Si Bungkuk Pendekar Aneh 5
Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Bagian 5
Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya dari Boe Beng Giok Si Bungkuk lalu nongkrong ditepi randjang. Ingin ia membudjuki terus, tetapi ia chawatir isterinja bertambah sedih. Ia mengulur tangannja pelahan meraba2 badan Giok Im jang kulitnja putih dan halus, mengundjukkan rasa kasih-sajangnja. Namun dalam djengkelnja Giok Im me-njingkir2kan tangannja Loo Too-pek. Maka si Bungkuk menarik pula tangannja, ia bertjokol terus ditepi pembaringan sambil memeluk lutut, diam2 ia tersenjum! Sedjak itu Pek Giok Im terus ngambek. Ia enggan bertjakap lagi dengan suaminja, melihat sadja pun segan. Setiap hari apabila keperluan suaminja sudah disiapkan, ia segera memisahkan diri diemper rumah atau menjekap diri didalam kamar tidur. Keadaan jang sedemikian berlangsung sampai beberapa hari. Si Bungkuk tetap seperti biasa, dingin dan beku, se-olah2 tak menghiraukan isterinja jang berduka. Sikap aneh Loo Too-pek itu tak dapat dimengerti dalam pikiran Pek Giok Im. Suatu hal jang amat mustahil seorang suami dapat membiarkan begitu sadja seorang isteri 104 jang masib sangat muda lagi tjantik, jang dengan rela dan keichlasannja menjerahkan segalanja padanja. Rasanja amat tak masuk diakal ada seorang laki2 dapat membuang2 kesempatannja sebaik itu, jang setiap hari dan malam disangding malah tidur serandjang. Ia tak pernah mendengar ada seeorang laki2 matjam demikian, karena Loo Too-pek itupun bukan manusia dari batu, bukan patung dan tanpa perasaan maupun nafsu. Tetapi njatanja Too-pek-koay-hiap seorang manusia jang lain daripada manusia seumumnja, sampai sekian lama tak pernah menjentuh kesutjian isterinja. Djadi sampai pada detik itu, Pek Giok masih seorang sadis bersih dan sutji! Pek Giok Im tak mengerti semua itu. Jang ia tahu si Bungkuk adalah seorang aneh, senang berburu, senang menolong simiskin, hatinja dermawan. Demikian Pek Giok Im hidup dalam kesepian dan tawar hati. Sampai pada satu hari muntjul suatu peristiwa. Pek Giok Im sedang duduk bersendirian diserambi tengah memikirkan nasibnja, tiba2 datang seorang anak muda tak dikenal. Tampan serta tjakap wadjah pemuda itu, berkulit kuning, dandanannja menjerupai anak sekolah, seorang prija amat menarik, siapa jang melihatnja. Sambil lalu Pek Giok Im merasa pernah melihat wadjah dan potongan tubuh sematjam tamu itu, namun ia lupa siapa dan dimana melihatnja. Pemuda itu lalu mendjura, mendjura setjara sopan, maka guguplah Pek Giok Im membalasnja, lalu menjilahkan tamunja berduduk. "Terima kasih!" Udjar tamu muda itu, gajanja indah. "Perkenalkan aku Tjio Han Hiong dari Kang-souw!" "Aku Pek Giok Im dari Thian-tay!" Balas isteri si Bungkuk. "Dapatkah aku mengetahui kedatangan Tjiokhee digubuk ini?" "Biasa sadja, ingin berkenalan dan bersahabat?" Djawab pemuda jang mengaku bernama Tjio Han Hiong itu. "Itupun djika tak mengetjewakan Kohnia!" "Oh tidak! Terima kasih atas perhatian Tjiokhee", kata Pek Giok Im, lalu ia menjuguhkan setjangkir air teh. Sementara itu mata Tjio Han Hiong mengawasi njonja-rumah jang masih muda itu, dari atas sampai kebawah. 105 Pek Giok Im jang tjerdas bukan tak mengetahui akan ketjeriwisannja tamu asing jang baru dikenalnja itu. Tetapi ia menganggap itu satu hal biasa, tidak laki2 tak berbuat seperti Tjio Han Hiong terhadap seorang wanita, lebih2 gadis remadja dan rupawan seperti ia. Ternjata pemuda itu dojan benar ngohrol, ada sadja bahan2 padanja tentang peladjaran, kehidupan didesa dan dikota, tentang rumah tangga dan lain2. Selama bertjakap Pek Giok Im ingat gaja-suara seseorang jang sama dengan Tjio Han Hiong, njaring dan enak didengar, namun ia lupa akan orang itu. Achirnja pertjakapan tamu muda itu mendjurus kepada dirinja Pek Giok Im pribadi. Ia menjatakan senang dan simpati berkenalan dengan seorang wanita sebagai Pek Giok Im. "Hanja sajang aku terlambat mengenalinja, hingga ibarat orang hendak berpergian, sudah ketinggalan kendaraan!" Begitulah tjakapnja pemuda itu selandjutnja. "Apa maksud utjapan Tji liee?" Menegasi Pek Cipk Im tak mengerti. "Aku terlambat mengenalimu, djika tidak, aku pasti seperti sang kumbang dapat mengisap madu bunga jang menjerupai dirimu!" Pek Giok Im memalingkan muka, bukan karena ia marah, tetapi malu. Namun ia tidak menganggap Tjio Han Hiong seorang kurangadjar, karena bitjaranja sangat lembut dan mengandung keketjewaan. "Dimanakah kini suami Kohnio?" Bertanja Tjio Han Hiong kemudian matanja tak puas memandangi wadjahnja njonja rumah jang ditatapnja setjara puas2an "Dia sedang berburu kelintji dihutan!" Djawab isteri si Bungkuk. "Dia memang gemar berburu!" "Bilakah dia pulang?" "Biasanja dekat santap tengah-hari dia kembali! "Membawa kelintji?" "Ja!" "Dan Kohnio jang memasaknja?" "Ja!" "Tentunja dia senang dengan masakan hasil tanganmu bukan?" 106 "Begitulah rupanja!" "Dia seorang suami jang beruntung, dan Kohnio seorang isteri jang berbahagia djuga bukan?" "Begitulah aku merasakannja............!" "Tetapi............" "Mengapa?" "Pada wadjah Kohnio tak tampak sama sekali akan kebenaran pengakuanmu tadi! Aku tahu Kohnio tak pernah mendapat kepuasan dalam hidupnja, bahkan menderita bathin! Memang isteri jang manakah bisa mendapat apa jang diharapkan di masa mudanja djika bersuamikan laki2 jang bukan idamannja!" Pek Giok Im mendjadi terkedjut. Ia mendapat perasaan lain terhadap tamunja itu. "Tidaklah Tjiokhee merasa berkelebihan akan kata2 Tjiokhee itu?" Ia bertanja, dahinja dikerutkan, tanda dari ketidak-senangan hatinja. "Aku maksudkan, Kohnio djauh dari berbahagia hidup di samping laki2 jang Kohnia anggap suami itu!" Pemuda itu melanljutkan dengan seenaknja, dengan bebas. "Dia bukan seorang laki2 jang berhak memiliki Kohnio, atau ibarat burung Hong, Kohnio salah memilih ranting untuk hinggap, Kohnio masih sedemikian muda remadja, sedang Loo Too-pek boleh dikata satu kakinja sudah mengindjak liang kubur! Soal buruk mukanja tak usah diperbintjangkan lagi ngeri-seram dan menakutkan! Itulah jang aku maksudkan, Kohnio salah pilih suami, dan sebab itulah hidup Kohnio ingat tak beruntung!" "Tetapi kenjataannja aku tjukup beruntung!" "Itu hanja hiburan sadja! Kesan2 diwadjah Kohnio menggambarkan kenjataan, bahwa Kohnio menderita lahir dan bathin salama I pernikahanmu!" Mulailah Pek Giok Im memperlihatkan kemarahannja. "Dengan tak tahu malu Tjiokhee usil rumah tangga orang dan kepribadian seseorang!" Katanja kemudian. "Sebagai seorang tamu, Tjiokhee seharusnja dapat berlaku sopan dan mengindahi njonjarumah! Aku semula mengira Tjiokhee seorang terdidik baik, akan tetapi menilik dari utjapanmu ini, njatalah Tjiokhee seorang tak tahu harga107 diri dan sopan santun!" "Djanganlah keburu naik darah, Kohnio!" Djawab tamu jang kurang adjar itu. "Aku bermaksud baik, aku berkasihan padamu, karena kau tidak beruntung dalam rumah-langga jang pintjang ini. Sebab itu aku datang padamu, berhasrat memenuhi segala kekuranganmu!" Makin gusarlah hati Pek Giok Im, karena tamu itu semakin njata kekurang-adjarannja. "Aku tahu dengan maksud apa kau berkundjung kerumahku selagi suamiku tak ada! Tak patut benar perbuatanmu, dan terlalu hina! Ketahuilah, aku seorang wanita jang sudah bersuami, dan betapa adanja suamiku, aku adalah isterinja jang harus menghargai dan menjajanginja! Kau tak berhak mentjetuskan kata2 kotor, kau tak pantas mendjadi tamuku! Sekarang ku persilahkan kau meninggalkan rumah ini, dan djangan kembali lagi! Aku takut, bila suamiku dapat mengetahuinja, kau takkan dapat keluar dari sini tanpa mengalami hal2 tak enak!" "Apakah kau kira si Bungkuk akan mempertjajai, kalau aku berbuat sesuatu jang merugikan padanja?" Djawab Tjio Han Hiong jang tak menghiraukan kemarahan njonja rumah. 'Tetapi bagaimanapun djuga, aku tetap menjatakan, aku tjinta padamu! Dan aku pertjaja tak lama lagi kau akan berada diatas pangkuanku, karena ketuaan umur Loo Too-pek akan mempertjepat adjalnja!" Hampir2 Pek Giok Im menangis bahna gusarnja, karena tak tahan mendengar hinaan2 tamunja jang tak diundang itu. Maka dengan sengitnja ia membentak. Jilid III "Enjalah kau segera dari rumah ini! Aku djemu melihat mukamu, djidjik mendengar utjapansmu jang kotor! Enjalah, atau aku nanti berteriak minta tolong". Tjio Han Hiong tersenjum, sekali ini pandangan matanja agak berapi. "Hari ini kau tidak menjukai aku, tetapi aku chawatir kau akan menjesal terlalu lekas!" Katanja, mengedjek dan meninggalkan rumah gubuk itu 108 Pek Giok Im membuang ludah dan menggaberukkan pintu dengan keras. Tak lama kemudian, seberlalunja tamu berandalannja itu, tampak Toopek-koay-hiap pulang membawa 2 ekor kelintji. Ketika dilihatnja muka isterinja amat muram dan ber-sungut2, ia mendjadi heran. Tetapi ia tidak mau menanjakan sebab-musababnja, karena ia anggap sudahbiasa pada masa2 jang terachir ini isterinja marah2 sadja dan enggan bertjakap, ia membiarkan isterinja uring2an. Dilain pihak sang isteri pun tidak mau menuturkan apa jang telah terdjadi dengan kedatangan tamu-muda jang tak tahu adat itu, bukan disebabkan ia sedang segan ngomong, melainkan merasa tak ada perlunja. Kemudian haripun mendjadi malam. Pek Giok Im sudah masuk kekamar tidurnja, mungkin karena amat letih, atau ada sebab lain lagi, tetapi tak njenjak tidurnja. Pada kentongan jang kesepuluh kali, ia terbangun. Ia hendak berbangkit, ketika ia rasakan sebuah tangan ada diatas dadanja benar. Baru pertama kali ia merasakan tangan suaminja menjentuh badannja diwaktu tidur. Ia tidak berniat menjingkirkan tangan suaminja, karena kuatir suami-nja kaget dan terbangun. Namun alangkah terperandjatnja Pek Giok Im, ketika ia mengetahui, bahwa itu bukanlah tangannja Loo Too-pek. Ia menjentak tangan itu, dan melompat turun dari pembaringan, dan ditatapnja laki2 jang tidur disisinja itu. Temjata dia adalah pemuda tjeriwis jang datang menamu tadi pagi, Tjio Han Hiong. Ia heran mengapa pemuda badjingan itu bisa ada didalam kamarnja, sedang Loo Too-pek tak tampak matahidungnja. Lantas ia mendjerit se-kuat2nja minta tolong, namun tiada seorangpun mendengarnja, karena tetangga2 djauh benar rumah2nja. Adalah Tjio Han Hiong djadi kaget terbangun, meng-kutjek2 kedua matanja, kemudian ditatapnja wadjah Pek Giok Im jang bertambah tjantik sehabis tidur. "Mengapa kau ber-teriak2 tengah malam buta seperti ini, hingga tetangga akan mengira disini ada terdjadi perkara hebat?" Bertanja pemuda berandalan itu. Untuk sedjenak Pek Giok Im tak dapat membuka mulut, karena 109 terkedjutnja jang sangat. "Sudahlah, manisku, tidur sadja lagi bersamaku, karena malam-pun masih pandjang!" Berkata pula Tjio Han Hiong sambil hendak menarik tangan orang. Barulah Pek Giok Im dapat menetapkan hatinja, dan membentak: "Hei, laki2 terkutuk, begitu berani kau masuk dalam kamar tidur orang waktu malam begini! Hajo keluar, bedebah, keluar! Bila tidak, Loo Too-pek nanti datang dan membunuhmu!" "Djika Loo Too-pek membunuhku, berarti kau akan kehilangan segala2nja, karena aku mati, Loo Too-pek pun mampus djuga! djawab Tjio Han Hiong. "Djangan kuatir, nona, Loo Too-pek takkan mengetahui apa jang terdjadi dikamar ini! Dia baru sadja pergi kekota untuk mentjuri dan itulah sebabnja aku datang kemari untuk menemani kau! Bukankah kau butuh hiburan? Mungkin Loo Too-pek takkan kembali pula kemari, karena kau telah membentjinja! " "Kurang adjar!" Mendamprat Pek Giok Im, marahnja mendjadi2. "Kau satu2nja manusia busuk jang aku pernah djumpai! Sudahlah, pergi dengan segera! Aku nanti lari dan memanggil orang2 untuk melabrakmu!" "Aku tak pertjaja wanita selembut kau akan dapat menjelan laki2 jang sangat menjintainja! Marilah, manis, tidur sadja lagi disebelahku ini! Hari masih malam dan hawapun sangat dinginnja! Marilah kita bersama memimpikan hal2 menjenangkan!" Pek Giok Im tak dapat menguasai lagi dirinja. Dengan kalau ia mengambil botol minjak-pelita dibawah medja. Tetapi sebelum ia bergerak, Tjio Han Hiong sudah melompat turun dan menangkap tangannja. "Tahan dahulu, manisku sajang, djangan mengutjurkan darah seorang laki2 jang sungguh2 merindukanmu!" Berkata Tjio Han Hiong. "Tidakkah kau sajang akan kasihku, tidakkah kau dapat menjambut tjintaku? Jakinlah, bahwa aku adalah satu2nja orang jang dapat membahagiakan hidupmu!" "Tutup mulutmu, lelaki busuk!" Mendjerit Pek Giok Im. "Kau manusia tak tahu malu dan kurang adjar! Lekas berlalu dari sini, bangsat! " 110 Tjio Han Hiong tersenjum. Sikapnja ini menambah kemurkaannja Pek Giok Im, maka ia tjoba melepaskan tangannja jang memegang botol. Ketika terlepas, digigitnja tangan pemuda itu. Kedengaran Tjio Han Hiong berkaok karena gigitan keras itu, tetapi ia membetot badan Pek Siotjia dan ditarik kedadanja, lalu didjatuhkan kepembaringan. Pelukannjapun amat kentjang, hingga Pek Giok Im tak berdaja lagi............ Pek Giok Im tak dapat berkutik sama sekali. Mukanja Tjio Han Hiong kini mendekat benar kemukanja, hingga hampir ia tak dapat bernapas. Dalam marah dan sedihnja kini Pek Giok Im berteriak2: "Lelaki djahanam, lelaki bedebah! Kau telah menghina dan menista sehebat ini padaku! Lebih baik kau bunuh aku daripada aku ternodai olehmu! Oh, bunuhlah aku, bunuhlah............! dan ia menangis. Tjio Han Hiong tak sampai hati djuga mendengar keluhan Pek Giok Im. Lantas tiba2 ia berkata: "Djangan ter-gesaa ingin mati, manisku sajang! Kau tak perlu mati, dan tak boleh mati! Sajangilah djiwamu, sajangilah keremadjaanmu dan ketjantikanmu! " "Djangan banjak batjot!" Bentak pula Pek Giok Im, air matanja bertjutjuran. "Djangan membudjuk-raju! Aku tak dapat mendjalangkan diri! Sudahlah, bunuh sadja aku, lekas!" "Kau nanti menjesal! " "Tidak! Lebih baik aku mati daripada hidup tjemar!" "Kataku, kau nanti menjesal! Sekarang tjobalah tatap wadjah-ku, pandangi dengan perhatian bentuk tubuhku! Dengarkan djuga suaraku! Ja jakinkanlah segalaku! Tataplah benar2, siapakah aku ini sebenarnja!" "Tak perlu! Aku djemu pada muka iblismu jang mendjidjikan! Kau manusia paling kedji didunia!" "Kau salah, Giok-moay! Kau salah terka! Lihatlah tadjam2, dan perhatikan segalanja! Aku bukanlah lain orang, tetapi suamimu jang sedjati. Aku Too111 pek-koay-hiap, si Bungkuk jang sangat menjajangimu! Nah tataplah!" Kini Pek Giok Im mau djuga memandangi wadjah laki2 jang telah memeluknja itu. Ditatapnja tadjam2 dan penuh perhatian mata laki2 itu, dahinja, mulutnja, punggungnja, terus kekaki. Memang mirip benar dengan Loo Toopek! Tetapi djauh benar perbedaan Too-pek-koay-hiap dengan Tjio Han Hiong. Laki2 ini masih muda-belia, kulit-mukanja halus, wadjahnja tampan dan manis, bentuk badannja lempang-luwes, dan gajanja tangkas, pendeknja seorang prija jang amat menarik. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pek Giok Im mendjadi ragu2 dan bimbang, ia masih tetap pertjaja pemuda ini adalah Tjio Han Hiong jang kedji! "Bagaimana kesanmu sekarang terhadapku, Giok-moay?" Bertanja pemuda itu kemudian. "Bukankah kau menemui tanda2 njata, bahwa aku bukan orang lain melainkan si Bungkuk? Masihkah belum djelas bahwa aku adalah suamimu, si Bungkuk itu? Masihkah kau sangsi?" "Aku tak pertjaja-katamu!" Djawab Pek Giok Im. "Kau bukan suamiku! Djauh bedanja si Bungkuk dengan kau, laki2 jang tak punja malu! Tak mudah kau dapat menipu aku! Hajo lepaskan aku, dan segeralah kau keluar dari rumah ini!" "Heran kau masih tak mempertjajainja aku, Giok-moay! Apa katamu bila kau mendapat kenjataan akan kebenarannja ? Tak ada seorang suami akan menipu isterinja dan Too-pek-koay-hiap tak mungkin akan membuat malu isteri jang sangat ditjintainja! Kau perlu buktikah?" "Nah, buktikanlah! Tetapi awas bila kau mentjoba menipuku!" "Mari ikut aku untuk melihat buktinja!" Dengan laku jang sama sekali berubah, jaitu lunak dan penjajang, Tjio Han Hiong mengadjak Pek Giok Im masuk keruang belakang. Dibukanja kuntji pintu kamar-ketjil disudut dekat dapur. Sebuah peti-kaju dibukanja oleh Tjio Han Hiong, dan diambilnja sesetel pakaian rombengan, sedikit alat daripada bahan lunak dan sebuah bantal ketjil, dan rambut-palsu berwarna putih sebagai kapas, dan sebatang tongkat butut. Barang2 itu dibawa masuk, diletakkan diatas medja. Pelita dibesarkan apinja, hingga mendjadi lebih terang. 112 "Lihatlah semua ini, Giok-moay!" Berkata Tjio Han Hiong sambil menundjuk barang2 itu. "Inilah pakaian si Bungkuk dengan rambut-palsunja, bantal-ketjil jang membikin punggung djadi melengkung, alat2 lunak-tipis pengubah muka mendjadi buruk dan mengerikan, dan ini tongkat kesajangannja. Djelaskah sekarang dan pertjaja akan kebenarannja?" Pek Giok Im terdiam. Otaknja berkelahi untuk mentjoba memahami, apakah barang2 itu benar alat2 pengubah bentuk Tjio Han Hiong mendjadi seorang bungkuk dengan muka iblis sebagai Too-pek-koay-hiap. Menampak isterinja masih agak bersangsi, Tjio Han Hiong segera mengenakan alat2 itu dan sekedjap sadja muntjullah suatu pemandangan jang sangat menakdjubkan. Kini tiada lagi Tjio Han Hiong, melainkan si Bungkuk. Benar2 si Bungkuk! "Astaga!" Berseru Pek Giok Im mendadak, sementara ia djadi terpesona berdiri mematung. "Kau............?" "Ja, Giok-moay, akulah suamimu, Loo Too-pek simuka hantu!" Djawabnja Tjio Han Hiong. Tubuhnja Pek Giok Im lemas seketika, hingga hampir terdjatuh. Maka buru2 Tjio Han Hiong menubruknja dan didudukkan ditempat tidur, sementara itu ia sudah melepaskan kembali alat2 penjamarannja. "Tentunja kau terlampau kaget, Giok-moay" Udjar Too-pek-koay-hiap tak melepas tangan jang menundjang badan isterinja. "tetapi aku pertjaja sekarang kau mendjadi gembira, karena aku bukanlah benar2 seorang tua dengan bentuk tubuh mendjidjikan, tetapi seorang muda dengan gambaran lain, sesuai dengan keremadjaan dan kemolekanmu! Oh, Giok-moayku, alangkah senang hatiku pada malam jang aneh ini, malam jang takkan mungkin dialami pula seumur hidup!" "Tetapi............" Kata Pek Giok Im, tak dapat meneruskan kata2nja, ia tiba2 menangis. Memang rasa bahagia jang berlebihan dan datangnja sangat mendadak pula itu, membikin seseorang djadi menangis sebaliknja dari tertawa. "Tetapi............ mengapa kau menjamar sebagai si Bungkuk?" Ia bertanja 113 kemudian. "Mengapa?" "Itu adalah suatu kewadjaran dari tabiatku, suatu kegemaranku dikalangan Kang-ouw!" Menerangkan si Bungkuk. "Aku tak ingin dikenal sebagai seorang pahlawan, karenanja aku memalsu diriku sebagai seorang tua-bungkuk, bertongkat sebagai pengemis. Dengan tjara demikian, umum akan selalu melihat aku sebagai seorang jang tak ada gunanja, sampah djalanan belaka, mereka tak mungkin memperhatikan aku sebagaimana di Thian-tay dahulu orang menganggapku. Tanah-tumpah darahku memanglah dilembah ini dan gubuk ini adalah warisan nenekku. Aku sebatang-kara, dengan demikian, aku bebas berkelana, atau bertualang, mengembangkan bakat2ku sebagai pengabdi perikebenaran. Namaku sendiri memang Tjio Han Hiong". "Oh............!" "Ja, Tjio Han Hiong, saudara sepupu dari Tjio Han Boe jang mendjadi kurban keganasan Tong Hong Hweeshio dikaki bukit Goe-thauw-nia dahulu hari itu!" "Astaga! Djadi ia berkurban untuk aku? Binasa lantaran aku?" "Itupun sudah selajaknja! Barang siapa tak dapat berkurban, dia tak berhak disebut Enghiong, dan tak berhak pula menempati dunia Kang-ouw!" Disitulah Pek Giok Im teringat akan Tjio Han Hiong jang kasar, jang memiliki kemiripan dengan seseorang jang ia telah lupa. Tak tahunja Tjio Han Hiong itu adalah si Bungkuk djuga, suaminja. Ia mimpipun tidak tahu bahwa si tuabungkuk itu, sebenarnja adalah seorang muda-belia, tampan dan tjakap, seorang djago perkasa dalam dunia persilatan, dan telah mendjadi termasjhur karena menumpas kedjahatan di Thian-tay jang dilakukan Tong Hong Hweeshio. "Djadi............?" "Ja, sekali lagi aku katakan, aku suamimu asli, Loo Toopek!" Tjio Han Hiong memotongnja. "Aku ketahui, bahwa saudara sepupuku Tjio Han Boe sedang berada di Thian-tay mentjoba memerangi Harimau-hantu di Goe-thauw-nia. Tetapi aku terlambat datang, setibaku disana, dia sudah meninggal!" "Alangkah sedihku karena kematian ntjek Han Boe itu.!" Tjio Han Hiong menganggukkan kepala 114 "Sekarang kau tentu tidak sangsi lagi bahwa aku benar2 suamimu, tetapi bukan lagi Loo Too-pek, hanja Tjio Han Hiong jang masih muda, umurku baru duapuluh empat, djadi enam tahun lebih tua daripada mu! Dan kini aku ingin mendengar dari mulutmu, bagaimana anggapanmu tentang aku sekarang? Masih mendjemukankah?" "Sudah tentu tidak! Karena Tjio Han Hiong adalah Loo Too-djuga. suamiku!" "Kau semula berbohong, Moay-moay. Sebenarnja kau tak rela mendjadi isteriku! Mustahil seorang gadis muda dan semolek kau mau mendjadi isteriku, sedangkan banjaklah pemuda2 jang sederadjat dan sama mudanja, selalu merindukan kau dan ingin menjuntingnja!" "Mengapa Koko mengatakan demikian? Tidakkah senantiasa aku memperhatikan tjintaku jang se-besar2nja, hingga aku mau dibawanja kelembah sunji dan gubuk jang tak ada apa2nja ini?#" "Tetapi buktinja aku tak pernah mendapat apa jang seorang isteri seharusnja memberikan! " "Heran mengapa Koko bisa mengutjapkan kata2 demikian. Adalah Koko sendiri jang tak mengenal kewadjiban! Koko agaknja tak tahu, atau pura2 tak tahu, bahwa hatiku sebenarnja menderita, sanubariku menangis............!" Djawaban Pek Giok Im mau tak mau membikin si Bungkuk jang kini tak bungkuk lagi mendjadi tersenjum. Ia tak sampai hati untuk terus2an membuat isterinja berduka. "Ja, memang akulah jang bersalah, Moay-moay! Akulah jang tak pernah menunaikan kewadjibanku, dan sebagai isteri, benar2 kau tersiksa! Sudilah kiranja kau memaafkan, Moay-moay?" Pek Giok Im tak mendjawab, tetapi menatap wadjah suaminja. "Tetapi apa sebabnja selama itu Koko berlaku aneh padaku? Koko memandang sepi sadja padaku, se-olah2 aku hanja sebuah patung belaka. Sedangkan aku senantiasa seperti mengharap djatuhnja rembulan dari atas langit jang tinggi?" "Maksudku, Moay-moay, berterus-terang ialah aku ingin mengudji sampai dimana sebenarnja kesetiaanmu terhadapku!" Djawab Tjio Han Hiong. "Sebab aku masih sadja bimbang, dan ber-tanja2: mungkinkah kau berkurban 115 padaku dengan sungguh2 ataukah karena dipaksa oleh rasa harga-diri dan keluarga!" "Oh, djadi demikian halnja!" Kata sesal Pek Giok Im. "Djika aku tahu itu, tentunja aku sudah membunuh diri, karena kesutjian-ku diragukan oleh seorang suami! Dan selain itu, apa pula maksud Koko kemarin menggodaku dengan bentuk seorang muda sebagai Tjio Han Hiong sekarang ini?" "Itu pula satu udjian bagimu, Moay-moay! Dan kemarinlah mendjadi hari terachir akan kebulatan kepertjajaanku, karena kau benar2 bersetia dan ichlas mempersuamikan seorang tua-bungkuk dan mendjidjikan, karena wadjah menarik dari seorang pemuda tak membikin kau djadi silau atau djatuh! Dan itulah sebabnja malam ini aku sudah tak mendjadi lagi Loo Toopek tetapi Tjio Han Hiong jang sebenarnja!" Senang bati Pek Giok Im mendengar pengakuan suaminja. Senang bukan kepalang, karena mulai saat itu, ia tak bersuamikan lagi seorang bungkuk dan mengerikan, tetapi seorang muda-belia jang tampan. Ia menundukkan kepalanja, takut senjum gembiranja dilihat oleh Tjio Han Hiong. Tetapi suami itu bukan tak tahu perasaan apa sedang dibajangkan isterinja jang molek itu. "Aku harap malam ini kau gembira benar2, Moay-moay, seperti djuga aku gembirdamemperoleh seorang isteri jang setia!" Pek Giok Im menganguk, senjumnja membajang njata. "Kau akan mendjadi lebih gembira pula, bilakah tahu, bahwa aku telah membalaskan dendam-malumu pada pemuda tjeriwis Go Thian Po di Thiantay!" "Bila Koko berbuat demikian?" Bertanja Pek Giok Im. "Pada malam itu djuga, setelah selesai perundingan perdjodohan kita!" Lalu Tjio Han Hiong menuturkan segala jang telah diperbuat atas diri Go Thian Po dahulu, hingga memaksa pemuda ugal2an itu harus mengawini seorang budaknja, Lauw Pan. "Uang jang aku gasak dirumah Go Thian Po aku pergunakan utuk persiapan2 hari-kawinku, jaitu membeli tempat tidur baru dan perabotan seperlunja, dan pakaian2 pengantin djuga!" Ia melandjutkan. "Tetapi sebagian terbesar 116 aku telah sebar untuk menlong tetangga2 jang menderita!" Pek Giok Im berdiam sedjenak. Ia heran dan mengagumi suaminja mengenai peristiwa dalam rumah Go Wan-gwee. "Seorang tetangga mengatakan padaku, bahwa Koko tidak djarang mengamal pada kaum miskin. Dan seringkali Koko membawa pulang uang banjak, sedang Koko bukan seorang pedagang. Dari mana Koko sebenarnja mendapat uang itu?" "Mentjuri tentu!" Djawab Tjio Han Hiong. "Mentjuri?" Mengulangi istrinja kaget. "Ja, tetapi kau djangan salah faham! Mentjuri ada dua matjam. Mentjuri untuk keperluan sendiri adalah perbuatan djahat, tetapi aku mentjuri bukan sembarang mentjuri! Jang aku tjuri adalah kekajaan seseorang jang diperoleh dengan djalan menghisap darah orang miskin, hasil pentjurian itu aku gunakan untuk kaum melarat djuga. Djika aku berbuat demikian untuk kepentingan sendiri, bukan mustahil aku sudah mendjadi satu Wan-gwee dengan rumah gedung jang besar dan tinggi. Ketahuilah, djiwa dan pendirian seorang Kang-ouw memang demikian, Moay-moay!" Barulah Pek Giok Im mengerti, dari mana suaminja senantiasa memperoleh banjak uang dan untuk apa uang-kotor itu dipergunakan! Hal itu menambah kekagumannja terhadap suaminja jang berdjiwa besar. Pada suatu hari ia teringat akan orang tuanja di Thian-tay. Lalu ia menjatakan kepada suaminja. "Bagaimana pikiran Koko, kalau besok pagi kita pergi mendjenguk ajah dan ibu di Thian-tay? Sudah sekian lama kita tak pernah menengoki sedjak hari perkawinan kita. Aku sudah merasa rindu, dan ajah serta ibupun mestinja rindu pula pada kita!" "Akupun sudah rindu pada mereka!" Djawab suaminja. "Baiklah, besok pagi kita mendjenguk Gak-hu dan Gak-bo! Tetapi eh...... bagaimana anggapan ajah dan ibu nanti mendapatkan aku bukan sebagai Loo Too-pek, tetapi dengan bentuk aku jang sebenarnja?" "Sudah tentu bukan dengan si Bungkuk lagi! Aku lebih senang bersamaanmu 117 dengan bentuk jang sekarang!" "Tetapi aku ada satu pikiran baru, sekiranja kau pun akan menjetudjuinja". "Pikiran apakah itu?" Tjio Han Hiong lalu membisik telinga isterinja. Pek Giok Im tampaknja girang, lalu menjatakan setudju. Lantas............ tak terdengar lagi suami-isteri itu ber-tjakap2. Sunjilah didalam gubuk. Dan keesokan paginja mereka bangun kesiangan. Hanja sajup2 terdengar pertanjaan lirih Pek Giok Im: "Berapa lama Koko menjamar sebagai si Bungkuk?" "Sedjak tiga tahun jang lalu" Sahut suaminja. "Hanja mulai malam pengantin itu sadja aku tak pernah melepaskan pakaian samaranku siang dan malamhari." "Mengapa begitu?" "Untuk gunamu, sengadja aku menderita!" "Ah, adakah aku sedang bermimpi, Koko?" "Tjukup sadar! Tiada orang bermimpi dapat bertanja demikian! Jang dapat bertanja bukan sedang bermimpi!" Pek Giok Im tersenjum manis. Ja, barulah pada malam itu mereka benar2 mengalami malam-pengantinnja. Dan bahwa ke-dua2nja merasa sangat berbahagia, tak perlu diperbintjangkan pula! Keesokan paginja gemparlah segenap penduduk lembah Siang-jang-kok karena peristiwa sangat luar biasa didalam gubuk si Bungkuk. Hampir mereka tidak pertjaja, bahwa anak muda tampan dan manis jang sekarang diakui suami oleh Pek Giok Im adalah sebenarnja Too-pek-koay-hiap sendiri, jang selama beberapa tahun mereka kenal. Mereka datang kegubuk untuk menjaksikannja. Demikianlah keheranan mereka, pemuda tjakap itu betul2 si Bungkuk adanja. Mereka sangat takdjub dan terpesona. Tetapi gempar atau tidak Thio Han Hiong berdua Pek Giok Im sudah meninggalkan gubuknja menudju ke Thian-tay. Sebagai oleh2 dari udik dibawanja mereka apa2 jang tak terdapat dikota, dalam sebuah kerandjang118 bambu, jang didjindjing oleh satu tangan masing2 berdjadjaran. Itulah apa jang dinamakan berat sama dipikul, ringan sama didjindjing. Kegemparan terdjadi pula dirumah keluarga Pek Wan-gwee, lebih2 orang2 didjalan, ketika melihat Pek Giok Im tak lagi berdua dengan suami jang bungkuk dan menakutkan, tetapi dengan seorang muda-belia, tampan serta gagah. Dan Pek Wan-gwee berdua Hudjin melihat mereka dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, karena terkedjut. Bukan terkedjut melihat ketampanan pemuda Tjio, melainkan karena anaknja bukan dengan suami si Bungkuk tetapi dengan seorang muda tjakap dan menarik. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dan mereka lebih terpesona ketika Pek Giok Im berdua Tjio Han Hiong berlutut sambil ke-dua2nja mengutjap begini: "Ajah dan ibu, terimalah hormat anak dan menantumu! Sudi dimaafkan bila baru hari ini kami mendjenguk orang tua!" Pek Wan-gwee tinggal terpaku, adalah isterinja tak sabar bertanja: Inikah suamimu. Giok Im? Bagaimana mungkin! Suamimu adalah Loo Toopek! Dimana dia?" "Aku tak mau dengan si Bungkuk lagi, ibu!" Djawab Giok Im terus berlutut. "Ketjewa aku mendjadi isteri orang tua seburuk dia! Suamiku jang sekarang adalah ini, Koko Tjio Han Hiong!" "Kau gila, Giok Im!" Bentak ibunja. "Terlalu gila! Bagaimana kau bisa berbuat begini busuk dan memalukan! Kau mengapakan Loo Too-pek?" "Tjeraikan, ibu!" "Aduh, benar2 kau anak tjelaka! Dahulu kau berkeras mempersuamikan dia, sekarang kau mentjeraikannja untuk ganti suami baru! Tak ada perempuan lebih kotor daripada kau! Kau bukan anakku lagi, aku tak sudi melihatmu; anak tjelaka! Pergilah dari sini, kau tak boleh lagi mengindjak rumah ini!" "Sabarlah, ibu! Aku memilih suami baru jang dapat membahagiakan hidupku, bukan si Bungkuk jang sudah tak ada gunanja itu. Terlalu tua dan djelek dia! Ibu harus merasa ketjewa mempunjai menantu Loo Too-pek, tetapi dengan baba-mantu baru, ibu boleh merasa bangga, karena dia setimpal benar mendjadi suamiku!" 119 "Apa katamu, hah? Hei, Giok Im, aku tak mengira kau bisa mendjadi begini sesat, mendjadi perempuan paling hina! Nenek-mojang kita bisa bangun dari kuburnja bila tahu perbuatanmu jang amat memalukan ini! " "Ibu salah............" "Apa? Salah?" Bukan main gusarnja Pek Hudjin, hingga hampir ia djadi semaput. Adalah Pek Wan-gwee tak dapat menguasai kehantjuran menghadapi peristiwa sehebat itu, maka dengan bengisnja ia mengusir anak dan menantunja setelah ditjatji-maki habiskan. Melihat kehebatan suasana, barulah Tjio Han Hiong membuka mulut. "Gak-hu dan Gak-bo sebenarnja sedang dibohongi oleh Giok-moay! Dia bermaksud akan menggembirakan segenap keluarga dengan sapi tjina jang menakdjubkan, namun perbuatan Moay-moay sebetulnja terlalu kurang adjar!" "Apa katamu, laki2 bedjat perampok isteri orang, hah?" Bentak Pek Wangwee keras. "Djangan banjak mulut! Djangan panggil aku Gak-hu! Pergilah sekarang, aku tak sudi melihat lebih lama manusia2 busuk seperti kalian berdua!" "Aku mohon Gak-hu sedikit tenang!" Udjar Tjio Han Hiong tetap berlutut. "Jakinlah, Gak-hu, bahwa aku adalah djuga menantu Gak-hu jang dahulu itu, si Bungkuk! Memang namaku Tjio Han Hiong! Djika Gak-hu tidak pertjaja, sebentar lagi Loo Too-pek akan undjukkan diri, dan boleh ditonton orang seisi rumah!" Pek Wan-gwee terdiam. Ia tak mengerti permainan apa sebenarnja sedang dibawakan oleh anak dan menantunja itu. Sekarang Tjio Han Hiong masuk kedalam kamar Pek Giok Im jang dahulu, sementara isterinja membawa kerandjang jang didalamnja terisi alat2 penjamaran suaminja. Dan sebentar kemudian benar2 muntjullah Loo Too-pek dengan tongkat-bututnja, tiada perbedaan sedikitpun baik tjiri2 mukanja, maupun bungkuk punggungnja. Maka bisa dimengerti, semua orang djadi terpesona. Lantas diundangnja Kam Tihu untuk menjaksikan peristiwa jang menakdjubkan dan aneh itu. Atas 120 pertanjaan Pek Wan-gwee, maka ditjeritakan Tjio Han Hiong segala kisah hidupnja, nama para leluhur, perdjuangannja sebagai orang Kang-ouw dari Siao-lim-sie, sampai pada saat sekarang ia harus memperlihatkan keaslian dirinja dan pulang ke Thian-tay bersama isterinja. Ia menambahkan, untuk kekurang-adjaran Pek Giok Im tadi sehingga ibu dan ajahnja mendjadi murka, ia memintakan maafnja. "Djadi demikian hal jang sebenarnja?" Bertanja Pek Wan-gwee seperti bermimpi. "Semua seperti dongeng sadja, dongeng jang sangat luar biasa! Tak perlu kau meminta maaf untuk isterimu! Kami takkan marah lagi, malah djadi gembira! Ja, luar biasa gembiranja!" "Aih, bagaimana si Giok Im djadi bisa membikin heboh begini hah?" Berkata Pek Hudjin berlinang air mata kegirangan. "Ada2 sadja kau. Giok Im!" Anaknja tertawa. Ibunjapun tertawa. Malah semua orang gelak tertawa! Tjio Han Hiong menambahkan, bahwa isterinja telah menjuruh ia untuk menimbulkan kekatjauan itu tadi, meskipun ia sebenarnja telah mentjegahnja, karena ajah dan ibunja bisa mendjadi salah faham dan gusar. Mendengar itu, Pek Giok Im membantah dan mengatakan, bahwa suaminjalah jang sebetulnja memberi pikiran untuk menggoda ajah dan ibunja. Maka lalu kedua suami-isteri itu djadi bertengkar. "Sudah, sudahlah, djangan ribut!", kata Pek Wan-gwee. "ke-dua2nja benar, dan ke-dua2njapun salah! Tak baik kau tuduh-menuduh, tetapi jang benar kita harus bergembira sekarang!" Begitulah hari itu luar biasa suka-tjitanja keluarga Pek. Untuk tanda girang bahwa menantunja bukan seorang tua dan bobrok tetapi seorang muda tjantik dan menarik, lalu diadakan djamuan besar2an. Mendjelang petang djamuan baru bubaran. Sementara Kam Tihu tak lupa memberi selamat pada keluarga jang berbahagia itu. Kini timbul keheranan lain bagi umum, jang menjatakan takdjubnja akan Tjio Han Hiong jang masih begitu muda telah memiliki ilmu silat jang tinggi, satu hal jang tak sembarang orang dapat mentjapainja dalam usia semuda itu! Hal itu dibuktikan dalam perdjuangannja dahulu digua Goe-thauw-nia 121 menempur Tong Hong Hweeshio dan kambrat2nja. Menurut keinginan Pek Wan-gwee dengan isteri, anak dan menantunja diminta bertinggal di Thian-tay barang satu atau dua malam, karena kedua orang tua itu sangat rindu dan bangga. Tjio Han Hiong tidak berkeberatan, malah ia mengatakan hendak berdiam lebih lama lagi, misalnja beberapa bulan. "Hari ini bukan kepalang kegirangan kita, Moay-moay" Berkata Tjio Han Hiong ketika berada berdua dengan isterinja. "tetapi disamping itu tak boleh tidak kita harus selalu ingat tentang musuh kita, Tong Hong Hweeshio. Dia seorang manusia djahat, mungkin kelak dia akan membalas dendam padaku karena bukan sadja maksud buruknja telah digagalkan, malah diapun kena dilukai". Pek Giok Im mendjadi chawatir. "Lalu bagaimana nanti, Koko, kalau kepala-gundul itu menuntut balas?" "Kau tidak perlu merasa tjemas!" "Tetapi hati perempuan lain dengan hati lelaki, Koko! Satu hal ketjil tjukup menimbulkan ketakutan!" "Ah, mengapa lekas benar kau mendjadi takut, moay-moay?" Kata Tjio Han Hiong sambil mendekati isterinja dan di-belai2 ram-butnja jang indah dengan penuh kasih-sajang. Pek Giok Im tak mengatakan lagi kekuatiran hatinja, karena ketjintaan suaminja sudah lebih dari obat penawar paling mudjarab! Apa jang dikatakan Tjio Han Hiong benar terdjadi, malah demikian tjepatnja diluar sangkaan. Enam bulan sudah Tjio Han Hiong tinggal dirumah mertuanja. Pada suatu hari, ia minta idjin pulang untuk menengoki gubuknja, karena ia chawatir ada jang rusak2. Ketika hendak berangkat dengan kuda tunggangnja, Pek Giok Im dengan sangat mandjsnja berkata: "Djangan Koko bermalam dilembah ja?" "Sudah enam bulan aku tak menikmati malam dilembah, moay-moay! Aku bermaksud tinggal disana sedikitnja satu bulan!" Djawab Tjio Han Hiong 122 menggoda. "Satu bulan?" Mengulangi isterinja sambil memegangi badjunja. "Satu hari sadja tak kuberi perkenan! Nanti malam Koko harus pulang!" "Satu bulan tidaklah lama, moay-moay!" "Tidak, aku tidak mau ditinggal sendirian disini, atau aku ikut pergi kelembah bersama!" "Nanti Gak-hu dan Gak-bo bisa djadi marah?" "Nah, kalau takut dimarahi, Koko harap kembali nanti sore!" "Sudahlah, dua malam sadja!" Kata Tjio Han Hiong terus menggoda. "Tidak dua malam atau satu malam! Pendeknja aku tidak mau ditinggal sendirian! Aku harus ikuti" "Ja, ja, sudahlah, sebentar sore aku kembali!" Barulah Pek Giok Im melepaskan suaminja pergi sesudah memesan lagi, agar Tjio Han Hiong tjepat2 pulang. Demikianlah Tjio Han Hiong dengan menunggang kuda pergi menudju kelembah jang telah 6 bulan tak pernah ditengoki itu. Tetapi apa jang ia dapatkan disana? Bukan kepalang terperandjatnja, hingga ia tertegun. Ternjata gubuknja kini sudah tak ada lagi dilembah. Gubuk itu sudah dibumi-hanguskan, baru sadja habis dibakar rupanja, karena asapnja masih me-ngepul2. Tak ada apa2 lagi jang dapat dipungut, semuanja telah mendjadi abu, dan tempat itu telah mendjadi lapangan gundul. Salah seorang tetangganja jang kebetulan ada disitu segera mentjeritakan, bahwa gubuknja baru sadja dibakar orang. "Siapakah jang membakarnja?" Bertanja Tjio Han Hiong. "Seorang Hweeshio!" Djawabnja tetangga itu. "Rupanja dia seorang Hweeshio djahat, tampak njata wadjahnja jang tak menjenangkan, dan tingkah-lakunja galak sekali!" "Hm seorang Hweeshio!" Menggerutu Tjio Han Hiong, dan ia segera menduga kepada Tong Hong Hweeshio! "Apa sebabnja dia melakukan perbuatan djahat ini? Bukankah seorang Hweeshio mestinja berlaku baik, penolong dan penjajang sesamanja?" 123 "Akupun tidak mengerti mengapa ada seorang kepala-gundul dapat melakukan perbuatan sedjahat itu. Semula dia nanjakan dimana rumahnja Too-pek-koay-hiap, kami jang tak menjangka djelek kepadanja telah menundjukkan keletakannja rumahmu, tetap tak disangkanja dia lantas membakarnja. Kami mentjoba untuk mentjegahnja, namun Hweeshio itu sunggub sangat2 buas dia telah memukul kami hingga dua kawan terluka, untung lukanja tak parah. Setelah gubuk mendjadi hangus seluruhnja, barulah kepala gundul itu ngelojor pergi!" "Peristiwa ini diluar dugaanku!" Udjar Tjio Han Hiong. "Tetapi biarlah, mau diapakan lagi dengan gubuk jang sudah mendjadi hangus ini?" Seorang mengadjukan pertanjaan, adakah Tjio Han Hiong kenal dengan Hweeshio djahat itu. Tjio Han Hiong mendjawabnja, ia kenal Hweeshio itu adalah sikepala-gundul jang dahulu pernah dilabraknja karena melakukan kedjahatan2 besar di Thian-tay. "Oh, si Harimau-hantu itu? Rupanja dia datang untuk membalas dendam". Sekarang Tjio Han Hiong kembali ke Thian-tay. Isterinja jang tadi ber-seri2 menjambut kedatangannja, mendjadi terkedjut setelah mendengar penuturan tentang dibakarnja gubuknja, hingga ia diam tak berkata. Demikianpun kedua mertuanja tak ketjuali mendjadi kaget. "Djika demikian", udjar Pek Wan-gwee. "Hian-say tak usah mendjadi bingung, kau boleh tinggal bersama disini berapa lama kau suka!" "Tetapi Gak-hu tak tahu apa jang aku pikirkan disaat ini!" Berkata Tjio Han Hiong. "Aku bukan merisaukan soal kediamanku, melainkan perbuatannja Tong Hong Hweeshio jang kurang adjar itu! Dia jang berdendam dan hendak menuntut balas bukan menghadapi aku setjara laki2, tetapi rumahlah jang dimusnahkannja. Manusia sematjam dia harus disingkirkan dari muka bumi dengan segera!" "Hian-say menurut pendapatku, Tong Hong Hweeshio itu seorang pengetjut, guna apa Hian-say harus meladeninja?" Kata sang mertua. "Gak-hu masih tak jakin maksudku jang sebenarnja! Memang tidak perlu aku berurusan dengan seorang pengetjut, namun djika dia dibiarkan hidup, 124 akibatnja akan ada dua matjam bentjana. Kesatu dia akan terus menimbulkan gangguan bagi kita, kedua kedjahatan jang dibuatnja tambah men-djadi2. Aku merasa pasti dilain tempat dimana tak ada orang jang merintanginja, dia akan meneruskan rentjananja pembuatan pedang-iblis hingga empat-puluh anak gadis akan mendjadi korbannja Dapatkah perbuatannja jang kedjam itu dibiarkan?" Sekarang Pek Wan-gwee tak dapat berkata2 pula, begitupun isterinja, mereka membenarkan pendirian menantunja jang mengandung kebaikan bagi nasib anak2-gadis atau keamanan umumnja. Begitulah kemudian Pek Wan-gwee memberikan perkenannja sambil memesan agar sang menantu senantiasa ber-hati2 dan waspada dalam setiap langkahnja. Demikianlah pada malam itu Tjio Han Hiong berkemas untuk mentjari musuhnja, Tong Hong Hweeshio. Ia belum tahu dimana persembunjian manusia-gundul itu, akan tetapi walaupun bagaimana ia harus mendapatkannja. "Sebenarnja aku sangat chawatirkan keselamatan Koko menghadapi seorang musuh sedjahat Tong Hong itu" Berkata Pek Giok Im, sang isteri, tatkala berada berduaan didalam kamar. "Menurut Koko, bukankah dia seorang jang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jang tak sembarang orang dapat melawannja? Buktinja tiga orang musuh jakni entjek Tjio Han Boe bersama dua orang kawannja dengan mudahnja sekaligus telah dibunuh mati olehnja?" "Bahwa Tong Hong Hweeshio seorang jang berbahaja, memang benar, djawab Tjio Han Hiong. "Tetapi bagiku dia belum begitu perlu dimalui. Pada malam itu dimana kau hampir sadja mendjadi kurbannja, dia sudah lari tunggang langgang dengan menderita luka. Dengan demikian djadi tak usahlah Moay-moay berchawatir!" "Tetapi apabila Tong Hong sekarang mempunjai kawan umpamanja, tentunja Koko tak dapat memandang enteng lagi padanja bukan?", berkata Pek Giok Im dengan tjaranja jang sangat teliti. "Sudah tentu aku takkan bertindak sembarangan djika benar dia berkawan! 125 Sudahlah, tabahkan sadja hatimu., Moay-moay, dan pertjaja kepada Thian, bahwa orang jang bermaksud baik selalu dilindunginja!" Pek Giok Im berdiam sedjenak, kemudian sambil penuh pandangan berarti ia berkata pula: "Tetapi, Koko masih ada sesuatu jang aku merasa keberatan ditinggal Koko". "Soal apa pula?" Tanja suaminja sambil balas memandang. "Sebenarnja sekarang............" "Mengapa? Katakan sadja langsung, Moay-moay. agar aku tak mendjadi bimbang!" Kini Pek Giok Im membisiki telinga suaminja, maka sesaat itu djuga Tjio Han Hiong agak kaget. Tetapi rasa kagetnja berubah mendjadi kegirangan. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Benarkah itu, Moay-moay?" Ia bertanja, menatap makin tadjam. "Benar, Koko! sahut Pek Giok Im agak ke-malu2an. "Sedjak bulan jang terachir aku mulai merasakannja!" "Kita harus mengutjap sjukur kepada Thian. Berbahagialah kita akan dikarunia seorang putera dan puteri". Pek Giok Im tersenjum. "Selama kepergianku, Moay-moay, baik2 kau mendjaga dirimu, djangan mengerdjakan sesuatu jang agak berat. Dengarlah selalu adjaran2 Gak-bo mengenai keadaanmu jang sekarang, agar tidak mengganggu anak jang akan terlahir kelak!" "Baiklah, Koko!" Djawab isterinja. "Tetapi kuharap Koko tak kan lama meninggalkan aku". "Belum lagi aku dapat menentukan, Moay-moay! Semua bergantung pada lambat atau tjepatnja aku menemui Tong Hong Hweeshio. Tetapi aku harap kau tak usah tjemas atau kesal, sebab biarpun bagaimana, aku pasti kembali lagi!" "Kemana jang Koko hendak tudju?" "Ke An-hwie. Sikepala gundul membakar gubuk kita dilembah, dengan demikian aku menduga dia berada tak djauh disekitar propinsi tersebut". 126 Pek Giok Im tak berkata pula, suaminja pun menjuruh ia pergi tidur, karena malampun telah berlarut. Tjio Han Hiong tetap menjamar sebagai Too pek-koay-hiap, nama gelar jang pada sehari2 ini mendjadi termahur, berhubung peristiwa di Thian tay. Tetapi selama diperdjalanan, ia tak mau mendjadi si Bungkuk, melainkan berupa seorang pemuda tampan dan menarik. Ia menunggangi kuda jang bagus. Di Sim teng ia tak menemui sesuatu tentang Paderi pendjahat Tong Hong, maka ia menudju kekota lainnja. Ia selalu mengambil rumah pondokan sederhana untuk singgah dan menginap. Setelah hari mendjadi malam dengan menjamar sebagai si Bungkuk diam2 ia keluar untuk melakukan pengusutan. Sudah banjak daerah ia telah datangi, hingga hampir diseluruh propinsi Tjiat kang sebelah Barat dan Barat laut, namun selama itu usahanja tetap sia-sia. Kemudian ia melintasi propinsi An-hwie. Dari Tjeng yang terus sampai ke Tong-shia, namun tak pernah ia mendengar tentang sikepala-gundul, djuga tak ada berita2 adanja satu dan lain kedjahatan jang menimbulkan perhatian. Setengah tahun sudah ia merantau dalam penjelidikannja. Kota terachir jang ditjapai adalah Liok-an, sebuah kota jang tak terlalu besar tapi padat dengan penduduk, perdagangan makmur dan banjak orang2 kaja. Sebagian besar penduduk Liok-an, sama halnja dengan daerah2 lain, masih tebal kepertjajaannja akan berhala2 atau Sinbeng2 jang dianggapnja keramat dan sutji. Hanja sebagian ketjil sadja mereka jang sudah lebih madju, sudah banjak berkurang kejakinannja akan segala patung atau Toapekong. Dikota Liok-an itu terdapat sebuah klenteng Hong-lian-sie namanja, dipelihara sangat mentereng, patungnja banjak, setiap hari banjak orang datang berziarah untuk membajar kaul atau minta berkah keselamatan. Hweeshio2nja gemuk2 dan keuangan Hong-lian-sie sangat menjenangkan. Untuk pertama kali Tjio Han Hiong melihat sebuah kota demikian indah, dan penduduknja sangat mengesankan. Mereka sangat memperhatikan tentang hal pakaian, malah pihak wanita selalu suka dengan pakaian jang indah2, 127 pandai bersolek. Tertarik akan kepermaian kota Liok-an, Tjio Han Hiong memasuki sebuah kedai minuman diatas loteng, ia minta teh panas. Sambil menikmati teh jang wangi, ia melepaskan pandangan matanja kedjalan2 raya jang senantiasa ramai-berisik dengan orang2 jang hilir-mudik dan kendaraan-kendaraan jang berlalu-lintas. Kemudian tampak 2 orang tamu naik keatas loteng, mereka minta arak. Dari nada suaranja diketahui mereka penduduk daerah setempat, karena berdialek chas Liok-an. Sambil minum arak mereka ngobrol dengan asjiknja. "Bagaimana kesanmu terhadap Hweeshio jang datang disini belum lama berselang itu?" "Kau maksudkan Sin Khong Toodjin?" Bertanja temannja. "Dia agaknja seorang pertapa jang sudah tebal akan azas2 kepertjajaannja, disamping itu pun memiliki kepandaian ilmu silat." "Dan bagaimana pula kejakinanmu terhadap Niekoh jang datang bersama dia dan kini menempati Hong lian-sie?" "Tentang Gwat In Niekoh aku tak dapat mengatakan sesuatu, karena dia djarang menampakkan diri. Akan tetapi menilik dari romannja dan tindaktanduknja jang sesekali aku melihatnja di Hong-lian-sie baru2 ini, dia tiada bedanja dengan pertapa2 perempuan lainnja." "Kau sependapat dengan aku! Memang ke-dua2nja, Sin Khong Toodjin dengan Gwat Im Niekoh merupakan pertapa2 jang sudah mentjapai puntjak kesempurnaan. Barangkali dengan kedatangan mereka akan menambah kemakmuran penduduk Liok-an. Dan bagaimana pula pendapatmu mengenai maksud mereka untuk membangun sebuah geredja-wanita? Sebab pada hakekatnja, dengan kaum perempuan memiliki bidang chusus untuk kepentingan mereka, adalah sangat baik. Menjesal aku tak punja keluarga perempuan, ketjuali isteri jang hidupnja selalu sibuk dengan pekerdjaan dirumah. Akan tetapi melihat djedjak kedua pertapa itu, aku setudju sebulat2nja. Oleh karena itulah aku sudah memberikan bantuan uang tjukup lumajan, dengan kejakinan bahwa dari bidang kegeredjaan akan 128 memperoleh djuga manfaatnja". Kawannja berdiam sebentar. "Apakah kau sudah menindjau bangunan Gwat-im-am itu?" Tanjanja kemudian kawan itu "Ja, tjukup pantas untuk keperluan kaum perempuan berziarah! Dan dilihat dari bentuknja, geredja-wanita itu benar2 mengesankan. Tjuma satu hal aku agak kurang setudju, jalah keletakannja tempat jang djauh dari kota, pula dikaki bukit jang djalannja sangat sukar ditempuh wanita!" "Menurut katanja Sin Khong Toodjin dahulu, tempat itu sudah diperhitungkan masak2 tentang hong-swienja dan merupakan udjian bagi kebulatan tekad seseorang. Apabila setiap pengikut Buddha benar2 sutji dan ichlas terhadap adjaran2 jang dipeluknja, maka ia takkan mengeluh untuk menempuhnja, tetapi tetap gembira dan berseri2! Bilakah Gwat-im-am akan diresmikan pembukaannja?" "Hari lusa, tanggal 15 bulan tudjuh. Aku akan ikut menjaksikan pembukaannja, dan untuk pertama kali bersudjud pada pertapa perempuan itu!" "Sesudah itu, lalu kemana Sin Khong Toodjin akan pergi?" "Kabarnja akan berlalu setelah peresmian Gwat-im-am. Ia bermaksud menjebarkan agamanja di-daerah2 lain dimana adjaran2 Buddha belum berkembang atau belum luas". "Dengan demikian, dia seorang pertapa jang benar2 bersemangat dan patuh kepada adjaran buddha!" Kawannja menganggukkan kepala, tanda setudju. Dan tak lama kemudian kedua2nja meninggalkan rumah minum. Bagi Tjio Han Hiong soal Sin Khong Toodjin dan Gwat Im Niekoh itu tak mempunjai sangkut-paut dengan tudjuannja mentjari Tong Hong Hweeshio, akan tetapi pikirnja tidaklah halangan untuk iseng2 menjaksikan upatjara pembukaan geredja-wanita jang baru dibangun itu. Ia beranggapan, betapa djiwa umat-wanita di liok-an terhadap sesuatu jang dianutnja. Satu hari ia akan membuang waktu untuk menanti hari lusa. Pada malamnja 129 pemuda pamuda itu ber-djalan2 disepandjang djalan raya, dan segala jang didjumpainja benar2 sangat mengesankan. Keesokan harinja ia mendengar, digeredja Hong-lian-sie diselenggarakan upatjara chusus bagi penganut2 Buddha, laki2 dan wanita. Para pembhakti diminta perhatiannja untuk bersembahjang pada semua Sinbeng. Kaum perempuan diharuskan minta perkenan pada berhala2 jang selama itu disudjudi, untuk minta diri, bahwa sedjak hari itu mereka tak lagi berziarah ke Hong-lian-sie, namun tak berarti mereka melupakan berkah2 jang pernah dilimpahkan para Sinbeng. Upatjara perpisahan itu dipimpin oleh seorang pertapa wanita jang masih muda sekali, dikira umurnja belum 25 tahun. Walau muda, namun pada wadjahnja Gwat Im memiliki sifat2 lembut dan penuh kesutjian, ramah-tamah dan walas-asih, membikin setiap orang, terutama golongan wanita, sangat terpengaruh karenanja. Diantara lain Gwat Im Suthay memberitahukan pada umum, bahwa Sin Khong Toodjin sudah meninggalkan Liok-an untuk menunaikan tugas2 sutjinja di-daerah2 lain, kewadjibannja di Liok-an hanja membantu menjelenggarakan pembangunan Gwat-im-am, dia takkan kembali pula, karena dia telah mempertjajai padanja untuk memimpin Gwat-im-am dari awal pembukaan hingga saat terachir. "Dan beliau berpesan, agar para penundjang agama Buddha disini tak usah meng-ingat2 lagi tentang beliau ataupun djasa2nja karena beliau tak mengingini semua itu!" Gwat Im Niekoh menambahkan. "Beliau menjatakan sudah tjukup puas melihat keprihatinan para penganut, dan berharap mereka takkan kundjung-dingin dalam menunaikan bhaktinja terhadap Hong-lian-sie maupun Gwat-im-am". Kemudian upatjara berachirlah. Tjio Han Hiong pulang kepondoknja. Ia ingin tidur, tetapi mata tak mau merapat. Otaknja tak tenang setelah melihat Hong-lian-sie siang tadi. Ia memikirkan berapa perempuan jang masih sangat muda itu, Gwat Im Niekoh. Bukan sadja masih muda, tetapipun amat tjantik. Hal ini menimbulkan keheranar Tjio Han Hiong. 130 Benar, tak sedikit pertapa2-wanita jang masih berumur muda dan elok, disebabkan karena dasar keluhuran pribadinja, atau mendjadi pertapa setjara wadjar karena berbakat, ataupun sebab2 jang memaksa dalam hidupnja. Malah tak kurang djumlahnja pertapa-wanita jang berasal dari pelatjur jang telah bertobat dan ingin menebus dosa2nja, lalu memasuki biara mentjukur rambutnja. Akan tetapi Gwat Im Niekoh jang masih sangat muda dan elok itu agaknja ada apa2 jang menarik perhatian Tjio Han Hiong untuk menjelidikinja. Begitulah keesokan harinja ia mengikuti rombongan orang pergi kekaki bukit, dimana Gwat-im-am diresmikan pembukaannja. Geredja itu agak baik bangunannja, memiliki bagian2 dan ruangan2 jang tersendiri, ada kamar2 chusus untuk para tamu wanita, baik pelantjong biasa maupun jang sengadja berziarah. Sedjumlah patung, tentu sadja patung2 Malaikat-perempuan, diatas medja sembahjang dipendopo besar. Tetapi Pendetanja baru hanja seorang sadja, jaitu Gwat Im Niekoh, jang sedjak hari itu bertindak sebagai pemimpin. Diharapkan oleh Paderi-wanita itu agar tak seberapa lama lagi Gwat-im-am memperoleh bantuan dari pertapa2-wanita lain. Tjio Han Hiong tak mendapat kesan apa2 dari penindjauannja, maka pada sore harinja ia pergi ke Hong-lian-sie pula untuk memperoleh keterangan. Ia berlaku sebagai seorang pelantjong jang ingin berziarah jang sjarat2nja ia dapat penuhi. Pada Paderi-kepala, Tju Gwan Hoosiang, ia menjatakan kekagumannja pada Hong-lian-sie jang teratur dan menarik. Dan sebentar sadja ia dapat berkenalan dengan segenap Hweeshio. Lantas ia mulai pada titik atjara, mendjnrus kepada tudjuan penjelidikannja. Atas pertanjaannja, Tju Gwan Hoosiang menerangkan, bahwa Gwat Im Niekoh mula2 datang bersama Sin Khong Toodjin dari Utara. Ke-dua2nja tampaknja pertapa2 jang sudah mentjapai batas terbaik, sekalipun pertapa perempuan itu masih berumur muda sekali. Mereka penganut2 adjaran Buddha jang taat. Gwat Im Niekoh bermaksud memimpin sebuah geredja chusus untuk kaum wanita, adalah Sin Khong Toodjin seorang Paderi jang 131 gemar mengembangkan keagamaannja di-pelosok2. Demikianlah atas kegiatan mereka, dan dibantu oleh hweeshio2 dari Hong-lian-sie, dikumpulkannja bantuan2 uang dari segenap penduduk untuk pembangunan Gwat-im-am. Geredja-wanita itu kini sudah selesai dan diresmikan pembukaannja, maka dengan demikian berarti satu kebaikan tak ketjil bagi masjarakat di Liok-an teristimewa pemeluk2 agama Buddha, jang pada hakekatnja membutuhkan sebuah biara chusus bagi golongan wanita. Tjio Han Hiong sangat memperhatikan semua keterangan jang diberikan Tju Gwan Hoosiang itu. Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo