Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 28


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 28


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung   "Sulit sekali mengambil Liong Kak Cauw itu, sebab tumbuhnya di tebing yang sangat licin. Sudah banyak orang yang mati karena ingin mengambil rumput obat itu."   "Ayah, Kakak Bun Yang pasti berhasil mengambil rumput obat itu, karena kepandaian Kakak Hun Yang tinggi sekali,"   Ujar Cing Cing sambil tersenyum.   "Oh?"   Ayah Cing Cing manggut-manggut.   "Aku masih ingat, engkaulah yang menyelamatkan kami."   "Kepandaian Pahto begitu tinggi, tapi Kakak Hun Yang masih dapat merobohkannya, itu pertanda kepandaian Kakak Bun Yang tinggi sekali.' "Ngmm!"   Ayah Cing Cing mengangguk sambil insenyum.   "Kalau begitu, aku yakin engkau akan berhasil mengambil rumput obat itu."   "Paman, rumput Tanduk Naga itu tumbuh di tebing mana?"   Tanya Tio Bun Yang.   "Di Gunung Tanduk Naga."   Ayah Cing Cing nenunjuk ke arah utara.   "Lihatlah gunung itu, bukankah mirip tanduk naga?"   Tio Bun Yang memandang ke arah utara, dilihatnya sebuah gunung menjulang tinggi, yang bentuknya memang mirip tanduk naga. "Rumput Tanduk Naga tumbuh di tebing gunung itu?"   "Ya."   Ayah Cing Cing mengangguk dan memberitahukan.   "Gunung itu sangat berbahaya, maka engkau harus berhatihati! Di sana terdapat rawa hidup, siapa yang terpeleset ke rawa itu, jangan harap bisa ke luar lagi."   "Aku pasti berhati-hati,"   Ujar Tio Bun Yang, kemudian memandang Siang Koan Goat Nio seraya berkata.   "Goat Nio, engkau di sini saja! Jangan ikut aku ke gunung itu, sebab akan mem bahayakan dirimu."   "Kakak Bun Yang, aku... aku ikut!"   Sahut gadis itu.   "Goat Nio,"   Ujar ibu Cing Cing.   "Lebih baik engkau tinggal di sini, Cing Cing akan menemani mu. Karena apabila engkau ikut Bun Yang ke gunung itu, justru akan memecahkan perhatian nya. Jadi engkau harus mengerti itu!"   "Aku...."   Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.   "Kakak Goat Nio!"   Cing Cing memegang bahunya.   "kalau engkau ikut, tentunya Kakak Bun Yang harus menjagamu. Nah, bukankah engkau akan merepotkannya? Mungkin juga akan mem buatnya tidak bisa memusatkan perhatiannya, sungguh berbahaya sekali!"   "Ya,"   Siang Koan Goat Nio mengangguk.   "Aku mengerti dan tidak ikut."   "Adik Goat Nio!"   Tio Bun Yang membelainya.   "Engkau memang gadis yang berpengertian."   "Tapi Kakak Bun Yang harus berhati-hati lho!"   Pesan Siang Koan Goat Nio sambil menatapnya mesra.   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Bun Yang,"   Tanya ayah Cing Cing.   "Kapan engkau akan berangkat ke gunung itu?"   "Sekarang,"   Jawab Tio Bun Yang. "Baiklah."   Ayah Cing Cing manggut-manggut.   "Walau engkau berkepandaian tinggi, namun engkau tetap harus berhati-hati!"   "Ya, Paman."   Tio Bun Yang mengangguk dan k-rpamit, lalu berangkat ke Gunung Tanduk Naga. Setelah Tio Bun Yang pergi, Siang Koan Goat Nio terus melamun. Cing Cing memandangnya ambil tersenyum, kemudian ujarnya.   "Kakak Goat Nio, jangan melamun! Lusa kakak Bun Yang pasti pulang."   "Dia... dia pergi menempuh bahaya, sedangkan aku malah enak-enak duduk di sini. Aku...."   Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.   "Kakak Goat Nio!"   Cing Cing tersenyum, kepandaian Kakak Bun Yang begitu tinggi, dia pasli selamat. Engkau tidak usah mengkhawatirkannya. Percayalah! Lusa dia pasti pulang."   "Goat Nio!"   Ibu Cing Cing tersenyum lembut.   "Bun Yang pasti pulang dengan membawa rumput Tanduk Naga, engkau tidak usah mencemasieannya!"   "Ya."   Siang Koan Goat Nio mengangguk.   "Baiklah,"   Ujar ibu Cing Cing.   "Kalian mengobrollah di sini, kami mau ke dalam!"   Kedua orang tua Cing Cing masuk ke dalam, sedangkan Cing Cing dan Siang Koan Goat Nio tetap duduk di situ.   "Oh ya!"   Siang Koan Goat Nio memandangnya seraya bertanya.   "Di mana suamimu? Kok tidak kelihatan?"   "Dia pergi menengok orang tuanya. Dalam beberapa hari ini dia akan pulang."   Cing Cing memberitahukan.   "Kenapa engkau tidak ikut?" "Malas."   "Kok malas?"   Siang Koan Goat Nio tersenyum.   "Itu tidak baik lho!"   "Kebetulan pada waktu itu aku kurang enak badan, maka malas ikut ke rumah orang tuanya,"   Ujar Cing Cing, yang kemudian menatapnya.   "Kakak Goat Nio, engkau dan Kakak Bun Yang sudah lama saling mencinta?"   "Cukup lama."   "Dia... dia pemuda baik, jujur, gagah dan tampan. Engkau beruntung sekali mendapatkan dia."   "Oh?"   "Ketika pertama kali aku bertemu dia, aku sangat tertarik kepadanya. Bahkan boleh dikatakan aku telah jatuh hati kepadanya,"   Ujar Cing Cing terus terang.   "Namun dia menganggapku sebagai adiknya, maka aku tidak berani memikirkannya lagi."   "Oooh!"   Siang Koan Goat Nio manggut-manggut.   "Oh ya! Aku masih tidak tahu, bagaimana dia bisa kenal kedua orang tuamu? Bolehkah engkau memberitahukan padaku?"   "Tentu boleh. Kedua orang tuaku ditangkap oleh Pahto yang berkepandaian sangat tinggi, maka ibuku menyuruhku ke Tionggoan minta bantuan kepada Paman Cie Hiong..."   Tutur Cing cing sejelas-jelasnya dan menambahkan.   "Dia berhasil mengalahkan Pahto."   "Oooh!"   Siang Koan Goat Nio manggut-mang- j'ut.   "Ternyata begitu! Lalu di mana Pahto sekarang?" -oo0dw0oo-   Jilid . 12 "Entahlah."   Cing Cing menggelengkan kepala.   "Hingga kini dia tidak pernah muncul di daerah Miauw ini."   "Oh ya!"   Siang Koan Goat Nio memandangnya kiiaya bertanya.   "Engkau pernah belajar ilmu Silat?"   "Pernah."   Cing Cing mengangguk.   "Siapa yang mengajarmu ilmu silat!"   "Ibuku. Setelah bertemu Kakak Bun Yang, tlia pun mengajarku Iweekang dan ilmu pedang."   "Kakak Bun Yang mengajarmu Iweekang apa dan ilmu pedang apa?"   "Giok Li Sin Kang dan Lui Tian Kiam Hoat."   "Oooh!"   Siang Koan Goat Nio tersenyum "Ibuku mengajarkan Giok Li Sin Kang pada ibu nya. ibunya mengajarkan padanya, setelah itu dia pun ajarkan padamu!"   "Kalau begitu, kepandaian Kakak pasti lihay sekali,"   Ujar Cing Cing. *Engkau mahir ilmu pedang?"   "Kakak Bun Yang tidak mengajarmu Gio Li Kiam Hoat?"   Tanya Siang Koan Goat Nio.   "Tidak."   "Kalau begitu..."   Ujar Siang Koan Goat Ni sambil tersenyum.   "Aku akan mengajarmu Gio Li Kiam Hoat, sebab engkau sudah memiliki Gio Li Sin Kang, maka harus belajar Giok Li Kiam Hoat."   "Terimakasih, Kakak!"   Ucap Cing Cing girang.   "Terimakasih!"   Siang Koan Goat Nio mulai mengajar Cing Cing Giok Li Kiam Hoat.   Pada hari berikutnya Cing Cing sudah dapat menguasai jurus-jurus Giok Li Kiam Hoat.   Karena gadis itu telah memiliki Giok Li Sin Kang, maka tidak sulit baginya mempelajari Giok Li Kiam Hoat.   Sore harinya, ketika Siang Koan Goat Nio sedang memberi petunjuk kepada Cing Cing mengenai ilmu pedang itu, mendadak melayang turun seseorang, yang ternyata Tio Bun Yang.   "Kakak Bun Yang!"   Seru Siang Koan Goat Nio girang, dan langsung memeluknya mesra "Kakak Bun Yang...."   "Adik Goat Nio!"   Tio Bun Yang membelainya.   "Aku sudah pulang."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Engkau berhasil mengambil rumput Tanduk Naga?"   Tanya Siang Koan Goat Nio.   "Ng!"   Tio Bun Yang mengangguk.   "Syukurlah!"   Ucap Siang Koan Goat Nio.   "Kakak Bun Yang!"   Panggil Cing Cing.   "Sudah melupakan aku ya?"   "Adik Cing Cing...."   Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan.   "Maaf, aku...."   "Aku tahu...."   Cing Cing manggut-manggut.   "Kalian saling merindukan. Ketika engkau berangkat ke gunung itu. Kakak Goat Nio terus melamun lho!"   "Oh?"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Cing Cing...."   Siang Koan Goat Nio cemberut.   "Hi hi!"   Cing Cing tertawa geli.   "Kenapa malu-malu kucing?"   Di saat bersamaan, muncullah kedua orang tua Cing Cing. Betapa gembiranya mereka ketika melihat Tio Bun Yang.   "Bun Yang, engkau berhasil mengambil rumput Tanduk Naga itu?"   Tanya ibu Cing Cing.   "Berhasil, Bibi."   Tio Bun Yang mengangguk sambil memperlihatkan rumput obat itu.   "Khasiat rumput Tanduk Naga ini menyembuhkan syaraf orang yang terganggu, bahkan juga dapat menyembuhkan penyakit lain."   "Betul."   Ayah Cing Cing mengangguk.   "Aku mengambil cukup banyak,"   Ujar Tio Bun Yang sambil memberikan Liong Kak Cauw itu kepada ayah Cing Cing.   "Paman, simpanlah rumput obat ini!"   "Bun Yang..."   Ayah Cing Cing terbelalak.   "Bukankah engkau sangat membutuhkan rumput obat ini?"   "Memang."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Tapi dalam bajuku sudah cukup banyak, maka yang in untuk Paman simpan."   "Terimakasih!"   Ucap ayah Cing Cing sambi menerima rumput obat itu.   "Oh ya! Kalian berdua tinggallah di sini beberapa hari, kami ingin menjamu kalian!"   "Itu tidak perlu, Paman!"   Tolak Tio Bun Yang "Sebab kami harus buru-buru kembali ke Tiong goan."   "Kenapa Kakak Bun Yang harus begitu buru buru pulang ke Tionggoan?"   Tanya Cing Cing heran.   "Sebab...."   Tio Bun Yang memberitahukan tentang para ketua tujuh partai yang menjadi gila "Oleh karena itu, kami harus buru-buru pulang ke Tionggoan."   "Oooh!"   Ayah Cing Cing manggut-manggut.   "Kalau begitu, kami tidak akan menahan kalian! "Kakak Bun Yang kapan berangkat?"   Tanya Cing Cing dengan mata basah.   "Sekarang,"   Sahut Tio Bun Yang.   "Sekarang?"   Cing Cing terbelalak.   "Sekarang hari sudah mulai gelap, lebih baik esok pagi saja"   "Cing Cing!"   Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "Kami harus buru-buru kembali ke Tiong-goan. sebab...."   Tio Bun Yang memberitahukan juga tentang Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong yang diculik Kui Bin Pang.   "Kakak Bun Yang...."   Cing Cing terisak-isak.   "Kapan kalian akan ke mari lagi?"   "Kalau ada kesempatan, kami pasti ke mari!"   "Kakak Bun Yang jangan bohong lho!"   "Cing Cing!"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Aku tidak pernah bohong, namun aku pun tidak berani berjanji pasti ke mari, sebab masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."   "Kakak Bun Yang...."' Air mata Cing Cing meleleh.   "Adik Cing Cing!"   Siang Koan Goat Nio memegang bahunya.   "Apabila ada kesempatan, kami pasti ke mari menengok kaiian!"   "Terimakasih, Kakak Goat Nio!"   Ucap Cing Cing.   "Paman, Bibi, kami mohon pamit!"   Ucap Tio Bun Yang dan kemudian membelai Cing Cing.   "Sampai jumpa!"   "Selamat jalan. Kakak Bun Yang dan Kakak Goat Nio!"   Sahut Cing Cing dengan terisak-isak.   "Kelak kalian harus ke mari tengok kami ya!"   "Ya!"   Tio Bun Yang mengangguk.   "Paman, Bibi! Sampai jumpa!"   "Selamat jalan, Bun Yang!"   Ucap ibu Cing Cing.   "Selamat jalan, Goat Nio!"   Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio melangkah pergi, sedangkan Cing Cing masih berdiri di tempat dengan air mata berderai-derai "Kakak Bun Yang! Kakak Goat Nio! Jangan lupa ke mari lagi kelak!"   Seru Cing Cing sambil melambai-lambaikan tangannya. "Ya!"   Sahut Tio Bun Yang sekaligus bala melambaikan tangannya ke arah Cing Cing.   "San| pai jumpa...!"   Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dai Siang Koan Goat Nio sudah memasuki daerah Tionggoan.   Ketika sampai di sebuah kota, mereka mencari rumah penginapan karena hari sudah mulai gelap.   Mereka memasuki sebuah rumah penginapan.   Seorang pelayan segera menghampiri mereka dengan sikap hormat.   "Tuan dan Nyonya membutuhkan kamar?"   "Kami...."   Wajah Tio Bun Yang agak kemerah-merahan.   "Kami membutuhkan dua buah kamar."   "Oooh!"   Pelayan manggut-manggut tapi tidak banyak bertanya.   "Tuan, Nona, mari ikut aku ke dalam untuk melihatlihat kamar!"   Tio Bun Yang mengangguk, kemudian mereka berdua mengikuti pelayan ke dalam. Sampai di dalam, pelayan itu menunjuk dua buah kamar.   "Bagaimana kedua kamar itu? Tuan dan Nona merasa cocok?"   "Ng!"   Tio Bun Yang mengangguk.   "Tuan, Nona,"   Ujar pelayan memberi saran.   "Lebih baik satu kamar saja. Itu tidak jadi masalah, karena Tuan dan Nona adalah sepasang kekasih. Ya. kan?"   "Kami belum menikah, tidak baik tidur dalam ,atu kamar,"   Sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.   "Baiklah!"   Pelayan itu manggut-manggut.   "Tuan dan Nona mau pesan teh atau arak dan makanan lilin?"   "Cukup teh saja,"   Sahut Tio Bun Yang.   Pelayan itu mengangguk, lalu segera pergi.   Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio melangkah ke dalam kamar, lalu duduk berhadapan.   Pelayan itu muncul dengan membawa sebuah teko dan dua buah cangkir.   Ditaruhnya cangkir-cangkir itu di atas meja, kemudian dituangkannya teh itu ke dalam ke dua cangkir.   "Silakan minum!"   Ucap pelayan itu dengan sopan.   "Terimakasih!"   Ucap Tio Bun Yang. Kemudian memberikan setael perak kepada pelayan itu.   "Tuan...."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Pelayan itu tidak berani menerimanya, sebab tiada seorang tamu pun pernah memberinya setael perak.   "Ambillah!"   Desak Tio Bun Yang.   "Terimakasih, Tuan!"   Ucap pelayan itu dengan wajah berseri.   "Terimakasih!"   "Sama-sama,"   Sahut Tio Bun Yang.   "Permisi!"   Ucap pelayan itu dan segera per "Goat Nio...."   Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "Entah bagaimana keadaan di markas pusat Kay Pang?"   "Tidak akan terjadi apa-apa,"   Sahut Siang Koan Goat Nio bernada menghibur.   "Aaaah...!"   Tio Bun Yang menghela nafas panjang lagi.   "Entah berada di mana kakekku dan Kakek Gouw?"   Siang Koan Goat Nio diam saja. Gadis itu, tidak tahu harus menjawab apa. Setelah malam, Siang Koan Goat Nio bangkit berdiri lalu memandangnya seraya berkata.   "Kakak Bun Yang, aku mau ke kamarku. Besok kila berjumpa lagi."   "Baik."   Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu mengantar Siang Koan Goat Nio ke kamar laini "Selamat malam, Kakak Bun Yang!"   Ucap Siang Koan Goat Nio sambil melangkah ke kamal "Selamat tidur, Adik Goat Nio!"   Sahut Tio Bun Yang lembut.   "Sampai besok!"   Siang Koan Goat Nio menutup pintu kamar, dan Tio Bun Yang kembali ke kamarnya.   Pemuda itu tidak langsung tidur, melainkan duduk di pinggir tempat tidur dengan pikiran menerawang.   Setelah larut malam, ia membaringkan dirinya ke tempat tidur, tetapi lama sekali barulah bisa pulas.   -oo0dw0oo- Pagi-pagi sekali Tio Bun Yang sudah bangun, la langsung pergi ke kamar Siang Koan Goat Nio.   Begitu sampai di depan kamar itu, keningnya berkerut karena pintu kamar itu terbuka sedikit.   Perlahan-lahan Tio Bun Yang mendorong pintu itu, dan ia terbelalak seketika karena tidak melihat Siang Koan Goat Nio di dalam kamar itu.   "Adik Goat Nio! Adik Goat Nio!"   Teriak Tio Bun Yang.   "Tuan!"   Muncul pelayan.   "Ada apa?"   "Di mana Adik Goat Nio? Di mana Adik Goat Nio?"   Tanya Tio Bun Yang dengan wajah pucat pias.   "Maksud Tuan.... Nona yang kemarin itu?"   "Ya. Engkau melihat dia?"   "Tidak."   Pelayan itu menggelengkan kepala.   "Aku tidak melihat Nona itu."   "Aaaah...!"   Keluh Tio Bun Yang.   "Kemari dia? Kemana dia?"   "Mungkinkah dia pergi ke luar sebentar?"   Ujaj pelayan.   "Tuan tunggu di sini saja!"   Tio Bun Yang menghela nafas panjang, ke mudian duduk dengan wajah cemas.   Sedangkaj pelayan itu melangkah pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala.   Tio Bun Yang terus duduk menunggu dj dalam kamar.   Tak terasa hari sudah siang, namuT Siang Koan Goat Nio masih belum muncul, lu membuat hati Tio Bun Yang semakin cemas, la bangkit dari duduknya lalu berjalan mondar-maij dir di depan kamar itu.   "Tuan...."   Muncul pelayan sambil memandan nya.   "Nona sudah kembali?"   "Belum."   Tio Bun Yang menggelengkan k pala.   "Dia... dia pasti diculik penjahat!"   "Tuan...."   Pelayan itu menarik nafas panjang, kemudian melangkah pergi. Namun berselang se saat, ia kembali lagi dengan wajah serius.   "Tuan.."   "Ada apa?"   Tanya Tio Bun Yang kesal.   "Tadi ada seseorang menitip sepucuk suri untuk Tuan,"   Sahut pelayan itu sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Tio Bun Yang.   Tio Bun Yang cepat-cepat menerima sur itu, sekaligus membacanya.   Surat tersebut berbunyi demikian.   Tio Bun Yang.   Kini kekasihmu lelah berada di tanganku! Ha Ini Ini! Rasakan pembalasanku! Ha ha ha! Seusai membaca surat itu, kening Tio Bun Yang terus berkerut.   Ia sama sekali tidak tahu siapa pengirim surat itu, lagi pula bunyi surat lersebut bernada membalas dendam padanya, itu membuat Tio Bun Yang tidak habis pikir.   "Siapa orang itu? Kenapa dia menulis begitu? l'adahal aku tidak punya musuh."   Gumam Tio Bun Yang lalu bertanya kepada pelayan.   "Siapa yang memberikan surat ini kepadamu?"   "Seorang pemuda,"   Jawab pelayan.   "Setelah memberikan surat itu kepadaku, dia langsung pergi."   "Engkau kenal dia?"   "Maaf, Tuan! Aku sama sekali tidak kenal dia."   "Aaaah...!"   Tio Bun Yang nyaris pingsan seketika.   "Adik Goat Nio! Adik Goat Nio!"   "Tuan...."   Pelayan menggeleng-gelengkan ke-jiala.   "Kemarin aku sudah bilang, lebih baik kalian lidur sekamar."   "Engkau...."   Tio Bun Yang tersentak.   "Engkau sudah tahu akan kejadian ini? Engkau pelakunya"   "Bukan."   Pelayan itu memberitahukan.   "Belum lama ini, sudah banyak anak gadis hilang mendadak."   "Kenapa kemarin engkau tidak memberitahukan kepadaku?"   Bentak Tio Bun Yang.   "Aku...."   Pelayan itu menggeleng-gelengka kepala.   "Aku justru tidak mau membuat kalian takut, maka aku tidak beritahukan."   "Aaaah...!"   Tio Bun Yang jatuh terduduk di kursi.   "Sudahlah! Engkau boleh pergi!"   "Ya, Tuan."   Pelayan itu melangkah pergi sari bil menghela nafas panjang.   "Sudah ada gadis yang hilang di sini! Kalau berita ini tersiar ke luar, penginapan ini pasti sepi."   Sementara Tio Bun Yang terus duduk dengan wajah cemas.   Ia tidak tahu harus berbuat apa Akhirnya ia mengambil keputusan untuk kembali ke markas pusat Kay Pang.   Maka, setelah membayar ongkos kamar, berangkatlah ia ke markas Kay Pang dengan wajah murung.   -oo0dw0oo      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com   / Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah tiba di markas pusat Kay Pang. Yang menyambutnya adalah Cian Chiu Lo Koay, wakil ketul Kay Pang.   "Tuan!"   Panggil Cian Chiu Lo Koay, kemudian menghela nafas panjang.   "Lo Koay,"   Tanya Tio Bun Yang sambil duduk.   "Di mana Kam Hay Thian dan lainnya?"   "Mereka... mereka...."   Cian Chiu Lo Koay ergagap.   "Apa yang terjadi atas diri mereka?"   Tanya Tio Bun Yang cemas.   "Cepat ceritakan!"   "Beberapa hari lalu, aku baru pulang. Kam Hay Thian menceritakan tentang Pangcu dan ketua..."   Tutur Cian Chiu Lo Koay.   "Malam harinyaa justru mendadak muncul Kui Bin Pang...."   "Apa?"   Bukan main terkejutnya Tio Bun Yang. 'Jadi mereka ditangkap semua?"   "Ya."   Cian Chiu Lo Koay mengangguk.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kebelulan pada waktu itu aku berada di luar. Begitu mendengar suara siulan aneh yang menyeramkan itu, tak lama aku dan para anggota Kay Pang jatuh pingsan. Entah berapa lama kemudian, barulah kami siuman, tapi Kam Hay Thian dan lainnya sudhi tidak ada di tempat."   "Aaaah!"   Keluh Tio Bun Yang.   "Mereka pasti diculik oleh Kui Bin Pang!"   "Tuan!"   Cian Chiu Lo Koay memandangnya.   "kalau tidak salah, Tuan pergi bersama Nona Goat Nio. Kenapa dia tidak kembali bersama tuan?"   "Dia...."   Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "Dia hilang di penginapan."   "Apa?"   Bukan main terkejutnya Cian Chiu Lo Koay.   "Apakah dia juga diculik oleh pihak Kui Bin Pang?" "Mungkin juga,"   Sahut Tio Bun Yang, lalu memperlihatkan sepucuk surat.   "Aku menerima surat ini dari pelayan penginapan, katanya dari seorang pemuda."   "Aku yakin itu perbuatan pemuda tersebut"   Ujar Cian Chiu Lo Koay dan melanjutkan.   "Pemuda itu pasti punya dendam pada Tuan, coba Tuan ingat! Kira-kira siapa pemuda itu?"   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku tidak punya musuh, bagaimana mungkin aku mengingatnya?"   "Kalau begitu..."   Gumam Cian Chiu Lo Koay "Sungguh mengherankan dan membingungkan!"   "Lo Koay, aku cemas sekali,"   Ujar Tio Bun Yang.   "Tidak tahu harus berbuat apa. Kakekku, Kakek Gouw, Goat Nio, Kam Hay Thian dan lainnya telah diculik oleh Kui Bin Pang. Apakah aku harus memberitahukan kepada orang tuaku"   "Seharusnya Tuan memberitahukan. Tapi..."   Cian Chiu Lo Koay menghela nafas panjang.   "Itu pasti akan menggemparkan Pulau Hong Hoang To, sekaligus mencemaskan mereka. Jadi lebih baik sementara ini Tuan tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang To, selidiki saja sendiri!"   "Oh ya! Tuan sudah memperoleh rumput obat ilmu hitamku."   Itu?"   Tanya Cian Chiu Lo Koay.   "Sudah."   Tio Bun Yang mengangguk "Kalau begitu, alangkah baiknya tuan segera ke kuil Siauw Lim mengobati Hui Kong Taysu sekaligus menyelidiki jejak Pangcu dan lainnya "Baik."   Tio Bun Yang manggut-manggut.   "Aku akan berangkat sekarang." "Hati-hati!"   Pesan Cian Chiu Lo Koay dan Lcnambahkan.   "Kalau sudah tiada jalan, barulah kian ke Pulau Hong Hoang To!"   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk, lalu berangkat ke kuil Siauw Lim. -ooo0dw0oo- Sementara itu, di markas pusat Kui Bin Pang terdengar suara tawa terbahak-bahak. Yang tertawa itu adalah Ketua Kui Bin Pang, yang kelihatan gembira sekali.   "Ha ha ha! Kini Lim Peng Hang, Gouw Han liong, Kam Hay Thian dan lainnya sudah berada di tangan kita! Ha ha ha...!" 'Ketua,"   Tanya Toa Sat Kui.   "Perlukah kita menyiksa mereka?"   "Tidak perlu."   Sahut ketua Kui Bin Pang..   "Ng!"   Tio Bun Yang mengangguk. Sebab aku akan mengendalikan mereka dengan ilmu hitamku"   "Betul. Ha ha ha!"   Toa Sat Kui tertawa "Ketua bisa memerintah mereka untuk menyerang Pulau Hong Hoang To."   "Tujuanku memang begitu. Tapi...."   Mendadak ketua Kui Bin Pang tertawa terkekeh-keke "Kalian harus baik-baik memperlakukan gadis yang bernama Goat Nio!"   "Ya,"   Sahut Ngo Sat Kui dan kedua Pelindung serentak "He he he!"   Ketua Kui Bin Pang tertaw terkekeh-kekeh lagi.   "Gadis itu sungguh cantik Tio Bun Yang akan menggigit jari!"   "Ketua,"   Ujar Toa Hu Hoat (Pelindung Tertua).   "Bu Ceng Sianli itu berkepandaian tinggi sekali, Ngo Sat Kui agak kewalahan menghadapinya."   "Benar."   Toa Sat Kui mengangguk.   "Sunggu lihay dan dahsyat ilmu jari tangannya!" "Oh? Dia berani melawan kita? Hmm!"   Dengus ketua Kui Bin Pang.   "Aku akan turun tangan membunuhnya!"   "Ketua!"   Toa Sat Kui memberitahukan.   "Bu Ceng Sianli itu cantik sekali, sayang kalau di bunuh."   "Siapa yang lebih cantik, Siang Koan Goal Nio atau Bu Ceng Sianli itu?"   Tanya ketua Kui Bin Pang mendadak.   "Bu Ceng Sianli lebih cantik, sebab dia agak ivlindung itu pun satu kamar. Setelah berada di genit,"   Jawab Toa Sat Kui.   "Sedangkan Siang Koan Goat Nio agak dingin."   "Betul,"   Sambung Toa Hu Hoat.   "Siang Koan Goat Nio tidak dapat menyenangkan Ketua. Tapi aku yakin Bu Ceng Sianli pasti dapat menyenangkan Ketua."   "Oh, ya?"   Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak. Kalau begitu, bila kalian bertemu Bu Ceng Sianli, undanglah kemari!"   "Bagaimana kalau dia tidak mau?"   Tanya Toa lu Hoat.   "Dengan cara apa pun kalian harus mengun-langnya ke mari,"   Tegas ketua Kui Bin Pang.   "Tapi kepandaiannya sangat tinggi sekali. Kami tidak sanggup melawannya,"   Ujar Toa Hu Hoat dengan jujur.   "Aku tidak menyuruh kalian melawannya, melainkan mengundangnya ke mari dengan cara baik-laik! Mengerti?"   Bentak ketua Kui Bin Pang.   "Mengerti,"   Sahut mereka serentak.   "Kami pasti berusaha mengundang Bu Ceng Sianli kemari? "Bagus! Bagus! Ha ha ha...!"   Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak.   "Nah! Sekarang silakan kalian pergi beristirahat."   "Terimakasih, Ketua!"   Ngo Sat Kui dan Toa He Hu Hoat itu segera ke kamar. Ternyata Ngo Sat Kui satu kamar, kedua Pelindung itu pun satu kamar, kedua Pelindung naik ke tempat tidur. Mereka berdua tidak tidur, melainkan duduk berhadapan di atas tempat tidur itu.   "Hari ini capek sekali, mari kita tidur!"   Aja Pelindung Tertua.   "Benar. Lebih baik kita tidur,"   Sahut Pelir dung Kedua. Walau mereka mengatakan begitu, tapi keduanya sama sekali tidak tidur, melainkan menulis di atas tempat tidur dengan jari telunjuk.   "Cara bagaimana kita memberi kabar kepada Tetua itu?"   Tulis Pelindung Tertua lalu memandang Pelindung Kedua. Pelindung Kedua menggelengkan kepala, kemudian ia pun menulis.   "Kita harus berhati-hati, sebab kalau kita menimbulkan kecurigaan ketua, nyawa kita pasti melayang."   Pelindung Tertua manggut-manggut dan menulis.   "Kita harus mencari jalan untuk memberi kabar kepada Tetua. Kalau tidak, Lim Peng Hai dan lainnya pasti celaka."   Pelindung Kedua mengangguk.   Mereka berdua diam lalu berpikir dengan kening berkerut kerut.   -oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh tujuh Masuk perangkap Toan Beng Kiat dan Bokyong Sian Hoa bersenda gurau di halaman istana, kemudian mereka berdua pun saling mengejar sambil tertawa riang gembira.   "Hi hi!"   Bokyong Sian Hoa tertawa.   "Kalau engkau dapat mengejarku, maka engkau boleh...."   "Boleh menciummu?"   Tanya Toan Beng Kiat. "Ya."   Bokyong Sian Hoa mengangguk.   "Nah, kejarlah aku!"   "Baik."   Toan Beng Kiat segera melesat ke arah Bokyong Sian Hoa. Akan tetapi, gadis itu bergerak cepat menghindar. Oleh karena itu, Toan Beng Kiat menangkap angin.   "Hi hi hi!"   Bokyong Sian Hoa tertawa geli.   "Engkau mau menangkapku atau menangkap angin?"   "Engkau curang!"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Kok aku curang? Engkau tidak dapat menangkapku malah bilang aku curang! Dasar licik!"   Ujar Bokyong Sian Hoa.   "Engkau menggunakan Kui Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), itu berarti curang."   "Engkau menggunakan ginkang, apakah itu tidak curang?"   "Sudahlah! Mari kita duduk saja!"   Ajak Bokyong Sian Hoa.   "Lebih baik kita bercakap-cakap."   "Baik."   Toan Beng Kiat mengangguk. Mereka duduk di dekat taman bunga. Toa Beng Kiat terus memandangnya dengan mata berbinar-binar.   "Eeeh?"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Wajah Bokyong Sian Hoa memerahi "Kenapa engkau terus memandangku sih?"   "Adik Sian Hoa,"   Sahut Toan Beng Kiat sambi tersenyum.   "Terus terang, engkau makin dipandang makin cantik lho!"   "Idiiih!"   Bokyong Sian Hoa tertawa cekikikan "Hi hi hi! Engkau sudah pandai merayu ya!"   "Aku tidak merayu, melainkan berkata sesungguhnya,"   Ujar Toan Beng Kiat.   "Engkau memang cantik sekali."   "Sudahlah, jangan terus memuji diriku! Kalau aku sudah jadi nenek-nenek, engkau pasti menjauhiku." "Kalau engkau sudah jadi nenek-nenek, tentu aku pun sudah jadi kakek-kakek. Ya, kan? Nah bagaimana mungkin aku menjauhimu? Sebaliknya aku pasti terus mendampingimu."   "Engkau memang pandai merayu. Oh ya, sebelum engkau kenal aku, apakah pernah jatuh cinta terhadap gadis lain?"   "Tidak pernah,"   Jawab Toan Beng Kiat dengan jujur.   "Tapi aku pernah tertarik pada seorang gadis."   "Oh? Siapa gadis itu?"   "Siang Koan Goat Nio!"   "Eh? Engkau gila ya?"   Bokyong Sian Hoa melotot.   "Bukankah Siang Koan Goat Nio kekasih Kakak Bun Yang?"   "Benar."   Toan Beng Kiat menjelaskan.   "Tapi pada waktu itu. Siang Koan Goat Nio belum bertemu Tio Bun Yang."   "Oooh!"   Bokyong Sian Hoa manggut-mang-put.   "Lalu bagaimana?"   "Aku pernah bilang kepada Goat Nio, bahwa aku tertarik padanya. Akan tetapi...."   Toan Beng Kiat tersenyum.   "Dia memang gadis yang tegas. Dia langsung bilang tidak tertarik padaku. Sejak itu, aku tidak berani mendekatinya lagi. Ternyata diam-diam dia sangat tertarik kepada Tio Bun Yang, walau belum bertemu pemuda itu."   "Kalau begitu..."   Goda Bokyong Sian Hoa sambil tertawa kecil.   "Engkau pasti kecewa sekali. Ya, kan?"   "Tidak juga."   Toan Beng Kiat menggelengkan kepala.   "Aku cuma tertarik kepadanya, bukan berarti telah mencintainya. Lagi pula... cinta tidak boleh cuma sepihak, tiada gunanya sama sekali."   "Oh ya,"   Tanya Bokyong Sian Hoa mendadak.   "Kok Goat Nio bisa tertarik kepada Kakak Bun Yang? Padahal dia belum pernah bertemu Kakak Bun Yang." "Itu dikarenakan Ai Ling sering menceritakan kepadanya tentang Bun Yang, lagi pula mereka memang berjodoh,"   Ujar Toan Beng Kiat.   "Tio Bun Yang memiliki suling kumala, sedangkan Goat Nio memiliki suling emas. Nah, bukankah mereka berjodoh?"   "Benar."   Bokyong Sian Hoa manggut-manggut dan menambahkan.   "Mereka pun mahir meniup suling. Kelak bila bertemu mereka, aku ingin menyuruh mereka meniup suling."   "Bagus."   Toan Beng Kiat tertawa.   "Aku memang ingin mendengar suara suling mereka."   "Kakak Beng Kiat, aku merasa kasihan pada Soat Lan,"   Ujar Bokyong Sian Hoa mendadak.   "Lho, memangnya kenapa?"   Toan Beng Kiat heran.   "Karena...."   Bokyong Sian Hoa menggeleng-gelengkan kepala.   "Dia belum ketemu pemuda idaman hatinya."   "Oh, itu!"   Toan Beng Kiat tersenyum.   "Kalau sudah waktunya, dia pasti akan ketemu pemuda idaman hatinya! Percayalah!"   "Ng!"   Bokyong Sian Hoa manggut-manggut "Kakak Beng Kiat...."   "Ada apa, sayang?"   Toan Beng Kiat memandangnya.   "Katakanlah!"   "Sudah cukup lama aku tinggal di sini, maksudku..."   Ujar Bokyong Sian Hoat dengan suara rendah.   "Bagaimana kalau kita ke Tionggoan?"   "Adik Sian Hoa,"   Tanya Toan Beng Kiat.   "Apakah engkau sudah tidak betah tinggal di sini?"   "Bukan masalah itu, melainkan... aku sangat rindu kepada Kakak Bun Yang dan lainnya. Bagal mana kalau kita ke markas pusat Kay Pang menemui mereka?" "Aku sih setuju saja. Tapi... harus minta ijin dulu kepada orang tuaku. Kita tidak boleh pergi secara diam-diam."   "Eeeh?"   Bokyong Sian Hoa cemberut.   "Siapa yang mengajakmu pergi secara diam-diam?"   "Maaf, maaf!"   Ucap Toan Beng Kiat cepat.   "Aku...."   "Hi hi!"   Bokyong Sian Hoa tertawa geli.   "Kok engkau jadi kalut sih?"   "Aku... aku takut engkau marah,"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Engkau tidak marah kan?"   "Bagaimana mungkin aku marah?"   Bokyong Sian Hoa tertawa lagi.   "Aku bukan gadis pemarah lho!"   "Adik Sian Hoa...."   Toan Beng Kiat menggenggam tangannya.   "Kita sudah saling mencinta, bagaimana kalau kita... menikah?"   "Kakak Beng Kiat...."   Bokyong Sian Hoa menundukkan kepala "Aku tidak mau cepat-cepat menikah."   "Kenapa?"   "Karena usiaku masih terlalu muda. Lagi pula aku tidak mau cepat-cepat punya anak, karena aku tidak bisa mengurusi anak."   "Adik Sian Hoa,"   Ujar Toan Beng Kiat lembut.   "Engkau sudah cukup umur. Seandainya kita menikah dan punya anak, engkau tidak akan repot mengurusi anak."   "Aku tahu."   Bokyong Sian Hoa manggut manggut.   "Maksudmu dayang-dayang di sini bisa bantu mengurusi anak kita. Ya, kan?"   "Ya."   "Kakak Beng Kiat!"   Bokyong Sian Hoa me mandangnya seraya berkata.   "Seorang ibu harus mengurusi anaknya sendiri, tidak boleh orang lain yang mengurusinya." "Kenapa?"   "Sebab kalau sang ibu tidak mengurusi anak nya sendiri, maka kelak akan terasa jauh dengan anaknya."   "Oooh!"   Toan Beng Kiat manggut-manggut "Adik Sian Hoa...."   "Kakak Beng Kiat."   Ujar Bokyong Sian Uni lembut.   "Aku sangat mencintaimu, namun aku belum mau menikah sekarang, tunggu satu dua tahun lagi!"   "Baiklah."   Toan Beng Kiat mengangguk "Eeeeh?"   Terdengar suara seruan, lalu munci Lam Kiong Soat Lan menghampiri mereka.   "Kalian berdua sudah mau menikah?"   "Ti... tidak."   Bokyong Sian Hoa menggelengkan kepala dengan wajah tampak agak kemerah- merahan.   "Jangan menyangkal...."   "Soat Lan!"   Toan Beng Kiat tersenyum.   "Aku memang ingin menikahinya, namun dia belum siap."   "Oh?"   Lam Kiong Soat Lan memandang mereka.   "Bukankah lebih cepat menikah lebih baik, kok Sian Hoa belum mau sih?"   "Karena aku... belum bisa mengurusi anak, lagi pula lebih baik tunggu satu dua tahun,"   Ujar Bokyong Sian Hoa.   "Oooh!"   Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang.   "Soat Lan!"   Toan Beng Kiat heran.   "Kenapa engkau menghela nafas panjang?"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Aku rindu kepada Kakak Bun Yang, Goat Nio dan lainnya,"   Sahut Lam Kiong Soat Lan.   "Oh ya, bagaimana kalau kita ke Tionggoan?" "Tadi aku telah mengusulkan kepada Kakak Beng Kiat."   Bokyong Sian Hoa memberitahukan.   "Katanya harus minta ijin dulu kepada orang tuanya."   "Itu memang benar, kita harus minta ijin dulu."   Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.   "Kalau tidak, orang tua kami pasti gusar."   "Kalau begitu...."   Bokyong Sian Hoa memandang mereka.   "Kapan kita minta ijin?"   "Nanti,"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Kakak Beng Kiat,"   Tanya Bokyong Sian Hoa mendadak.   "Apakah Kakak Bun Yang sudah bertemu Goat Nio?"   "Mudah-mudahan mereka sudah bertemu!"   Jawab Toan Beng Kiat, kemudian menghela nafas pula.   "Entah bagaimana Kam Hay Thian dan Li Hui San...."   "Mudah-mudahan mereka bertemu kembali dan... saling mencinta!"   Sahut Bokyong Sian Hoa "Yaaah!"   Toan Beng Kiat menggcleng-gclengj| kan kepala.   "Kam Hay Thian begitu keras hati bagaimana mungkin dia...."   "Ayohlah!"   Potong Lam Kiong Soat Lan.   "Mari kita ke ruang tengah menemui orang tua kita untuk minta ijin ke Tionggoan!"   "Baik."   Toan Beng Kiat mengangguk lalu menarik Bokyong Sian Hoa ke dalam.   -oo0dw0oo- Sementara itu.   di ruang tengah juga sedang berlangsung pembicaraan serius.   Mereka adalah Toan Wie Kie, Gouw Sian Eng, Lam Kiong Bl Liong dan Toan Pit Lian.   "Menurut aku, lebih baik Beng Kiat dan Sian Hoa dinikahkan, sebab mereka sudah saling mencinta."   Ujar Lam Kiong Bie Liong.   "Kami memang bermaksud demikian,"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Tapi... itu pun tergantung pada mereka berdua, kami tidak boleh memaksanya."   "Lho?"   Gouw Sian Eng heran.   "Memangnya kenapa?"   "Mungkin mereka masih ingin bebas."   Toan Beng Kiat tersenyum.   "Kalau mereka sudah manikah, tentunya akan punya anak. Nah, itu cukup merepotkan mereka."   "Mengurusi anak memang sudah merupakan tugas kewajiban orang tua, begitu pula mereka berdua,"   Ujar Gouw Sian Eng dan menambahkan.   "Kakak Wie Kie, lebih baik suruh mereka cepat-cepat menikah!"   "Adik Sian Eng!"   Toan Wie Kie tersenyum.   "Kita boleh mengusulkan, namun tidak boleh memaksa, lho!"   "Ya."   Gouw Sian Eng mengangguk.   "Kalian berdua sudah tenang,"   Ujar Toan Pit Lian sambil menarik nafas dalamdalam.   "Sedangkan kami...."   "Kenapa kalian?"   Tanya Toan Wie Kie heran.   "Hingga kini Soal Lan masih belum punya kekasih,"   Sahut Toan Pit Lian sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Entah kapan dia akan bertemu pemuda idaman hatinya?"   "Jangan khawatir?"   Lam Kiong Bie Liong lertawa.   "Aku yakin tidak lama lagi Soat Lan akan bertemu pemuda idaman hatinya."   "Oh?"   Toan Pit Lian tersenyum.   "Suamiku, putri kita tinggal di Tayli ini. Bagaimana mungkin akan bertemu pemuda idaman hatinya?" "Kalau bintang jodohnya sudah terbuka, dia pasti akan bertemu pemuda idaman hatinya. Percayalah!"   Ujar Lam Kiong Bie Liong.   "Kalau dia sudah menikah, legalah hatiku."   Bersamaan itu, muncullah Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan.   "Ayah, Ibu!"   Panggil Toan Beng Kiat dan La Kiong Soat Lan.   "Paman, Bibi!"   Panggil Bokyong Sian Hoa.   "Duduklah!"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Wajah Ayah dan Ibu tampak serius sekali, apa yang sedang dibicarakan ayah dan ibu?"   Tanya Toan Beng Kiat.   "Oooh!"   Toan Wie Kie tersenyum sambf manggut-manggut.   "Ayah dan ibu sedang membicarakan engkau dan Sian Hoa."   "Oh? Kenapa kami?"   Tanya Toan Beng Kiat dengan wajah agak kemerah-merahan, karena dapat menerka apa yang dibicarakan kedua orang tuanya.   "Engkau dan Sian Hoa sudah saling mencinta, maka..."   Sahut Gouw Sian Eng dan menambahkan "Alangkah baiknya kalian berdua melangsungkan pernikahan saja!"   "Ibu!"   Toan Beng Kiat tersenyum.   "Tadi kami berdua telah membicarakan tentang ini, namun...   "Kenapa?"   Tanya Gouw Sian Eng sambil memandang mereka.   "Sian Hoa belum mau menikah?"   "Ya."   Toan Beng Kiat mengangguk.   "Alasannya?"   Tanya Gouw Sian Eng lagi.   "Ibu...."   Toan Beng Kiat tersenyum.   "Terus terang, kami berdua memang tidak ingin cepat-icpat menikah."   "Memangnya kenapa?"   Gouw Sian Eng mengerutkan kening.   "Kalau kalian berdua sudah menikah, legalah hati kami." "Ibu...."   Toan Beng Kiat tersenyum lagi.   "Kami bermaksud ke Tionggoan. karena kami sangat rindu kepada Bun Yang dan lainnya."   "Kalian semua ingin ke Tionggoan?"   Tanya Toan Wie Kie.   "Ya."   Toan Beng Kiat mengangguk.   "Maka kami ke mari untuk minta ijin. Ayah dan ibu tidak akan melarang kami ke Tionggoan kan?"   "Aku juga ikut!"   Sela Lam Kiong Saot Lan.   "Soat Lan!"   Lam Kiong Bie Liong menatapnya.   "Engkau juga ingin ke Tionggoan?"   "Ya. Ayah."   Lam Kiong Soat Lan mengangguk.   "Ayah dan Ibu tidak akan melarangku ke Tionggoan kan?"   "Itu...."   Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian saling memandang, kemudian mereka memandang Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng.   "Baiklah."   Toan Wie Kie manggut-manggut.   "Kita memang tidak boleh mengekang mereka, biarlah mereka ke Tionggoan menemui Bun Yang dan lainnya."   "Kapan kalian akan berangkat ke Tionggoan?"   Tanya Gouw Sian Eng.   "Besok pagi, Ibu,"   Jawab Toan Beng Kiat.   "Besok pagi?"   Toan Wie Kie memandang mereka, kemudian manggut-manggut seraya berkata "Baiklah, kalian boleh berangkat besok pagi."   "Terimakasih, Ayah!"   Ucap Toan Beng Kiat.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Terimakasih, Paman! Terimakasih, Bibi!"   Ucap Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri.   "Ayah, Ibu,"   Ujar Lam Kiong Soat Lan.   "Aku boleh ikut kan?" "Tentu boleh,"   Sahut Toan Pit Lian.   "Tapi engkau tidak boleh nakal dan jangan suka menimbulkan masalah!"   "Ya, Ibu."   Lam Kiong Soat Lan mengangguk "Terimakasih Ayah, Ibu!"   Keesokan paginya, berangkatlah mereka bei tiga menuju Tionggoan.   Tujuan mereka adalah markas pusat Kay Pang.   Beberapa hari kemudian mereka bertiga sudah memasuki daerah Tiong goan.   -oo0dw0oo- Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan terus melanjutkan perjalanan sambil bercanda ria.   Dalam perjalanan ini, yang paling gembira adalah Toan Beng Kiat dan Bokyong Sian Hoa.   Kegembiraan mereka justru membuat Lam Kiong Soat Lan kadang melamun.   Ketika mereka beristirahat di bawah pohon.   Toan Beng Kiat memandangnya seraya bertanya.   "Soat Lan, kenapa kadang-kadang engkau melamun?"   "Aku...."   Lam Kiong Soat Lan menundukkan kepala.   "Aku tahu,"   Sela Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum.   "Dia belum ketemu pemuda idaman batinya, maka sering melamun."   "Eh? Engkau...."   Lam Kiong Soat Lan cemberut.   "Tidak salah, kan?"   Bokyong Sian Hoa tertawa kecil dan menambahkan.   "Soat Lan, engkau tidak perlu melamun. Aku yakin, tidak lama lagi engkau akan bertemu pemuda idaman hatimu."   "Betul,"   Toan Beng Kiat mengangguk sambil lersenyum.   "Aku pun yakin begitu...."   Ucapan Toan Beng Kiat terhenti, karena tiba-tiba melavang turun lima orang di hadapan mereka.   Kelima orang itu berpakaian serba putih dan memakai kedok setan warna hijau.   Mereka ternyata Ngo Sat Kui.   Betapa terkejutnya Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan.   Mereka bertiga langsung meloncat bangun, sekaligus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.   Akan tetapi, salah seorang berpakaian serba putih itu justru tertawa gelak, kemudian membeil hormat seraya berkata.   "Selamat bertemu! Kami tahu kalian dari Tayli."   "Maaf!"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Kalian dari perkumpulan mana?"   "Kui Bin Pang,"   Ujar Toa Sat Kui memberitahukan.   "Maaf kehadiran kami di sini telah mengganggu ketenangan kalian!"   "Ada urusan apa kalian ke mari menemui kami?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan sambil menatap mereka dengan dingin sekali.   "Ha ha ha!"   Toa Sat Kui tertawa terbahak bahak.   "Kami ke mari menemui kalian dengan maksud baik."   "Oh?"   Toan Beng Kiat mengerutkan keningj "Kami pun tahu, kalian sedang menuju marka pusat Kay Pang kan?"   Ujar Toa Sat Kui.   "Betul."   Toa Beng Kiat mengangguk dan ber tanya.   "Sebetulnya siapa kalian? Bolehkah kami tahu?"   "Kami berlima adalah Ngo Sat Kui,"   Sahut Toa Sat Kui memberitahukan.   "Kami ke mari dengan maksud mengundang kalian ke markas kami."   "Kalau kami tidak mau?"   Tanya Lam Kiong' Soat Lan dingin.   "Kalian harus tahu,"   Ujar Toa Sat Kui denga nada serius.   "Kini Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Siang Koan Goat Nio, Kam Hay Thian dan Lie Ai Ling sudah berada di maikas kami sebagai tamu terhormat, maka kami mengundang kalian bertiga ke sana."   "Oh?"   Kening Toan Beng Kiat berkerut-kerut.   "Betulkah mereka berada di markas kalian?"   "Tidak salah,"   Sahut Jie Sat Kui dan menambahkan.   "Bahkan Sie Keng Hauw dan Lu Hui San pun berada di sana."   "Oh?"   Toan Beng Kiat mengerutkan kening lagi.   "Apakah Tio Bun Yang juga berada di sana?"   "Tidak."   Toa Sat Kui menggelengkan kepala.   "Kenapa dia tidak berada di sana?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan curiga.   "Ha ha ha!"   Toa Sat Kui tertawa gelak.   "Karena dia sedang sibuk mengobati para ketua tujuh partai besar."   "Kenapa para ketua tujuh partai besar?"   Tanya Toan Beng Kiat terkejut.   "Mereka sudah menjadi gila semua,"   Sahut Toa Sat Kui memberitahukan.   "Karena terpukul oleh pukulan Seng Hwee Sin Kun."   "Oh?"   Air muka Toan Beng Kiat berubah.   "Siapa yang menyuruh kalian mengundang kami ke sana?"   "Ketua Kui Bin Pang dan teman-temanmu, sebab mereka sudah sangat rindu kepada kalian,"   Sahut Toa Sat Kui.   "Kalian tidak berdusta?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan.   "Ha ha ha!"   Toa Sat Kui tertawa terbahak bahak.   "Untuk apa kami harus berdusta? Tiada gunanya kan?"   Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening kemudian memandang Toan Beng Kiat serta bertanya.   "Bagaimana? Apakah kita harus memenuhi undangan mereka?" "Itu...."   Toan Beng Kiat berpikir keras Ia memandang Bokyong Sian Hoa dan bertanja "Adik Sian Hoa, bagaimana menurutmu?"   "Menurut aku..."   Jawab Bokyong Sian H serius.   "Lebih baik kita penuhi saja undang mereka."   "Baiklah."   Toan Beng Kiat manggut-manggut dan berkata kepada Toa Sat Kui.   "Kami ikut kalian."   "Bagus! Bagus!"   Toa Sat Kui tertawa.   "Kali memang tahu diri. Ha ha ha...!" -oo0dw0oo- Tio Bun Yang telah tiba di kuil Siauw Lim Ngo Khong Taysu, adik seperguruan Hui Kho Taysu menyambut kedatangannya dengan hormat. Hui Khong Taysu, yang dalam keadaan dipasung "Omitohud!"   Ucap Ngo Khong Taysu.   "Engkau sudah ke mari, syukurlah!"   "Taysu!"   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Aku telah memperoleh rumput Liong Kak Cauw."   "Omitohud! Omitohud!"   Ucap Ngo Khong Taysu dengan wajah berseri.   "Mari ikut aku ke dalam!"   Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti Ngo Khong Taysu ke ruang dalam tempat Hui Khong Taysu dipasung. Karena ketua partai Siauw Lim itu sering mengamuk, maka terpaksa dipasung.   "Jangan cemas. Taysu!"   Ujar Tio Bun Yang sambil mengeluarkan sebatang rumput Tanduk Naga.   "Hui Khong Taysu pasti sembuh."   "Omitohud!"   Ucap Ngo Khong Taysu.   "Apabila kakak seperguruan bisa sembuh, itu betul-betul jasamu!" "Aaaah...!"   Tio Bun Yang cuma menggeleng-gelengkan kepala.   "Oh ya! rumput Tanduk Naga ini harus digodok dengan semangkok air. Berselang beberapa saat setelah mendidih, barulah dituang ke mangkok lagi, lalu diberikan kepada Hui Khong Taysu."   "Ya."   Ngo Khong Taysu mengangguk sambil menerima rumput Tanduk Naga tersebut, kemudian melangkah ke dalam.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sedangkan Tio Bun Yang terus memandang Hui Khong Taysu yang dlam keadaan dipasung.   Tiba-tiba ketua Siauw Lim itu meronta-ronta sekuat tenaga, bahkan juga berteriak-teriak sekeras-kerasnya.   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   Berselang beberapa saat kemudian, Ngo Khong Taysu sudah kembali dengan membawa semang-kok obat, yaitu rumput Tanduk Naga yang telah digodok.   "Harus ditotok jalan darahnya dulu, agar tidak merontaronta,"   Ujar Tio Bun Yang.   "Setelah itu barulah dicekoki dengan obat itu."   "Ya."   Ngo Khong Taysu mengangguk, lalu menaruh mangkok itu di atas meja dan mendekatil Hui Khong Taysu.   Mendadak ia menotok jalan darah di punggung Hui Khong Taysu, agar ketuai Siauw Lim itu tak mampu bergerak, barulah Ngo Khong Taysu mencekoki Hui Khong Taysu dengan obat itu.   "Buka saja totokan itu!"   Ujar Tio Bun Yang.   Ngo Khong Taysu segera membuka totokan! tersebut.   Seketika juga Hui Khong Taysu mulai meronta-ronta, sekaligus berteriak-teriak pula Beberapa saat kemudian, Hui Khong Taysu memejamkan matanya, kemudian ketua Siauw tertidur pulas.   "Taysu!"   Tio Bun Yang memberitahukan sambil tersenyum.   "Kalau Hui Khong Taysu sudah mendusin, berarti beliau sudah sembuh."   "Omitohud!"   Ucap Ngo Khong Taysu.   "T rimakasih atas bantuan Anda!"   "Terimakasih kembali!"   Sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum, namun senyumnya tampak agak getir. Tak seberapa lama, Hui Khong Taysu membuka matanya perlahan-lahan, lalu menengok ke sana ke mari dan tampak tersentak.   "Haaah...?"   Ternyata Hui Khong Taysu terkejut, karena mendapatkan dirinya dalam keadaan dipasung.   "Sute, kenapa aku...."   "Omitohud!"   Ucap Ngo Khong Taysu dengan wajah berseri.   "Syukurlah suheng telah sembuh!"   "Eh? Bun Yang...."   Hui Khong Taysu terbelalak.   "Engkau ada di sini? Maaf, aku...."   "Taysu,"   Ujar Tio Bun Yang kepada Ngo Khong Taysu.   "Cepat buka pasungan itu!"   Ngo Khong Taysu segera membuka pasungan itu. Setelah bebas. Hui Khong Taysu mendekati Tio Bun Yang.   "Omitohud!"   Ucapnya dan bertanya.   "Kok engkau berada di sini?"   "Taysu, aku ke mari memberikan obat."   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Untuk jelasnya, biar Ngo Khong Taysu yang menceritakannya."   "Suheng terkena pukulan Seng Hwee Sin Kun...."   Ngo Khong Taysu menutur tentang ke-ladian itu, kemudian menambahkan.   "Para ketua partai besar lain pun terkena pukulan itu." "Oh?"   Hui Khong Taysu terkejut bukan main.   "Kalau begitu, mereka masih dalam keadaan gila?"   "Ya."   Ngo Khong Taysu mengangguk.   "Bun Yang...."   Hui Khong Taysu memandangnya.   "Sudikah engkau menolong mereka?"   "Tentu."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Namun aku harus minta bantuan pihak Taysu. 'Bantuan apa? Katakanlah!"   Ujar Hui Khong Taysu.   "Aku tidak bisa mendatangi partai-partai besar lainnya, maka aku harap Taysu sudi mengutus beberapa orang ke sana dengan membawa rumput Tanduk Naga."   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Sebab aku masih ada urusan lain."   "Baik."   Hui Khong Taysu mengangguk.   "Akan kuutus beberapa orang mendatangi partai-partai besar itu."   "Terimakasih, Taysu!"   Ucap Tio Bun Yang.   "Oh ya!"   Hui Khong Taysu memandangnl seraya bertanya.   "Sebetulnya masih ada urusan apa yang harus engkau selesaikan?"   "Aku harus berusaha mencari kakekku. Kakek Gouw, Goat Nio dan lainnya. Mereka diculik."   "Omitohud! Siapa yang menculik mereka? "Taysu, Seng Hwee Sin Kun telah mati. Namun...."   Tio Bun Yang menutur tentang kejadian itu.   "Omitohud!"   Hui Khong Taysu menggeleng gelengkan kepala.   "Tidak disangka Kui Bin Pang telah muncul di rimba persilatan! Omitohud!"   "Karena itu, aku tidak punya waktu untuk mendatangi partai-partai besar lainnya."   Ujar Tio Bun Yang sambil menyerahkan rumput Tanduk Naga kepada Hui Khong Taysu secukupnya, namun ia masih menyimpan sedikit.   "Terimakasih!"   Ucap Hui Khong Taysu sambil menerima rumput Tanduk Naga tersebut dan bertanya.   "Kini apa rencanamu, Bun Yang?"   "Aku...."   Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "Mungkin aku akan ke markas Ngo Tok Kauw untuk menemui Kakak Ling Cu. Mudah-mudahan dia bisa memberi petunjuk kepadaku!"   "Petunjuk mengenai markas Kui Bin Pang?"   Tanya Hui Khong Taysu.   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Bun Yang."   Pesan Hui Khong Taysu.   "Apabila engkau sudah tahu markas Kui Bin Pang itu berada di mana, alangkah baiknya engkau pulang ke Pulau Hong Hoang To untuk berunding dengan orang tuamu!"   "Ya, Taysu."   "Setelah para ketua partai-partai besar itu sembuh, mereka pun pasti membantumu mencari kelua Kay Pang dan lainnya."   "Terimakasih, Taysu!"   Ucap Tio Bun Yang sekaligus berpamit.   "Taysu, aku mohon diri!"   "Omitohud! Selamat jalan!"   Sahut Hui Khong Taysu, yang kemudian bersama Ngo Khong Taysu mengantar Tio Bun Yang sampai di luar kuil.   "Sampai jumpa, Taysu!"   Ucap Tio Bun Yang sambil melesat pergi.   "Omitohud!"   Sahut Hui Khong Taysu, setelah itu ia melangkah ke dalam kuil, diikuti Ngo Khong Taysu dari belakang. Sampai di ruang tengah, mereka berdua lalu duduk berhadapan. "Suheng!"   Ngo Khong Taysu memberitahukan.   "Kalau Tio Bun Yang tidak ke daerah Miauw mangambil rumput Tanduk Naga itu, entah bagaimana jadinya suheng dan para ketua partai partai besar lain itu?"   "Omitohud!"   Ucap Hui Khong Taysu.   "Siauw Lim Sie telah berhutang budi kepadanya, begitu pula para ketua partai besar lain. Omitohud!"   "Suheng, aku dan beberapa muridku harus segera berangkat ke Gunung Butong, Kun Lun dan lainnya."   "Ya."   Hui Khong Taysu mengangguk.   "Ceritakan juga mengenai apa yang telah terjadi di Kay Pang!"   "Ya, Suheng."   Ngo Khong Taysu mengangguk dan menambahkan.   "Aku pun akan minta bantuan mereka untuk menyelidiki markas Kui Bin Pang itu."   "Omitohud! Omitohud!"   Hui Khong Taysu manggutmanggut. -oo0dw0oo- Bagian ke lima puluh delapan Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesat Pembetot Sukma) "Ha ha ha! Ha ha ha...!"   Ketua Kui Bin Pang terus tertawa gelak, kemudian berkata.   "Kini mereka telah berada di tangan kita, termasuk Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan!"   "Namun kita belum berhasil menangkap Tio Bun Yang,"   Ujar Toa Sat Kui memberitahukan.   "Apakah ketua punya suatu ide?"   "Ha ha ha! Aku yakin kini Tio Bun Yang pasti cemas sekali! Yang paling dicemaskannya adalah Siang Koan Goat Nio!"   Sahut ketua Kui Bin Pang dan menambahkan.   "Gadis itu harus tempatkan di ruang lain, jangan dicampur dengan yang lain!"   "Ketua!"   Toa Sat Kui memberitahukan.   "Tadi kami telah memindahkan gadis itu ke ruang lain."   "Bagus! Bagus! Ha ha ha...!"   Ketua Kui Bin Pang tertawa terbahak-bahak.   "Oh ya! Kalian semua harus baik-baik memperlakukannya, sama sekali tidak boleh menyakitinya!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ya!"   Sahut mereka serentak sambil mengangguk, kemudian Toa Sat Kui bertanya.   "Apa rencana Ketua sekarang?"   "Rencanaku sekarang, kalian harus mencekoki mereka dengan obat penghilang kesadaran,"   Sahut ketua Kui Bin Pang.   "Mereka dalam keadaan tak bergerak karena telah kutotok jalan darah mereka, jadi tidak sulit mencekoki mereka"   "Ketua,"   Tanya Toa Hu Hoat.   "Kapan kami mencekoki mereka dengan obat itu?"   "Nanti sore,"   Sahut ketua Kui Bin Pang.   "Itu tugas kalian, tapi jangan mencekoki Siang Koan Goat Nio dengan obat itu, gadis itu adalah urusanku."   "Ya."   Mereka mengangguk.   "Ha ha ha!"   Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak.   "Setelah mereka dicekoki dengan obat itu, barulah aku menggunakan Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesal Pembetot Sukma) untuk mengendalikan pikiran mereka! Ha ha ha!"   "Setelah mereka di bawah pengaruhku, aku akan perintahkan mereka membunuh kaum persilatan golongan putih! Ha ha ha...!"   Sore harinya, Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat itu ke ruang dalam tempat Lim Peng Hang Gouw Han Tiong dan lainnya ditahan. "He he he!"   Toa Sat Kui tertawa terkekeh kekeh. Mereka masing-masing membawa semangkok obat.   "Kalian semua harus minum obat! He he he...!"   "Kalian... kalian...."   Suara Lim Peng Hang lemah sekali.   "Kami cukup baik lho!"   Sahut Toa Sat Kui "Sebab masih mau memberi kalian obat."   Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan lainnya tidak menyahut. Toa Hu Hoat mendekati Lam Kiong Soat Lan, namun gadis itu langsung membuang muka.   "Nona, namaku Yo Kiam Heng."   Toa Hu Hoat itu memberitahukan dengan ilmu penyampai suara, maka Ngo Sat Kui dan lainnya tidak mengetahuinya sama sekali.   "Engkau tidak usah menyahut, cukup mendengar saja!"   Lam Kiong Soat Lan mendongakkan kepala memandangnya, namun cuma melihat kedok setan warna kuning. Bagaimana wajah Toa Hu Hoat di balik kedok setan itu, Lam Kiong Soat Lan tidak mengetahuinya.   "Nona jangan takut, aku dan Jie Hu Hoat bukan orang jahat!"   Lanjut Yo Kiam Heng memberitahukan.   "Yang ada di dalam mangkok itu obat penghilang kesadaran. Siapa yang minum obat itu, pasti akan kehilangan kesadarannya. Setelah itu, ketua bermaksud menggunakan semacam ilmu sesat untuk mengendalikan pikiran kalian."   Lam Kiong Soat Lan tidak menyahut, namun mendengarkan dengan penuh perhatian dengan kening berkerut-kerut.   "Mangkok yang di tanganku ini telah kutukar dengan obat biasa, maka engkau tidak akan kehilangan kesadaran."   Yo Kiam Heng melanjutkan.   "Tapi engkau harus pura-pura seperti kehilangan kesadaran. Meskipun engkau tetap akan terpengaruh oleh ilmu sesat ketua, tetapi dalam waktu sepuluh hari, engkau akan normal kembali."   Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. dan Yo Kiam Heng melanjutkan lagi.   "Apabila pikiranmu sudah tidak terpengaruh, engkau harus tetap bersikap seperti masih dibawah pengaruh ilmu sesat itu. Aku akan berusaha mengusulkan agar ketua mengirim kalian pergi menyerbu Pulau Hong Hoang To. Nah, aku yakin Pek Ih Sin Hiap mampu menolong kalian."   "Engkau...."   Sebetulnya Lam Kiong Soat Lan ingin menanyakan sesuatu, namun mendadak dibatalkannya.   "Dasar gadis tak tahu diri!"   Bentak Yo Kiam Heng.   "Aku bersikap baik terhadapmu, tapi engkau malah tidak mau minum obat! Hm...!"   "Toa Hu Hoat!"   Seru Toa Sat Kui sambi tertawa.   "Cekoki saja!"   "Ha ha ha!"   Yo Kiam Heng tertawa gelak. Ditotoknya jalan darah Lam Kiong Soat Lan, kemudian dicekokkannya obat itu ke dalam mulut Seusai mencekokinya, Yo Kiam Heng membebaskan totokannya seraya berkata dengan ilmu menyampaikan suara.   "Teman-temanmu sudah mulai kehilangan kesadaran, maka engkau pun harus pura-pura seperti mereka! Oh ya, Nona Siang Koan Goat Nio, berada di ruang lain, dia dalam keadaan baik-baik saja."   Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut perlahan, kemudian melirik yang lain. Dilihatnya mereka tampak termenung semua, maka ia segera bersikap seperti mereka.   "Ha ha ha!"   Yo Kiam Heng tertawa gelak. Ngo Sal Kui, tugas kita sudah selesai. Mari kita lapor kepada ketua!"   "Baik."   Ngo Sat Kui mengangguk.   Mereka meninggalkan ruang itu.   Sementara lam Kiong Soat Lan tidak habis berpikir, siapa Yo Kiam Heng dan kenapa berniat menolong mereka? Lam Kiong Soat Lan betul-betul tidak habis pikir, kemudian ia memandang Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan lainnya, yang semua tampak linglung.   Bukan main obat itu! Pikirnya dalam hati.   -oo0dw0oo- Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat telah sampai di ruang tengah.   Toa Hu Hoat Yo Kiam Heng langsung melapor.   "Ketua, kami telah mencekoki mereka dengan obat penghilang kesadaran itu."   "Bagus! Bagus! Ha ha ha...!"   Ketua Kui Bin Pang tertawa gembira.   "Kalau begitu, kini kesadaran mereka pasti sudah hilang."   "Kapan Ketua akan menggunakan Toh Hun Tay Hoat untuk mempengaruhi mereka?"   Tanya Toa Sat Kui.   "Sebentar,"   Sahut ketua Kui Bin Pang, yang kemudian menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.   Itu membuat Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat saling memandang.   Mereka tidak mengerti, kenapa mendadak ketua mereka menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala.   "Ketua,"   Tanya Toa Sat Kui kemudian.   "Kenapa Ketua...."   "Aku...."   Ketua Kui Bin Pang menggeleng-gelengkan kepala lagi, lalu melanjutkan ucapannya.   "Tadi aku ke ruang itu menemui Siang Koan Goat Nio, namun dia langsung mencaci maki diriku. Padahal aku...."   "Ketua menyukainya?"   Tanya Yo Kiam Heng mendadak. "Ya."   Ketua Kui Bin Pang mengangguk.   "Kelihatannya dia sangat benci kepadaku."   "Ketua,"   Ujar Toa Sat Kui sambil tertawa.   "Kalau Ketua ingin mendapatkan dirinya, pergunakan saja Toh Hun Tay Hoat! Bukankah dia akan menurut kepada Ketua?"   "Tapi itu percuma,"   Sahut ketua Kui Bin Pang sambil menghela nafas panjang.   "Karena aku cuma akan memperoleh sebuah patung, itu tak berarti sama sekali."   "Betul, Ketua,"   Ujar Yo Kiam Heng.   "Itu memang tiada artinya, lebih baik Ketua bersabar, lambat laun gadis itu pasti akan tertarik kepada Ketua."   "Toa Hu Hoat!"   Ketua Kui Bin Pang menatapnya.   "Bersediakah engkau membantuku dalam hal tersebut?"   "Tentu bersedia, Ketua,"   Sahut Yo Kiam Heng cepat.   "Terimakasih!"   Ucap ketua Kui Bin Pang gilang.   "Nah. sekarang pergilah, bujuk gadis itu! Aku akan pergi ke ruang lain bersama Ngo Sat Kui dan Jie Hu Hoat."   "Ya, Ketua."   Yo Kiam Heng mengangguk, lalu segera menuju ke ruangan tempat Siang Koan Goat Nio dikurung. Siang Koan Goat Nio duduk bersandar di dinding ruangan itu. Begitu melihat Yo Kiam Heng memasuki ruangan tersebut, ia langsung mencacinya.   "Kalian semua binatang! Kenapa mengurung kami di sini? Ayoh! Mari kita bertarung!"   "Nona Siang Koan, tenanglah! Aku bernama Yo Kiam Heng, Toa Hu Hoat dalam perkumpulan Kui Bin Pang. Aku tahu, Tio Bun Yang adalah kekasihmu,"   Ujar Yo Kiam Heng menggunakan ilmu menyampaikan suara, agar orang lain tidak dapat mendengar.   "Ketua Kay Pang dan lainnya telah dicekoki obat penghilang kesadaran, kini ketua pergi mempengaruhi mereka dengan ilmu Toh Hun Tay Hoat."    Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini