Ceritasilat Novel Online

Si Bungkuk Pendekar Aneh 4


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Bagian 4


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya dari Boe Beng Giok   Pek Wan-gwee mendjadi terkedjut, begilu pula Kam Tihu.   Mereka tak menjangka si Bungkuk seorang jang keras hati pendiriannja.   Pembesar-daerah itu meminta Pek Wan-gwee mentjegah kepergian Too-pekkoay-hiap, untuk dijakinkan, bahwa kalaupun si Bungkuk tak mengharapi hadiah jang didjandjikan, namun tak seharusnja berlalu begitu sadja.   Akan tetapi entah bagaimana, Pek Wan-gwee tetap berdiri terpaku seakan2 tak mendengar utjapan2 Kam Tihu, matanja memandang Too-pek-koay-hiap, akan tetapi dibiarkannja sadja tuan-penolopg itu pergi, sampai kemudian menghilang.   Ia menarik napas pandjang.   Apa jang terpikir dalam hatinja tak seorang mengetahuinja.   Achirnja Kam Tihu pun meminta diri.   Padanja Pek Wan-gwee mengutjapkan terima kasih akan bantuan2 jang telah diberikan.   Pembesar-daerah itu lalu menarik kembali regu2 polisi dan tentara jang ditugaskan mengawasi harimau-hantu, dan sedjak itu keamanan dapat dipulihkan pula seperti sediakala.   78 Adalah Pek Wan-gwee jang terus mengalami hal2 tidak enak sedjak anaknja diselamatkan djiwanja oleh Too-pek-koay-hiap.   Kebahagian jang dibajangkan setelah Pek Giok Im kemhali kerumah dengan selamat, ternjata tak kundjung tiba, bahkan kebalikannja ia menghadapi soal2 mendjengkelkan hati.   Sebab diluaran telah ramai orang membitjarakan perihal djandji2 jang tak ditepatinja itu, hingga orang memandang ia sebagai seorang hina dan tak tahu adat.   Makin lama edjekan dan tjelahan orang makin meluas dan achirnja terdengar djuga oleh Pek Giok Im.   Maka bukan kepalang sedih hati gadis itu, karena tjemooh jang orang timpahkan pada keluarganja.   Sebagai seorang gadis terpeladjar dan mengerti akan harga-diri serta kehormatan, iapun anggap perbuatan ajahnja dapat dipandang sebagai satu kehinaan.   Hutang duit dapat disikut, tetapi kehormatan tak mungkin.   Dan djandji seseorang adalah berarti kehormatan, maka apabila ajahnja dahulu pernah mengutjapkan djandji akan menghadiahkan dia pada siapa sadja jang dapat menjelamatkan djiwanja, apalagi djandji itu diutjapkan dimuka umum, maka suatu pengingkaran berarti merendahkan deradjat dirinja.   Dan kehinaan itu bukan tjuma ditimpahkan pada ajahnja, djuga mengenai seluruh keluarga.   Sekalipun ia tahu, biang-keladi dari adanja edjekan dan penghinaan itu adalah dari perbuatan Go Thian Po sebagai pembalasan dendam karena lamarannja ditolak, namun perbuatan pemuda itu tak bisa terlalu disalahkan.   Sekarang nama seluruh keluarganja dinodai dan dihina, maka bagi Pek Giok Im hal itu merupakan suatu tamparan jang hebat.   Ia tak mau ajahnja mentjemarkan nama keluarganja, ia harus memperbaiki dengan segala pengurbanannja.   Ia hendak paksa ajahnja menepati djandjinja.   Ia mengambil keputusan untuk menjerahkan badan dan nasibnja pada orang jang telah memberikan pertolongannja.   Ia harus rela mendjadi isteri Too-pek-koayhiap, apapun matjamnja orang itu.   Djika tidak, maka terlebih baik ia mati! Begitulah ia menjatakan keputusannja pada kedua orang tuanja, ia menjatakan kesungguhan dan kerelaannja diperisterikan si Bungkuk! "Seseorang jang tak dapat menepati diandjinja adalah sangat hina", ia 79 menambahkan, suaranja tetap.   "Djusteru aku tak mau hidup dalam kehinaan, dan untuk dapat menghindarkannja, satu2nja djalan adalah aku harus menikah dengan Too-pek-koay-hiap. Maka aku bermohon dengan sangat agar ajah mengundang kembali si Bungkuk kemari untuk menerima haknja!"   Sudah tentu Pek Wan-gwee dan isterinja mendjadi sangat tertjengang mendengar keputusan anaknja itu.   Pek Wan-gwee tak mengira puterinja akan dapat mengambil keputusan jang tak pernah mereka pikirkan.   Meskipun ia mengerti, bahwa ia telah memperlihatkan suatu perbuatan tertjela dan kini chalajak ramai menghinanja, namun hakekatnja ia tak menginginkan anaknja mendjadi isterinja seorang laki2 sebagai si Bungkuk.   Pada mulanja ia mengharapkan orang jang dapat menjelamatkan anaknja adalah seorang pemuda tampan dan gagah, sekurang2nja tak berparas djelek.   Namun adalah seorang kakek tua, melarat dan amat buruk, dan itulah sebabnja ia terpaksa menelan kembali djandjinja.   Akan tetapi sekarang diluar dugaannja malah anaknja jang dengan sikap sungguh2 hendak mengurbankan dirinja pada si Bungkuk, se-mata2 karena tak ingin nama baik keluarganja tertjemar dan dinodai.   Ia mendjadi sangat bingung, dan tak mengerti apa harus diperbuat.   Adalah Pek Hudjin jang lalu membudjuk anaknja untuk tidak melakukan hal2 sebodoh itu, bahwa bukan pada tempatnja seorang gadis elok dan terpeladjar mesti mendjadi kurban mempersuamikan seorang laki2 buruk dan tua sebagai si Bungkuk!.   "Djadi ibu senang djuga keluarga Pek didjadikan buah-tutur se-lama2nja sebagai keluarga rendah dan hina?"   Bertanja Pek Giok Im.   "Tidak merasa ketjewakah ibu, kalau ajah setiap hari di maki2 orang dan dinista2. Tidak, ibu, tidak dapat aku membiarkan itu! Aku sangat malu!"   "Mengapa mesti malu, nak?"   Udjar ibunja.   "Orang luar memang biasanja suka berbuat iseng dan menghina orang! Lebih2 kita tahu, kehebohan itu ditimbulkan hanja oleh seorang jang mempunjai dendam karena lamarannja ditolak! Selain itu, djangan kau mendjadi terlalu bodoh, sebab bukan kita 80 jang tjoba mengingkari djandji, tetapi adalah si Bungkuk sendiri jang mengatakan didepan umum, bahwa dia tak mengharapkan balasan apa2 dari kita! Ini adalah suatu kebaikan dari Too-pek-koay-hiap, wadjib kita berterima kasih padanja, dan harus selalu menghargai kebaikannja jang diberikannja pada kita dengan hati rela dan bersih!"   "Ibu salah, sama salahnja seperti ajah! Ibu tak jakin, Too-pek-koay-hiap sangat ketjewa dengan perbuatan ajah. Sebagai seorang budiman dan pengabdi perikebedjikan, Too-pek-koay-hiap malu untuk menagih haknja! Aku dapat menjelami apa jaug sebenarnja dirasakan oleh si Bungkuk. Dia sangat ketjewa, tetapi sebagai laki2 sedjati, sebagai pahlawan, dia rela menarik diri dan pergi setjara gagahi"   Ibunja mendjadi sangat djengkel. Ia tak dapat ber-kata2 lagi.   "Aku heran, sebagai seorang gadis terpeladjar, kau tak dapat berpikir jang terlebih baik, dan memandang sesuatu dengan segala pengertianmu!"   Ajahnja menegur.   "Djusteru aku terpeladjar, ajah, maka aku dapat menjelami dalam2nja, betapa memalukan perbuatan ajah!"   Djawab Pek Giok Im dengan sengit.   "Ajah mengingkari djandji, itu berarti noda besar bukan sadja bagi kita jang masih hidup, tetapipun bagi nenek-mojang kita jang sudah mati! Aku tak ingin hidup buat ditjatji-maki orang dan terhina selamanja!"   "Djadi apa jang kau kehendaki sekarang?"   "Mentjutji bersih noda2 jang dibuat ajah jang sangat memalukan itu! Aku harus mendjadi isteri Too-pek-koay-hiap, apapun ada dan bagaimana matjamnja dia!"   "Kau........... kau mau menjerahkan diri kepada seorang tua dan bungkuk itu?"   "Keputusanku sudah tetap! Aku mesti kawin dengan si Bungkuk!"   "Tidakkah kau djidjik melihatnja?"   "Ajah akulah jang harus merasa djidjik dengan perbuatanmu!"   "Tidak, Giok Im, aku tidak sudi si Bungkuk mendjadi menantuku!"   "Kalau ajah kukuh dengan anggapan sendiri, ajah akan melihat aku nanti hanja majatnja sadja!"   "Oh, kau mengantjam?" 81 "Aku tak berani mengantjam orang tua! Tetapi kalau itu dikehendaki, akupun dapat membuktikan apa jang aku utjapkan!"   "Pikirlah sekali lagi dengan masak2, Giok Im! Djangan kau menipu dirimusendiri untuk melakukan hal2 jang sangat mustahil! Kau tak patut mendjadi isteri si Bungkuk, selagi disana masih banjak tjalon2 suami jang lebih sesuai baik rupa maupun deradjatnja!"   "Tetapi mereka tak punja hak atas diriku, ajah! Hanja si Bungkuklah seorang, hanja dia?"   Pek Wan-gwee terdiam. Hatinja sangat marah dengan kehandalan anaknja, jang dianggapnja terlalu memalukan keluarganja. Sementara sang ibu membudjuki kembali kepada puterinja dan memintanja agar anak itu merubah sikapnja.   "Menjesal tak bisa, ibu!"   Djawab anaknja kukuh.   "Bagaimanapun djuga, aku harus mendjadi isterinja si Bungkuk, atau kalau tidak aku mesti mati!"   "Giok Im, mengapa kau membuat ibumu mendjadi berduka?"   Kata ibunja berlinang air mata.   "Jang membuat ibu berduka, bukanlah aku, tetapi ajah! Pada ajahlah ibu harus menuntut!"   "Djadi kau tetap dengan keputusanmu, nak?"   "Ja, ibu, keputusanku hanja tjuma satu, dan sudah pasti! "   "Djika demikian, sebaiknja ibu mati daripada melihat kau mendjadi isteri siburuk itu!"   "Sebelum ibu mati, aku akan mendahuluinja! Apa gunanja aku hidup dengan nama tjemar dan kotor!"   "Jang terhina bukan kau, tetapi ajahmu!"   Pek Giok Im tak berkata lagi.   Hatinja djengkel betul.   Kemudian, dengan tak mengutjapkan kata sepatahpun, ia meninggalkan kedua orang tuanja.   Alangkah sedihnja Pek Wan-gwee dan isterinja demi dilihatnja Pek Giok Im benar2 tak dapat dirubah keputusannja.   Budjukan2 tak berguna sama sekali, karena sang anak tak mau menghiraukannja, bahkan makin sengit menjesali 82 dan menjalahi ajahnja jang dipandangnja telah kehilangan harga-diri sebagai keluarga terhormat.   Sekalipun pada mulanja Pek Giok Im merasa terperandjat waktu melihat rupa Too-pek-koay-hiap, namun kini anggapannja telah berubah, bahwa mau tak mau ia harus mengurbankan dirinja guna menepati djandji ajahnja, karena ia beranggapan, djandji adalah sama dengan kehormatan seseorang.   Barang siapa tak dapat menepati djandjinja, maka orang itu adalah rendah dan hina.   Dan kejakihan itulah jang mendorong ia harus rela berkurban.   Iapun telah berpikir, apabila kelak mendjadi isteri Too-pek-koay-hiap, ia akan memandanginja si Bungkuk sebagai suami jang lajak, jang harus dilajani segala kepentingan dan haknja.   Disamping itu ia mempunjai kejakinan, bahwa Too-pek-koay-hiap patut dihormati.   Jang buruk dan hina hanja kulitnja, tetapi prihadinja indah dan agung.   Dan umur tua tak mendjadi soal.   Dengan faham2 itulah Pek Giok Im memaksa kedua orang tuanja menuruti kehendaknja, menikahkan ia pada Loo Too-pek, karena hanja laki2 bungkuk itu sadja jang berhak atas diri dan kehormatannja! Pek Hudjin mentjoba sekali lagi membudjuki anaknja untuk mengubah sikap dan pendiriannja.   Tak lupa djuga diberi djandji muluk2, bahwa selekas mungkin ia akan mentjarikan tjalon suami jang sesuai, jang muda dan tampan, djuga terpeladjar.   Tetapi justeru budjukan2 dan djandji2 jang sedemikian itu makin menambah kemarahan sang anak.   "Sekarang ibu menambah pula satu kesalahan, suatu kepitjikan pikiran! Sedangkan dihina sadja aku sudah tak sanggup mengatasi, kini aku hendak diperdjual-belikan seperti barang dagangan! Benar2 ibu menambah aku djadi djengkel sadja".   "Mengapa kau menganggap maksud baikku mendjadi sebaliknja?"   Tanja sang ibu.   "Sebab itu hendak me-nawar2kan aku pada sembarang orang sebagai barang dagangan sadja! Adakah kata2 dan maksud ibu dapat dibenarkan?"   "Bukan demikian maksudku, nak! Aku hanja ingin kau tak menudju djalan sesat dengan menjerahkan diri pada si Bungkuk, aku hendak memilihkan kau 83 seorang tjalon suami jang sama deradjat".   "Kalau ibu menghendaki aku bersuamikan seorang pemuda jang tak bisa ditjela ketampanannja, mengapa dahulu ibu menolak mentah2 lamaran Go Thian Po, hingga akibatnja dia menimbulkan penghinaan hebat itu?"   "Dia adalah seorang pemuda hidung-belang dan pemogoran, dia tak lajak mendjadi suamimu!"   "Djadi ibu menghendaki seorang menantu jang dapat membahagiakan hidupku?"   "Ja!"   "'Si Bungkuklah jang nanti dapat berbuat demikian, Bu!"   "Tetapi dia seorang jang luar biasa buruknja! Lagi sudah amat tua, hingga bisa2 kau akan lekas mendjadi djanda-muda!"   "Kalau si Bungkuk mati, akupun harus mati bersama! Seorang isteri harus setia pada suaminja, dan akulah isteri jang sanggup berbuat demikian!"   Pek Hue jin bertambah2 djengkelnja.   Ia tak mengira Giok Im bisa mendjadi keras-kepala, dan mau berbuat hal jang tak diinginkan.   Pek Wan-gwee dilain pihak mengambil keputusan memberantas pendirian anaknja.   Ia mengatakan dengan tandas, apapun akibatnja, ia tak sudi memungut menantu seorang tua dan seburuk Loo Too-pek.   Tetapi djusteru sikap Pek Wan-gwee ini membikin Giok Im mendjadi nekat betul2.   Sedjak hari itu ia tak meninggalkan kamar-nja diatas loteng.   Pintu kamar ditutup dari dalam, dan budak2 tak diperkenankan menemani.   Djuga menolak makan maupun minum.   Tatkala sambil menangis sang ibu meng-gedor2 pintunja minta berdjumpa, Giok Im memberi djawaban keras2:   "Mau apa ibu menemani anak jang keras-kepala dan menjakiti hati orang tua? Djangan pedulikan aku, atau biarkan aku akan berangkat mati tak lama lagi! Dan tinggallah ibu bersama ajah mengetjap hinaan2 jang setiap hari memenuhi telinga itu!"   Ia menambahkan, kalau ia tahu sekarang ia harus mati menderita noda, adalah lebih baik dahulu mati dikurbankan oleh Tong Hong Hweeshio! 84 Bagaimanapun dibudjuknja untuk membuka pintu, Giok Im tetap tak menghiraukannja.   Tak heran, achirnja ajah dan ibunja mendjadi sangat berchawatir.   Djusteru Pek Wan-gwee dalam gelisah dan tjemas, isterinja sekarang menuntut, bahwa karena gara2 perbuatan jang sembarang mengutjapkan djandji, kini anak jang tjuma satu2nja harus mendjadi kurban.   Ia tak ingin Giok Im mati karena tidak mau makan atau minum; maka ia menuntut suaminja harus bertanggung-djawab segala akibatnja.   "Djika Giok Im mati, akupun tidak mau hidup lebih lama lagi!"   Ia berkata sambil merangsang dan me-raih2 badju suaminja.   Pek Wan-gweo se-olah2 mengindjak bara.   Rasa djengkel, duka dan bingung merangsang otaknja.   Achirnja ia dapat berpikir, bahwa sikap dan pendirian anaknja adalah benar.   Bahwa perbuatannja sangat menodai nama seluruh keluarga, pun memang adalah terlebih baik mati daripada hidup menderita malu karena tertjampur dan terhina.   Sikap anaknja menginsjafkan ia akan kerendahan dirinja.   Bagaimanapun buruk dan mendjidjikan rupa si Bungkuk itu, namun dia adalah berhak atas diri Pek Giok Im, karena Too-pek-koayhiap telah berhasil menjelamatkan djiwanja.   Sikap dan keputusan Giok Im membuka mata dan pikiran Pek Wan-gwee, ia menginsjafi, bahwa anak itu bukan sadja benar dalam pendiriannja, bahkan menggambarkan betapa indah pribadi dan insannja sebagai seorang gadis jang sutji dan berbudi.   Betapa agungnja Pek Giok Im, karena ia lebih suka mati daripada hidup menderita tjemar.   Lalu Pek Wan-gwee berunding dengan isterinja, dengan tak lupa memberi pengertian tentang sikap2nja Giok Im dan djedjak hidupnja mempunjai sifat2 agung dan sutji untuk arti adat-istiadat dan nama baik kekeluargaan.   Ia mejakinkan isterinja untuk memahami keindahan hati anaknja.   Bahwa sebagai orang tua, mereka harus berbangga mempunjai seorang anak sehagai Giok Im itu.   Oleh karena itulah sekarang ia mengambil keputusan untuk menikahkan anaknja pada Too-pek-koay-hiap.   Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ia mengatakan lebih djauh, bahwa sebaiknja mereka tidak memandangi rupa seseorang dari lahir, melainkan bathinnja.   85 "Dan aku berharap, semoga kelak aku memiliki keturunan2 jang berdjiwa sebaik dan segagah Too-pek-koay-hiap itu!"   Ia menambahkan kemudian.   "Dan berharap Giok Im hidup berbahagia dengan suaminja itu! Aku pertjaja kau sependapat dengan aku!"   Isterinja menjeka air-mata jang ber-linang2 dikedua pipinja jang sudah keriput. Iapun mulai faham akan pendirian anaknja, dan sefaham dengan suaminja.   "Baiklah, kalau kaupun kini mempunjai kejakinan jang sedemikian!"   Katanja.   "Apa dajaku, bila Thian memang meudjdohkan anakku dengan si Bungkuk! Tjuma sadja.........."   Kembali Pek Hudjin menangis.   "Mengapa kau berduka benar isteriku?"   Bertanja Pek Wan-gwee.   "Djika kau sudah mempunjai kesadaran akan djiwa murni Giok Im, maka djanganlah kau mempunjai gandjalan lagi dalam hati. Relakan dan pudjikanlah, agar mereka hidup rukun dan berbahagia selamanja! "   "Memang aku sudah merelakannja itu............"   Sahut isterinja.   "Hanja sadja aku tetap berchawatir, adakah Giok Im benar2 dinikahkan dengan laki2 jang djauh perbedaannja itu? Tidakkah dia hanja memaksa2kan diri sekedar untuk menjutji noda?"   "Aku berani memastikan Giok Im benar rela dan ichlas! Aku tahu benar djiwanja! Giok Im seorang gadis terlalu indah untuk diragukan kepribadiannja!"   "Djika demikian, apa boleh huat! Tetapi dimana sekarang si Bungkuk itu?"   "Kita nanti menjuruh orang mentjarinja, atau minta bantuan Kam Tihu!"   Demikian keputusan suami-isteri itu.   Lebih dahulu mereka memberitahukan pada Giok Im, bahwa mereka telah menginsjafi segala kekeliruannja, dan bahwa mereka sekarang menjetudjui pendiriannja menikah pada si Bungkuk.   Hal jang mana membikin Pek Giok Im mendjadi girang.   Ia membuka pintu kamar dan berlutut dihadapan kedua orang tuanja, sambil mengutjapkan terima kasihnja.   "Dengan demikian noda2 dan hinaan2 akan dapat dihapus, ajah!"   Berkata 86 sang gadis.   "Ajah dan ibu membuat aku merasa beruntung! Tetapi........"   "Mengapa?"   Menegasi ajahnja.   "Tetapi dimana Loo Too-pek sekarang?"   Sahut Pek Giok Im.   "Aku akan mentjarinja, djuga akan minta bantuan Kam Tihu!"   "Tetapi aku ada satu sjarat ingin dipenuhi, ajah!"   "Apakah sjarat itu?"   "Bila Too-pek-koay-hiap sudah ditemui, ku harap ajah memperhatikan soal pakaiannja, disesuaikan sebagai menantu seorang Wan-gwee!"   Pek Wan-gwee menganggukkan kepala.   Begitulah ia lalu menjuruh beberapa orang mentjari Too-pek-koay-hiap, dan harus dapat diadjak datang bersama.   Selain itu ia menemui Kam Tihu, dan menuturkan keputusannja jang telah diambil.   Mula2 pembesar itu mendjadi keheranan, karena djika benar2 gadis Thian-tay jang tertjantik diperisterikan si Bungkuk, akan merupakan suatu peristiwa pintjang, dan ketjantikan Pek Giok Im harus disajangi.   Tetapi kemudian djalan pikirannja bertumbuk dengan arti harga-diri dan nama baik kekeluargaan, maka ia menjokong pendirian Pek Wan-gwee, bahkan mengagumi djiwa, seorang gadis jang demikian agung itu.   "Kemarin orang membawa laporan, bahwa Too-pak-koay-hiap masih berada digeredja Seng-ong-bio!"   Berkata Kam Tihu.   "Apa maksudnja dia tinggal disana, entahlah. Dan apakah hari ini dia masih berada disana, aku tak dapat memastikan. Aku akan segera menjuruh orang melihatnja, dan membawanja nanti kerumah Wan-gwee!"   Pek Wan-gwee mengutjapkan terima kasih.   Kemudian kepala-daerah itupun pulang kerumahnja, lalu menjuruh dua orang mentjari Loo Too-pek di Sengong-bio.   Ternjata si Bungkuk masih berada digeredja itu.   Ia tengah membaringkan diri dilantai serambi sebelah dalam, tatkala pesuruh Tihu datang mengundang.   "Ada keperluan apa aku diundang Tihu?"   Menegasi si Bungkuk.   "Bukan Kam Loya jang mengundang, tetapi Pek Wan-gwee!"   Djawab pesuruh itu.   "Pek Wan-gwee?"   Mengulangi si Bungkuk keheranan.   "Tugasku sudah habis, 87 dengan demikian, aku dengan orang kaja itu sudah tak punja sangkut-paut lagi. Pergilah beritahukan pada Pek Wan-gwee, bahwa aku tak dapat menerima undangannja, tetapi djangan lupa menjampaikan salamku padanja untuk sambutan dari djamuan jang telah diberikan padaku hari kemarin!"   "Tetapi Kam Loya memesan dengan sangat, agar Loo Too-pek dapat aku membawanja kerumah Pek Wan-gwee!"   "Sungguh, aku tak dapat datang!"   Kata si Bungkuk.   Lalu iapun membaringkan diri pula dilantai, dan memedjamkan matanja.   Terpaksa pesuruh2 itu kembali kekantor Tihu dan menjampaikan penolakan si Bungkuk itu.   Sekarang pembesar itu datang sendiri keklenteng dengan kendaraan tandu, iapun menjediakan tandu kosong.   Menampak kedatangannja pembesar itu, Loo Too-pek mendjadi gugup memberi hormat.   Dan sekarang ia tak dapat menolak undangan pembesar itu, jang dengan kerendahan hati telah datang sendiri ketempat perpondokannja.   "Apakah persoalannja, hingga Loya memerlukan diri memanggil seorang hina sebagai aku untuk keperluan Pek Wan-gwee?"   Ia mengadjukan pertanjaan.   "Demi hubungan baik aku dengan Pek Wan-gwee, aku mau djuga berbuat sesuatu untuk kepentingannja!"   Djawab pembesar itu.   "Apakah bukan persoalan Pek Siotjia?"^ "Entahlah, disana Loo Too-pek nanti akan dapat mengetahuinja". Si Bungkuk dimintanja naik tandu jang disiapkan, lalu mereka menudju kegedung Pek Wan-gwee. Orang kaja itu sudah menanti diserambi depan, dan melihat kedatangan tamunja, segera ia menjongsong dengan laku hormat sekali. Si Bungkuk dipersilahkan berduduk diserambi dalam dan budjang menjuguhi air-teh. Orang jang memulai berbitjara adalah Kam Tihu jang diminta mewakili tuan-rumah, dan soalnja berkisar pada maksud Pek Wan-gwee jang bersedia menepati djandji jang pernah diumumkan, atau dengan kata lain, Pek Siotjia bersedia diperisterikan Too-pek-koay-hiap dengan rela dan ichlas. Bukan main kagetnja si Bungkuk. Meskipun hal itu sudah dibajangkan dalam hatinja, namun setelah mendengar kenjataannja, ia mendjadi tertjengang 88 djuga. Lantas ia menjatakan penolakannja pula, dengan alasan jang sama, bahwa bukannja ia tidak menghargai kedjudjuran dan keichlasan orang terhadapnja, melainkan pribadinja sendiri sangat berkeberatan, karena ia menginsjafi benar, bahwa bukanlah satu hal jang lajak seorang tua, buruk dan tjatjad sebagai ia memperisterikan orang Tjiankim Siotjia sebagai Pek Giok Im.   "Sekali lagi aku harus mengemukakan, bahwa tak terpikir oleh ku akan mengharapkan hadiah apapun dalam usahaku menjelamatkan djiwa Pek Siotjia, karena itu adalah kewadjibanku memberantas setiap kedjahatan dan menolong si lemah!"   Ia berkata dengan sungguh2 dan tandas.   "Biarlah keluarga Pek jang terhormat tak usah merasa kehilangan muka karena djandjinja jang tak dapat terpenuhkan. Aku harus menolak memperisterikan Pek Siotjia jang aku anggap terlalu sutji dan mulia! Djanganlah Wan-gwee merasa tersinggung atau malu karena tjemooh dan hinaan dari luar, atau bila perlu aku nanti membungkam mulut mereka dengan kekerasan! Terusterang aku menjatakan, apabila Kam Tihu tadi mendjelaskan untuk soal aku diundang kesini, aku akan tetap tidak sudi datang kemari!"   Kam Tihu menerangkan lebih djauh sebab2 utama mengapa kini persoalan Pek Siotjia dikemukakan.   "Memang akupun dapat menjelami pendirian Loo Too-pek jang sebenar2nja!"   Menambahkan Pek Wan-gwee.   "Terlalu berbudi seorang sebagai Loo Too-pek. Akan tetapi dengarlah, Giok Im sangat berduka karena dia tak dapat memenuhi kewadjibannja sebagai seorang anak terhadap noda jang dihadapi orang tuanja. Aku bersumpah untuk mati, bila dia tak dapat mempersuamikan loo Too-pek jang ia sangat djundjung kepribadiannja! Ia sudah nekad menjembunjikan diri dikamarnja hari kemarin dan menolak makan maupun minum. Karena itu aku sangat chawatir akan keselamatannja. Dia seorang anak jang keras hati, dan tak dapat di-tawar2 kemauannja. Pertjajalah Loo Too-pek, dalam hal ini Giok Im rela dan ichlas diperisterikan olehmu. Maka aku bermohon, dengan sangat Loo Too pek tak menolak lagi. Bawalah Giok Im kemana kau suka, dan aku berharap, semoga 89 dia nanti berbahagia ditangannmu!"   Too-pek-koay-hiap tiba2 tertawa.   "Bagaimana mungkin seorang gadis sebagai Pek Siotjia dapat hidup berbahagia dengan seorang suami sebagai aku, jang selain sudah dekat mati, pun buruk benar segalanja! Aku sendiri merasa djidjik akan keadaanku, apalagi Siotjia! Djanganlah Wan-gwee menipu diri-sendiri untuk berbuat sesuatu hal jang amat bodoh! Pertjajalah, Siotjia akan tjelaka seumur hidupnja bila mendjadi isteri si Bungkuk, dan aku tak mau berbuat demikian! Hatiku akan menangis bila melihat nasib seorang gadis jang mestinja dapat hidup bahagia telah memilih djalan keneraka, dan aku tak mau mendjadi seorang berdosa besar!"   "Djika demikian, djadinja Loo Too-pek terlebih besar dosanja membiarkan anakku mati untuk sia2! Aku tak pertjaja Loo Too-pek berhati kedjam dan buas. Kalau dia benar2 mati, maka akan hantjurlah keluarga dirumah ini!"   Too-pek-koay-hiap mendjadi bimbang hatinja.   Ia melihat, bahwa kerelaan dan keichlasan membajang diwadjah Pek Wan-gwee, dengan demikian, djadi sunguh2 Pek Siotjia mau menjerahkan diri dan nasibnja demi nama baik keluarganja.   Disamping itu Kam Tihu pun bantu membudjuki, agar ia tak terus2an keras-kepala atau mengetjewakan keluarga Pek.   Maka kemudian berubah djuga pikiran dan keputusannja.   Tiada djalan lain baginja untuk menolak, bilamana ia tak ingin seorang gadis berharga sebagai Pek Giok Im harus mendjadi kurban kebhaktian.   "Aku akan memberikan keputusanku nanti, apabila aku mendengar sendiri suara-hati Pek Siotjia mengenai masalah ini!"   Ia berkata kemudian.   "Maka djika tak dianggap melanggar sopan-santun, aku menghendaki djawaban2 langsung dari mulut Siotjia sendiri. Dan Pek Hudjin diperlukan kesaksiannja pula. Djika tidak, tak usahlah orang membudjuk2 atau menghargai kerelaanku !"   Pek Gwan-Gwee menoleh pada Kam Tihu, se-akan2 minta pikirannja pembesar itu.   Kam Tihu mengerti maksud sahabatnja, maka ia memberi tanda agar Pek Wan-gwee memanggil anak dan isterinja.   90 Pek Giok Im bukan seorang gadis terpeladjar atau penakut bila ia malu2 menemui Too-pek-koay-hiap dihadapan ajah dan Kam Tihu, ia memenuhi panggilan ajahnja dengan segera.   Iapun agaknja sudah mejakinkan segala perundingan dan untuk apa sekarang ia diminta kehadirannja bersama ibunja.   Ia mendjura pada ajahnja dan Kam Tihu, kemudian pada Loo Too-pek.   "Perintah apakah jang ajah hendak berikan padaku?"   Tanjanja.   Pek Wangwee dengan langsung menuturkan masalah perdjodohan dengan Too-pekkoay-hiap berdasarkan djandji jang telah diutjapkan beberapa hari jang lalu sebelum peristiwa Pek Giok Im digondol harimau-iblis.   Iapun kemukakan, bahwa semula si Bungkuk berkeras menolak pernikahan, namun kini mau mengalah djuga, dan untuk itu si Bungkuk ingin mendengar sendiri suara-hati Pek Giok Im jang sebenarnja.   "Oleh karena demikian"   Meneruskan Pek Wan-gwee.   "maka bersediakah kau sekarang untuk menjatakan kerelaan dan keichlasanmu menepati djandji ajahmu dengan mulutmu sendiri?"   "Bila itu diperlukan, akupun tak akan menolak!"   Udjar Pek Giok Im sambil menundukkan muka.   "Demi kepentingan dan nama baik keluarga Pek, aku rela diperisterikan oleh seorang jang telah berhasil menjelamatkan djiwaku dari tjengkeraman Tong Hong Hweeshio!"   Djelas ditelinga Too-pek-koay-hiap mendengar djawaban Pek Giok Im jang tetap dan sungguh2 itu, satu hal jang mau tak mau membikin ia sangat takdjub akan ketabahan hatinja gadis itu jang rela menjerahkan diri kepada seorang laki2 tua dan mendjidjikan! Ia menghela napas.   "Djawaban Siotjia jang singkat sudah tjukup djelas bagiku. Seumur hidupku tak pemah kusangka akan ada peristiwa seperti ini, seorang gadis seindah Siotjia hendak memasuki petjomberan! Tidakkah Siotjia akan menjesal kelak?"   Kata si Bungkuk.   "Hanja seorang gadis jang tak tahu kehormatan keluarganja dapat berpikir sepitjik itu!"   Sahut Pek Giok Im.   "Dia lebih suka hidup tertjemar dan hina daripada berkurban!" 91 "Tetapi pengurbanan Siotjia tidak pada tempatnja. Aku tak menghendaki ajahmu membajar djandjinja, tetapi sebaliknja Siotjia jang keras-kepala memaksa berkurban!"   "Loo Too-pek tak menuntut djandji ajah, tetapi barangkali Loo Too-pek sudah mendengar, betapa hebat orang mentjatji-maki dan menista kami! Itu belum semua. Mereka mengatakan aku sudah bukan gadis lagi, karena Loo Too-pek sudah men-djamah2 badanku dari Goe-thauw-nia sampai kerumah pada malam jang mengerikan itu, bahkan sudah pula berada sekamar dengan aku. Oleh karena itu, bila aku tak dapat mempersuamikan laki2 pertama jang pernah me-njentuh2 badanku, pada siapa pula aku harus menjerahkan diri? Air mata dapat dihapus, tetapi noda jang menghitam kehormatan seorang wanita, dengan apa harus dilenjapkan?"   "Itu benar, tetapi tidak benar seluruhnja. Siotjia masih tetap putih-bersih hingga detik ini, putih bagaikan saldju jang baru tiba dari angkasa."   "Loo Too-pek sangat berkepandjangan dalam persoalan! Kini aku hanja ingin ketegasan, apakah keputusan Loo Too-pek mengenai masalah nikah?"   "Aku tak sampai hati melihat Siotjia mendjadi kurbanku! Siotjia akan menderita nantinja! Aku bermohon dengan sangat agar Siotjia mengubah pendirianmu!"   "Artinja Loo Too-pek berkeberatan, bukan?"   "Ja, demi kebahagiaanmu, hatiku akan menangis melihat pengurbanan jang sebesar itu!"   "Baikljih, bila Loo Too-pek menolak, orang hanja akan mendengar sadja berita kematianku sebelum matahari terbit esok pagi!"   "Astaga, mengapa Siotjia demikian keras hati?"   "Kalau Loo Too-pek tahu aku seorang berhati keras seperti batu, maka selajaknja Loo Too-pek akan bisa bersikap lain!"   Too-pek-koay-hiap berdiam diri tak dapat ber-kata2.   Sulit agaknja untuk ia mengambil keputusan.   Menampak orang bersangsi, Pek Wan-gwee lalu memohon agar si Bungkuk tidak menolaknja.   Kam Tihu djuga bantu membudjukkinja.   Karena itu 92 terpaksa Too-pek-koay-hiap mengubah sikapnja mendjadi lebih lunak.   "Bila itu jang dikehendaki Siotjia, akupun terpaksa harus mengalah, pengurbanan Siotjia aku takkan men-sia2kannja, aku akan berdaja kelak dapat membahagiakan hidupmu! Tetapi ada satu hal aku perlu kemukakan. Aku rasa Siotjia belum mendengar tjukup banjak tentang diriku, karenanja itu aku chawatir kelak Siotjia djadi menjesal. Pertama, perbedaan umur, kedua deradjat, ketiga keburukan wadjah dan bentuk badanku, keempat, aku tak punja tempat meneduh jang lajak dan tak berpentjaharian, djusteru semua itu adalah jang penting buat direnungkan!"   "Sudah aku mengetahui semuanja!"   Djawab Pek Giok Im.   "Loo Too-pek seorang paling buruk jang aku pernah djumpai, miskin dan tak punja tempat meneduh jang lajak, semua itu tidaklah mendjadi soal bagiku, karena pondokan dan pentjaharian dapat aku menjelenggarakannja sampai tjukup. Jang penting dan jang aku butuhkan, ialah isi didalam tubuh Loo Too-pek, bukan kulitnja!"   "Tetapi mungkin Siotjia akan lekas mendjadi djanda karena barangkali aku takkan dapat hidup setahun-dua karena usiaku jang telah landjut!"   "Bila Loo Too-pek mati esok ataupun lusa, akupun harus mati djuga, atau masuk biara! Seorang isteri sudah selajaknja bersetia pada suaminja, dan mengikuti kemana dia pergi!"   "Ah, mengharukan benar kata2nja, Siotjia! Baiklah, djika pendirianmu sudah demikian tetap! Sekarang tinggal satu sjarat, sehabis menikah kau akan kubawa Kekampung halamanku, digubukku jang ketjil dan tua, dilembah sunji Siang-yang-kok dikampung Go-hong-tjhun, sebelah Tenggara kota Sintjiang. Disana tak ada apa2 selain alam-luas, sungai, hutan tjemara, dan dikala malam hanja dimeriahkan oleh bunji musik djengkerik ditanah ladang! Dapatkah kiranja Siotjia hidup tjara demikian, selagi Siotjia disini hidup didalam ketjukupan, gedung indah dan dimandja segenap keluarga?"   Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Sudah kukatakan tadi, dimana suami ada, disitu isteri menjertainja! Bawalah aku kemana sadja Loo Too-pek pergi !"   "Baiklah, sekarang aku menerima semuanja! Dan aku menghendaki 93 kesaksian ajah dan ibu Siotjia, serta Kam Tihu!"   Pek Wan-gwee berdua isterinja menjatakan kesaksiannja, diikuti oleh Kam Tihu.   Sementara itu Pek Giok Im minta pada orang tuanja untuk memberikan perkenan serta doa-restuuja.   Selandjutnja ia menghendaki, agar upatjara pernikahan dirajakan setjara sederhana, tjukup dengan kehadiran para keluarga dan tetangga2 jang dekat dengan maksud mentjegah kehebohan jang mungkin ditimbulkan oleh pihak2 tertentu, jaitu dari Go Thian Po.   Pada saat itu djuga Too-pek-koay-biap mendjalankan peradatan selajaknja pada tjalon ajah dan ibu-mertuanja, sambil memanggil Gak-hu dan Gak-bo.   Dilain pihak, atas persetudjuan Kam Tihu, Pek Wan-gwee menetapkan hari perkawinan anaknja seminggu lagi, jaitu pertengahan bulan kedua, karena hari itu adalah hari baik menurut perhitungannja.   Lantas si Bungkuk minta diri pulang ke Siang-yang-kok untuk mengadakan persiapan sekedarnja.   Mula2 Pek Wan-gwee memberikan sedjumlah uang untuk keperluan persiapan segala sesuatunja, namun Too-pek-koay-hiap menampiknja.   Esok harinja selagi Too-pek-koay-hiap ber-kemas2 berangkat pulang kekampung-halamannja, benar2 timbul kegamparan pula jang menjangkut keluarga Pek sebagai sudah diduga oleh Pek Siotjia sebelumnja.   Demikianlah tjerita meluas di-mana2, bahwa dikatakannja takkan lain keputusan keluarga Pek mengenai soal anak-gadisnja, Pek Giok Im, daripada harus dikawinkan dengan Too-pek-koay-hiap, betapapun buruk dan mendjidjikkan rupa laki2 itu, sebab gadis she Pek itu sudah pernah dibopong2 oleh Loo Too-pek, bahkan tidur dalam sekamar! Berita itu terang merupakan fitnahan sangat kotor, namun sekarang terlebih hebat lagi.   Dan sumbernja bukan lain dari pada berasal dari mulut Go Thian Po.   Maka bukan sadja keluarga Pek djadi sangat mendongkol terhadap pemuda kaja jang mulutnja kotor itu, bahkan Too-pek-koay-hiap jang sendiri tak dapat menahan pula amarahnja.   "Dahulu orang mentjegah aku melabrak padanja, sekarang ternjata dia bertambah melundjak!"   Berkata si Bungkuk dalam hati.   "Kini tiada djalan 94 lain, aku harus memberi hadjaran jang setimpa! padanja!"   Malam itu ia menjelinap memasuki rumah Go Thian Po dengan djalan dari atas genteng.   Dengan pedang dihunus ia mentjari kamar tidur pemuda jang kotor mulut itu.   Sebelum dapat mentjari Go Thian Po, lebih dahulu ia memasuki sebuah kamar dimana ia bongkar sebuah lemari, lalu digasaknja sedjumlah besar uang tunai, hampir penuh sekantong.   Setelah itu dimasukinja kamar tidur Go Thian Po.   Ternjata pemuda itu sedang tidur njenjak bersama seorang perempuan muda.   "Aku tahu pemuda ini masih budjangan, mengapa dia tidur serandjang dengan seorang wanita? Tentu wanita ini kendaknja!"   Lantas ia peroleh siasat bagus. Kedua manusia itu ditotok djalan darahnja, hingga tidak bisa bergerak pula. Pakaian luar mereka sengadja dilutjuti, lalu keduanja diikat mendjadi satu.   "Esok pagi kau akan menerima sambutan hangat dari chalajak ramai tentang perbuatanmu ini!"   Kata Too-pek-koay-hiap sambil tersenjum puas, setelah mana ia melompat keluar dari djendela dan kembali kerumahnja Pek Wangwee.   Tidak ada jang ketahui perbuatannja.   Benar sadja, keesokan paginja terdjadi kegemparan di dalam keluarga Go, bahwa Go Thian Po dengan tubuh telandjang bulat terdapat terikat mendjadi satu dengan salah seorang budak perempuan diatas pembaringannja.   Kedjadian mana mendjadi buah-tutur segenap penduduk jang ramai.   Ajah dan ibunja Go Thian Po sangat marah akan perbuatan anaknja jang memalukan itu, Go Thian Po dimaki habis2an.   "Anak tjelaka, bedebah, tak tahu malui,"   Demikian antara lain makian Go tua.   "Disuruh kawin dengan gadis2 jang sudah dipilih selalu menolak, jang digilai hanja gadisnja orang she Pek, jang terang2 telah menolaknja. Dan kini melakukan perbuatan jang sangat memalukan. Benar2 anak tjelaka!"   Dalam mendongkolnja, Go Thian Po tak tahu, siapa orangnja jang berbuat djail padanja semalam, hingga ia di-maki2 orang tuanja dan disoraki orang sekota.   Tetapi dilain pihak, ajah budak itu, Lauw Siok, tak dapat membiarkan anaknja perempuan, Lauw Pen, ditjemarkan kesutjiannja oleh madjikan95 mudanja.   Ia tak mau anaknja kelak mendjadi terlantar hidupnja karena sudah noda dan kotor.   Lantas ia datang menemui Go Wan-gwee untuk menuntutnja agar Lauw Pan didjadikan menantunja.   Go Wan-gwee, seorang tinggi hati dan sombong, mana mau gampang2 menerima tuntutan Lauw Siok, malah sebaliknja ia lantas memaki:   "Aku disuruh mendjadi besanmu? Orang jang tak tahu diri! Mendjadi madjikan anakmu sadja sudah berarti kemudjuran bagimu!"   Dampratnja.   "Soal Wan-gwee mendjadi madjikan anakku adalah soal biasa!"   Djawab Lauw Siok.   "Anakku mendjadi budak untuk mentjari nafkah, bukan untuk dirusakkan kesutjian dan nasibnja oleh anakmu!"   "Huh, enak sadja kau ngomong! bentak Go Wan-gwee.   "Djika anakmu memang bukan genit dan tahu akan harga diri, tak mungkin dia mau meladeni anakku!"   "Djadi Wan-gwee maksudkan, anakku jang bersalah?"   "Lalu siapa lagi?"   "Aku tak jakin Lauw Pen jang memikat Go Kongtju. Sebaliknja Go Kongtjulah jang me-raju2, hingga anakku mendjadi kurban tertjemar kehormatannja, karena itu aku berhak menuntutnja. Sekarang Wan-gwee menolak tuntutanku, bahkan menjalahkan anakku. Baik. Djanganlah Wan-gwee mendjadi menjesal, bila aku akan memperdjuangkan peristiwa ini dimuka pengadilan!"   Go Wan-gwee agak terkedjut.   Ia insjaf Lauw Siok sangat marah, dan menghendaki penjelesaian.   Kini Lauw Siok hendak mengadakan hal itu kepengadilan.   Ia mendjadi takut djuga.   Sekarang ia merubah sikapnja, mengadjak berdamai, dan mendjandjikan ganti-kerugian tjukup memuaskan.   Tetapi Lauw Siok malah djadi makin gusar.   "Walaupun miskin, aku takkan memperlakukan anakku sebagai barang dagangan, mengerti?"   Ia berseru.   "Kini hanja keputusan Wan-gwee, hendak Wan-gwee memenuhi tuntutanku atau diselesaikannja melalui pengadilan?"   Go Wan-gwee berdiam diri.   Djelas pada wadjahnja nampak kemarahan besar karena sikap menantang dari Lauw Siok jang dipandangnja hanja seorang 96 hina belaka.   Lalu ia memutuskan, djika Lauw Siok tidak mau menerima uang ganti-kerugian, iapun takkan merubah maksudnja.   Djusteru Lauw Siok seorang pemarah, melihat sikapnja Go Wan-gwee jang kepala batu dan sombong itu, ia segera berlalu.   Tak lama kemudian datang opas2 dari Djawatan Hukum, jang memanggil Go Wan-gwee kekantor pemerintah-daerah atas nama Kam Tihu.   Pengaduan Lauw Siok diperkuat oleh keterangan2 dua orang budak Go Wangwee jang menjaksikan dengan mata-kepala sendiri dikala Go Thian Po terikat badannja serandjang dengan Lauw Pan.   Peristiwa mentjemar kehormatan seorang gadis telah mendjadi sangat njata, lebih2 Lauw Pan memberikan pengakuannja, bahwa ia menjerahkan kehormatannja pada Go Thian Po karena diantjam dan dibudjuk dengan djandji2 akan dinikah nantinja.   Ia menerangkan lebih landjut, bahwa bukan malam itu sadja ia diadjak tidur serandjang, melainkan sudah berulangkali.   Oleh karena demikian, maka Lauw Siok mengadjukan tuntutan, untuk Go Thian Po mengawini Lauw Pan, karena ia tak mau anak gaidsnja dipermainkan dan kini harus menderita kehinaan.   Mula2 Go Wan-gwee tjoba menolak tuntutan, dengan menondjolkan alasan2 jang di-tjari2.   Akan tetapi pembelaannja itu terlalu lemah, pengadilan memutuskan Go Thian Po harus menepati djandjinja mengawini gadis jang telah ditjemarkan, atau 3 tahun masuk pendjara.   Go Wan-gwee tak berdaja lagi.   Sementara puteranja, Go Thian Po, karena tak ingin dipendjarakan terpaksa harus mengawini Lauw Pan.   Demikianlah peristiwa jang memalukan bagi keluarga Go.   Go Thian Po harus memperisterikan seorang pelajannja jang bukan gadis lagi! Kegemparan itu meluas di-mana2, achirnja sampai djuga kerumah Pek Wan-gwee.   Keluarga ini, jang berulangkali dihina dan dinista oleh Go Thian Po, sangat bersjukur, karena pemuda penghina itu kini mendapat pembalasannja! "Memang tiada kedjahatan dapat lari dari keadilan, begitulah kini dialami pemuda she Go jang djahat itu!"   Berkata Pek Wan-gwee, hatinja senang.   97 Seminggn kemudian, dirumah Pek Wan-gwee jang besar dan indah tetap seperti biasa, tak ada apa2 seperti hari2 jang lalu.   Tetapi didalam gedung itu sedang berlangsung upatjara perkawinan pintjang.   Pintjang, karena pengantinnja gandjil.   Seorang gadis tjantik djelita lagi terpeladjar diperisterikan dalam upatjara sederhana oleh seorang laki2 selain tua dan buruk wadjahnja pun punggungnja bungkuk pula.   Tak ada jang istimewa dalam upatjara perkawinan dari keluarga kaja-raya seperti Pek Wan-gwee itu.   Jang tampak hanja sebuah medja sembahjang untuk upatjara samkhay dengan sedikit sjarat jang diperlukan, dan sebuah medja djamuan untuk keluarga, beberapa orang tetangga dan Kam Tihu.   Diundangnja djuga Lauw Siu-tjay, itu pemuda malang karena tjalon isterinja dahulu telah mendjadi kurban keganasan Tong Hong Hweeshio, atas undangan Too-pek-koay-hiap.   Selama upatjara, Pek Wan-gwee dengan isteri sekalipun mentjoba memaksa2 diri untuk bergembira dan memberikan doa-restunja pada anak dan menantunja, namun pada hakekatnja ke-dua2nja tak dapat mengatasi kepedihan hatinja.   Lebih2 Pek Hudjin, sebagai seorang ibu jang sangat memandjai anaknja jang tjuma satu2nja, berlinang2 air matanja, sementara hatinja mengeluh, mengapa Giok Im jang masih sangat muda rupawan itu dan dimandja sebagai kumala hidup, kini harus menghadapi nasibnja jang djelek itu? "Oh, mengapa dia harus mendjadi isteri Loo Too-pek jang tua dan djelek!"   Demikian keluhnja.   "Mengapa......... mengapa nasibnja demikian malang? Oh, anak jang kusajangi......!"   Pek Wan -gwee menjentuh badan isterinja.   "Sudahlah kau djangan berduka. Sudah suratan-takdir anak kita bernasib demikian. Tidak baik kau menjiramkan air mata dalam upatjara sutji ini, hingga akan berpengaruh djelek bagi nasib Giok Im jang tak berbahagia itu! Sudahlah diam, djangan menangis........."   Bisik Pek Wan-gwee membudjuki Upatjara berlangsung dalam kesederhanaan dan sunji, tetapi tjukup murni, karena kedua pengantin sungguh2 rela berpadu.   Ke-dua2nja bersumpah dan 98 berdjandji untuk bersama setia dan saling menjinta sebagai suami-isteri.   Setelah itu mereka mendjalankan peradatan pada kedua orang tua dan pada tamu2 lain, sesudahnja didjadjarkan atas dua kursi, menghadapi hidangan ditengah2 orang jang hadir.   Kedua pengantin menerima pemberian selamat dan doa2-sutji.   Pek Giok Im mengenakan pakaian mempelai setjara sederhana sekali menurut kehendaknja, sedangkan si Bungkuk berdandan djauh lebih baik dari biasanja, jaitu pakaian pengantin umum.   Namun demikian, tidaklah dandanan pengantin itu mengurangi keburukan mukanja, dan mengubah ketuaan umurnja! Pada njatanja, tiada seorang tamu jang tidak merasa gegetun menjaksikan pasangan jang djauh perbedaannja itu, perbedaan umur, roman muka maupun keuangannja! "Kasihan benar nasib Pek Siotjia...........!!"   Demikian kata mereka.   Selesai upatjara, selesai pula segalanja.   Pesta nikah tak meninggalkan kesan, segalanja seperti biasa, penuh rasa ketjewa dan duka.   Dan pada hari itu pula, seperti sudah disjaratkan Too-pek-koay-hiap kedua mempelai meninggalkan gedung keluarga Pek.   Pek Giok Im harus mengikuti suaminja.   Pek Hudjin, menjuruh seorang budak mengikuti anaknja untuk menemani dan melajani segala keperluannja, tapi Pek Giok Im menolak.   "Tak usah ada seorang budak menjertai aku!"   Katanja.   "Dirumah suami jang ketjil didesa segalanja akan dapat aku menjelesaikannja sendiri! "   Kedua pengantin digotong djoli menudju kedesa Go-hong-tjhun.   Segenap orang didalam rumah keluarga Pek merasakan kehilangan sesuatu jang terbesar dan Pek Hudjin tak terasa menangis pula, menangis keras2 didalam kamar tidurnja.   Kedua djoli pengantin digotong orang, dengan hanja heberapa orang pengantar jang nantinja kembali pula ke Thian-tay.   Rumah pengantin laki2 adalah disebuah lembah sunji, Siang-yang-kok, termasuk daerah kota Sintjiang.   Iklimnja sangat sedjuk, pemandangan alamnja indah dengan sungai dan ladang2nja jang subur, dan ada pula pasarnja.   Penghuninja tak seberapa 99 banjak, hidup dari hasil pertanian dan perkebunan.   Rumah Too-pek-koay-hiap sebuah gubuk ketjil peninggalan orang tuanja, keletakannja mentjil djauh dengan tetangga.   Tetapi keadaanja tjukup bersih, perabotanja sederhana dengan hanja sebuah medja dan beberapa kursipindjaman.   Dimedja ini sudah disiapkan hidangan, sekedar untuk djamuan menjongsong pengantin.   Ruang dapur dan kamar mandi serba ketjil, letaknja dibagian belakang.   Dipodjok kanan ada sebuah kamar lain berukuran ketjil djuga, tetapi pintunja dikuntji, orang tak tahu apa isi didalamnja.   Kamar tidurnja tjuma sebuah, namun perlengkapannja agak lumajan, dengan seprei dan kelambu baru, dilengkapi sebuah medja rias berkatja ketjil, sebuah tempat penjimpan pakaian.   Kamar tidur Too-pek-koay-hiap biasanja tak begitu rupanja, melainkan tjukup dengan balai2 sadja tanpa kasur atau bantal.   Dirumah gubuk itu sudah ada sedjumlah orang, kisemuanja tetangganja mempelai.   Tiada dilakukan upatjara lagi, melainkan para tamu memberikan salam dan doa2 sutji.   Lanias disusul djamuan ketjil seadanja, selama mana mempelai wanita diperkenalkan pada tamu2 tetangga itu, jang merasa takdjub akan ketjantikan mempelai wanita.   "Seperti seorang gadis jang sudah tak laku sadja, gadis seindah dan tjantik manda diperisterikan seorang laki2 jang didesanja tak ada seorang perempuan pun mau menolehnja!"   Mendjelang petang pengantin sudah berduaan sadja.   Dan begitulah, sedjak hari itu Pek Giok Im mendjadi isteri Too-pek-koay-hiap.   Ia rela meninggalkan kesenangan dan keindahan hidup sebagai puteri seorang hartawan, meninggalkan keluarganja, meninggalkan segalanja di Thian-tay.   Dan kini ia hidup dengan seorang suami jang tak ada kesesuaiannja itu, Loo Too-pek jang tua buruk, disebuah gubuk ketjil sederhana, dilembah sunji, djauh dari tetangga.   Dikala siang hanja berteman dengan si Bungkuk, berkawan dengan tumbuh2an dan ladang, memandangi aliran sungai jang djernih airnja, dan dimalam-hari hanja kesunjian dan kegelapan sadja jang meliputi sekelilingnja, paling djuga menikmati bunji musik dengan irama-lagunja jang 100 menjendiri terluap dari retak2 tanah ladang, ialah njanjian djengkerik ataupun belalang.   Sunji dan bersahadja benar kehidupannja.   Dalam keichlasannja melempar segala kemewahan hidup, Pek Giok Im memperlihatkan harga seorang isteri dalam arti jang se-benar2nja.   Ia melakukan segala kewadjibannja dengan betul, menjiapkan apa jang dibutuhkan seorang suami, merawat rumah, bertanak atau menjapu lantai, dikerdjakannja sendiri tanpa budak.   Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ia ingin mendjadi isteri jang baik, setia dan menjajangi suami, walaupun suami itu seorang tua dan djelek romannja.   Adalah satu hal aneh, bila pada se-waktu2 Too-pek-koay-hiap pulang membawa uang banjak atau barang2 berharga, seperti djuga seorang saudagar besar jang baru habis berdagang diluar negeri, namun ia bukanlah seorang saudagar.   Dan jang terlebih aneh pula jalah uang itu disedekahkan pada tetangga2 jang melarat, bahan2 pakaian diberikan pada siapa sadja jang membutuhkan.   Ia sendiri sedikit sekali memakai uang untuk kepentingan hidupnja jang bukan kaja itu.   Karena itulah banjak orang dilembah sangat menghargai dan berhutang budi tak sedikit padanja.   Bila orang menanjakan dari mana ia memperoleh uang, Loo Too-pek hanja mendjawab, pakai sadja uang itu dengan senang, sebab uang itu ia perolehnja bukan dari djalan jang tidak halal.   Kelakuan dan perbuatan Loo Too-pek jang aneh itu mendjadi satu rahasia dan teka-teki umum, setimpal dengan djulukannja Too-pek-koay-hiap atau si Pahlawan-bungkuk jang gandjil berdasarkan ia pernah mengubrak-abrik pendjahat-gundul Tong Hong Hwee-shio jang sangat terkutuk itu! Memang aneh kehidupan Too-pek-koay-hiap itu, demikian terpikir oleh Pek Giok Im.   Keanehan itu bukan hanja ditjeritakan oleh mulut orang lain, melainkan disaksikannja sendiri djuga.   Sudah beberapa kali suaminja pulang membawa banjak uang dan barang2 berharga, dan tak djarang melakukan sedekah kepada te-tangga2nja jang miskin, sedangkan ia bukan seorang pekerdja, bukan pula pedagang.   Dengan demikian keperluan hidupnja sehari2 tak pernah terbengkalai.   Bila Loo Too-pek tak pergi keluar daerah, maka ada pula kegemarannja jang istimewa, jaitu pergi berburu kehutan, 101 hasil buruannja diperuntukkan teman nasi.   Dipandang dari luar, hubungan suami-isteri itu sangat rukun dan damai, bisa menimbulkan iri hati orang, kadang2 mereka mengobrol sambil bergurau.   "Alangkah berbahagianja Loo Too-pek itu! Seorang laki2 bungkuk dan tua memperoleh isteri jang selain tjantik-elok pun sangat setia dan menjajanginja!", demikian seseorang memudjinja.   "Dia perawan bodoh, mau bersuamikan laki2 hantu jang wadjahnja amat menakutkan!"   Kata seorang pula jang mempunjai kesan lain.   Sungguhpun demikian, namun apakah benar2 Pek Giok Im hidup beruntung? Apakah pengurbanannja untuk kebaikan nama keluarga Pek, mendapat pembajaran setimpal? Pek Giok Im harus dikasihani.   Ia tak mendapat apa jang diharapkan.   Ia tak pernah memperoleh apa jang seorang isteri berhak mendapat dari sauminja.   Pada tiap2 Loo Too-pek pergi berburu, mengeluhlah hati Pek Giok Im, malah kadang2 hampir menangis.   Sebab selama mendjadi isteri, belum pernah ia menikmati apa arti kesuami-isterian.   Benar Loo Too-pek selalu memperlihatkan kesajangan besar padanja, selalu berusaha menjenangkan hatinja namun itu hanja untuk menghibur belaka, untuk tak membikin Pek Giok Im kesepian dikala siang-hari.   Tetapi pada malam-hari, sekalipun tidur serandjang sepandjang malam, tak pernah satu kali si Bungkuk menjentuh badannja, tak pernah Loo Too-pek minta ini-itu sebagai lajaknja seorang suami pada isterinja.   Kelakuan Loo Too-pek jang aneh itu menimbulkan anggapan kepada Pek Giok Im, bahwa keichlasan dan pengurbanannja ternjata sia2.   Suaminja tak pernah tahu kewadjibannja, tak pemah memberi apa jang seorang isteri berhak memperolehnja.   Karena itulah, dari gegetun Pek Giok Im djadi merasa hidupnja ketjewa.   Dan hampir setengah tahun penghidupan jang demikian itu telah lampau, Pek Giok Im telah merasakan seperti orang jang sudah berumah-tangga, ia tidak mengalami kenikmatan apa jang dinamakan suami-isteri.   Ia merasa ketjewa akan perlakuan Too-pek-koay-hiap jang membiarkannja ia dalam kesepian dan kekosongan, dalam segalanja jang tak pernah dibajangkan.   102 Maka makin lama makin sedih hatinja, dan apabila dahulu ia tjuma mengeluh, sekarang ia menangis.   Ada kalanja ia ingin berterus-terang, akan tetapi setiap kali ia terkuntji mulutnja.   Rasa kewanitaan dan adat-istiadat mentjegah ia berbuat demikian.   Tetapi apakah ia dapat meneruskan tjara penghidupan jang demikian itu sampai usia berlandjut? "Sungguh2 aku tak menduga, kalau kenekadanku berkurban achirnja akan mendjadi begini!"   Demikian keluhnja "Dibuangnja segala kesenangan dan kemewahan hidup di Thian-tay, dan ditindasnja segala perasaan dan penderitaanku, dengan pengharapan aku berhasil memperdjuangkan nama kehormatan keluarga dari tjemar dan noda, tetapi achirnja hanja kegetiran dan keketjewaan belaka jang kuperoleh! Loo Too-pek tak menghiraukan kesepian dan kehampaanku.   Setiap hari aku ditinggal pergi hanja untuk seekor kelintji, setiap malam didjemur! Mengapa Loo Too-pek mendjadi demikian anehnja? Apa maksud sebenarnja dia merenggut aku dan membawahi kelembah sunji ini? Djika benar2 dia tak dapat memenuhi kewadjiban sebagai seorang suami, mengapa dia tidak mau membiarkan aku menempuh djalanku jang kupilih, jaitu kematian? Mengapa............   ja mengapa?"   Sesekali Pek Giok Im menjatakan kekurang-puasnja, dengan djalan tak langsung tjoba membangkit perhatian suaminja.   Namun usahanja tetap sia2.   Maka pada satu masa menangislah Pek Giok Im seorang diri, bahna kesal dan sedihnja.   Ketika itu kebetulan Too-pek-koay-hiap pulang berburu membawa hasil 2 ekor kelintji gemuk.   Ia terkedjut melihat isterinja sedang menangis.   "Mengapa kau menangis, sajangku? Mengapa kau bersedih? Siapakah gerangan jang melukai hatimu?"   "Aku tak sedih, tetapi djengkel dan ketjewa!"   Djawab isterinja agak kaku.   "Mengapa djengkel dan ketjewa?"   Mengulang si Bungkuk.   "Adakah aku pemah berbuat salah padamu? Djika benar, sudilah kau memaafkan! "   "Tidak perlu!"   "Mengapa tidak?" 103 "Pertjuma kau meminta maaf, karena keketjewaanku tak dapat dihapus hanja dengan permintaan maaf!"   "Djadi apa jang harus kuperbuat?"   Kata Loo Too-pek bingung.   "Benarkah seorang suami tak mengerti air mata isterinja?"   "Aku mengerti, Giok Moay-moay, air matamu adalah karena kedjengkelan! Apa sebabnja kau mendjadi djengkel?"   "Sudahlah, aku mendjelaskannja pun akan pertjuma! Biarkan sadja aku menangis, dan menangis sampai puas!"   "Gio-moay nanti sakit!"   "Sekarang sadja sudah menderita sakit! Biarkan sakitku sehingga membawa maut! Aku lebih baik mati daripada hidup tjelaka! "   "Eh eh, mengapa kau djadi nekad? Giok-moay masih muda, masih banjak harapan bagus! Mengapa menghendaki kematian? Tidakkah sajang............?"   Pek Giok Im agaknja sudah djemu dengan kata2 suaminja, maka dibantingnja dipembaringan untuk terus menangis dengan sedihnja.    Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini