Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 14


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 14


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Sungguh besar nyali orang ini, di atas gedung Panglima besar masih berani berdiri main terang-terangan, seolah-olah sangat ceroboh dan takabur."   Setelah berhenti sekian lamanya, orang itu berputar-putar lagi di atas genteng.   Cepat Thian-hi mengkeret mepet tambok.   Seperti tiada orang lain saja orang itu berkelebat melompat turun ditaman bunga, ternyata berdiri anteng tak bergerak lagi.   Sejenak kemudian terdengar ia menghela napas panjang, naik ke atas genteng hendak tinggal pergi.   Thian-hi masih ingat akan peringatan Ka-yap Cuncia ia tidak berani mengejar, baru saja ia hendak tinggal masuk kembali ke kamarnya, dari dalam rumah samping sana terdengar seseorang berkata.   "Hai, kenapa tinggal pergi!"   Jelas terdengar oleh Thian-hi bahwa itulah suara Ma Bong-hwi. Kejap lain tampak Ma Bong-hwi melompat naik ke atas genteng sambil menenteng pedang, pakaiannya ringkas, katanya kepada orang itu.   "Kau sengaja kemari hendak bertemu mengapa mau pergi?"   Orang itu pandang Ma Bong-hwi seraya bertanya.   "Apakah aku berhadapan dengan Ma- ciangkun?"   "Benar-benar! Siapa kau? Ada urusan apa malam2 kemari?"   Demikian tanya Ma Bong-hwi.   "Aku yang rendah Hou Cong-ceng!"   Sahut orang itu.   "Entah apakah Ciangkun masih ingat?"   "0, kiranya kau!"   Sahut Ma-ciangkun.   "Ma-ciangkun bertindak terlalu jujur dan tegas dalam segala urusan, sehingga menimbulkan sirik orang. Ada orang mengutus aku kemari untuk membunuh Ciangkun, untuk selanjutnya harap Ciangkun suka hati-hati, aku harus segera pulang."   Diam-diam Thian-hi mengeluh kiranya orang memang sengaja hendak mengunjukkan jejak sendiri, namun sedemikian jauh dirinya tidak dapat mengetahui.   "Nanti dulu!"   Terdengar Ma Bong-hwi menahan.   "Coba kau beri keterangan lebih jelas!"   Hou Cong-ceng rada sangsi, akhirnya berkata.   "Maaf, aku tak bisa banyak bicara, dulu Ciangkun pernah tanam budi terhadap aku, maka aku tidak peduli keselamatan sendiri memberi kisikan kepada Ciangkun, bila diketahui orang lain, tentu jiwaku terancam bahaya, sekarang juga aku harus mengundurkan diri."   Habis berkata terus berlari pergi.   Ma Bong-hwi terlongong di atas genteng, sekian lama ia tidak bergerak, agaknya otaknya sedang diperas untuk memikirkan persoalan rumit ini, rada lama kemudian baru ia turun ke dalam taman dan berjalan masuk ke dalam rumah.   Baru saja Thian-hi hendak kembali ke kamarnya, sekilas dilihatnya di para2 bunga sebelah kiri sana mendekam sebuah bayangan orang, bercepat hatinya, tadi Hou Cong-ceng bilang bahwa dia menyerempet bahaya kemari memberi kisikan, dan takut diketahui orang lain.   Ternyata sejak tadi orang ini sudah mencuri dengar disitu, dengan seksama Thian-hi perhalikan orang itu, tampak pelan-pelan ia menggeremet keluar dari rumpun bunga Seruni hendak melarikan diri.   Segera Thian-hi paham duduk perkara sebenar-benarnya.   Insaf ia kalau orang ini sampai dapat lolos dengan selamat, pasti jiwa Hou Cong-ceng terancann bahaya, entah siapa yang mengutus dia menyelundup kemari.   Thian-hi ingin bertindak, tapi tidak leluasa untuk mengunjukkan diri, akhirnya ia meremas pecah genteng menjadi sebuah batu kecil, dengan kedua jarinya menyelentik ringan mengarah belakang kepafa orang itu.   Kontan terdengar orang itu berteriak kesakitan.   Cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya, terdengar suara Ma Bong-hwi berteriak.   "Siapa!"   Lalu disusul dengusannya lagi.   "Lari kemana kau?"   Terdengar senjata berdentang beradu, beberapa jurus kemudian terdengar pula orang itu menjerit.   Tahu Thiau-hi bahwa orang itu sudah kena dibunuh oleh Ma Bong-hwi, dengan lega iapun berbaring untuk istirahat.   Hari kedua air muka Ma Bong-hwi tampak kecut, begitu melihat Thian-hi.   Siau-hou lantas mengoceh, katanya.   "Guru! Semalann rumah kita kebobolan pencuri, apa kau tahu?"   Thian-hi menggeleng pura-pura terperanjat, serunya.   "Apa benar-benar?"   Siau-hou, manggut-manggut dengan sungguh, katanya.   "Kau tak tahu, orang itu adalah seorang anak buah ayah sendiri, tapi sudah dibunuh oleh ayah. Jikalau aku belum tidur, wah pasti hebat tontonan ini."   Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya.   "Kau masih kecil, jangan turut campur urusan orang tua, lebih baik kau pelajari isi buku yang sangat bermanfaat ini!"   Dengan lucu Siau-hou pandang Thian-hi, sambil tertawa cengar-cengir, lalu goyang2 kepala, seolah-olah ada banyak urusan jauh ia lebih tahu, dari Thian-hi, seumpama dituturkan belum tentu Thian-hi paham.   Sudah tentu Thian-hi makfum akan maksud Siau-hou, namun iapun tak banyak bicara lagi, seperti biasa ia ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku.   Malam itu Hun Thian-hi mengulangi latihan Wi-thian-cit-ciat-sek, sedemikian jauh dapatlah diselami perbedaan dari ketujuh jurus permainan pedang, dengan pejamkan mata ia menepekur berusaha memecahkan inti rahasianya, setiap gerak perubahan ketujuh jurus ilmu pedang ini satu sama lain berbeda dan berlainan arah dan sasaran, tenaga yang dilontarkan pun juga berlainan, dengan tangannya ia bergerak-gerak menirukan dalam gambar, namun terasa kurang leluasa, lantas terpikir olehnya untuk mencoba dan mempraktekkan latihan ini dengan pedang sungguhan.   Selain Badik buntung Thian-hi tidak membekal senjata tajam apapun, kecuali menggunakan serulingnya, namun di tempat sempit begini mana mungkin, bila sampai konangan orang lain dan dlketahui dirinya bisa main silat tentu berabe dan terbukalah kedoknya.   Tapi intisari dan kehebatan dari ilmu pedang ini harus dipraktekkan atau harus latihan menggunakan pedang, baru bisa diselami.   Akhirnya ia bangkit menyimpan Kiamboh Wi-thian-cit- ciat-sek, lalu berjalan keluar ketaman, ia tahu di tempat sepi paling ujung belakang sana ada sebuah gunungan palsu, sebidang tanah datar di belakang gunung palsu inilah yang paling sepi dan tidak pernah diinjak kaki manusia.   Secara diam-diam Thian-hi menuju kesana, setelah celingukan kesekitarnya dan jelas tak ada orang lain, hatinya rada lega dan gembira, namun hatinya.   masih merasa kuatir, segera ia berjalan memutar memeriksa keadaan sekitarnya baru kembali lagi ke belakang gunungan palsu itu.   Pelan- pelan ditanggalkan serulingnya, segera ia pasang kuda-kuda dan mulai bergaja, namun terasa seruling di tangannya ini kurang cocok dipakai sebagai gaman pedang.   Ia mengerut kening, batinnya.   "Kenapa aku harus takut dan beragu menggunakan alat senjata, atau akan batal berlatih Wi-thian-cit-ciat-sek saja! Kejap lain ia sudah menghimpun tenaga dan pusatkan semangat, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul, tubuhnya berputar setengah lingkaran ditengah udara, dimana tangan kanannya bergerak jurus pertama dari Wi-thian-cit-ciat-sek mulai dikembangkan, waktu serulingnya menutuk keluar, segulung hawa tenaga semi merah kontan memberondong keluar dari batang seruling itu melesat ke depan, namun hanya sekejap mata saja lantas sirna. Sebetulnya Thian-hi bermaksud melanjutkan gerak susulannya, namun tenaganya sudah tak kuasa lagi menyambung, terpaksa ia meluncur turun ke tanah, duduk di atas gunungan palsu, ia berpikir dan menyelaminya dengan seksama. Tak lama kemudian ia mempraktekkan sekali lagi, begitulah secara tak mengenal lelah ia ulangi terus permainan jurus pertama ini sampai akhirnya ia paham sendiri dan dapat diapalkan diluar kepala., hatinya rada gembira, untuk gerak yang terakhir ia sudah berhasil mengendalikan tenaga kekuatan jurus pedang itu sesuka hatinya. Tatkala itu hari sudah mulai terang, terpaksa Hun Thian-hi menghentikan latihannya. Meski semalaman tidak tidur dan berlatih dengan capek lelah lagi, dasar latihan Pan-yok-hian-kangnya sudah kuat, pernah menelan buah ajaib lagi, maka Lwekangnya boleh dikata sudah sangat tinggi jarang tandingan, biasanya cukup cuma semadi beberapa waktu saja sudah cukup, dan tidak perlu tidur lagi. Setelah mendongak melihat cuaca, dengan memejamkan mata ia mengingat kembali permainan jurus pertama ini, untuk selanjutnya ia melatih Thian-liong-cit-sek, tak lupa ia berlatih juga Gin-ho-sam-sek yang diajarkan oleh Soat-san-su-gou itu. Gin-ho-sam-sek sekarang boleh dikata sudah mendarah daging, bisa dilancarkan sesuka hatinya secara mudah. Begitu pula Thian- liong-cit-sek lebih apal lagi. Setelah langit semakin terang cepat-cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya untuk istirahat. Keesokan harinya setelah pulang dari piket tampak air muka Ma Bong-hwi sangat murung, Hun Thian-hi menjadi curiga, namun tidak leluasa menanyakan karena persoalan pribadinya, apalagi dirinya berusaha menyembunyikan keadaan sebenar-benarnya, mana boleh banyak turut campur urus perkara orang lain. Dalam hati ia hanya menerka2 bahwa mungkin Ma Bong-hwi menghadapi urusan yang tidak menyenangkan hati. Pikir punya pikir, akhirnya Thian-hi berkeputusan untuk tinggal diam berpeluk tangan saja. Malamnya setelah duduk samadi berlatih Pan-yok-hian-kang, menjadi kebiasaan untuk hari2 selanjutnya ia mulai tenggelam dalam memikirkan pemecahan rahasia inti jurus-jurus Wi-thjan-cit- ciat-sek. Semalam suntuk ia bersusah payah tanpa hasil m mahami jurus kedua. Setelah makan pagi, seperti biasa Siau-hou datang belajar, namun kali ini tidak membawa Seruling besinya. Begitu masuk Siau-hou lantas berkata.   "Pak guruku! ayahku panggil kau, ada urusan hendak dibicarakan dengan kau!"   Hun Thian-hi rada melengak, selama ini Ma Bong-hwi belum pernah ajak dirinya bicara, sekarang diluar dugaan memanggil aku, entah ada urusan apa, menguntungkan atau merugikan dirinya. Ia berpikir sebentar lalu berkata kepada Siau-hou.   "Siau-hou! Apa kau tahu untuk urusan apa?"   Siau-hou menggeleng, katanya.   "Aku tidak tahu.". Tapi segera ia merendahkan suara dan menambahi dengan sungguh-sungguh.   "Tapi aku tahu, tentu soal yang sangat penting."   Sangsi dan lebih curiga lagi Hun Thian-hi, sebetulnya untuk urusan penting apakah.   Selamanya Ma Bong-hwi anggap dirinya sebagai penolong jiwa dirinya diluar dugaan hari ini dia sudi mencari dirinya, sungguh sulit diduga dan diraba juntrungnya.   Akhirnya ia manggut-manggut.   "Baiklah. segera aku datang!"   Siau-hou segera berlari pergi.   Setelah dipikir2 ia tidak bisa ambil kesimpulan positip, terpaksa ia beranjak keluar.   Begitu tiba di ruang belakang, kelihatan Ma Bong-hwi sudah menanti disana, begitu melihat Hun Thian-hi masuk segera ia bangkit berdiri seraya berkata tertawa.   "Losu! Apa kau baik?"   "Selamat pagi, Ma-ciangkun!"   Segera Thian-hi menyapa dan memberi hormat.   "Ma-ciangkun hari ini tidak keluar, entah untuk urusan apakah Ma-ciangkun mengundang aku?" ~Lahirnya ia berlaku tenang, tapi batinnya kebat-kebit, entah mengapa Ma Bong-hwi hari ini berlaku sangat sungkan dan ramah terhadap dirinya. Ma Bong-hwi tertawa kikuk serta berkata lembut.   "Sudah tiga bulan Losu berada disini, selamanya Siau-hou sangat nakal tak mau dengar nasehat, berkat didikan Losu sekarang dia mau mendengar katamu. Sebagai seorang tua selamanya tidak pernah aku mengurusnya, terhadap Losu juga terlalu bebas tanpa sungkan-sungkan lagi."   "Ah, ucapan Ma-ciangkun membuat aku menjadi risi, Ma-ciangkun adalah tuan penolongku, apalagi berkat Ma-ciangkun sudi menerima aku berteduh disini, sehingga aku tak terlantar, Hun Thian-hi sangat berterima kasih tak terhingga."   Sekilas matanya melirik, ternyata ruang besar ini menjadi begitu sunyi karena tiada orang lain, jelas para pelayan sudah diperintahkan mengundurkan diri semua, hal ini lebih mempertebal kecurigaan Thian-hi.   "Ternyata Losu suka berkelakar."   Demikian ujar Ma Bong-hwi tertawa.   "Akulah yang terlalu ceroboh, adik kandungku justru menyalahkan kelalaianku ini, selalu mengagulkan diri sebagai tuan penolongmu, sebetulnya. ai!"   Melonjak jantung Thian-hi, adik kandungnya (perempuan), bukankah berarti bibi Siau-hou.   kalau begitu tentang dirinya bisa main silat sudah dapat diketahui olehnya? Terpikir sampai disini tanpa merasa keringat dingin telah membasahi sekujur badannya.   Thian-hi menjadi tergagap tak bisa bicara, terang dia tak bisa menyangkal dan tidak bakal mengakui, kalau menyangkal bahwa dirinya bisa main silat, ucapan Ma Bong-hwi tadi tidak atau belum secara langsung ditujukan kepada dirinya, jelas malah akan memperlihatkan kedoknya sendiri, tapi kalau ia tidak bersuara berarti membenar-benarkan.   Akhirnya Thian-hi buka suara dengan menyengir.   "Ma-ciang-kun, aku tidak paham apa yang kau maksudkan."   "Adikku pernah berkata, tidak seharusnya aku bersikap terlalu dingin terhadap kau. Apakah Losu sesalkan perbuatanku ini?"   "Ucapan Ma-ciangkun terlalu berat untuk kuterima, sikap Ma-ciangkun sangat baik terhadapku. Hun Thian-hi merasa sangat berhutang budi dan entah kapan dapat membalas kebaikan ini."   Ma Bong-hwi berkata.   "Aku tengah dihadapi sebuah perkara yang sangat menyulitkan kedudukanku, adikku bilang supaya aku minta bantuan kepada Sian-seng, katanya kecuali Sianseng tiada orang lain yang bisa membereskan. Aku harap Siangseng suka bantu kepada kesukaranku ini."   Berubah air muka Thian-hi, katanya.   "Tenagaku pasti sangat terbatas, aku kuatir akan mengecewakan harapan Ciangkun belaka." diam-diam ia mengeluh dalam hati, entah cara bagaimana ia harus mengambil sikap, kalau tahu bakal terjadi kejadian hari ini, lebih baik siang- siang aku tinggal pergi saja, soalnya ia terlalu kemaruk akan keselamatan diri sendiri sehing-ga sekarang sulit membebaskan diri dari pertanggungan jawab ini.   "Selamanya adikku tidak bicara sembarangan, dia beritahu kepada aku bahwa Siangseng adalah seorang kosen yang menyembunyikan diri. Bila aku punya kesukaran selalu dialah yang bantu aku membereskan kesulitanku, setiap ucapannya selalu tepat tak pernah salah."   "Ma-ciangkun terlalu memuji, Hun Thian-hi mana terhitung seorang tckoh aneh apa segala, ini betul-betul suatu hal yang menggelikan belaka"   "Malam tempo hari bukankah Siangseng juga telah menanam budi kepada aku, jika tiada mendapat bantuan Sianseng tentu mata2 yang menyelundup itu tak bisa diringkus dan dibereskan."   Mendengar lebih lanjut Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, mulutnya terkancing rapat tak kuasa bicara lagi.   Ternyata siang-siang jejaknya sudah dapat dilihat oleh orang, perbuatannya tempo hari menurut anggapannya sudah sangat tersembunyi, tak konangan juga.   Kalau begitu perihal dirinya bisa main silat jelas sudah diketahui oleh mereka, entahlah waktu aku latihan ilmu pedang apakah juga sudah diintip oleh mereka.   Thian-hi menjadi serba salah, tak tahu bagaimana ia harus bertindak, akhirnya ia berkata dengan hambar.   "Ma-ciangkun! Apa katamu? Aku tidak mengerti!"   Dengan kecewa Ma Bong-hwi pandang dia, akhirnya menghela napas rawan, ujarnya.   "Apakah Sianseng betul-betul tidak sudi membantu?"   Lambat laun Hun Thian-hi tertunduk, hatinya menjadi gundah, sepihak ia pernah mendapat pertolongan orang, sebagai seorang gagah apakah ia mandah saja melihat kesulitan orang, sungguh malu rasanya bila dirinya berpeluk tangan melihat orang ketimpa malang.   Terdengar Ma Bong-hwi berkata lagi.   "Adikku menyangka bila aku mau mohon bantuan, tentu Sian-seng suka membantu. Kukira dugaannya sekali ini meleset."   Tersentak sanubari Thian-hi. Katanya.   "Bila aku dapat, sekuat tenagaku aku suka membantu."   Setelah memberi jawaban ini baru ia sadar, kenapa tadi aku selalu menghindari, sebetulnya Ma Bong-hwi mengalami kesukaran apa aku toh belum menanyakan jelas, bila sudah jelas duduk perkaranya, kan lebih gampang untuk menolaknya.   "Apa betul!"   Ma Bong-hwi berteriak kegirangan. Thian-hi manggut-manggut, tanyanya.   "Mengenai soal apakah, harap Ma-ciangkun suka jelaskan."   "Asal Siangseng suka membantu tanggung urusan ini bisa dibikin terang."   Demikian kata Ma Bong-hwi berseri tawa. Kedengarannya Ma Bong-hwi sudah anggap bahwa Thian-hi pasti mau membantu, keruan Thian-hi rada gugup, cepat ia menambahi.   "Ma-ciangkun, tenagaku seorang sangat terbatas."   Baru sampai disini ucapannya, mendadak terdengar suara "tring"   Yang nyaring dari kamar sebelah, itulah suara petikan sinar harpa yang nyaring merdu, begitu mendengar suara petikan harpa ini seketika berubah air muka Thian-hi.   Diam-diam Thian-hi mengeluh dalam hati, bibi Siau-hou itu pasti hendak menggunakan Tay- seng-ci-lau (lagu sempurna abadi) untuk mendesak dirinya mengunjukan ilmu silatnya.   Baru saja terkilas pikirannya ini, petikan gelombang suara harpa kedua sudah kedengaran lagi, kali ini lebih kuat, tajam dan melengking menusuk telinga, kontan melonjak hati Thian-hi.   Thian-hi tengah mencari akal cara bagaimana baru dia bisa tidak mengunjukkan kepandaian silatnya, sebuah pikiran berkelebat secepat kilat dalam benaknya, hanya satu cara saja, meskipun hasil cara ini sangat minim terpaksa harus dicoba dulu.   Segera ia menanggalkan serulingnya terus ditempelkan dibibirnya, dengan pejamkan mata ia mulai meniup serulingnya, tujuannya berusaha membendung gema suara harpa.   Tapi Tay-seng-ci- lau merupakan buah karja seorang ahli yang sangat lihay, setiap petikan suara harpa mengetuk sanubarinya seperti dadanya dipukul godam.   Apalagi dengan cara dari dalam keluar, bukan dari luar ke dalam yang rada mudah ditangkis.   Lambat laun Thian-hi kepayahan akhirnya tak kuasa meniup serulingnya lagi, bila dia tidak membekal ilmu sakti macam Pan-yok-hian-kang, mungkin sejak tadi jantung di hatinya sudah hancur lebur.   Dengan putus asa Thian-hi pandang Ma Bong-hwi, kelihatan orang berdiri seenaknya sambil menggendong tangan, seperti menikmati musik yang mengasjikkan.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kongsun Hong guru Thian-hi pernah menuturkan, bahwa Tay-seng-ci-lau punya keanehan yang mujijad, dapat dilancarkan sesuka orang yang melagukan, tanpa dapat mengganggu atau memcelakai orang lain, namun kekuatannya sungguh luar biasa dan sulit dibayangkan.   Tak kuat mendengar irama petikan harpa, terpaksa Thian-hi kerahkan Pan-yok-hian-kang untuk melindungi jantungnya, segera ia duduk bersila dan samadi, seketika terasa irama harpa itu kena terusir dari dalam badannya, pikirannya yang kalut dan gundah tadi pun lantas tersapu bersih.   Agaknya irama harpa juga tidak mau mengalah, beruntun ia merubah nada dan berganti lagu, mulailah lagu Sempurna abadi dikembangkan lebih lengkap.   Tapi setelah Thian-hi berhasil samadi menggunakan Pan-yok-hian-kang, bukan saja tidak kena diganggu usik, malah dengan cermat ia bisa meng-ingat2 irama lagu Tay-seng-ci-lau yang hebat ini.   Sambil mengingat lagu, diam-diam hatinya merasa heran, orang yang memetik harpa ini kelihatan tidak bisa ilmu silat, alangkah lucu dan anehnya, begitu pintar orang dapat mengetahui segala seluk beluknya, namun sedikit pun ia tidak bisa main silat, ini benar-benar aneh bin ajaib.   Atau mungkin dia sengaja mengalah atau hendak memberi muka kepadanya? Atau sengaja ia hendak menyembunyikan kepandaian silatnya? Tay-seng-ci-lau merupakan lagu tiada taranya yang dapat mencabut jiwa hanya dalam lintasan petikan senar harpa saja, tapi orang ini tidak pandai silat, kejadian ini betapapun sangat mengejutkan.   Tiba-tiba irama harpa berhenti.   Thian-hi juga lantas menyedot hawa sejuk, Ma Bong-hwi segera maju menghampiri serta berkata.   "Ternyata Sianseng benar-benar seorang tokoh aneh, aku biasa mengagulkan diri sebagai orang kosen, tapi sungguh diluar dugaan Sianseng adalah lebih kosen lagi. Begitu lama menyembunyikan diri di rumah kita tanpa diketahui."   Dengan murung Thian-hi bangkit berdiri, secara tak sengaja ia sudah melanggar pantangan Ka- yap Cuncia.   Jikalau.   bilamana berita beradanya ia disini sampai tersiar ke Tionggoan, mungkin sebuah tragedi yang menimbulkan banjir darah bakal terjadi.   Bab 15 Melihat sikap murung Thian-hi Ma Bong-hwi menjadi heran.   Dari kamar sebelah berjalan keluar seorang gadis, waktu Thian-hi angkat kepala seketika ia berdiri kesima, gadis ini begitu canck rupawan lagi, seumpama dibanddng dengan Ham Gwat juga tidak kalah ayunya.   Kalau mimik wajah Ham Gwat selalu kaku dingin tanpa expresi sebaliknya gadis di depannya ini bermuka merah jengah laksana buah Tho yang sedang masak.   Melihat Thian-hi memandang kesima pada dirinya, tersipu-sipu ia menunduk malu.   Mendadak Thian-hi sadar akan sikapnya.   yang kurang hormat, cepat-cepat ia menundukkan kepala.   Ma Bong-hwi bergelak tawa, ganti berganti ia pandang mereka berdua, katanya.   "Inilah adikku Ma Gwat-sian!"   Gwat-sian berarti dewi bulan. Dengan tertawa malu-malu Ma Gwat-sian bersuara.   "Laguku tadi tentu mengotori pendengaran Sianseng belaka."   "Petikan harpa Ma-siocia mungkin tiada bandingannya dikolong langit ini,"   Demikian puji Thian- hi.   "Sebagai orang biasa, dapat mendengar irama dewa sungguh bahagia selama hidup ini."   Ma Gwat-sian tersenyum lebar. Thian-hi menghela napas, katanya.   "Kita hanya bertiga disini, selanjutnya akupun tidak perlu menyembunyikan diri lagi. tapi aku sudah berjanji kepada orang supaya orang lain tidak tahu bahwa aku pandai main silat. Harap kalian suka merahasiakan."   "Soal yang kuhadapi ini betapapun harus Sianseng bantu membereskan,"   Demikian mohon Ma Bong-hwi sekali lagi.   "Mengandal iimu silat Sianseng, tanggung segampang membalikkan tangan saja. Sudah tentu kita tidak akan membuka rahasia Sianseng pandai main silat. Persoalan itu sendiri pun juga tetap dapat dirahasiakan."   Ma Gwat-sian pandang Thian-hi dengan rasa menyesal dan minta maaf, Thian-hi maklum dan manggut-manggut. Ma Bong-hwi menjadi kegirangan, segera ia menceritakan sebuah peristiwa besar yang sangat mengejutkan. Kata Ma Bong-hwi.   "Belakangan ini gudang istana sering kebobolan. setiap kehilangan benda pusaka, tentu terlebih dulu mendapat pemberitahuan, namun siapakah pencurinya selama ini sulit dapat meringkusnya. Tan-siangkok memberi lapor kepada sang Baginda bahwa aku dapat membongkar perkara pencurian ini. Tapi kemaren telah hilang pula sebuah pusaka, kali ini yang dicuri adalah cap kerajaan."   "Oo,"   Thian-hi mengiakan lalu bertanya.   "Biasanya bagaimana hubungan Ma-ciangkun dengan Tan-siangkok? Entah bagaimana pula karakternya?"   "Bicara terus terang,"   Ujar Ma Bong-hui sembari menghela napas.   "kesanku terlalu jelek kepadanya, dia terlalu mengumbar putra dan para centengnya. dia sangat benci kepadaku katanya aku terlalu suka banyak urusan, mencampuri sepak terjang keluarganya."   Hun Thian-hi merenung sesaat kemudian lalu bertanya lagi.   "Bagaimana karakter Tan- siangkok?"   Ma Bong-hui pandang Thian-hi dengan perasaan heran, mengapa dia tidak mengetahui, setelah beragu akhirnya ia berkata.   "Umumnya masyarakat berkesan terlalu buruk terhadap dia. Dia memegang tampuk pimpinan dan kekuasaan negara, kecuali Ing-ciang-kun Thian-seng dan aku, seluruh kerabat diistana raja boleh dikata hampir seluruhnya menjadi penyanjungnya."   "Toako,"   Tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela.   "Apa kau melupakan Toh-ciatsu?"   "Benar, benar,"   Ujar Ma Bong-hwi tersenyum.   "Kenapa aku melupakan dia, Toh-ciat-su justru menjadi lawan Tan-siangkok yang sembabat, setiap kali Tan-siangkok menjalani kesalahan pasti dialah pertama kali yang tampil ke depan mencercahnya."   Thian-hi manggut-manggut, samar-samar ia dapat meraba bahwa urusan ini tentu punya sangkut paut dengan Tan-siangkok, kenapa pula Tan-siangkok menunjuk kepada Ma Bong-hwi? Segera ia bertanya.   "Siapakah sebetulnya yang berkuasa digudang istana?"   "Seluruh istana dalam kekuasaan komandan Gi-lim-kun. yang menjabat komandan Gi-lim-kun adalah adik kandung Ing-ciangkun, sekarang sudah dipecat dari jabatannya, sebagai gantinya akulah yang diangkat sebagai komandan Gi-lim-kun sementara."   "Menurut maksud Toakoku hendak mohon kau suka menjabat sebagai wakil komandan Gi-lim- kun membantu dia menyelidiki peristiwa ini."   Demikian Ma Gwat-sian menimbrung. Berubah air muka Thian-hi, katanya.   "Masa aku mampu. kukuatir."   "Kau boleh gunakan nama palsu,"   Sela Ma Gwat-sian tersenyum penuh arti.   "Apalagi dandananmu sekarang sebagai pelajar kutu buku, bila berganti mengenakan pakaian seragam, tanggung takkan ada seorang pun yang mengenal kau lagi."   Hun Thian-hi hendak menolak, segera Ma Gwat-sian maju dua langkah, dengan suara lirih dan kalem ia berbisik di pinggir telinga Thian-hi.   "Kau baru datang dari Tionggoan, ya bukan?"   Waktu Ma Gwat-sian maju mendekat, kontan Thian-hi mencium bau harum semerbak, namun serta mendengar bisikannya, suara yang lirih itu bagi pendengarannya bagai suara guntur menggelegar dipinggir telinganya, keruan kagetnya bukan kepalang.   Kontan Thian-hi merasa kepalanya seperti dikemplang dengan godam, pandangannya gelap dan pusing, secara reflek mulutnya bertanya.   "Apa?"   "Siaumoay!"   Seru Ma Bong-hwi sambil mengerut kening.   "Apa yang kau katakan?"   Ma Gwat-sian mundur selangkah seraya menjawab.   "Tidak apa-apa."   Otak Hun Thian-hi masih terasa butek, sungguh ia heran cara bagaimana Ma Gwat-sian dapat mengetahui rahasianya, kelihatannya dia tidak bisa main silat, soalnya dirinya pernah menelan buah ajaib serta melatih ilmu sakti macam Pan-yok-sin-kang sehingga tanpa disadari telah membongkar kepandaian sendiri sebagai ahli Lwekang yang tangguh, apakah ilmu silat Ma Gwat- sian jauh lebih tinggi dari kemampuan sendiri serta telah mencapai puncak kesempurnaannya sehingga dapat menyembunyikan kepandaiannya itu? Karena terkaannya ini serta merta ia awasi Ma Gwat-sian, dengan seksama ia pandang dan amati muka dan badan orang dengan cermat.   Melihat sikap Thian-hi ini.   sudah tentu Ma Gwat-sian menjadi malu jengah dan lekas-lekas menunduk.   Dengan bergelak tawa keras Ma Bong-hwi menepuk pundak Hun Thian-hi.   Keruan Thian-hi tersentak kaget, kontan ia sadar akan kelakuannya yang kurang pantas, cepat ia tenangkan hati serta jantungnya yang berdebur keras.   Dalam sekilas itu, ia gagal dalam selidikannya.   "Lote,"   Ujar Ma Bong-hwi.   "Betapa pun kau harus membantu aku mengatasi persoalan ini."   "Ma-ciangkun!"   Seru Thian-hi sambil menyengir.   "Selanjutnya harap kau tidak panggil aku Ma-ciangkun lagi,"   Demikian pinta Ma Bong-hwi.   "Bila kau suka pandang mukaku, silakan kau panggil Ma-toako saja kepada aku."   "Ah. rasanya kurang enak, bukankah kau adalah."   "Kalau begitu kau pandang rendah pribadiku?"   Kaata Ma Bong-hwi mengerut kening. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi berkata.   "Matoako, apaan ucapanmu ini, mana bisa jadi?"   Ma Bong-hwi tertawa girang. Sementara itu Ma Gwat-sian angkat kepala serta berkata.   "Kalau begitu untuk selanjutnya aku pun harus panggil kau Hun-toako. Apa boleh?"   "Kenapa tidak boleh? Aku merasa beruntuhg malah."   Ma Gwat-sian Tertawa lebar, katanya.   "Kata-kataku tadi tiada seorang lainpun yang tahu, legakan saja hatimu!"   Hun Thian-hi tidak enak untuk menjawab.   Seolah-olah Ma Gwat-sian tidak memberi kesempatan pada Thiani-hi untuk membual, namun entah bagaimana ia bisa tahu.   Namun urusan sudah sedemikian lanjut, terpaksa mengikuti perkembangan selanjutnya.   Kata Ma Bong-hwi.   "Untuk mengejar kembali cap kerajaan itu, terpaksa harus minta bantuan kau Lote!"   Apa boleh buat Thian-hi hanya menyengir saja, urusan sudah demikian lanjut, terpaksa harus terjun dalam persoalan rumit ini. Kalau hanya urusan pencurian ini melulu, kiranya aku dapat mengatasi. Demikian pikirnya.   "Pencuri itu teiah meninggalkan sepucuk surat, katanya hari ini dia hendak mengambil Ce-kim- cu (mutiara merah mas), asal Lote mau tampilkan diri, tentu pencuri itu dapat dibekuk."   Demikian Ma Bong-hwi memberi keterangan. Hun Thian-hi tertawa pahit, katanya.   "Kalau begitu, terpaksa aku membantu sekuat tenagaku."   Setelah makan malam, Thian-hi mengenakan seperangkat pakaian dinas kemiliteran, dalam kamarnya ia menanti kedatangan Ma Bong-hwi, terasa olehnya gerak-geriknya menjadi kurang bebas dan badan sangat gerah, maklum pakaian perang jaman itu terbuat dari bahan tebal yang tidak mempan senjata, saking kepanasan Thian-hi melangkah keluar ke taman bunga.   Waktu sampai di rumpun bunga, tampak olehnya Ma Gwat-sian sedang berdiri disana, sesaat ia menjadi melengak.   dalam hali ia membatin; selamanya Ma Gwat-sian jarang keluar kamar dan belum pernah selama ini melihat dia jalan-jalan di taman bunga, entah kenapa hari ini toh berada disini. Waktu Thian-hi mendekat Ma Gwat-sian berpaling sembari tertawa manis, katanya.   "Aku tahu kau pasti akan kemari, sejak tadi sudah kutunggu kau disini!"   Diam-diam Thian-hi sangsi dan curiga, entah ada omongan apa yang hendak disampaikan Ma Gwat-sian kepadanya, tidak bicara di dalam rumah sebaliknya menunggu di kebon, setelah melengak ia baru bertanya.   "Adakah urusan luar biasa yang perlu dirundingkan?"   "Banyak perkataan yang tidak bisa kuucapkan di hadapan engkohku, umpama kukatakan dia pun takkan mau percaya. Terus terang aku merasa curiga kepada Ing-ciangkun!"   Hun Thian-hi merasa diluar dugaan, mulutnya mengiakan, lalu katanya dengan pandangan kejut dan heran.   "Menurut dugaanmu."   Ma Gwat-sian geleng-geleng kepala sambil tertawa, katanya.   "Pencurian ini bukan perbuatan Ing-ciangkun. Dia bertempat tinggal di Thian-seng, biasanya ia sangat benci dan mencercah Tan- siangkok lebih hebat dari engkohku, untuk urusan rumit ini secara logis seharusnya dialah yang diserahi tugas untuk membongkar perkara besar ini! Tapi diluar dugaan justru engkohkulah yang dia tunjuk."   "Jadi menurut anggapanmu bahwa Ing-ciangkun hakikatnya adalah sekomplotan dengan Tan- siangkok?"   "Belum pasti, tapi ada kemungkinan. Menurut anggapanku Tan-siangkok sangat ambisius, sedemikian jauh dia sedang berusaha hendak menjodohkan tuan putri dengan putra kesayangannya, tujuannya supaya kelak dapat mewarisi kedudukan sang raja. Jikalau usahanya ini gagal, aku kuatir dia bakal mata gelap dan melakukan perbuatan terkutuk, jikalau hanya kehilangan satu dua barang berharga rasanya tidak perlu kau sendiri mesti ikut tampil ke depan."   "Sebetulnya kepandaian silatku juga cuma cakar kucing melulu, tak perlu diagulkan."   "Mengenal ilmu silat, aku bukan bidangnya, tapi bagi seseorang yang mampu bertahan dari Tay-seng-ci-lau, ilmu silatnya tentu sudah mencapai tingkatan yang cukup sempurna. Meskipun aku tidak mengerti ilmu silat, tapi semua ini aku mendapat tahu dari cerita guruku."   Diam-diam heran hati Thian-hi, orang macam apakah guru Ma Gwat-sian itu, tak perlu disangsikan lagi pasti seorang tokoh kosen yang lihay. Tengah ia terpekur, terdengarlah derap langkah kaki berat tengah mendatangi. Cepat Ma Gwat- sian berkata.   "Itulah engkohku datang, selamat jumpa nanti!"   Habis berkata ia terus menyelinap diantara rumpun bunga dan menghilang. Dengan termenung Thian-hi terpekur, sementara itu Ma Bong-hwi sudah mendatangi, segera Thian-hi membalik tubuh, kelihatan Ma Bong-hwi tercengang, katanya tertawa.   "Hampir saja aku tidak mengenalmu lagi, dandananmu ini sungguh cukup ganteng dan perwira, tampan sekali sebagai panglima muda!"   Hun Thian-hi mandah tertawa saja tanpa membuka suara.   "Mari sekarang juga kita masuk ke istana!"   Demikian ajak Ma Bong-hwi.   Thian-hi manggut-manggut, dengan langkah lebar mereka taerderap keluar dari gedung panglima besar.   Diluar pintu sudah siap dua ekor kuda, cepat mereka naik kuda terus dicongklang pelan-pelan menuju ke pintu selatan, setelah berada di luar pintu selepas pandang ke depan nan jauh sana, kira-kira lima li jauhnya tampak sebentuk kota besar pula, bentuk kota di depan itu lebih besar, lebih megah, diantara kedua belah pintu gerbangnya yang menjulang tinggi adalah sejalur jalan batu mengkilap yang lebar dan bersih, Thian-hi berpikir pasti itulah Thian-seng adanya.   Letak Thian-seng membelakangi pegunungan yang menghijau dan diselubungi mega nan mengembang, pemandangannya sungguh menakjupkan.   Kata Ma Bong-hwi kepada Thian-hi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Adikku itu sangat mengagulkan kau, selamanya belum pernah ia merasa kagum dan memuji seseorang."   Hun Thian-hi tersenyum simpul, katanya.   "Sebetulnya tiada suatu keistimewaan atas diriku, kalau dia betul-betul memuji aku, sungguh lebih disesalkan."   "Setiap ucapannya selamanya tidak pernah meleset, sejak kecil ia diangkat murid oleh seorang tokoh aneh yang menyembunyikan diri. Berturut-turut aku mengalami berbagai kesukaran semua adalah dia yang bantu aku mengatasi dan membereskannya! Siapakah gurunya tiada seorangpun yang tahu kecuali dia sendiri."   Tengah mengobrol tanpa terasa mereka sudah tiba di Thian-seng, mereka langsung keprak kuda mencongklang ke dalam kota.   Belum jauh mereka berjalan dari depan sana mendatangi seorang panglima pertengahan umur yang memimpin serombongan orang berkuda, masih rada jauh lantas Ma Bong-hwi memberitahu kepada Thian-hi.   "Pendatang ini adalah Ing Si-kiat Ing- ciangkun."   Setelah dekat dengan berseri tawa Ing Si-kiat maju menyapa.   "Ma-ciangkun baru datang, dosa adikku itu, melulu mengandal tenaga Ma-ciangkun untuk menolongnya!"   "Ah, Ing-ciangkun terlalu sungkan,"   Ujar Ma Bong-hwi. Betapapun masih mohon bantuan Ing- ciangkun juga.!"   Ing Si-kiat tertawa-tawa, katanya.   "Aku akan memberi perintah kepada mereka supaya menutup pintu empat gerbang rapat2. tiada seorang pun diperbolehkan keluar masuk!" Lalu ia berpaling memandang Hun Thian-hi serta katanya.   "Yang ini adalah."   "Benar-benar, aku masih belum memperkenalkan kalian. Inilah adik angkatku! Dia bernama."   Sampai disini ia merandek sebentar lalu meneruskan "Tio Kun-Kah ini aku hanya bawa dia untuk berdinas, dia kuangkat sebagai wakilku."   Bergegas Hun Thian-hi menjura serta menyapa.   "Ing-ciangkun! Selamat bertemu!"   Sekilas Ing-ciangkun melirik ke arah Hun Thian-hi; seolah-olah ia tidak pandang orang sebelah matanya, katanya tertawa.   "Selama ini aku masih belum tahu bahwa Ma-ciangkun ternyata punya seorang adik angkat, Saudara Tio Kun masih muda belia serta gagah lagi, kelak tentu punya harapan besar yang tak terukur!"   Dengan tertawa-tawa Hun Thian-hi menjura serta merendahkan diri dan main sungkan, diam- diam ia perhatikan wajah serta tingkah laku Ing Si-kiat. Terasa olehnya bahwa sikap Ing Si-kiat kelihatan merasa curiga terhadap dirinya.   "Tak heran Ing-ciangkun tidak mengetahui,"   Demikian jawab Ma Bong-hwi memberi keterangan.   "baru hari ini aku angkat saudara dengan dia, adik angkatku ini jauh lebih kuat dan pintar dari aku, untuk mengatasi peristiwa ini aku sangat mengandalkan tenaganya."   Sekali lagi Ing Si-kiat perhatian Hun Thian-hi. lalu berkata.   "Kalau begitu urusan adikku itu juga mohon bantuan pada. Tio-huciangkun untuk membantu."   Cepat Hun Thian-hi menyahut.   "Ing-ciangkun menggoda saja. saudaraku ini memang suka omong, sebenar-benarnya kemampuanku mana dapat membantu, selanjutnya masih harap Ing- ciangkun suka memberi petunjuk."   "Kalian masih punya urusan penting, aku Ing Si-kiat minta diri dulu, semoga kalian sukses dalam tugas."   Berbareng Thian-hi berdua angkat tangan memberi hormat terus melanjutkan menuju ke istana raja.   Tak lama kemudian mereka sudah tiba dibelakang.   setelah turun dari atas kuda, waktu Thian-hi angkat kepala, tampak istana raja ini sedemikian tinggi megah dan mewah sekali, hanya undakan batu pualamnya saja begitu lebar dan panjang tak kurang dari delapan puluh tingkat, sambil berjajar dan menyoreng pedang Thian-hi berdua beranjak ke atas.   Gerbang istana terjaga ketat oleh pasukan Gi-lim-kun, begitu melihat kedatangan Ma Bong-hwi berdua, bergegas mereka maju memberi hormat, menunjuk Thian-hi Ma Bong-hwi berkata pada mereka.   "Inilah Tio-ciangkun, selanjutnya kalian juga harus dengar petunjuknya!"   Serempak para Gi-Lim-kun itu mengiakan sambil menjura, selanjutnya mereka maju lebih jauh ke dalam istana, setiap pelosok istana terjaga ketat, beberapa grup pasukan berlalu lalang meronda, bersama Thian-hi Ma Bong-hwi mengadakan pemeriksaan dan meronda keberbagai pelosok lalu kembali ke tempat semula.   Ce-kim-cu yang diincar pencuri itu terporotkan di atas belandar besar beberapa meter dari bawah, dibawahnya terjaga kuat oleh pasukan Gi-lim-kun.   Begitulah Thian-hi berdua ikut berjaga dengan waspada sambil mengobrol sekadarnya menunggu waktu.   hingga tanpa terasa tahu-tahu sudah tengah malam keadaan tetap sunyi hening tiada kejadian apa-apa.   Kira-kira dua jam kemudian, keadaan masih tenang dan aman tentram, Ce-kim-cu jelas masih terpancang, disana dengan memancarkan sinarnya yang cemerlang kelap kelip.   Tatkala itu cuaca sudah hampir terang tanah, Ma Bong-hwi mendengus hidung; segera ia melolos pedang dan bersiap waspada.   Para pasukan Gi-lim-kun juga segera mempersiapkan diri masing-masing, sementara, pasukan panah pun sudah memancang anak panah di atas busur tinggal menunggu perintah.   Sementara Hun Thian-hi juga merasa was-was dan kebat kebit, dengan penjagaan begitu ketat bagaimanapun si pencuri itu takkan dapat membawa lari Ce-kim-cu.   Sebentar lagi ufuk timur sudah mulai bersemu kuning, keadaan masih tetap tenang dan aman.   Sekelilingnya hening senyap, mereka tinggal menugggu saat gelap berganti terang tanah saja.   Sekonyong-konyong seorang anggota Gi-lim-kun tergopoh2 lari keluar dari dalam istana terus maju kehadapan Ma Bong-hwi serta melapor.   "Lapor Ma-ciangkun! Sang Baginda minta Ciangkun segera menghadap!"   Ma Bong-hwi pandang kanan kirinya, lalu bertanya pada anggota Gi-lim-kun itu.   "Baginda ada bilang apa tidak?"   "Tidak!"   Sahut orang itu sambil membungkuk. Timbul rasa curiga Ma Bong-hwi. namun disini masih ada Hun Thian-hi dan tak perlu kuatir segera ia masukkan pedang ke dalam kerangkanya serta berseru.   "Baik, segera aku menghadap!" Lalu dengan langkah lebar ia beranjak masuk. Namun baru dua tiga langkah Ma Bong-hwi berjalan orang itu berkata pula.   "Baginda juga minta Tio-ciangkun menghadap bersama."   Semakin tebal curiga Ma Bong-hwi segera ia membalik serta berseru.   "Tio-ciangkun, junjungan belum tahu akan dia!"   Mendadak ia menggeram serta menghardik.   "Siapa kau?"   Cepat orang itu menjura, serta berkata.   "Tadi baru saja sang Baginda bangun, mendengar bahwa Ce-kim-cu tidak hilang lantas menanyakan Ciangkun, tahu bahwa Ciangkun bersama Tio- ciangkun menjaga bersama, beliau perintahkan hamba kemari mengundang Ciangkun berdua!"   Ma Bong-hwi menjengek, hatinya dirundung kecurigaan, saat ini hari belum lagi terang tanah, pencuri itu masih punya cukup waktu untuk bekerja, bagaimana mungkin dirinya tinggal pergi.   Tapi benar-benar atau palsu sulit diketahui, mana bisa memberi keputusah begitu cepat, dengan seksama ia awasi orang itu lalu bertanya.   "Siapa namamu?"   Badan orang itu kelihatan bergetar namun segera menjawab lantang.   "Hamba Li Gun!"   Ma Bong-hwi mendehem, lalu berkata kepada Thian-hi.   "Lebih baik kau tetap tinggal disini, biar aku masuk dulu!" Selesai berkata dengan langkak lebar ia menuju keistana. Melihat keputusan Ma Bong-hwi yang tegas itu, Li Gun menjadi gugup, dengan mendelong ia awasi punggung Ma Bong-hwi yang hampir menghilang disebelah dalam. segera ia berdiri dan membalik tubuh serta melolos pedang, tiba ia berteriak kejut.   "Hai, dimana Ce-kim-cu?"   Semua hadirin menjadi berjingkrak kaget, serentak mereka angkat kepala memandang ke atas belandar, Hun Thian-hi sendiri juga angkat kepala, hatinya rada bercekat, batinnya.   "Jika dalam sekejap ini Ce-kim-cu benar-benar hilang, memang harus diakui bahwa kepandaian pencuri itu entah betapa tingginya?"   Waktu ia angkat kepala benar-benar juga Ce-kim-cu sudah hilang tanpa juntrungan, keruan bukan kepalang kagetnya, dikolong langit ini mana mungkin ada tokoh kosen begitu lihay ilmu silatnya, ia percaya pada diri sendiri seumpama pencuri itu seorang tokoh lihay pun, kesiur angin lambaian bajunya tentu dapat ditangkap oleh ketajaman kupingnya, namun kenyataan Ce-kim-cu sudah lenyap dalam waktu sesingkat itu.   Para pasukan Gi-lim-kun menjadi gempar serempak mereka mengacungkan pedang dan mempersiapkan panah.   Hun Thian-hi segera berseru dengan suara kereng.   "Semua jangan ribut!"   Dengan tajam ia menyapu pandang kesekitarnya. hatinya dirundung curiga yang tebal, tanpa disadari timbullah perasaan congkak dan tinggi hati, sungguh ia merasa penasaran telah dipermaiankan begitu rupa, dengan keras ia membuka suara.   "Dimana Li Gun?"   Orang-orang sekelilingnya saling pandang dan celingkukan, tiada seorang pun yang menjawab. Semakin memuncak rasa gusar Thian-hi, serunya.   "Siapa diantara kalian yang kenal Li Gun?"   Dengan seksama ia sapu pandang setiap raut muka orang disekitarnya, tiada seorang pun yang memberi jawaban.   Keruan semakin gugup dan gelisah hati Thian-hi, baru sekarang dia betul-betul kebentur pada seorang tokoh kosen yang benar-benar lihay, baru saja ia bernat melompat naik untuk memeriksa, kelihatan Ma Bong-hwi sudah memburu keluar.   Begitu melihat keadaan yang kalut ini kontan ia merasa firasat yang jelek.   Sungguh menyesal dan malu lagi, cepat Thian-hi maju menjura serta berkata.   "Sungguh aku tidak becus, Ce-kim-cu telah hilang dalam sekejap ini. Li Gun pun melarikan diri disaat terjadi keributan."   Sesaat Ma Bong-hwi menjublek ditempatnya, akhirnya, ia menggoyangkan tangan sambil berkata.   "Tak dapat salahkan kau, seharusnya aku tahu bahwa Baginda tidak mungkin mengundang aku tapi aku terburu nafsu hendak membongkar permaian licik ini, sehingga tanpa sadar terjebak ke dalam tipu muslihatnya"   Sungguh pedih perasaan Thian-hi, katanya.   "Aku ingin memeriksa ke atas sana, akan kulihat cara bagaimana Ce-kim-cu itu telah lenyap!"   Ma Bong-hwi manggut-manggut, ujarnya.   "Kali ini Ce-kim-cu hilang secara misterius, bolehlah kau naik kesana memeriksanya!"   Thian-hi membungkuk tubuh sambil mundur dua langkah, ia berlaku hati-hati supaya tidak mempertunjukkan kepandaian aslinya, sedikit menekuk dengkul kakinya segera menjejak tanah terus merambat naik melalui tiang belandar yang besar itu.   Begitu tiba di atas belandar dengan seksama.   ia memeriksa kekanan kiri.   tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang aneh, selain itu tiada sesuatu yang dapat diketemukan sebagai sumber penyelidikan.   Dengan cermat ia periksa terus sekitar belandar besar yang dapat untuk bersembunyi manusia namun jejak atau telapak kaki orang pun tidak diketemukan.   Kecuali orang itu bisa terbang dan lari pergi, kalau tidak tentu dapat kepergok.   Disebuah sudut belandar sebelah sana ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan beberapa huruf yang menyolok, tulisan itu berbunyi.   "Besok malam, kuambil Giok-hud!"   Dengan ringan Thian-hi melompat turun? langsung ia angsurkan secarik kertas itu kepada Ma Bong-hwi. lalu berdiri menunduk tanpa buka suara. Setelah membaca tulisan itu, dengan menghela napas Ma Bong-hwi berkata.   "Ternyata ada orang berani menyelundup masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, sungguh besar nyali orang itu."   Selamanya Thian-hi belum pernah mendapat malu dihadapan umum, orang lain biasanya menyanjung puji dirinya, dengan berbagai daya upaya mohon dirinya membantu dan mengundang dirinya kemari ikut menanggulangi peristiwa pencurian misterius ini, tapi kenyataan barang yang dilindungi itu tetap hilang juga.   malah sebuah sumber penyelidikan macam Li Gun juga sampai berhasil lolos, betapa malu dirinya.   Seharusnya begitu Ce-kim-cu lenyap aku segera harus meringkus Li Gun, tapi orang itu toh berhasil merat juga.   Sekian lama mereka berdiri berhadapan tanpa bersuara, tak lama kemudian cuaca sudah terang benderang.   Ma Bong-hwi berkata.   "Thian-hi, kau bukan pembesar dinas secara resmi, boleh silakan kau menyingkir dulu ke kamar sebelah, bila Baginda mengundang kau baru kau menghadap."   Tak lama kemudian terdengar derap langkah ribut, disusul lonceng istana berdentang keras suaranya menggema diangkasa, seketika seluruh istana menjadi hening lelap.   Setelah para pembesar menghadap dan melakukan upacara kehormatan terdengarlah Ma Bong-hwi tampil ke depan dan memberi laporan.   "Hamba tidak becus bekerja. Ce-kim-cu telah hilang lagi, harap Baginda suka memberi hukuman setimpal!"   Kedengarannya sang raja sangat murka, dengan menggeram ia berseru.   "Apa pula yang diincarnya nanti malam? sia-sia belaka aku memberi makan kalian para pembesar tinggi, entah mengapa seorang maling kecil saja tidak becus menangkapnya."   Setelah berludah dengan sebal ia melanjutkan.   "Istana raja buat lalu lalang maling sesuka hatinya, barang berharga satu persatu telah dicurinya, apakah tiada seorang pun diantara kalian yang mampu berbakti kepada kerajaan?"   Sebuah suara serak dan bernada rendah segera menyahut.   "Harap junjungan tidak marah, urusan ini tidak bisa semua menyalahkan Ma-ciangkun, paling tidak Lojen (hamba) juga ikut bersalah."   Dalam hati Thian-hi membatin pembicara ini tentu Tan-siangkok adanya, bila dia mau menghasut atau mencelakai jiwa Ma Bong-hwi adalah sekarang kesempatan yang paling baik, entah apa sebetulnya maksud hatinya, ternyata dia tampil ke depan melindungi Ma Bong-hwi.   Dengan gusar sang raja mendengus, lalu katanya.   "Tan-siangkok, kaulah yang menjadi sandaran Ma Bong-hwi, sudah tentu kau pun bersalah."   Terdengar Ing Si-kiat juga ikut menimbrung.   "Harap Baginda suka mempertimbangkan kembali, Ma-ciangkun seorang cerdik pandai, hanya karena sedikit kecerobohannya sehingga Ce-kim-cu telah hilang, kalau malam ini orang itu berani datang lagi pasti dapat dibekuknya."   Sebuah suara tua dan rendah yang lain ikut bicara.   "Hamba juga berani menjadi sandaran Ma- ciangkun!"   "Toh-ciatsu, kau pun mau melindungi dia!"   Demikian tanya sang raja. Akhirnya Tan-siangkok bicara lagi.   "Lojen berani tanggung sekali lagi, Ma-ciangkun seorang pembesar yang mengetahui kepentingan tugasnya, aku percaya malam ini tidak bakal kehilangan barang lagi. Seumpama benar-benar hilang lagi, Lojen rela meletakkan jabatan, dan seluruh keluarga Ma-ciangkun boleh dipenggal kepalanya sebagai penebus dosa!"   Bercekat hati Thian-hi, diam-diam ia kertak gigi, batinnya.   "Tipu daya yang keji dan culas sekali. Kiranya kau mengatur tipu daya secara begitu licik, semula kusangka kau bertujuan baik ingin membantu meringankan bebas orang, kiranya bertujuan menumpas habis seluruh keluarga Ma-ciangkun."   Kedengarannya sang raja juga merasa diluar dugaan, katanya lantang.   "Apa? Begitu besar kepercayaan Tan-siangkok kepada Ma-ciangkun?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Menurut hemat Lojen, Ma-ciangkun pasti dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna."   "Baiklah, kegagalan hari ini tidak perlu kutarik panjang lagi."   Bersama para pembesar yang lain Ma Bong-hwi berlutut.   serta nyatakan terima kasih akan pengampunan lalu mengundurkan diri.   Dengan lesu dan putus semangat Ma Bong-hwi memasuki kamar dimana Hun Thian-hi tengah menunggu.   Thian-hi bangkit berdiri serta berkata penuh menyesal.   "Ma-ciangkun, akulah yang salah sehingga kau yang ketimpa akibatnya."   Ma Bong-hwi goyang2 tangan dengan lesu, sebelumnya ia sangat percaya akan kemampuan Hun Thian-hi, namun kenyataan Ce-kim-cu telah hilang, sumber penyelidikan yang utama pun sampai lolos, ini yang menjadikan kekecewaan hatinya.   Sungguh rawan dan pedih perasaan Thian-hi melihat sikap orang, betapa pun malam ini Giok- hud (patung Budha) tidak boleh hilang pula.   Demikian Thian-hi bertekad.   Kata Ma Bong-hwi.   "Hari ini kita tak usah pulang, nanti akan kuutus seorang memberi tahu rumah. Sementara menunggu waktu kau holeh jalan-jalan sambil memeriksa keadaan sekitarnya supaya apal akan situasi nanti malam, tapi jangan sekali2 kau menuju ke istana dalam."   Thian-hi manggut mengiakan, Ma Bong-hwi lantas tinggal pergi ke arah lain.   Duduk di atas kursi Thianhi merasa kesepian akhirnya ia bangkit dan jalan-jalan, pikirannya masih diliputi keheranan, sungguh tidak masuk diakal, cara bagaimana pencuri itu dapat bekerja begitu rapi dan cepat membawa kabur Ce-kim-cu tanpa diketahui, begitulah sambil berjalan otaknya terus bekerja, tanpa merasa kakinya melangkah ke dalam sebuah taman bunga.   Pada jaman ini orang yang dapat mengambil Ce-kim-cu dan tanpa diketahui olehnya jumlahnya dapat dihitung dengan jari, apakah mungkin pencuri itu seorang tokoh kosen aneh yang berkepandaian tiada taranya? Kalau benar-benar, masakah dia sudi melakukan perbuatan tercela begini.   Bagi seorang berkepandaian tinggi tak mungkin mau melakukan perbuatan bangsa kurcaci.   Begitulah pikirannya terus bergelombang tak tentram, mendadak kupingnya mendengar suara seruan kaget yang perlahan, Thian-hi berjingkrak kaget, waktu angkat kepala tampak Tuan putri tahu-tahu sudah berdiri tak jauh di depannya.   Keruan gugup dan gelisah hatinya, tahu dia tanpa disadari dirinya sudah melanggar larangan memasuki istana dalam, cepat ia membungkuk tubuh memberi hormat, serunya.   "Tuan putri! Kau baik, karena pikiran kalut hamba sampai melanggar larangan masuk kemari, harap tuan putri tidak marah."   Tuan putri mendengus katanya.   "Apakah kau wakil komandan Gi-lim-kun?"   Tersipu-sipu Thian-hi mengiakan sambil menjura.   "Kenapa kau berani memasuki daerah terlarang?"   Semprot tuan putri dengan merengut. Thian-hi menjadi tergagap.   "Baru kemaren hamba ikut Ma-ciangkun kemari, apalagi benakku sedang gundah memikirkan tugas yang berat ini, sehingga tanpa sadar masuk kemari!"   "Kemaren?"   Tanya tuan putri menegas sambil mengerut kening.   "Baru kemaren kau masuk istana?"   Thian-hi manggut-manggut.   "Tapi kulihat mukamu seperti sudah kukenal, seperti pernah kulihat kau dimana, apa kau tidak bohongi aku?"   Saat itu dua petugas ronda dalam lewat, begitu melihat Hun Thian-hi, mereka saling pandang terus maju menyembah kepada tuan putri.   "Harap tuan putri memberi ampun, karena kelalaian kami sehingga orang ini masuk kemari, biarlah kami yang mengusirnya keluar!- "Tidak perlu, akulah yang memanggilnya kemari waktu dia lewat disana, tiada urusan kamu disini, hayo pergi!"   Kedua peronda itu saling pandang, sahutnya.   "Tapi."   "Tapi apa lagi! Ajo lekas enyah jangan cerewet!"   Kedua peronda itu menjadi gemetar dan apa boleh buat terpaksa mereka mengundurkan diri. Tuan putri menepekur sekian saat, lalu berkata lagi.   "Sungguh sebal kenapa tidak bisa kuingat, eh, kenapa kau tunduk saja, coba angkat kepalamu supaya kulihat lebih tegas."   Thian-hi angkat kepala, tampak tuan putri mengenakan pakaian serba putih, yang dikenakan ini adalah pakaian kebesaran dalam istana, jauh berlainan dengan sikapnya tempo hari di atas kereta.   Dibelakangnya mengintil dua dayang, dengan pakaian yang panjang melambai ini tuan putri terasa lebih agung dan cantik, sehingga Thian-hi tak berani metmandang ke depan.   Setelah mengamati sekian lamanya, mendadak tuan putri bertepuk dan berseru tertawa.   "Benar-benar! Kini kuingat, bukankah kau tinggal digedung Ma-ciang-kun?"   Terperanjat hati Thian-hi, tak duga ingatan tuan putri ternyata begitu tajam, kejadian tempo hari sudah sekian lamanya, malah sekarang dirinya sudah ganti pakaian.   kiranya masih tak berhasil mengelabui sepasang biji matanya yang bening dan jeli itu.   Apa boleh buat Thian-hi menjura.   "Tempo hari hamba terlalu kurang hormat, sampai lupa nyatakan terima kasih akan pertolongan tuan putri."   Kelihatannya tuan putri sangat senang, katanya tertawa lebar.   "Sungguh hampir tak kukenal, tempo hari dandananmu sebagai pelajar kutu buku, sekarang sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, ai, sungguh aneh!"   Thian-hi menjadi geli oleh banyolan tuan putri. Kata tuan putri lagi.   "Tempo hari putra Tan-siangkok menghajar kau dengan pecut, kenapa kau tidak mau melawan? O. ja, dimana serulingmu itu? Apa kau bawa kemari?"   Thian-hi tertawa-tawa, keadaan dirinya lebih jelas lagi dibelejeti, sungguh tajam dan lihay benar-benar tuan putri ini, ia geleng kepala untuk jawaban.   "Ada omongan hendak kukatakan kepada kau, mari kau ikut aku! Kesana, ke gardu itu!"   Lalu ia mendahului menuju kesebuah gardu yang terdekat. Thian-hi mengekor di belakang tuan putri memasuki gardu itu, tuan putri ulapkan tangan suruh Thian-hi duduk, Thian-hi geleng kepala, tuan putri berkata dengan tersenyum.   "Kusuruh kau duduk. takut apa kau? Duduklah!"   Terpaksa Thian-hi menduduki sebuah kursi, dengan seksama tuan putri meng-amat-amatinya, Thian-hi menjadi risi dan kikuk, tuan putri terkikih geli, katanya.   "Kiranya kau begitu pemalu, orang lain takkan menduga kau sebagai wakii komandan Gi-lim-kun, apakah kau pandai main silat?"   Bergejolak hati Thian-hi, mendengar suara tawa tuan putri pikirannya lantas melayang mengenangkan keadaan di Tionggoan, seolah-olah ia merasa orang yang berada di depannya ini adalah Sutouw Ci-ko, wataknya memang periang seperti watak Sutouw Ci-ko, entah bagaimana dan dimanakah Sutouw Ci-ko sekarang.   Tuan putri mendesiskan mulut, ujarnya.   "Sedang kutanya kau! Apa yang sedang kau pikirkan?"   Thian-hi tersentak kaget, sahutnya dengan rikuh.   "Apa yang tuan putri tanyakan? Aku tidak jelas mendengar!"   Tuan putri menjadi kurang senang, katanya.   "Bagaimana kau ini, aku bicara dengan kau kenapa menjadi linglug, kukatakan cabutlah pedangmu, aku ingin bertanding pedang dengan kau."   Thian-hi tersentak kaget sampai bangkit dari tempat duduknya, serunya: .Tuan putri, mana boleh jadi!"   Tuan putri dan kedua dayang dibelakangnya menjadi terkekeh geli, Thian-hi sendiri semakin tersipu-sipu tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Tuan putri segera berkata.   "Jangan bersitegang leher, aku hanya menggertakmu saja, sebetulnya. umpama Ma-ciangkun sendiri kemari dia pun bukan menjadi tandinganku!"   Baru saja Thian-hi dapat menghela napas lega, serta merta ia lantas mengerut kening mendengar bualan tuan putri, dengan cermat diam-diam ia amat-amati tuan putri, kelihatan raut mukanya bundar telor, pipinya bersemu merah laksana buah tho, biji matanya bening sejernih air, dengan tajam orangpun senang menatap dirinya, cepat-cepat ia alihkan pandangan matanya.   sekilas ini terasa olehnya bahwa tuan putri ternyata begitu elok dan rupawan, sampai ia tidak berani memandang lebih lama lagi.    Pendekar Bego Karya Can Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini