Ceritasilat Novel Online

Seruling Samber Nyawa 32


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 32


Seruling Samber Nyawa Karya dari Chin Yung   Ini lebih menunjukkan suasana nyaman damai pada malam nan sunyi senyap ini.   Keluar dari hutan bambu Giok-liong di hadapi sebuah gapura baru pualam putih di-atas gapura melintang sebaris huruf besar, itulah tulisan yang berbunyi.   "Panti Wening"   Sesudah melintasi sebuah halaman berumput tebal mereka memasuki sederet rumah petak yang terbagi dua jajar keempat pelayang itu membawa Giok-liong memasuki sebuah kamar besar, dua diantaranya lantas menyiapkan kursi dan menyuguhkan teh sedang dua yang lain masuk ke dalam memberi laporan, gerak-gerik keempat dayang remaja ini gesit dan cekatan.   Meskipun sudah melakukan perjalanan jauh sehari semalam, seluruh badan dirasakan cape dan gerah namun Giok-Liong tiada selera minum air teh, atau memikirkan perut nya yang sudah lapar dan keroncongan.   Tengah ia mondar mandir dengan gelisah melihat-lihat gambar dan pajangan dalam ruangan itu, duri pintu belakang lapat-lapat terdengar derap langkah ringan serta suara berdencing yang lirih dari belakang pintu, angin beranjak keluar seorang wanita pertengahan, sembari mengulurkan kedua tangannya sua ia nya terdengar tersendat.   "Anak Liong"   "Bu oh, ibu, sungguh nak Liong tidak berbakti, apakah anak Liong tengah bermimpi ?"   "Tidak... nak, ini kenyataan yang betul-betul terjadi bukan mimpi"   "Bu Bukankah kau telah dicelakai oleh Hiat hong-pang..."   "Tidak.... cerita ini sangat panjang untuk dituturkan dalam waktu singkat, kau sudah capai lelah Makanlah dulu baru istirahat."   Memang saat mana keempat dayang itu sudah menyiapkan meja perjamuan dengan hidangan yang serba lezat, Giok-liong betul-betul sudah kelaparan, ditunggui oleh ibunya yang sudah sekian lama berpisah dan selalu dikenangnya ini, maka dengan lahap ia gegares sekenyangnya lalu katanya.   "Bu orang berpakaian jubah mas..."   "Anak Liong, Keluarkan kotak mas yang kau peroleh dari mata air rawa naga beracun "   Tersipu-sipu dengan ke dua tangannya Giok-liong persembahkan kotak yang diminta, kepada ibunya.   Tak nyana setelah menyambuti kotak mas itu, ibunya lantas mengalirkan air mata dengan sedih, sambil menggigit bibir seluruh badannya gemetar, sedunya semakin keras dan merawan hati.   Giok-liong menjadi bingung dan heran, tanyanya.   "Bu, kau..."   "Pergilah kau tidur, sekarang ibumu belum bisa menceritakan asal usul kotak mas ini kepadamu. Cuma yang terang bahwa kotak mas ini bukan berisi buku catatan ilmu silat yang maha sakti atau benda pusaka lainnya."   "o, bu bukankah dulu kau pernah berkata..."   "nak, dulu ibu ngapusi kau. Tapi kotak ini bagi ibumu boleh dikata lebih penting dan berharga dari segala buku silat, sekarang agaknya Tuhan memang maha pengasih, terhitung kotak ini tidak terjatuh ke tangan orang lain, kalau tidak,"   "Kalau tidak bagaimana bu ?"   "Kalau tidak, bukan saja ibumu malu dan tak bisa dilihat orang, nak kau... kaujuga sulit menjadi manusia di dunia ini"   Sampai kata kata terakhir suaranya sudah tertelan oleh sengguk tangisnya. Giok-liong ikut terharu dan meneteskan air mata, tapi ia berkata.   "Bu? sebetulnya..."   "Pendek kata akan datang suatu hari kau bakal tahu duduk perkaranya."   "Besok ?"   "Tidak " "Lalu kapan ?"   "Pertemuan besar di Gak-yang pada hari raya Goan-tiau nanti."   "Bu, kau..."   "Anak Liong, untuk sementara kau menetap disini dan melewatkan tahun baru, ibu sudah kangen betul, hampirhampir gila aku memikirkan kau. sekarang kau sudah bisa berdiri sendiri dan terpandang dikalangan Kangouw, penderitaan yang ibu kecap akhirnya berhasil juga. tidurlah, ibu juga sudah lelah."   Melihat rasa duka dan murung ibunya, Giok-liong tidak berani banyak bertanya lagi, terpaksa ia mengiakan terus masuk tidur kekamar samping yang sudah disiapkan sebelumnya.   semalam suntuk ia gundah gulana, dan gelimpangan diatas pembaringan tak bisa tidur, sungguh perasaannya bergairah dan bergejolak, Bergairah karena sekarang ia telah bertemu kembaIi dengan ibunya seperti dalam impiannya selalu, Bergejolak karena kwatir dan was-was melihat sikap ibunya serta rahasia yang terpendam pada kotak mas itu, sekejappun ia tidak pejamkan mata sampai hari terang tanah.   Diluar dugaannya sekejappun ibunya tidak menyinggung lagi persoalan kotak mas itu, setiap kali Giok-liong menanyakan kotak mas itu, atau perihal seluk beluk Hutan kematian ini ibunya selalu menggunakan alasan dan kata-kata lain untuk menguarkan pokok pembicaraan mereka.   Kalau terdesak terpaksa ia menghibur supaya Giok-liong bersabar dan tak perlu banyak tanya semua persoalan bakal dapat dibikin terang pada pertemuan besar di Gak yang-lau nanti.   sang waktu memang berlalu dengan cepat, hari ke hari selama ini Giok-liong keluar dalam suasana yang penuh gembira bersanding didampingi ibunya, namun selalu dilingkupi rasa tidak tentram dan was-was pula.   Sudah menjadi tradisi selama ribuan tahun setiap hari raya atau tahun baru dimana-mana menjadi ramai dan dalam suasana yang bergembira ria, suara petasan dan gembreng serta tambur bertalu bersahutan, Tahu-tahu tahun baru sudah berlalu tak terasa.   Tanggal lima pada bulan pertama, Giok-liong bersama ibunya sudah bersiap-siap lengkap.   terus meninggalkan hutan kematian langsung menuju ke Gak- yang.   Waktu sampai di Gak-yang, hari sudah magrib, lampu sudah dipasang dimana-mana, tepat pada hari itu memang tiba tanggal lima belas, atau hari Goan-siau dan yang lebih terkenal dinamakan Cap-go-meh, rumah-rumah dikota Gakyang ini memasang lampu lampion yang beraneka ragam bentuk dan warnanya, orang berlalu lalang hilir mudik sangat ramainya.   Giok liong bersama ibunya berpesiar jalan-jalan menonton keramaian sambil menghabiskan waktu, setelah rumah-rumah pada tutup dan waktu sudah menunjukkan tengah malam, orang yang hilir mudik juga sudah jarang pelan-pelan Giokliong dan ibunya beranjak menuju ke Gak-yang lau.   Dengan ilmu ringan tubuh mereka berdua yang tinggi, langsung melesat menuju keatas loteng Gak yang- lau.   Diambang jendela empat orang tua bertubuh tinggi tegap dan kekar berdiri dengan angkernya.   Begitu melihat keempat orang ini Giok-liong menjadi heran dan berseru menyapa.   "Pak-hay su lo selamat bertemu Kalian..."   Begitu melihat Giok-liong serta ibunya sudah datang, serempak Pak hay sulo membungkuk tubuh menjura dalam serunya dengan nada menghormati "Hu-jin, siau-hiap, Hamba beramai berjaga dan menunggu menurut perintah."   Belum lagi Giok liong sempat bersuara, terlihat ibunya mengulapkan tangan seperti mereka sudah menjadi kenalan kental saja, katanya.   "Kalian bersaudara banyak baik,"   "Banyak terima kasih pada Hujin, memang sudah menjadi tugas kita."   King thian-sin Lo say lalu berkata.   "Para pendekar sudah tiba, mereka menunggu di dalam."   Belum lagi suara King thian-sin Lo say hilang, sekonyongkonyong terdengar denting suara keliningan yang nyaring merdu, disusul sebuah bayangan putih berkelebat melesat keluar dari dalam loteng, terdengar sebuah suara nyaring merdu berkata.   "Ji- moa y, baru datang Jauh-jauh aku berhasil menyeretnya dari laut utara, silakan kau jatuhkan hukuman padanya."   Terdetak jantung Giok-liong, baru sekarang ia tahu bahwa ibunya ternyata adalah salah satu dari Bu lim su bi yang menggetarkan kalangan kangouw itu, malah menduduki nomer dua, beliau bukan lain adalah Toh hun- siancu ( dewi penyabut sukma ) Ko Eng.   Tampak perasaan Toh hun siancu Ko-Eng sangat haru, air mata mengalir deras bagai hujan, suaranya sember dan serak, teriaknya.   "Toaci"   Terus menubruk kedalam pelukan Kim-ling-cu dan tergerung- gerung dengan sedihnya. Pelan-pelan Kim-ling-cu menepuk pundaknya, katanya dengan suara lembut.   "Ji-moay, penasaran beberapa tahun ini sudah kau resapi dengan penuh derita, sekarang anakmu sudah dewasa lagi. malah menjunjung nama dan menegakkan wibawa di kalangan kangouw, Rasa duka yang sudah kelelap dan ditimbali dengan hal-hal yang menyenangkan ini seharusnya tak perlu dipikirkan lagi, sekarang kau harus bergembira, kenapa main tangis segala seperti anak kecil saja. Mari kita masuk." - dengan bergandeng tangan mereka melejit tinggi terus meluncur dengan gaya ji-yan-kui-jau (burung seriti pulang sarang) menerobes jendela masuk kedalam loteng, sungguh indah dan menakjupkan sekali gerak gerik mereka. Giok liong juga tak berani ayal, gesit dan tangkas sekali iapun melayang masuk. Didalam loteng tampak Teji Pang Giok, Pat-ci-kay-ong dan seorang HweSio tua beralis putih bermuka welas asih, mungkin beliau adalah Hoat-ceng salah satu dari Ih-lwe-sucun itu, mereka duduk berjajar disebelah kiri,sedang disebelah kanan duduk Ih-hun-san-ceng Cengcu Toan-bok Ih-hun, siphiat- ling Toanbok Ki, Bingcu dari aliran hitam yang membawa cucunya, yaitu Kiang liong- li Toan bok swie-giok, dan seorang lagi adalah Bu-ing-tocu dari Lam hay. Yang menarik perhatian Giok-liong adalah bahwa Hwi hun chiu Coh Jian kun dan Tam kiong sian li Hoan Ji hoa dari Hwi hun san cheng ternyata juga hadir dan duduk anteng disebelah sana. sedang yang duduk ditengah adalah seorang laki-laki pertengahan umur yang bermuka merah seperti muka Koan Kong itu tokoh kenamaan pada jaman sam Kong, matanya jeli berkilat ditaungi alis lentik lempang keatas bersikap angker dan garang, jenggotnya memutih melambai didepan dada, dengan mengenakan jubah panjang ia duduk mementang kedua kakinya seperti pembesar atau raja saja layaknya, membuat orang menaruh hormat dan segan. saat mana Kim-ling-cu sudah berjalan kepinggir orang ini, katanya keras.   "Kau masih duduk saja, kenapa sikapmu begitu serius."   Giok-liong tidak tahu siapakah gerangan orang ini.   Tapi melihat gurunya jaga hadir, bergegas ia maju kehadapan Teji Pang Giok terus berlutut memberi hormat setelah itu ia mengisar dan hendak memberi hormat pula kepada Pat-cikay- ong.   Pat ci-kay-ong yang suka guyon-guyon itu menggoyang tangan membuat muka setan dengan suaranya yang serak dan tenggelam tenggorokan ia berkata mencegah.   "Buyung Bangun Kau sungguh harus berlutut, semua orang yang hadir disini harus kau sembah lebih baik batal saja"   Giok-liong menyahut dengan sungguh2.   "Tata kehormatan sudah menjadi kelaziman mana boleh batal apa segala."   Kata Pat-ci kayong sambil menunjuk laki-laki muka merah itu.   "orang lain boleh batal, hanya beliau saja, kau harus lebih banyak menyembah padanya."   Teji Pang Giok juga ikut bicara dengan sikap serius, ujarnya.   "Anak Liong. pergilah kau tengok ayahmu."   Berdebur jantung Giok-Liong bergetar seluruh badan seperti disambar geledeki darah lantas bergolak dalam rongga dadanya "Eh, main ayal lagi. Hayo lekas beri hormat dan berlutut kepada ayahmu "   Demikian desak Pat-ci-kay-ong melucu.   Giok liong terlongong bingung kurang percaya, matanya mendelong mengawasi laki-laki muka merah berbentuk persegi itu, pelan-pelan kakinya beranjak mendekati baru saja ia hendak membuka mulut menyapa dan berlutut memberi hormat ....   "Nanti dulu, anak Liong,"   Terdengar Toh-huo-siancu Ko Eng mengertaki ringan sekali, ia melayang datang, terus menyekal pergelangan Giok-liong, air mata mengalir semakin deras dan tersekat-sekat, katanya sendu.   "sabar anak Liong. Aku belum tentu punya suami dan kau belum pasti punya ayah..."   Suaranya menjadi putus dan lenyap dalam tenggorokannya karena tangisnya yang merawan hati. Terpaksa Kim-ling cu tampil kedepan, katanya.   "Ji-moay, penasaran selama lima belas tahun kini sudah harus dibikin terang, kau harus bergirang, buat apa..."   Tapi Toh-hun siancu Ke Eng tidak kena bujuk, sambil membesut air mata, ia tuding laki-laki muka merah itu, hardiknya .   "Ma Hun, lima belas tahun yang lalu sepak terjangmu betuf-betul keterlaluan dan tidak mengenal cinta kasih. Coba pikirkan, kau minggat diam-diam membawa anak Hou meninggalkan aku bersama anak Liong, ini sih dapat kuterima dengan tulus hati kenapa pula kau menyebar kabar bohong dan memfitnah dengan segala peristiwa kotor untuk menista aku bersama suheng, katanya aku ada hubungan cinta dan main asmara dengan Kim-i-hiat-hong Hoan Bu-sang. Malah kau merangkai cerita dan ditulis dalam se   Jilid buku serta kau pendam didasar mata air di dasar Rawa naga beracun, Tujuanmu hendak merusak dan membusuk kan nama baikku untuk selama-lamanya, kau terlalu menghina kesucianku dan merendahkan harga diriku...."   Ternyata laki-laki muka merah seperti Kean Keng itu tak lain dan tak bukan adalah majikan Ping-goan dilaut utara yaitu Hwi-thian-khek Ma Hun.   Dicerca panjang lebar begitu, muka merah Hwi-thian-hun semakin merah padam seperti warna darah, wajahnya menunjuk rasa menyesal dan segan, mulutnya bergerak tapi urung bicara.   "Ehi orang she Ma,"   Terdengar Kim-ling-cu mendesak lagi.   "Kenapa kau tidak bicara."   Hwi-thian-khek Ma Hun tergagap. katanya terbata-bata.   "Toamoay, apa... yang... harus.... kukatakan..."   Kim-ling-cu bersungut gusar, semprotnya.   "Apa penderitaan adikku selama lima belas tahun harus siasia belaka. Mana tanggung jawabmu "   "Ini..."   "Ini itu apa ?"   "Urusan ini, baru sekarang aku paham seluruhnya "   Sembari mengertak gigi Toh Hun siancu membanting kaki, jengeknya dengan rasa gusar yang meluap.   "Kau paham? Tapi kita ibu beranak selama lima belas tahun...."   Ia tak kuasa melanjutkan kata-katanya saking sedih dan penasaran, mukanya pucat badan gemetar bibirnya sampai biru. Hwi-thian-khek Ma Hun melonjak bangun dari tempat duduknya, katanya lantang.   "selama lima belas tahun ini kau menderita masakan aku hidup senang ? Ketahuilah aku menggantikan kau mengasuh anak Hou sejak bayi menjadi besar apakah perasaanku pernah tentram. Bukan begitu saja, Giok- hou bocah itu karena kehilangan kasih sayang ibunda, sifatnya menjadi liar dan suka sewenang- wenang, siapakah yang harus disalahkan."   Kata-katanya diucapkan dengan penuh perasaan dan haru, mengandung rasa kesal dan penasaran juga . sudah tentu Kim ling-cu berbicara dipihak adiknya, segera ia menyela dengan tak kalah kerasnya.   "Kesalahan terbesar adalah karena kau tinggal minggat jauh mengasingkan diri di Ping-goan di laut utara dan melarang adikku menginjak daerah Pak hay, kenapa kau salahkan lain orang."   "Tang."   Sinar mas melayang terus jatuh kelantai dengan mengeluarkan suara nyaring, kontan kotak mas itu menjeplak terbuka, lembaran sampul surat segera tercecer diatas lantai.   saking marah dan tak tahan lagi Toh-hun-siancu membanting kotak mas itu diatas lantai, dengan muka dingin membeku ia mendesis.   "Coba kau periksa, bukti surat menyurat itu semua berada disini, asal boleh membuka rahasia ini kepada seluruh sahabat dari dunia persilatan, coba biar diperiksa apakah benar ada hubungan asmara apa segala, kenapa waktu dulu kau tidak periksa dengan teliti"   Merah jengah sampai ke kuping Hwi-thian-khek Ma Hun, katanya coba membela diri.   "Hari itu waktu aku temukan surat-surat itu, ingin rasanya... masa ada muka dan tahan sabar aku periksa suratsurat itu. Baru sesudah Hoan Bu-seng sesuai dengan nama julukannya, mendirikan masing-masing Hiat-hong-pang dan Kim-ipang, baru aku tahu duduk perkara sebenarnya, bahwa surat menyurut kalian adalah saling memperdalam semacam ilmu simpanan dari perguruan kalian, tapi dalam keadaan semacam itu... kenapa sebelumnya kau tidak tuan memberi tahu dulu kepadaku?"   "Pui."   Semprot Toh-hun-siancu Ko Eng, jengeknya sembari tertawa dingin .   "Hehehe-hehehe Ma Hun sungguh memalukan kau mengagulkan diri sebagai pendekar agung yang dijunjung tinggi d idunia persilatan. coba kutanya, suatu pelajaran rahasia ilmu silat dari suatu perguruan kalau belum sempurna dan selesai dilatih, seumpama ayah dan anak saja tak boleh dibocorkan apakah aku harus membocorkan pelajaran perguruanku kepada- mu?"   "Tapi, kita kan suami isteri."   "Suami isteri lalu bagaimana? sehubungan sebagai suami isteri lantas boleh melanggar sumpah dan mendurhakai perguruan? Lantas tak perduli akan segala larangan danpantangan kaum persilatan? "   Setelah berkata, tiba-tiba Toh hun-siancu Ke Eng merobah sikapnya yang sedih, dengan kemarahan yang tak terkendali lagi, katanya lantang sembari memutar tubuh menghadapi seluruh hadirin.   "Aku Ke Eng sudah memalukan dan membikin buruk nama perguruan, puluhan tahun ini makanya aku masih tetap hidup semua ini karena anak Liong masih belum dewasa, kebenaran dan kesucianku masih belum kubikin bersih, aku sudah cukup puas, untuk menyelesaikan urusan ini sampai membikin susah dan capai para tuan-tuan, sungguh aku merasa kurang enak dan tentram, hanya dengan kematianlah rasanya baru aku bisa membalas kebaikan kalian,"   Habis kata-katanya kedua lengannya lantas dikembangkan terus terayun menggaplok kearah balok kepalanya sendiri...   "Haya Jimoay"   "Ibu..."   "Jangan Ko Eng "   "Sabar Sumoay"   Bayangan orang bergerak serabutan menubruk maju sembari berteriak kejut, Sebat sekali Kim-ling-cu menubruk maju memegang tangan kanannya, sedang Giok-liong juga tidak ketinggalan memegang tangan kiri.   Tengah semua orang ribut-ribut, tampak sesosok bayangan kuning mas meluncur masuk kedalam ruangan loteng ini.   Tahu-tahu Kim-i hiat-hong Hoan Bu-seng sudah berdiri diambang jendela dengan muka merah padam dan gusar sekali.   Pandangannya menyapu selidik ke lantai yang penuh bertebaran sampul-sampul surat itu, bagai kilat lalu ia pandang seluruh hadirin satu persatu, terakhir pandangannya jatuh pada muka Hwi-thian khek Ma Hun, hidungnya mengeluarkan dengusan berat, jengeknya.   "Ma Hun "   Sepasang biji mata Hwi-thian khek melotot besar seperti kelereng hendak meloncat keluar, suaranya berat.   "   Hoan Bu-seng Kau mau apa?"   Pelan-pelan Kim-i hiat-hong Hoan Bu-seng berpaling ke arah Sumoaynya yang ber-sedu sedan, alisnya semakin bertaut dalam, rasa gusar membayang pada pandangan matanya, serunya.   Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ma Hun, sia-sia kau sebagai pendekar besar yang katanya budiman dan diagungkan, Karena kau bersikap romantis dan bekerja secara membawa adatmu sendiri hampir saja kau mengorbankan jiwa Sumoayku ini, dan yang terpenting adalah kau telah menunda dan mengganggu kesempurnaan tamatnya pelajaran rahasia silat perguruan kita", Maka atas nama Hutan kematian kudirikan pula Hiat hongpang dan Kim i pang, besar sekali ambisiku untuk menelan dan menumpas habis seluruh dunia persilatan untuk melampiaskan dendam dan penasaran-ku ini."   Hwi thian- khek Ma Hun menyeringai ejek, katanya.   "Belum tentu kau mampu."   Kim-i pang Hoan Bu seng tertawa dingin, ujarnya.   "   Untung aku menugaskan Hiat- hong-pang untuk menjemput pulang Sumoay dan karena bujukannya lah yang menyadarkan aku dari kesesatan demi terjadinya suatu gelombang pembunuhan betar-beaaran diBulim, kalau tidak jangan harap pihak Pak-hay kalian yang biasanya sangat mengagulkan sebagai benteng baja dan dinding besi juga...Hm, huh ."   Dengan langkah ringan ia melangkah maju membungkuk diri menjemput sampul-sampul surat yang berserakan itu, tanpa perdulikan hadirin lainnya ia berkata kepada Toh-hunsiancu Ko Eng.   "sumoay sejak hari ini Hutan kematian mengundurkan diri dari Bulim, markas besar itu biar kutinggalkan untuk kau buat istirahat."   "suheng, kau..."   "Aku akan mencari suatu tempat tersembunyi seorang diri aku akan meyakinkan pelajaran rahasia itu sampai sukses, selamat bertemu."   Dengan langkah lebar ia menuju ke jendela, entah dengan gerakan apa tahu-tahu bayangan kuning berkelebat melesat keluar dan menghilang.   Toh-hun-siancu Ko Eng semakin keras tangisnya, ia memburu maju dan menarik tangan Giok-Liong, katanya dengan sesenggukan.   "Anak Liong ibu malu tetap hidup di dunia."   Lalu iapun berkelebat meluncur ka arah jendela.   "Jimoay "   "Bu."   Dua bayangan putih gesit sekali berkelebat menghadang di ambang jendela.   "Jici (kakak kedua), Maaf aku datang terlambat."   Lenyap suaranya dari jendela lainnya meluncur masuk dua sosok bayangan langsing warna hijau.   Kiranya Bu-lim-su-bi nomer tiga yaitu Bik-lian-hoa sudah datang menggandeng Coh sia.   Melihat ayah bundanya juga hadir di situ, selincah burung gereja Coh Ki-sia lantas memburu ke arah sana dan menubruk ke pelukan ibunya.   Selintas pandang ke seluruh hadirin mendadak Bik-lian-hoa tertawa terloroh-loroh, entah apa gerangan yang membuatnya geli sampai tertawa terpingkel-pingkel.   "sammoay"   Bentak Kim-ling-cu.   "apa kau sudah gila ya ?"   Dengan jarinya Bik-Lian-hoa menuding seluruh hadirin serta katanya melucu.   "Masa aku gila, justru kalian yang goblok ini yang sudah menjadi gila."   Pat-ci-kay ong yang suka guyon-guyon itu lantai menimbrung bicara.   "Ya, memang pemain ronggeng seperti kau ini paling pintar bermain sandiwara, coba katakan alasanmu,"   Sebentar Bik-lian-hoa bersungut, lalu katanya .   "Coba kalian lihat hari ini adalah Cap-go-meh hari besar dan bahagia,Jici dan Ma Thay-hiap rujuk kembali, ditambah kesalah pahaman Giok-liong dengan coh Ki-sia juga sudah dibikin terang, malapetaka ancaman Bulim sudah dapat ditumpas, dengan suasana yang menggirangkan ini sebaliknya kalian mengerutkan kening mewek-mewek kesusahan, apakah tidak menyebalkan kenapa justru mengatakan aku yang gila."   Semua orang menjadi geli dan tertawa lebar, dengan riang mereka bertepuk tangan.   Di luar jendela terdengar lambaian keras yang ramai, terus kelihatan bayangan orang bergantian menerobos masuk kiranya itulah Tan soat-kiau, Ling soat-yan, siangkwan Hong-cu dan Lan i-long kun Hoa sip i telah datang, para muda mudi ini berseri girang terus memburu maju memberi selamat.   "Kiong-hi Kiong-hi.. Selamat akan pertemuan kembali Ma siauhiap dengan ayan bunda, suami istri rujuk kembali "   Ling soat-yan mengeluarkan batu Giok bentuk jantung hati warna merah itu menghampiri Coh Ki-sia, lantas dikalungkan di lehernya, katanya menggoda.   "   Coh- moay- moay, setelah mengenakan kalung ini selanjutnya aku harus merobah panggilanku bukan..."   Tangga loteng berderap keras, tampak Hiat-ing-cu muncul, suaranya keras berkata.   "Anak Yan, masa cukup dengan basa-basi saji tanpa memberi kado?"   Di belakang Hiat ing-cu tampak Li Pek-yang juga telah sampai, katanya lantang.   "Untuk menyampaikan rasa terima kasihku kepada Ma siauhiap yang telah merawat dan melindungi putriku sengaja kusiapkan beberapa meja perjamuan, marilah kita lekas rayakan malam Cap go-meh ini, harap tuan-tuan suka hadir dan silakan."   Benar juga beberapa puluh laki-laki kekar tampak memikul beberapa macam gantang yang berisi berbagai macam masakan serba lezat dan enak.   Maka suasana tegang penuh kesedihan tadi, kini sudah tersapu bersih, Gak-yang-lau sekarang tenggelam dalam suasana riang gembira dengan gelak tawa yang riuh rendahi disana terdengar nyanyian merdu terlihat demontrasi permainan pedang dan acara lain-lain yang serba menggembirakan.   Sang putri malam memancarkan cahaya cemerlang menembus jendela menerangi ruang loteng yang penuh sesak dengan berbagai tokoh kenamaan dalam suasana genap.   T A M A T       Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini