Darah Daging 5
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Mas""
Bangunlah, sudah siang""."
Ia berbisik. Rusli terbangun, dan tersenyum memandang Darmi.
"Aih, engkau sudah berdandan? Sudah pukul berapa sih?"
Darmi mengambil jam tatgan dan menyerahkannya kepada Rusli.
"Jam lima seperempat""
Aahhh, masih pagi"""
Dia hendak merangkul leher Darmi lagi, akan tetapi pada saat itu, pintu kamarnya diketuk orang dari luar.
"Hei, Rusli, bangun!"
Terdengar suara seorang laki-laki. Rusli tidak jadi menarik tubuh Darmi. Dia bangun dan dengan sikap malas mengenakan sarunnya.
"Aku sudah bangun!"
Jawabnya.
"Tunggu kuperkenalkan kau !"
Sambungnya sambil membuka daun pintu.
"Lihat, Dedi, apa yang kudapatkaan semalam. Hebat, ya? Puteri Solo aseli!"
Katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya itu tiba-tiba terhenti ketika dia melihat betapa sepasang mata itu terbelalak dan wajahnya berobah pucat.
"Kau""., kau ""?"
Terdengar Dedi, itu berbisik seolah-olah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Sementara itu, Darmi merasa lantai yang dipijaknya bergoyang. Ia tadi bangkit dan dengan hati tidak senang melihat Rusli membuka pintu hendak memperkenalkn ia dengan pria lain. Ia tidak suka diperkenalkan seperti itu. Akan tetapi pintu sudah terbuka dan ketika ia melihat pemuda yang berdiri di depan pintu, ia berpegang kepada kursi di sebelahnya. Ia merasa pusing dan mengejap-ngejapkan kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak salah. Itulah Dedi! Kini sudah lebih dewasa tentu saja, akan tetapi ia tidak akan pangling. Di antara seribu orang pria, ia tetap akan dapat mengenal Dedi! Apa lagi ketika ia mendengar suara Dedi tadi, ia lalu menjerit, jeritan yang keluarnya hanya seperti rintihan saja.
"Den Dedi""
Ahhh".. den Dedi"".."
Darmi mengembangkan kedua lengannya, air mata sudah berlinang-linang.
"Kau"".kau""
Darmi""..?"
"Den Dedi"".!"
Darmi lari menghampiri dan merangkulnya, akan tetapi Dedi cepat mendorongnya dengan kasar. Darmi terdorong dan kalau tidak ada Rusli yang menerima tubuhnya ia tentu akan terjengkang.
"Den Dedi""..!"
"Pelacur hina, aku tidak kenal padamu!"
Dedi membentak, marah sekali. Kemarahan yang timbul karena kekecewaan yang amat sangat. Semenjak meninggalkan rumah Danumiharja, dia selalu terkenang kepada Darmi, terkenang malam indah penuh curahan kasih sayang itu. Malam yang amat berarti bagi Dedi, karena pada malam itulah pertama kalinya dia menyerahkan perjakanya kepada seorang wanita, seperti juga Darmi hal ini dia tahu benar, menyerahkan keperawanannya kepadanya.
Malam yang takkan pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi ketika itu dia masih dalam tugas belajar, dan dia khawatir, dan takut. Bukan hanya karena dia telah menggauli Darmi, melainkan terutama sekali karena sikap tante Liya kepadanya. Maka dia melarikan diri, pindah tempat. Akan tetapi, diam-diam dia amat merindukan Darmi. Setahun kemudian, kebetulan saja dia berjumpa dengan Danumiharja dan Liyani di gedung bioskop. Pertemuan singkat ini dipergunakan oleh Liyani dengan baiknya untuk membalas dendam kekecewaannya karena ditolak Dedi. Wanita itu memberi tahu bahwa Darmi telah pergi dan telah melahirkan seorang anak, yang menurut pengakuan Darmi adalah anak keturunannya! Dia menyangkal keras di depan suami isteri itu.
Akan tetapi setelah pulang, dia merasa bahwa kemungkinan besar dialah ayah anak itu. Dan rindunya kepada Darmi makin menghebat. Suami isteri itu tidak pernah mau memberitahukan di mana tempat Darmi sekarang. Dan diam-diam dia telah melakukan penyelidikan, mencari-cari, namun sia-sia belaka. Dan sang waktu akhirnya dapat mengobati rindunya. Dan sekarang, tahu-tahu dia bertemu dengan Darmi sebagai pelacur! Semalam suntuk melayani Rusli, sahabatnya yang dia tahu adalah seorang pemuda yang suka melacur! Darmi menjadi pelacur! Darmi, perawan yang selalu dirindukannya, yang selalu dikenangnya dalam kenangan amat mesra, yang menerima cinta pertamanya, yang menyerahkan keperawanannya kepadanya dan yang dia beri keperjakaannya pula yang kadang-kadang dia kenangkan dengan lembut hati sebagai ibu dari anaknya, kini adalah seorang pelacur!
"Eh, oh"". jadi kalian sudah saling mengenal"".?"
Rusli berseru, kaget, heran dan juga bingung. Darmi sudah menangis sambil berjongkok, lalu berlutut di pintu.
"Rusli, hayo kita pergi. Cepat, mereka sudah menanti kita!"
Dedi berkata dengan suara ketus, mukanya merah dan matanya memandang marah kepada Rusli. Kalau dia tidak ingat bahwa Rusli adalah sahabat baiknya, bahwa Rusli tidak bersalah kalau mengundang Darmi karena tentu dia tidak tahu siapa Darmi itu, tentu Dedi sudah meninggalkannya, bahkan mungkin memukulnya!
Darmi di pelukan Rusli semalam suntuk! Sukar dia dapat membayangkan hal ini. Bidadari yang suci dan lembut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kuntilanak yang menjijikkan! Gambaran seorang perawan suci dan lembut seperti patung marmer itu kini telah jatuh dan pecah berantakan, berkeping-keping. Rusli tahu bahwa sahabatnya marah, maka diapun hanya mengangkat pundak dan memasuki kamar dan mengambil uang seribu rupiah, ditambah lagi seribu rupiah, dan keluar lagi, menyerahkan uang dua ribu rupiah itu kepada Darmi yang masih menangis sambil berlutut. Dua ribu rupiah. Jumlah yang amat besar untak membayar seorang pelacur! Akan tetapi Darmi menepiskah uang itu sehingga jatuh berhamburan di atas lantai.
Rusli bingung, mengangkat pundak lagi dan memasuki kamar untuk berkemas secepatnya. Dedi membuang pandang ke arah tubuh yang berlutut itu. Hatinya panas dan jijik sekali. Darmi seorang pelacur! Dia mengepal tinju karena merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Sampai bertahun-tahun dia bertahan, menolak bujukan ayah-bundanya untuk menikah, hanya karena dia teringat kepada Darmi! Dan kiranya orang yang dirindukannya, yang diingatnya selalu itu berkecimpung di pecomberan, menjadi pelacur hina! Dengan kemarahan yang membakar seluruh pikirannya, Dedi ke kamarnya di sebelah, untuk berkemas. Dia sudah mandi dan berpakaian, hanya membereskan pakaian saja. Semalam Rusli tidak menyatakan sesuatu, dia sama sekali tidak tahu bahwa setelah dia pergi tidur, Rusli memasukkan seorang pelacur.
"Den Dedi......."
Dedi memutar tubuhnya seperti disentakkan. Kemarahannya memuncak melihat Darmi telah berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Mau apa kau ? Pergi, kau perempuan hina""!"
Wanita itu berdiri dengan muka pucat dan basah air mata. Dengan tubuh gemetar ia berdiri memandang wajah Dedi, bibirnya gemetar, digigitnya bibir bawah yang gemetar itu menahan jerit tangis, hidungnya kembang-kempis oleh gelora duka yang membubung naik dari dalam dadanya, air matanya berlinang-linang lalu jatuh satu-satu ke atas kedua pipi yang pucat itu, kedua tangannya meremas-remas ujung selendangnya
"Den Dedi".. aku memang berdosa""., aku tidak minta ampun karena aku sendiri tidak dapat mengampuni diriku""
Tapi""
Tapi, kasihanilah anak kita"""
"Diam! Jangan sembarangan membuka mulutmu yang kotor! Aku tidak punya anak!"
Dedi membentak, semakin marah karena diingatkan akan hal itu, justeru hal itulah yang membuat dia selama ini tak pernah dapat melupakan Darmi.
"Tapi"".. tapi, den sungguh mati""
Aku bersumpah"". ia anakmu, anak kita""
Malam itu""."
Darmi tak dapat bicara dengan jelas, karena tangisnya datang menguguk. Dedi menudingkan telunjuknya.
"Pelacur macam enngkau ini berani bilang begitu? Berapa ribu orang laki-laki yang sudah kau layani? Dan kau berani menuduhku sebagai ayah anak harammu? Bedebah, pergilah!"
"Tapi, sungguh...... ketika itu".. aku". aku bukan pelacur".., dengarlah, den Dedi".. dengarlah mengapa aku terperosok ke dalam kehinaan ini "
"Tak perlu kudengar! Dan dulupun, siapa tidak tahu bahwa oom Alex memasuki kamarmu? Huh, tak tahu malu!"
"Den Dedi...!"
"Cukup! Aku tak sudi lagi bicara denganmu! Aku tidak sudi melihat mukamu, muka seorang pelacur rendah yang hina!"
Dedi membawa tasnya dan menyerbu keluar melewati Darmi.
"Den"". den Dedi"".!"
Semua nampak berputar lalu gelap ketika tubuh Darmi terkulai dan roboh di ambang pintu kamar itu. Ia pingsan! Dedi dan Rusli telah pergi jauh dengan mobil mereka meninggalkan hotel itu ketika Timan menemukan Darmi masih rebah pingsan di atas lantai. Timan yang menjadi pelayan hotel itu memang tadinya hendak menjemput Darmi untuk menerima upahnya seperti biasa. Dia melihat dua orang tamu Jakarta itu telah berkemas dan memasukkan kopor-kopor mereka ke mobil, dibantu oleh seorang pelayan yang jaga malam. Melihat Timan, Rusli lalu menggapainya dan menyerahkan uang dua ribu rupiah kepada Timan.
"Berikan ini kepada Darmi,"
Bisiknya, lalu menambahkan seratus rupiah.
"dan ini untukmu."
"Terima kasih, pak,"
Kata Timan girang sekali. Belum pernah ada tamu memberi uang sedemikian banyaknya kepada seorang gadis panggilan, apa lagi memberi hadiah sampai seratus rupiah kepadanya.
"Dan di mana ia?"
Dia bertanya heran karena baru sekarang ada tamu menyerahkan uang tidak, langsung kepada gadis yang melayaninya. Apakah Darmi telah pulang lebih dulu?
"la tadi di sana, carilah sendiri,"
Kata Rusli sambil lalu karena Dedi telah menghidupkan mesin mobil. Dia memasuki mobil di samping Dedi dan mobilpun meluncur keluar dari halaman hotel. Timan bergegas lari ke kamar Rusli, akan tetapi dia terkejut melihat Darmi menggeletak di depan kamar sebelah.
"Mbak Darmi"".!"
Teriaknya dan cepat dia lari menghampiri. Dia mengguncang-guncang pundak wanita itu dengan bingung.
"Timan, ada apakah?"
Pelayan yang tadi melayani keberangkatan Rusli dan Dedi datang menghampiri, memandang dengan heran.
"Entahlah, kutemukan ia sudah begini"".."
"Apa".. apa ia""
Mati"..?"
"Hushh, tidak. Mari bantu aku mengangkat ia ke dalam kamar."
Mereka lalu menggotong tubuh Darmi ke dalam kamar bekas yang ditinggali Dedi dan merebahkannya ke atas pembaringan. Pelayan tadi bergegas mengambil minyak kayu putih dan setelah Timan menggosok-gosokkan minyak kayu putih di leher, tengkuk dan pelipisnya, Darmi bergerak, mengeluh dan membuka mata.
"Den Dedi""."
Ia merintih dan ketika melihat betapa Timan pelayan lain merubunganya, Darmi terkejut dan teringat.
"Mbak, kau kenapa?"
Berulang kali Timan bertanya dan baru sekarang terdengar olehnya.
"Ah, tidak apa-apa, dik""
Hanya tadi aku pusing".."
"Kau pingsan. Eh, mau ke manakah kau ?"
"Aku tidak apa-apa, sudah sembuh, aku mau pulang".."
Kata Darmi yang kini sudah sadar sama sekali, lalu bangkit, turun dari pembaringan dan bergegas keluar.
"Mari kuantar, mbak,"
Kata Timan.
"Dan ini uang yang ditinggalkan tamu itu untukmu......."
Dia menyerahkan uang dua ribu rupiah. Akan tetapi Darmi tidak mau menerimanya. bahkan matanya liar mencari-cari ke luar hotel.
"Dik Timan, mana dia? Mana mereka tadi"".?"
"Siapa? Tamu tadi? Mereka sudah pergi dengan mobil."
"Kemana? Ke mana mereka? Di mana dia?"
Darmi sudah menangis lagi. Timan menjadi bingung, tidak tahu siapa yang siapa yang dimaksudkan oleh Darmi, hanya mengira bahwa Darmi tentu mencari tamu yang semalam memanggilnya. Siapa lagi?
"Aku tidak tahu, mbak. Mereka telah pergi dengan mobil."
Lemas rasanya seluruh tubuh barmi. Masih terngiang di telinganya semua kata-kata Dedi yang mencaci-makinya. Dan air matanya kembali bercucuran, kemudian dengan terhuyung-huyung Darmi keluar dari hotel itu. Ia tidak ingat lagi bagaimana ia bisa sampai ke rumah. Tahu-tahu ia sudah berada di rumah menangis mengguguk dan dihibur oleh Timan dan mbah Karto. Akan tetapi Darmi lalu lari memasuki kamarnya dan menubruk Mimi yang masih tidur, memeluk anaknya dan menangis sesenggukan.
"Ada apakah, Timan? Apa yang terjadi dengannya.?"
Timan mengangkat pundak.
"Aku tidak tahu, mbah. Dia agaknya mencari-cari tamu yang sudah pergi pagi-pagi, kembali ke Jakarta."
"Ah, jangan-jangan tamu itu melakukan sesuatu yang tidak baik,"
Kata mbah Karto.
"Tidak, mbah. Lihat tamu itu malah meninggalkan uang dua ribu untuk mbak Darmi. Tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak baik. Buktinya semalam tidak terdengar apa-apa dan sebelum pergi, tamu itu memberikan uang ini kepadaku untuk diserahkan kepada mbak Darmi. Dan ternyata mbak Darmi pingsan di atas lantai depan kamar. Mungkin tamu itu tidak tahu akan hal itu. Nah, terimalah uang mbah, dan berikan kepada mbak Darmi."
"Dan untukmu, berapa?"
"Ah, nanti sajalah, kalau mbak Darmi sudah tenang. Tadipun aku sudah menerima persen dari tamu itu."
Timan lalu meninggalkan pondok Darmi. Karena dipeluki dan mendengar suara tangisan ibunya, Mimi terbangun.
"Ibu, kenapa ibu menangis?"
Tanyanya dengan mata masih mengantuk. Beberapa lamanya Darmi tak mampu menjawab dan air matanya bercucurah semakin deras. Hatinya terasa hancur. Baru sekarang ia tahu betapa sejak dahulu ia tak pernah mampu melupakan Dedi, betapa ia amat mencinta Dedi dan mengharapkan pertemuan dengan pria itu. Biarpun tubuhnya sudah dijamah oleh banyak sekali pria, namun ternyata hatinya belum pernah dijamah orang lain dan cintanya tetap kepada Dedi. Itulah sebabnya mengapa hatinya sakit sekali melihat sikap Dedi, mendengar makiannya. Selain hancur dan sakit, juga habislah semua harapannya. Padahal setelah semua yang terjadi pada dirinya, ia hanya menghendaki satu hal, yaitu agar Dedi mau mengakui puterinya! Kini yang penting baginya adalah Mimi.
"Ibu".. ibu, ada apakah""?"
Pertanyaan berulang-ulang dari anaknya itu akhirnya membuatnya menahan tangis dan sambil memeluk dan mendekap kepala anaknya di dada ia berkata, terengah-engah,
"Tidak..... tidak apa-apa".. Mimi""
Tidak apa-apa aku".. aku hanya agak pusing...... pusing""."
"Ibu, aku mimpi bertemu ayah. Ayah datang mencari kita, ibu"""
Ucapan ini membuat Darmi terkejut bukan main dan ia menatap wajah puterinya melalui genangan air matanya.
"Apa""""., apa maksudmu""?"
Mimi tersenyum.
"Aku mimpi ayah datang, ibu.."."
Darmi merasa betapa bulu tengkuknya meremang, lalu ia bertanya lirih,
"Engkau melihat dia datang? Dan seperti apa dia""..?"
"Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, ibu. Agak remang-remang, akan tetapi aku tahu dia adalah ayah".. aku lari hendak memanggil ibu, tapi aku lalu terbangun."
"Mimi""
Ah, Mimi anakku"""
Darmi kembali merangkul untuk menyembunyikan tangisnya. Dengan penuh kasih sayang Darmi membantu anaknya berkemas untuk pergi ke sekolah. Disisirinya rambut anaknya dengan penuh rasa sayang, dibedakinya dan setelah Mimi dengan menyandang tas sekolah hendak berangkat, diciuminya kedua pipi anaknya dan ia berbisik,
"Yang baik-baik engkau menjaga dirimu, Mimi"". janganlah engkau sampai mengalami nasib seperti ibumu"""
Mimi tidak mengerti, akan tetapi ia kelihatan enggan berpisah dari ibunya, kelihatan enggan pergi ke sekolah. Akan tetapi dua orang kawan sekelasnya lewat dan memanggilnya, dan berlarilah anak itu untuk berangkat ke sekolah bersama dua orang kawannya.
Setelah puterinya berangkat, baru Darmi membiarkan tangisnya meledak-ledak. Ia lari ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya. Caci-maki suara Dedi masih terus mengiang di kedua telinganya, membuat ia seperti hampir gila rasanya. Tak lama kemudian, dengan air mata masih terus membasahi mukanya, ia mengumpulkan semua perhiasan dan uang simpanannya, membungkusnya dengan saputangan, dirangkap dua. Kemudian, dengan selingan isak tangis, iapun menulis di atas sehelai kertas yang dirobek dari buku tulis Mimi yang sudah hampir penuh. Baru kemarin ia membelikan buku tulis baru untuk anaknya. Dengan jari-jari tangan gemetar, ia menuliskan beberapa baris kalimat, menandatangainya lalu melipat surat itu, memasukkannya ke dalam sampul bekas ia menyimpan uangnya dan menaruh sampul surat itu di atas meja. Setetah itu, ia keluar dari kamarnya dan memanggil mbah Karto.
"Mbah, aku""
Aku mau pergi"".."
"Eh, pergi ke manakah, Mi?'' tanya nenek itu heran. Darmi menggeleng kepala.
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku"". titip Mimi, mbah""
Dan ini, terimalah ini, simpanlah untuk biaya Mimi""
Rawat ia baik-baik, mbah"""
Darmi tak dapat melanjutkan kata-katanya. Mbah Karto menerima bungkusan saputangan itu dengan bingung.
"Apa artinya ini, Mi? kau hendak pergi ke mana?"
"Bungkusan itu terisi perhiasan dan uang"""
"Oya, ini uangmu dua ribu rupiah, kuterima tadi dari Timan"
Mbah Karto memotong.
"Kau simpan sajalah, mbah, untuk belanja. Aku tidak sudi menyentuh uang itu!"
Tiba-tiba timbul kemarahannya teringat akan uang itu, teringat akan Rusli, karena bukankah pemuda itu yang menyebabkan Dedi marah dan benci kepadanya? "Semua perhiasan dan uang sebanyak dua puluh ribu ini kuserahkan semua kepadamu, mbah. Untuk biaya Mimi"""
"Tapi""
Tapi""
Engkau hendak ke mana?"
"Entahlah""."
Darmi menggelengkan kepala, lalu iapun melangkah keluar dari pintu pondok.
"Kapan engkau kembali, Mi?"
Nenek itu masih bingung dan terheran-heran.
"Entahlah"""
Darmi berjalan terus.
"Darmi""!"
Nenek itu melangkah keluar. Darmi menoleh.
"Jangan mengikuti aku, mbah! Jaga rumah dan jaga Mimi baik-baik. Aku ada perlu penting!"
Nada suara wanita muda itu membuat nenek itu menghentikan langkahnya, berdiri bengong dan mengeleng-geleng kepala bingung sampai Darmi lenyap ditikungan. Darmi berjalan terus sampai ke jalan besar lalu menuju ke timur, terus naik ke jalan menanjak itu. Salam beberapa orang yang berjumpa dengannya di jalan, hampir tidak dibalasnya. Ia tidak menangis lagi, akan tetapi matanya membengkak dan mukanya pucat sekali, pandang matanya kosong. la seperti orang sedang mimpi dan seperti tanpa disengaja kakinya membawanya ke bagian atas Gerojogan Sewu, yaitu air terjun di Tawangmangu.
Darmi berdiri di tepi tebing tinggi di mana air dari saluran air itu jatuh dari ketinggian kurang lebih seratus meter. Hari masih terlalu pagi bagi para peIancong untuk menuruni tempat rekreasi di bawah air terjun itu. Dari atas, tempat di mana Darmi berdiri, nampak tempat rekreasi di bawah itu, masih sunyi sekali, belum nampak ada seorangpun manusia. Memang biasanya, pada hari-hari kerja, tempat itu sunyi saja dan hanya kadang-kadang datang beberapa orang pengunjung. Hanya di hari Minggu atau hari besar saja tempat itu ramai sekali. Darmi berdiri dengan wajah pucat. Pandang matanya sayu, sudah kehabisan air mata, dan yang nampak olehnya hanya bayangan wajah Dedi yang marah-marah dan yang terdengar pada telinganya hanyalah maki-makian yang amat menyakitkan hati itu. Suara air terjun itu seperti mengulang caci-maki Dedi.
"Jangan sembarangan membuka mulutmu yang kotor! Aku tidak punya anak! Pelacur macam engkau ini berani bilang begitu? Berapa ribu orang laki-laki yang sudah kau layani? Dan kau berani menuduhku sebagai ayah anak harammu? Bedebah, pergilah! Aku tidak sudi lagi bicara denganmu! Aku tidak sudi melihat mukamu, muka seorang pelacur rendah yang hina!"
"Den Dedi!"
Darmi mengeluh dan ia memejamkan mata. Ingin ia lari dari wajah Dedi yang memandangnya begitu menghina, dari kata-katanya yang terus mengiang di dalam telinganya. Ingin ia lari, lari dari segalanya yang demikian pahit dan menyakitkan hati. Keputusannya sudah bulat, semenjak, ia menulis surat peninggalan itu.
"Den Dedi,"
Keluhnya, mungkin hanya keluh suara hatinya saja karena bibirnya yang bergerak-gerak itu tidak bersuara.
"Aku dapat bertahan hidup hanya karena anak kita".. karena harapan akan dapat berjumpa lagi denganmu".. kini"". harapanku hancur""
Untuk apa lagi aku hidup? Untuk menjadi pelacur dan merusak hati anak kita? Tidak"", tidak"."
Ia memejamkan mata dan tiba-tiba terdengar ia menjerit nyaring,
"Tidaaaaaakkk"..!"
Tubuh itu melayang tanpa dapat ditahan lagi. Parman, seorang laki-laki muda yang sedang mencari rumput beberapa puluh meter dari tepi tebing itu, mendengar jeritan itu. Dia terkejut dan melihat betapa tubuh itu terjun ke bawah.
"Heiii"".!"
Dia melepaskan aritnya dan lari ke tepi tebing. Matanya terbelalak melihat wanita yang tadi berada di tepi tebing, yang disangkanya adalah seorang pelancong, kini telah rebah tertelungkup di bawah sana, di antara batu-batu yang biasanya menerima cucuran air terjun dari atas. Kini batu-batu itu menerima timpaan sesuatu yang lain lagi, dan nampak merah-merah di sekeliling tubuh wanita itu.
"Toloooonggg"".Toloooonggg""!"
Parman menjerit-jerit panik. Tak lama kemudian, di atas tebing itu berkumpul beberapa orang... Mereka menuding-nuding ke bawah dan beberapa orang di antaranya termasuk Parman, segera mengambil jalan menuruni tebing itu. Polisipun datanglah. Darmi telah tewas seketika. Kepalanya retak-retak dan tulang punggungnya patah-patah. Mayatnya diangkat dan diusung, dan Parman ditahan sementara polisi melakukan penyelidikan. Orang yang terjatuh dari atas tebing itu hanya mempunyai dua kemungkinan, yaitu didorong orang lain atau terjun sendiri yang berarti pembunuhan atau bunuh diri. Dan Parman sebagai saksi utama, yang bernasib sial itu ditahan polisi, karena tidak ada tanda bahwa dia bukanlah orang yang mendorong Darmi jatuh!
Mbah Karto menjerit dan menangis ketika diberi tahu tentang kematian Darmi. Dan komandan polisi Tawangmangu segera dapat menemukan surat peninggalan yang ditandatangani Darmi itu, sambil mendengar penuturan mbah Karto tentang Darmi yang aneh ketika hendak pergi pagi itu.
Mimi anakku sayang,
Ampunkan ibumu, Mimi. Ibumu terpaksa meninggalkanmu karena ibumu tidak tahan lagi hidup dunia yang penuh kepalsuan ini. Jaga dirimu baik-baik dan taatilah mbah Karto. Kelak, kau carilah ayahmu, namanya Dedi.
Ibumu yang menyayangmu,
Darmi.
Karena adanya surat ini, Parman dibebaskan dari tahanan dan polisi menutup penyelidikan mereka dengan catatan bahwa Darmi tewas karena bunuh diri. Peristiwa yang amat mengerikan dan menyedihkan ini tidak terlalu membekas di hati Mimi karena ia masih terlalu kecil dan murni untuk dapat terlalu lama disiksa oleh duka. Dan untung baginya, mbah Karto amat cinta padanya sehingga ia, seorang anak yang tidak lagi memiliki ayah dan ibu, tidak sampai terlantar.
Dari mbah Karto, Mimi tahu bahwa ibunya telah terjatuh dari atas tebing Gerojogan Sewu dan tewas. Karena kasih sayangnya yang besar terhadap Mimi, timbullah akal pada mbah Karto. Ia tahu bahwa kalau ia hanya mengandalkan barang dan uang peninggalan Darmi untuk merawat Mimi, dalam waktu beberapa tahun saja semua itu akan habis dan ia takkan tahu lagi bagaimana untuk dapat membiayai hidup dan sekolah Mimi. Maka, demi sayangnya kepada Mimi, timbul akalnya. Ia menggunakan sebagian uang itu untuk membuka warung kecil-kecilan dan dari usaha ini dapatlah ia memperoleh hasil yang lumayan, cukup untuk makan sehari-hari dan sekedar membelikan pakaian untuk Mimi.
Dengan cara ini, peninggalan barang dan uang dari Darmi itu disimpannya dan menjadi lebih awet. Juga, tugas baru yang dianggapnya sebagai tugas suci terakhir dalam hidupnya itu membuat mbah Karto menjadi bersemangat dan sehat. Beruntunglah orang tua seperti nenek itu yang merasa betapa ia masih bermanfaat, masih dibutuhkan orang lain, masih ada gunanya hidup di dalam dunia ini. Sebagian besar orang-orang tua merasa tertekan batinnya dan merenungi masa tuanya dengan semangat lumpuh karena mereka merasa tidak dibutuhkan lagi, Tiada gunanya lagi, seolah-olah sisa hidup mereka hanya menjadi beban, menjadi gangguan anak cucu dan orang lain.
Dedi dan Rusli menjemput kawan-kawan mereka yang bermalam di yilla seorang paman dari teman mereka. Dedi dan Rusli tidak ikut bermalam di yilla itu karena kamarnya hanya ada dua buah, dan karena desakan Rusli maka Dedi juga ikut bermalam di hotel. Dia bahwa Rusli sengaja hendak bermalam di hotel untuk mencari perempuan. Rusli mengerling ke arah temannya yang menyetir mobil. Dia tahu bahwa temannya itu marah, atau setidaknya, tidak bersenang hati. Rusli merasa heran dan juga khawatir. Dinyalakannya sebatang rokok dan dicobanya untuk memecahkan suasana yang tidak enak itu dengan kata-kata sambil lalu.
"Ded""
Engkau sudah mengenal Darmi?"
"Hemm"""? Sudah,"
Jawab Dedi tanpa menoleh dan agaknya pertanyaan sahabatnya tadi mengejutkannya dan menyadarkannya kembali dari lamunan.
"Engkau agaknya marah kepadanya, Ded. Mengapa sih? la seorang wanita hebat, Ded. Sungguh, tidak seperti pelacur-pelacur yang pernah kukenal..."
"Diam""!!"
Rusli terkejut memandang sahabatnya yang masih menatap ke depan dengan kening berkerut dan muka merah sekali.
"Sorry, Ded. Kenapa kau marah kepadaku?"
Mereka adalah sahabat baik dan belum pernah Rusli melihat Dedi marah seperti itu, bahkan selama mereka menjadi sahabat dan teman sekuliah, belum pernah Dedi marah kepadanya.
"Aku melarang kau bicara tentang dia! Aku tidak sudi mendengar tentang perempuan itul"
Ucapan Dedi ini masih membentak-bentak. Rusli mengangguk-angguk, menyedot rokoknya untuk menahan panasnya hati karena dibentak-bentak sahahatnya itu. Dia tahu bahwa Dedi sedang marah sekali, maka tidak baik melayani orang marah.
"Oke""
Oke"..!"
Dan diapun diam saja, mengisap rokoknya dan membayangkan kemesraannya bersama Darmi semalam. Kalau kemarahan itu seperti api, maka tanggapan, baik tanggapan yang datangnya dari orang lain maupun dari dalam diri sendiri, bagaikan kayu dan minyak bakar yang menjadi umpan bagi api.
Kemarahan akan menjadi semakin berkobar kalau menerima tanggapan. Akan tetapi, kalau didiamkan saja tanpa ada tanggapan, kemarahan itu, bagaikan api kehabisan bahan bakar, akan padam dengan sendirinya. Setelah beberapa saat lamanya dua orang muda itu diam saja dan yang terdengar hanya deru mesin mobil, kemarahan yang membakar hati Dedipun mereda dan sadarlah dia bahwa dia telah bersikap keterlaluan terhadap sahabatnya. Dia menarik napas panjang dan hatinya merintih. Kemarahannya telah berganti menjadi kedukaan. Kedua tangannya yang memegang kemudi gemetar dan diapun menginjak rem dan kopling, mengganti yersnelling dan menghentikan mobil di tepi jalan. Mobil berhenti dan Dedi memandang sahabatnya.
"Sorry, Rus"" "
Katanya sambil mengulurkan tangan. Rusli menjabat tangan sahabatnya itu.
"Ah, kita ini sahabat kental, mengapa harus sorry-sorryan begini?"
Kata Rusli tertawa dan suara ketawa sahabatnya itu seperti cahaya matahari mengusir awan tipis yang menyelubungi hatinya.
"Nah, kita bicara urusan lain!"
Dedi tersenyum. Dengan memaksa hatinya dia mencoba untuk melupakan Darmi. Memang dia harus dapat melupakannya, demikian hatinya berbisik keras.
"Hemm, macam kau , mau bicara apa lagi kalau bukan urusan perempuan? Engkau memang laki-laki yang gila perempuan, Rus."
Dedi mencoba berkelakar.
"Tentu saja! Laki-laki mana yang tidak gila perempuan? Kalau laki-laki tergila-gila kepada laki-laki lain, dia banci dong!"
Rusli yang sudah maklum bahwa ada apa-apa antara sahabatnya ini dengan pelacur panggilan yang namanya Darmi itu, dengan bijak tidak mau menyinggung urusan Darmi, walaupun ingin sekali dia membicarakan tentang wanita itu.
Dedi tertawa dan menggerakkan mobilnya lagi. Timbul kembali kegembiraannya dan dia nampaknya sudah pulih kembali ketika mereka berdua menjemput dua orang sahabat mereka. Tak lama kemudian meluncurlah mobil itu menuruni Tawangmangu, lereng gunung Lawu yang amat indah itu, menuju ke Solo. Dedi masih menyetir mobilnya. Dia tidak memberikan ketika kawan-kawannya hendak menggantikannya. Dia merasa bahwa hatinya masih resah dan gelisah, maka sebaiknya dia menyetir saja agar perobahan sikapnya tidak begitu kentara. Ketika tiga orang kawan-kawannya bercakap-cakap dan bersendat-gurau, dia hanya mendengarkan dan kadang-kadang ikut tertawa. Akan tetapi pikirannya tidak pernah meninggalkan Darmi.
"Rus! Semalam kau pasti cari awewe (perempuan)!"
Tegur seorang, teman.
"Ah, tidak".!"
Kata Rusli tertawa.
"Apanya yang tidak!"
Cela teman lain.
"Mukamu sampai pucat dan loyo begitu! Berapa orang kau panggil? "
Diam-diam Dedi berterima kasih kepada Rusli, yang dalam kelakarnya bersama teman-teman itu tidak pernah bercerita tentang Darmi. Rusli memang sahabat terbaik. Justeru itulah yang amat menyakitkan hati.
Kalau dia melihat Darmi masuk kamar dengan pria lain, dia akan dapat memandang kepada pria itu dengan kebencian. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat membenci Rusli, dan justeru perasa tidak enak yang ada dalam hatinya terhadap Rusli karena Darmi itulah yang menambah kegelisahan dan penyesalannya. Sakit bukan main rasa hatinya. Selama ini dia selalu mengaku dalam hatinya bahwa dia mencinta Darmi. Dan kini, setelah dia bekerja sebagai seorang direktur sebuah perusahaan yang besar, dia dapat mengurus Darmi. Tidak harus melarikan diri seperti dulu lagi. Dahulu, dia masih mahasiswa, tak mungkin dia mengurus Darmi, bahkan tidak mungkin dia mengakui Darmi sebagai kekasihnya. Tapi kini, dia sudah bekerja, dan sudah lebih dari setahun ini dia mencari-cari Darmi. Dia belum tahu apa yang hendak dilakukannya kalau dia dapat bertemu dengan Darmi.
Mengawininya? Masih sulit untuk menentukannya karena dia maklum bahwa menikah dengan seorang dusun, bekas babu, tentu akan menimbulkan tentangan orang tuanya. Apapun yang akan terjadi, dia harus bertemu dengan Darmi dan dengan cara apapun dia akan "mengangkat"
Darmi. Akan tetapi, ternyata perjumpaannya itu merupakan pukulan terhadap batinnya. Darmi menjadi pelacur! Semalam suntuk menyerahkan tubuhnya, melayani Rusli dengan bayaran beberapa ratus rupiah saja! Dan sebelum itu, entah sudah berapa ribu orang pria yang dilayaninya, diserahi tubuhnya! Darmi yang dijumpainya itu sama sekali bukan Darmi yang dulu lagi. Perawan dusun yang murni itu menjadi pelacur hina yang tak tahu malu. Sekuntum bunga mawar yang sedang mekar mengharum dan bersih itu jatuh ke pecomberan, diinjak-injak oleh kaki-kaki kotor.
"""
Sunggah mati aku bersumpah"". Ia anakmu, anak kita""
Malam itu"
Suara itu bergema di telinganya.
"Bohong!"
Hatinya berteriak marah. Siapa bisa percaya ucapan seorang pelacur?
Dia hanya satu kali saja berhubungan dengan Darmi, dan ketika hal itu terjadi, mereka berdua masih sama-sama perawan dan perjaka. Tidak mungkin hubungan pertama itu bisa berbuah. Dia sudah banyak membaca tentang hal ini. Memang, satu kali hubungan kelamin antara wanita sudah cukup untuk menghasilkan keturunan, akan tetapi hubungan pertama kalinya untuk seorang perawan dan perjaka, sewaktu mereka keduanya masih hijau dalam hal itu, hampir tidak mungkin dapat menghasilkan keturunan. Siapa mau percaya akan hal itu? Siapa tahu bahwa setelah dia pergi dari rumah Alex Danumiharja, tuan rumah itu melanjutkan minatnya dan menggerayangi Darmi? Sangat boleh jadi! Dan Darmi hanya mengaku demikian untuk menarik perhatiannya, untuk menarik keuntungan, membuatnya bertanggung jawab. Gila! Omongan pelacur mana ada yang benar?
"Den Dediiii"..!"
Jerit ini seperti melengking di dekat telinganya dan dia seperti melihat bayangan Darmi menyeberang jalan. Terkejutlah dia, diinjaknya rem mobil dan dibantingnya setir mobil ke kanan. Sebatang pohon yang berdiri tegak di sisi tiba-tiba nampak olehnya seperti raksasa hendak menerkamnya, maka cepat dibantingnya setir ke kiri lagi. Dia mendengar tiga orang temannya berteriak dan ada orang di sebelah kirinya yang menarik rem tangan pada saat dia sendiripun menginjak rem sekuatnya dengan kaki kanan, kaki kirinya menginjak kopling dan tangan kirinya secara otomatis mengoper persnelling. Mobil terhenti di sisi jalan, seperti tersentak.
"Ded, ada apakah"".?"
Teman-temannya bertanya. Akan tetapi Dedi memandang ke tengah jalan dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penuh keringat. Dia melihat tubuh Darmi menggeletak di tengah jalan itu, dengan kepala berlumur darah! Aku telah membunuhnya""
Aku telah membunuhnya""! Bibirnya bergerak-gerak namun tidak mengeluarkan suara.
"Ded, kau mengapa?"
Tiba-tiba Rusli yang duduk di sebelahnya itu menepuk pundaknya keras-keras dan Dedi terkejut, menoleh seperti orang yang baru sadar dari mimpi. Diambilnya saputangan untuk mengusap peluhnya dan ketika dia melirik ke tengah jalan, Darmi sudah tidak berada di situ. Dicari-carinya dengan pandang matanya, namun tetap tak dapat ditemukannya tubuh yang menggeletak dengan kepala berlumur darah tadi.
"Ooohhhh"..!"
Dia menarik napas panjang penuh kelegaan. ''Aku""., aku merasa agak pening"
Gumamnya.
"Engkau masuk angin agaknya, mukamu pucat benar. Biar kugantikan kau menyetir mobilmu, Ded,"
Kata Rusli yang sudah membuka pintu, turun dari mobil dan mengambil jalan memutar dari depan mobil untuk duduk di sebelah kanan, menggantikan Dedi memegang setir mobil. Dedi tidak membantah kali ini, menggeser duduknya ke kiri sambil mengusap-usap muka dengan saputangannya.
"Untung jalan ini sepi tidak banyak kendaraan."
Kata seorang teman di belakang.
"Wah, agaknya semalam engkaupun kurang tidur, Ded. Engkau diplonco oleh Rusli tentu, ha-ha!"
Teman yang lain menyambung dan tertawalah mereka, juga Dedi, walaupun tawanya lebih terdorong oleh kelegaan hati bahwa dia tidak menabrak Darmi yang dibayangkannya tadi, tidak membunuhnya. Mobil sudah meluncur lagi dan mereka sudah bersenda-gurau lagi. Memang semua pengalaman yang berbahaya itu mendatangkan kenangan yang kalau dibicarakan menjadi hal yang dapat menggembirakan.
Akan tetapi, Dedi merasa tidak nyaman hatinya. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada saat dia mendengar jerit suara Darmi tadi, tubuh Darmi sedang melayang jatuh dari atas tebing dan wanita itu memang menjerit dan menyebutkan namanya. Dan diapun tidak tahu bahwa ketika dia melihat bayangan tuhuh Darmi menggeletak dengan kepala berlumur darah, pada saat itupun tubuh Darmi yang sebenarnya sudah menggeletak di antara batu-batu di Grojogan Sewu, dengan kepala retak-retak berdarah!
(Lanjut ke Bagian 07)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 07
Suka dan duka bagaikan ombak-ombak samudera kehidupan yang mengayun biduk ke kanan dan ke kiri silih berganti dan tiada henti-hentinya. Suka dan duka jalan bersama bergandeng tangan, tidak ada yang satu tanpa yang ke dua, bagaikan si kembar yang tak terpisahkan. Suka-duka dipupuk dan semakin kuat mencengkeram kehidupan manusia oleh keinginan manusia sendiri untuk memanjakan suka dan menolak duka. Namun, tiada suka maupun duka yang dapat bertahan lama dalam batin. Semua itu akan menipis dan kemudian lenyap seperti awan di musim kemarau. walaupun dibandingkan dengan suka, duka kuat dan lebih lama menguasai hati manusia.
Sebuah rumah gedung tingkat pertengahan di sebuah gang di daerah Tebet. Pohon-pohon bunga Nusa Indah yang lebat daunnya menyembunyikan sebagian dari gedung itu dari luar pagar besi yang ditutup lagi oleh pagar bambu. Aneh memang mode pagar di Jakarta pada akhir-akhir ini. Pagar-pagar besi yang rapi dan mewah ditutup oleh barisan bambu yang dari luar nampak jorok. Semenjak ada kampanye "Gerakan Hidup Sederhana"
Para pemilik rumah gedung yang mewah maupun setengah mewah mengikuti mode pagar ini. Pagar bambu dijajarkan rapat ini tentu saja menghalangi pandangan dari luar dan rumah gedung menyolok karena mewahnya tidak begitu nampak lagi. Dari sebuah Papan nama kecil berdasar kuning dengan huruf-huruf hitam kita dapat mengetahui bahwa rumah gedung setengah mewah itu adalah milik Drs. Dedi Suroto.
Di kanan kiri ujung teras depan nampak dua untai rantai besi yang besar, pantasnya rantai kapal, tergantung mati dan merupakan hiasan yang aneh dan antik, juga merupakan mode pada waktu ini. Rantai-rantai kapal yang digantung ini berfungsi sebagai penyalur air hujan dari talang, pengganti pancuran talang dan juga sebagai hiasan yang tidak kalah uniknya dari arca. Hari Minggu jam delapan pagi. Sunyi sekali rumah itu. Pak Gito menggunakan slang plastik menyirami Nusa Indah dan bunga-bunga lain di pekarangan depan di sepanjang kanan kiri jalan masuk mobil ke garasi yang berkerikil karang. si Yem sibuk mencuci pakaian di belakang. Hanya dua orang pelayan ini saja yang agaknya sibuk di pagi hari Minggu itu. Bagi mereka berdua, Minggu tiada bedanya dengan hari-hari biasa, bahkan kadang-kadang, terutama bagi si Yem, lebih banyak pekerjaan baginya.
Dedi, atau Doktorandus Ekonomi Dedi Suroto, duduk di ruangan depan. Duduk dengan santai dan malas. Masih mengenakan kimono sutera menutupi celana dalam dan kaos kutangnya. Jakarta terlampau panas, untuk berpiyama. Rambutnya, menunjukkan bahwa dia baru bangun tidur dan belum mandi, belum bersisir. Rambut yang sudah seperempat beruban, agak panjang, kedua sisinya menyentuh daun telinga dan belakangnya sampai ke tengkuk, cambangnya jauh melampaui bawah telinga. Kumisnya yang tipis masih hitam tanpa uban dan dagunya bersih dari jenggot walaupun pagi itu nampak kebiruan karena belum dicukur. Wajah yang wibawa dan jantan dari seorang pria berusia empat puluh enam tahun. Pagi itu wajah Dedi nampak kusut, matanya agak merah seperti orang kurang tidur.
Dan nampak kedukaan membayang di wajah yang berwibawa itu. Dia termenung sambil bersandar di kursi empuk yang menjadi kursi kesayangannya, matanya merenung ke depan, menatap Pak Gito yang sedang menyirami bunga tanpa melihatnya. Dia tidak melihat bayangan pak Gito, melainkan melihat bayangan Darmi! Tidak, dia sudah tidak berduka lagi karena Darmi. Luka itu sudah mengering. Dia sudah lupa kepada darmi, akan tetapi ada saat-saat di mana dia seperti terpaksa harus mengenang wanita itu. Yaitu di saat-saat seperti sekarang ini, ketika hatinya dilanda kekecewaan dan kedukaan. Akhir-akhir ini, sering teringat kembali kepada Darmi, dan semua ini karena ulah isterinya. Tadi malampun, seperti ada banyak malam selama beberapa tahun ini, dia kurang tidur. Gelisah, kecewa dan penasaran. Karena ulah isterinya!
"Werrr"".rung-rung-rungggg"".!"
Suara sepeda motor dihidupkan mesinnya membuyarkan lamunannya. Mesin itu menggerung-gerung bagaikan gila dan dia sudah hafal akan kesenangan puteranya yang amat menganggu ini. Padahal, tidak usah di gerung-gerungkan seperti itu gasnya, mesin sepeda motor Yamaha itupun akan hidup! Tak lama kemudian, Yamaha 100 cc. itupun meluncur dari pintu samping, ngebut saja di atas jalan kerikil, rodanya menggilas slang plastik yang dipergunakan oleh Pak Gito untuk menyirami kembang. Tergilas ban Yamaha, airnya terhenti dan bunyi roda di atas kerikil mengejutkan Pak Gito yang menarik slangnya. Ban Yamaha meluncur lewat dan air muncrat lagi, kini menyiram muka Pak Gito sendiri yang tadi memandangi ujung slang yang terhenti airnya.
"Ha-ha-ha, seperti lutung mandi!"
Pemuda di atas Yamaha itu tertawa sambil menoleh ke arah Pak Gito yang gelagapan ketika Yamahanya meluncur keluar dari pintu pagar depan. Yamaha itu menderum-derum dan sebentar saja sudah meluncur jauh. Pak Gito mengusap mukanya yang basah itu dengan lengan baju kaosnya, Hatinya mengkal, akan tetapi dia tidak berani memperlihatkannya dengan sikap atau kata-kata karena dia tahu bahwa majikannya sedang duduk di ruangah depan dan dapat melihatnya. Putera majikannya itu memang nakal, dan selalu mencari kesempatan untuk menggoda atau lebih tepat mengganggunya.
Dedi menarik napas panjang. Hati yang sudah pedih itu terasa prihatin. Joni anak mereka satu-satunya. Dan sejak kelahiran Joni itulah hubungan dengan isterinya mulai retak. Sebelum Joni terlahir, isterinya Widayani, adalah seorang isteri yang amat menyenangkan. Segala-galanya. Dia menikah setahun setelah perjumpaannya dengan Darmi di Tawangmangu. Keputusan yang diambil secara tiba-tiba. Tadinya, bujukan ayah-bundanya agar dia cepat menikah tak pernah ditaatinya karena hatinya masih terisi oleh bayangan Darmi. Akan tetapi, sejak peristiwa itu Darmi telah diusirnya dengan paksa dari lubuk hatinya. Dan pilihan ibunya diterimanya. Bukan secara membuta, melainkan karena diapun melihat bahwa pilihan ibunya itu amat baik. Seorang dara yang sudah masak segala-galanya. Berusia dua puluh dua tahun, tujuh tahun lebih muda darinya. Mahasiswi jebolan Fakultas Hukum tingkat tiga.
Seorang gadis intelek, modern, cantik dan berdarah ningrat dari Yogyakarta. Setahun kurang lebih lamanya dia menghubungi Widayani sebelum mereka menikah. Dia berbahagia. Seperti bumi dengan langit kalau dia membandingkan antara Darmi dan Widayani. Darmi seorang gadis dusun, seorang babu pelayan, bodoh tidak terpelajar, terbelakang dan lebih celaka lagi, terjerumus ke dalam lembah kehinaan menjadi pelacur. Sedangkan Widayani, seorang gadis kota berdarah ningrat, modern, lincah, intelek. Tidak sukar untuk memilih, bahkan dia mentertawakan kebodohannya sendiri mengapa dia pernah terpikat oleh seorang perempuan macam Darmi. Pernikahan itu mula-mula mendatangkan kebahagiaan baginya. Widayani cantik manis dan mencintanya, melayaninya sebagai seorang isteri yang menyerahkan segala-galanya dengan penuh kerelaan hati.
Dan diapun akhirnya jatuh cinta kepada isterinya sendiri. Dedi bukan seorang yang suka melacur. Sampai berusia dua puluh sembilan, yaitu ketika dia menikah, hubungannya dengan wanita sampai ke tempat tidur dapat dihitung dengan jari. Dia selalu merasa menyesal sehabis bermain cinta di tempt tidur dengan wanita dan akhirnya diapun selalu menahan diri dan kalau sudah terlalu mendesak gairahnya, dia lebih suka beronani dari pada bermain dengan wanita. Onani jarang dilakukannya karena dia mengisi waktu dengan kesibukan lain, dan terutama di waktu malam dia selalu membaca buku sampai tertidur dengan buku di atas dada atau tergolek di bantal. Oleh karena itu agaknya, setelah dia berbulan madu dengan isterinya, Dedi tenggelam dan mabok dalam kenikmatan seksuil. Seperti seorang anak-anak yang memperoleh mainan yang sudah lama dirindukannya.
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, isterinya yang masih muda itu menyambutnya dengan sama panasnya, dengan penuh gairah, penuh semangat. Hidupnya ketika itu penuh cahaya terang bagi Dedi. Isteri cantik penuh kasih sayang, kedudukan sebagai seorang direktur perusahaan import & export memungkinkannya memperoleh penghasilan yang dapat menjamin keluarganya hidup kecukupan. Mau apa lagi? Widayani memang seorang wanita modern. Namun, dia dapat mengimbangi kemodernan isterinya. Dia dapat memandang dengan hati lapang melihat isterinya bergaul bebas dengan teman-temannya, dengan kalangan atas, bahkan dia dapat tersenyum penuh keikhlasan melihat isterinya berdancing dengan pria lain dalam sebuah pesta modern kalangan atas. Dan di selalu berbangga melihat isterinya menjadi bintang malam di sebuah pesta, dipandang oleh setiap mata pria dengan penuh sinar kagum.
Diapun dapat mengerti ketika isterinya belajar mengemudi dan kemudian kadang-kadang menyetir mobilnya sendiri jika pergi berbelanja. Semua itu bahkan mendatangkan kebanggaan dalam hatinya. Akan tetapi, setelah Joni terlahir, mulailah kebahagiaannya retak-retak dan bahkan berada di ambang kehancuran setelah berjalan belasan tahun lamanya. Ketika melahirkan Joni, Widayani menghadapi krisis. Kelahiran yang sukar. Kedudukan bayi dalam kandungan membalik. Sudah tidak keburu dibetulkan kembali letaknya dan terpaksa Joni terlahir dengan terbalik, pinggul dan badannya keluar lebih dulu, baru kepalanya. Melahirkan bayi pertama yang amat sukar dan membuatnya menderita ini agaknya mendatangkan goresan yang amat mendalam di batin Widayani. Dianggapnya bahwa ketika melahirkan itu, nyawanya terancam dan nyaris melayang.
Dan semua ini adalah kesalahan suaminya, dan anaknya! Dan ini sama sekali merobah sikapnya terhadap suaminya, dan membuatnya bersikap tak acuh terhadap anaknya. Dan baru Dedi mendapat kenyataan betapa tebalnya ke akuan seorang wanita modern! Widayani tidak mau menyusui anaknya. Bahkan menggendong anaknyapun jarang, nampaknya enggan. Marah-marah kalau gaunnya basah karena kencing bayinya. Hal itu masih tidak mengapa. Bisa memanggil seorang perawat bayi ke rumah. Dedi masih dapat menerimanya, menganggap bahwa Widayani belum berpengalaman mempunyai anak. Akan tetapi ternyata bukan itu saja. Berbulan-bulan sesudah melahirkan, setelah keadaannya normal kembali dan kesehatannya pulih kembali, Widayani enggan didekati suaminya! Selalu mencari alasan untuk menolak hubungan seks dengan suaminya!
"Aku takut kalau-kalau akan jadi lagi, mas."
Alasan ini yang mula-mula dikeluarkan dan sampai beberapa bulan lamanya Dedi mengalah, menahan diri tidak mendekati isterinya. Setelah bayi mereka berusia setahun, baru dia mendekati isterinya lagi, membujuknya.
"Jangan khawatir, Wida"". eh, Mam! Engkau bisa minum obat anti hamil. Nih, boleh kau pilih, sudah kubawakan untukmu. Ada Euginon""". atau Lyd"".."
"Aku tidak mau! Harus menurut resep dokter."
Dedi menurut. Mereka pergi ke dokter dan hasilnya toh sama juga. Widayani diberi pel pencegah hamil. Dan, malarn itu, setahun lebih semenjak melahirkan, untuk pertama kalinya isteri muda ini menerima suaminya. Akan tetapi, Dedi merasa cemas. Sungguh berbeda sekali sikap Widayani. Terasa hambar. Masih ada kecemasan di hati isterinya. Hanya setengah hati melayaninya. Dia semakin khawatir. Kekhawatirannya terbukti ketika beberapa minggu kemudian isterinya mengeluh, mengatakan sering pening kepala setelah setiap hari minum pel anti hamil. Mereka ke dokter lagi. Pel diganti, masih pening. Diganti lagi, masih tidak menolong. Akhirnya Widayani sama sekali tidak mau minum pel, dan tentu saja sebagai akibatnya, ia sama sekali tidak mau melayani suaminya di tempat tidur.
"Habis bagaimana, Mam?"
Dedi menyebut Mam kepada isterinya. singkatan dari Mama dan isterinya menyebutnya Pap. singkatan dari Papa. Inipun. kehendak Widayani walaupun bagi Dedi, lebih manis rasanya kalau anak mereka menyebut mereka Bapak dan Ibu.
"Aku tidak mau minum pel lagi. Selain pening, juga menurut teman-temanku, pel anti hamil itu membuat tubuh menjadi gemuk. Aku tidak mau tubuhku berobah gendut."
"Bagaimana kalau engkau memakai spiral.! Aku sudah bicara panjang lebar tentang hal ini dengan dokter Santosa"".."
"Tidak. aku tidak mau! Beberapa orang temanku menderita bloeding (mengeluarkan darah) karena memakai spiral. Hih, aku ngeri memikirkan dalam tubuhku dipasangi alat seperti itu!"
Dedi mengerutkan alisnya, mengkal juga hatinya.
"Habis, bagaimana? Aku adalah suamimu, dan engkau isteriku. Kita masih muda. Apakah engkau terus dan tidak sudi lagi melayani suamimu ini?"
Widayani diam saja, cemberut. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya, sinar matanya agak berseri dan ia memegang lengan suaminya.
"Pap, mengapa engkau tidak memakai kondom saja?"
"Tidak! Sudah kukatakan kepadamu berkali-kali, aku tidak sudi memakai kondom. Engkau adalah isteriku dan aku ingin hubungan antara kita tidak dibatasi oleh karet! Mempergunakan kondom mengingatkan aku akan hubungan pria dengan pelacur, untuk mencegah, agar jangan ketularan penyakit kotor! Tidak, aku tidak mau memakai kondom!"
"Pap, masih ada jalan Iain. Kenapa engkau tidak melakukan vasectomi saja?"
Dedi menatap wajah isterinya dengan tajam.
"Vasectomi""."
"Ya, bukankah hal itu sudah biasa dilakukan orang laki-laki sekarang? Aku banyak membaca tentang itu. Secara ilmiah, vasectomi tidk ada akibat sampingan yang buruk. Dan hanya mudah, katanya dalam waktu seperempat jampun selesai, tidak nyeri."
"Tidak! Aku masih muda, anakku baru seorang, kenapa harus dikebiri?"
Dedi berteriak.
Dan barulah dia sadar bahwa kemarahannya itu sesungguhnya bukan hanya berpangkal kepada kekecewaan tidak mendapatkan pelayanan atau sambutan di bidang hubungan seksuil, melainkan lebih mendalam lagi, yaitu, dia tidak puas kalau hanya mempunyai seorang anak saja lalu, isterinya menghentikan itu! Melihat sikap suaminya yang marah, Widayani juga marah dan diam saja, akhirnya, Dedi dapat membujuknya untuk mempergunakan sistim kalender, yaitu memilih hari dengan perhitungan masa haid di waktu isterinya berada dalarn keadaan tidak subur. Akan tetapi, Widayani berkeras bahwa mereka memilih waktu yang paling safe (aman). Hanya dua hari sebelum dan dua hari sesudah masa haid! Jadi, hanya memberi empat hari saja dalam waktu sebulan Inipun dilakukannya dengan tidak rela, masih diliputi rasa takut kalau-kalau sampai jadi.
"Ada temanku yang memakai sistim kalender, tetap saja dapat jadi!"
Demikian alasannya ketika Dedi mencela sikapnya yang dingin.
Keadaan seperti itu. menjadi berlarut-larut. Bertahun-tahun mereka seperti itu. Isterinya mau melayaninya, yaitu pada hari-hari yang sudah ditentukan itu, namun cara melayaninya itulah yang menyakitkan hatinya. Terasa hambar. Jelas bahwa isterinya menyerahkan diri setengah hati. Tidak ada kemesraan sama sekali. Kalaupun kadang-kadang dia dapat membangkitkan gairah isterinya, selalu ada bayangan rasa khawatir di pihak isterinya itu sehingga kembali hubungan itu dapat dikatakan gagal. Keadaan ini mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Seolah-olah ada jurang pemisah di antara mereka. Dan akibatnya membuat mereka seperti hidup di dalam dunia masing-masing, terpisah oleh suatu kehampaan.
Ikatan mereka menjadi hambar dan agaknya hanya terikat oleh sebutan suami isteri saja. Bahkan menjalar kepada hubungan mereka dengan Joni, anak tunggal mereka. Tidak ada sinar cinta kasih dalam keluarga mereka. Tidak ada kemesraan, tidak ada kasih sayang. Widayani yang agak masih sakit hati terhadap suaminya dan anaknya dalam peristiwa kelahiran itu, seperti tidak mengacuhkan anaknya. Dipercayakan anaknya kepada pelayan saja. Ia bersikap sebagai seorang ibu hanya kewajiban saja. Sikap manisnya terhadap Joni terasa dibuat-buat. Dan kalau Joni nakal, terlontar kata-kata kasar terdorong kebenciannya. Dan semua ini mempengaruhi batin Dedi. Diapun menjadi tidak perduli. Bahkan ada perasaan bahwa Joni lah penyebab kehancuran rumah tangganya. Betapapun juga, dia masih mencinta isterinya. Isterinya masih nampak cantik menggairahkan baginya.
Dan inilah yang menyiksa. Kadang-kadang di waktu malam, timbul gairahnya dan dia harus memandangi saja tubuh isterinya yang tidur di atas pembaringan di dekat pembaringannya. Sudah lama mereka tidur berpisah pembaringan, walaupun masih sekamar. Ini kehendak Widayani pula. Dipandangnya tubuh isterinya dengan penuh gairah, dengan nelangsa dan prihatin. Ditahan-tahannya gairah berahinya dan timbullah duka. Kalau sudah begini, maka mulailah awal perbantahan. Dia membujuk, isterinya menolak, dan perbantahanpun terjadilah. Akhirnya, dia tidak dapat tidur, gelisah dan merana. Semalampun demikian halnya. Selama masa haid, isterinya kurang enak badan. Maka, dua hari haid yang biasanya menjadi malam-malam mereka itu, terlewat tanpa hubungan seks. Malam tadi malam ke tiga dan isterinya sudah sembuh dari masuk angin. Dia membujuk.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo