Pedang Darah Bunga Iblis 32
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 32
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H " "Budi cici terhadapku, mati seratus kali juga. belum menampilli seperseribu kebaikannya." "Cu-giok, yang sudah silam tak perlu disinggung lagi." "Cihu, hanya untuk menebus dosa2ku itulah maka aku menyelundup kedalam Bwe-hwa-hwe, kupikir, kalau cici tahu dialam baka, pasti dia senang melihat sumbangsihku ini sebetulnya aku dapat menggunakan racun. tapi bila teringat kau harus menuntut balas dan membunuh dengan tanganmu sendiri........" Suma Bing terharu, tenggorokannya tersumbat dan hidung terasa kecut, hampir saja dia mengalirkan airmata lagi- Entah apa yang tengah dipikirkan Phoa Cu-giok terlongong2 mendongak memandangi langit lama dan lama kemudian batu bersuara pula. "Cihu, kuminta kau mengiringi aku pergi Su-cwan barat kerumah keluarga Thong Ping!" "Betul, kau harus pergi melihat Thong Ping serta putrinya. dia seorang wanita yang welas asih dan budiman, pasti dia dapat memaafkan segala kesalahanmu dulu" "Semoga begitu," Sahut Cu-giok sambil tunduk. "Cihu mari kita berangkat." Suma Bing berpikir sebentar lalu sahutnya. "Baiklah!' lalu dia berputar mencabut cundrik penembus dada dari ulu hati Loh Cu-gi setelah menyeka noda darah terus diselipkan dipinggangnya, dengan tajam dia awasi jenazah Loh Cugi dan katanya. "Loh Cu-gi. serigala dan binatang alas akan membereskan badanmu yang kotor ini." Simaling bintang meng-geleng2 sambil menghela napas panjang ujarnya getol. "Suma Bing selamat bertemu kelak, Lohu juga harus pergi." Sumo Bing merasa berat berpisah, katanya. "Cianpwe hati2lah sepanjang jalan, kalau ada senggang harap mampir dan berkumgul di Perkampungan bumi." Tanpa bersuara lagi, simaling bintang menggerakkan tubuhnya yang tromok bundar seperti bola, sekejap saja bayangannya sudah hilang dari pandangan mata. Dua hari kemudian Phoa Cu-giok serta Suma Bing sudah sampai diatas sebuah bukit kecil diluar perkampungan Thong- keh-kip di Sucwan barat. Kiranya bukit ini merupakan pekuburan bagi keluarga perkampungan Thong-keh-kip itu, sambil mengerut kening Suma Bing bertanya. "Cu-giok, apa yang hendak kau lakukan disini, bukankah hendak menilik Thong Ping......." Segera Phoa Cu-giok menunjuk sebuah kuburan yang agak besar dan berkata. "Cihu inilah tempat istirahat ibu mertuaku." Suma Bing melenggong, hatinya giris. "Cihu, terima kasih akan kesudianmu berkunjung kemari sejauh ini. Aku ada satu permintaan harap kau suka memberi muka kepadaku !" "Permintaan apa?" "Thong Ping seorang yang harus dikasihani, putrinya juga masih bayi, kuharap kau suka membantu mengawasi, kuminta kau suka memberi kabar kepada guruku.........." Suma Bing kuatir, tanyanya gugup. "Apa maksudmu ini?'' "Phoa Cu-giok seorang yang paling berdosa di dunia ini masi ada muka aku hidup terus......... " "Cu-giok, janganlah kau mensia2kan pengharapan cicimu, dan yang terpenting pertanggungan jawabmu kepada Thong Ping ibu beranak.........." "Cihu. sedikit kesalahanku sehingga aku membunuh ibu mertua pasti Thong Ping selamanya tidak akan memberi ampun kepadaku, memang hakikatnya juga tidak bisa dimaafkan. Beruntung keluarga Phoa sudah ada kuturunan. arwah cici pasti tidak menyesal lagi.'' "Cu-giok, janganlah kau lakukan perbuatan bodoh ini." "Cihu, terhadap kau, aku juga menyesal dan bertobat, biarlah aku mati untuk menebus kesalahanku itu!" "Cu-giok..........................." "Aku akan minta pengampunan dulu kepada ibu mertua................. " Sambil berkata dia menubruk maju terus terkapar di depan kuburan. Suma Bing merasa kaki tangannya membeku linu, keringat dingin membasahi tubuh, mimpi juga tidak terduga olehnya Phoa Cu-giok benar2 senekad ini, waktu diraba denyut nadinya ternyata napasnya sudah berhenti, selain menggunakan racun. dia tak berhasil mencari pangkal kematian Phoa Cu-giok yang sedemikian cepatnya. "Mungkin dia yang benar, dosanya terlalu besar, seumpama hidup terus juga akan sengsara dan menderita seumur hidup. Ah, sungguh kasihan Thong Ping dan anaknya." Demikian Suma Bing menggumam sendiri. Manusia itu tetap manusia, dia rnempunyai perasaan dan mempunyai pikiran, tak tertahan lagi Suma Bing mencucurkan air mata tanda ikut berduka cita. Phoa Cu-giok pernah berkata kelak akan memberikan pertanggungan jawabnya kepada Thong Ping, inikah pertanggungan jawabnya? Pada saat itulah sebuah bayangan tengah berlari terbang mendatangi, dia bukan lain adalah Thong Ping istri Phoa Cu- giok yang ditinggal pergi. "Surna Siauhiap!" "O, nona Thong !" "Dia...................................." "Dia sudah mati," Kata Suma Bing pilu. "Dia membunuh diri untuk menebus kesalahannya dan minta pengampunan terhadap ibumu." Wajah Thong Ping berubah pucat, sambil menjerit panjang dia menubruk jenazah Phoa Cu-giok terus menangis menggerung2. Lama dan lama kemudian baru Thong Ping menghentikan tangisnya. Baru sekarang Suma Bing ada kesempatan membuka mulut. "Nona Thong, aku tahu kau tetap mencintainya, tapi, memang hanya itulah jalan satu2nya yang harus dia tempuh." Thong Ping berusaha menekan perasaannya, sambil menyeka air mata dia berkata. "Suma Siauhiap apa yang dapat kukatakan. Dia adalah kekasihku, ayah dari anakku, tapi dialah musuh besarku yang membunuh ibuku !" "Nona, biarlah sang waktu menghanyutkan semua ini, biar rasa kebencianrnu ikut terkubur karena kematiannya, berikanlah rasa cintamu dan alihkan kepada anakmu serta keturunannya....................... "Benar, aku pasti dapat!" "Sebelum ajal dia berpesan supaya aku mengawasi hidup kalian dan memberi bimbingan kepada putrinya. Dia adalah adik iparku sudah tentu tugas ini harus kupikul juga. Sekarang aku masih ada urusan penting menanti penyelesaian, setelah semua urusan dapat kubereskan pasti aku kembali kesini untuk mengatur hidup kalian ibu beranak selan-jutnya." "Suma Siauhiap. budimu ini kutanam dalam sanubariku, aku hidup tentram dan senang ditempat ini, tak usah........." "Itu kelak kita bicarakan lagi, sekarang yang terpenting urus dulu jenazah Cu-giok." "Biarlah nanti aku yang mengurus penguburannya. Suma Siauhiap masih ada urusan silakan kau melaksanakan tugasmu." Agak lama Suma Bing menimbang, akhirnya berkata. "Kalau begitu terpaksa aku berangkat dulu. Dalam setengah bulan pasti aku sudah kembali kemari." "Silakan Siauhiap!" Dengan rasa berat Suma Bing meninggalkan Thong Ping langsung menuju ke Pek-jio-gay. Menurut keterangan si maling bintang, Thi-koan-im Lim Siang-hiang telah mencukur rambut menjadi pendeta di biara Yok-cuam di bukit gajah putih. Inilah musuh terakhir yang harus dibunuhnya juga. Bukit gajah putih menjulang tinggi di selatan sungai Tiangkang, dinamakan bukit gajah putih karena bentuknya seperti gajah juga batu2nya berwarna putih seperti seekor gajah yang sedang mendekam. Di puncak bukit di dalam hutan rimbu itu letak biara Yok-cu-am yang berdinding merah dan berbenteng batu putih. Tatkala itu sang surya baru saja muncul dari peraduan-nya, kabut masih tebal dipuncak bukit, namun sepagi itu didepan pintu biara Yok-cu-am datanglah seorang pemuda berwajah ganteng bermuka dingin membesi tanpa emosi. Tidak perlu banyak kata., pendeknya pemuda ini bukan lain adalah Suma Bing yang meluruk tiba hendak menuntut balas-Tiba2 terdengar gema genta ber-talu2, lantas terdengar ke-lintingan serta sabda Budha dan mantram yang halus merdu, suasana yang tentram dan tenang mi menghilangkan segala perasaan kesal dan hawa nafsu. Demikian juga Suma Bing terlongong sekian lama tenggelam dalam renungannya, hilang lenyap segala kemurkaannya. Tapi bagaimana juga, tekadnya hendak menuntut balas tak dapat digoyahkan bergegas dia melangkah kedepan pintu terus mengetok pintu biara dengan gelang tembaga- Setelah terdengar derap langkah ringan dari sebelah dalam, baru dia tarik kembali tangannya- Dilain saat pintu biara terpentang mengeluarkan suara, berkereyotan, seorang nikoh muda belia berdiri diambang pintu, begitu melihat wajah sang tamu. kontan berubah airmukanya, saking kejut sampai dia mundur berapa langkah, cepat2 kedua tangan jrangkapkan terus bersabda,. "Omitohur selamat pagi Sicu. harap maaf bahwa biara kita tidak menerima tamu pria......" Sampai ditengah jalan tiba2 suaranya terhenti. Dua pasang mata saling tatap dengan tajam. wajah masing2 berubah ber- ulang2. Suma Bing berkeluh dengan sedihnya. "Adik Hun!" Kiranya nikoh muda belia ini bukan lain adalah Siang Siau hun yang telah lari pergi setelah melukai Phoi Kin-sian tempo hari- Bahwa ternyata akhirnya Siang Siau-hun mencukur rambut dan menjadi pendeta dibiara Yok-cu-am ini. mimpi juga tidak tersangka oleh Suma Bing. Siang Siau-hun menundukkan kepala, suaranya hampir tak terdengar. "Pinni berjuluk Liau In!" Perih rasa hati kecil Suma Bing seperti ditusuk2 jarum, pengalaman yang lalu segera terbayang didepan mata. Siang Siau-hun adalah kekasihnya yang pertama. Didalam kuil bobrok itulah mereka bercuman dan mengikat janji pertama kalinya, secara terang2an dia pernah melimpahkan perasaan seorang gadis remaja yang baru tumbuh dewasa, dia pernah berjanji untuk sehidup semati sampai akhir jaman...... Waktu dirinya keracunan Pek-jit-kui oleh racun berbisa Tangbun Yu, Siang Siau-hun juga pernah bersumpah untuk menyertainya keliang kubur. Tatkala jiwanya sudah tergantung dibibir jurang kematian, juga Siang Siau-hun pernah rela mempersembahkan segala miliknya termasuk kesuciannya. Semua pengalaman yang lalu satu persatu terbayang di- depan matanya. akhirnya Suma Bing menghela napas dan ujarnya. "Adik Hun, kenapa kau........" "Pinni sudah menjadi seorang pendeta, harap sicu memanggil gelaranku saja." Inilah ucapan yang dikatakan dari mulut kekasihnya yang pernah bersumpah sehidup semati. Bagi yang sudah mensucikan diri. apa benar segala sesuatu miliknya harus ikut dikuburkan? Akhirnya Suma Bing tertawa, tawa yang getir, tawa ejekan bagi hidup mana yang harus mengilami penderitaan gelombang "Adik Hun kematian Pho-Kin-sian bukan karena kesalahanmu. buat apa kau sedemikian tega menyiksa dirimu, kenapa kau memilih jalan ini? Adik Hun. ini bukan perbuatan .- seorang cerdik..." Kepala Siang Siau-hun ditundukkan semakin rendah, jubahnya yang gondrong dan tebal tampak gemetar berdesir. Dengan sedih Suma Bing menelan air liur, katanya pula. "Adik Hun apakah semua ini sudah terlambat?" Mendadak Siang Siau-hun angkat kepala sepasang matanya berlinang airmata namun sskapnya tenang dan serius, ujarnya sesenggukan. "Sicu, Pinni sudah bertekad menjadi murid sang Buddha yang saleh untuk menghimpas segala dosa dan akibat. Harap Sicu tidak menanam dosa lagi diatas tubuhku- " Perasaan Suma Bing semakin dingin sampai jantungnya terasa membeku, ujarnya sambil tersenyum ewa. "Adik Hun, semua kejadian dalam dunia ini memang sulit ditentukan sebelumnya, tiada sesuatu yang abadi dalam dunia fana ini, memang kaulah yang benar, aku minta maaf......" "Omitohud! Kedatangan Sicu ini adalah....'' Bercekat hati Suma Bing. segera, tekad lain melenyapkan segala keraguanrrya. katanya dengan nada berat. "Apakah gurumu ada didalam?' "Tengah sembahyang pagi!' "Apakah julukan gurumu sebelum menjadi pendeta adalah Thi-koan-im Lim Siang-hia,ng?" "Benar, jadi kedatangan Sicu ini adalah hendak menuntut balas pada peristiwa delapanbelas tahun yang lalu itu?" Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, sahutnya mengertak gigi. "Benar!" "Karena insaf dan menyesal sebab perbuatan2 dosa pada masa yang lalu, maka beliau masuk menjadi murid sang Budha. Pernah berapa kali beliau mengatakan selalu menunggu kedatangan Sicu ini !'' Lagi2 Suma Bing tergetar kaget hatinya merasa sesuatu yang susah dikatakan. Baru sekarang terpikirkan olehnya. bagi kaum persilatan hidupnya selalu dilembari bayangan pedang dan warna darah, apakah sepakterjangnya sendiri tidak keterlaluan. Hanya karena kematian ayahnya seorang, entah sudah berapa banyak jiwa dan darah mengalir karenanya. Tapi pikiran ini hanya, berkelebat sebentar saja dalam benaknya. Dendam masih menjaiari seluruh tekad bajanya maka dengan pandangan menyesal dia pandang Liau In sebentar lalu melangkah masuk kedalam biara. Bangunan biaran ini tidak besar, hanya terdapat sebuah ruang sembahyang di tengah yang saat itu penuh diselubungi asap dupa yang ber-gulung2 ke tengah angkasa. Penerangan api lilin berkelap-kelip, denting kelintingan masih terdengar nyaring diselingi suara mantram yang berirama halus. Tampak seorang nikoh setengah baya mengenakan jubah yang terbuat dari kain ungu kasar tengah berlutut diatas kasur bundar, sikapnya tenang angker. Suma Bing terhenyak ditempatnya, suasana yang tenang angker dan damai ini menyebabkan tekadnya yang besar membekal hawa membunuh tak kuasa lagi diungkat keluar. Nikoh tua itu meneruskan tembang mantramnya tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. B e r g e g a s L i a u I n j u g a I k u t m a s u k k e d a l a m r u a n g s e m b a h y a n g i n i , d i a b e r d i r i t e g a k h i d m a t d i p i n g g i r a n , w a j a h n y a w a j a r t a n p a e m o s i s e p e r t i s e b u a h p a t u n g b a t u . "Apa dengan tingkahnya yang bertakwah ini lantas nikoh tua ini dapat menghapus hutang darahnya?" Karena pikirannya ini timbullah nafsu membunuh Suma Bing, kepala diangkat dia merogoh keluar cundrik penembus dada yang terselip di ikat pinggangnya. Bersamaan dengan itu, nikoh tua juga kebetulan selesai menjalankan sembahyangannya, setelah menutup kitab suci per-lahan2 dia bangkit dari kasur bundar itu lalu berputar menghadapi Suma Bing, sikapnya wajar dan tenang. Katanya dengan nada halus dan damai. "Agaknya Siau-sicu ini adalah keturunan Suma Hong Sicu bukan?" "Benar !" "Dulu karena ketamakan Pinni sehingga menanam akibat ini, seperti apa yang dikatakan; menanam kat yang mendapat kat yang menanam semangka mendapat semangka, pelajaran kita mengutamakan adanya hukum karma dan ada sebab pasti ada akibat. Maka silakan Siau-sicu segera turun tangan !" Habis berkata dia duduk kembali diatas kasur bundar itu, dari mula sampai akhir wajahnya tidak menunjukkan emosi apa-apa. Enteng sekali Suma Bing melejit kehadapan nikoh tua ini, cundrik ditangannya sudah diayun tinggal menusukkan ke ulu hati nikoh tua ini. Sikap nikoh tua ini agaknya acuh tak acuh sampai alisnya juga tidak bergerak. Waktu ujung cundrik Suma Bing terpaut satu senti di depan ulu hati nikoh tua terasa tangannya mulai gemetar, rona wajahnya sukar ditentukan perobahannya Bagi seorang tua yang sudah insaf dan rela bertobat di hadapan Tuhan, betapapun dia tiada keberanian lagi menusukkan senjatanya ke tubuh orang. Mendadak dia menjadi lemah mungkin pula sekarang dia sendiri juga sadar dan insaf bahwa dosa yang ditanamnya juga terlalu berat, meskipun tujuannya itu adalah menuntut balas, tapi semua ini tidak akan terampunkan dan menyalahi wet Tuhan? Wajahnya semakin guram hilanglah angkara murka yang menyesatkan pikirannya. Dia keluarkan buku daftar catatan terus dibakar dengan api lilin, sekejap saja buku itu telah habis terbakar menjadi abu, setelah menghela napas panjang dia berpaling kepada Liau In serta katanya. "Adik Hun, inilah untuk penghabisan kali aku memanggilmu, sekarang aku pergi!" Muka Liau In gemetar, sikapnya tidak tenang lagi, sedekian pucat menakutkan, mulutnya sudah bergerak namun ditelannya kembali, sampai terakhir baru tercetus suaranya yang lirih. "Maaf Pinni tidak mengantar !" Suma Bing merasa hatinya kosong dan hampa, pelan2 dia berjalan keluar, langkahnya terasa sedikit limbung. Setelah berada diluar biara, dari puncak bukit dipandang-nya air sungai Tiangkang yang mengalir bergelombang, mendadak tangannya terayun dia lempar cundrik penembus dada itu kedalam sungai dan sebentar saja lenyap ditelan ombak, kini semua sudah berakhir dan tammat ! "Dik !" Pada saat itulah mendadak terdengar helaan napas sedih di belakangnya. Suma Bing terperanjat dan berpaling ke belakang, hampir saja dia tidak percaya akan pandangannya, entah kapan tahu2 Mo-in Siancu Phoa Kiau-nio sudah berdiri di belakangnya, justru yang mengherankan kini wajahnya sudah kehilangan sifat2 genitnya yang menggiurkan itu. Suma Bing berseru penuh haru . Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Cici !" "Dik, pertemuan kita ini memang jodoh. namun hampir saja aku berdosa karena pertemuan ini. Ketahuilah aku seorang perempuan yang sudah lanjut usia, karena sebutir buah saja sehingga aku tetap kelihatan remaja. Biarlah pertemuan kita akhiri sampai disini. Pengurus biara ini adalah Sumoayku. Sejak saat ini dikalangan Kangouw selamanya tidak akan terdengar nama Mo-in Siancu lagi." Sampai disini dia merandek lalu mengeluarkan sebuah benda serta katanya lagi. "Inilah Pedang darah, kukembalikan kepadamu." Suma Bing menyambuti sambil mengangsurkan seruling batu giok juga, katanya. "Cici seruling ini juga milikmu silakan kau ambil kembali." "Dik simpanlah saja sebagai kenang2an, aku tak perlu menggunakan lagi." Dari dalam biara masih terdengar tembang mantram yang halus tenang dan damai. Sambil mengangguk dan tersenyum simpul, pelan2 Mo-in Siancu mengundurkan diri. Dia tidak mengucapkan selamat berpisah. Mulut Suma Bing menggumam entah apa yang diucap-kan. Di lain saat dia sudah ber-lari2 kencang turun dari bukit gajah putih. T A M M A T Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo