Darah Daging 9
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Ah. aku juga cinta padanya, aku cinta pada Pak Suroto...""!"
Demikianlah suara batin Mimi mengeluh ketika ia duduk seorang diri di ruangan rumahnya.
Ia merasa begitu kesepian hari itu dan baru ia tabu bahwa perasaan sepi ini adalah karena tidak bertemu dengan Pak Suroto! Padahal, biasanya rasa kesepian seperti ini hanya timbul kalau ia teringat kepada Teja yang hanya dapat ia temui seminggu sekali, yaitu pada hari Minggu ketika para narapidana boleh menerima kunjungan keluarganya. Tapi sekarang, is merasa kesepian karena tidak berjumpa dengan direkturnya, karena mengenang pria itu. Ia baru saja mandi dan sore itu duduk di ruangan dalam. Biasanya, hampir setiap hari tentu Pak Suroto datang berkunjung, sore atau malam. Biarpun hanya sekedar bercakap-cakap selama satu jam. Dan keadaan ini sudah menjadi kebiasaan bagi Mimi sehingga sehari saja ia tidak berjumpa dan menerima kunjungam Pak Suroto, ia merasa kehilangan.
Suara mobil memasuki jalan itu dan Mimi terlonjak bangun: Pak Suroto! Ia sudah hafal akan suara mobil Holden Kingswood itu! Dengan jantung berdebar girang Mimi bangkit. la memang bukan hanya merasa tindu, akan tetapi juga cemas membayangkan betapa bossnya itu malam tadi telah menerima pukulan lima orang pemuda liar itu. Girang hatinya bahwa Pak Suroto datang berkunjung, karena hal ini berarti bahwa pria itu tidak mengalami luka-luka yang terlalu parah.
Mimi membuka daun pintu tepat pada saat mobil itu berhenti di tepi jalan di depan rumahnya. Akan tetapi, ketika melihat siapa yang turun dari pintu kanan depan, jantungnya berdebar tegang dan darahnya mengalir dengan cepatnya. Yang turun itu adalah seorang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Ibu Suroto! Sendirian saja! Mimi menahan napas untuk menenangkan hatinya, dan iapun keluar dari pintu, menyongsong wanita itu ke pintu pagarnya.
"Ah, kirainya ibu yang datang. Selamat sore, ibu,"
Katanya menyambut, tersenyum ramah.
"Selamat sore, nona Mimi,"
Kata Widayani sambil memandang kepada gadis itu penuh perhatian. Pipi yang membengkak dan biru itu mendatangkan rasa haru di hatinya. Pipi itu menjadi demikian ketika gadis ini membela suami dan anaknya. Dan pakaian yang dipakai Mimi sore itu sederhana sekaIi, juga wajah yang manis itu tanpa make-up, hanya sekedar bedak tipis. Bibirnya tanpa lip-stick, bibir yang agak pucat.
"Silahkan masuk, ibu."
"Terima kasih."
"Silahkan duduk dulu, ibu, saya mengambil minuman".."
"Ah, tidak perlu repot-repot, dik Mimi. Saya hanya berkunjung sebentar saja. Duduklah, saya ingin bicara denganmu, dik."
Mimi tidak jadi masuk ke belakang, dan duduk berhadapan dengan wanita itu. Mereka saling pandang sejenak dan sambil memandang pipi yang biru itu, Widayani berkata,
"Ah, mukamu bengkak dan biru. Betapa kejamnya anak-anak jahat itu."
Mimi mengelus pipinya,
"Ah, tidak berapa hebat, ibu. Dan bagaimana dengan...". Pak Suroto? Dan Joni?"
"Merekapun selamat berkat pertolonganmu, dik Mimi. Saya datang ini untuk mengucapkan terima kasihku kepadamu, dik Mimi. Kalau tidak ada engkau yang begitu berani..... ah, entah bagaimana jadinya dengan suami dan anakku...""
Widayani sudah tak dapat menahan air matanya, dan dengan saputangannya, dihapusnya beberapa butir air mata dari bawah matanya.
"Ah, tidak perlu ibu berterima kasih. Saya sendiri juga ketakutan setengah mati, akan tetapi melihat kekejaman mereka memukuli Pak Suroto dan Joni, saya tidak kuat bertahan diri, dan entah apa yang menggerakkan saya keluar dari mobil itu menjadi mata gelap, menyerang mereka tanpa peduli apa-apa lagi."
"Karena cinta, dik...""
Mimi terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa wanita itu akan berkata demikian.
"Apa".., apa maksud ibu..."?"
"Itulah cinta, dik. Engkau mencinta Pak Suroto, akan tetapi...". dia adalah suamiku, dik dan aku tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang laki-laki yang pantas dicinta..... dan diapun cinta padamu...". tapi, tapi, dia suamiku dan aku cinta padanya, diapun cinta padaku, dik...""
"Ibu..... Suroto..... apa maksud ibu berkata demikian ini?"
Mimi berseru dan mengangkat alisnya agak marah dan merasa tersinggung.
"Maaf..."., aku tidak menyalahkan kalian, akulah yang bersalah selama ini, membiarkan dia merana dan haus akan kasih sayang. Tapi aku telah insyaf, dik...". dan, akan membina kehidupan baru. Karena itu..."aku mohon padamu, dik, ahhh..... aku terlalu egois, akan tetapi aku tidak dapat bersikap lain, demi kebahagiaan keluarga kami. Aku mohon kepadamu, kau tinggalkanlah suamiku, dik..."
"Tapi..... tapi..... saya tidak hendak merampas suamimu, bu!"
Mimi berkata dengan nada marah. Mukanya menjadi merah sekali dan matanya juga basah, karena merasa terhina dan karena marah.
"Aku tahu, dik..... engkau seorang wanita yang terhormat. Aku tidak menuduh yang bukan-bukan, akan tetapi aku tahu..."
Suamiku cinta padamu..."
Dan engkaupun cinta padanya...". aku tidak menyalahkan kalian, akan tetapi aku khawatir kehilangan suamiku..."
Maaf, dik. Inilah, aku hanya dapat mohon kebijaksanaan dan kemuliaan hatimu, engkau tinggalkanlah kami dan ini.... ini sekadar biaya hidupmu..... dan percayalah, aku dan anak kami berterima kasih sekali padamu...."
Widayani mengeluarkan bungkusan itu dari tasnya, menaruhnya di atas meja dan dengan menghapus air mata iapun lalu bangkit dan berlari keluar dari rumah itu. Sejenak Mimi tertegun.
"Tunggu, ibu...""!"
Katanya, akan tetapi Widayani sudah lari ke mobilnya. Ketika Mimi membuka bungkusan itu untuk melihat apa isinya, hampir gadis ini menjerit karena bungkusan itu adalah uang! Uang dari lembaran se puluh ribu yang masih baru, dan ia dapat menduga bahwa uang itu sejumlah satu juta rupiah!
"Ibu Suroto, tunggu...".!"
Teriaknya sambil berlari keluar. Akan tetapi mobil Holden itu sudah meluncur pergi dan ia tidak mampu mengejarnya. Mimi masuk kembali ke rumahnya menjatuhkan dirinya di atas kursi, dengan bungkusan uang itu di atas pangkuannya. Perlahan-lahan air matanya jatuh bertitik-titik. Ia telah dibeli! Ia telah disogok!
"Uhhh....!"
Dilemparnya bungkusan uang itu ke atas meja dan iapun menelungkup di atas meja, menangis tersedu-sedu. Hatinya terasa sakit sekali. Tanpa disogok, tanpa dibujuk, iapun akan rela meninggalkan Pak Suroto kalau memang demikian sebaiknya, kalau memang seharusnya demikian demi kebahagiaan keluarga Pak Suroto. Akan tetapi ia telah disogok dengan uang sebanyak itu. Satu juta rupiah! Semurah itukah ia? Dan ia tidak merasa memikat Pak Suroto sama sekali! Ia harus meninggalkan Pak Suroto. Ia harus! Akan tetapi, ah, dapatkah ia melakukan hal itu? Mampukah ia meninggalkan pria itu, pria ama ini membuat hidupnya berobah sama sekali? Tangisnya makin menjadi-jadi.
"Kak Teja...".. ah, kak Teja, begini banyaknya godaanku..... kau maaikanlah aku, kak Teja...."
Ia meratap dalam keluhan tangisnya. Tiga tiari kemudian, menjelang tengahhari, Mimi mencrima tilpun dari kantor.
"Hallo, Mimi!"
"Hallo. Pak......"
"Engkau belum masuk juga, Mimi? Aku baru pagi ini masuk kerja. Apakah engkau masih belum sembuh? Maaf, selama ini aku tak dapat menengokmu, aku sendiripun baru pagi ini meninggalkan rumah sejak malam itu. Bagaimana keadaanmu, Mi? Mengapa belum juga engkau bekerja?"
"Saya..... saya belum merasa enak benar, pak, saya...". saya masih malas. Maafkanlah."
"Ah, tidak mengapa, Mimi. Kalau memang masih tidak enak, engkau istirahatlah. Atau lebih baik engkau ke dokter? Apakah sudah kau periksakan ke dokter? Pukulan jahanam-jahanam itu barangkali"""
"Tidak apa-apa, pak, hanya malas."
"Kalau begitu istirahatlah, nanti sepulangku dari kantor, aku datang padamu."
"""
Baik, pak""."
Setelah menaruh kembali tilpun itu. Mimi duduk termenung. la tadi berbohong. Sebetulnya ia sudah sembuh, bahkan pipinya tidak bengkak lagi. Akan tetapi bagaimana mungkin ia dapat bekerja kembali? Semenjak Ibu Suroto datang berkunjung, setiap hari ia hanya termenung. Tadinya ia mengira bahwa Pak Suroto juga sudah mendengar dari isterinya dan pria sengaja hendak menjauhkan diri. Siapa tahu, ternyata baru hari ini Pak Suroto pergi ke kantor dan bahkan baru hari ini keluar rumah. Ternyata Pak Suroto tidak tahu apa-apa. Dan ia harus meninggalkan pria itu. Harus! Tapi, bagaimana..."..?
Budi yang dilimpahkan oleh Pak Suroto kepadanya selama kurang lebih enam bulan ini sudah bertumpuk, tumpuk. Mana mungkin ia meninggalkannya begitu saja? Apa yang dapat dilakukannya untuk membalas budi Pak Suroto? Dan kalau ia meninggalkannya, apakah hal itu tidak akan membuat pria itu menderita? Apakah untuk memenuhi permintaan ibu Suroto, ia selain mengorbankan perasaan sendiri, juga harus membuat Pak Suroto berkorban dan sengsara hatinya? Selama beberapa hari ini, terjadi perang dalam hati Mimi. Akan tetapi akhirnya ia mengambil suatu keputusan. Betapapun juga, ia harus mengalah, harus berkorban. Ia harus meninggalkan Pak Suroto, demi kebahagiaan keluarga itu. Ia tidak boleh menjadi duri dalam daging, tidak boleh menjadi penghalang dan perusak hubungan antara mereka. Akan tetapi iapun tidak akan pergi begitu saja tanpa membalas segala budi pria itu.
Ketika akhirnya mereka saling berhadapan di ambang pintu itu, ketika Mimi membukakan daun pintu menyambut kedatangannya, mereka saling pandang dan ada kerinduan terpancar dari dua pasang mata itu.
"Pak..."" "
"Mimi...".!"
"Duduklah, Pak."
"Mimi, aku girang engkau kelihatan segar, aku khawatir bahwa engkau sakit..."."
"Ah, Pak. Dan sebaliknya, bagaimana dengan bapak? Dan Joni?"
"Kami adalah laki-laki, Mi. Luka-luka sedikit bagi laki-laki tidak mengapa, bahkan merupakan gemblengan. Tapi kau...", syukurlah, engkau tidak menderita lagi agaknya. Nih, kubawakan sedikit anggur dan appel untukmu....."
Dedi menyerahkan bungkusannya. Mimi menerimanya dan ada rasa haru di hatinya. Pak Suroto selalu memperhatikan dirinya, dan begitu nampak kasih sayangnya.
"Engkau nampak segar dan cantik sekali, Mimi."
Diam-diam tersenyum girang. Memang disengaja. Menielang kedatangan pria itu, ia tadi mandi dan berhias dengan hati-hati, tidak seperti biasanya. Bahkan dipergunakan parfum agak lebih banyak dari biasanya, dan ia sengaja mengenakan house-coat yang agak terbuka di bagian dada, house-coat yang juga dapat dipergunakan sebagai pakaian tidur. Terbuat dari bahan tipis. Sengaja ia melakukan semua ini untuk merangsang, sesuai dengan rencana keputusannya yang sudah bulat.
"Benarkah itu, pak? Benarkah bahwa saya cantik? Apakah pujian itu keluar dari lubuk hati bapak ataukah hanya basa-basi saja?"
Dedi memandang gadis itu dengan mata terbelalak. Tidak biasanya Mimi bersikap begini, agak..... eh, agak genit! Pandang matanya itu, senyumnya itu!
"Tentu saja, Mi. Aku selalu menganggap engkau seorang gadis yang cantik manis dan menarik."
"Benarkah, pak? Terima kasih kalau begitu."
Mimi lalu melangkah menuju ke kamarnya, membawa bungkusan anggur dan appel itu.
"Kalau benar bapak beranggapan begitu, ke sinilah, pak, ada yang hendak saya bicarakan dengan bapak."
Dedi merasa semakin heran. Gadis itu memasuki kamarnya dan memanggilnya! Kalau hanya hendak membicarakan sesuatu, mengapa harus ke kamar? Ia masih mengira bahwa Mimi tentu hendak menggodanya, sedang bersendau-gurau, maka sambil tersenyum iapun bangkit dan memasuki kamar itu. Bau harum menyambutnya dari dalam kamar. Begitu dia memasuki kamar, Mimi lalu menutup pintu kamar itu, perbuatan yang benar-benar amat mengejutkan hati Dedi. Apa lagi ketika dia melihat Mimi melemparkan bungkusan anggur dan appel itu ke atas meja toilet, kemudian menghampiri dan memandangnya angan sinar mata penuh gairah!
"Mimi, apa artinya ini? Apa yang hendak kau bicarakan denganku?"
"Bapak menganggap Mimi cantik manis? Nah, inilah Mimi, pak, ambillah..."""
Dan gadis itu... melepaskan beberapa kancing house-coatnya sehingga nampak dada yang membusung di balik beha tipis itu. Dedi memandang ivajah gadis itu dengan mata terbelalak.
"Apa..."
Apa maksudmu, Mimi?"
Dia mengira bahwa Mimi telah menjadi gila dan sekilat dia teringat bahwa mungkin saja pukulan pemuda-pemuda pemuda nakal itu mengenai kepala Mimi dan membuat pikiran gadis itu menjadi tidak normal! Akan tetapi kini Mimi melangkah maju dan merangkul leher pria itu, merapatkan tubuhnya dan berkata dengan mesra,
"Maksudku sudah jelas, kan pak? Aku hendak menyerahkan diri dengan sepenuh kerelaan hatiku kepadamu, Pak. Nah, ambillah...".."
Gadis itu mengangkat mukanya, yang begitu dekat dengan muka Dedi, matanya setengah terpejam, bibirnya setengah terbuka, menantang, menggairahkan. Dedi masih belum percaya akan apa yang dilihat dilihat dan didengarnya.
"Mimi, kau...".."
"Bapak mencintaku, bukan? Bapak suka kepadaku, bukan? Ataukah..."
Bapak menolakku?"
Bihir itu menantang untuk dicium. Menggigil rasa kaki Dedi dan dia harus menahan diri sekuatnya untuk tidak mencium bibir itu. Untuk mencegah ini, dia mendekap dan memeluk tubuh itu, dan mendekap kepala itu, dan mencium dahi itu dengan sepenuh perasaan hatinya.
"Aku cinta padamu, Mimi, aku sayang! padamu....."
"Kalau begitu, marilah, Pak...""
"Tidak! 'Mimi, mengapa kau , melakukan ini? Mengapa? Apakah engkau sudah gila? Hayo katakan, mengapa engkau melakukan hal ini?"
Mimi melepaskan pelukannya dan melangkah mundur tiga langkah. Tiga buah kancing house-coatnya terlepas dan selain nampak behanya yang berwarna merah muda, juga nampak kulit perutnya sampai ke pusar.
"Karena saya hendak menyerahkan kembali kunci rumah ini kepada bapak. Karena saya hendak pergi..."."
"Kau hendak pindah dari sini? Ke mana?"
"Bukan hanya pindah, melainkan hendak pergi. Saya hendak pergi meninggalkan rumah ini, meninggalkan pekerjaan, meninggalkan bapak, untuk..."
Untuk selamanya. Karena itu, untuk membalas budi bapak yang berlimpah-limpah, sebelum pergi, saya..... saya hendak menyerahkan diri kepada bapak, sebagai pembalas budi, agar saya tidak akan selalu menanggung hutang budi yang besar..."., nah. saya sudah berterus terang, Pak..."..
"
Mimi menghampiri lagi, dengan penuh tantangan. Hanya satu hal yang belum dikatakannya, yaitu bungkusan uang satu juta rupiah yang sudah disiapkannya di laci toiletnya. Setelah ia menyerahkan dirinya, ia akan menyerahkan pula pemberian lbu Suroto itu kepada pria itu. Kembali Dedi memeluknya dan mendekap muka itu pada dadanya, untuk mencegah hasrat yang memenuhi hatinya untuk menerima penawaran itu, untuk mencium bibir itu, membelai tubuh itu.
"Mimi..."
Mimi...". engkau sudah gila agaknya. Aku memang cinta padamu, Mimi. Aku sayang padamu. Akan tetapi, bukan karena kebutuhan sex! Aku tidak membutuhkan sex dari wanita lain, setiap saat isteriku yang tercinta sanggup melayaniku. Ah, engkau salah sangka, Mimi. Memang dahulu kehausan cinta kasih yang membuatku tertarik kepadamu, akan tetapi aku lalu benar-benar tertarik karena kasihan, karena..... entahlah, tapi aku mencintaimu bukan untuk hubungan sex, Mimi."
Tak terasa lagi, Mimi menangis di dada Dedi.
"Pak Suroto..... saya..."
Selalu merasa begini aman, tenteram dan Sentausa..."
Selalu merasa terlindung berada di dekat bapak...". saya merasa seperti mendapatkankan kasih sayang dan perlindungan seorang ayah sendiri, dan mendapatkan cinta kasih yang murni seorang pria...".. ah, maafkan saya, Pak..... maafkan saya...""
Dedi mengelus rambut yang hitam dan harum itu.
"Mari kita bicara di depan, Mimi. Engkau hendak pergi atau tidak, marilah kita bicarakan hal itu dengan kepala dingin. Bereskan bajumu, sayang, dan aku menantimu di depan."
Dia mendorong halus tubuh itu, tersenyum lalu keluar dari dalam kamar, lalu duduk di kursi ruangan depan. Dengan jari-jari tangan yang masih gemetar dia menyalakan sebatang rokok. Jantungnya masih berdebar dan ngeri dia bayangkan betapa baru saja dia lolos dari perangkap yang amat berbahaya. Dia merasa yakin bahwa andaikata hubungan antara dia dan isterinya masih seperti biasa, masih belum pulih dan bebas seperti yang terjadi baru beberapa hari ini, agaknya akan mudah dia tergelincir menghadapi keadaan seperti yang terjadi dalam kamar Mimi tadi.
Untunglah, dengan perobahan sikap antara dia dan isterinya, pulih kembali seperti sebelum isterinya melahirkan anak, maka dia merasakan.cinta kasih sepenuhnya dan dia tidak membutuhkan sex lagi, tidak kehausan lagi. Dia duduk mengisap rokok dan mendengar isak tangis Mimi di dalam kamar. Dia membiarkan gadis itu menangis, karena diapun tahu bahwa perbuatan Mimi itu tidaklah wajar, tidak seperti biasanya dan tentu ada sesuatu yang mendorong gadis itu bersikap seperti itu kepadanya. Setelah rokok yang diisapnya habis, barulah nampak Mimi keluar dari dalam kamar itu, dengan mata yang masih agak merah dan basah. Gadis itu duduk di depannya, menundukkan muka, seolah-olah tidak berani menentang pandang mata Dedi setelah terjadi peristiwa tadi. Nampak malu dan terpukul.
"Nah, Mimi. Sekarang ceritakanlah mengapa engkau melakukan hal tadi dan apa pula artinya bahwa engkau hendak meninggalkan rumah ini, meninggalkan pekerjaan dan meninggalkan aku. Apa yang telah terjadi?"
Suara Dedi penuh kesabaran sehingga memberi dorongan dan kekuatan kepada Mimi yang merasa betapa hubungan mereka menjadi wajar kembali, seperti biasa. Iapun berani mengangkat muka memandang. Mereka berpandangan. Dedi tersenyum dan Mimi menarik napas panjang.
"Seperti saya katakan tadi, Pak. Saya akan pergi untuk selamanya dan karena saya telah menerima budi bapak yang berlimpah-limpah dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya, rasanya takkan dapat terbalas selama hidup, maka saya hendak membalas dengan satu-satunya cara yang dapat saya lakukan, yaitu...".. menyerahkan diri saya kepada bapak, sebelum kita berpisah""."
"Eh, engkau ini aneh.Sudah mengenalku dari dekat, apakah masih belum mengenalku.? Apakah masih meragukan cintaku kepadamuu yang bebas dari keinginan berahi? Lalu sekarang ceritakanalah, mengapa engkau hendak pergi meninggalkan aku? Apakah karena peristiwa malam itu?"
"Tidak, Pak. Hanya saya merasa bahwa...".. kehadiran saya dalam kehidupan bapak hanya akan menimbulkan hal-hal yang amat tidak balk bagi bapak. Saya merasa bahwa kehadiran saya di dekat bapak mendatangkan bahaya besar bagi bapak, mungkin dapat meretakkan kerukunan keluarga bapak. Oleh karena itu saya mengerti bahwa jalan satu-satunya hanyalah saya harus pergi dari samping bapak."
"Kemana kau hendak pergi?"
Tanya Dedi dan suaranya mengandung kedukaan yang demikian jelas sehingga memancing keluarnya air mata dari mata Mimi lagi.
"Ke mana saja, Pak. Hanya untuk selama beberapa bulan. Enam bulan lagi, pacar saya akan keluar dari penjara dan kami akan memulai hidup baru...."
"Pacarmu? Penjara..."? Ah, Mimi! Kenapa tidak kau ceritakan kepadaku itu sejak dahulu? Siapa pacarmu itu?"
"Namanya Teja, Pak. Dia seorang pemuda biasa saja, seorang sopir, anak dari Cianjur,dan kami saling mencinta, pak, kami sudah berjanji bahwa kalau dia keluar dari penjara, kami akan hidup sebagai suami isteri..."."
"Tapi, kenapa dia berada di penjara?"
Lain Dedi menyambung kata-katanya dengan cepat.
"Kalau saja engkau percaya untuk menceritakannya kepadaku."
Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepahitan karena dia merasa tidak dipercaya oleh gadis ini sehingga sampai sekarangpun, setelah mengenal gadis itu selama setengah tahun, dia masih beium tahu akan riwayat gadis itu.
"Tentu saja saya percaya kepada bapak, sepenuhnya. Kalau saya tidak pernah bercerita, itu hanyalah karena..... karena semua riwayat saya amat hitam dan saya tidak ingin membicarakannya lagi. Akan tetapi sekarang, kita akan saling berpisah selamanya. dan bapak tidak mau cara saya membalas kebaikan bapak, maka biarlah saya menceritakan semua keadaan saya."
Gadis itu herhenti sebentar, menarik napas panjang lalu berkata lagi,
"Kak Teja dipenjara selama dua tahun. Ketika saya bertemu dengan bapak, dia sudah menjalani hukuman selama satu tahun. Jadi sekarang tinggal setengah tahun lagi. Dia dihukum karena membunuh orang tanpa sengaja, Pak."
"Apa?"
Dedi terkejut bukan main.
"Pacarmu, calon suamimu..... dia membunuh orang?"
"Tidak sengaja, Pak. Karena saya. Dia hendak membela saya, dan membela diri ketika diserang, bahkan hendak dibunuh orang, maka dia membela diri dan lawannya itu tewas. Biarpun dalam pengadilan dia dinyatakan membunuh karena membela diri, tetap saja dia dikenakan hukuman dua tahun."
Dedi mengangguk-angguk. Dia dapat mengerti kalau begitu. Jadi bukan seorang pembunuh berdarah dingin, bukan penjahat. Dia sendiripun bisa saja membunuh orang, misalnya dalam perkelahian yang lalu. Sebuah pukulannya bisa saja membunuh seorang di antara pemuda-pemuda itu.
"Siapa yang dibunuhnya itu?"
"Suami saya, Pak."
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heee.....?"
Dedi terlonjak kaget, sampai bangkit dari kursinya dan memandang wajah Mimi dengan mata terbelalak.
"Suamimu? Ah, Mimi...". Mimi...", jangan membikin aku menjadi gila karena kebingungan dan ingin tahu. Maukah engkau menceritakan riwayatmu? Agaknya engkau telah melalui lembaran-lembaran yang amat hitam dan menyedihkan."
Mimi menunduk dan sampai lama tidak menjawab. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata,
"Baiklah, Pak. Biarlah kuceritakan semuanya sebagai pengganti pengorbananku yang bapak tolak. Saya meninggalkan kampung halaman karena gangguan-gangguan pria. Mula-mula pembesar setempat menggoda dan membujuk saya, setelah saya mengalami godaan yang menjengkelkan sekali selama tahun terakhir di SMP, dari guru sekolah saya sendiri. Saya dapat menghalau semua godaan itu, karena saya bertekad bulat tidak akan menyerahkan diri dengan mudah kepada setiap pria, seperti yang pernah menimpa diri mendiang ibu saya. Akhirnya, saya mengikuti seorang bekas teman sekolah yang telah menikah dengan seorang laki-laki dari Jakarta. Saya ikut dengan mereka, meninggalkan kampung halaman karena nenek saya telah meninggal dan saya tidak mempunyai siapapun juga lagi. Kurang lebih empat setengah tahun yang lalu, saya tiba di Jakarta dan sambil menanti sampai saya memperoleh pekerjaan, saya mondok di rumah teman saya itu, sambil membantu pekerjaan rumah."
Dedi mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa mau mengganggu, walaupun ingin dia mendengar siapa ayah-bunda gadis itu. Dia pernah mendengar sepintas lalu Mimi mengatakan bahwa ayah Mimi adalah seorang lurah dusun.
"Akan tetapi, suami teman saya itu mulai menggoda saya! Dan sayapun melarikan diri dari rumah teman saya itu. Saya bekerja di pabrik sabun. Akan tetapi, saya tidak pernah dapat lama bekerja di suatu tempat karena selalu digoda laki-laki. Saya terus bertahan diri, dan lebih baik saya keluar dan mencari pekerjaan lain dari pada menyerahkan diri kepada para penggoda yang hanya mendekati saya karena dorongan nafsu berahi saja itu. Akhirnya, dua tahun setelah saya berada di Jakarta, saya berjumpa dengan seorang pemuda. Kami saling jatuh cinta, lalu kami menikah."
Kembali Mimi berhenti dan nampak termenung, wajahnya nampak dibayangi kedukaan.
"Siapakah suamimu itu dan dia bekerja apa?"
Dedi bertanya, hanya karena terlalu lama Mimi berhenti.
"Dia sudah tewas, tak perlu saya sebutkan namanya lagi, Pak. Tadinya dia mandor di mana saya bekerja, yaitu di pabrik tekstil. Mula-mula dia memang baik, akan tetapi ternyata kemudian dia seorang penjudi yang kegilaan judi buntut. Kami habis-habisan dan mulailah nampak belangnya. Saya malah hendak dipaksanya melayani atasannya di perusahaan itu hanya untuk mendapatkan uang...""
"Manusia jahanam!"
Dedi memaki gemas.
"Semoga diampuni TUHAN jiwanya,"
Kata Mimi.
"Setelah menikah selama setahun lebih, saya hampir tidak tahan lagi. Dia mulai berani menampar saya. Kak Teja adalah sopir dari perusahaan itu dan sahabat baik suami saya, Pak. Kak Teja kasihan kepada saya, seperti.....seperti seperti bapak..."
Dan selalu menasihati suami saya. Akan tetapi, suami saya malah cemburu dan menuduh yang bukan-bukan kepada kak Teja. Agaknya tuduhan-tuduhan inilah yang mulai mendekatkan hati kami. Pada suatu malam, saya hendak dipaksa lagi oleh suami. saya untuk melayani seorang tamu entah siapa dia, kalau tidak salah bandar buntut. Saya tentu saja menolak dan terjadi ribut-ribut karena suami saya sudah berhutang banyak pada orang itu. Suami saya memukuli saya, tamu itu lari pergi. Kebetulan kak Teja lewat dan segera melerai dan menasihati suami saya agar jangan memukuli saya. Suami saya menjadi mata gelap, menyerang kak Teja dengan pisau. Terjadi perkelahian dan pergumulan, dan akhirnya kak Teja luka-luka akan tetapi suami saya tewas dengan pisaunya sendiri menancap di dada"""! Demikianlah, kak Teja dihukum dua tahun."
Sunyi sekali setelah Mimi menghentikan ceritanya. Dedi merasa kasihan sekali. Dipandangnya wajah itu, wajah yang selalu mendatangkan rasa iba dan dan simpati di dalam hatinya.
"Dan dalam keadaan itu.... kita saling jumpa, bukan?"
Akhirnya Dedi berkata. Mimi menarik napas panjang, dan mengangguk.
"Untuk makan dan sekedar mengirim kak Teja setiap Minggu karena diapun seorang diri saja di dunia ini, saya bekerja di night club itu, hasilnya sebagian saya pakai belajar mengetik dan administrasi. Demikianlah, selanjutnya bapak telah mengetahui. Bapak merupakan penolong bagi saya, merupakan seorang yang paling baik selama hidup saya, maka tadi saya...". Ahhh..."."
"Sudahlah, Mimi. Lupakan saja itu. Aku tidak menyalahkanmu, bahkan merasa terharu sekali, karena perbuatanmu itu terdorong oleh rasa berterima kasih dan ingin membalas budi, walaupun merupakan suatu cara yang sama sekali tidak benar. Padahal engkau sudah mempunyai seorang calon suami yang baik...".."
"Maafkan, Pak. Sungguh mati, bukan hanya karena telah menerima budi bapak maka saya hendak melakukan hal tadi. Melainkan..."
Entahlah, saya percaya kepada bapak..."
Ada kasih sayang mendalam di hati saya terhadap bapak. Andaikata orang lain yang melimpahkan budi kepada saya, betapa besarpun, kiranya saya tidak akan melangkah sejauh itu. Akan tetapi..."
Ah, syukurlah, bapak sungguh bijaksana, telah menolaknya sehingga menghindarkan saya dari pada perbuatan yang akan membuat saya menyesal kelak setelah menjadi isteri kak Teja."
"Sudah, lupakan itu. Ceritamu menyedihkan sekali, akan tetapi dimulai dari kedatanganmu di Jakarta. Lalu di manakah ayah-bundamu? kau katakan dahulu bahwa ayahmu adalah seorang lurah dusun. Di manakah dia sekarang? Masih hidupkah atau sudah meninggal?"
Mimi menggeleng kepalanya. Dahulu memang ia menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang lurah. Ia bercerita demikian hanya agar derajatnya agak "naik"
Dalam pandangan Pak Suroto. Kini tidak perlu lagi.
"Lurah itu hanya ayah tiri saya, Pak. Ayah saya sendiri, ayah kandung saya..."
Entah di mana, entah masih hidup ataukah sudah mati."
"Ehh? Mengapa begitu? Apakah engkau tidak tahu dia berada di mana?"
Mimi menggeleng kepala lagi dan alisnya berkerut.
"Saya bahkan belum pernah melihat bagaimana macamnya. Saya benci orang itu, pak! Dialah yang merusak kehidupan mendiang ibu saya! Dialah yang membuat ibu saya menderita sampai mati, dan membuat saya menjadi seorang anak tanpa ayah-bunda. Saya benci orang itu!"
"Eh, apakah yang telah terjadi?"
"Menurut cerita ibu, kemudian menurut penuturan nenek yang oleh ibu diserahi untuk membesarkan saya, ayah kandung saya itu adalah seorang pemuda yang berkedudukan tinggi. Ketika masih muda, dia berhubungan dengan ibu sampai ibu mengandung, tapi laki-laki itu tidak mau memperdulikan ibu. Ibu melahirkan saya dan hidup terlunta-lunta..."
Dan untuk membesarkan saya, untuk menyekolahkan saya, ibu bahkan rela menjadi isteri seorang lurah, bahkan lebih dari itu, ketika ayah tiri saya itu ditangkap karena tersangkut G.30.S, ibu bahkan...".. menjadi..."
Menjad pelacur..."."
"Ahhhh...".!!"
Sepasang mata Dedi terbelalak dan mukanya berobah pucat. Dia memperoleh fiasat yang mengerikan. Akan tetapi sikapnya itu oleh Mimi disangka sebagai ikut merasa berduka dan kasihan saja, maka iapun melanjutkan ceritanya.
"Ketika saya berusia delapan tahun, ibu berjumpa dengan ayah kandung saya itu..."
Tapi manusia itu tidak mau tahu, bahkan menghina ibu, demikian kata mendiang nenek, dan ibu..... membunuh diri dengan terjun dari Grojogan Sewu..."!"
Kini Dedi meloncat dan bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, tubuhnya gemetar.
"Pak..."
Pak Suroto..."., bapak kenapakah...".?"
Mimi juga bangkit berdiri dan cepat menghampiri pria itu mengitari meja dan memegang lengannya.
"Bapak seperti orang sakit?"
"Ya TUHAN...""! Ya TUHAN Yang Maha Kasih..."", ampunilah dosa hamba..."
Darmi..."
Darmi...". ibumu bernama Darmi dan tinggal di Tawangmangu..."".?"
Mimi memandang dengan mata terbelalak dan memegangi lengan pria itu dengan kedua tangan karena ia khawatir orang itu akan roboh, mukanya demikian pucat. Ia mengangguk.
"Bapak...". bapak mengenal ibu saya......?"
Suaranya gemetar karena iapun mulai merasakan sesuatu, suatu firasat aneh.
"Mengenal ibumu? Mimi...", Mimi"". apakah ayah kandungmu itu bernama Dedi..."..? Disebut Den Dedi oleh ibumu?"
"Be..... benar, Pak...""
"Mimi...".!"
Dan benar saja, tubuh pria itu terguling dan roboh pingsan.
"Pak...".! Pak Suroto..."!"
Dengan susah payah Mimi berhasil mencegah orang itu terbanting ketika roboh dan sambil merangkul dan mengguncang-guncangnya, ia memanggil-manggil.
"Pak...". sadarlah..."
Ya ALLAH, bagaimana ini? Pak Suroto, sadarlah...".."
Dedi membuka kembali matanya dan melihat dirinya dirangkul oleh Mimi, diapun menangis, mengguguk seperti anak kecil dan merangkul leher Mimi, diciuminya pipi dan dahi Mimi.
"Mimi, aku...". akulah Dedi..."
Engkau adalah darah dagingku sendiri, engkau anak kandungku..."."
"Pak..."!"
Mimi merenggut lepas dirinya dan bangkit, lalu mundur, matanya terbuka lebar dan mukanya pucat.
"Apa artinya ini..."?"
Dedi Suroto juga duduk kembali ke kursinya.
"Benar, akulah Dedi. Engkau tidak melihat namaku? Ah. benar. Engkau hanya mengenalku sebagai D. Suroto, tanpa pernah menyelidiki apa arti huruf D itu. Itulah Dedi. Namaku Dedi Suroto. Darmi ibumu itu dahulu...". dahulu menjadi pelayan di mana aku mondok, ketika aku masih mahasiswa. Akulah yang menghamili ibumu, anakku. Akulah ayahmu yang terkutuk, yang kau benci itu..."
Akan tetapi sungguh mati, aku tidak sengaja menyia-nyiakan ibumu. Dan ibumu..... ya TUHAN, Darmi...".. Darmi...". ampunkan aku, kiranya engkau mengambil jalan nekat..."."
Dan kembali dia menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Terbayanglah dia ketika Darmi berlutut di depan kakinya, mohon kepadanya dengan tangis dan ratap, akan tetapi karena marah melihat Darmi menjadi pelacur, dia menghina dan meninggalkannya. Kiranya Darmi benar-benar masih mencintanya dan pertemuan itu mengakibatkan Darmi membunuh diri.
"Bapak..."."
Terdengar suara Mimi dan kini sebutan bapak itu mempunyai arti yang lain sekali. Suroto merasa dirangkul orang dan dia melihat Mimi sudah berlutut didepannya, seperti yang dilakukan ibunya di hotel itu.
"Mimi anakku..."..!"
Mereka berangkulan dan bertangisan. Kini jelaslah semuanya bagi mereka, mengapa ada daya tarik yang luar biasa antara mereka. Kiranya mereka masih sedarah daging! Sungguh merupakan pertemuan yang luar biasa. Kenyataan hidup kadang-kadang memang jauh lebih aneh pada dongeng!
Widayani memandang dengan jantung berdebar penuh keheranan, ketegangan dan juga kekhawatiran ketika melihat suaminya pulang sore itu bersama Mimi! Apakah yang terjadi, pikirnya. Mimi yang telah diberi uang satu juta rupiah itu belum pergi, bahkap datang bersama suaminya! Lebih dari itu lagi, mereka itu turun dari mobil dan bergandengan tangan menuju ke pintu depan rumahnya! Seperti dua orang kekasih yang saling mencinta! Rasa panas dan khawatir mulai menyelubungi hati Widayani yang sudah mulai menikmati kebahagiaan selama beberapa hari ini. Akan tetapi, dengan menekan perasaan, ia membuka daun pintu depan, menyambut kedatangan mereka yang masih bergandengan tangan itu dengan pandang mata penuh pertanyaan. Betapa berani mereka itu. Di depan hidungnya bergandengan tangan! Sambil bergandengan tangan mereka memasuki ruangan depan.
"Mam, engkau tahu siapa ia ini?"
Dedi bertanya kepada isterinya sambil tersenyum. Widayani memandang kepada suaminya, lalu kepada Mimi yang nampak malu-malu. Sudah gilakah suaminya?
"Tentu saja aku tahu. Ada apakah dengan dik Mimi?"
"Eh, jangan sebut dik padanya, Mam. Engkau ingat tentang Darmi? Pernah kuceritakan kepadamu, bukan?"
"Pelayan itu..."""
"Benar, dan sudah kuceritakan bahwa Darmi melahirkan seorang anak dariku. Darmi telah meninggal, Mam, dan ini....... Mimi ini...".. adalah anaknya. Mimi adalah anakku, darah dagingku Mam. Mimi adalah anak kandungku...".
"
"Ohhh...""!"
Widayani tergagap karena apa yang didengarnya itu sungguh sama sekali tak pernah disangkanya. Sementara itu, Mimi sudah memegang tangan Widayani dan menciumnya sambil berkata lirih.
"Ibu...""!"
"Tapi..."
Tapi...". ah. semua begini tiba-tiba"". bagaimana ini? Sejak kapan engkau tahu akan hal itu. Pap?"
"Sejak..... baru saja. Mam. Aku pulang dari kantor, menjenguknya dan Mimi mengatakan hendak berhenti bekerja, hendak pergi meninggalkan rumah...""
Diam-diam Widayani melirik ke arah Mimi.
"Lalu bagaimana?"
Desaknya, masih khawatir kalau-kalau gadis itu membuka rahasia penyogokannya.
"Nah, kudesak ia untuk menceritakan keadaan dan riwayatnya. Riwayat yang amat menyedihkan, Mam. Dan ketika bercerita itulah ia menyebut nama ibu kandungnya yang sudah meninggal, bahkan ibunya itupun meninggalkan pesan agar Mimi mencari ayahnya yang bernama den Dedi. Mimi selama ini tidak tahu bahwa huruf D di depan namaku adalah Dedi. Sungguh pertemuan yang kebetulan sekali, Mam. Dan kini tahulah kami berdua mengapa kami berdua saling tertarik dan saling mencinta. Kiranya ia adalah anakku...".!"
"Ahhh...". Sungguh...". Sungguh tak ku sangka..."."
Mimi lalu menceritakan kembali riwayatnya. Tadi ia dan ayah kandungnya telah bersepakat bahwa ada dua hal yang harus dirahasiakan dari siapapun juga, baik dari keluarga Suroto maupun dari Teja sekalipun. Dua hal ini adalah pertama, peristiwa dalam kamar Mimi di mana hampir saja terjadi hubungan sex antara ayah dan anak kandung sendiri. Dan ke dua, tentang Darmi yang hidup sebagai pelacur dan mati membunuh diri, terjun dari Grojogan Sewu.
"Biarlah kedua hal itu diketahui oleh kita berdua saja. Mimi. Penuhilah permintaan ayahmu ini,"
Demikian Suroto meminta kepada puterinya.
Kini, ketika menceritakan riwayatnya dengan singkat kepada Widayani, Mimi sama sekali tidak menyinggung kedua hal itu. Ia hanya bercerita bahwa hidup ibunya terlunta-lunta setelah melahirkan dan betapa ibunya lalu menikah dengan seorang lurah dusun yang ditangkap pula karena tersangkut G.30 S. dan betapa ibunya meninggal dalam keadaan miskin di Tawangmangu. Diceritakannya pula tentang riwayatnya sampai ke Jakarta, menikah dan suaminya berkelakuan buruk, betapa ia akhirnya bertemu Teja dan kini menanti keluarnya Teja dari dalam penjara. Selagi ia bercerita itu, Suroto meninggalkan mereka untuk berganti pakaian. Dalam kesempatan ini, Mimi cepat mengeluarkan bungkusan dari tasnya dan menyerahkan kepada Widayani sambil berbisik,
"Ini uang ibu, tak seorangpun yang tahu kecuali kita berdua, bu."
Berseri wajah Widayani. Ia bangkit dan menghampiri Mimi, lalu merangkulnya.
"Engkau seorang anak yang baik, Mimi. Dan aku merasa beruntung mempunyai anak seperti engkau. Sesungguhnya...". engkaulah yang telah mendatangkan sinar terang dalam rumah ini, tanpa kau ketahui dan kau sengaja..."""
Suroto kembali ke ruangan itu dan tersenyum melihat anaknya dirangkul oleh isterinya. Hatinya gembira sekali dan diam-diam dia mengucapkan syukur kepada TUHAN bahwa dia mempunyai dan puteri yang demikian bijaksana. Terdengar deru sepeda motor dan Joni datang membawa tas sekolahnya. Dia masuk siang dan pulang sore. Ketika dia melihat Mimi, wajahnya menjadi merah karena malu. Akan tetapi ibunya cepat memanggilnya.
"Joni, ke sinilah!"
Biarpun malu-malu, akan tetapi Joni yang kini merasakan benar kasih sayang orang tuanya, menghampiri ibunya dan berdiri dengan muka ditundukkan.
"Heii, masa laki-laki pemalu begitu?"
Ayahnya menegur, menggoda.
"Joni, ketahuilah, mbak Mimi ini adalah ayundamu sendiri! Ia adalah anak kandung dari ayahmu juga."
Joni memandang kepada Mimi dengan sinar mata keheranan, lalu menoleh kepada ayahnya. Dia tidak mengerti. Mimi tersenyum padanya.
"Tentu tidak pernah kau sangka, bukan, dik Joni? Sedangkan aku sendiripun tidak pernah menyangkanya dan rahasia ini baru saja terbuka hari ini, ketika aku menceritakan riwayatku kepada ayah kita."
"Bagaimana ini, Papa? Ia...""
Mbak Mimi ini anak kandung Papa..."
Dan siapa mamanya?"
Akhirnya Joni dapat juga bertanya kepada ayahnya setelah dia ditarik oleh ibunya dan disuruh duduk. Dedi Suroto menarik napas panjang.
"Hal ini terjadi jauh sebelum aku mengenal ibumu, Joni. Aku menikah dengan ibumu ketika aku berusia dua puluh sembilan tahun. Dan peristiwa itu terjadi ketika aku berusia dua puluh tahun. Aku berkenalan dengan ibu Mimi, kami melakukan hubungan di luar nikah dan iapun mengandung Mimi. Lalu kami berpisahan sebelum Mimi terlahir. Baru sekarang rahasia itu terbuka ketika Mimi menceritakan riwayat ibunya yang kini sudah meninggal dunia. Mimi adalah darah dagingku sendiri, anakku, jadi ia adalah ayundamu, Joni. Seayah berlainan ibu."
Dedi Suroto berhenti sebentar lau disambungnya cepat-cepat.
"ltulah buruknya huhungan di luar nikah, Joni. Menjadi contoh yang amat baik bagimu."
Mimi bangkit menghampiri Joni.
"Bagaimana dik Joni, sukakah engkau mempunyai kakak seperti aku ini?"
Mimi memegang pundak Joni. Joni bangkit berdiri, mereka saling berpandangan dan Mimi lalu merangkulnya. Joni tersipu-sipu. Dedi Suroto dan Widayani tertawa.
"Joni, untung engkau!"
Kata ibunya.
"Mimi bisa membantu pelajaranmu!"
Joni tersenyum pula, memandang kepada ayundanya dengan bangga.
"Aku mau minta diajari supaya menjadi pemberani seperti mbak Mimi, berani melawan lima orang bajingan!"
Dan merekapun tertawa, tertawa lepas, tertawa yang bebas dan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang merasa berbahagia hidupnya.
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau harus tinggal di sini, Mimi. Biarpun aku ini ibu tiri, akan tetapi anggaplah ibumu sendiri, dan Joni sebagai adikmu sendiri."
Ucapan Widayani ini keluar dari hati yang tulus karena ia merasa betul betapa bijaksananya gadis itu. Mimilah yang mendatangkan perobahan dalam kehidupannya bersama suaminya, dan Mimi bahkan telah mampu bersikap bijaksana, merahasiakan tentang uang sogok itu dari suaminya.
"Tentu saja mbak Mimi tinggal di sini, habis di mana lagi? Kan ini juga rumahnya!"
Kata Joni. Mimi merasa terharu dan ia tersenyum.
"Tentu saja. Akan tetapi hanya untuk waktu beberapa bulan saja. Kalau kak Teja sudah bebas, kami akan segera menikah. Dia harus bekerja dan kami akan berumah tangga sendiri..."..!
"Ha-ha-ha. Jangan khawatir, aku akan membantunya, Mimi,"
Kata Dedi Suroto. Pria ini merasa bahagia sekali dan rasanya belum pernah dia berbahagia seperti saat itu, memandangi tiga orang yang memenuhi hidupnya ini, tiga orang yang dicintanya. Dan cinta kasih memang tidak mengharapkan apa-apa, cinta kasih datang dari dalam, bukan sekedar cahaya pantulan dari luar saja. kalau ada cinta kasih di dalam batin, kebahagiaanpun terasa dalam kehidupan ini, tidak perduli cinta kasih itu menerima balasan ataupun tidak!
Hari Minggu berikutnya, Dedi Suroto mengantar Mimi mengunjungi Teja. Tentu saja dia ingin sekali berkenalan dengan calon mantunya itu. Ketika seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun muncul di balik palang besi, Dedi Suroto memandangnya dengan penuh perhatian dan diam-diam dia memuji pilihan hati Mimi yang ke dua ini. Seorang pemuda yang memiliki sinar mata yang mengandung keseriusan dan kejujuran, juga tarikan mulut iru membayangkan kehalusan dan keberanian yang mapan.
"Dik Mimi, bagaimana, engkau baik sajakah? Sudah sembuh...".. eh. siapakah paman ini?"
Tanyanya ketika melihat Dedi Suroto menghampiri dan berdiri dekat Mimi di luar jeruji besi.
"Kenalkan, kak, ini Pak Suroto dan dia..."""
"Ah, pak direktur Suroto! Sungguh saya merasa terhormat sekali bapak sudi datang berkunjung!"
Kata pemuda itu sambil menggulurkan tangan melalui jeruji dan Suroto menjabat tangan itu dengan hangat. Setiap Minggu, dik Mimi menceritakan semua kebaikan bapak! Ah, saya sendiri sampai merasa tidak enak mendengar segala kebaikan bapak, karena bagaimanakah kami akan mampu membalasnya....?"
Suara itu mengandung keharuan dan begitu mendengar ucapan ini, hati Suroto merasa girang dan lega bukan main. Seorang pemuda yang amat baik, pikirnya. Dan diam-diam dia berdoa semoga pilihan Mimi sekali ini benar-benar tidak meleset lagi.
"Kak, bicaraku belum habis. Dengarlah dulu, kak Teja, Pak Suroto ini, yang kuketahui bernama D. Suroto dan selama ini menjadi direkturku, ternyata adalah Pak Dedi Suroto..."."
"Ded..."
Dedi..."?"
Sepasang mata itu terbelalak.
"Bukan Dedi yang pernah kau ceritakan sebagai..."."
"Benar, kak. Dia ini adalah Dedi Suroto, ayah kandungku sendiri!"
Suara Mimi juga menggetar Penuh keharuan.
"Baru beberapa hari ini rahasia itu terbuka, kak. Manusia paling mulia di dunia ini kiranya malah ayah kandungku sendiri!"
"Ya TUHAN..."!"
Teja tak dapat melanjutkan kata-katanya saking takjub.
"TUHAN Maha Kasih, nak Teja. Mimi telah menceritakan semua dan aku akan girang sekali kalau engkau sudah bebas dan dapat menjadi mantuku!"
"Jadi bapak..."
Bapak setuju..."?"
Mimi berkata lirih. Biarpun ayahnya tidak menyatakan sesuatu tadi, namun iapun tahu bahwa diam-diam ayahnya tentu ingin berkenalan dengan calon mantunya.
"Dengan dia ini untuk menjadi calon mantuku. Setuju seratus proses! Bukankah dia pilihanmu sendiri? Semoga kalian berbahagia."
Dia menjabat lagi tangan Teja lalu berkata.
"Selamat ya nak Teja, sampai jumpa kembali. Mimi, aku menantimu di luar, ya?"
Dan pergilah pria ini dengan langkah-langkah ringan, meninggalkan tempat itu, merasa seolah-olah dia baru saja dibebaskan dari penjara itu setelah mengalami hukuman kurangan selama bertahun-tahun. Dadanya lapang dan sinar matanya berseri-seri. Hidup ini begini indah""".!
Lereng Lawu, April muda, 1977
T A M A T
Penerbit/Pencetak : CV. GEMA - Solo
Cetakan : 1977
Gambar Sampul : Yanes
Kategori : Drama/Non Cersil
Pemilik Buku : Gunawan Aj
Image : Awie Dermawan
Konversi Image ke Teks & Posting : Djan M - Eddy Zulkarnaen
Text Editing (E-Book) : Cersil Kph
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo