Tokoh kenamaan yang ditakuti dan dipandang sebagai malaikat dunia persilatan oleh aliran hitam dan putih pada enampuluh tahun yang lalu itu?" "Benar, dia orang tualah yang menjadi ketua Panggung berdarah ini!" "Ketua Panggung berdarah?" "Tujuan dia orang tua membangun Panggung berdarah ini adalah untuk menghukum para durjana dan penjahat2 besar di kalangan Kangouw yang memang setimpal menerima hukumannya, dengan darah para hukuman itulah panggung ini dibangun. Supaya dunia bisa aman tentram tanpa kejahatan..." "Limabelas tahun yang lalu, secara kebetulan ibumu menemukan buku catatannya yang tertinggal, dimana tertera pelajaran ilmu silat. Maka kuangkat diriku sebagai murid ahliwarisnya..." "Lalu asal-mula nama Jeng siong hwe ini..." Wajah San hoa li Ong Fang lan mendadak berobah penuh kebencian, katanya sambil kertak gigi. "Nak, nama Jeng siong hwe hanyalah suatu simbol yang kenyataan saja!" "Simbol yang kenyataan?" "Ya, tujuannya hanyalah untuk menuntut balas!" "Kenapa harus menggunakan nama itu untuk menuntut balas?" "Nak, pedang pendek yang menusuk ulu hatimu dulu, adalah cundrik yang selalu menembusi dada musuh2 besar itu. Untuk memperingati kematianmu karena kebencian yang ber-limpah2, aku bersumpah menggunakan cundrik ini untuk menembusi dada setiap musuh besar kita itu!" Air mata meleleh dengan derasnya, baru sekarang Suma Bing paham, jebul apa yang dinamakan sebagai daftar catatan itu kiranya adalah daftar nama2 para musuh besar keluarganya. Jadi para tokoh2 silat yang sudah mati tertembus ulu hatinya oleh cundrik Rasul penembus dada itu ternyata adalah musuh2 besar yang sudah terdaftar dalam buku itu. "Nak, mari kita bicara didalam saja!" Suma Bing mengusap air matanya sambil manggut2. Saat mana sifat2 gagah dan kegarangannya sudah lenyap terbawa angin. Dihadapan ibunya seperti orok kecil saja ia mandah dituntun jalan. Setelah turun dari panggung berdarah, tibalah mereka disebuah lorong yang belak belok dan tak lama kemudian tibalah dalam sebuah rumah kuno yang dibangun dengan batu. Empat orang perempuan seragam putih segera muncul dari balik pintu sebelah sana terus berdiri jajar dengan hormatnya. Menunjuk kearah Suma Bing berkatalah San hoa li Ong Fang lan. "Inilah tuan muda!" Serentak keempat perempuan seragam hitam itu membungkuk hormat sambil memanggil. "Tuan muda!" Suma Bing manggut2, entah sengaja atau tidak sorot matanya menyapu satu diantaranya. Gadis itu bukan lain adalah Rasul penembus dada yang pernah dibuka kedoknya oleh Suma Bing. San hoa li Ong Fang lan tertawa tawar, katanya. "Nak, kukira kalian sudah berkenalan dia adalah pemimpin dari dua belas rasul itu, bernama Ih Yan chiu!" Ih Yan chiu pimpinan Rasul penembus dada menunduk kepala dengan malu2. Siapa akan menduga seorang gadis ayu rupawan yang lemah lembut ini jebul adalah Rasul penembus dada yang ditakuti dan disegani oleh kaum persilatan. "Kalian boleh mundur." Kata San hoa li kepada keempat rasul. "Pindahkan meja perjamuan keruangan dalam, Yan chiu antarkan tuan muda pergi mandi dan salin pakaian." Ih Yan chiu mengiakan lalu mempersilahkan Suma Bing ikut kebelakang. Sebetulnya Suma Bing segan dan tak mau dilayani oleh Ih Yan chiu ini, tapi rasanya tak enak menolak kebaikan ibunya, maka terpaksa dia ikut pergi. Puluhan batang lilin besar dipasang dalam ruang tengah yang besar dan angker dengan perabotnya yang serba antik itu. Dimana di tengah2 ruangan itu sudah tersedia meja perjamuan dengan segala masakan yang lezat2. Tampak San hoa li sedang duduk berhadapan dengan Suma Bing, mereka sedang makan minum. Disamping berdiri Ih Yan chiu yang melayani. Mungkin karena terlalu berduka atau karena terlalu gembira sehingga ibu beranak ini kehilangan selera untuk menelan makanan yang serba mewah itu. "Nak, ini seperti dalam alam mimpi saja..." "Benar, bu, sebuah impian yang kenyataan!" "Nak, hari ini ibumu merasa sangat puas. Bukan saja kau sudah dewasa malah sudah berumah tangga lagi. Malah sudah melaksanakan impian ayahmu dulu yaitu mempelajari ilmu yang tertera didalam Pedang darah dan Bunga iblis..." "Bu sejak kini lebih baik nama Jeng siong hwe ini kita hapus saja!" "Kenapa?" "Sejak saat ini menuntut balas sudah merupakan tugas yang harus dibebankan kepadaku!" "Baik, nak!" Sahut San hoa li, lalu berpaling kearah Ih Yan chiu dan katanya. "Ambilkan cundrik itu kemari!" Ih Yan chiu mengiakan sambil membungkuk hormat terus mengundurkan diri. Tak lama kemudian dibekalnya sebuah pedang pendek kecil yang berkilauan, dengan kedua tangannya dia letakkan diatas meja, masih ada se Jilid buku kecil yang tipis juga dikeluarkan. San hoa li Ong Fan lan mengambil cundrik itu, matanya berlinang air mata, katanya. "Nak, cundrik ini kuserahkan kepadamu. Ingat, selain para musuh besar, kularang kau membunuh orang tanpa berdosa!" Ter-sipu2 Suma Bing bangkit terus berlutut, dengan kedua tangannya dia menerima cundrik itu serta ujarnya gemetar. "Anak akan selalu ingat peringatan ibu!" "Kau bangunlah!" "Terima kasih ibu!" "Buku kecil ini adalah daftar catatan. Nama2 yang tertera didalam buku ini adalah para durjana yang ikut mengeroyok ayahmu dulu. Diantaranya yang sudah tercoret dengan potlot merah sudah menjadi mayat!" 48. BU KHEK PAY DIAMBANG KEHANCURAN "Anak pasti akan melanjutkan tugas penuntutan balas ini!" "Nanti sebentar biar kuturunkan ilmu ciptaanku cara2 menggunakan cundrik ini!" Suma Bing manggut2 dengan girang. "Ibumu mendoakan supaya kau sukses dalam tugasmu!" "Bu dikala tugas penuntutan balas ini sudah selesai semua, pasti anak akan selalu mendampingi kau orang tua..." Sampai setengah ucapannya segera ditelan kembali selarik arus dingin menjalar keseluruh tubuhnya sehingga hatinya dingin membeku. Teringat olehnya janjinya kepada Racun diracun. Namun agaknya ibunya tidak memperhatikan mimik wajahnya yang berubah ini. Katanya tertawa getir. "Nak, segala ucapan semacam itu terlalu pagi untuk dikatakan, kau adalah majikan dari Perkampungan bumi, sedang ibumu adalah ahli waris dari aliran Panggung berdarah ini, dan juga, ai..." Agaknya masih banyak kata2 yang hendak diucapkan, namun tidak kuasa dicurahkan keluar. Lahirnya Suma Bing bersikap tenang dan wajar, tapi hakikatnya jantungnya tengah berdebar dan hatinya mengeluh, sungguh dia tidak berani membayangkan masa depan... Sepasang ibu beranak yang masih ketinggalan hidup setelah mengalami berbagai kesengsaraan duniawi, masing2 menyimpan isi hati yang tak boleh diketahui orang luar. Suasana gembira akan pertemuan yang meriangkan hati ini, tenggelam dalam titik kesedihan yang membekukan hati. Tapi, masing2 berusaha untuk menahan ketenangan dalam lahir. Kalau San hoa li selalu ingat dan menahan malu dan hinaan untuk hidup dan menuntut balas bagi kematian suaminya. Adegan dimana dirinya ternoda seumpama seekor ular berbisa yang senantiasa menggerogoti hatinya. Dalam diluar dugaan setelah bersua kembali dengan anaknya malah semangatnya melempem. Dia merasa dengan tubuh yang sudah ternoda ini rasanya malu untuk bertemu dengan suaminya dialam baka. Lebih malu lagi bertemu dengan putranya, inilah cacat kesedihannya. Meskipun sebagai majikan atau pimpinan dari Panggung berdarah. Namun kedudukan ini takkan dapat membuka belenggu yang menekan hatinya. Demikian juga keadaan Suma Bing dalam rangsangan berbagai bayangan yang kontras. Satu pihak dia harus menunjukkan wibawa sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi keadilan dan dapat membedakan antara budi dan dendam, melaksanakan dan menepati janjinya terhadap Racun diracun, dipihak lain dia juga harus berbakti kepada orang tua, sebagai anak yang kenal kebajikan. Sebaliknya sebagai kaum persilatan, dalam sesuatu keadaan yang memaksa, dia rela dan lebih baik tidak berbakti daripada badan hancur dan nama berantakan dikalangan Kangouw. Ganjalan hati inilah yang tidak kuasa diutarakan, betapa pedih dan susah hatinya kiranya tidak kalah dalamnya seperti keadaan ibundanya. Tiga hari kemudian dengan berlinang airmata Suma Bing ambil berpisah dengan ibunya dan mulai lagi kelana dikalangan Kangouw. Nama2 para musuh2 besar yang tercatat dalam buku daftar itu sudah hapal diluar kepala. Loh Cu gi adalah nama yang tercatat nomor satu. Rintangan terbesar yang menghalangi usahanya adalah barisan pohon bunga Bwe yang mengelilingi markas besar Bwe hwa hwe itu, jikalau tidak dapat memecahkan barisan itu atau paham inti letak rahasia barisan itu susah baginya untuk mencari musuh besarnya itu. Benaknya tengah berpikir, siapakah kiranya dalam dunia ini yang paham dan pintar ilmu mengenai barisan yang aneh itu? Begitulah berpikir sambil berjalan, tiba2 dilihatnya dikejauhan sana terlihat sebuah bangunan benteng yang mengelilingi sebuah perkampungan. Diatas benteng itu terpancang tiga huruf besar warna emas yang berbunyi. 'Bu khek po'. "Bu khek po!" Gumam Suma Bing, seketika timbul darah panas menjalar keseluruh tubuhnya. Bu khek po adalah tempat berdirinya aliran Bu khek bun. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bu khek siang lo dua tokoh kenamaan dari aliran ini sangat tenar dan disegani dikalangan Kangouw. Bukankah Bu khek siang lo ini tercatat sebagai nomor enam dan tujuh dalam buku daftar ibunya. Serta merta Suma Bing mengelus2 cundrik yang digembol dipinggangnya, ujung bibirnya mengulum senyum dingin, dengan langkah lebar dia mendatangi pintu gerbang benteng perkampungan itu. Pintu besar yang terbuat dari besi baja ini tertutup rapat. Setelah tiba diambang pintu berserulah Suma Bing lantang. "Adakah orang didalam?" Beruntun dua kali dia menggembor tanpa penyahutan. Keruan Suma Bing merasa sangat heran, betapa besar dan kenamaan tempat dan aliran dari berdirinya golongan Bu khek po ini, mengapa seorang penjaga pintu saja tiada terlihat, ini benar2 suatu kejanggalan yang mengherankan. Setelah menanti sekian lama tanpa adanya reaksi apa2, akhirnya dia maju dan mengetuk pintu dengan kerasnya. Tak kira begitu terdorong oleh ketukannya pintu besar itu terbuka sendirinya. Ternyata pintu ini hanya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Waktu Suma Bing beranjak masuk dan dimana pandangannya menyapu, tanpa terasa tercekat hatinya. Didalam pintu sebelah sana tampak dua orang seragam hitam rebah dalam genangan darah yang sudah hampir membeku, agaknya kematian mereka ini terjadi belum lama berselang. Kejadian ini sungguh aneh, siapakah yang berani main bunuh di Bu khek po ini? Alisnya berkerut semakin dalam, akhirnya dengan kesebatan luar biasa tubuhnya melesat masuk kedalam pintu sana. "Siapa itu?" Terdengar bentakan saling susul, tahu2 empat orang Laki2 yang membekal pedang sudah berjajar menghadang dijalan masuk. Mendengar tegoran ini Suma Bing menghentikan langkah begitu melihat keempat orang penghadangnya, semakin geram hatinya timbul sifat buas dalam benaknya. Keempat orang ini mengenakan seragam yang didepan dadanya, tersulam bunga bwe warna putih, ini merupakan pertanda siapakah mereka adanya. Salah satu yang berdiri ditengah mengayun2 pedang dan membentak kasar. "Bocah keparat siapa kau sebutkan namamu?" Tanpa menyahut Suma Bing maju dua tindak, rona wajahnya penuh diselubungi hawa membunuh yang tebal. Tiba2 satu diantara keempat erang itu berseru gemetar. "Kau, kau ini Suma Bing?" Mendengar nama Suma Bing, pucat ketakutanlah ketiga kawannya itu bagai melihat hantu disiang hari bolong. Tanpa terasa mereka menyurut mundur. Sebagai Huma dari Perkampungan bumi dalam dua gebrakan mengalahkan Hui Kong Taysu yang dipandang sebagai padri teragung bagi Siau lim si berita ini sudah tersebar luas dikalangan Kangouw, boleh dikata tua muda besar kecil semua sudah dengar dan tahu tentang peristiwa besar itu. Apalagi empat kaum keroco Bwe hwa hwe ini betapa mereka tidak ketakutan serasa arwah sudah meninggalkan badan. Jadi sudah terang kalau pihak Bwe hwa hwelah yang meluruk dan merupakan duri bencana bagi pihak Bu khek po. Ini betul2 diluar prasangka Suma Bing. Setelah saling berpandangan, mendadak keempat orang itu terus memutar tubuh dan lari terbirit2 bagai dikejar hantu. "Jangan bergerak!" Suara bentakan ini seolah2 mempunyai wibawa besar se-akan2 kaki mereka tumbuh akar sehingga terpaku ditempat masing2. Suma Bing sudah mengayun tangan tinggal mengerahkan tenaga memukul mampus keempat laki2 didepannya ini, namun tiba2 tergeraklah hatinya, pikirnya lebih baik jangan membuat gaduh dan mengejutkan orang lain, dilihat dulu bagaimana keadaan didalam perkampungan sana. Karena pikirannya ini, tangan yang sudah terangkat itu ditarik kembali, begitu melejit enteng sekali bagai burung walet tubuhnya terbang lewat diatas kepala keempat orang laki2 itu. Dikala bayangan Suma Bing menghilang dibalik barisan para2 puluhan tombak didepan sana, baru terdengar suara 'blak, bluk' keempat laki2 itu roboh terkapar dan melayang jiwanya tanpa mengeluarkan suara. Lingkungan benteng perkampungan Bu khek po ini ternyata sekian luasnya. Ratusan tombak kemudian baru terlihat bangunan rumah2, sepanjang perjalanan mayat bergelimpangan di-mana2, diantaranya ada anak murid dari perbentengan dan ada juga anak buah Bwe hwa hwe. Menyusuri sebuah jalanan batu hijau yang diapit pohon2 siong dan pek, terbentanglah sebuah lapangan yang luas disebelah depan sana. Dipinggir lapangan sudah tertumpuk tujuh mayat, dan terlihat pula dua kelompok manusia tengah berhadapan. Kelompok pertama dari pihak Bu khek bun, jumlahnya tidak kurang empat limapuluhan orang. Sedang kelompok kedua dari Bwe hwa hwe, jumlahnya lebih kecil tidak lebih dari duapuluh orang. Saat mana seorang tua berjubah merah bersulam sekuntum bunga Bwe tengah berdebat seru menghadapi seorang lelaki pertengahan umur yang berpakaian perlente... Dari cara berpakaiannya itu dapatlah diketahui bahwa orang tua jubah merah itu adalah salah satu dari pelindung Bwe hwa hwe. Sedang laki2 perlente itu pasti pejabat Ciangbunjin yang sekarang dari Bu khek bun yaitu Bu khek chiu Tio Ling wa adanya. Terdengar orang tua jubah merah tengah ter-gelak2, serta serunya. "Ciangbunjin, ucapanku sudah habis, sebenarnya bagaimana pendapatmu?" Wajah Bu khek chiu Tio Ling wa mengunjuk rasa gusar, semprotnya. "Sebagai pejabat Ciangbunjin, kepalaku boleh putus, darahku boleh mengalir, aku tak sudi menjadi pengkhianat dari perguruanku!" "Hm, Ciangbunjin, berpikirlah secara jantan?" "Persoalan sudah terang dan tak perlu diperdebatkan lagi!" "Jadi kau rela melihat Bu khek po terjadi banjir darah?" "Selamanya aku tidak takut diancam!" "Aku menerima tugas kalau tujuan belum terlaksana, akan..." "Akan apa?" "Bu khek po harus dicuci bersih dengan darah kalian" Ancaman serius ini membuat semua anak murid Bu khek bun berobah airmukanya, malah yang berdarah panas sudah menggeram gusar dan hendak melabrak musuh2 tak diundang pembuat bencana ini. Bu khek Ciangbunjin Bu khek chiu Tio Ling wa sendiri juga sampai mundur selangkah, geramnya mengertak gigi. "Perbuatan kalian dari Bwe hwa hwe ini, akan menambah kebencian masyarakat seumpama Tuhan juga tidak akan memberi ampun terhadap kedholiman kalian ini. Hari saat2 runtuhnya Bwe hwa hwe sudah diambang pintu. Perguruan kita rela hancur lebur sebagai batu giok yang suci murni daripada pecah berantakan sebagai genteng yang tak berharga." Orang tua jubah merah ganda mendengus ejek, jengeknya. "Ciangbunjin, nasib Bwe hwa hwe kelak, kau tak perlu banyak urus. Sebaliknya saat2 runtuhnya perguruan kalian sudah tiba didepan mata!" Pada saat itulah sekonyong2 seorang laki2 seragam hitam bergegas memasuki gelanggang terus memberi lapor dengan muka ketakutan. "Lapor kepada Hu hoat, semua penjaga gelap yang kita tanam diempat penjuru mengalami bencana..." "Apa?" Tanya si orang tua jubah merah dengan kejut. "Semua penjaga gelap yang kita sebar disepanjang jalanan telah musnah sama sekali. Semua mati karena tertutuk jalan darah kematian mereka oleh tutukan jari dengan tenaga Lwekeh yang hebat sekali. Siapakah orang yang turun tangan belum diketahui jejaknya." Semua hadirin tergetar dan terperanjat akan perobahan luar biasa yang terjadi mendadak ini. Bagi pihak Bu khek po, mereka heran dan terkejut. Bagi Bwe hwa hwe selain kejut juga merasa gentar dan mulai dirundung ketakutan. Siapa dan termasuk tokoh macam apakah orang yang turun tangan itu? Tidak kurang empat puluh orang anak buah Bwe hwa we yang disebar secara gelap diempat penjuru, kini tanpa bersuara, semua sudah menggeletak menjadi mayat, ini benar2 sangat mengejutkan dan susah dapat dipercaya. Mata si orang tua jubah merah menyorotkan sorot gusar dan buas, katanya dengan nada berat. "Chi dan Tan dua Tongcu dengar perintah!" Dua orang berseragam abu2 melesat keluar serunya berbareng. "Tecu disini?" "Silahkan kalian berdua pergi memeriksa!" "Terima perintah!" Sebat sekali mereka sudah berlari pergi meninggalkan gelanggang. "Ciangbunjin, kuberi peringatan yang terakhir. Harap segera serahkan Hui jui san (kipas pualam hijau), kalau tidak segera kukeluarkan perintah untuk menghancurkan seluruh Bu khek po ini!" "Tidak bisa!" Teriak Bu khek chiu Tio Ling wa dengan sengitnya. Mendadak dua jeritan yang melolong tinggi menusuk pendengaran jauh2 terdengar dengan jelas sekali. Kontan berobah airmuka semua anak buah Bwe hwa hwe. Kenyataan ini sudah jelas bahwa Chi dan Tan kedua Tongcu itu pasti sudah menemui ajalnya mengikuti para penjaga gelap yang disebar dimana2 itu. Mata si orang tua jubah merah melotot besar bagai dua kelereng yang hampir mencotot keluar. Otot dijidatnya juga merongkol keluar. Sesaat dia mati kutu tak tahu apa yang harus diperbuat selanjutnya. Sementara itu pihak Bu khek po termasuk Bu hek chiu sendiri mengunjuk rasa heran tak mengerti, entah siapakah yang telah membantu secara menggelap ini? Terdengar kesiur angin yang keras dua bayangan orang bagai burung raksasa melayang jatuh ketengah gelanggang. Kontan berjingkrak girang dan gegap gempitalah sorak sorai pihak Bu khek po. Kedua bayangan itu kiranya adalah dua orang tua yang sudah beruban dan berjenggot panjang sebatas dada. Seketika berseru giranglah Bu khek chiu Tio Ling wa, sapanya sambil unjuk hormat. "Para Susiok baik2 saja selama ini!" "Ciangbunjin juga baik!" Sahut kedua orang tua berbareng. Lalu mereka berputar menghadap kelompok pihak Bwe hwa hwe, empat sorot mata yang ber-kilat2 menatap tajam kearah lawan tanpa berkesip. Si orang tua jubah merah acuh tak acuh membuka suara. "Kiranya Bu khek siang lo." Bu khek siang lo mendengus gusar, semprotnya dengan nada yang menyedot semangat. "Kam Peng cun, sungguh tak duga kau sekarang telah menjadi pelindung dari Bwe hwa hwe, pantas kau berani main lagak dan menyebar maut ke-mana2 malah turun tangan keji terhadap anak murid kami. Hehehe, orang she Kam, kau hendak berbuat apa terhadap perguruan kami?" Sahut Kam Peng cun dengan kalem tanpa berobah air mukanya. "Terlebih dahulu perlu aku bertanya, para penjaga gelap sebanyak empat puluh orang dengan kedua Tongcu kami, apakah kalian berdua yang membunuh mereka?" Siang lo sama2 melengak, sahut salah seorang. "Lohu berdua baru saja tiba!" "Benar bukan kalian yang turun tangan?" Kam Peng cun menegasi. "Bukan, sebaliknya para murid dari Bu khek bun yang melayang jiwanya itu, hutang darah ini kau orang she Kam..." "Ingat catatlah dalam perhitungan dengan Bwe hwa hwe!" "Orang she Kam, kau sangka Bwe hwa hwe lantas bisa menutupi matahari dengan sebelah tangan?" "Cayhe tidak perlu banyak debat!" "Lalu apa maksudmu?" "Aku menerima tugas untuk minta pinjam Kipas pualam hijau dari perguruan kalian." "Hahahahahaha!" Bu khek siang lo perdengarkan gelak tawa yang serak memekakkan telinga. Kam Peng cun Hu hoat jubah merah menggereng gusar, makinya. "Ada apa kalian tertawa?" Setelah menghentikan tawanya, berobah kereng wajah Siang lo, bentaknya. "Kipas pualam hijau adalah benda pusaka pelindung perguruan kita, kecuali perguruan kita sudah musnah dari muka bumi ini, kalau tidak..." "Kalau tidak dipinjamkan kepada kita kipas pualam hijau itu," Demikian Kam Peng cun menukas dan menyambung. "Bukan saja nama kalian harus tersapu dari dunia persilatan, malah Bu khek po ini juga harus menjadi tumpukan puing!" Saking marah Bu khek siang lo berjingkrak2, wajahnya berobah hijau dan seluruh tubuh gemetaran. Malah seorang yang agak muda berdarah panas tanpa kuasa menahan gelora hatinya lagi terus merangsang maju sambil menyerang kearah si jubah merah Kam Peng cun betapa hebat dan keji serangan ini benar2 hebat luar biasa. Kam Peng cun menepuk kedua tangan terus mendorong maju menyongsong serangan lawan. Begitu tangan kedua belah pihak saling bentur, terdengarlah suara 'plak, plok' tiga kali. Kontan salah satu Siang lo itu tergetar mundur dua tindak. Ini menunjukkan bahwa Lwekang Kam Peng cun masih berada diatas Siang lo. Sebagai tokoh tertinggi dari perguruannya, ternyata Siang lo bukan menjadi tandingan seorang Hu hoat seperti Kam Peng cun saja, maka dapatlah dibayangkan akibat dari pertempuran besar2an yang akan datang ini. Semua anak murid Bu khek bun termasuk Ciangbunjin sendiri berobah pucat dan kecut hatinya. Dalam pada itu, kalau lahirnya saja Kam Peng cun bersikap tenang dan acuh tak acuh, namun hatinya risau dan jantungnya berdebur keras. Orang yang turun tangan secara gelap itu merupakan ancaman terbesar bagi kedudukannya. Berpuluh jagoan kelas tinggi semua mampus tanpa karuan paran, malah sampai orang yang memberi aba2 juga tidak ada. Maka dapatlah diukur betapa tinggi ilmu silat orang yang turun tangan itu, sungguh ngeri dan menakutkan. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tak terpikirkan olehnya siapakah orangnya yang berani terang2an main propokasi terhadap Bwe hwa hwe, malah sudah turun tangan secara keji pula? Setelah di-pikir2, segera ia berpaling dan perintahnya kepada seorang seragam hitam. "Ban hiangcu, lepaskan tanda bantuan!" Orang yang diperintah mengiakan, selarik sinar merah melesat tinggi ketengah angkasa terus meledak keras dan berhamburanlah bunga2 api yang berbentuk seperti bunga Bwe besar. Bu khek chiu Tio Ling wa, juga segera angkat sebelah tangan, berpuluh anak muridnya segera berpencar kedua samping siap siaga sambil menyoreng senjata. Sekilas Bu khek siang lo berpaling kearah Ciangbunjin mereka, lalu keduanya maju bersama menerjang kearah musuh. Pelindung jubah merah Kam Peng cun membentak keras memberi aba2 untuk mulai melabrak musuh. Sedang dia sendiri mendahului memapak kedatangan Bu khek siang lo. Puluhan anak buahnya juga tidak mau ketinggalan terus merangsak maju dan menyerbu musuh mati2an. Dimana2 terdengar suara bentakan diiringi suara jerit kesakitan yang riuh rendah. Terjadilah pertempuran serabutan yang besar, jiwa manusia seumpama rumput dibabat habis2an, mayat mulai bergelimpangan. Para jagoan Bwe hwa hwe yang diikut sertakan dalam penyerbuan adalah para Hiangcu keatas, mereka adalah tokoh2 silat pilihan yang berkepandaian tinggi, setiap turun tangan tanpa sungkan2 lagi, maka dalam sekejap itu dapatlah dibedakan pihak mana lebih kuat dan asor. Meskipun para murid Bu khek bun bertempur membekal rasa gusar yang me-luap2 serta bertempur dengan gigihnya, apa mau kepandaian sendiri lebih rendah dari musuh bagaimana besar tekad dan semangatnyapun toh satu persatu kena dirobohkan. Terlebih lihay dan hebat adalah pertempuran antara Kam Peng cun melawan Bu khek siang lo. Sedang seorang tua jubah merah sebagai pejabat pelindung lainnya melawan Tio Ling wa. Hanya dalam beberapa gebrak saja Bu khek chiu sudah terdesak hebat dibawah angin, setindak demi setindak terus mundur, setiap saat menghadapi bahaya. Jerit menyayatkan hati terus saling susul terdengar menusuk telinga. Gemboran pertempuran dan denting senjata beradu telah memenuhi seluruh perbentengan Bu khek po. Tidak sampai setengah jam, pihak Bu khek bun sudah jatuh korban hampir separonya. Sungguh menggiriskan pembunuhan besar2an ini. Se-konyong2 terdengar jeritan tertahan, tampak Ciangbunjin Bu khek chiu Tio Ling wa menyemprotkan darah segar, tubuhnya juga limbung hampir roboh. Salah seorang dari Bu khek siang lo bergegas meninggalkan Kam Peng cun terus menubruk tiba merintangi didepan Bu khek chiu sembari menyambuti serangan pelindung jubah merah lainnya ini. Tinggal Siang lo yang seorang itu menghadapi Kam Peng cun, hanya dalam tiga gebrak saja dirinya sudah terdesak pontang panting tanpa mampu balas menyerang lagi. Sampai saat itu kenyataan membuktikan bahwa Bu khek bun terang susah terhindar dari keruntuhan total. Dalam saat2 yang menentukan itulah, sekonyong2 terdengar sebuah hardikan keras yang lantang. "Semua berhenti!" Suara ini tidak begitu besar tapi dapat menutupi semua keributan yang bergelombang rendah itu, sehingga semua orang yang tengah bertempur merasa tergetar hatinya, kuping juga serasa ditusuk jarum. Tanpa terasa kedua belah pihak menghentikan pertempuran ini... Sebuah bayangan seenteng kapuk melayang tiba memasuki gelanggang. Pendatang ini adalah seorang pemuda yang cakap ganteng seumpama Arjuna hidup kembali. Tapi diantara kerut alisnya itu terkandung hawa membunuh yang tebal. Wajah tua pelindung jubah merah itu seketika pucat pasi, gumamnya gemetar. "Sia sin kedua Suma Bing!" Kedatangan Suma Bing ini seumpama malaikat elmaut bagi pihak Bwe hwa hwe, keruan ciut dan gentar nyali mereka. Sebaliknya pihak Bu khek po merasa takjup, heran dan kejut sampai terlongong. Meskipun diberi julukan sebagai Sia sin kedua, tapi ketenaran dan kepandaian Suma Bing sekarang, rasanya lebih tinggi dan lebih agung dari gurunya yang sudah wafat yaitu Lam sia Kho Jiang. Kehadiran Suma Bing diluar sangka ini benar2 mengejutkan dan diluar dugaan kedua belah pihak. Tanpa diterangkan lagi sudah jelas, bahwa para penjaga gelap yang ditanam dimana2 oleh Bwe hwa hwe itu pastilah telah dibabat habis oleh Suma Bing. Memang hanya Suma Bing saja yang mampu melakukan pekerjaan besar yang berat itu. Serta merta para anak buah Bwe hwa hwe menggeremet dan saling mepet. Wajah Suma Bing membeku bagai es kedua matanya mencorong berkilat bagai bintang kejora dimalam hari, menyinarkan cahaya dingin yang menyilaukan mata. Setelah menyapu pandang kearah Bu khek siang lo, terus berpaling menghadapi semua jagoan Bwe hwa hwe. Kam Peng cun si pelindung jubah merah sebagai pemimpin dalam penyerbuan ini. Tak dapat tidak dia harus menghadapi kenyataan yang serius ini, terpaksa mengeraskan kepala dia tampil kedepan. "Apakah tuan ini Sia sin kedua?" Suma Bing menggereng dingin sebagai jawaban. "Apa maksud tuan datang kemari?" "Membunuh orang!" Dua patah kata yang gampang diucapkan ini keluar dari mulut Suma Bing, betapa besar wibawanya seumpama lonceng kematian bagi anak buah Bwe hwa hwe, bayangan kematian melingkupi sanubari setiap hadirin. Pelindung jubah merah Kam Peng cun menyedot hawa dingin dan mundur dua langkah, sudah tahu namun dia sengaja bertanya. "Jadi kedatangan tuan khusus hendak membunuh?" "Tidak salah!" "Siapa yang hendak kau bunuh?" "Semua orang yang mengenakan pertanda dari Bhe hwa hwe." Keruan terasa terbang arwah semua anak buah Bwe hwa hwe, semua gemetar ketakutan. Pelindung jubah merah Kam Peng cun celingukan kian kemari, pandangannya menyapu keempat penjuru. Besar harapannya bala bantuan segera tiba, namun dia putus asa karena yang sangat diharapkan itu tidak kunjung datang juga. Akhirnya dipandangnya Suma Bing, nadanya mulai lembek. "Lohu beramai toh tiada permusuhan dengan tuan bukan?" "Memang tidak! Sayang kalian mau menjadi anak buah Bwe hwa hwe!" "Tapi tuan tidak bisa turun tangan keji terhadap setiap orang?" Sikap Suma Bing tetap angkuh dan dingin, jengeknya. "Justru aku harus bunuh kalian semua, seluruh penghuni Bwe hwa hwe termasuk ayam dan anjing tidak akan ketinggalan hidup!" Hawa pembunuhan semakin tebal, suasana ini laksana sesaat sebelum datangnya hari kiamat, membuat semua orang susah bernapas dan gemetar!" Jidat pelindung jubah merah Kam Peng cun berkeringat dingin, suaranya sember. "Suma Bing, lalu tindakan apa yang hendak kau perbuat?" Suma Bing maju beberapa langkah, sikapnya tetap dingin. "Tak usah banyak mulut, kamu sekalian hendak bunuh diri atau..." "Maju!" Dibarengi dengan bentakan aba2 ini, Kam Peng cun mendahului menerjang maju, sekali ayun kepelan langsung ia mengepruk kebatok kepala Suma Bing. Disusul para anak buahnya juga beramai2 menubruk maju merangsek dengan sengitnya, bayangan pukulan ber-lapis2 bagai bayangan gunung, angin berkesiur kencang seperti angin lesus seumpama taufan yang menyerang mendadak di gurun pasir. Sambil mengertak gigi dan menggerung keras, jurus Bi cu hong bong dilancarkan. Suara lolong dan pekik kesakitan memecah udara, dimana gelombang badai menerpa dan mengembang, tampak puluhan bayangan manusia melayang keempat penjuru sejauh puluhan tombak. Sebagian yang lain juga ter-guling2 porak poranda sampai tiga tombak jauhnya. Hanya sekali gebrak saja, duapuluhan tokoh2 silat lihay itu sudah bergelimpangan diatas tanah tanpa bergerak, kalau tidak melayang jiwanya juga pasti terluka berat. Kepandaian semacam ini betul2 belum pernah terlihat dan sungguh menakjupkan. Semua kerabat Bu khek po termasuk Bu khek siang lo semua terlongo heran dan melelet lidah. Agaknya kepandaian pelindung jubah merah Kam Peng cun dan seorang kawannya berkepandaian lain dari yang lain, mereka terluka paling ringan dan masih dapat bergerak lincah, tanpa mengeluarkan suara lagi mereka berdua sama2 melejit keluar gelanggang hendak lari... "Lari kemana kamu?" Suma Bing menghardik keras sambil berkelebat mengejar, bagai bayangan yang mengikuti bentuk, tubuhnya melesat pesat sekali. Jurus Bi cu hong bong lagi2 dilancarkan dari tengah udara menungkrup kearah kedua pelindung jubah merah itu. Dua gulung bayangan merah terpental tinggi ketengah udara sambil perdengarkan jeritan yang menusuk hati. Sedemikian hebat pukulan Suma Bing ini sehingga tubuh mereka melayang jauh masuk kedalam hutan diluar gelanggang sana. Ditengah udara Suma Bing jumpalitan dan menginjak tanah ditempatnya semula. Dengan pandangan tajam dipandangnya para anak buah Bwe hwa hwe yang terluka dan masih ketinggalan hidup. Mayat dan darah bercecer menyadarkan sanubarinya yang baik dan bijaksana, nafsu dan rasa kebenciannya ber-angsur2 lenyap, akhirnya tangannya diulapkan serta berseru. "Menggelinding pergi! Tapi jangan sekali2 kembali ke Bwe hwa hwe, kalau tidak nasib yang sama akan menimpa kalian lagi pada suatu hari kelak!" Para jagoan Bwe hwa hwe yang masih ketinggalan hidup bagai lolos dari pintu elmaut, tanpa diperintah lagi segera mereka angkat kaki dan serabutan lari ter-birit2. Sekian lama Suma Bing memandangi mayat2 yang bergelimpangan hasil karyanya itu, lalu per-lahan2 membalik tubuh... Se-konyong2 terdengar kesiur angin yang membawa suara lambaian baju, tiga bayangan orang seenteng burung kepinis melayang tiba memasuki gelanggang! "Tuan kejam benar perbuatanmu, keterlaluan kau memandang rendah pihak Bwe hwa hwe kita?" Suma Bing membalik tubuh lagi. Dihadapannya kini berdiri tiga orang pemuda seragam putih yang bersulam kembang Bwe besar, mereka memandang gusar kearah dirinya. Timbul pula hawa amarah Suma Bing yang sudah hampir padam tadi, alisnya dikerutkan dalam, jengeknya. "Kalian memburu tiba untuk mengantar kematian?" Salah satu pemuda serba putih itu mencibir bibir dan melotot gusar, sanggahnya. "Kita datang untuk mengantar keberangkatanmu!" "Mengandal kalian tiga kurcaci ini rasanya kurang berharga!" Gesit sekali ketiga pemuda itu menggeser kedudukan menjadi formasi segitiga mengelilingi Suma Bing. Dilihat dari gerak tubuh mereka, agaknya Lwekang mereka masih berada diatas para pelindung jubah merah tadi, tidak heran mereka berani takabur membuka mulut besar. Setelah saling berpandangan sebentar tanpa membuka suara lagi serentak mereka mengangkat tangan bersiap hendak menyerang. Amarah Suma Bing semakin terangsang wajahnya semakin membesi dirundung nafsu kekejian, dia tahu dari gaya ketiga pemuda ini bahwa mereka tengah menghimpun kekuatan hendak melancarkan ilmu Kiu yang sinkang. Kiu yang sinkang merupakan pelajaran tunggal dari Lam sia Kho Jiang. Tapi sekarang terunjuk pada ketiga pemuda ini, betapa tidak membuat hatinya terbakar dan mendidih darahnya, desisnya sinis. "Rupanya kalian bertiga menjadi murid Loh Cu gi?" Berobah wajah ketiga pemuda itu. "Kalau benar kau mau apa?" Sanggah salah satu diantaranya. Suma Bing merogoh kedalam baju lalu pelan2 diacungkan keatas, tampak sebilah cundrik yang berkilauan sudah digenggam ditangannya. "Cundrik penembus dada!" Terdengar ketiga pemuda dan para kerabat dari Bu khek bun berseru kejut. Sungguh tak terduga bahwa Sia sin kedua Suma Bing ternyata menyandang cundrik penembus dada yang sangat ditakuti oleh kalangan hitam dan putih. Apakah mungkin Rasul penembus dada yang selama ini muncul dan malang melintang menyebar maut itu adalah duplikatnya Suma Bing? Ketiga pemuda itu serentak menggertak keras masing2 luncurkan sebuah pukulannya. Ternyata angin pukulan mereka mengandung sinar merah yang berkelebat bagai kilat. Ini menandakan bahwa latihan Kiu yang sinkang ketiga pemuda ini sudah mencapai suatu taraf yang dapat dibanggakan. Serta merta karena pikiran siaganya bekerja, ilmu Giok ci sinkang sudah terkerahkan melindungi seluruh tubuh Suma Bing. Maka terdengarlah suara 'Blang, blung' tiga kali sedemikian keras suara dentuman pukulan ini sehingga menggetarkan seluruh gelanggang. Suma Bing hanya menggeliat tubuh, sebaliknya ketiga pemuda itu masing2 mundur selangkah lebar. Kontan pucat pasi ketiga pemuda itu, kegarangannya tadi seketika lenyap dan kuncuplah nyalinya, mimik wajah mereka dari beringas marah berganti menjadi tegang ketakutan. -oo0dw0oo- Jilid 13 49. AJAL BU KHEK SIANG LO Sebetulnya ketiga pemuda itu percaya benar akan kekuatan gabungan pukulan mereka, bahwa dikolong langit ini takkan ada tokoh lihay siapapun yang kuat melawan keampuhan Kiu yang sinkang. Tapi kenyataan bahwa Lwekang Suma Bing jauh diluar perkiraan mereka sendiri. Mendadak bayangan Suma Bing berkelebat tubuhnya menubruk kearah salah satu pemuda itu, dimana terlihat sinar kilat berkelebat. Kontan terdengar lolong panjang kesakitan yang menggetarkan sanubari seluruh hadirin. 'Blang', raga pemuda baju putih itu terbanting keras terkapar diatas tanah, darah menyembur bagai air ledeng dari dadanya. Hampir dalam waktu yang bersamaan, dua jalur angin pukulan yang dahsyat menerjang tiba mengarah punggung Suma Bing. Keruan Suma Bing terpental kedepan menubruk angin, namun secepat itu pula tubuhnya sudah memutar balik, dan hanya sekali berkelebat lagi2 tubuhnya sudah kembali ketempat asalnya tadi, sorot matanya dingin menggiriskan menatap kearah seorang pemuda baju putih yang lain. Pucat pasi wajah kedua pemuda baju putih yang masih ketinggalan hidup ini, serta merta mereka saling mepet dan mundur setindak demi setindak. Sungguh kecepatan gerak tubuh Suma Bing susah diikuti oleh pandangan mata, secepat tubuhnya bergerak secepat itu pula terdengar pekik kesakitan yang menyayatkan hati, pancuran darah membasahi bumi, lagi2 salah seorang dari kedua pemuda itu sudah ajal ditembusi dadanya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiga diantara pemuda baju putih itu kini tinggal seorang yang masih ketinggalan hidup. Keruan serasa terbang arwahnya, insaf kalau dirinya juga bakal tidak mungkin menyelamatkan diri, namun betapapun daya kekuatan untuk hidup masih merangsang benaknya sehingga dia harus meronta dan berontak dari kekangan elmaut kematian ini. Setelah menghimpun seluruh kekuatannya, bukan lari malah dia menubruk kearah Suma Bing dengan nekad. Terdengarlah suara 'blang, blung' yang keras dalam sekejap mata beruntun Suma Bing mandah digenjot dan dihantam sebanyak lima kali, tubuhnya hanya mundur tiga tindak. Sebaliknya si pemuda merasakan kedua tangannya terasa hampir patah, sakitnya bukan buatan, ia berdiri termangu bagai patung. Maka dengan mudah saja cundrik yang tajam berkilauan itu menusuk amblas kedalam dadanya malah terus menembus sampai kepunggungnya. Sebuah jeritan panjang memecah kesunyian, darah menyembur keluar lagi tubuhnya terkapar tanpa bergerak lagi. Suma Bing menyimpan kembali cundriknya, terus angkat langkah menghampiri kearah rombongan Bu khek bun. Sejauh satu tombak baru ia berhenti melangkah. Bagai tersadar dari lamunannya cepat2 Bu khek chiu Tio Leng wa tampil kedepan sambil angkat tangan serta, katanya. "Saudara ini terimalah hormat serta pernyataan terima kasih kami!" Tawar2 saja Suma Bing berkata. "Ciangbunjin jangan banyak peradatan." "Terima kasih banyak akan bantuan Siauhiap yang sangat berharga ini!" "Ah, tidak perlu sungkan2!" "Kalau tiada Siauhiap membantu tepat pada waktunya, susahlah dibayangkan akibatnya." "Sudah cayhe katakan tidak perlu sungkan2, kubunuh semua kurcaci Bwe hwa hwe itu bukan lantaran hendak menalangi ancaman bahaya perguruan kalian." Semua anak murid Bu khek bun mengunjuk rasa heran dan kaget. Segera Bu khek siang lo tampil kedepan sembari angkat tangan, ujarnya. "Lohu kakak beradik mewakili sekalian anak murid kita menyampaikan banyak terima kasih!" Suma Bing ganda mendengus ejek, sorot matanya yang mengandung kebencian menatap kearah kedua orang tua ini. Keruan berobah airmuka Siang lo, tanpa sadar mereka mundur selangkah lebar saking gentar. B u k h e k c h i u T i o L e n g w a m e r a s a k a n k e g a n j i l a n s u a s a n a y a n g m e n g u a t i r k a n i n i , c e p a t 2 i a m a j u s a m a t e n g a h d a n b e r k a t a s a m b i l m e m b e r i h o r m a t . " S i a u h i a p s i l a h k a n i s t i r a h a t d i d a l a m s a m b i l m e n i k m a t i s e k e d a r m i n u m a n t e h ! " "Terima kasih akan kebaikanmu ini!" "Siauhiap..." "Ketahuilah bahwa kedatanganku ini mempunyai satu tujuan!" "Harap tanya..." "Kedatanganku diperguruan kalian ini untuk menagih perhitungan lama!" "Perhitungan lama?" "Tepat sekali!" "Aku kurang paham apa yang Siauhiap maksudkan?" Sorot pandangan Suma Bing melirik kearah Bu khek siang lo, katanya. "Kurasa Siang lo kalian sudah paham apa yang kumaksudkan." Memang Bu khek siang lo sudah menduga akan urusan apa, wajah tuanya kontan berubah pucat kebiru2an terus berubah pucat memutih, salah seorang tua itu tampil kedepan serta katanya penuh keharuan. "Kau ini..." Sepatah demi sepatah Suma Bing berkata. "Keturunan Su hay yu hiap Suma Hong!" "Oh!" Siang lo berseru kejut berbareng dan mundur tiga langkah tubuhnya bergemetaran hebat sekali. "Kalian berdua sudah paham?" Desak Suma Bing menyeringai. "Siauhiap". seru Bu khek chiu Tio Leng wa gugup. "Kalau ada urusan baiklah dirundingkan per-lahan2!" Suma Bing ulapkan tangan, katanya. "Ciangbunjin, lebih baik kau tidak turut campur dalam urusan ini!" Mulut Bu khek chiu Tio Leng wa bagai disumbat tanpa kuasa membuka mulut lagi. Sedang anak muridnya semua melongo dan saling pandang, mereka tidak tahu peristiwa apakah yang pernah terjadi. Setelah menghela napas panjang, Siang lo sama2 angkat sebelah tangan terus menghantam kebatok kepalanya sendiri. Sigap sekali Suma Bing tudingkan jarinya, kontan dua jalur angin telunjuknya mencicit melesat kedepan. Terdengar Sianglo mengeluh tertahan, tangan masing2 yang sudah terangkat tinggi itu kini tergantung lemas tanpa mampu bergerak lagi. Tertua dari Sianglo mendelik gusar semprotnya. "Suma Bing, apa2an maksudmu ini?" Tanpa banyak cakap lagi, Suma Bing melolos keluar cundrik penembus dada. "Suma Bing, bagimu membunuh orang segampang kau menganggukkan kepala. Memang dulu Lohu berdua pernah berbuat salah, tapi masa belum cukup kita menebus dengan kematian?" Wajah Suma Bing membeku dingin, katanya. "Semua orang yang turut mengeroyok dan menganiaya ayahku dulu tiada seorangpun yang boleh luput dari hukuman yang serupa." " K a u t e r l a l u k e j a m ... " " K a l i a n m e n y e s a l s e t e l a h t e r l a m b a t ? " T e r s i p u 2 B u k h e k c h i u T i o L e n g w a m a j u s a m a t e n g a h , katanya gugup. "Siauhiap..." Tanpa berpaling Suma Bing ulapkan sebelah tangan, kontan Bu khek chiu terhuyung mundur. Bu khek sianglo menjerit dengan penuh kepedihan. "Sebab dan akibat saling berbalasan, Suma Bing, silahkan kau turun tangan!" Pada saat itulah tiba2 terdengar sebuah bentakan nyaring dari kejauhan sana. "Suma Bing, berani benar kau!" Suma Bing terperanjat, tanpa terasa tangannya diturunkan kembali, matanya berkilat memandang kearah datangnya suara. Begitu melihat tegas, kontan tubuhnya merinding dan berdiri bulu kuduknya, matanya kesima mulutnya melongo. Seorang gadis serba putih melayang datang seperti Dewi yang melayang tiba dari kahyangan. Dia adalah Ting Hoan? Tapi sebuah pikiran lain segera menghapus perasaannya dalam kenyataan ini. Sebab Ting Hoan sudah meninggal setelah diperkosa oleh Racun diracun, malah dia sendiri yang turun tangan mengubur jenazahnya, orang yang sudah mati sudah tentu takkan hidup lagi. Tapi kenyataan yang datang ini memang Ting Hoan adanya. Dia meng-ucek2 mata, dan melihat lagi lebih tegas, memang tidak salah, Ting Hoan adanya. Betapa besar rasa kejut hatinya susah diuraikan dengan kata2, tubuhnya limbung tiga langkah. Apa mungkin Ting Hoan benar2 hidup kembali? Kenyataan ini lantas menghancurkan segala pikiran. Dalam pada itu, gadis serba putih itu sudah berdiri tegak diatas tanah, matanya menyapu keseluruh gelanggang, per- tama2 dipandangnya Bu khek sianglo penuh perhatian. Lalu berpaling kearah Bu khek chiu Tio Leng wa serta panggilnya. "Ayah!" Bu khek chiu Tio Leng wa berjingkrak kegirangan serunya. "Anak Siok, kau...sungguh tepat kedatanganmu..." Percakapan ini membuktikan bahwa gadis serba putih ini bukan Ting Hoan adanya. Ini benar2 sangat aneh dan ganjil, sungguh tak terduga dikolong langit ini ternyata ada dua orang yang mirip sedemikian rupa bagai pinang dibelah dua. Gadis serba putih ini merengut gusar, jengeknya dingin. "Suma Bing, apa yang hendak kau lakukan?" "Siapa kau ini?" "Nonamu ini Tio Keh siok, putri tunggal Bu khek Ciangbun, sudah jelas belum?" "Kalau begitu, dengarlah biar jelas, kedatangan cayhe ini untuk menuntut balas." "Menuntut balas?" Suma Bing mengiakan. "Siapa yang bermusuhan dengan kau?" "Bu khek sianglo!" "Susiokco!" Seru Tio Keh siok lirih sambil memandang kearah Bu khek sianglo. Rasa duka dan ketakutan Bu khek sianglo masih belum hilang, berbareng mereka manggut2. Sekilas Tio Keh siok memandang kearah Sianglo penuh tanda tanya dan tak mengerti lalu berputar menghadapi Suma Bing, katanya. "Kau menjadi anak buah dari Jeng siong hwe." Suma Bing angkat cundrik ditangannya tinggi2, serunya lantang. "Dalam dunia persilatan hakikatnya tiada kumpulan yang dinamakan Jeng siong hwe apa segala?" "Lalu Rasul penembus dada yang muncul itu...?" "Rasanya tidak perlu aku memberi penjelasan kepadamu." "Suma Bing, susiokcoku berdua ada permusuhan apa dengan kau?" Suma Bing menggigit gigi. "Dendam setinggi langit sedalam lautan!" Lagi2 Tio Keh siok melirik kearah Sianglo, dia mengharap pembuktian dari mulut Sianglo sendiri. Akhirnya salah satu Sianglo itu membuka mulut juga. "Suma Bing, peristiwa dipuncak kepala harimau pada limabelas tahun yang lalu, antara hitam dan putih yang ikut serta dalam pengeroyokan tidak kurang dari ratusan orang jumlahnya. Tahukah kau siapakah sebenarnya yang turun tangan secara langsung kepada ayahmu Su hay yu hiap Suma Hong?" Sorot mata Suma Bing memancarkan kebuasan, desisnya bengis. "Ayahku terbunuh karena keroyokan kalian bangsa sampah persilatan!" "Kau jangan menuduh se-mena2 tanpa bukti!" "Tuan hadir tidak dalam peristiwa itu?" "Ya, kami hadir tapi sebagai penonton saja!" "Hm, pembual nomor satu. Tuan ikut turun tangan tidak?" "Ini..." "Jangan ini itu, hutang jiwa bayar jiwa, hutang darah bayar darah..." Tio Keh siok maju beberapa langkah merintangi didepan Sianglo, jengeknya dingin. "Suma Bing, cundrik ditanganmu itu entah sudah berlepotan darah berapa banyak tokoh2 silat, masa sebanyak itu masih kurang dapat menghimpas jiwa ayahmu seorang. Balas membalas tiada habisnya, kiranya sudah saatnya kau hentikan kekejaman yang mengalirkan banyak darah dan jiwa ini?" "Sesudah tiba saatnya pasti akan berhenti, kalau para kurcaci yang tidak tahu malu dari sampah persilatan itu sudah tertumpas habis." "Jadi tekadmu hendak membunuh habis mereka semua sampai ke akar2nya?" "Bukan sampai ke akar2nya. Seorang anak harus membalaskan dendam ayahnya, ini sudah jamak dan adil bukan?" "Tapi kurasa hari ini kau pasti akan kecewa!" "Jadi nona hendak merintangi tindakanku?" "Tidak salah!" "Apakah kau mampu?" "Mari kau coba2?" Suma Bing berkata dengan nada berat. "Nona Tio, perguruan Bu khek bun belum pernah melakukan kejahatan besar dalam Bulim, maka aku tidak mau melukai atau membunuh orang yang tidak berdosa..." "Suma Bing lebih baik kau silahkan pergi saja!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak mungkin!" "Kalau begitu janganlah kau ber-pura2 welas asih dan berbuat bajik, kau sangka pasti dapat berhasil?" Keras2 Suma Bing mendengus, ancamnya. "Bagus sekali, aku Suma Bing tidak keberatan untuk menambah banyak pembunuhan!" Sembari berkata tubuhnya mendadak bergerak memutar setengah lingkaran melewati tubuh Tio Keh siok terus menerjang kearah Sianglo, berkelebat sambil menyerang, sungguh kecepatan gerak tubuhnya ini bagai kilat menyambar. "Berani kau!" Terdengar sebuah bentakan nyaring diiringi gelombang angin pukulan menerjang kearah Suma Bing, kekuatannya bagai gugur gunung dan geledek menggetar. Dentuman keras bagai bom meledak ini membuat tubuh Suma Bing terpental balik ketempat asalnya. Sedang Tio Keh siok sendiri juga bersamaan terpental balik terkena daya tolakan luar biasa sehingga terhuyung beberapa langkah. Kedua belah pihak sama kaget dan melengak akan kekuatan lawan masing-masing. Diam2 tercekat hati Suma Bing, bahwa kepandaian lawan ternyata hebat luar biasa diluar perhitungannya. Serangan tadi bukan olah2 dahsyat kekuatannya sungguh susah diukur. Sedang Tio Keh siok sendiri juga tidak kalah kejutnya, ternyata hanya mengandal kesaktian tenaga pelindung badan musuh cukup membuat dirinya terpental balik tanpa terkendali. Kalau bergebrak sungguh, bukankah lebih hebat menakutkan. Tapi dalam keadaan dan situasi sekarang ini, tiada tempat baginya untuk mengundurkan diri, sebab bagaimana juga ia tidak tega melihat kedua Susiokconya tewas di ujung cundrik musuh. Sebenarnya Bu khek sianglo bukan penjahat dari aliran hitam, justru karena temaha dan loba saja sehingga berbuat tindakan yang sesungguhnya sangat memalukan perguruan, menyesal juga sudah kasep. Kini mereka termangu bagai patung di tempatnya. Bu khek chiu Tio Leng hwa membanting kaki sembari meremas2 kedua tangannya dengan sedih. Sebagai pejabat ketua dari satu aliran, dia tidak tahu kalau dalam perguruannya ada anggota tertua yang ikut dalam komplotan memperebutkan benda pusaka orang lain, ini merupakan suatu penghinaan dan pengrusakan nama baik perguruan. Sudah tentu dia tidak kuasa untuk merintangi musuh untuk menuntut balas. Tapi hakikatnya memang tak mungkin dan tak kuasa dirinya merintangi. Sebaliknya dalam batin dia juga tidak rela untuk mencegah putrinya turun tangan mencampuri urusan ini, yang diharapkan satu2nya hanyalah kemungkinan timbulnya suatu keanehan yang ajaib... Para anak murid yang lain lebih2 tak dapat berbuat apa2, bagian mereka hanya menonton sambil melongo saja. Memang cara Suma Bing turun tangan membereskan seluruh anak buah Bwe hwa hwe tadi sungguh menciutkan nyali mereka. Amarah Suma Bing semakin memuncak, sambil menggerung keras, sekali lagi tubuhnya melejit langsung menubruk kearah Sianglo lagi. Tio Keh siok menggertak geram, secepat kilat dikirimkannya sejurus serangan yang aneh bin ajaib... Siang2 Suma Bing sudah mempunyai perhitungan, ditengah jalan mendadak ia rubah permainan silatnya, jurus Mayapada remang2 kontan diberondong keluar secepat kilat. Timbullah pemandangan yang mengerikan dan mengejutkan semua orang dalam gelanggang batu beterbangan pasir dan debu bergulung menari2 ditengah udara, tanah tergetar merekah, saking hebat angin badai yang timbul ini seakan geledek menyambar menggoncangkan seluruh mayapada. Hampir dalam waktu yang bersamaan terdengar dua kali jeritan panjang yang mengerikan menusuk pendengaran telinga. Setelah angin dan badai berhenti keadaan sudah menjadi terang lagi, tampak Bu khek sianglo sudah rebah diatas tanah dalam genangan air darah, dada mereka masing2 berlobang dan mengalirkan darah dengan derasnya. Maka beramai2 Bu khek chiu Tio Leng wa dan anak muridnya memburu maju kearah kedua jenazah itu. Sementara itu, dengan kalem Suma bing tengah memasukkan cundriknya kedalam baju. Tio Keh siok memekik nyaring terus menubruk kearah Suma Bing. Sebat sekali Suma Bing melejit mundur sejauh delapan kaki, serunya tanpa emosi. "Nona Tio, aku tidak ingin membunuh kau!" "Tapi akulah yang ingin membunuh kau!" Desis Tio Keh siok penuh kebencian. Seiring dengan habis suaranya, tubuhnya yang ramping semampai itu melejit maju lagi sambil mengayun sebelah tangannya, berpetalah gambar pukulan tangan yang menderu membawa kesiur angin keras melengking terus bergulung menungkrup keseluruh tubuh Suma Bing. Suma Bing terkejut melihat kehebatan serangan ini, sungguh susah diukur dan ganjil benar serangan ini, sedemikian keji tiada bandingannya di kolong langit ini. Seluruh sudut kedudukan dirinya semua terancam dalam jurus serangan musuh ini, sedikitpun tak terlihat lobang kelemahannya sehingga membuat orang tak tahu cara bagaimana dirinya harus membela diri atau menyingkir. Sungguh dia tidak mengerti, bahwa Lwekang Tio Keh siok ternyata jauh diatas Bu khek sianglo, malah hakikatnya kepandaiannya ini bukan pelajaran dari Bu khek bun mereka sendiri? Waktu tiada memberi tempo untuk dia banyak berpikir, terpaksa dengan jurus Mayapada remang2 lagi dia balas menyerang untuk menandingi serangan musuh. Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo