Darah Daging 7
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Sudah. Pap""
Sudahlah"". ampunkan dia"". Joni, cepat kau minta ampun kepada Papamu! Cepat!"
Widayani berseru kepada anaknya. Joni menjadi ketakutan juga. Tak disangkanya, bahwa ayahnya akan sungguh-sungguh menghajarnya. Kepalanya berdenyut nyeri. Dadanya terasa sesak. Tak disangkanya bahwa pukulan-pukulan ayahnya demikian kerasnya. Dan mulailah dia ketakutan kalalu-kalau ayahnya akan benar-benar membunuhnya. Maka diapun berlutut untuk kesekian terpelanting roboh.
"Papa....... ampunkan Joni......"
Widayani berhasil menarik suaminya memasuki kamar tidur.
Dedi melempar tubuhnya ke atas pembaringan, menelungkup, menyembunyikan mukanya pada bantal, membiarkan air mata yang panas membanjir keluar. Seluruh kemarahan, kedukaan dan kekecewaan seperti hendak dibiarkan mengalir keluar bersama air mata itu. Melihat keadaan suaminya itu, Widayani yang tadi terkesan sekali oleh peristiwa itu, berdiri dengan kaki gemetar memandang suaminya. Selama ia menjadi isteri pria ini, belum pernah ia melihat Dedi Suroto marah seperti tadi. Dan iapun maklum bahwa suaminya amat menderita batin. Dan iapun tahu pula bahwa sebab utamanya adalah dirinya sendiri. Akan tetapi, iapun tidak berdaya. Melihat suaminya menelungkup dan dari bantal yang basah itu ia tahu bahwa suaminya menangis, keharuan menyelinap di hati wanita ini. Rasa cintanya terhadap suaminya bangkit. Rasa ibanya tumbuh dan iapun menubruk suaminya.
"Mas Dedi"". Ah, mas Dedi"". kau ampunkanlah Joni, kau ampunkanlah aku, mas"""
Dedi merapatkan matanya, merasa betapa air matanya seperti makin membanjir oleh suara isterinya ini. Bendungan bertahun-tahun itu bobol dan keharuan memenuhi hatinya. Isterinya minta ampun! Permintaannya ampun untuk Joni itu tidak ada artinya. Akan tetapi minta ampun untuk dirinya sendiri. Dan isterinya menyebutnya mas Dedi, sebutan sebelum mereka mempunyai anak. Sebutan yang mesra. Kebekuan hatinya mencair. Dalam saat itu juga dia mengampuni semua kesalahannya.
"Wida""
Wida"".
"
Mereka berpelukan, saling dekap, saling berciuman. Muka mereka basah air mata, saling membasahi hidung dan mulut mereka.
"Wida""
Isteriku"". Wida"""."
"Mas"". mas Dedi.."
"Betapa rinduku kepadamu, Wida"". ah, betapa rinduku kepadamu""!"
Dedi merangkul dan kedua tangannya sibuk hendak menanggalkan baju tidur isterinya. Akan tetapi, tangan isterinya memegang lengannya.
"Mas"". Pap""", belum waktunya sekarang""
Nanti lima hari lagi"""
Seketika lenyaplah gairah dari diri Dedi. Dia mengeluh dan tubuhnya lemas lagi. Dia melepaskan rangkulannya dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, napasnya terengah-engah panas, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut. Rasa keeewa menusuk-nusuk jantungnya. Melihat ini, Widayani cepat menubruk dan merangkulnya, mencium mulut suaminya dengan penuh kelembutan dan kemesraan, napasnya juga panas, dari jelaslah bahwa wanita inipun sudah terbangkitkan gairahnya.
"Pap"". mari, Pap"". mari pakai kondom"".. aku akan melayanimu setiap waktu, Pap""""
"Tidak""..!"
Dedi mendorong tubuh isterinya dengan marah dan diapun bangkit, Ialu turun dari pembaringan, menghampiri bupet dan membuka sebotol air soda dingin, terus diminumnya tanpa gelas. Dia tidak memperdulikan lagi kepada isterinya, walaupun dia mendengar isterinya terisak menangis di atas pembaringannya sendiri.
(Lanjut ke Bagian 09)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 09
Joni selalu menghindarkan pertemuan dengannya, semenjak peristiwa malam itu. Dedi juga tidak perduli. Betapapun juga, agaknya ada manfaatnya juga hajaran terhadap Joni itu. Anak itu sudah beberapa malam ini tidak pernah keluar malam dan Dedi melihat anak itu membaca buku pelajaran di dalam kamarnya. Diam-diam ada juga rasa iba di dalam hatinya. Sesungguhnya, bukan tidak ada rasa sayang dalam hatinya terhadap Joni, anak tunggalnya itu. Hanya hubungannya dengan ibu anak itulah yang selalu menyembunyikan rasa sayang itu.
Kamis siang itu dia pulang siang dan tidak kembali ke kantor. Dia merasa malas dan tadi dia sudah meninggalkan pesan kepada sekretarisnya dan bawahannya bahwa hari ini dia tidak kembali ke kantor pada siang hari. Setelah makan siang bersama isterinya yang juga bersikap pendiam, sedangkan Joni sengaja makan belakangan untuk menghindari pertemuan dengan ayahnya, Dedi duduk di kursi malas, di dalam ruangan baca, di mana terdapat dua almari penuh buku. Agaknya Joni tidak tahu bahwa ayahnya berada di situ, karena tiba-tiba saja anak itu memasuki ruangan baca. Melihat ayahnya di kursi malas, anak itu nampak kaget dan hendak keluar lagi.
"Joni, kau hendak mencari apakah?"
Tegur ayahnya, suaranya halus.
"Tidak apa-apa, Pap""""
"Cari bukukah? Buku apa? Coba kubantu carikan,"
Kata Dedi, merasa kasihan.
"Tadinya hendak mencari kamus Inggeris, Pap."
"Ini dia, pakailah kalau kau memerlukan."
Dia mengambilkan kamus Oxford yang tebal itu dan menyerahkannya kepada puteranya.
"Memang kalau sudah ada pengetahuan dasar Bahasa Inggris, sebaiknya menggunakan kamus yang penjelasannya juga Bahasa Inggeris, baik untuk latihan dari pada kamus Inggeris - Indonesia, Jon."
"Terima kasih, Pap."
Joni keluar dari ruangan itu. Terima kasih? Belum pernah Joni berterima kepadanya, setidaknya belum pernah dinyatakan melalui kata-kata dari mulutnya. Suatu perobahan baikkah itu? Mudah-mudahan. Terdengar bunyi bel tilpun berdering, dan terdengar langkah Joni lari ke tempat tilpun di ruangan duduk. Dedi yang tadinya hendak turun dari kursi malas, tidak jadi turun dan berteriak,
"Tilpun untuk siapa, Jon?"
"Untuk Joni, Pap!"
Jawab anak itu dengan cepat. Jawaban yang cepat ini juga mengherankan hati Dedi. Biasanya, Joni selalu bersikap tak acuh kalau ditanya olehnya, dan menjawabnya malas-malasan. Benarkah ada perobahan pada diri anak itu? Dia harus memperhatikan dan menyelidiki. Turunlah dia dari kursi malas dan dengan hati-hati dia melangkah keluar dari ruangan baca, berhenti di balik pintu ruangan duduk dari mana dia dapat mendengar suara Joni bertilpun. Suara itu lirih, sengaja dilirihkan oleh Joni yang bicara seperti berbisik, akan tetapi masih dapat terdengar olehnya.
"Semua gara-gara si babu itu!"
Demikian terdengar suara Joni, lirih akan tetapi penuh dengan nada gemas.
"Memang cocok, babu itu harus diberi hajaran! Apa""? Sore ini? Tapi ini kan hari Kamis"". apa? Di mana? Bawa mobil........? Oke! kau yakin benar? Jangan gagal, bisa celaka lu kalau gagal! 0ke deh, akupun dendam padanya!"
Joni meletakkan tilpunnya dan Dedi sudah memasuki kamar tidur. Kunci mobil di atas toilet isterinya itu diambilnya dan dimasukkan saku piyamanya. Dedi rebah di pembaringan, akan tetapi dia tidak dapat memejamkan matanya. Juga buku yang dibacanya itu tidak dapat memasuki benaknya. Pikirannya penuh dengan gema suara Joni bertilpun tadi. Babu siapakah yang membuat Joni dan kawan-kawannya dendam dan marah itu? Dan nanti sore, dengan mobil.
Mau apa mereka itu? Hendak ke manakah Joni dan kawan-kawannya? Benarkah Joni sudah mulai menyesal dan bertobat setelah dihajarnya? Ataukah hanya pura-pura saja? Dia harus tahu benar. Dan tiba-tiba buku yang dipegangnya itu terlepas dan terjatuh ke atas dadanya. Babu? Dendam? Jangan-jangan pelayan Night Club itu yang dimaksudkan! Kalau orang sedang marah dan benci, bisa saja pelayan itu dinamakan babu. Mungkin sekali! Bukankah dihajarnya karena ulahnya di Night Club itu dan bukankah keributan di Night Club itu disebabkan oleh si pelayan yang mereka ganggu? Sore itu, kurang lebih jam lima, yang ditunggu-tunggupun tibalah. Sehabis mandi dan duduk di depan selagi isterinya mempersiapkan makan sore. Joni datang kepadanya. Agaknya anak itu telah mencari-cari kunci yang biasanya berada di meja toilet ibunya.
"Papa""".., Joni mau pakai mobil. Bolehkah?"
Pertanyaan ini terdengar aneh. Selama ini, kalau hendak memakai mobil atau motor, belum pernah anak ini tanya kepadanya. Paling-paling kalau kebetulan kunci dibawanya, anak itu datang untuk minta kuncinya.
"Hemm, sebetulnya Papa mau pakai sendiri.. Tapi, mau ke manakah, Joni?"
"Mau"". eh..menjemput teman-teman untuk bersama-sama belajar, besok mau ada ulangan di kelas."
"Hemm, kalau begitu, pakailah. Papa bisa naik motor. Nih!"
Dedi menyerahkan kunci dan dompet surat-surat mobil kepada puteranya. Akan tetapi, ketika Joni menghidupkan mobil di garasi, Dedi cepat menemui isterinya dan berkata sambil lalu,
"Mam, malam ini aku makan restoran, mau main billiard, sudah janji dengan teman-teman."
"Baik, Pap,"
Kata isterinya dan dia tahu bahwa ada nada kesal terkandung dalam suara itu, akan tetapi dia tidak ambil perduli. Mobil yang dikemudikan Joni meluncur keluar pekarangan dan tak lama kemudian sepeda motor Yamaha itupun meluncur dan membayanginya. Membayangi sebuah mobil dengan menggunakan sepeda motor di Jakarta tidaklah sukar karena betapapun cepat lajunya mobil, selalu banyak halangan yang membuatnya kadang-kadang terpaksa berhenti atau memperlambat larinya. Tidak demikian dengan sepeda motor yang kecil, yang dapat menyelinap di mobil-mobil yang berderet-deret itu. Maka tidak sukar pula bagi Dedi untuk membayangi mobil Joni. Mobil itu melalui Jalan Thamrin yang lebar dan ramai itu, terus ke daerah kebayoran.
Ternyata Joni hanya menjemput dua orang teman Saja dan jantung di dalam dada Dedi berdebar kencang. Dia mengenal dua orang itu sebagai dua orang pemuda yang membikin ribut di Night Club itu! Mobil meluncur lagi lambat-lambat, kini disetir oleh seorang di antara dua teman Joni. Hemm, begitu mudah saja menyerahkan setir mobil kepada temannya, pikir Dedi dengan hati mengkal. Ke manakah mereka hendak pergi? Jantungnya berdebar tegang. Ke Night Club itu? Mobil meluncur kembali ke Jalan Thamrin. Akan tetapi, gadis itu sudah tidak lagi bekerja di sana! Sudah beberapa kali dia sendiri datang ke Paradise Night-club, akan tetapi gadis itu tidak nampak di sana. Suzy, Wanda dan para hostess lain tidak ada yang tahu dimana tempat tinggal gadis itu. Mereka hanya tahu bahwa semenjak terjadi keributan itu, gadis itu tidak lagi bekerja di situ.
Dan kini, apakah tiga orang pemuda itu hendak membawanya kepada gadis itu? Diam-diam timbul harapan ini di hatinya. Tidak, mobil tidak meluncur ke arah letak Night Club itu, melainkan membelok menuju ke Tanah Abang, lalu memasuki Jalan Kyai Haji Mas Mansyur dan berhenti di depan sebuah gang kecil. Mereka bertiga turun dari mobil. Joni mengunci pintu-pintu mobil dan mereka bertigapun memasuki gang itu seperti lagaknya jagoan-jagoan. Dedi cepat menghentikan Yamahanya kurang lebih duaratus meter dari tempat itu, menitipkannya kepada seorang pedagang rokok yang kebetulan berada di situ, menguncinya dan cepat berjalan menuju ke gang di mana mobilnya berhenti. Ketika dia mengintai dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang karena senja telah tiba, dia inelihat tiga orang pernuda itu berdiri di tepi gang dan tak jauh dari situ terdapat sebuah rumah agak besar.
Dari Papan di depan rumah itu tahulah Dedi bahwa rumah itu adalah tempat diadakan kursus mengetik dan tata buku. Masih jelas nampak huruf-huruf besar "RAJIN"
Di tengah Papan, nama dari kursus itu. Tiga orang pemuda itu agaknya menunggu sesuatu atau seseorang dan beberapa kali mereka memandang kepada jam tangan di lengan kiri mereka. Dedi juga memandang jam tangannya. Jam enam lebih se puluh. Siapa mereka tunggu? Tiba-tiba mereka bertiga itu bergerak, kembali ke mulut gang. Dedi sudah mendahului mereka mundur dan bersembunyi di belakang tong sampah besar di dekat mulut gang. Dia juga melihat adanya beberapa orang keluar dari rumah kursus itu. Dan dari tempat sembunyinya, dia melihat Joni sudah membuka pintu, membiarkan pintu belakang terbuka dan dia sendiri sudah duduk menghadapi setir dan sudah menghidupkan mesin mobil, agaknya siap untuk start.
Dan dua orang pemuda itu berdiri di kanan kiri mulut gang. Tiga orang gadis berjalan keluar dari gang. Jantung Dedi berdebar tegang. Tentu saja dia mengenal seorang di antara mereka. Mimi, gadis Night Club itu! Mengertilah dia kini dan hampir saja dia mengutuk. Tiga orang pemuda itu, termasuk Joni, sedang menanti gadis itu dan agaknya hendak menyerangnya atau, melihat persiapan Joni, agaknya hendak menculik gadis itu! Bedebah! Tiga orang gadis itu berjalan sambil bercakap-cakap, sama sekali tidak menyangka buruk melihat ada mobil sedan yang bagus berhenti di mulut itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di mulut gang, tiba-tiba dua orang pemuda yang tinggi kurus itu menerkam gadis pelayan itu dan sudah memegangi kedua lengannya dari kanan kiri. Dua orang temannya menjerit.
"Kalian jangah ikut-ikut, diam! Cewek ini mempunyai perhitungan dengan kamil"
Dan mereka menyeret gadis itu ke mobil ke arah pintu mobil yang terbuka. Gadis itu meronta dan hendak menjerit akan tetapi seorang di antara dua pemuda itu mengacungka pisau belatinya.
"Diam atau kubunuh kau !"
Pada saat itu, Dedi meloncat keluar dari tempat sembunyinya. Langsung dia menerjang ke arah dua orang pemuda yang memegangi lengan gadis itu, membentak marah,
"Jahanam kalian! Lepaskan gadis itu!"
Mellihat munculnya seorang laki-laki setengah tua, dua orang pemuda itu marah.
"Tua bangka, berani mencampuri urusan kami?"
Bentak seorang di antara mereka dan dia sudah menyerang dengan kepalan tangannya ke arah muka Dedi. Dedi adalah seorang yang sigap dan pernah belajar pencak ketika mudanya. Bahkan ketika dia masih menjadi murid SMP di Solo, dia pernah menjadi juara dalam perkumpulan pencak beraliran S.H. Biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun masih fit berkat hobbynya berolah raga bulu-tangkis dan senam yoga, dan dia belum kehilangan kesigapannya. Dengan mudah saja dia mengelak dari pukulan pernuda itu dan dari samping, tendangan tumit kaki kanannya masuk ke lambung lawan.
"Ngekk!"
Pemuda itu yang pukulannya luput dan tubuhnya sudah terdorong ke depan, ketika menerima terulangan ini, tentu saja menjadi terjungkal dan nyaris masuk ke dalam got di mulut gang. Pemuda ke dua yang tadi memegangi pisau belati mengancam gadis itu, melepaskan korbannya dan dengan marah dia menyerang Dedi dengan pisaunya. Caranya menyerang dari atas, dengan mata pisau menghadap ke bawah dan gagang digenggam erat-erat. Cara penyerangan pisau yang sama sekali tidak menguntungkan dan tidak menurut ilmu berkelahi yang baik. Dedi melihat eerangan ini, dengan satu langkah ke belakang, pisau itu meluncur dari atas di depannya. Dengan tangan miring diapun memukul dari samping ke arah tangan yang memegang pisau.
"Plakk! Aduhhhh""..!"
Karena letak pisau itu sedemikian rupa, maka begitu terkena pukulan, pisau yang matanya mengarah ke bawah atau ke dalam itu mengenai lengan sendiri sehingga berdarah. Akan tetapi pada saat itu ada rantai sepeda motor menyarnbar dari belakang kepala Dedi. Dia mendengar gadis itu menjerit dan dengan gerak refleks yang masih peka, Dedi melompat untuk mengelak.
"Takk...!"
Biarpun rantai itu tidak mengenai tengkuknya seperti yang dimaksudkan oleh lawannya, namun tetap saja lengan dan pundaknya terkena hantaman rantai. Nyeri dan pedih rasanya, bajunya robek dan merah oleh darah karena ujung rantai itu dipasangi besi runcing! Pemuda itu menyerang rantainya diputar dan diayun menyambar ke arah kepala Dedi. Akan tetapi sekali ini Dedi sudah siap. Dia mengelak ke kiri dan ketika rantai itu menyambar lewat, dia menggerakkan tangannya menangkap tengan kanan lawan, disusul tangan kiri menangkap tengah-tengah rantai. Pemuda itu menarik rantainya, akan tetapi Dedi sudah menggerakkan tangan kanannya untuk rnemukul dengan jari terbuka, tepat mengenai leher lawan, di bawah telinga.
"Desss...!"
Pemuda itu mengaduh, dan rantai itu sudah dirampas oleh Dedi. Marahlah Dedi. Serangan pemuda pertama dengan pisau dari samping, disambutnya dengan rantai itu. Rantai disabetkan dengan keras, ujungnya mengenai dagu pemuda itu.
"Dukkk!"
Pemuda itu terpekik dan sebuah yang mengenai perutnya membuat dia terlempar ke dalam solokan! Pemuda ke dua sudah bangkit lagi dan berteriak,
"Joni, bantu""!"
"Dia""
Dia Papa gue""!"
Joni berkata sambil memandang dengan muka pucat, mata terbelalak dan kaki gemetar. Dia sudah keluar dari mobil untuk membantu kawan-kawannya tadi, akan tetapi begitu mengenal ayahnya, dia sudah menggigil ketakutan. Dedi tidak memberi hati lagi. Rantai di tangannya menyambar.
"Takkk! Dukkk!"
Pemuda itu menjerit-jerit ketika punggungnya terkena, juga kepalanya. Dedi juga menendangnya dan pemuda itu terjengkang dalam solokan pula. Dengan sinar mata seperti mengandung api, dengan dada bergelombang dan napas memburu, Dedi menghampiri anaknya dengan rantai di tangan. Joni mundur-mundur ketakutan, akhirnya menjatuhkan diri berlutut.
"Pap"..ampun, Papa""!"
Suara itu menyadarkan Dedi. Dia melemparkan rantai itu dan menengok ke arah selokan. Dua orang pemuda itu merangkak-rangkak keluar, lalu melarikan diri dengan tubuh kotor terkena air solokan. Dedi kembali memandang kepada puteranya, dan menoleh kepada gadis itu. Dua orang teman gadis itu telah melarikan diri entah ke mana dan gadis itu berdiri di pucat ketakutan dan menangis.
"Nih. kau pulang bawa Yamaha!"
Bentak Dedi melemparkan kunci Yamaha yang tergantung di tepi dompet surat Yamaha.
"Kesinikan dompet Holden!"
"Di..... di mobil, Pap""
Juga kuncinya....."
Kata Joni yang segera mengambil dompet itu di dekat kakinya dan lari ke arah motor Yamaha yang dituding oleh telunjuk ayahnya. Setelah melihat putranya itu naik Yamaha dan pergi dari situ, barulah Dedi menghampiri gadis itu.
"Mimi""".!"
Katanya. Gadis itu terkejut dan memandang terbelalak kepada laki-laki yang telah menyelamatkannya itu. Dan ia mengenalnya.
"Ah. kiranya tuan".. bapak direktur Suroto""! Terimakasih... terima kasih atas pertolongan bapak"""
Sementara itu, banyak orang berdatangan di ternpat yang biasanya agak sunnyi itu. Melihat ini, lalu berkata.
"Masuklah ke mobil, kuantar engkau pulang, nona."
Gadis itu masih terisak, hanya mengangguk sambil menghapus air mata dengan saputangan, lalu masuk ke dalam mobil, di belakang, karena pintu belakang mobil itu masih terbuka sejak tadi. Dedi menghidupkan mesin mobil yang tadi mati sendiri, lalu mobil itupun meluncur meninggalkan mulut gang yang dipenuhi orang itu.
"Ke mana?"
Tanya Dedi.
"Tidak jauh, di depan sana, Pak. Di Karet Kubur"".."
Jawabnya, menunjuk ke depan. Atas petunjuk gadis itu, mobil berhenti di dekat gang kecil lain, hanya dalam jarak satu kilometer saja dari gang tempat kursus Rajin tadi. Gadis itu membuka pintu mobil dan keluar. Dedipun cepat keluar. Gadis itu menghampirinya, membawa map terisi buku pelajarannya, dan membungkuk.
"Sekali lagi terima kasih, pak, atas pertolongan bapak. Saya..... ahh..... lengan dan pundak bapak berdarah!"
Adis itu baru sekarang melihat hal ini. Tadi, ketegangan membuat dia kurang memperhatikan keadaan Dedi. Dedipun memandang pundak dan lengannya yang sebelah kiri. Bajunya robek-robek dan nampak darah di bagian pundak dan lengan.
"Ah, hanya luka kecil saja, nona. Mari kuantar engkau sampai di rumahmu."
"Jangan"", jangan, Pak. Rumah saya""
Ah. tapi lenganmu itu harus segera diberi obat. Tapi"". tapi jangan di rumah saya, Pak."
"Kenapa? khawatir akan mendapat marah orang tuamu. Aku akan menjelaskan segala yang telah terjadi sehingga engkau pulang kuantar."
"Bukan begitu pak""""."
Terpikir sesuatu oleh Dedi dan dia terkejut sendiri oleh pikiran ini.
"Ataukah.... eh, suamimu"..?"
Gadis itu menggeleng kepala keras-keras.
"Tidak ada orang-tua, tidak ada suami, saya tinggal seorang diri"". Mondok di rumah orang, Pak."
"Ahhh!"
Dedi merasa betapa dadanya meajadi lapang.
"Kalau begitu, apa salahnya kalau kuantar engkau pulang? Apakah aku tidak boleh singgah di tempat tinggalmu Mimi? Boleh kan aku menyebut namamu?"
"Boleh saja. Bapak telah menyelamatkan saya. Saya akan merasa bangga sekali menerima bapak"".. tapi, saya malu, Pak. Rumah saya""
Yang saya pondoki hanya gubuk"""
"Ah, engkau ini ada-ada saja, Mimi. Kalau seseorang datang berkunjung kepada seorang lain, yang dikunjungi itu orangnya ataukah rumahnya? Marilahl"
Dedi menutup pintu mobil, menguncinya.
"Mari, Pak. Dan di rumah ada obat merah. Luka-luka bapak itu harus cepat di bersihkan dan diberi obat, agar tidak sampai infeksi!"
Mereka lalu berjalan bersama memasuki gang, lalu membelok memasuki gang yang lebih kecil lagi, berlika-liku jalannya, melalui rumah-rumah kecil yang berhimpitan seperti pada umumnya rumah-runag di perkampungan Jakarta. Akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang sangat kecil dan sederhana. Sebuah rumah berdinding Papan lapuk, berhimpitan dengan rumah-rumah lain yang semacam. Diam-diam Dedi terkejut. Tak disangkanya akan melihat sebuah rumah yang begini kecil dan tua, macam kandang ayam saja. Dan gadis ini, gadis yang secara aneh telah menggerakkan hatinya menarik perhatiannya, tinggal di tempat semiskin ini. Keharuan menyelinap di dalam hatinya.
"Ini""
Tempat tinggalmu?"
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, beginilah, Pak. Sungguh memalukan dan saya tidak berani mengundang bapak untuk duduk, kami""
Kami tidak mempunyai tempat duduk yang layak."
"Ah, mengapa engkau begini sungkan, Mimi?"
Pada saat itu, seorang wanita tua berusia enam puluh tahun keluar dari rumah itu dan tersenyum ramah kepada Mimi.
"Baru pulang. Mimi? Dan"". siapakah tuan ini""
Eh, kenapa tangannya""?"
Nenek itu terbelalak memandang kepada lengan baju yang robek dan berdarah.
"Anu, bu".. eh, kecelakaan sedikit"
"Bi, dia ini adalah Bapak Suroto, seorang kenalan saya. Pak, ini adalah bibi Siti, pemilik rumah ini. Mari, pak, marl saya beri obat lengan bapak yang terluka itu""."
"Permisi, bu,"
Kata Dedi kepada nenek itu.
"Mari silahkan masuk, ah, tempatnya jelek""
Kursinya juga sudah tua macam saya""."
Wanita itu terkekeh.
"Mi, di belakang masih ada air teh. Bibi mau ke tetangga sebentar."
Dan nenek itupun pergilah.
"Silahkan, pak,"
Kata Mimi. Mereka memasuki ruangan di rumah itu. Satu-satunya ruangan yang terdapat di rumah kecil itu, di samping sebuah bilik yang pintunya tertutup. Di sudut terdapat sebuah, dipan bambu yang ditilami tikar dan terdapat sebuah bantal terbungkus selimut di atasnya.
"Silahkan duduk, Pak. Saya akan mengambil air dan obat merah."
Gadis itu dengan cekatan lalu ber-jalan ke belakang setelah meletakkan mapnya di atas dipanan itu. Langkahnya cepat dan gerakannya sigap. Dedi yang ditinggal sendiri di ruangan itu, mengamati ruangan dengan hati terharu. Sungguh miskin sekali keadaan ruangan ini. Sebuah lampu minyak tergantung di atas kepalanya. Lantainya dari batu bata yang dijajar jajar. Papan yang dijadikan dinding itu sudah lapuk dan lubang-lubang atau celah-celah di antara Papan-papan itu ditutup dengan gambar-gambar poster yang sebagian sudah robek-robek. Genteng tanpa langit-langit. Kalau hujan tentu air akan berpercikan ke dalam. Nampak usuk dan reng penyangga genteng itu terbuat dari bambu. Benar-benar sebuah gubuk. Heran dia mengapa di Jakarta masih ada rumah dengan konstruksi seperti ini.
Baru sekarang dia melihatnya! Di dekat dipan itu terdapat sebuah almari kayu kecil. Seutas tali melintang di atas dipan dan beberapa potong pakaian tergantung di atasnya, berjajar-jajar. Ada gaun, ada pula pakaian-pakaian dalam, onderrok, beha, celana dalam. Pakaian-pakaian ini tidak serasi dan nampak menyolok di dalam ruangan seperti itu! karena pakaian-pakaian itu bersih dan termasuk baik, tanda bahwa gadis itu adalah seorang yang pembersih, rapi dan tidak jorok. Mimi datang dari belakang rumah di mana terdapat dapur di emper belakang. Melihat betapa tamunya masih duduk dan memandang ke arah pakaian-pakaiannya yang tergantung, wajahnya menjadi merah dan setelah menaruh sebuah baskom terisi air putih, dengan tersipu-sipu ia lalu lari dan mengambil pakaian-pakaian itu dari atas tali, menumpuknya di atas dipan.
"Maaf, Pak. Tempat ini tidak karuan"""
Gadis itu lalu kembali menghampiri Dedi..
"Ini air putih yang sudah matang, Pak. Bukalah baju bapak, biar saya bersihkan luka-luka itu dan saya beri obat merah."
Dedi bangkit berdiri, membuka kemejanya yang berlengan panjang itu. Mudah saja membuka lengan kanan, akan tetapi ketika dia hendak menarik tangan kirinya, dia menyeringai kesakitan.
"Aduhhh".."
Ternyata luka-luka di lengan dan pundak itu terasa nyeri kini setelah bajunya ehndak di buka.
"Sakit, pak? Mari saya Bantu""."
Gadis itu lalu mendekat dan dengan hati-hati namun dengan jari-jari tangan yang cekatan ia membantu Dedi membuka kemeja itu. Karena dibantu oleh gadis yang berdiri begitu dekat dengannya, Dedi menahan rasa nyeri di pundak dan lengannya dan akhirnya kemeja itu dapat dibukanya. Mimi menaruh kemeja yang terkena darah itu di atas kursi.
"Silahkan duduk, pak, biarkan saya membersihkan luka-luka itu."
Luka-luka itu tidak terlalu dalam, akan tetapi cukup lebar dan memanjang. Pukulan rantai itu me-ngelupas kulit lengan dan punda, merupakan luka panjang dan karenanya, darah keluar dari banyak tempat dan membasahi kemeja tadi. Dengan hati-hati Minn membersihkan luka-luka itu dengan kapas yang dicelup atau dibasahinya dengan air matang. Jari-jari tangan kirinya memegang pergelangan tangan, dan jari-jari tangan kanannya yang menyeka dan membersihkan darah di pinggir luka-luka itu. Dedi mendesis menahan rasa perih.
"Sakitkah, pak? Ah, anak-anak itu sungguh nekat"..
"
"Anak-anak"..?'.
"Ya. mereka itu masih kanak-kanak, Pak. Takkan lebih dari dua puluh tahun usianya saya kira."
"Hemm, dan kau sendiri? Berapakah usiamu, Mimi?"
"Awas, Pak. saya menaruhkan obat merah, agak perih barangkali. Mimi lalu menggunakan kapas yang digulung pada sebatang lidi dan dicelup dalam botol obat merah itu untuk dioleskan ke arah kulit yang terkupas.
"Aughh"..
"
Dedi menahan keluhannya.
"Perih sekali. pak?"
"Tidak berapa""
Lanjutkan"", eh, berapa kau bilang tadi usiamu?"
"Saya belum mengatakannya, Pak. Usia saya"". kurang lebih dua puluh lima begitulah. Ya, dua puluh lima."
"Memang anak-anak itu kurang ajar, biadab dan tidak ingat bahwa engkau tentu akan terbawa-bawa sebagai saksi, ingin aku menyeret.mereka ke kantor polisi!"
Dedi memakai kembali kemejanya setelah semua luktanya diolesi obat Mercurochrome. Mimi tidak berkata apa-apa, hanya membawa kembali obat dan baskom air itu ke belakang. Ia datang lagi membawa lap dan membersihkan meja yang basah. Kemudian iapun duduk kembali menghadapi Dedi.
"Mereka itu adalah anak-anak yang pernah mengganggu saya malam ituu di night dub, Pak. Karena peristiwa itu, saya dikeluakkan dari Night Club, dan agaknya mereka itu mendendam kepadaku dan entah apa akan terjadi dengan diri saya kalau saja bapak tidak menolong..."
Dedi mengepal tinjunya dan bangkit berdiri,
"Setan! Sungguh aku malu padamu, Mimi. Tentu engkau dapat menduga. Seorang di antara mereka itu"".. dia adalah anakku! Dia adalah putera tunggalku!"
"Ahhh""!"
Wajah gadis itu berobah dan diapun menutuipi mulut dengan tangan kiri seolah-olah hendak menahan jeritnya.
"Jadi anak yang terkecil itu""yang minta ampun kepada bapak"". dia itu putera bapak?"
Dedi menarik napas panjang. Duduk lagi dan mengangguk lain menunduk.
"Anakku satu-satunya". dan ketika dia pulang malam itu, setelah dia dan kawan-kawannya mengganggumu, aku pukuli dia""
Tapi malam ini dia malah berani bersama kawan-kawannya hendak menculikmu".. sungguh anak jahanam dia"...!"
"Sstt, pak, tidak baik menyumpahi anak sendiri. Dia itu masih kanak-kanak, saya kira baru belasan tahun umurnya""."
"Dia berusia enambelas tahun."
"Nah, dia itu hanya terbawa-bawa oleh teman-temannya saja, Pak. Dan saya yakin, teman-temannya itupun akibat dari kurang bimbingan, mungkin haus akan kasih sayang"""
"Haus kasih sayang"".?"
"Orang yang haus akan kasih sayang mudah terperosok, Pak."
Dedi menarik napas panjang.
"Anakku satu-satunya""". dan dia mengganggu wanita di depan mataku"..!"
Dedi menutupi mukanya dengan kedua tangan.
"Mimi, kau maafkanlah dia""
Aku yang mintakan maaf padamu "
"Sudahlah, Pak. Saya tidak mendendam, pula, bukankah bapak yang telah menyelamatkan saya?"
"Dia melakukan ini sebagai balas dendam kepadamu karena""
Karena aku menghajarnya! Sungguh, belum pernah selamanya dia kupukul, baru malam itu, dan benar-benar aku marah, dia kupukuli seperti aku memukuli seorang musuh!"
Dedi masih bicara dari balik kedua tangannya, dan hatinya dipenuhi penyesalan dan kedukaan. Dia tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata penuh belas kasihan. Dia hanya mendengar betapa gadis itu bangkit dan meninggalkannya. Ketika dia menurunkan kedua tangannya kembali, Mimi sudah datang membawa segelas air teh..
"Pak, minumlah. Adanya hanya teh dingin. Minumlah untuk menenangkan hati."
Dedi menerima gelas air teh itu dan meminumnya sampai habis. Melihat ini, Mimi tersenyum.
"Saya isi lagi, ya pak?"
"Tak usah. Cukuplah. Ah, aku lupa diri karena duka. Maafkan."
Dia memandang ke kanan kiri.
"Sudah lama engkau tinggal di sini, Mimi?"
"Baru tiga bulan, Pak."
Dan melihat betapa pandang mata tamunya tertuju kepada dipan di mana terdapat tumpukan pakaiannya tadi, dan mapnya, is tersenyum pahit.
"Itulah tempat tidur saya, Pak. Rumah gubuk ini hanya mempunyai sebuah kamar, kamar bibi Siti. Saya tidur di dipan itu, makan di sini, diduk di sini. Yah, beginilah tempat tinggal saya."
Hati pria itu merasa terharu sekali sehingga beberapa lamanya dia tidak mampu bicara. Kemudi-an napas panjang.
"Tapi, Mimi, kulihat engkau cukup terpelajar! Kenapa engkau sampai berada di tempat ini? Engkau sudah tiga bulan di sini? Mendengar bicaramu, engkau tentu datang dari Jawa Tengah, bukan?"
Mimi menggeleng kepala dan tersenyum. Senyumnya itulah yang membuat Dedi menjadi semakin trenguh hatinya. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini, bukan tertarik karena berahi, melainkan karena sesuatu yang dia sendiri tidak mengerti. Wajah gadis amat simpatik baginya, menyenangkan, dan juga menimbulkan rasa iba. Di dalam senyum itu terkandung kepahitan yang amat mengharukan.
"Masa lampau saya terlalu pahit, Pak. Saya tidak ingin membicarakan masa lampau saya. Maafkan saya, pak,"
Katanya lirih dan kepalanya menunduk. Rambut di kepala itu terbelah dua, nampak garis putih kuning lurus. Kepala yang bersih, rambut yang terawat baik.
"Kau bilang tadi bahwa engkau dikeluarkan dari Night Club itu?"
Dedi berhenti sebentar, lalu membuat pengakuan.
"Pantas aku tidak dapat menemukanmu, sudah berapa kali kucari engkau di sana."
Mimi mengangkat muka. Matanya begitu tajam dan indah, pikir Dedi ketika mereka bertemu pandang.
"Bapak mencari saya? Mengapa bapak mencari saya?"
"Karena""
Karena aku tertarik kepadamu, Mimi. Aku kasihan padamu."
Kembali gadis itu tersenyum dan menunduk. Sekali ini, senyumnya seperti mengandung ejekan, yang kentata pada tarikan di ujung bibirnya.
"Engkau dikeluarkan karena gangguan mereka itu? Sungguh tidak adil! Biar kuprotes direktur night. Club itu!"
Dedi merasa penasaran.
"Engkau diganggu oleh mereka, dan mereka itu yang menimbulkan kekacauan, akan tetapi mengapa engkau yang tidak berdosa malah dikeluarkan?"
"Sudahlah, pak, biarkan saja. Mereka itu menganggap saya menjadi penyebab keributan, dan mereka menyalahkan saya mengapa saya berani menampar seorang tamu."
"Tapi kalau orang itu kurang ajar!"
Mimi tersenyum.
"Tamu adalah seorang terhormat yang mengeluarkan uang di Night Club, sedang, kan saya ini apa? Hanya pelayan".."
"Mimi, seorang gadis seperti engkau ini, kenapa bekerja sebagai pelayan di Night Club?"
"Maksud bapak, mengapa tidak menjadi hostess?"
"Bukan, sama sekali bukan. Menjadi hostess lebih rendah dan berbahaya lagi. Mengapa tidak bekerja di tempat lain yang lebih terhormat?"
"Bekerja apa, pak? Saya hanya lulusan SMP, aku tidak laku di kantor. Karena itulah, terpaksa saya bekerja sebagai pelayan di Night Club itu sambil belajar mengetik dan administrasi, untuk modal bekerja di kantor. Akan tetapi, baru setengah bulan, ada saja halangan terjadi sehingga saya dikeluarkan. Memang nasib saya sedang buruk, Pak."
"Mimi, berapa lama engkau berada di Jakarta ini?"
Mimi mengerutkan alisnya, agaknya memang ia tidak suka mengenang masa lampaunya, akan tetapi mendengar kesungguhan pertanyaan itu, iapun menjawab lesu,
"Kurang lebih empat tahun, Pak."
"Dan selama itu"""
Dedi melihat pandang mata gadis itu dan cepat menyambung.
"Maaf, bukan maksudku mendesak agar engkau menceritakan masa lampaumu yang tidak kau sukai. Tapi, aku ingin sekali mengenal keadaanmu. Eh, dapatkah kau ceritakan padaku, di mana adanya orang tuamu?"
Mimi menggeleng dan wajah yang menjadi muram.
"Engkau hendak merahasiakan keadaan mereka?"
"Tidak, Pak. Hanya apa yang dapat saya ceritakan? Mereka sudah tidak ada. Saya hidup sebatang kara didunia ini, tiada ayah-bunda, tiada keluarga, tiada kawan""."
Dan tiba-tiba gadis itu menunduk, hendak menyembunyikan matanya yang tiba tiba saja berlinang air mata.
"Mimi, maukah engkau menerima pertolonganku?"
Muka itu diangkat kembali dan walaupun kedua mata itu masih basah, namun sepasang mata itu memandang tajam penuh selidik sehingga Dedi merasa tidak enak dan cepat-cepat berkata,
"Jangan salah sangka, Mimi. Aku bermaksud menolongmu hanya terdorong oleh rasa kasihan kepadamu. Jangan engkau menduga yang tidak-tidak."
Akan tetapi agaknya keraguan masih membayang pada pandang mata gadis itu ketika ia bertanya, suaranya tidak ramah,
"Pertolongan yang bagaimana yang bapak maksudkan?"
"Engkau sekarang tidak bekerja, bukan? Nah, bekerjalah di kantorku, Mimi. Sebagai seorang direktur mudah saja bagiku untuk membagi pekerjaan padamu. Mulai besok, kau boleh bekerja di kantorku. Nah, inilah alamat kantorku. Besok jam delapan kau boleh masuk dan langsung saja menghadap ke kantorku"
Mimi menerima kartu alamat kantor itu dan sejenak terbelalak, memandang kartu nama itu. Di situ tertulis nama Drs. D. Suroto, direktur dari sebuah perusahaan import-export berikut alamat kantornya. Jantungnya berdebar penuh kegirangan juga ketegangan dan tetap saja ada kecurigan menyelinap di hatii. Sudah terlalu sering ia berhapan dengan pria yang menipunya, yang mula-mula bersikap manis seperti madu, namun yang kesemuanya hanya bertujuan satu, yaitu mendapatkan dirinya. Dan sikap manis itu menjadi hampa dan pahit kalau mereka telah berhasil mendapatkan dirinya, tubuhnya. Dan ia tidak sudi menjadi korban lagi! Setelah selama ini ia berkeras hati dan bertekad untuk tidak sampai mudah terjeblos dalam perangkap manis yang dipasang oleh setiap orang pria terhadap wanita-wanita muda seperti dirinya.
"Tapi""
Tapi""."
"Kenapa ragu-ragu, Mimi? Engkau lebih pantas bekerja di kantor yang sopan dan terhormat dari pada di Night Club. Engkau tidak ragu-ragu bekerja di Night Club, mengapa sekarang ragu-ragu untuk bekerja di kantorku?"
"Tapi""
Saya tidak bisa apa-apa, Pak. Baru belajar ngetik dan administrasi aku hanya lulusan SMP"
"Jangan khawatir. Aku akan membantumu, dan engkau boleh melanjutkan kursus itu. Bahkan kalau mengambil kursus kilat. Yang penting-penting saja yang harus kau pelajari agar dengan lancar kau dapat melaksanakan tugasmu di kantorku. Pertama-tama akan kuberi yang ringan-ringan dan yang mudah-mudah. Hal itu mudah diatur."
"Tapi".. tapi".. saya tidak mempunyai pakaian yang pantas"", saya hanya akan membikin malu bapak, saya tidak berani"."
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dedi sudah mengeluarkan dompetnya.
"Jangan khawatir, Mimi. Kalau begitu, kau boleh mulai Senin nanti. Senin pagi jam delapan kantor buka. Dan ini, kau belilah beberapa stel gaun untuk pakaian kerja dan sepatu, aku percaya akan pilihanmu yang sesuai. Nah, tahu tahu sudah hampir satu jam aku berada di sini. Aku akan pulang dulu, Mimi, sampai jumpa Senin pagi, ya?"
"Nanti"..nanti dulu, pak"""
Minim tergagap dan dengan lima lembar uang puluhan ribu itu ia menghampiri laki-laki yang sudah mendekati pintu keluar itu.
"Ini""
Sungguh saya tidak dapat menerima ini, sungguh tidak enak menerima uang begini banyak".. bagaimana saya akan dapat membayar kembali?"
Dedi tersenyum.
"Tak usah kau bayar kembali. Mimi"""
Ketika melihat keraguan di wajah manis itu dia cepat menyambung.
"""
Atau".. boleh dianggap uang muka upahmu bekerja di kantorku juga boleh, kelak dipotong upahmu."
"Tapi"".."
Dedi melangkah maju dan memegang kedua pundak gadis itu, pegangan yang mantap dan sama sekali tidak mengandung gairah atau senTUHAN mesra.
"Dengar, Mimi. Buanglah keraguanmu dan pikiranmu tentang diriku. Aku bukanlah seekor srigala yang bertopeng domba. Aku bukan laki-laki yang suka memancing wanita muda dengan pertolongan dan uang. Nah, tenangkan hatimu."
Dia melepaskan pegangan tadi sambil tersenyum.
"Tapi, Pak. Di antara ribuan orang wanita di Jakarta ini yang membutuhkan bantuan, mengapa bapak justeru memilih saya?"
"Ha-ha, pertanyaan lucu, Mimi. Siapa memilih siapa? Pertemuan antara kita hanya kebetulan saja, kau ingat? Aku tidak pernah keluyuran ke Night Club, dan sekali datang dibawa teman, aku berjumpa denganmu. Kemudian peristiwa tadi, terjadi sama sekali tanpa kita sengaja. Sudahlah. aku pamit dulu dan kau boleh renungkan. kembali. Aku tidak memaksamu. Mimi."
Setelah pria itu pergi, lama setelah dia pergi, Mimi masih duduk termenung menggenggam lima lembar uang kertas se puluh ribuan itu. Air mata berlinang di kedua matanya, kemudian menetes turun perlahan-lahan menimpa kedua pipinya, dan iapun menangis, menutupi mata dengan kedua tangannya, membasahi uang kertas sebanyak lima puluh ribu itu.
Semenjak Mimi bekerja di kantornya, Dedi merasakan perobahan yang luar biasa dalam hidupnya. Seolah-olah cahaya terang yang menyinari kabut kegelapan yang selalu menyelimuti kehidupannya. Kegembiraan timbul kembali. Bahkan dia pemaaf sgleall. Ketika tiba di rumah dan bertemu dengan isterinya, sudah terasa olehnya perubahan itu, yang membuat dia sendiri terheran. Ketika dia meninggalkan rumah Mimi, hal inipun sudah mulai terasa. Dia merasa begitu gembira! Di rumah, isterinya menyambutnya dengan wajah heran dan juga cemas.
"Pap, apa yang terjadi? Kenapa kemejamu kotor clan robek-robek dan ada"". ada darah""?"
Melihat kecemasan hebat membayang di wajah isterinya, ada perasaan girang dan mesra dalam hati. Itu tanda bahwa isterinya mencintanya. Isterinya memang mencintanya, kini teringat okehnya. Dalam setiap percakapan, pandang mata isterinya, sikapnya, menunjukkan bahwa isterinya tidak pernah kehilangan cintanya kepadanya. Hanya soal seks! lnilah yang menjauhkan mereka satu sama lain selama belasan tahun ini.
"Ahh, hanya terluka sedikit, Mam."
"Terluka? Kenapa? Apa kau Celaka? Sudah pergi ke dokter tadi, Pap?"
Wanita itu menandang dengan muka berobah penuh kekhawatiian, lalu diperiksanya lengan yang luka itu melalui robekan kemeja.
"Ah, sudah diberi Mercurchrome"".. tidak apa-apakah, Pap?"
"Tidak, Mam, hanya perih-perih sedikit."
"Syukurlah, tapi kenapakah? Apa yang telah terjadi, Pap? Apa kau tabrakan?"
Dedi duduk di atas kursi dalam ruangan dalam itu. Isterinya cepat mengambilkan minuman yang disukai suaminya yaitu sebotol bir temulawak, membuka tutupnya, menuangkan isinya ke dalam gelas dan menyerahkannya kepada suamiya. Dedi minum temulawak itu dengan enak. Nyaman rasanya.
"Ada apakah, Pap?"
"Ahhh".. Joni lagi, Mam"
"Joni? Ohh, kenapa dia? Dia tadi sudah pulang naik Yamaha dan terus berada di kamarnya sampai kini. Tidak mau makan, katanya tidak lapar."
Dengan tenang Dedi lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi itu kepada isterinya yang duduk di sebelahnya, di atas sofa panjang. Semenjak dia mendengar Joni menilpun temannya, kemudian betapa dia membayangi puteranya itu ke rumah teman-temannya, menjemput mereka dan pergi ke mulut gang itu. Isterinya mendengarkan dengan muka pucat, kemudian menahan tangis dengan mengepal tangan dan menggigit-gigitnya.
"Ah, apa jadinya dengan kita ini, Pap? Bagaimana anak kita menjadi begitu"".? Menculik perempuan? Ya TUHAN"". mengapa begini jadinya?"
Dan wanita inipun menangis. Dedi merangkulnya. Widayani semakin mengguguk dan mendekap suaminya, menangis di dada yang bidang. Dedi merasa lengan dan pundaknya nyeri, akan tetapi ditahannya dan diapun merasa terharu ketika isterinya menangis dalam pelukannya.
"Salah kita, Mam"""
Salah kita""
Joni kurang bimbingan orang tua, dia".. dia haus akan kasih sayang orang tua......"
Aneh, dia telah mengulang kata-kata yang keluar dari mulut Mimi!
"Tapi. tapi dia masih begitu kecil! Mau apa dia menculik wanita"..?''
"Balas dendam, Mam. Joni telah kuhajar dan wanita itu adalah wanita yang diganggunya bersama kawan-kawannya di dalam Night Club."
"Ohhhh, seorang hostess""?"
"Bukan, tapi hostess atau bukan, bukan soal. Joni hanya ikut-ikutan dengan teman-temannya, Mam. Ketika terjadi gangguan di Night Club, yang melakukan juga teman-temannya, dan penculikan itupun akan dilakukan oleh teman-temannya, sedangkan Joni hanya membantu dengan menyetir mobilnya saja. Ah, kalau tidak tentu dia kuhajar pula seperti dua orang bajingan muda itu!"
"Ahhh, ampunkan dia. Pap"" "
"Itu tidak penting, yang penting sekarang bagaimana dapat membuat dia sadar dan kembali ke jalan yang benar."
Hening sampai lama, yang terdeligar hanya isak tertahan dari Widayani yang masih bersandar di bahu suaminya. Kemudian wanita itu menjauhkan diri dan memandang suaminya, pandang matanya layu.
"Pap, apakah"". apakah dia menjadi begitu karena"". kesalahanku?"
Dedi tersenyum clan menggeleng kepala.
"Kesalahanmu, kesalahanku, kesalahan kita berdua."
Dedi bangkit dari kursinya.
"Sudahlah, Mam. Aku mau mandi dan"". Dan eh, malam ini""."
Biarpun matanya masih basah air mata. Widayani mencoba senyum, dan mengangguk. Malam itu adalah apa yang mereka selama ini namakan "malam mereka."
Hanya empat malam setiap bulan, sesuai dengan keinginan Widayani. Dua malam sebelum dan dua malam sesudah haid. Dan malam itu kembali Dedi merasa yakin bahwa isterinya sungguh masih mencintanya. Dalam hubungan malam itu terasa benar olehnya. Isterinya amat mencintanya, akan tetapi mengapa mereka tidak dapat melakukan hubungan dengan bebas, setiap kali mereka menghendakinya? Mengapa harus ada batas-batas yang selalu memancing datangnya konflik antara mereka ini? Dan setiap kali teringat akan kondom yang berkurang dua buah itu, kebahagiaannya menjadi retak. Betapapun juga, semenjak pertemuannya dengan Mimi, rasanya dia dapat menahan itu semua.
Setiap kali bangun pagi, setiap berangkat ke kantor, semenjak Mimi bekerja di kantornya, hari terasa indah, penuh dengan janji yang indah menggembirakan. Dan memang tepat seperti dugaannya sebelumnya. Mimi merupakan seorang pekerja yang amat baik, cekatan, cerdas dan segala kekurangannya dalam pendidikan dapat dikejarnya dengan cepat melalui kecerdasannya. Hubungannya dengan Mimi yang bekerja sebagai sekretarisnya semakin akrab. Mudah saja bagi Dedi sebagai seorang direktur untuk memindahkan sekretaris lamanya dan menggantikan kedudukannya, lalu menyerahkan pekerjaannya kepada Mimi. Di waktu tidak ada kesibukannya, dia mulai bertanya-tanya tentang keadaan gadis itu. Namun. Mimi agaknya selalu mengelak, dengan alasan bahwa ia tidak suka membicarakan masa lampaunya yang pahit.
"Ibu saya telah meninggal, Pak. Demikian pula ayah saya"
"Tapi, apakah engkau tidak dapat memberitahukan kepadaku siapa nama ayahmu, Mimi? Kalau dia, orang Solo, siapa tahu barangkali akumengenalnya."
"Ayah saya""
Almarhum ayah saya adalah seorang lurah dusun, Pak. di dusun sana""
Jauh sekali, di daerah Tawangmangu. Saya ini anak desa, Pak."
Hanya itulah yang dapat diceritakan oleh Mimi dan diapun tidak mau mendesak lebih jauh lagi. Sikap itu kepadanya manis dan hormat. Dan diapun kagum kepada Mimi, semakin bangkit rasa belas kasihan di dalam hatinya. Entah bagaimana, dia sendiri tidak tahu, akan tetapi timbul hasrat di dalam hatinya untuk membahagiakan gadis ini. Dan terutama sekali, untuk mengangkatnya dan pertama-tama, dia ingin gadis itu tinggal di sebuah rumah yang layak, tidak di dalam kampung yang becek dan berhimpit-himpitan itu. Kurang lebih satu bulan sejak Mimi bekerja di kantornya, pada suatu siang Dedi berkata kepada sekretarisnya itu,
"Mimi, setelah tutup kantor nanti kau kuantar pulang, ya?"
Mimi menoleh dan menghentikan pekerjaannya mencatat sesuatu, lalu tersenyum dan kedua pipinya berobah merah,
"Ah, merepotkan bapak saja. Saya bisa naik helicak, Pak."
"Siapa bilang merepotkan. Rumahku di Tebet juga jauh dari sini, kalau hanya ditambah singgah ke Karet Kubur sebentar saja, apa bedanya? Hayolah, aku ingin bicara denganmu."
"Bicara di sini kan bisa, pak"
"Tidak, aku ingin memperIihatkan sesuatu kepadamu, Mimi. Tapi kalau engkau keberatan, tentu saja aku tidak akan memaksamu, Mimi."
Mimi tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang putih ceinerlang.
"Ah, kalau bapak sudah berkata begitu, biar bagaimanapun juga saya tidak akan mampu mengatakan tidak."
"Ha-ha-ha, orang tua memang pandai berdebat untuk meyakinkan orang lain, Mimi."
Lalu disambungnya agak lebih serius.
"Akan tetapi, mengapa engkau selalu seperti hendak menghindar dariku, Mimi?"
Mimi menjawab dengan serius pula.
"Saya tahu bahwa bapak amat baik kepada saya, bahkan terlalu baik. Bapak seorang yang amat mulia bagi saya, dan saya sudah merasa menerima budi yang berlebihan. Saya khawatir kalau-kalau bapak akan menambah lagi budi yang sudah berlimpah itu."
"Khawatir? Kenapa?"
"Khawatir untuk diri bapak, untuk nama bapak. Siapa tahu, mulut orang itu usil, Pak. Jangan-jangan mereka menyangka ada hubungan yang bukan-bukan di antara kita, jangan-jangan mereka menyangka bahwa bapak berrnaksud sesuatu terhadap diri saya."
"Ah, perduli apa omongan orang, Mimi?, Yang penting, bagaimana dengan kau sendiri? Apakah masih ada keraguanmu yang dahulu itu, apakah engkau mempunyai sangkaan bahwa aku mempunyai niat seperti itu terhadap dirimu?"
"Tidak Pak. Demi TUHAN, tidak! Saya percaya sepenuhnya kepada bapak. Saya merasa""
Eh, terlindung disamping bapak. Tapi".. tapi saya khawatir kalau-kalau hubungan saya dengan bapak ini akan terdengtar oleh keluarga bapak, oleh isteri bapak, dan beliau akan menyangka yang bukan-bukan sehingga bapak akan mengalami hal yang tidak enak"""."
"Perduli apa dengan keluargaku! perduli apa dengan anakku, dengan isteriku!"
Tiba-tiba Dedi lupa diri dan mengeluarkan kata-kata yang agak kasar, sebagai luapan dari perasaan kecewanya yang sudah bertimbun tebal itu.
Mimi terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya akan melihat sikap atau mendengar kata kata seperti itu dari mulut pria yang selama ini dihormatinya dan dipujanya, bahkan dicintanya ini. Ya, ia sudah jatuh cinta kepada pria ini! Bukan jatuh cinta sebagai seorang wanita dengan cinta berahinya terhadap seorang pria, walaupun pria ini belum tua benar dan masih amat ganteng dan simpatik. Melainkan cinta yang lebih halus lagi, cinta karena rasa hormat, rasa kagum, rasa dilindungi dan rasa syukur dan hutang budi. Tetapi mengapa sekarang Pak Suroto ini cerita seperti itu mengenai isterinya? Kalau mengenai puteranya. ia tidak akan heran melihat kekecewaan hati direkturnya itu, karena puteranya memang telah menyeleweng, seperti yang banyak dialami oleh anak-anak orang yang berkedudukan tinggi dan berharta,
"Maaf""
Pak...."
Katanya lirih dan iapun melanjutkan pekerjaannya, tidak berani lagi angkat muka memandang. Ketika mendengar sebuah kursi di depan mejanya ditarik, Mimi mengangkat mukanya, direkturnya sudah duduk berhadapan dengannya, menghapus keringat dari leher dan dahinya. Muka itu nampak agak pucat, dan garis-garisnya membayangkan penderitaan batin. Timbul rasa iba dalam Mimi. Tidak, orang seperti dia ini tidak mungkin menjadi suami yang jahat dan ayah yang kejam. Tentu ada sesuatu yang memaksa Orang ini mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak ramah terhadap keluarganya tadi.
"Mimi, engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku tadi lupa diri. Engkau tahu bagaimana dengan anak tunggalku itu. Ah, dan semua itu memang kesalahan kami suami isteri. Adapun isteriku""
Ah isteriku"""
Dia memejamkan mata, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya lagi.
"Bapak"". mencintanya, bukan?"
Pria itu mengangguk tegas.
"Aku mencintanya dan iapun cinta padaku. lni aku yakin besar, hanya"". hanya".. ahh"""
Dalam mengucapkan suara "ah"
Itu terkandung kedukaan yang demikian mendalam, suaranya menggetar dan membuat Mimi merasa bulu tengkuknya meremang. Gadis ini mengulurkan tangan dan memegang tangan direkturnya merasakan jari-jari tangan yang besar dan agak kasar karena sering memegang racket itu, lalu menggenggamnya dengan senTUHAN yang penuh perasaan.
"Tidak perlu bapak ceritakan kepada orang lain"".. saya""
Saya dapat merasakannya, walaupun saya tidak mengerti dan tidak perlu tahu. Dan putera tunggal bapak".. ah, tak saya sangka bahwa orang semulia bapak ini dapat menderita dalam kehidupan keluarga bapak."
Hening sejenak dan Dedi menundukkan muka memejamkan mata. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menarik tangannya dari bawah tindihan tangan yang kecil halus itu. Dia mengangkat mukanya dan memiandang kepada Mimi dengan senyum pahit.
"Terima kasih, Mimi. Nah, bagaimana, apakah engkau masih ragu-ragu, Mimi? Jangan kita menghiraukan pendapat dan sangkaan orang lain. Yang penting, antara kita tidak ada apa-apa yang kotor. Aku suka padamu, aku kasihan padamu, dan aku ingin melihat engkau berbahagia, ingin melihat senyum duka itu terusir selamanya dari bibirmu."
Mimi mengangguk.
"Sayapun merasa kasihan kepada bapak sekarang. Senyum bapak itupun penuh bayangan duka. Kalau saja saya mampu membantu bapak untuk melenyapkan penderitaan bapak."
Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo