Ceritasilat Novel Online

Sekarsih Dara Segara Kidul 1


Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Tidak ada kesenangan di dunia ini melebihi kesenangan mengail ikan di Segoro Kidul (Laut Selatan)! Tentu saja ini pendirian orang yang mempunyai hobby (kesukaan) mengail! Coba tanya pada mereka yang tak senang, uuuhhh, mereka akan mengernyitkan hidung lalu mencela :

   "Huhh"

   Mengail? Kesenangan tak ada gunanya, hobby orang pemalas!"

   Malah banyak kanak-kanak yang mengejek :

   "Pemancing makannya Cacing!"

   Yang kalau diartikan untuk mengejek berarti bahwa pemancing suka makan cacing. Padahal, tentu saja arti sesungguhnya adalah bahwa pemancing menggunakan cacing sebagai umpan. Betapapun juga, hobby memancing ikan adalah termasuk jenis hobby yang baik, apalagi kalau disini dimaksudkan mengail di Segoro Kidul, baik bagi kesehatan karena kalau orang pergi mengail ke pantai Jogja seperti ke Watuleter, ke Dwarawati, apalagi ke Guwolangse, Becici dan pantai yang jauh-jauh lagi, orang harus berjalan naik-turun anak-gunung, naik turun batu-batu karang dan hal ini merupakan olah-raga yang cukup berat.

   Baik pula bagi latihan watak, supaya sabar, tekun. Belum lagi ketenangan batin yang didapatkan dalam mengail, membuat orang lupa akan hal-hal yang meruwetkan pikiran. Dua buah sepeda motor menderung-derung sepanjang jalan berdebu antara Jogjakarta-Parangtritis. Jalan itu menjurus lurus ke selatan dari Jogja ke pantai laut, jalannya agak rusak berdebu, kering dan disepanjang jalan hanya sawah-sawah belaka. Agar jangan terganggu debu, dua buah sepeda-motor itu berjalan sejajar di kanan kiri meninggalkan debu tebal mengebul di sepanjang jalan, memenuhi jalan yang kering melengking.

   Baiknya jalan Jogja-Parangtritis ini selalu sunyi, jarang ada kendaraan lewat sehingga enak saja dua buah sepeda-motor itu jalan sejajar seperti itu, melanggar peraturan lalu-lintas. Mereka itu adalah tiga orang pengail, atau lebih tepat lagi, tiga orang yang memiliki hobby (kesukaan) mengail di pantai laut selatan. Dari keadaan sepeda-sepeda motor mereka saja mudah dilihat bahwa mereka itu hendak pergi mengail. Walesan panjang-panjang malang-melintang, membawa segala macam peralatan dari alat mancing sampai tenda dan tempat air minum, sampai pula termos dibawa-bawa. Bukan tempat es batu untuk minum, melainkan tempat umpan. Memang istimewa umpan memancing di laut kidul ini, mewah mengalahkah makanan para pengail itu sendiri.

   Udang atau cumi-cumi yang masih segar, dimasukkan termos dengan es batu agar tidak lekas membusuk. Rebo, seorang tinggi kurus yang berhidung panjang, menunggang sebuah brompit DKW tua. Hebat benar Rebo ini. DKW nya penuh bergantungan barang-barang perlengkapan mengail, sampai tidak kelihatan seperti brompit lagi. Seperti orang pergi mengungsi saja. Sepeda motor yang sebuah lagi adalah sebuah Vespa Scooter, ditunggangi oleh Slamet yang berboncengan dengan Bejo yang bertubuh tinggi dan nampak kuat. Slamet berpotongan sedang saja, Juga pada Scooter ini bergantungan segala macam alat perlengkapan, malah ada sebuah lampunya, lampu kapal yang dapat menahan tiupan angin keras.

   Mereka bertiga ini adalah orang-orang biasa saja, orang-orang dari Solo yang sudah biasa mengail di Laut Kidul sampai mereka menjadi ketagihan kalau tidak pergi ke daerah ini satu bulan saja. Bagi mereka ini mengail di Laut Kidul merupakan hobby dan sport. Mereka menjalankan kendaraan perlahan dan hati-hati karena jalan yang penuh debu itu menutupi lubang-lubang jalan yang cukup berbahaya kalau si pengendara tidak hati-hati. Tiba-tiba Rebo yang mengendarai DKW nya di sebelah kiri, berseru kaget dan brompitnya berlenggak-lenggok seperti ular. Ternyata ban brompitnya telah slip memasuki debu yang agak tebal. Baiknya ia cukup tenang dan mahir sehingga biarpun harus berdemonstrasi seperti ular, ia selamat tidak sampai jatuh dan dapat melalui tutupan debu tebal itu.

   "Ha-ha-ha, kau mau main komidikah?"

   Tegur Slamet yang tadi kaget juga melihat temannya hampir terguling.

   "Bukan main komidi, Rebo sudah tak sabar lagi menanti. Sudah rindu kepada Hiu Sebantal yang telah menunggu-nunggunya di Guwolangse!"

   Bejo menyambung. Yang dimaksudkan dengan Hiu Sebantal adalah ikan-ikan hiu yang memang banyak terdapat di laut Guwolangse dan seringkali mereka dapatkan kalau mengail. Rebo yang digoda hanya tersenyum menyeringai. Kaca mata hitamnya dan topi pengailnya membuat ia tampak makin lucu, apalagi sekarang mukanya keputihan terkena debu. Setelah mereka sampai didekat Kretek, tersusullah oleh mereka rombongan orang-orang bersepeda, berkereta, ada yang berjalan kaki. Malah baru saja beberapa buah mobil pick-up mendahului mereka.

   "Wah, ramai nih di Parangtritis,"

   Kata Slamet.

   "Tentu saja. Setiap tanggal satu Suro pasti ramai,"

   Kata Rebo.

   "Kalau begitu kita bisa ikut nonton keramaian, malam ini tidur di Parangtritis, besok pagi-pagi baru ke Guwolangse,"

   Kata Bejo.

   Setibanya di penyeberangan Kretek dimana dibangun jembatan darurat oleh penduduk setempat, tiga orang ini berhenti dan membayar kepada pos penjagaan untuk "pajak jembatan."

   Keadaan di Kretek saja sudah amat ramai, penuh orang-orang yang berbondong-bondong menuju ke Parangtritis. Banyak sekali mereka ini, datang dari pelbagai daerah. Malah tidak kurang yang datang dari Solo bersepeda saja. Sembilan puluh kilometer bersepeda, bayangkan saja jauhnja! Mereka ini berangkat tadi malam, pada tengah malam.

   Memang masih besar kepercayaan orang akan hikmah Satu Suro. Biasanya pada saat ini mereka melakukan "prihatin,"

   Mengunjungi tempat-tempat yang mereka anggap keramat dan diantaranya, pantai Segoro Kidul merupakan tempat yang paling terkenal sebagai tempat keramat, pusat kerajaan Nyi Roro Kidul, Ratu Segoro Kidul. Demikian ini tentu saja menurut kepercayaan mereka yang masih dicengkeram oleh dongeng-dongeng mistik tentang Nyi Roro Kidul. Namun harus dibuat gembira bahwa sebagian besar daripada para pengunjung pantai laut yang indah itu semata-mata hanyalah dengan maksud berpesiar di hari besar, sambil menonton "orang-orang"

   Yang merayakan Suro di pinggir laut.

   Kekuasaan dongeng-dongeng mistik jaman dahulu memang sudah menipis dan sekarang setiap orang muda takkan ragu-ragu untuk berkelakar tentang Nyi Roro Kidul, sungguh pun kelakar itu bukan sengaja dimaksudkan untuk berkurang ajar, melainkan lebih condong kepada keinginan memperlihatkan ketidak-percayaan mereka akan tahyul. Sebelum memasuki Parangtritis, para pengunjung melewati daerah "bukit-pasir"

   Atau "gurun-pasir"

   Kecil. Memang menakjubkan sekali. Pasir-pasir halus putih bersih yang ditiup angin meninggalkan pantai, sedikit demi sedikit dapat berkumpul merupakan bukit-bukit pasir yang beribu meter kubik banyaknya!

   Senang juga berjalan-kaki diatas "gurun-pasir"

   Ini. Akan tetapi para pengendara brompit mengalami kesukaran. Terpaksa kendaraan mereka harus didorong-dorong, berat kalau ban sudah terbenam pasir. Apalagi kalau kendaraan itu Scooter yang berat. Slamet dan Bejo sampai terengah-engah mendorong Vespa lewat gurun-pasir itu. Seperti biasa, di Parangtritis atau lebih terkenal disebut Mancingan, tiga orang pengail itu menitipkan kendaraan-kendaraan mereka di rumah Pak Madi, langganan mereka, seorang pemilik warung kecil yang ramah tamah dan sederhana.

   Pak Madi menyambut mereka dengan gembira. Kedatangan tiga orang pengail ini merupakan rejeki baginya, karena selain uang hadiah penitipan kendaraan dan sewa kamar, juga Pak Madilah yang biasanya menjamin makanan dan kadang-kadang Pak Madi sendiri yang mengantar mereka ke Guwolangse, membawakan perbekalan yang banyak itu. Biarpun hari masih pagi, pantai sudah penuh orang. Malah lebih dari sepuluh buah mobil sedan, pick-up dan truck sudah berjajar, membawa para penumpang dari luar kota. Tidak hanya AB tanda nomor mobil-mobil itu, ada pula yang H (Semarang), AD (Solo) dan AA (Kedu). Malah ada sebuah yang pakai huruf B (Jakarta)!

   "Aduh ramai benar, lebih ramai daripada tahun yang lalu"

   Kata Rebo yang segera keluar untuk menonton. Setelah menurun-nurunkan perbekalannya, Slamet dan Bejo juga keluar, menonton tentunya.

   Apa yang ditonton? Bukan lain, yang ditonton adalah orang! Memang aneh dan lucu. Mungkin diantara banyak macam mahluk didunia ini, hanya oranglah yang suka menonton sesama orang. Akan tetapi harus diakui bahwa memang amat menarik menonton orang banyak, menonton kelakuan mereka, gerak-gerik mereka. Apalagi dalam kesempatan seperti ini Slamet, Bejo dan Rebo diam-diam terpaksa menahan ketawa, geli hati mereka menjaksikan adegan-adegan yang amat lucu. Mereka melihat para pedagang kelapa muda, laki-laki dan wanita, dengan amat fasih dan pandainya menawarkan dagangan mereka.

   "Dawegan (kelapa muda), mas"! Untuk syarat, mohon keselamatan!"

   Ramai suara para pedagang kelapa muda ini menawarkan dagangannya, sambil membujuk-bujuk orang kota. Dalam cara dan gaya masing-masing kesemuanya amat sederhana tidak dibuat-buat, mereka menyatakan bahwa setiap orang tamu yang datang harus "menghaturkan"

   Kelapa muda untuk "syarat."

   Ramai pula orang-orang kota menyambut, ada yang menanyakan cara-caranya.

   Dengan lincah gadis-gadis pesisir itu menerangkan. Kelapa muda harus dilempar ke laut, nanti kalau dikembalikan ombak boleh dibuka dan diminum airnya. Kalau kelapa yang di lempar itu tidak kembali, berarti "diterima"

   Dan akan mendapat berkah! Bermacam-macam cara mereka memberi keterangan, akan tetapi pada pokoknya sama, yaitu mohon berkah keselamatan banyak rejeki. Bukan main banyaknya orang kota yang melakukan "upacara"

   Ini. Sambil tertawa-tawa malu, ada yang secara serius, ada yang menutupi kecanggungannya sambil, berkata :

   "Ah, biarlah, ikuti saja upacara tradisionil!"

   Padahal di dalam hati betul-betul tunduk dan betul-betul mengharapkan berkah dan rejeki sebanyak-banyaknya! Yang betul saja, para pedagang kelapa muda itulah yang kebanjiran rejeki. Dua tiga kali lipat daripada harga dipasar dijualnya kepada orang-orang kota yang merupakan makanan empuk. Hanya mereka yang seringkali datang ke Parangtritis seperti tiga orang pengail itulah yang kenal akan "taktik"

   Ini dan diam-diam mereka tertawa, girang melihat penduduk pesisir mendapat untung banyak dan geli melihat kebodohan "orang-orang kota"

   Yang biasanya menganggap diri sendiri pintar dan orang-orang kampung bodoh itu.

   Makin tinggi matahari naik, makin panaslah pantai laut itu. Sedikit demi sedikit para pengunjung meninggalkan pantai dan menjelang sore hari pantai sudah sunyi lagi. Hanya bekas-bekas keramaian yang tampak yaitu gubuk-gubuk penjual jajanan disepanjang pantai, gubuk-gubuk darurat yang sekarang mulai dibongkar orang, Yang menjolok sekali adalah daun-daun, kertas-kertas, bekas pembungkus makanan, tersebar di seluruh pantai. Ada yang bergerak-gerak menggelinding terhembus angin. Kalau ada pergerakan dipantai sunyi, kiranya hanya gerakan beberapa orang yang membongkar gubuk-gubuk dan daun atau kertas yang tertiup angin.

   Ah, tidak hanya itu. Lihat, dipantai yang dicapai ombak. Ada tiga orang perempuan berjalan cepat-cepat mendorong bambu di depan dada. Mereka ini gadis-gadis pencari "jingking,"

   Semacam binatang kecil yang terbawa air laut sampai keatas pasir, berlari-lari cepat sekali. Jingking ini sukar sekali ditangkap karena cepat larinya. Akan tetapi para penangkap jingking, gadis-gadis itu menggunakan papan yang diberi gagang bambu, didorong diatas pasir untuk meratakan pasir sehingga kalau ada jingking maka binatang kecil ini akan nampak dan ditangkaplah cepat-cepat, dimasukkan kedalam keranjang kecil yang sudah disediakan untuk itu.

   Gadis-gadis ini berjalan cepat mendorong gagang pengrata pasir sambil tunduk melihat keatas pasir. Kadang-kadang membungkuk untuk menangkap jingking, lalu jalan lagi dari barat ketimur, kalau sudah sampai di ujung, kembali lagi ke barat. Pekerjaan ini di lakukan dengan penuh kesabaran, dari sore hari sampai kadang-kadang jauh malam. Pekerjaan sederhana. Tiga orang pengail itu masih berada didepan warung Pak Madi, memandang kearah gadis-gadis pencari jingking.

   "Bo, apakah yang paling depan itu bukan Sekarsih?"

   Tanya Slamet sambil menunjuk ke arah tiga orang gadis yang berjalan cepat, nampak indah sekali karena latar belakangnya kaki langit suram memerah.

   Tiga orang gadis itu nampak seperti tiga buah bayangan hitam yang bergerak-gerak. Yang ditunjuk adalah bayangan seorang gadis yang amat indah potongan tubuhnya, seperti rata-rata dimiliki gadis-gadis dusun yang biasa bekerja keras. Seperti gadis-gadis pantai lainnya, diapun hanya memakai tapih-pinjung, yaitu kain yang ditarik keatas menutupi dada, ke bawah sampai ke lutut. Bedanya dari dua orang gadis yang lain, gadis ini rambutnya panjang terurai seperti rambut Peri dalam dongeng, tidak seperti dua orang gadis lainnya yang bergelung rambut. Rebo dan Bejo segera mengenal gadis itu.

   "Siapa lagi kalau bukan dia?"

   Kata Rebo dengan nada kagum. Mereka bertiga kenal baik Sekarsih, dara Segoro Kidul yang amat jelita dan sederhana. Gadis ini amat menarik perhatian mereka, juga semua orang kota yang pernah melihatnya, karena berbeda dengan gadis-gadis pantai lainnya, kulit tubuhnya kuning langsap dan halus seakan-akan panasnya matahari tidak pernah mempengaruhinya.

   Pula, sepasang matanya amat tajam dan jeli, dengan bulu matanya yang panjang lentik mengingatkan orang akan puteri-puteri Solo atau Jogja. Yang sama dengan gadis-gadis pantai lainnya adalah kesederhanaannya, baik dalam hal berpakaian maupun dalam tutur katanya, dalam kegembiraannya seperti yang tampak sekarang ia berlari berkejaran dengan dua orang temannya sambil memanggul bambunya. Dari jauh, dalam cuaca yang remang-remang itu, mereka nampak seperti tiga orang Srikandi memanggul bedil dan berlari-larian menyerbu musuh. Rebo menjadi gembira melihat kegembiraan tiga orang gadis pantai itu. Ia bertepuk tangan keras dan berseru :

   "Karsih"!"

   Gadis-gadis itu mendengar seruan ini.

   Sekarsih yang suara ketawanya nyaring melengking terbawa angin sampai ke telinga tiga orang itu, menoleh dan melambaikan tangan, tapi melanjutkan permainannya berkejaran dengan dua orang temannya sampai lenyap ditelan gelap. Rebo dan teman-temannya memang mengenal baik gadis itu. Ketika pertama kali mereka mengail di daerah ini dan bertemu dengan Sekarsih, mereka terheran-heran dan kagum sekali. Malah mereka sempat mengeluarkan kata-kata menggoda kepada gadis jelita itu. Dan apa kata Sekarsih? Jawaban dengan kata-kata halus yang sederhana, dengan nada bersungguh-sungguh sehingga wajahnya yang manis dan jelita itu nampak agung mendatangkan rasa hormat :

   "Mas bertiga ini datang dari kota kesini hendak memancing, bukan? Harap berhati-hati, apa lagi kalau memancing ke Guwolangse, tidak boleh sembarangan dan tidak boleh main-main. Kalau mas bertiga menggoda saja, saya takkan senang berkenalan dengan mas bertiga dan juga... hasil mancing akan buruk sekali."

   Slamet dan dua orang temanya bukanlah orang-orang yang percaya akan tahjul, maka ucapan gadis jelita itu hanya mereka tertawakan saja. Akan tetapi... apa jadinya? Memancing sehari-semalam hanya memperoleh hasil... dua ekor ikan, itupun seekor hiu kecil dan seekor lagi ular atau belut! Mereka mulai merasa heran terhadap Sekarsih, apalagi ketika mereka melihat gadis itu bersama seorang laki-laki tua turun ke Guwolangse,

   Lalu... berloncatan dengan sigapnya dari karang ke karang, dengan amat berani sampai menimbulkan kengerian diliati tiga orang laki-laki itu ketika gadis jelita ini mencari kesempatan selagi ombak belum datang, turun keatas batu karang mencabuti karangan (rumput laut yang tumbuh diatas batu karang). Pekerjaan yang amat berbahaya sekali. Sudah banyak pencari-pencari rumput laut, laki-laki dan kuat lagi muda, tewas karena salah hitung dan dihantam ombak selagi ia mencabuti rumput, dihanyutkan dan dibantirg sampai hancur-hancur kepada batu karang! Dan gadis jelita ini dengan lincah dan senyum-senyum manis menghias bibirnya, bermain-main dengan maut yang dibawa ombak Segoro Kidul.

   "Astagfirulah...!"

   Rebo berbisik.

   "Kalau tidak tahu bahwa dia itu Sekarsih dara Segoro Kidul yang mencari jingking di Mancingan, tentu kusangka dia Nyi Roro Kidul sendiri""

   Setiap kali pergi memgail ke Guwolangse, mereka bertiga tentu melihat Sekarsih dan perkenalan mereka makin erat. Akan tetapi, sikap dan keadaan gadis jelita itu membuat mereka tidak berani main-main, tidak berani bersikap kurang ajar atau sembrono. Gadis itu sungguhpun hanya seorang gadis pantai yang sederhana, entah bagaimana, menimbulkan sikap sopan dan hormat kepada Rebo dan teman-temamnya.

   Mereka menjadi kenalan baik dan seringkah Sekarsih atau pamannya yang bernama Pak Loka, memberi singkong bakar atau kelapa muda kepada tiga orang pengail itu. Di lain fihak, tiga orang pengail itupun tidak mau berlaku pelit, seringkah mereka memberi hasil pancingan, yaitu ikan-ikan yang agak kecil kepada Sekarsih, dan kepada Pak Loka mereka memberi rokok. Karena mereka bertiga selalu bersikap sopan, Sekarsih menaruh kepercayaan kepada mereka. Malah pamannya pun tidak keberatan kalau gadis itu mengantar singkong atau kelapa muda ke Guwolangse.

   "Senang benar hidup seperti Sekarsih..."

   Kata Slamet seperti melamun.

   "Setiap hari bermain dengan ombak, melihat kebesaran alam, jauh dari masyarakat kota dimana sebagian besar manusia hidup diatas nafsu""

   Ia menarik napas panjang.

   "Heh-heh. Met. Kau mau bilang senang hidup disini bersama Sekarsih, bukan?"

   Rebo menggoda sambil tertawa terkekeh-kekeh. Slamet menggeleng kepala.

   "Tidak, Bo. Seorang isteri yang setia bagiku sudah Cukup, apalagi ditambah anak-anak. Aku bicara sesungguhnya, Kau lihat saja, dimana ada gadis-gadis kota yang pada saat seperti ini berkejaran dengan teman-teman sehabis kerja dan mendapat hasil, berkejaran ditepi laut, bebas lepas seperti ombak-ombak itu sendiri? Gadis-gadis kota pada saat seperti ini paling-paling berdiri dalam antrian, membeli karcis bioskop, atau jalan-jalan disepanjang kaki lima dengan pakaian-pakaian indah sambil mengisap hawa kota yang penuh debu""

   "Ha-ha, Slamet mulai berfilsafat..."

   Bejo mentertawakan. Sambil menyeruput kopi panas yang dihidangkan oleh Mbok Madi, tiga orang itu bercakap-cakap. Percakapan mereka terhenti ketika kelihatan dua orang datang memasuki warung Pak Madi, Dua orang yang menarik perhatian karena amat jauh berlawanan dengan kasederhanaan warung dan sekelilingnya. Dua orang laki-laki yang baru masuk ini berpakaian gagah, keduanya memakai jaket yang sama. Dua orang berusia tiga puluh tahun, bertubuh tegap bermata tajam, rambut dan sepatu mengkilap seakan-akan tidak pernah terganggu pasir dan angin laut.

   Dengan langkah tegap mereka memasuki warung dan melempar pandang tak acuh kepada Rebo dan dua orang temannya. Kedatangan dua orang ini memang mengherankan. Tadi agaknya pantai sudah sunyi sekali, sudah ditinggal pergi semua pengunjung. Kenapa sekarang tiba-tiba muncul dua orang ini? Apakah mereka ketinggalan kendaraan? Ataukah pedatang baru? Pak Madi dengan senyum gembira menyambut dua orang tamunya, mempersilahkan mereka duduk setelah mengebut kursi-kursi yang penuh pasir. Warung Pak Madi memang selalu di "hujani"

   Pasir yang terbawa angin, pasir-pasir lembut halus.

   "Silahkan duduk, den. Hendak pesan minuman apa?"

   Seorang diantara mereka yang mengisap rokok keretek melirik kearah Rebo dan tamu-tamunya, melirik kearah gelas-gelas kopi, lalu menjawab:

   "Beri kami dua gelas kopi panas, pak."

   Suaranya parau seperti burung gagak.

   Orang kedua, yang giginya mengkilap ketika bibirnya agak terbuka, gigi sebelah kanan juga diselaput emas, melirik-lirik kearah Rebo dan temannya. Akan tetapi tiga orang pengail ini mulai membuka perabot dari dalam tas dan mengeluarkan senar dan lain-lain untuk dipersiapkan. Besok pagi-pagi sekali mereka akan sudah berangkat ke Guwolangse. Lenyap keraguan dan kecurigaan juga yang tadinya membayang di wajah si gigi emas ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu hanyalah pengail-pengail.

   "Wah, hari tadi banyak tamu, ja Pak?"

   Si Gigi Emas bertanya kepada Pak Madi yang mengeluarkan beberapa macam penganan seperti tempe-kripik, karak dan lain-lainnya dalam stopfles-stopfles yang sudah ditambal.

   "Lumayan, den. Akan tetapi tidak seramai tahun yang lalu."

   Setelah minum kopinya beberapa teguk, si Gigi Emas bertanya sambil lalu:

   "Bapak tentu sudah lama sekali tinggal disini, ya?"

   Pak Madi tertawa senang.

   "Saya semenjak lahir berada disini, den. Kalau tidak salah, sudah empat-puluh tahun lebih."

   Dua orang tamu itu mengangguk-angguk, nampak puas. Kini yang suaranya parau bertanya setelah menoleh kearah Rebo dan teman-temannya yang masih asik membereskan alat-alat mancing.

   "Pak, apakah didaerah ini terdapat seorang yang bernama Pak Loka?"

   Rebo dan teman-temannya bermain mata, akan tetapi pura-pura tidak mendengarkan dan masih sibuk membereskan senar pancing yang ruwet. Tentu saja disebutnya nama Pak Loka, teman baik mereka, paman Sekarsih, amat menarik perhatian.

   "Tentu saja saja mengenalnya, den. Pak Loka adalah seorang penduduk lama, lebih tua malah daripada saja sendiri."

   Dengan pertanyaan-pertanyaa yang dikeluarkan dengan nada sambil lalu dua orang tamu itu mencari keterangan tentang Pak Loka. Akan tetapi biarpun nampaknga hanya sambil lalu, Rebo dan dua orang temannya merasa bahwa ada sesuatu yang aneh pada dua orang ini, terutama sekali karena dua orang ini tidak satu kalipun menyatakan mengapa mereka bertanya-tanya tentang Pak Loka. Setelah mendengar agak jelas tentang keadaan Pak Loka, tentang pekerjaannya, si Gigi Emas bertanya lagi:

   "Kalau dia seorang penduduk sini yang tua, tentu tujuh belas tahun yang lalu ia berada disini, pak?"

   "Tujuh belas tahun yang lalu?" Pak Madi mengingat-ingat.

   "Sekarang ini tahun 1966, jadi tujuh belas tahun yang lalu... tahun berapakah itu? Waktu apa?"

   Pak Madi nampak bingung.

   "Sukar kalau memakai angka-angka,"

   Kata teman si Gigi Emas yang suaranya seperti burung gagak tertawa.

   "Begini saja. Dijaman Belanda menjerang Jogjakarta, nah, pada waktu itu, apakah Pak Loka sudah tinggal disini?"

   "Oooh di waktu itukah? Dijaman geger? Ingat benar saya, Pak Loka ketika itu masih tinggal di Kretek,"

   Betul di Kretek dan isterinya masih belum meninggal""

   "Ah, jadi isterinya sudah meninggal dunia?"

   Si Gigi Emas berkata dengan nada suara kaget, akan tetapi Slamet yang diam-diam memasang mata melihat betapa orang itu mengerling tajam penuh arti kearah kawannya.

   "Kalau begitu dia hanya tinggal berdua dengan"

   Anaknja?"

   Slamet, Bejo dan Rebo sebagai orang-orang kota sudah amat menaruh curiga kepada dua orang yang menjelidiki keadaan Pak Loka ini. Akan tetapi Pak Madi adalah seorang penduduk pantai yang terlalu jujur untuk dapat merasai ini. Dia malah merasa gembira dijadikan sumber keterangan dari orang-orang kota yang gagah itu. Pak Madi tertawa bergelak.

   "Anaknya? Mana Pak Loka mempunjai anak? Ada juga keponakannya, Sekarsih"!"

   "Kasihan, jadi tidak punya anak sendiri? Dan keponakannya itu, anak siapakah?"

   Pak Madi mengerutkan kening, nampak serius sekali.

   "Itulah, den, yang merupakan rahasia Pak Loka. Memang dia orang aneh. Ketika itu, saja masih ingat betul, isterinya tahu-tahu sudah menggendong seorang anak perempuan kecil, berusia kurang-lebih setahun. Kalau ditanya orang, Pak Loka dan isterinya hanya bilang bahwa itu anak keponakan mereka, seorang anak yang ditinggal mati ayah-bundanya. Itulah Sekarsih. Akan tetapi dia tidak mau bilang siapa orang-tua Sekarsih''.

   Kembali dua orang itu main mata, hal ini dilihat jelas oleh Slamet. Slamet sendiri bersama dua orang temannya tentu saja pernah mendengar bahwa Sekar sih adalah keponakan Pak Loka, akan tetapi tak pernah menyelidiki sampai secermat itu. Kalau tidak ada udang dibalik-batu, kalau tidak ada apa-apanya, masa orang menyelidiki orang lain sampai sedemikian teliti?

   Tiba-tiba terdengar orang berkulonuwun (beruluk-salam) dari luar pintu dan masuklah seorang laki-laki yang bertubuh kokoh tegap. Orang laki-laki ini berusia empat puluh tahunan, tubuhnya nampak kuat sekali, pakaiannya terdiri dari sebuah celana hitam sebatas betis, sebuah baju lengan panjang warna hitam pula yang tidak dikancingkan sehingga memperlihatkan kaosnya yang bergaris-garis malang dan ikat-pinggangnya dari kulit. Sinar matanya membayangkan kebodohan, akan tetapi tarikan muka dan dagunya membayangkan kekerasan hati dan kekuatan kemauan.

   "Hoaa, Pak Madi. Laris warungmu, ya?"

   Datang-datang orang itu menegur Pak Madi sambil tertawa-tawa lalu dengan enaknya menghempaskan diri diatas pasir dibawah, bersandar dinding, nampaknya lelah sekali.

   "Kopi kental satu, pak."

   Pak Madi mengerutkan keningnya, lalu berkata dengan suara tak senang:

   "Makan minum kemarin belum dibayar lho, bung!"

   Orang itu tertawa menyeringai.

   "Heh-heh-heh, Pak Madi. Kau pelit benar! Dua piring nasi dan segelas kopi saja apa sih artinya? Hitung-hitung sedekah Suro mengapa?"

   "Enak saja!"

   Pak Madi membantah, melototkan mata.

   "Kau baru saja datang dan kenal, masa begitu datang lantas mau main hutang-hutangan dan tidak bayar? Mana ada sedekah untuk orang segagah engkau?"

   Orang itu nampak marah.

   Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sudahhh, hutangku kemarin itu berapa? Nanti atau besok kubayar. Sekarang aku minta kopi segelas!"

   "Minta-minta...?? Enaknya..."

   "Ya sudahlah, hutang! Hutang lagi kopi segelas!"

   Pak Madi tidak memperdulikannya karena dua orang yang berpakaian gagah tadi minta diperhitungkan jajan mereka.

   "Waah, Pak Madi hanya suka melayani orang-orang kaya saja!"

   Si baju hitam mencela, bersungut-sungut. Dua orang itu menoleh dan memandang kepada si baju hitam dengan marah, akan tetapi tidak berkata apa-apa. Setelah dibayar semua harga minuman dan jajanan, mereka keluar tergesa-gesa. Sementara itu, Slamet yang merasa kasihan melihat si baju hitam yang lagaknya seperti seorang nelayan itu, mendekati Pak Madi dan berkata:

   "Berilah kopi kental yang dimintanya, Pak Madi. Soal hutangnya yang kemarin pun, biarlah nanti perhitungkan dalam rekening saya."

   Berseri wajah Pak Madi.

   "Baiklah kalau begitu, gus Slamet. Orang dengan penghasilan kecil seperti saya ini, mana bisa memberi sedekah kepada setiap orang?"

   Akan tetapi sikap si baju hitam itu mengecewakan hati Slamet dan dua orang temannya. Bukan sekali-kali menjadi watak Slamet untuk menerima pembalasan budi dengan ucapan atau sikap, akan tetapi melihat orang itu acuh tak acuh seakan-akan tidak mendengar atau tidak mengerti bahwa ada orang membayar makan-minum dan hutang-hutangnya, malah menengok pun tidak, benar-benar keterlaluan! Terdengar suara si baju hitam yang berkaos nelayan itu bertembang diluar, lagunya Pangkur Palaran. Boleh juga suaranya, terbawa angin laut dimalam hari suara itu terdengar agak serem.

   "Siapakah dia, pak?" Tak sabar Rebo bertanya kepada Pak Madi. Sambil mengembalikan stopfles-stopfles dan mengambil gelas-gelas bekas kopi, Pak Madi menjawab kurang perhatian:

   "Ah, entah orang mabok dari mana. Kemarin dia muncul, mengaku bernama Kurdo begitu, katanya dari pantai sebelah barat. Ia menyombong hendak menjaring ikan di daerah Guwolangse."

   Bejo tertawa geli,

   "Menjaring ikan di Guwolangse? Benar-benar dia mendem (mabok) karbol! Mana ada manusia bisa berperahu di pantai Guwolangse?"

   "Belum dapat seekor pun ikan teri, dia sendiri sudah akan dijaring oleh ikan Cucut!"

   Sambung Slamet.

   "Eh, nanti dulu,"

   Kata Rebo.

   "Pak Madi, dia kan tidak bilang hendak menjaring ikan apa, bukan? Kalau begitu mungkin dia tidak sombong. Banyak macam ikan di dunia ini. Jingking dan undur-undur juga sejenis ikan, bukan? Nah, kalau hendak menjaring jingking dan undur-undur saja memang bisa dia!"

   Tiga orang itu tertawa bergelak, Pak Madi hanya tersenyum saja. Sampai jauh malam SIamet dan dua orang temannya bersendau-gurau dan Pak Kurdo yang aneh itu banyak menjadi bahan sendau-gurau mereka.

   Memang tiga orang Solo ini kalau sudah mendapat kesempatan berlibur dan mengail di pantai Selatan, mereka mempergunakan kesempatan ini. Sebaik-baiknya untuk benar-benar menikmatinya, bersenda- gurau dan melupakan kesukaran hidup yang seribu satu macam banyaknya ini. Mereka hendak benar-benar menikmati rekreasi selama dua-tiga hari, memberi kesempatan kepada otak untuk beristirahat dan mengumpulkan kekuatan baru untuk menghadapi seribu satu kesulitan lagi kalau sudah pulang kerumah masing-masing. Menjelang tengah malam, Slamet memperingatkan teman-temannya.

   "Sudahlah, hayo kita tidur. Sudah hampir jam dua belas nih. Besok kita harus berangkat pagi-pagi benar."

   Mereka lalu membaringkan tubuh diatas. Bukan di dalam bilik, bukan pula diatas ranjang atau sedikitnya diatas balai-balai bambu, melainkan diatas,... lantai berpasir itulah mereka membentangkan tikar dan tidur. Bukan main enaknya tidur diatas pasir ditilami tikar ini. Kalah ranjang Kairo dengan per mendut-mendut ditambah kasur tebal empuk berseprei putih bersih! Dan memang sudah biasa mereka bertiga tidur di tempat itu, di lantai warung Pak Madi yang tertutup pasir.

   Tak ada kesenangan yang lebih nikmat, lebih segar, lebih sehat dan begitu meringankan hati dan pikiran daripada kesenangan berjalan di waktu subuh dari Parangtritis menuju ke Guwolangse. Tentu saja pendapat di atas ini adalah pendapat Slamet, Bejo dan Rebo yang pada saat seperti itu berjalan di sepanjang pantai Parangtritis (Mancingan) menuju ke timur, kemudian mulai menyimpang melalui sawah-ladang memanjat bukit, menuju ke Guwolangse.

   Bagi Pak Madi yang membantu mereka membawa barang-barang perlengkapan mengail dan sudah berjalan cepat lebih dulu, agaknya tidak ada perasaan nikmat seperti yang dialami tiga orang itu. Dan inipun tidak aneh. Memang demikanlah watak perasaan sebagian besar orang, yakni hanya pandai menikmati sesuatu yang baru bagi mereka, setidaknya sesuatu yang jarang mereka jumpai.

   Andaikata tiga orang pengail dari Solo itu berkeadaan seperti Pak Madi yang semenjak kecilnya berada di daerah pantai Selatan, kiranya merekapun takkan merasai kebahagiaan seperti di saat itu. Sebaliknya, andaikata mereka dan Pak Madi sedang berjalan ditengah-tengah keramaian kota, kiranya keadaannya akan berbalik. Mereka bertiga akan bersikap tak perduli, sedikitpun takkan ada rasa tertarik akan segala pemandangan kota, akan tetapi kiranya Pak Madi lah yang akan terbelalak keheranan dan penuh kekaguman menikmati pemandangan kota dengan segala gedung-gedung besarnya, dengan segala mobil-mobilnya dan segala macam benda aneh-aneh yang terjual di toko-toko.

   Maka, dengan adanya kenyataan yang tak dapat dibantah ini, yaitu kebiasaan orarg yang hanya dapat menikmati keadaan yang baru atau yang jarang di jumpai, berbahagialah mereka yang dapat menikmati Segala keadaan di segala waktu dan segala tempat. Berbahagialah mereka yang dapat menikmati keadaan disekelilingnya, dimana saja dan bilamana saja dia berada.

   Perjalanan kaki dari Mancingan menuju ke Selo Penangkep, yaitu batu besar berbelah yang merupakan jalan masuk atau jalan turun menuju ke Guwolangse, melalui pegunungan-pegunungan kecil yang merupakan bagian dari pada Gunung Kidul atau gunung kapur. Dimana-mana batu karang putih mengandung kapur, di seling kebun-kebun kelapa yang tak berapa subur, ada pula kebun-kebun singkong yang kurus-kurus. Tanah bercampur batu putih itu memang kurang baik untuk pertanian. Jalannya kecil naik-turun, lagi sukar karena penuh batu karang yang runcing tajam. Orang harus berhati-hati kalau tidak mau kakinya terluka oleh batu.

   Rebo, Bejo dan Slamet berjalan perlahan, membawa walesan bambu, dan ransel di punggung. Biarpun hari masih pagi, setelah mulai mendaki bukit, berkeringatlah mereka. Terengah-engah, terbongkok-bongkok kalau menanjak dan tertahan-tahan kalau menurun. Akan tetapi mereka tetap bergembira, bersenda-gurau, meniru bunyi burung dan kadang-kadang Slamet yang pandai bertembang itu bersenandung. Kalau semangat mereka agak menurun oleh kelelahan, ada saja hal-hal yang membangkitkan semangat mereka kembali.

   Misalnya, wanita-wanita pantai yang sepagi itu sudah menaik-turuni bukit-bukit sambil menggendong gaplek, singkong dan lain-lain. Melihat wanita-wanita ini, ada yang masih setengah kanak-kanak, ada yang sudah amat tua, melalui jalan yang sama dengan dibebani berat, dapat berjalan seenaknya tanpa kelihatan lelah, semangat tiga orang pengail itu bangkit. Dua jam lebih mereka baru tiba di Selo penangkep, di mana oleh juru kunci memang telah disediakan sebuah gubuk sederhana tempat beristirahat bagi para pengunjung Guwolangse.

   Gubuk ini penting sekali, tak pernah dilewati begitu saja oleh mereka yang akan turun ke Guwolangse ataupun oleh mereka yang baru saja naik dari bawah. Mereka yang baru saja tiba dari Mancingan, amat lelah setelah berjalan naik-turun gunting selama dua jam dan gubuk itu merupakan tempat yang amat cocok untuk beristirahat melepaskan lelah. Bagi mereka yang baru saja naik, gubuk ini pun merupakan tempat yang amat Cocok untuk beristirahat melepaskan kelelahan dan ketegangan yang baru saja mereka alami.

   Ketegangan apakah? Jangan dikira bahwa menuruni Selo Penangkep sampai ke Guwolangse adalah pekerjaan yang mudah. Banyak sudah laki-laki yang kelihatan gagah dan kuat, ketika hendak menuruni tidak kuat dan terpaksa kembali ke Mancingan, tak jadi ke Guwolangse! Mengapa demikian? Amat sukarlah menuruni jalan itu? Soalnya bukan sukar, melainkan amat curam dan terjal. Jalannya juga bukan merupakan jalan, melainkan merambat dari akar ke akar, dari batu ke batu. pendeknya lebih tepat disebut "jalan monyet."

   Jalan monyet yang curam, kurang-lebih tiga ratus meter dalamnya. Memang kalau hati tak kuat, timbul pikiran yang bukan-bukan.

   Dan kalau sudah mulai memikirkan betapa akan ngerinya andaikata kaki terpeleset atau pegangan terlepas, badan melayang jatuh dan diterima oleh batu-batu runcing dan ombak menggelora, wah, kiranya orang yang bagaimana gagah sekalipun akan terpaksa kembali naik lagi, tidak jadi ke Guwolangse! Akan tetapi, dan ini kenyataan, setiap hari Satu Suro, ada beberapa orang yang sengaja turun hanya untuk berziarah dan diantara mereka ini terdapat wanitanya! Nah, kenyataan ini yang membuktikan bahwa menuruni jalan-monyet ke Guwolangse bukanlah pekerjaan sukar. Modalnya hanyalah kenekatan bulat yang disertai urat-urat saraf membaja terdorong oleh kemauan keras. Dan ini dapat timbul kalau orang mempunyai maksud-maksud tertentu menuruni tempat berbahaya itu.

   Bagi Slamet, Bejo dan Rebo yang sudah seringkah melalui jalan-monyet ini, tentu saja "bukan apa-apa."

   Biarpun mereka membawa beban, mereka dapat turun hanya mempergunakan sebelah tangan saja. Malah pernah mereka itu menuruni jalan ini pada malam hari, gelap gulita, hanya dibantu oleh lampu-lampu battery yang mereka bawa. Tak usah diceritakan lagi Pak Madi, tentu saja lebih pandai dari pada tiga orang pengail ini. Dengan bungkusan perbekalan mengail seberat dua-tiga puluh kilo diatas kepala, dengan enak dia mendahului tiga orang pengail itu menuruni jalan yang bagi banyak orang laki-laki gagah dari kota merupakan "jalan maut"

   Itu!

   Dulu, setahun yang lalu, ketika untuk pertama-kalinya Slamet dan Bejo menuruni jalan ini, muka mereka sebentar pucat sebentar merah, keringat bercucuran dari muka dan kedua kaki mereka sampai ngewel (menggigil) saking gentar dan tegang. Sekarang mereka enak saja menuruni setiap batu karang sambil bersiul-siul. Apalagi Rebo yang sudah lebih lama lagi pengalamannya, biarpun dia ini mempunyai cacad pada lututnya, dengan berani-mati melangkah dari sana kesini tanpa menghiraukan bahaya terpeleset. Hanya kadang-kadang ia mengeluh kalau dengkulnya (lututnja) terasa pegal dan sakit. Sambungan tulang lututnya sudah gapuk (rusak) sehingga kadang-kadang tulang paha dan tulang betis bisa berubah letaknya pada sambungan lutut!

   Kiranya semua tukang mancing seperti mereka itulah. Begitu tiba ditempat mengail dan melihat air laut berombak-ombak memukul pantai, mereka seakan-akan sudah mengilar, ingin lekas-lekas melempar pancing berumpan ke dalam air. Kalau tidak biasa mengail di tempat ini, tentu akan terheran-heran. Bagaimana mungkin air yang bergelora, berombak besar memukuli pantai dengan tenaga dahsyat, kadang-kadang ombak pecah memercik ke atas belasan meter tingginya, di tempat seperti itu bisa terdapat ikannya? Dan bukan main lagi ikannya. Ada hiu sebesar paha, kakap, krepu, ikan merah seperti ikan emas, dan masih banyak lagi macamnya yang aneh-aneh akan tetapi rata-rata kecuali hiu, enak sekali dagingnya.

   Sebelum mulai mengail diatas batu karang pinggir laut yang letaknya tak jauh dari Guwolangse, yaitu sebelah timurnya, ada pula sebelah baratnya, pendeknya di sekitar depan Guwolangse, lebih dulu mereka pergi ke Guwolangse untuk sekedar beristirahat dan mengambil air minum. Atau kalau mereka itu mau jujur, setidaknya mereka mau "minta ijin"

   Sungguh pun mereka bukan pemercaya tahjul, tapi tidak juga mau melanggar kesopanan yang berlaku di suatu tempat. Guwolangse adalah sebuah goa yang besar sekali, juga dalam. Di sebelah dalam, terbungkus kegelapan gua, terdapat sumber air minum yang airnya jernih. Guwolangse ini menghadap kelaut.

   Keseraman-keseraman mistik agaknya sudah lenyap oleh seringnya didatangi orang. Akan tetapi kalau orang masuk kesebelah dalam, mau tidak mau bulu tengkuk masih akan meremang karena selain gelap, basah, juga suara ombak memecah di batu karang terdengar bergemuruh dan setibanya didalam gua menimbulkan suara yang aneh dan menyeramkan. Gua itu nampak sunyi sekali. Hanya banyak bekas kunjungan orang pada hari kemarin, Satu Suro. Kulit-kulit kacang, kertas-kertas pembungkus makanan, daun-daun pembungkus kupat, ada pula bekas-bekas lilin dibakar.

   Slamet dan teman-temannya menurunkan bawaan keatas lantai gua, duduk diatas tikar yang memang tersedia disitu, melepaskan lelah. Ketika mereka hendak menuruni gua kesebelah dalam untuk mencuci muka pada pancuran air, mereka melihat seorang laki-laki muda duduk bersila di sebelah pinggir, terhalang batu karang. Pemandangan tidak aneh. Memang setiap kali mereka datang ketempat ini, selalu mereka menjumpai pertapa-pertapa atau orang-orang yang duduk bersila seperti patung. Akan tetapi yang menarik kali ini adalah keadaan orang itu yang masih amat muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya, berwajah tampan akan tetapi amat pucat.

   Pakaiannya juga bukan seperti para pertapa yang berpakaian sederhana, melainkan berkemeja dan berpantalon, sepatu butut didekatnya. Untuk menghormati ketekunan orang muda yang sedang bersila meramkan mata itu, Slamet dan teman-temannya tidak mau membuat gaduh. Diam-diam mereka mencuci muka, lalu mengajak Pak Madi mengangkuti barang-barang menuju keatas batu karang besar yang terletak dipinggir laut, sebelah timur gua. Hanya Slamet yang diam-diam tadi menaruh perhatian pada orang-muda itu, dari diam-diam dalam hati pelamun ini timbul pertanyaan mengapa orang semuda itu sudah tekun berprihatin ditempat sunyi ini. Persoalan apa gerangan yang menekan orang semuda itu? Kasihan sekali.

   Akan tetapi kesenangan memancing membuat ia segera lupa akan diri si pertapa itu. Apalagi ketika ternyata bahwa ikan-ikan di bawah ombak hari itu amat ganas dan lapar. Sebentar saja Rebo sudah menaikkan dua ekor ikan hiu dan sebuah ikan merah. Bejo beberapa kali kehilangan pancing karena disamber ikan besar yang demikian kuat sampai senar-senar pancing yang takkan dapat diputuskan oleh tangan orang kuat itu sekali tarik pada batu karang putus oleh ikan-ikan itu. Sehari-semalam mereka bertiga memancing terus, hanya berhenti untuk makan.

   Mereka telah membawa beras dari rumah, dan disitu beras tadi diliwet oleh Pak Madi yang mengerjakannya didalam Guwolangse. Ikan-ikan kecil yang kena pancing digoreng untuk teman nasi. Yang besar di asap untuk dibawa pulang. Memang enak sekali makan diatas batu karang. Di pinggir laut, walaupun hanya nasi dengan ikan hasil pancingan yang menggorengnya serba tidak sempurna, asal matang saja! Menjelang subuh baru mereka melepaskan lelah, tidak kuat oleh dinginnya hawa-udara. Tidurnya pun menggeletak begitu saja diatas batu karang berselimut kabut laut, berdinding batu-batu karang, beratap langit penuh bintang, dibuai dendang laut yang tak kunjung henti. Hebatlah!

   Pada keesokan harinya begitu matahari muncul dari timur, baru saja mengintai dari laut, tiga orang pengail sudah berjongkok lagi diatas batu karang, memegangi walesan penuh ketekunan, diam tak bergerak seakan-akan sudah menjadi satu dengan batu karang. Pak Madi masih meringkuk berlindung dinding karang, berselimut sarung. Tiba-tiba Rebo menoleh kearah bukit dibelakangnya, bukit dari mana mereka kemarin melalui jalan-monyet turun.

   

Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini