Ceritasilat Novel Online

Leak Dari Gua Gajah 2


Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Bahrudin berpamit lalu pergi dari situ.

   "Wij, sebetulnya bagaimanakah? Benar-benarkah ceritamu yang aneh itu?"

   Wijono memandang tajam kepada sahabatnya.

   "Aku tidak bohong, Wal, dan pengalaman tadi memang benar-benar terjadi. Heran aku mengapa Ktut bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Besok harus kutanyai dia. Hal ini harus kuselidiki benar. Aku mendapat firasat bahwa ada bahaya hebat mengancam diri gadis itu dan... kalau tidak salah... akupun terancam. Akan tetapi aku tidak takut, aku harus menyelidiki dan membongkar rahasia ini."

   Waluyo mengangguk-angguk.

   "Memang di Bali banyak terjadi hal aneh, akan tetapi kau harus berhati-hati, Wij. Tentang sopir tadi, mengapa kau tanyakan?"

   "Ketika aku keluar dari sini, aku melihat dia seperti orang mengintai. Hemm, dia harus kuawasi, dialah orang mencurigakan."

   Kemudian Wijono dibujuk untuk tidur dan malam itu dia tidur gelisah sekali, penuh mimpi tentang Leak dan iblis-iblis menakutkan.

   * * *

   Pagi-pagi sekali, sekira jam tujuh, Wijono suda datang mengunjungi rumah paman Ktut Witha. Ia disambut oleh paman gadis itu yang memandangnya dengan mata penuh selidik dan bertanya langsung,

   "Ah, kau sudah sembuh, nak Wijono? Tidak mendapat serangan jantung lagi?"

   Wijono memandang heran. Orang tua ini baru sekarang ia jumpai, bagaimana bisa mengenalnya? Iapun merasa malu dan juga bingung mengapa ia dianggap mempunyai penyakit jantung? Agaknya orang tua itu maklum akan isi hati Wijono, sambil tersenyum dan mempersilahkan duduk ia berkata,

   "Malam tadi aku melihatmu dan Ktut telah menceritakan kepadaku siapa adanya kau ini. Dokter Harlan yang memeriksamu memberi kesimpulan bahwa mungkin kau terkena serangan jantung mendadak sehingga kau pingsan di pekaranganku malam tadi."

   Merah wajah Wijono. Ia mulai merasa sangsi. Benarkah semua yang ia lihat malam tadi? Ataukah Bahrudin dan orang tua ini yang benar bahwa ia melihat hal-hal yang sebetulnya tidak ada dan roboh pingsan karena serangan jantung, sama sekali bukan karena diserang oleh makhluk mengerikan itu?

   "Maafkan saya, sungguh saya tidak bermaksud untuk mengganggu malam tadi. Saya tentu hanya mendatangkan kekacauan saja, maaf..."

   "Ah, tidak apa, nak Wijono. Kau tentu hendak bertemu dengan Ktut, bukan? Dia bilang kau hendak minta dia menjadi penunjuk jalan, kebetulan sekali karena hari ini diapun hendak pulang ke rumah orang tuanya."

   Sebelum Wijono menjawab, Ktut Witha sudah keluar dan menyambutnya dengan senyum meriah. Paman gadis itu minta maaf karena harus pergi pagi hari itu, maka dua orang muda itu lalu duduk berhadapan di ruang tamu.

   "Dik Ktut Witha,"

   Suara Wijono bersungguh-sungguh.

   "Katakanlah agar aku tidak tenggelam selalu dalam kebimbangan, sebenarnya apakah yang terjadi semalam di depan situ?"

   Sepasang mata bulan itu menatapnya, gemilang mengandung sihir, tapi segera tunduk kembali, hanya bibir yang indah bentuknya itu masih senyum.

   "Yang terjadi aku sendiri mana tahu, mas Wij? Bukankah kau yang seharusnya lebih mengetahui? Kami mendapatkan kau menggeletak pingsan di situ, dan aku cepat memanggil dokter."

   Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya,

   "Kenapa kau malah bertanya kepadaku?"

   Wijono bingung. Akan tetapi melihat betapa bibir yang manis itu agak gemetar dan bulu mata yang lentik panjang itu bergerak-gerak mencurigakan, diam-diam ia mencatat di hatinya bahwa gadis ini tidak bicara terus terang kepadanya. Namun ia tidak berkehendak mendesak karena pasti ada sesuatu rahasia yang memaksa gadis itu bersikap seperti itu. Ia malah berkata dengan maksud hati membantu gadis itu agar tidak tahu bahwa dia telah dapat menduga bahwa di sana terdapat rahasia,

   "Kalau begitu, akulah yang mendapat mimpi buruk. Biarlah hal itu kulupakan saja. Eh, dik Ktut, kapan kita akan berangkat? Aku ingin melihat-lihat daerah pedalaman, tidak senang melihat kota yang hampir tiada bedanya dengan Jawa. Aku ingin melihat tempat-tempat yang kau sebutkan kemarin, terutama

   (Lanjut ke Bagian 02)

   Leak dari Gua Gajah (Cerita Lepas) - Bagian 02.

   Karya , Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 02.

   Gua Gajah."

   Tanpa disengaja ia menyebut ini dan melihat betapa wajah gadis itu tiba-tiba menjadi pucat sekali.

   "Gu... gua... Gajah...?"

   Suara gadis itu seperti orang berbisik. Wijono bersikap pura-pura tidak memperhatikan.

   "Ya, kenapa? Bukankah kau kemarin bercerita tentang Gua Gajah? Aku masih ingat betul, agaknya dongengmu itulah yang membuat aku mimpi buruk, bertemu dengan Leak Gua Gajah!"

   Pemuda ini tersenyum.

   "Jangan... jangan sebut-sebut itu..."

   Gadis itu tak dapat menyembunyikan ketakutannya lagi.

   "Kenapa tidak boleh sebut-sebut? Aku tidak takut kepada Leak Gua Gajah! Malah aku ingin bertemu sekali lagi, hemm..."

   "Ah, mas Wij... jangan..."

   Tiba-tiba gadis itu mengulurkan tangannya memegang tangan Wijono di atas meja dan pemuda ini merasa betapa tangan yang berjari runcing berkulit halus itu amat dingin dan menggigil.

   "Ktut Witha... dik... kau mengapa...?"

   Namun gadis itu tersedu dan menahan isak di kerongkongannya.

   "Wah, pagi benar kau sudah di sini, bung Wijono?"

   Tiba-tiba terdengar suara dari luar. Gadis itu cepat menarik kembali tangannya, wajahnya yang pucat sudah memerah kembali dan sikapnya biasa ketika ia bangkit menyambut kedatangan Bahrudin yang muncul sambil tersenyum-senyum, seperti biasa pakaiannya hanya halus bersih dan licin. Sepatunya mengeluarkan bunyi ketika ia melangkah ke ruangan itu.

   "Aduh, kau cantik sekali pagi ini, Ktut. Selamat pagi!"

   Senyumnya melebar dan mata yang tajam itu berseri gembira. Mulut Ktut Witha merengut.

   "Selamat pagi, mas Din. Ah, jangan kau bicara seperti itu!"

   Jelas ia tak senang dengan pujian tadi. Bahrudin hanya tertawa dan menghempaskan dirinya di atas kursi di sebelah kiri Wijono, memandang Wijono dengan wajah berseri.

   "Aku tidak mendengar suara mesin taximu, bung Bahrudin."

   Wijono cepat berkata untuk menutupi perasaannya yang masih berdebar karena sikap Ktut Witha tadi.

   "Sengaja kutinggalkan di depan hotel, Basri sedang mandi. Hayo, kita berangkat sekarang kah? Ktut, sudah siapkah kau? Bukankah kau hendak ke kampungmu sekarang?"

   "Aku sudah siap. Tunggu aku mengambil tas dan berpamit kepada bibi."

   Gadis itu segera masuk. Ketika keluar lagi ke ruangan tamu, ia sudah menjinjing sebuah tas, akan tetapi Bahrudin tidak berada di situ.

   "Ke mana mas Din?"

   Tanyanya.

   "Ia kembali ke hotel, sebentar datang lagi dengan taxi menjemput,"

   Jawab Wijono, kemudian disambungnya,

   "Kenapa kau kelihatan tidak suka mendengar pujiannya, dik Ktut?"

   Sambil menari napas Ktut berkata perlahan,

   "Kadang-kadang dia suka bicara tidak karuan. Hemmm, tak perlu kiranya aku menyimpan rahasia, mas. Sebenarnya aku tidak suka kepadanya... hemm, dia... dia selalu mendesakku, berkali-kali di Jogja. Dia... dia menyatakan... cinta, tapi aku tak dapat menerimanya."

   Wijono mengangguk-angguk, jengah juga karena mendengar hal yang seharusnya tak perlu ia dengar karena bukan urusannya ini.

   "Dia tidak pernah menggangguku,"

   Sambung Ktut cepat-cepat.

   "sikapya ramah dan baik sekali. Hanya itu... ah, setiap ada kesempatan ia tentu memuji dan menyanjung, menyatakan cintanya. Aku bosan mendengarnya dan tak senang aku..."

   Suara klakson mobil membuat mereka bangkit dari tempat duduk dan keluar.

   Bahrudin sudah turun dari taxi dan pandang mata Wijono penuh selidik menatap sopir tua yang duduk dengan tenang tanpa menoleh sedikitpun juga. Akan tetapi karena Wijono amat memperhatikan sikapnya, pemuda ini dapat melihat betapa sopir itu memandang kepada mereka melalui kaca spion, yaitu kaca yang dipasang di luar pintu sopir! Malah ketika mata sopir itu bertemu dengan pandang matanya melalui cermin itu, ia melihat sepasang mata yang berkilat penuh perasaan! Tapi hanya beberapa detik saja karena mata itu segera mengalihkan pandangan ke depan seperti orang melamun dan muka sopir itu kembali menjadi muka yang tidak mengacuhkan sesuatu. Wijono seperti kemarin naik dan duduk di sebelah sopir sedangkan Ktut duduk di belakang bersama Bahrudin yang makin menonjol kegembiraannya di samping gadis yang sekarang agak pendiam, tidak seperti kemarin itu.

   Pada saat mesin mobil sudah dihidupkan, tiba-tiba terdengar seruan memanggil nama Ktut Witha. Kiranya paman Ktut Witha datang bersepeda. Ia langsung mendekati taxi dan menghampiri jendela sebelah kiri di mana Ktut Witha menjenguk keluar. Mereka bercakap-cakap dan orang tua itu menyerahkan sebuah sampul surat kepada keponakannya, beserta sebuah bungkusan kertas kecil sebesar ibu jari kaki. Wijono sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena mereka menggunakan bahasa Bali, yang ia ketahui hanya bahwa wajah orang tua itu serius sekali dan gadis itu mengangguk-angguk seperti orang yang menerima pesanan penting. Setelah taxi bergerak meninggalkan Denpasar, Bahrudin bertanya,

   "Ktut, siapakah itu I Made Darma yang tadi disebut oleh pamanmu?"

   "Diapun pamanku, tinggal di Gianyar, sekarang bekerja menjadi pemangku (pembantu pendeta)."

   Wijono yang tidak mengerti arti percakapan tadi padahal hatinya ingin sekali tahu, memancing,

   "Bagus sekali bahasa Bali, amat tertarik hatiku mendengar kau bercakap-cakap dengan pamanmu tadi, dik Ktut. Tentu saja sepatahpun aku tidak mengerti maksudnya."

   Ktut Witha hanya tersenyum dan Bahrudin cepat berkata dengan nada sombong untuk memamerkan pengertiannya.

   "Kalau aku faham betul bahasa Bali, bung Wijono. Paman Ktut tadi meminta Ktut singgah di rumah I Made Darma memberikan surat dan berpesan agar supaya Ktut berhati-hati di jalan. Bukankah begitu, Ktut?"

   Gadis itu hanya mengangguk. Perjalanan kini melalui dusun-dusun yang sebetulnya tentu akan menarik perhatian Wijono kalau saja hati dan pikiran pemuda ini tidak dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman aneh yang membuat ia bertekad untuk menyelidiki rahasianya. Maka selanjutnya ia lalu memancing-mancing, tidak memperdulikan Ktut Witha dan Bahrudin lagi yang bercakap-cakap di belakang, melainkan ia mengajak Basri bicara.

   Sopir tua ini ternyata pendiam dan tak banyak bicara, hanya menjawab kalau ditanya. Namun Wijono berhasil mendapat tahu bahwa Pak Basri hidup sebatangkara di Surabaya dan sudah bertahun-tahun menjadi sopir taxi miliknya sendiri itu. Pemuda ini makin curiga, apalagi ketika ia bertanya apakah malam tadi Pak Basri berjalan di muka rumah Waluyo, sopir itu menyangkal keras. Aku harus memasang mata kepada orang ini, Wijono mengambil keputusan. Ia tetap tidak mau menerima dalam hatinya bahwa makhluk yang mengerikan dan mencekiknya itu adalah setan. Ia merasa yakin bahwa itu adalah seorang manusia pula dan sopir ini patut dicurigai sungguhpun sama sekali tidak ada dasar atau alasannya mengapa sopir tua ini melakukan perbuatan semacam itu.

   "He, pengendara motor itu sejak tadi mengikuti kita agaknya,"

   Tiba-tiba Bahrudin berkata. Wijono menengok dan dua orang temannya itu sudah memandang ke belakang melalui kaca belakang pula. Dari jauh tampak seorang laki-laki memakai jaket hitam mengendarai sebuah sepeda motor, terpisah kurang lebih setengah kilometer di belakang mobil taxi itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap, memakai kacamata hitam dan keadaannya tidak mencurigakan, seperti seorang pengendara sepeda motor biasa.

   "Ah, kau terlalu curiga, mas Din. Dia tentu pelancong biasa yang hendak pergi ke Gianyar dan terus ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi wisatawan."

   Kata Ktut Witha yang lalu duduk meghadap ke depan kembali.

   Karena ia berbalik ini, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Wijono dan pemuda ini dengan kagum melihat betapa wajah gadis itu sudah pulih, pipinya kemerahan, wajahnya berseri dan sepasang mata bulan itu gemilang. Melihat keindahan yang tidak lebih dari satu meter di depannya ini, Wijono terpesona dan tidak memperhatikan lain hal. Agaknya pandang matanya ini terasa oleh Ktut Witha yang menjadi gugup, sebentar menundukkan muka tapi berkali-kali mata bulan itu mengerling dari bawah dan menyambar secepat kilat ke atas. Muka yang bulat telur dan berkulit kuning halus itu menjadi makin merah, bibir yang manis tersenyum ditahan-tahan, senyum yang membayangkan malu-malu, maklum, dan setengah mengejek.

   "Pak Basri, perlambat jalannya,"

   Tiba-tiba Bahrudin berkata tanpa menoleh dari balik kaca belakang. Taxi melambat, paling cepat bergerak duapuluh kilometer perjam.

   "Hemmm, diapun memperlambat motornya. Berhenti Pak Basri,"

   Kata Bahrudin, suaranya penuh geram. Pak Basri mengerem taxinya, minggir dan taxi itu berhenti. Setelah matikan mesinnya, Pak Basri juga menjenguk ke luar jendela untuk melihat ke belakang. Mau tidak mau Wijono tertarik keluar daripada kekuasaan pribadi Ktut Witha yang tadi mempesonanya dan iapun melongok ke luar, juga Ktut Witha.

   Sebuah sepeda motor, agaknya Honda model terakhir, dikendarai seorang laki-laki muda berjaket hitam dan berkacamata hitam pula, meluncur lewat sebelah kanan taxi. Orang ini lewat tanpa menoleh namun diam-diam Wijono dapat "merasa"

   Bahwa orang itu melirik penuh perhatian dan dagu yang mengeras dari orang itu menandakan bahwa memang ada sesuatu dalam hatinya. Kembali ia teringat akan peristiwa semalam dan hatinya berdebar. Melihat perawakannya, agaknya pengendara motor itu lebih patut, kuat dan tegap, sebentuk dengan makhluk semalam. Tubuh Pak Basri memang juga tampak tegap dan kuat, namun ia sangsi apakah sopir tua ini akan memiliki tenaga seperti makhluk yang mencekiknya semalam.

   "Dia pelancong biasa, mas Din. Buktinya kita berhenti dia terus saja,"

   Kata Ktut Witha.

   "Mari kita teruskan perjalanan, Gianyar sudah dekat,"

   Kening Bahrudin berkerut, tanda bahwa persoalan pengendara motor ini mengganggu hatinya. Tapi ia memberi isyarat kepada Pak Basri untuk melanjutkan perjalanan. Di luar perbatasan kota Gianyar, dari jauh kelihatan sebuah sepeda motor Honda berdiri di pinggir jalan, tapi penunggangnya tadi tidak tampak. Setelah taxi mendekat baru kelihatan seorang laki-laki duduk di bawah pohon, kelihatannya seperti seorang pelancong yang mengaso melepaskan lelah, akan tetapi bagi para penumpang taxi ini timbul gagasan bahwa orang ini memang sengaja menanti di situ.

   "Bedebah, kuhajar dia!"

   Bahrudin memaki dan menyuruh berhenti taxi. Akan tetapi Ktut Witha berkata,

   "Piihhh, mas Din. Mengapa mencari perkara? Dia mau berbuat apa saja, kita tidak berhak melarang, bukankah dia berjalan di jalan raya dan sama sekali tak pernah mengganggu kita? Jangan stop, pak sopir!"

   Dan agaknya Basri setuju dengan ucapan ini, maka ia terus meluncurkan taxinya memasuki Gianyar.

   "Orang itu mencurigakan sekali, siapa tahu dia sengaja mengikutimu, Ktut. Siapa tahu dia merupakan ancaman bagimu."

   "Ah, kalau ada yang diikuti orang dan diancam, kiranya bukan aku melainkan mas Wijono."

   Ktut Witha mencoba untuk berkelakar, tapi bagi Wijono jelas bahwa suara ini mengandung getaran kuatir.

   "Aku tidak pernah menyalahi orang, kalau ada yang hendak menggangguku, terserah, aku tidak takut,"

   Jawab Wijono dan diam-diam ia mencatat bentuk muka orang berjaket hitam yang duduk di bawah pohon tadi.

   * * *

   "Inikah rumah pamanmu yang bernama I Made Darma, Ktut?"

   Tanya Bahrudin ketika gadis itu minta Pak Basri menghentikan taxinya di depan sebuah rumah yang dikurung pagar tanah dan bentuk serta keadaannya amat bersahaja, malah mendekati kemiskinan.

   "Betul, mas Din. Kalian tunggu sebentar, ya? Aku hanya memberikan surat dan pesanan paman dari Denpasar. Atau mari kalian ikut masuk, tidak apa."

   Wijono hendak menolak, akan tetapi Barudin sudah menariknya turun dari mobil.

   "Kita masuk sebentar mengapa, bung Wijono? Apakah kau tidak ingin melihat bentuk rumah asli Bali? Mari, kita masuk sebentar sekalian belajar kenal dengan bapak I Made Darma."

   Ktut Witha tersenyum.

   "Rumah kampungan, amat bersahaja. Oh, Pak Basri, mari silahkan masuk dulu, kita minum-minum dulu."

   Pak Basri mengangguk dan ikut pula memasuki pekarangan yang lebar seperti biasa perumahan Bali itu. Setelah minta para temannya menanti sebentar di luar, sambil berlari gadis itu memasuki pintu rumah yang gelap dengan wajah gembira.

   Tak lama kemudian ia tampak keluar bersama seorang laki-laki tinggi tegap setengah tua yang wajahnya menghitam karena panas matahari namun matanya tajam bersinar-sinar, pakaiannya hanya sehelai kain diselubungkan sampai ke atas pinggangnya, rambutnya sudah putih semua. Laki-laki ini keluar sambil tersenyum-senyum dan bicara dalam bahasa Bali dengan Ktut Witha. Akan tetapi tiba-tiba laki-laki itu berdiri tegak dan memandang kepada Pak Basri dengan mata terbelalak, kemudian ia menegur sopir itu dalam bahasa Bali. Wijono tidak tahu apa artinya, juga Pak Basri kelihatan gugup dan bingung, tertawa kecut dan menggoyang-goyangkan tangan menyatakan bahwa ia tidak mengerti. Ktut Witha sibuk menerangkan pamannya dan Bahrudin tertawa. Pemuda ini mengerti bahasa itu akan tetapi agaknya ia kurang fasih untuk bicara dalam bahasa Bali, lalu ia maju melangkah dan berkata,

   "Pak, sopir kami ini pak Basri orang Surabaya, sama sekali tidak mengerti bahasa Bali dan selamanya belum pernah ke Bali. Agaknya bapak salah lihat, dan mengira dia orang lain."

   I Made Darma kelihatan terheran-heran, lalu tersenyum dan berkata sambil merangkapkan tangan ke depan dada.

   "Maaf, maaf, mataku sudah tua dan lamur, aku mengira tadi bapak ini seorang yang pernah kulihat. Mari, silahkan masuk dan minum kopi seadanya."

   "Kami takkan lama, pak, perjalanan masih jauh."

   Bahrudin menolak.

   "Ah, masa jauh? Ke Bedulu dekat saja. Marilah minum dulu,"

   Desak tuan rumah. Ktut Witha ikut mendesak dan akhirnya mereka terpaksa memasuki pintu rumah dan dipersilahkan duduk di ruangan depan yang amat sederhana, dengan tempat duduk terbuat daripada kayu kasar, merupakan bangku-bangku panjang. Begitu memasuki rumah, Wijono hampir berteriak kaget melihat benda yang tergantung di sudut ruangan, agak tinggi. Menyeramkan sekali melihat topeng setan yang tergantung di situ, persis muka makhluk yang pernah ditemuinya di Denpasar dan yang telah mencekiknya. Ia berdiri terpaku dan terbelalak menatap benda itu. Bahrudin menertawainya dan Ktut Witha segera menerangkan dengan suara agak gemetar dalam pendengaran Wijono,

   "Pamanku ini selain menjadi pemangku, juga memimpin pesta tarian bertopeng, maka topeng itu disimpan di sini. Malah malam nanti di Bedulu akan diadakan pertunjukan untuk menghibur pembesar yang datang dari Jawa, topeng ini akan dipergunakan. Duduklah mas Wijono."

   Merah muka Wijono, kecut hatinya mencela diri sendiri yang terlalu penakut. Bukan hal aneh kalau di Bali ia akan banyak melihat topeng Leak seperti ini.

   Betapapun juga, ia paling gelisah ketika mereka minum-minum sambil bercakap-cakap. Sebentar-sebentar tak dapat ia menahan ujung matanya yang melirik ke arah topeng yang seakan-akan hidup itu. Dari percakapan yang dilakukan dalam bahasa Indonesia ini ia tahu bahwa orang tua Ktut Witha tinggal di Bedulu, bukan di Gianyar seperti yang ia dengar dalam perjalanan dahulu. Agaknya sudah terlalu biasa menyebut daerah Gianyar dengan kota ini saja, karena Bedulu memang bukan sebuah kota yang besar. Seperti seorang yang bertempat tinggal di Karesidenan Solo, kalau mengaku di luar daerah tentu bertempat tinggal di Solo juga. Tidak lama mereka singgah di rumah I Made Darma. Perjalanan dilanjutkan lagi, diantar oleh paman Ktut Witha sampai di jalan. Agaknya kampung halaman yang sudah diinjaknya kembali membangkitkan kegembiraan gadis itu.

   "Besok malam ada keramaian di Bedulu dan aku diminta oleh paman I Made Darma untuk ikut menari. Wah, agak kaku juga, akan tetapi terpaksa harus kulakukan. Memang aku suka sekali menari, semua ini menghidupkan kenang-kenangan lama semasa kecilku."

   Banyak gadis ini berceloteh dan didengarkan oleh kedua orang pemuda dengan gembira dan kagum.

   "Bagus! Besar benar untung kita, bung Wijono. Siapa kira kita akan dapat menyaksikan bidadari menari. Ha-ha!"

   Akan tetapi Wijono sedang memikirkan hal lain. Ia menoleh kepada Basri dan bertanya,

   "Heran benar aku mengapa bapak I Made Darma tadi menyangka kau orang lain, pak Basri? Apakah mungkin pernah dia bertemu denganmu?"

   "Tak mungkin!"

   
Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata pak Basri, suaranya tiba-tiba tegas, bukan tidak perduli seperti biasanya.

   "Selamanya belum pernah aku ke Gianyar."

   "Siapa tahu kalau berjumpa di Surabaya?"

   Wijono mengejar.

   "Hemm, kalau begitu sih bisa jadi, akan tetapi aku tak pernah mengenalnya."

   Ktut Witha menyela,

   "Agaknya pamanku salah lihat. Katanya ia pernah bertemu pak Basri di Bedulu tiga tahun yang lalu, hemm... tentu paman yang salah lihat. Kasihan orang tua itu, semenjak ditinggal puterinya dan isterinya, ia hidup bersunyi dan sering kali lupa..."

   "Jadi ia hidup sebatangkara?"

   Wijono bertanya iba.

   "I Putusari meninggal tiga tahun yang lalu, kemudian setahun sesudah ini isterinya menyusul..."

   "I Putusari...?"

   Hampir berbareng Bahrudin dan Wijono menyebut nama ini. Tentu saja mereka masih ingat akan cerita Ktut Witha tentang I Putusari yang mati dicekik Leak bersama tunangannya.

   "Ya, I Putusari saudara misanku yang malang itu... ia dahulu pasanganku dalam tari-tarian. Kasihan dia... dan kasihan paman I Made Darma..."

   "Leak Gua Gajah yang terkutuk!"

   Wijono memaki.

   "Ha-ha-ha, bung Wijono, kau masih percaya bahwa itu perbuatan setan? Ah, benar aneh kau ini, seorang terpelajar percaya akan segala macam tahyul. Menurut pendapatku, bukan setan yang melakukan pembunuhan itu, melainkan manusia juga."

   "Memang tentu saja manusia, tetapi manusia yang sudah menyerahkan diri menjadi Leak. Jahat sekali,"

   Kata Ktut Witha, agaknya hendak membantu Wijono dan ia kini bergidik ketakutan.

   "Ha-ha-ha, seperti dalam dongeng saja,"

   Kata Bahrudin.

   "Aku pernah membaca tentang Leak ini, katanya suka isap darah manusia seperti iblis Vampire dalam cerita barat. Malah katanya dapat merobah diri menjadi babi, monyet, anjing atau binatang lain, yaitu di waktu malam. Kalau siang menjadi manusia biasa. Hemm, andaikata semua itu betul dan I Putusari serta tunangannya dibunuh Leak dan Wijono juga diserang Leak, kukira yang pantas menjadi Leak itu adalah dia!"

   Ia menuding ke belakang dan ketika semua orang menoleh, tampaklah seorang laki-laki mengendarai Honda, berjaket hitam dan berkacamata hitam pula. Ktut Witha tampak gemetar ketakutan dan terdengar suara Basri,

   "Harap tuan-tuan jangan berkelakar tentang Leak, kasihan kepada nona yang ketakutan. Menurut pendapatku, pengendara motor itu adalah seorang pelancong biasa."

   Ia memperlambat jalannya taxi dan dengan tangan kanannya ia memberi isyarat agar yang di belakang melewatinya seperti isyarat setiap orang sopir yang memberi jalan kepada kendaraan lain yang hendak mendahuluinya. Derum suara motor makin mendekat dan sebentar kemudian meluncurlah sepeda motor Honda itu. Pengendara si jaket hitam mengangkat tangan kiri sebagai tanda terima kasih kepada pak Basri yang memberi jalan, karena sesungguhnya jalan itu penuh debu sehingga kalau motor itu berjalan di belakang mobil, pengendaranya akan tersiram debu yang tebal mengebul. Rumah orang tua Ktut Witha di Bedulu amat sederhana seperti rumah I Made Darma di Gianyar, akan tetapi lebih bersih dan di pekarangan depan tumbuh beberapa pohon bunga.

   Ibu Ktut Witha, biarpun sudah setengah tua, masih jelas nampak bekas kecantikannya, berkulit kuning bersih dan peramah sekali akan tetapi membuat Wijono malu-malu karena wanita ini bahasa Indonesianya penuh dengan kata-kata Bali yang tak dimengertinya. Ayah Ktut Witha yang bernama I Wayan Jaya, seorang berusia limapuluh tahun lebih yang pendiam dan amat sederhana, lebih banyak mendengarkan daripada membuka mulut. Ibu Ktut Witha yang amat ramah itu menahan-nahan para muda itu untuk menerima jamuan makan lebih dulu di siang hari itu sebelum melanjutkan perjalanan melihat-lihat keindahan Bali. Ktut Witha juga membantu ibunya mendesak sehingga tidak ada jalan lain bagi Wijono maupun Bahrudin untuk menolaknya.

   "Baiklah kau menanti di sini, bung Wijono. Aku hendak pergi melihat-lihat, sebentar aku kembali. Biarlah kau di sini bersama Pak Basri. Pak, aku pakai mobilnya sebentar, ya?"

   Sopir pendiam itu hanya mengangguk dan memberikan kunci kontak kepada Bahrudin yang segera berpamit dan berjalan ke luar. Tak lama kemudian terdengar bunyi mesin taxi itu dan meluncurlah kendasraan itu pergi, diikuti pandang mata Pak Basri yang agaknya kurang rela penyewa taxinya mengendarai taxi itu sendiri tanpa mengajaknya. Mereka terpaksa menanti kembalinya Bahrudin dan sekira jam satu tengah hari barulah pemuda ini datang, tersenyum-senyum minta maaf akan keterlambatannya lalu menarik Wijono keluar sambil berbisik,

   "Aku agak lama karena aku kembali melihat si jaket hitam. Di benar-benar mencurigakan sekali, bung! Kita berada di sini dan eh... diapun berkeliaran di sini."

   "Mungkin kebetulan, atau dia sudah mendengar pesta besok malam maka sengaja hendak menonton,"

   Jawab Wijono.

   "Mana bisa ada hal begitu kebetulan? Gerak-geriknya mencurigakan, siapa tahu semua kejadian yang aneh-aneh ini timbul daripadanya. Kita harus pasang mata, bung Wijono."

   Wijono mengangguk-angguk dan diam-diam ia menganggap Bahrudin sebagai sahabat yang boleh diandalkan dalam menghadapi segala peristiwa aneh ini, sungguhpun agaknya Bahrudin sama sekali tidak mau menerima atau percaya akan hal-hal aneh yang dianggapnya tahyul belaka itu. Setelah beramai-ramai makan siang, tiga orang muda itu bersama Pak Basri lalu berangkat ke Gua Gajah yang letaknya berada di sebelah barat Bedulu.

   Jalan raya banyak yang rusak, pemandangan di sepanjang jalan tidak menarik hati Wijono lagi. Kampung-kampung Bali yang sudah mulai biasa dalam pandang matanya, sawah-sawah yang nampak kosong, jalan-jalan sunyi dan pohon-pohon yang agaknya selalu bergerak terguncang angin. Taxi berhenti di jalan raya di mana terdapat banyak orang Bali menjual barang-barang kerajinan Bali seperti topi-topi, tas-tas dan lain barang anyaman yang akan menarik hati para pelancong lain daerah. Jalan menuju ke Gua Gajah melalui jalan kecil menurun. Tidak adanya kendaraan bermotor lain di jalan itu menandakan bahwa pada saat itu tidak ada pelancong lain dan Gua Gajah sunyi tidak ada yang mengunjunginya. Wijono dan Ktut Witha sudah turun dari taxi, akan tetapi Bahrudin berkata,

   "Sudah bosan aku melihat gua itu. Kau saja antar Wijono masuk, Ktut. Bung Wijono kau tahu, aku perlu di luar saja memasang mata."

   Berkata demikian, Bahrudin memberi isyarat kepada Wijono dan pemuda inipun maklum bahwa temannya ini bermaksud untuk melakukan penjagaan di luar, melihat kalau-kalau si jaket hitam yang mencurigakan itu akan muncul di sini. Iapin lalu bersama Ktut Witha berjalan memasuki lorong itu. Gadis ini tampaknya gembira sekali, sambil menuding ke depan ia berkata,

   "Di situ tempatnya, mas Wijono. Dekat saja. Kita lihat-lihat dulu bekas pemandian puteri yang berada di depan gua. Dahulunya tentu indah bukan main."

   Agak tergesa-gesa untuk segera memamerkan tempat kebanggaan pulaunya itu kepada Wijono, seperti tak disengaja lagi gadis ini menggandeng tangan Wijono dan menariknya. Wijono merasa jantungnya berdegup dan rasa girang yang aneh menyelubungi hatinya. Ketika ia menengok ke belakang, dilihatnya Pak Basri juga berjalan turun, agaknya hendak melihat-lihat pula, akan tetapi Bahrudin berdiri di depan mobil sambil menghisap rokok, sedikitpun tidak melihat ke arah mereka.

   "Mas, lihatlah ini,"

   Ktut Witha menunjuk ke kolam air yang sudah rusak keadaannya.

   "Ini disebut Kumon Sahyawangsa yang berarti Kolam Mandi Keluarga Raja. Lihat arca-arca wanita yang membawa pundi-pundi yang memancarkan air itu. Indah sekali buatannya, bukan? Sayang karena terlalu tua, sudah mulai rusak."

   Wijono mengagumi kolam air dengan arca-arca itu dengan setengah hati saja, karena setengah perasaannya dipergunakan untuk mengagumi Ktut Witha yang kini nampak makin jelita karena bergembira itu. Sepasang mata bulan itu bersinar-sinar, wajah yang ayu berseri-seri dengan kedua pipi kemerahan dan bibir tersenyum-senyum memperlihatkan deretan gigi putih yang kadang-kadang tampak berkilau.

   "Bagus, memang bagus,"

   Katanya, kemudian ketika menoleh ke arah gua yang besar dan berbentuk batu besar diukir indah, ia melanjutkan.

   "Yang di sana itupun indah. Itukah Gua Gajah?"

   "Betul, mas. Mari kita ke sana. Akupun hendak memohon berkah..."

   Ada sesuatu dalam suara gadis ini yang membuat Wijono tidak berani bertanya, bahkan mendatangkan rasa haru. Ia sudah banyak membaca tentang tata-cara hidup yang serba aneh dari rakyat Bali, yang di dalam segala gerak hidup mereka menyandarkan kepada berkah dan anugerah para dewata. Agaknya sudah amat mendalam di lubuk hati setiap orang Bali bahwasannya mereka sebagai manusia tidaklah berkuasa dan tidak berdaya sama sekali karena segala sesuatu dalam hidup mereka dikuasai oleh Tuhan Yang Maha Esa yang memerintah para dewata sebagai pembantu-pembantuNya. Memasuki gua itu memang cukup menyeramkan karena gelap sekali. Seorang yang baru pertama kali melihat tentu akan merasa ngeri seperti yang dirasai Wijono pada saat itu.

   Gadis itu mengeluarkan sebatang lilin dan kayu apinya dari tas dan dinyalakannya lilin tadi, lalu mereka masuk. Ternyata gua itu tidak amat luas dalamnya, hanya mempunyai lorong yang bentuknya seperti huruf T. Mula-mula lurus ke dalam lalu terpecah dua, ke kanan-kiri. Gadis itu mengajak Wijono dengan isyaratnya menuju ke kiri dan di bawah penerangan lilin Wijono dapat melihat ukiran-ukiran pula yang tidak begitu jelas. Di ujung kiri terdapat sebuah tempat pemujaan dan di depan tempat ini Ktut Witha berjongkok, melakukan gerakan-gerakan seperti menyembah dan bibirnya yang manis itu berbisik-bisik. Setelah ini gadis itu mengajaknya ke lorong sebelah kanan di mana ia memberi penghormatan dan berdoa pula seperti tadi. Kali ini Wijono memperhatikan dan lapat-lapat ia mendengar kata-kata aneh dalam doa gadis itu,

   "Om Bhur bhuwah swah, Tat savitur warenyam Bhargo dewasya dhimahi Dhiyo yo nah pracodayat."

   Gadis itu lalu bangkit berdiri dan menoleh kepada Wijono. Aneh sekali, wajah gadis itu kelihatan makin berseri dan kedua mata orang muda ini bertemu pandang di bawah sinar lilin di tempat yang amat gelap itu. seakan-akan sinar mata mereka menyatakan seribu bahasa yang hanya dapat ditangkap oleh degup jantung masing-masing.

   "Ktut..."

   Bibir Wijono menggigil, tak sanggup ia melanjutkan kata-katanya. Lilin di tangan Ktut Witha juga bergoyang-goyang, tanda bahwa tangan yang memegang lilin itupun gemetar.

   "Apa..., mas?"

   "...Kau... kau seperti bidadari... suci murni..."

   Tak dapat pula ia melanjutkan. Sejenak gadis itu menunduk, tapi dari bawah, sepasang mata bulan itu menyambar ke atas, lalu bibir itu terbuka memperlihatkan gigi yang kemilau terpukul cahaya api lilin yang dipantulkan oleh keputihan gigi. Kemudian ia tertawa dan suara ketawa inilah yang sekaligus membuyarkan pengaruh yang mempesona jiwa Wijono. Pemuda ini menjadi jengah dan dengan muka merah ia bertanya untuk menghilangkan rasa malunya.

   "Dik Ktut, bolehkah aku mengetahui arti daripada doamu tadi? Terdengarnya begitu indah dan suci."

   "Tidak ada anehnya, mas Wijono, sama saja dengan doa-doa dari agama lain dan dengan bahasa lain. Artinya kira-kira beginilah, Om, Ya Tuhan yang menguasai Tribuana ini, Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Kuasa, semoga Tuhan memberkahi hamba dan memberi penerangan dengan sinar cahayaMu yang maha suci. Begitulah kira-kira arti doa tadi yang disebut matram Gayatri, mas Wijono."

   Wijono memandang kagum.

   "Kau... kau pandai dan hebat, dik..."

   Pada saat itu, tiba-tiba dari atas terdengar suara menyeramkan, suara dari angkasa atau yang bergema memenuhi lorong itu, suara serak yang amat mengerikan. Seperti orang berkata-kata, singkat-singkat akan tetapi bergema mengaung dan kalau Wijono tidak cepat-cepat menyambar tubuh Ktut Witha, gadis itu tentu sudah roboh. Lilin tadi sudah terlepas dan padam, tubuh gadis itu menggigil dan isak tertahan memenuhi kerongkongannya. Ia ketakutan sekali, malah sesudah suara itu lenyap bersama kumandangnya, gadis itu masih mendekap pinggang Wijono dan menyembunyikan muka di dada pemuda itu. Wijono memeluknya dan seluruh jiwa raganya siap untuk melindungi dan membela gadis ini, gadis yang pada detik itu sudah merenggut hatinya, yang ia tahu bahwa hidupnya takkan dapat dipisahkan lagi daripada hidup gadis itu.

   "Tenang, dik... jangan takut... mari kita keluar..."

   Kata Wijono, suaranya gemetar juga akan tetapi karena ia tahu bahwa ialah yang saat itu menjadi pelindung Ktut Witha, rasa takutnya dapat ia tindas. Dengan terhuyung-huyung keduanya melangkah keluar dari dalam Gua Gajah.

   "Eh, apa-apaan kalian ini...??"

   Suara keras ini menegur penuh kemarahan ketika dua orang muda itu keluar dari dalam gua dalam keadaan berangkulan, Wijono merangkul leher Ktut Witha sedangkan gadis itu merangkul pinggang sambil menutupi muka. Teguran ini menyadarkan mereka berdua. Ktut Witah cepat-cepat melepaskan rangkulannya dan melihat bahwa Bahrudin sudah berdiri di situ dengan pandang mata marah, ia lalu menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Agaknya Bahrudin baru melihat betapa wajah kedua orang muda itu pucat dan nampak ketakutan, sama sekali bukan wajah dua orang yang sedang main asmara. Suaranya mendesak tapi tidak sekasar tadi,

   "Bung Wijono, apa yang telah terjadi?"

   "Aneh, bung Din. Aneh sekali... sukar dapat dipercaya. Selagi kami berdua melihat-lihat di dalam, tiba-tiba ada suara, suara... iblis layaknya, entah apa yang dikatakannya, aku tidak mengerti..."

   "Apa?"

   Bahrudin terbelalak, lalu tertawa dipaksa.

   "Kau mimpi lagi agaknya, bung Wijono."

   "Tidak..., tidak... Aku mendengar sendiri...!"

   Ktut Witha bangkit bicara.

   "Dia bilang... dia bilang... dalam bahasa Bali, artinya... Adinda, bagus kau datang, sudah lama kutunggu-tunggu... Begitulah, ahh... celaka, dia itu..."

   Ktut Witha tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia segera limbung dan hampir roboh. Kembali Wijono yang menangkap lengannya.

   "Wah, tentu ada orang main-main. Bung Wij, kau bawa pulang dulu Ktut. Suruh Pak Basri antarkan. Aku penasaran sekali, harus kuselidiki ini. Kalau dapat kubekuk batang lehernya, keparat biar dia Leak Gua Gajah sekalipun, tak boleh main-main di depan Bahrudin!"

   Dengan lagak gagah Bahrudin mengeluarkan lampu batunya dari saku dan melangkah memasuki gua. Tapi ia berbalik dan berkata kepada Wijono yang sudah mulai membawa gadis itu ke jalan raya,

   "Kalau sudah tiba di sana, suruh Pak Basri kembali ke sini menjemputku. Dan jangan lupa kalau melihat... eh, dia di jalan, harus kita awasi dia itu."

   Wijono mengangguk, maklum bahwa sahabatnya itu tentu maksudkan si jaket hitam. Pikirannya sendiri kacau balau. Sekarang yang penting harus menolong Ktut Witha pulang. Gadis ini perlu istirahat. Perasaannya tentu mendapat guncangan hebat. Dia sendiri masih terheran-heran. Gua Gajah itu gelap, sempit dan tidak ada lubangnya. Bagaimana bisa ada suara itu? Suara apakah itu? Kalau bukan iblis, masa ada manusia suaranya mengerikan seperti itu?

   Di dalam taxi, Ktut Witha menangis. Wijono memutar otaknya. Suara itu menyambut kedatangan Ktut Witha dengan ucapan girang, menyebut adinda segala, seperti terhadap kekasih. Hati pemuda ini menjadi kecut. Teringat ia akan Leak Gua Gajah yang dahulu dikabarkan orang menjadi kekasih mendiang I Putusari, saudara misan Ktut Witha. Akan terulangkah peristiwa mengerikan dahulu? Apakah sekarang Leak itu menganggap Ktut Witha sebagai kekasihnya? Hemm, kalau begitu ucapan selamat datang tadi sekaligus merupakan ucapan ancaman bagi keselamatannya. Dahulu, tunangan I Putusari mati dicekik Leak. Dia sendiri pernah diserang, sekarang mendengar suara itu. Apakah Leak itu sudah menaruh curiga bahwa dia mencintai Ktut Witha? Ia menoleh kepada Ktut Witha, menyentuh lengannya dan berkata halus,

   "Jangan takut, dik, jangan gelisah. Kami, aku dan bung Bahrudin, akan membongkar rahasia ini dan percayalah, selama ada aku di sini, aku takkan membiarkan setan yang manapun juga mencelakaimu."

   Tiba-tiba Wijono menutup mulutnya dan ia mengerling ke arah Pak Basri yang dengan tenang menyetir taxi itu. Ia lancang bicara. Bukankah Pak Basri ini termasuk orang yang patut dicurigai di samping si jaket hitam?

   "Pak, kau tadi ke mana sajakah? Bukankah kau tadipun turun hendak melihat Gua Gajah?"

   Jelas bahwa dalam pertanyaannya ini Wijono tidak dapat menyembunyikan rasa curiganya. Pak Basri menggerakkan kepalanya dan menjawab tenang,

   "Memang tadi aku turun sebentar, tapi lalu naik kembali ke jalan. Ada terjadi apakah gerangan?"

   Hemm, cerdik orang ini, pikir Wijono, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi.

   "Tidak ada apa-apa, pak. Hanya dik Ktut ini merasa ngeri dan mengajak pulang."

   Mendapat jawaban demikian, Pak Basri hanya diam saja, mulut yang berbibir tebal itu mengeras dan injakan kaki pada gas makin dlam sehingga taxi itu meluncur cepat sekali. Setelah menurunkan kedua orang muda itu, Pak Basri memutar taxinya dan cepat pula kembali ke Gua Gajah. Wijono tidak memperdulikannya lagi karena sibuk menggandeng Ktut Witha memasuki rumah. Ibu dan ayah gadis ini terheran-heran dan makin kuatirlah mereka ketika mendengar cerita dua orang muda itu tentang suara aneh di dalam gua. Baru tengah sibuk mereka bercakap-cakap, datanglah I Made Darma dengan dua orang pembantunya yang membawa topeng besar dari Gianyar. Melihat topeng setan ini meremang bulu tengkuk Wijono, akan tetapi topeng itu segera dibawa masuk ke ruangan dalam dengan penuh penghormatan.

   Kiranya topeng itu akan dipakai dalam pesta tari-tarian besok malam. I Made Darma yang mendengar cerita tentang keanehan di Gua Gajah, segera menaruh perhatian sepenuhnya. Ia bercakap-cakap dalam bahasa Bali dengan keluarga itu, amat serius dan penting tampaknya, namun tidak dimengerti sama sekali oleh Wijono. Hanya diketahui betapa wajah I Made Darma menjadi merah, kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang marah dan sinar matanya amat tajam berapi. Ia merasa tidak enak, maka segera ia berpamit untuk keluar melihat-lihat. Agaknya keluarga itu sedang memperbincangkan hal yang amat pelik sehingga permintaan Wijono untuk keluar ini segera mereka setujui tanpa banyak cakap lagi. Hanya Ktut Witha yang mengantar keluar Wijono dengan pandang mata mesra.

   * * *

   Di dalam hatinya Wijono mengambil keputusan untuk melawan pengaruh yang mengganggu Ktut Witha. Ia harus melindungi gadis itu, biarpun untuk itu ia harus melawan kejahatan iblis sekalipun. Ia harus menyelidiki, di samping usaha Bahrudin. Dengan semangat meluap-luap ia segera menuju kembali ke Gua Gajah dengan berjalan kaki. Ia tidak perduli bahwa hari sudah menjelang senja dan bahwa ia masih asing dengan keadaan tempat itu. Pendeknya, ia tidak mau diam berpeluk tangan belaka dalam menghadapi rahasia aneh yang agaknya merupakan ancaman bagi keselamatan Ktut Witha ini. Senja telah tiba ketika ia sampai di Gua Gajah. Keadaan sudah sunyi, para penjual barang kerajinan sudah tidak tampak lagi di tempat itu. Jalan raya sunyi senyap dan sekitar Gua Gajah tampak sepi menyeramkan.

   Daun-daun pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu bergoyang-goyang tertiup angin senja dan pintu gua itu ternganga mengerikan, seakan-akan ukiran kepala raksasa atau gajah itu menjadi hidup dan siap untuk menelannya. Tidak tampak mobil taxi dan tidak kelihatan ada orang di situ. Wijono menekan kekecutan hatinya dan menuruni jalan kecil ke gua. Ia tidak segera masuk, beberapa kali ia memanggil nama Bahrudin. Tidak ada sahutan sama sekali, hanya gema suaranya sendiri ketika ia berteriak di depan gua sehingga suaranya yang memasuki gua itu keluar kembali, berubah menjadi suara yang menyeramkan. Akan masukkah dia? Gua itu gelap pekat dan ia tak membawa alat penerangan. Korek api pun ia tak punya karena ia tak biasa menghisap rokok. Sudah sampai ke sini, aku harus masuk, pikirnya. Leak? Iblis? Biarlah, aku harus membela Ktut Witha, gadis yang... dicintainya.

   Perasaan ini mendatangkan ketabahan di dalam hatinya dan dengan langkah mantap ia memasuki Gua Gajah. Ia harus meraba-raba dengan tangan dan kaki sampai akhirnya ia tertumbuk dinding gua di sebelah dalam. Ia membelok ke kiri, meraba-raba sampai di tempat pemujaan. Tidak ada apa-apa di situ, tangannya tidak menyentuh sesuatu, telinganya tidak mendengar sesuatu. Ia membalik dan menuju ke sebelah kanan, juga tidak mengalami sesuatu. Jelas bahwa gua itu kosong, yakni kosong tidak ada manusianya. Tentang setan, entahlah. Ia menanti sebentar, setengah mengharapkan mendengar suara aneh seperti siang tadi. Akan tetapi sunyi sepi, tidak terdengar sesuatu. Wijono keluar lagi dari gua, memandang ke kanan-kiri. Cuaca sudah mulai gelap dan melangkahlah ia kelar dari tempat itu menuju ke jalan besar kembali.

   Tiba-tiba ia menyelinap ke belakang sebatang pohon. Dari jauh dilihatnya Pak Basri berjalan tergesa-gesa. Ia membiarkan sopir taxi itu melewatinya, lalu diam-diam ia mengikuti orang itu. hatinya berdebar. Hemm, ini benar aneh sekali. Pak Basri tanpa taxinya. Hendak ke manakah orang ini? Dan beberapa kali sopir itu menengok ke kanan-kiri-ke belakang, agaknya tidak ingin dilihat orang. Cukup mencurigakan. Inikah gerangan rahasia semua itu? Wijono mengikuti terus, hatinya berdebar-debar, penuh ketegangan. Sopir itu memasuki pekarangan sebuah rumah kecil seperti gubuk yang berdiri sunyi tak bertetangga di pinggir jalan. Rumah itu sunyi dan sinar api berkelip-kelip menerobos keluar dari pintu ketika daun pintu dibuka orang dari dalam. Wijono melihat sesosok bayangan orang laki-laki tua bongkok yang membuka daun pintu itu.

   Dengan hati-hati ia menyelinap menghampiri pondok, lalu mengintai dari celah-celah dinding yang berlubang. Amat sederhana dalam pondok itu, malah tidak tampak sebuahpun kursi atau perabot rumah lain. Pak Basri dan kakek bongkok itu duduk berhadapan di atas sehelai tikar. Mata Wijono terbelalak dan tengkuknya meremang ketika ia melihat sebuah topeng setan seperti yang sering kali dilihatnya dan yang bahkan ia lihat dalam mimpi, serupa benar dengan yang ia lihat di rumah I Made Darma, tergantung di dinding dan di bawah topeng ini mengebul asap kemenyan dibakar. Yang membuat ia merasa aneh dan mempertebal kecurigaannya terhadap Pak Basri adalah ketika dua orang itu bercakap-cakap. Kiranya sopir inipun pandai berbahasa Bali! Tak salah lagi kini kecurigaannya terhadap Pak Basri. Agaknya sopir inilah yang menyamar sebagai Leak Gua Gajah.

   Sopir ini pula yang telah menyerangnya di Denpasar, dan agaknya dia pula yang telah menakut-nakuti Ktut Witha dan mengeluarkan suara aneh di dalam gua. Akan tetapi, mengapa ia berbuat seperti itu? Apa maksudnya dan apa kehendaknya? Wijono tidak berani sembarangan menuduh tanpa bukti-bukti dan iapun harus menyelidiki lebih dahulu apa yang tersembunyi di balik semua peristiwa aneh ini! Akan laporkah ia kepada polisi? Akan tetapi, tanpa bukti, bagaimana ia dapat sembarangan menuduh orang? Topeng setan semacam yang berada dalam pondok ini merupakan benda lumrah di Bali, tak dapat dijadikan barang bukti. Dan kenyataan bahwa Pak Basri keluyuran ke tempat ini, kentaan bahwa ia ternyata pandai bicara dalam bahasa Bali juga bukan merupakan bukti. Tidak, belum ada kenyataan jelas, tak dapat ia melapor kepada polisi.

   Ia harus mengamat-amati sopir ini, harus memata-matainya sampai dapat menangkap basah. Cepat ia menyembunyikan diri ketika Pak Basri bangkit berdiri dan sambil bercakap-cakap keluar dari pondok itu diantar oleh tuan rumah sampai di depan pintu. Sayang Wijono tidak mengerti sama sekali apa yang mereka percakapkan dan tentu saja hal ini mempertebal kecurigaannya. Ia terus mengikuti bayangan Pak Basri. Akan tetapi agaknya Pak Basri curiga karena begitu keluar dari rumah pondok, sopir itu berjalan cepat setengah berlari dan sebentar saja lenyap di dalam gelap. Tentu saja Wijono tidak berani ikut berlari-lari, karena hal ini bukanlah cara seorang yang mengikuti dengan sembunyi. Terpaksa ia berjalan terus perlahan-lahan, kehilangan jejak Pak Basri, namun dapat menduga bahwa sopir itu tentu kembali ke Bedulu.

   Tiba-tiba ia melompat ke pinggir jalan dan bertiarap ke selokan kecil untuk bersembunyi. Ada seorang bersepeda dari arah belakang, sepeda tanpa lamu. Dalam keadaan seperti ini ia harus selalu berhati-hati, jalan ini terlalu sunyi sehingga tiap orang yang ditemuinya di jalan itu harus ia perhatikan benar. Mungkin hanya seorang penduduk dusun yang bersepeda ini, akan tetapi siapa tahu? Ketika laki-laki bersepeda ini lewat, debar jantung Wijono mengeras. Kiranya orang ini adalah si jaket hitam! Anehnya, si jaket hitam yang kini sudah mengganti sepeda motornya dengan sepeda biasa, tertawa-tawa seperti orang gila! Wijono makin menjadi-jadi kecurigaannya, pertama terhadap Pak Basri, ke dua terhadap si jaket hitam ini. Keduanya sama-sama mencurigakan dan agaknya bukan tak mungkin kalau dua orang itu bersekutu.

   Ah, teringat ia sekarang! Bukankah siang tadi ketika sepeda motor si jaket hitam itu hendak melampaui taxi, Pak Basri memberi tanda dengan tangan? Siapa tahu itu semacam kode! Wijono melihat jam tangannya. Jarum-jarum yang mengkilap kehijauan menunjukkan bahwa waktu baru jam tujuh lebih. Ia harus dapat menyelidiki dan menangkap basah sebelum ia melapor kepada yang berwajib. Dengan berani kedua kakinya melangkah, menuju ke Gua Gajah. Kalau tidak ada kenekatan bulat di dalam hati Wijono untuk membela Ktut Witha, kiranya biarpun berteman ia akan merasa ngeri mendatangi Gua Gajah di waktu malam gelap dan sunyi seperti itu. akan tetapi ia sudah bertekad untuk menyelidik dan membongkar rahasia ini, rahasia yang mengganggu Ktut Witha, yang agaknya merupakan ancaman bagi gadis yang dikasihinya itu.

   Dengan langkah perlahan ia menuruni jalan kecil menuju ke gua. Mendadak ia mendengar suara anjing leolong. Kedua kakinya menggigil. Suara anjing seperti itu kalau di Solo disebut membaung dan menurut kepercayaan kuno di kotanya, kalau ada anjing membaung seperti itu berarti bahwa binatang itu mencium adanya iblis atau setan! Bulu tengkuknya berdiri. Suara anjing melolong panjang itu keluar dari belakang gua, suaranya panjang menyayat hati. Wijono membulatkan tekadnya. Pendeknya, kalau ia melihat ada Leak Gua Gajah di saat itu, tentu akan diterkamnya, digulatnya dan dengan taruhan nyawa akan diserang dan ditangkapnya! Ia menyelinap di pinggir pintu gua, menanti dengan hati penuh ketegangan.

   Ada suara berkeresekan dari dalam gua. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut, jalan darahnya terasa berdetak-detak menghantami dada dan kepalanya, seperti hendak pecah-pecah seluruh urat di tubuhnya. Siapakah yang akan ditemuinya di tempat menyeramkan ini? Pak Basri kah? Atau si jaket hitam? Atau... Iblis Leak dari Gua gajah sendiri? Suara berkeresekan di dalam gua makin mengeras dan tiba-tiba suara anjing membaung di belakang gua itu juga terdengar lagi, makin panjang dan keras mengerikan, ketika berhenti disusul suara nguuk...nguuuukk... seakan-akan anjing yang membaung itu merintih atau menangis. Wijono merasa betapa tengkuknya amat dingin dan amat tebal, sudah tak dapat dirasakan lagi seperti membeku. Perlahan-lahan muncul sesosok bayangan dari pintu gua! Hitam sekali, lebih hitam daripada malam sendiri, tidak jelas kelihatannya.

   Dalam pandangan Wijono yang agak berkunang, bayangan ini tinggi panjang, malah sepantasnya bertanduk. Hiih, setan sendiri agaknya yang keluar dari gua, siap mencari korban, dan dia menanti di situ, berhadapan muka dengan muka! Wijono menekan jantungnya yang serasa hendak pecah, menggigitkan dua pasang giginya dan siap menerjang. Ktut Witha... kekasihku aku rela berkorban untukmu... demikian suara hatinya dan agaknya inilah yang membuatnya menjadi kuat dan berani, tidak jadi pingsan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba "setan"

   

Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini