Saputangan Berdarah 2
Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Auuuuppp..."
Tiba-tiba Bharoto mengerutkan keningnya. Bibirnya yang atas disebelah kanan terasa sakit dan perih sekali. Eva melepaskan ciuman sambil tertawa lirih. Bharoto menjilat bibir atas dan merasai darah.
"Maaf, sakitkah? Tak kusengaja. Ah, berdarah bibirmu. Hapus dengan saputangan ini."
Dicabutnya saputangan sutera harum dari balik gaunnya depan dada. Bharoto menerimanya, sekilas pandang mengenal macam saputangan dan ia menghapus bibirnya, merasa betapa mulut pistol tidak melepaskan perutnya seperti halnya mulut dara itu melepaskan bibirnya. Akan tetapi tangan kiri dengan jari-jari halus berkuku merah jambu itu membelai-belai pipinya, telinganya, mesra dan manja.
"Iihh, canggurg benar kau. Begini menghapusnya"
Bharoto terkejut, urat-uratnya menegang, namun terlambat. Saputangan merah itu sudah menutup mulut dan hidungnya. Pening kepalanya oleh bau itu chloroform dunia gelap, ia berusaha menangkap tapi orang yang dipangkunya sudah meloncat turun, berdiri jauh dengan pistol ditodongkan. Bharoto terguling roboh tak sadarkan diri!
"Uuuhhhh..."
Bharoto mengeluh. He, aku masih hidup! Pikiran ini disusul gerak refleksnya dan ia melompat, tapi terjatuh kembali karena kedua tangannya tak dapat ia pergunakan untuk menekan lantai. Kiranya kedua tangan itu terbelenggu kebelakang! Matanya liar mengerling kekanan-kiri. Dara itu tidak tampak lagi, hanya meninggalkan bau harum semerbak, Bau chloroform tidak tercium lagi, Kamar itu kosong, pintunya tertutup, agaknya terkurnci dari luar.
"Gadis maniac (gila)!"
Gerutunya, tapi hatinya memaki-maki dan menyumpahi dirinya sendiri.
Betapa tololnya, mudah saja tertipu berkali-kali. Padahal ia sudah waspada, gadis liar dan buas, ia menjilat bibir atas sebelah kanan yang menjendol. Iblis betina! Kalau bukan gadis jadi-jadian, mungkin macan betina yang menjelma, masa orang berciuman menggigit bibir sampai somplak? Tiba-tiba seperti lampu blitz (untuk mengambil Photo). berkilat didalam benaknya. Betulkah dia itu liar? Hysteric atau gila Iaki-laki? Teringat ia akan mayat Thomas J. Chia. Bibir atasnya juga robek berdarah dan ada bekas lipstik dibibir itu! Ah, dari tukang becak melihat Thomas J. Chia sebelum matinya bertemu dengan gadis berpita merah, Siapa lagi kalau bukan Eva Srimurti yang menggigit bibirnya? orang Hongkong itu tampan pula, Dan terbunuh sehabis berciuman, Dia sendiri pingsan setelah dicium plus gigitan.
"Setan alas! Ciuman mesra plus gigitan gemas hanya untuk melumpuhkan semangat, untuk melengahkan agar mudah dirobohkan. Celaka, tolol benar aku! Aku, Bharoto yang menganggap diri Detektif ulung, tergelincir hanya oleh akal-bulus berupa ciuman plus gigitan bibir? Lebih dari patut tertawan dan terbelenggu menghadapi seorang gadis pelonco, dasar tolol, tidak mampuspun masih baik!"
Dengan uring-uringan dan menyumpah dirinya sandiri, Bharoto lalu menghampiri ranjang, menggosok-gosokan pita merah yang dipakai membelenggu tangannya itu. Sepuluh menit kemudian pita itu putus dan ia bebas, Tidak segera berusaha keluar, melainkan duduk termenung di kursi, memutar otak, Mengapa gadis itu tidak langsung saja merobohkannya tadi? Bukankah ia sudah terancam oleh pistol? Tentu gadis itu tidak begitu bodoh untuk menembaknya. Tapi mangapa seakan-akan hendak membuat ia tak berdaya untuk beberapa lama dengan menggunakan chloroform? Bharoto melirik jam tangannya. Sudah jam dua belas tenga hari! Ia meloncat dan dengan anak kunci palsunya, dibukanya pintu kamar Itu. Para pelayan dan pengurus hotel bengong terlongong-longong melihat Bharoto berlari-lari masih memakai jas malam yang panjang!
Aneh memang melihat detetif itu pada tengah hari lari keluar dari sebuah kamar hotel kosong, memakai jas malam panjang dan berlari dengan rambut kusut dan terang belum bercuci muka! yang terbayang dalam benaknya hanya kopor kecil mesin tik yang tadi ia lihat diatas ranjang. Biasanya wanita menaruh barang terpenting yang ia hargai ditempat tidurnya. Jadi kopor kecil itu terang bukan hanya berisi mesin tik! Tukang becak disurulmja ngebut sekuatnya, mengantar ia pulang. Rumahnya masih tertutup. Alit masih belum pulang, atau agaknya sudah pulang dan keluar lagi, kesal tentu menanti dia sampai tengah hari. Bhoroto tidak perduli, begitu masuk rumah, cepat menubruk pesawat tilpun. Cepat minta sambungan kilat dengan stasiun Yogyakarta dan Purwokerto, minta bicara dengan komandan jaga Polisi Kereta Api.
"Hallo, dengan komandan jaga? Disini detectif Bharoto. Harap saudara suka memeriksa seorang wanita, usia kurang lebih dua puluh lima tahun, wajah cantik kulit kuning rambut sepundak tubuh denok, biasa pakai pita rambut merah, sepatu merah jambu gaun merah. Periksa bagasinya terutama kopor kecil mesin tik. Harap secepat mungkin dapat memberi kabar kepada saya, tilpun 7707 Solo."
Demikianlah ia menelpun Komandan Jaga Polisi Kereta api Yogyakarta dan Purwokerto.
Kembali ia melihat jam tangannya. Ah besar kemungkinan Express sudah lewat Yogya. Harapannya pada pemeriksaan di Purwokerto. Ia percaya ketelitian PNKA di Purwokerto. Hatinya lega, kini hanya tinggal menunggu berita. Bagaimana kalau dara itu keluar Solo tidak menumpang kereta apai express? Bagaimana kalau naik Otobis? Kecil kemungkinannya, jarang penjahat yang membawa rahasia berani naik Otobis karena banyak pemeriksaan di jalanan. Keraguan ini mengganggu kelegaan dan harapannya tadi. Kemanakah Alit?
"Gila benar gajah itu! Tak ada orang yang kuajak bertukar pikiran."
Gerutunya.
"Rriiiingggg!"
"Hallo..., Hallo, ya, disini Bharoto. Dengan saya? ada apa...? Ah, baik aku segera datang!"
"Sialan!"
Bharoto membanting alat tilpunnya, ia lari keluar tergesa-gesa memasuki bangunan samping dan semenit kemudian ia sudah mengebut diatas Yamaha merahnya. Ia tidak memperdulikan telunjuk Polisi lalu-lintas diperempatan Pasar Pon yang menudingnya. Baiknya Bapak Polisi lalu-lintas itu mengenal Yamaha Sport merahnya, dan mengenal pula dia, maka tidak jadi ditiup peluit tadi. Rem Yamahanya bercuitan didepan rumah sakit umum. Bergegas ia lari melalui gang-gang panjang dan beberapa menit kemudian ia sudah duduk dipinggir pembaringan dimana tubuh Alit memenuhi pembaringan itu.
"Bagaimana, Lit?"
Tanya Bharoto kuatir, matanya menyelidik. Alit tersenyum lebar agak malu-malu, mata kanannya melotot, entah mata kirinya, karena tertutup kain putih pembalut yang membungkus kepala gundulnya. Juga pundak kirinya penuh kain pembalut.
"Sialan Bhar, aku terkena mlinjo (peluru) dipundak dan dalam keadaan setengah pingsan kepalaku dibuat main bal-balan!"
Bharoto menghela nafas lega. Tidak hebat luka Alit, tidak seperti yang dia khawatirkan ketika menerima tilpun pemberitahuan dari rumah sakit tadi. Kalau Alit masih sempat berkelakar, itu berarti ia akan sembuh dalam beberapa hari saja. Tubuh raksasa ini sudah terlalu kebal akan luka-luka pukulan senjata tajam dan entah sudah berapa belas Dokter bedah mengeluarkan mlinjo-mlinjo pistol dari dalam dagingnya. Geli juga ia mendengar kata-kata kepala dibuat mainan bal-balan. Memang besar dan bundar kepala Alit, tidak berambut lagi, seperti football (bola kaki).
Alit lalu menceritakan pengalamannya malam tadi. Setelah berkeliaran mencari-cari, akhirnya dapat juga ia menemui jejak dua orang yang harus ia selidiki itu. Tepat seperti dugaan Bharoto, kedua orang Jakarta itu bermalam disebuah rumah penginapan gelap di tepi batas kota. Rumah-rumah penginapan seperti ini disamping menerima tamu-tamu tanpa memeriksa keterangan, juga melakukan praktek-praktek gelap sebagai rumah pelacuran. Dengan lagak seorang Detektif ulung, Alit mengintai dan giranglah hatinya ketika melihat dua orang yang diincarnya itu meninggalkan rumah penginapan pada tengah malam buta. Ia mengikuti terus, heran mengapa dua orang itu berjalan kaki menuju luar kota. Baru ia sadar bahwa ia sengaja dipancing, namun terlambat karena tahu-tahu dari tempat gelap muncul enam orang yang serta-merta menyerbu dan mengeroyoknya.
Dengan dua orang Jakarta itu, pengeroyoknya berjumlah delapan orang. Alit marah sekali dan mengamuk seperti banteng terluka. Selama para pengeroyoknya hanya mempergunakan senjata tajam, ia tidak gentar dan satu demi satu pengeroyoknya jatuh bangun oleh kepalannya yang sebesar kepala orang itu. Tiba-tiba si gendut dari Jakarta mencabut pistol dan terdengar suara ledakan tertekan. Alit berteriak dan terhuyung-huyung, pundaknya kemasukan peluru yang membuat separuh tubuhnya serasa lumpuh. orang itu menubruknya dan ia dihujani pukulan-pukulan yang kiranya akan membuat dia tewas kalau saja tubuhnya tidal sekuat gajah. Dengan keadaan setengah pingsan Alit mengenal seorang diantara pengeroyoknya, si Barajul, buaja Gemblegan.
"Jul... berani kau..."
Ia sempat berseru sambil berusaha lemah untuk menggunakan lengan melindungi mukanya.
"He ini Mas Alit...!"
Teriak Barajul. Enam orang itu berhenti memukuli, minta-minta maaf karena bajingan-bajingan kecil seperti mereka itu tentu saja amat takut kepada Bharoto dan pembantunya ini. Akan tetapi dua orang Jakarta itu sudah tak tampak lagi bayangannya.
"Begitulah Bhar, pengalamanku. Enam orang buaja cilik itu sengaja mereka sewa untuk mengeroyokku. Buaya-buaya yang hanya memandang uang itu tidak meneliti lagi siapakah orang yang mereka keroyok. Ledakan pistol itu hampir tak terdengar suaranya."
"Hemmm, tidak mengherankan"
Kata Bharoto mengerutkan kening.
"Tentu ia menggunakan sound-muffler(peredam suara). Hemm mereka cerdik juga, tahu bahwa kau membayangi. Lit, kita berhadapan dengan gerombolan penjahat yang lihai, teratur dan bermodal. Heran aku, apa hubungan mereka berdua itu dengan dia...?"
"Dia siapa...? Sayang aku tidak membawa pistol malam tadi dan... he, kenapa semuram ini wajahmu? Dan bibirmu itu kenapa? Seperti terjepit daun pintu!"
Bharoto melayani kelakar Alit ini dengan bersungut-sungut.
(Lanjut ke Bagian 02)
Saputangan Berdarah, Serial Detektif Bharoto
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 02
"Memang terjepit pintu, tapi pintu macam apa! Cat nya merah delima dan pagar mutiara yang menjepit."
Ia mengusap bibirnya yang masih menjendol.
"Astaga, Bar. Dicium apa digigit?"
Alit yang sepatutnya mengerang kesakitan melihat bekas tangan pengeroyok-pengeroyok itu sekarang tertawa terbahak-bahak.
"Jangan main gila, Bhar. Tak usah kau bersandiwara, bagus ya orang macam kau ini? Teman disuruh menempuh bahaya, kau sendiri agaknya enak-enakan main pacaran dengan puteri Jin!"
"Main pacaran hidungmu! Enak-enakan kata bocah ini! Aku bukan main-main, tapi dipermainkan, dikibuli, dikempongi, tahukah kau? Setan alas kuntilanak! Dengar, Lit. Kita serius sekarang."
Bharoto lalu berbisik-bisik. Dua orang sekawan itu bicara perlahan dengan serius, kening mereka berkerut dan kini mereka sama sekali tidak bergurau lagi. Pada akhir percakapan itu, terdengar Alit menarik nafas panjang dan berkata,
"Sayang sekali Bhar, alangkah inginku dapat membantumu."
"Berbaring dan mengasolah agar lekas sembuh. Siapa tahu kau masih akan berkesempatan membantuku dalam pemecahan misteri ini. Sudah, aku pulang dulu, menanti berita dari Yogyakarta dan Purwokerto."
Setelah mendengarkan penjelasan dokter jaga bahwa keadaan Alit memang tidak berbahaya, Bharoto bergegas pulang. Sekali lagi Yamaha Sportnya mengebut di jalan Slamet Riyadi yang membuat para penjaga keamanan lalu lintas melotot dan bersungut-sungut. Sepeda motor itu ia geletakkan begitu saja karena dari luar rumah ia sudah mendengar suara berdering-dering. Cepat ia lari memasuki rumah. Bel otomatis yang dipasangnya bekerja baik sekali. Bel itu akan berbunyi terus tiap kali ada sambungan tilpun sampai alat tilpun diangkat.
"Hallo, Hallo... dengan bagian penerangan? Tadi ada sambungan tilpun untuk saya, Zus? Darimana? Stasiun Yogya? Tolong sambungkan kesana, penting sekali. Cepat ya, sayang! Ha-ha, ya saya Bharoto. Zus Trin ini kan? Kalau nonton film jangan keras-keras ketawanya seperti malam minggu yang lalu di balcon U.P... ya? Tolong zus, cepatkan lho, penting. Trims!"
Bharoto meletakkan pesawat tilpun dan membanting diri diri diatas kusrsi didekatnya. Mudah-mudahan berita baik, doanya. Aku perlu mendapatkan jejaknya, jejak kuntilanak itu. Terbayang wajah yang ayu, ciuman mesra, otomatis matanya dipejamkan dan Bharoto tersenyum-senyum.
"Rriiinggggg!"
"Zus Trin elok!!"
Bharoto berseru girang dan cepat menyambar alat tilpunnya. Tapi keningnya berkerut kecewa. Bukan dari Yogya, melainkan dari Purwokerto, dari Komandan Polisi Kereta Api di Purwokerto yang mengabarkan bahwa wanita yang dicari-cari itu tidak ada dalam kereta api express yang baru saja lewat. Kami sudah memeriksa teliti, kata komandan itu. Kamar-kamar kecilpun diperiksa, tapi tidak ada orang yang dicari, mungkin turun di Yogya.
Harapan satu-satunya tinggal berita dari Yogya. Setengah jam sudah ia menanti. Makin besar harapannya. Lama menanti berarti bahwa "ada apa-apa"
Di Yogya. Kalau yang dicari itu tidak ada, mengapa begini lama beritanya? akhirnya tilpun berdering. Ia meloncat dan menyambar pesawat tilpun. Sepuluh menit ia mendengarkan keterangan Komandan Polisi Kereta Api. Ketegangan memuncak. Memang betul dara gaun merah itu turun di stasiun Yogya. Polisi Yogya cepat membantu dan mencari. Kiranya dar itu langsung pergi ke Meguwo dan dari lapanga terbang ini sempat ikut pesawat terbang yang mendarat tak lama kemudian, terbang ke Jakarta.
"Terlambat. Benar-benar licin dia!"
Bharoto menaruh pesawat tilpunnya sambil memuji. Semangatnya bangkit, kegembiraannya timbul. Sungguhpun terlambat, namun sedikitnya ia dapat mengikuti jejaknya. Wah, benar-benar lihai si cantik ini. Tentu tadi pagi telah mengatur semuanya, mengatur rencana perjalanannya. Berganti plane (pesawat terbang) di Yogya. Alangkah cerdiknya. Siapa mengira demikian? Anehnya, biasanya tidaklah begitu mudah naik pesawat terbang dari Yogya ke Jakarta, harus memesan ticket (karcis) lebih dulu beberapa hari dimuka. Apakah ia sudah memesan jauh sebelumnya? ini perlu diselidiki.!
Setelah menilpun ke rumah sakit memberitahu kepada Alit bahwa ia hendak pergi ke Yogya, beberapa menit kemudian Yamaha Sportnya sudah membalap ke Jalan raya Solo-Yogya. Tiga perempat jam kemudian sepeda motornya sudah membelok kekiri diluar kota Yogya, menuju Meguwo. Kartu pengenalnya memudahkan Bharoto memasuki lapangan terbang ini dan mencari keterangan tentang dara yang diselidikinya. Hasilnya mengecewakan, dara gaun merah itu meninggalkan nama Eva Srimurti pada daftar penumpang. Seorang petugas yang masih muda tersenyum ketika ditanya Bharoto.
"Saja tadi melihatnya, mas. Cantik jelita! Kenapa Mas biarkan berpergian sendiri? Tunanganmu, mas?"
Petugas itu menghentikan senyum kelakarnya ketika melihat pancaran mata tak senang dibalik kacamata itu"
Lalu cepat-cepat menyambung.
"Nah, ingat aku, mas. Sebelum naik tangga pesawat tadi, ia ditegur oleh dik Sun!"
Seketika berseri wajah Bharoto. Dengan ramahnya ia menepuk pundak petugas itu.
"Dik Sun yang mana? Sudah mengenal diakah dik Sun itu? Tolong antarkan aku kepada dik Sun, sahabat baik!"
Sundari adalah seorang stewardess (pramugari) yang hitam manis dan lincah. Matanya bercahaya dan bibirnya tersenyum ketika ia di pertemukan dengan laki-laki tampan berkacamata yang seketika menarik perhatiannya itu. Apalagi ketika sipetugas menyatakan bahwa sikacamata ini mencari keterangan tentang dara gaun merah yang tadi menumpang pesawat terbang ke Jakarta, pandang matanya penuh selidik dan senyumnya menjadi penuh arti dengan dagu berkerut-merut.
"Oooh, anda maksudkan Linda? Dia memang sahabatku, teman sejawat."
Bharoto tercengang.
"Linda? Di daftar penumpang namanya Eva Stimurti."
"Mungkin. Linda nama kecilnya. Kami mengenalnya sebagai Linda."
"Bekas stewardess?"
"Betul, tapi sudah eh, dihentikan setahun yang lalu."
Mata, bibir dan muka hitam manis itu membayangkan sikap "Aku tidak bermaksud, membuka rahasia orang lain"
"Dihentikan? Pelanggaran?"
Sihitam manis hanya mengangguk, sinar matanya gembira. Agaknya gadis seperti ini selalu gembira kalau melihat gadis lain mengecewakan orang.
"Penyelundupan?"
Bharoto main tebak. Kepala gadis itu bergerak-gerak, setengah mengangguk-angguk setengah menggeleng, lalu katanya disusah-susahkan,
"Saya tidak mau bicara tentang itu, nanti saya dikira membuka rahasia bekas teman. anda pacarnya?"
Bharoto menggigit bibir dan hampir berteriak kesakitan karena ia lupa dan kena gigit bibir yang menjendol. Cepat dicabutnya kartu pengenal dari saku, diperlihatkan isinya.
"Terus terang saja, saya Detektif, menyelidik nona bergaun merah itu."
Mata Sundari melebar, apalagi setelah pandang matanya sekilas membaca nama dalam kartu pengenal.
"Good Lord (Ya Tuhan) anda... anda Detektif Bharoto??"
Pandang matanya penuh kagum, matanya ber sinar-sinar dan sipetugas tadipun melongo. Bharoto menyumpah didalam hati.
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaan sesungguhnya dari Eva Srimurti alias Linda itu, sayang."
Seperti air hujan dari talang, bercucuranlah kata-kata sigadis hitam manis itu, bercerita tentang Linda. Ternyata Linda atau Eva Srimurti itu dahulunya stewardess pada Garuda Indonesian Airways di Jakarta, berdinas pada line Jakarta-Singapore-Hongkong. Setahun yang lalu ia dipecat karena kedapatan menyelundupkan jam tangan dan perfume (minyak wangi) dari Hongkong. Yang amat menggirangkan hati Bharoto adalah keterangan Sundari tentang tempat tinggal Linda, yang katanya tinggal di rumah ibunya yang sudah janda di Kebayoran Baru. Ia berpamitan, menggenggam tangan Sundari, dibawanya kebibir sebagai tanda penghormatan dan di ciumnya,
"Thanks, sweet (terima kasih, manis) kau benar-benar seorang dara yang manis dan hebat!"
Ketika Yamaha sport itu menggerung-gerung keluar dari lapangan terbang, Sundari berdiri menjenguk dibelakang jendela kantornya, termenung sunyi. Bharoto menumpang kereta api express malam BHIMA Surabaja-Jakarta. Malam itu juga ia melakukan pengejaran, menumpang BHIMA dari stasiun Balapan. Kebetulan sekali penumpang express istimewa pada malam hari itu sepi sehingga kamar kelas dua yang diperuntukkan tiga orang itu kini kosong dan hanya dipakai oleh Bharoto seorang. Ia merasa lega dapat enak mengaso sekarang, Ia kurang tidur dan lelah sekali.
Perlu menghimpun tenaga dan kesegaran otak untuk menghadapi lawan tangguh di Jakarta. Siapa tahu ia akan menghadapi komplotan penjahat yang kuat. Ia merasa sajang bahwa kali ini ia harus berjuang melawan kejahatan tanpa bantuan Alit. Biasanya Alit tak pernah ketinggalan dan selalu merupakan pembantunya yang setia dan boleh diandalkan dalam penggunaan tenaga kasar sungguhpun sahabatnya itu sama sekali tak boleh diharapkan dalam urusan yang membutuhkan kecerdasan otak. Akan tetapi ia sudah meninggalkan pesan tadi bahwa begitu merasa diri sudah kuat, Alit boleh menyusulnya ke Jakarta. Bharoto juga kasihan ketika melihat betapa tadi Alit tampak kecewa sekali karena terpaksa harus membiarkan Bharoto pergi sendiri. Pada keesokan harinya, Bharoto turun dari BHIMA dan keluar dari stasiun Kota dalam keadaan segar. Semalam ia tidur nyenyak dan semua kelelahannya telah hilang.
Sebelum melakukan penyelidikan ia harus menghubungi kepolisian. Detektif muda ini bukanlah orang yang asing di Jakarta. Para pembesar kepolisian di ibukota sudah mengenalnya baik-baik karena sudah kerapkali Detektif ini menyumbangkan tenaganya untuk membongkar kejahatan di Jakarta. Juga kota besar dengan lika-liku jalannya yang ruwet ini bukan tempat asing bagi Bharoto. Peta Jakarta seakan sudah terggambar ditelapak tangan kirinya dan ia mengenal semua lorong sempit dan jalan buntu. Para komandan polisi terkejut juga mendengar laporan Bharoto tentang pembunuhan di Solo atas diri seorang warga negara Hongkong itu. Inspektur Bhono yang khusus bertugas mengurus soal-soal pembunuhan, segera mengajak Bharoto kekantornya dimana mereka bicara berdua saja untuk bertukar pikiran.
"Hal yang serius. Bhar. Apakah sudah ada hasil penyelidikanmu?"
Bharoto menggeleng kepala. Sudah menjadi wataknya tidak akan memberi tahu kepada siapapun juga tentang cara penyelidikannya, kecuali kepada Alit, itupun hal-hal yang lumrah saja. Setelah ada bukti-bukti dan rencananya berjalan baik, keadaan sudah matang untuk melakukan penggerebekan, barulah ia mau membuka details (hal terperinci) kepada komandan polisi. Apalagi dalam urusan yang sedang ia selidiki ini, ia sama sekali belum memperoleh bukti. Baru dugaannya saja bahwa Eva Srimurti atau Linda terlibat dalam urusan itu, juga baru dugaannya saja bahwa dua orang asing yang mengerojok Alit itupun terlibat. Ia tidak mau bertindak tergesa-gesa atau gegabah, apa lagi dalam hal ini ia mengbadapi dara berwajah dan bertubuh bidadari akan tetapi selicin kuntilanak!
"Sayang sekali belum ada hasilnya, Inspektur. Saja baru membayangi seorang yang saya curigai. Pembunuhan itu dilakukan ditempat umum, yaitu di alun-alu utara, tidak meninggalkan bekas-bekas kecuali kenyataan yang membayangkan bahwa ia terbunuh bukan karena hendak dirampok."
Inspektur Bhono yang sudah mengenal baik watak Bharoto, mengangguk-angguk.
"Baiklah, kau teruskan penyelidikanmu, Bhar. Akan tetapi berhati-hatilah, kini banyak tersinyalir adanya bandit-bandit menyelundup masuk dari luar negeri. Sudah ada peringatan dari kepolisian Singapore dan Bangkok bahwa diduga beberapa orang penjahat melarikan diri dari sana menyelundup ke Indonesia. Dan harus kau ingat lagi tokoh-tokoh dunia hitam di ibukota yang tentu masih belum lupa kepadamu. Mereka setiap saat menanti kesempatan untuk membuat perhitungan denganmu."
Bharoto tersenyum dan menepuk dada kirinya dimana tersimpan sebuah senjata api kecil.
"Sikenes (sigenit) pemberianmu masih ada pada saya, Inspektur. Terima kasih atas peringatat anda. Saya akan berhati-hati."
Inspektur Bhono tertawa. Senang hatinya bahwa hadiahnya, sebuah pistol otomatis yang kecil bentuknya, spesial dibuat oleh pabrik senjata di Jerman untuk keperluan ini, masih disimpan dan dihargai oleh Bharoto, malah disebut "Si-kenes"!
"Aku percaya kepadamu, Bhar. Akan tetapi, setiap saat kau berada dalam bahaya atau membutuhkan bantuan, cepat beritahu. Dan untuk saat ini, apakah kau tidak memerlukan bantuanku? Berapa orang hidung tajam misalnya?"
Yang dimaksudkan "hidung tajam"
Oleh inspektur polisi itu adalah polisi penyelidik atau Detektif.
"Terima kasih, inspektur. Sementara ini saya tidak memerlukan bantuan mereka. Hanya, kalau mungkin, saja mohon bantuan anda untuk menghuburgi perwakilan Horgkong atau sebaiknya kepolisian Hongkong untuk minta keterangan tentang seorang warganegara Hongkorg bernama Thomas J. Chia, yaitu orang yang terbunuh di Solo itu."
"Tunggu dulu!"
Inspektur Bhono menekan tombol dibawah mesin tulisnya. kemudian seorang agen polisi masuk.
"Pergi kebagian gambar, panggil Eddy kesini!"
Perintah Inspektur Bhono. Agen polisi memberi salute, lalu pergi. Lima menit kemudian masuklah seorang pemuda tinggi kurus berambut keriting, berpakaian preman membawa sebuah buku gambar dan pensil.
"Perlu dengan saya, Inspektur?"
Ia mengangguk kepada Bharoto yang belum dikenaInya.
"Ed, inilah Detektif Bharoto dari Solo. Bhar, ini Eddy, ahli sketsa (gambar sketsa) kami."
Mereka bersalaman dan jelas terbayang kekaguman dimata pemuda ahli sketsa itu.
"Nah, kau ceritakan kepada Eddy bentuk muka Thomas J. Chia itu, Bhar."
Bharoto mengerutkan kening mengingat-ingat wajah mayat itu, mulutnya berkata lambat-lambat,
"Kepala bundar sempurna, rambut hitam tebal sampai ketelinga, dipisah pinggir kiri, bagian depan berombak. Kening lebar bergaris melintang dua buah, sepasang alis tebal agak pendek, hidung mancung bibir agak tebal tapi tampan bentuknya senyum sombong, ada lekuk dibawah bibir, dagu keras berlekuk tengahnya, telinga lebar agak tebal, rambut depan telinga panjang, tanpa kumis, leher kuat perawakan athlete. Nah, cukupkah?"
Eddy yang tadi mencorat-coret dengan pensilnya diatas kertas gambar, memperlihatkan basil coretannya dan berkata sungkan-sungkan,
"Mungkin kurang cocok, harap beritahu bagian mana yang kurang tepat."
Bharoto memandang. Jelas tampak sketsa diatas kertas putih itu. Coretan yang penuh mengandung watak orang yang ia ceritakan keadaannya tadi.
"Kau hebat, Ed!"
Serunya.
"Hanya sedikit selisihnya. Mata itu kurang lebar, hidungnya agak melengkung kebawah ujungnya, dan senyum itu, disketsamu senyum itu mengejek, kukatakan tadi senyumnya membayangkan tinggi hati dan kesombongan."
Eddy mencoret-coret lagi, merobah bagian yang kurang cocok. Berapakali hal ini terjadi dan seperempat jam kemudian Bharoto meloncat dari tempat duduknya dan menepuk punggung Eddy.
"Wah, kalah pesawat potret Canon yang paling modern, Ed! Pesawat potret ratusan ribu rupiah itu hanya dapat membuat gambar sempurna dari benda yang tampak. Tapi kau dapat membuat gambar dari orang yang tak kau lihat, tak kau kenal, dan yang sudah mati. Hebat! Congratulations (selamat!), Inspektur. anda mendapatkan tenaga bantuan yang tak ternilai harganya!"
Eddy tersenyum-senyum malu, Inspektur Bhono tertawa lebar, maklum akan watak Bharoto yang segala sesuatu disambut secara spontaneous (wajar dan terbuka), kecuali dalam tugas penyelidikan.
Tidak lama Bharoto berada dikantor Inspektur Bhono. Ia keluar dari situ sejam kemudian, menunggang sebuah Vespa Scooter Sprint terbaru. Inspektur Bhono hendak memberi pinjaman sebuah Fiat 1100, tapi Bharoto menolaknya. Kepadatan kendaraan di jalan-jalan raya Jakarta memang menyulitkan pengendara mobil. Lebih enak naik sepeda motor atau paling besar sebuah Scooter, dapat menyusup-nyusup diantara mobil-mobil jika lalu lintas macet. Mudah saja bagi Bharoto mendapatkan rumah Eva Srimurti. Ternyata menurut hasil penyelidikannya, dara manis itu didaerah itupun terkenal dengan nama Linda dan terkenal sebagai seorang guru bahasa Inggeris yang mengajar English Conversation (percakapan Bahasa Inggeris) kepada pejabat-pejabat tinggi yang ingin menguasai bahasa ini untuk bekal perjalanan keluar negeri.
Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendapat keterangan bahwa kemarin dara itu memang datang, akan tetapi malam tadi pergi lagi dan sampai hari itu belum pulang. Bharoto tidak berani lancang menemui ibu gadis itu karena ia maklum akan kecerdikan lawannya dan karenanya hendak melakukan penyelidikan secara sembunyi. Lebih baik membiarkan dara itu tidak menduga bahwa la telah membayanginya dan mencari kesempatan dara yang pintar itu terlengah. Dengan amat sabar Bharoto setiap hari siang-malam melakukan pengintaian, kadang-kadang sebagai seorang tukang becak, kadang-kadang sebagai seorang penambal ban, seratus meter jauhnya dari rumah itu, atau sebagai seorang pedagang es-dorong. Pada hari ketiga Bharoto masih belum berhasil melihat dara manis misterius penuh rahasia yang diintainya, akan tetapi dua buah peristiwa hampir saja merenggut nyawanya.
Ketika ia menyamar scbagai tukang becak dan mengemudikan becaknya lambat-lambat dijalan depan rumah yang dibayanginya, tiba-tiba dari belakang meluncur sebuah pick-up menerjangnya. Baiknya, seperti biasa kalau terancam bahaya, getaran aneh dari indera rahasia membuat ia seperti otomatis melemparkan diti dari atas becaknya, bergulingan kedalam selokan dipinggir jalan. Orang-orang menjerit, terdengar suara hiruk-pikuk dan becak itu hancur berantakan, terlempar sampai sepuluh meter lebih. Adapun pick-up itu yang dikendarai oleh seorang laki-laki yang menutupi separuh mukanya dengan topi lebar, terus saja ngebut dan lenyap dari situ! Kejadian kedua ketika ia menyamar sebagai pendorong es-lilin dengan gerobak dorong kecil, juga lewat di jalan itu dan sedang enaknya mendorong didekat sebuah truck yang muat peti-peti barang sambil membunyikan bel seperti biasanya tukang es,
tiba-tiba saja tali yang mengikat peti itu putus dan sebuah peti besar jatuh menimpanya. Kembali indera rahasia telah menolongnya karena gerak refleksnya membuat ia melompat kebelakang sehingga hanya gerobak dotong kecil berikut es-esnya yang tertimpa remuk-remuk! Dua peristiwa ini malah menggembirakan hati dan membangkitkan semangat Bharoto yang selalu haus akan petualangan. Ia akan merasa bosan dan jemu kalau tidak ada reaksi seuatu dari fihak lawan. Dua kejadian itu mengingatkannya bahwa kedatangannya di Jakarta ini telah diketahui lawan, hanya yang menjengkelkan hatinya, lawan yang manakah? Banyak memang lawannya atau bekas lawannya di ibukota seperti dikatakan oleh Inspektur Bhono kemarin dulu.
"Mudah-mudahan saja bukan dari si manis kuntilanak itu datangnya serangan, kalau begitu halnya, takkan ada gunanya aku membayanginya, tentu ia takkan mau muncul,"
Pikirnya. Seorang anak buah Inspektur Bhono memberi isarat kepadanya dan menyampaikan panggilan Inspektur itu. Urusan penting, katanya. Terpaksa malam hari itu Bharoto meninggalkan pos penjagaannya, yaitu sepanjang jalan depan rumah Linda dan langsung ia menemui Inspektur Bhono.
"Ada kabar baik?"
Datang-datang ia ditanya. Bharoto menggeleng kepala.
"Belum ada hasilnya, hanya memancing datang dua kali usaha untuk membunuh saja."
Secara singkat ia menceritakan "kecelakaan"
Yang dua kali itu, kemudian menyambung,
"Urusan penting apakah yang membuat anda memanggil saya, Inspektur?"
"Ada berita tentang Thomas J. Chia yang kau tanyakan itu. Kepolisian Hongkong mengenali gambar itu bukan sebagai Thomas J. Chia, akan tetapi sebagai James Que, seorang pentolan golongan hitam di Hongkong. Pernah ia dihukum karena memalsu uang kertas Hongkong."
Berita ini benar-benar membuat Bharoto tertegun, karena benar-benar sama sekali tak pernah disangkanya.
"Dan nama Thomas J. Chia itu?"
Tanyanya dengan kerongkongan kering sehingga suaranya agak serak. Hal ini adalah karena beberapa malam ia kurang tidur dan hawa udara di Jakarta amat panasnya. Inspektur Bhono menyambar dua botol orange juice (air jeruk) dari dalam sebuah Refrigerator (lemari es) Inspektur yang berpemandangan tajam ini tentu saja dapat melihat keadaan Bharoto yang dengan senyum terima kasih dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menggelogok botol yang segar dingin itu menyirami kerongkongannya yang kering.
"Trims, Inspektur, saya haus benar-benar!"
Bharoto mengusap bibirnya dengan ujung kemeja.
"Bagaimana dengan nama Thomas J. Chia yang digunakan itu? Palsu?"
"Tentu saja palsu, paspornya juga. Memang dia bajingan kaliber besar, yaitu dalam urusan palsu-pemalsuan. James Que ini sudah masuk black-list (daftar hitam) dikantor kepolisian Hongkong."
"Wah-wah, sialan besar. Jadi saja montang-manting ini semata-mata untuk membela kematian seorang gangster (penjahat)?"
Inspektur Bhono tertawa lebar.
"Penjahat atau bukan, kalau terbunuh sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelidiki dan menangkap pembunuhnya, Bhar. Itu pelanggaran hukum, kan? Jangan kenyataan bahwa sikorban seorang jahat kau lalu kurang semangat untuk menyelidiki dan membongkar perkara pembunuhan."
"Terima kasih, Inspektur. Bukan berkurang semangat saya, melainkan saya agak kecewa dan sekaligus anti-pati (rasa tak suka) saja terhadap sipembunuh berkurang banyak, karena yang dibunuhnya adalah seorang penjahat."
"Ha-ha-ha, kau sentimental sekali, Bhar!"
Tentu saja Inspektur yang biasanya amat cerdik itu sama sekali tidak tahu bayangan siapa yang tampak dalam benak Detektif muda itu ketika mengatakan bahwa rasa tak sukanya berkurang banyak. Bharoto tidak bercerita sesuatu kepadanya tentang Linda atau Eva Srimurti!
"Dengar Bhar. Sebetulnya kau kupanggil kesini bukan hanya untuk memberi kabar tentang keadaan Thomas J. Chia yang sebetulnya adalah James Que sipemalsu dari Hongkong. Lebih panting lagi perlu kusampaikan, yaitu adanya gejala gelombang pemalsuan uang negara kita."
"Pemalsuan uang?"
"Ya, pemalsuan yang baik sekali. Baru kemarin kami menangkap seorang bernama Siauw Jin ketika ia menyetorkan uang ke bank. Lima ratus ribu rupiah ia setor, dan kesemuanya adalah uang palsu!"
Bharoto terkejut, bukan karena banyaknya jumlah uang palsu itu, melainkan karena heran mendengar ada orang menyetor uang palsu ke sebuah bank. Siapa pernah mendengar perbuatan setolol-tololnya seperti ini? Inspektur Bhono dapat menangkap perasaan Detektif itu, tertawa dan melanjutkan,
"Memang ada cerita lucu tentang peristiwa ini, Bhar. Siauw Jin itu adalah seorang pedagang yang cukup maju perdagangannya. Pada suatu hari padanya datang seorang laki-laki berkumis tebal yang memperlihatkan contoh uang ratusan palsu dan menawarkan kepadanya untuk ditukar dengan nilai setengah. Mula-mula Siauw Jin meragu, akan tetapi laki-laki yang katanya mengaku bernama Drs. Hamid itu mengajaknya kekantor pos, lalu ke bank dimana ia mendemonstrasikan keunggulan uang palsunya itu. Siauw Jin menyaksikan dengan kedua mata sendiri betapa pegawai bank maupun kantor pos sama sekali tidak mencurigai uang kertas ratusan itu. Jatuhlah hatinya, dan karena sebelum menjadi pedagang Siauw Jin pernah berkecimpung di dunia hitam, timbul akal dan tipu-muslihat dalam pikirannya. Mereka bersepakat untuk menukar lima ratus ribu rupiah uang palsu, ditukar dengan dua ratus lima puluh ribu rupiah uang tulen. Si kumis tebal itu menyatakan kekuatirannya bertemu dengan Siauw Jin, didalam rumahnya sambil membawa uang palsu sekian banyaknya. Akhirnya mereka berjanji untuk bertemu dan bertukar uang itu dibelakang gedung bioskop Roxy."
Inspektur Bhono berhenti sebentar untuk minum air jeruknya, sedangkan Bharoto yang mendengarkan penuh perhatian, sudah dapat mengira-ngira apa selanjutnya yang terjadi antara dua orang itu.
"Nah, penukaran terjadilah, sebuali bungkusan rapi dari si kumis tebal ditukar oleh bungkusan rapi lain yang kecilan oleh Siauw Jin. Si kumis tebal merobek sedikit pinggir bungkusan. Mengangguk-angguk, memberi salam lalu menghilang. Siauw Jin diam-diam mentertawakannya, tergesa-gesa lari pulang dan pada keesokan harinya ia segera membawa uang itu ke bank karena hatinya barulah lega kalau uang palsu itu sudah berada dibank. Bank yang dipilihnya adalah bank swasta yang kemarin sudah dicoba dan dimasuki berapa lembar uang palsu oleh si kumis tebal. Siapa kira, begitu menyetor uang, sipegawai bank serta merta tahu akan kepalsuan uang itu, menilpun polisi dan Siauw Jin ditangkap. Ia menyumpah-nyumpah dan baru ia tabu bahwa ia ditipu. Uang yang didemonstrasikan tentu saja bukan uang palsu! Lucunya, dalam tukar-menukar Siauw Jin berlaku curang yang dianggapnya sendiri cerdik. Bukan uang tulen dua ratus lima puluh ribu rupiah yang berada dalam bungkusannya yang rapi, melainkan kertas koran yang dipotong rapi seukuran kertas ratusan dan hanya dibagian muka dan belakangnya saja ditutup uang ratusan tulen, jadi hanya beberapa lembar saja."
Mau tak mau Bharoto tersenyum geli.
"Kalau bajingan beraksi terhadap pencoleng, terjadilah hal-hal lucu. Baiknya orang macam Siauw Jin itu diganjar hukuman yang dapat membikin ia bertobat. Sudah baik-baik berdagang, mengapa main-main lagi dengan pekerjaan hitam?"
"Hakimlah yang berwenang untuk itu. Tapi, lucu juga melihat mukanya ketika ia ditangkap, dan tahu bahwa ia ditipu, ia memukuli kepala sendiri, memaki-maki kebodohannya sendiri."
"Ha- ha, saya ingin sekali melihat Pula wajah si kumis tebal itu kalau ia membuka bungkusan terisi kertas koran!"
Keduanya tertawa bergelak, tapi sebentar kemudian Inspektur Bhono kembali serius.
"Nah, soal uang palsu inilah yang penting, Bhar. Siapa tahu ada tali-temalinya dengan urusan yang sedang kau selidiki. Kebetulan sekali ataukah memang ada hubungannya? James Que ahli pemalsu uang, dan kemunculannya dibarengi dengan munculnya uang palsu. Bukankah ini mencurigakan? Siapa tahu keahlian James Que ikut memegang peran dalam pembuatan uang itu."
Bharoto mengerutkan kening, berpikir keras. Memang ada kemungkinan itu. Apalagi kalau diingat bahwa Linda pernah menjadi penyelundup!
"Terima kasih, Inspektur, atas semua keterangan tadi. Akan saja coba menyelidiki kemungkinan hubungan antara kedua urusan ini. Saya harap saja anda akan dapat segera menangkap si kumis tebal itu, tapi tentu saja kumis tebal palsunya sudah lenyap."
"Hemm, bagaimana kau dapat menduga dia berkumis palsu?"
"Kalau menjadi penjahat pengedar uang, saya akan mengenakan kumis palsu dan seandainya saya berkumis, akan saya cukur bersih kumis saya. Dan biasanya pendapat saya ini cocok dengan jalan pikiran para tokoh kita yang manis, Inspektur."
Setelah berkata demikian, Bharoto yang sudah berdiri diambang pintu itu lenyap. Inspektur Bhono mengangguk-angguk, Cepat merobah atau membubuhi sesuatu pada perintahnya untuk mencari dan menangkap si kumis tebal. Berkumis atau tidak, orang yang wajah dan bentuk tubuhnya digambarkan oleh Siauw Jin, harus ditangkap.
Sementara itu, diluar kota Jakarta, dijalan raya lebar sunyi yang menuju ke Bogor, terjadi hal yang mengerikan. Jalan raya itu sunyi tak ada orang lewat diwaktu magrib itu, kecuali tentu saja mobil sedan dan truk yang mengebut kencang berdulu-duluan. Entah berapa banyak kecelakaan lalu-lintas terjadi dijalan ini. Setiap orang sopir mengakui bahwa apabila dia mengendarai mobil lewat jalan raya ini, tentu timbul dorongan untuk ngebut.
Siapa orangnya tidak akan timbul keinginan menekan gas lebih dalam kalau melihat semua kendaraan dari depan dan belakang membalap dijalan beraspal licin dan lebar itu? Memang, sebagian besar kecelakaan lalu-lintas terjadi pada jalan-jalan yang lebar, rata dan yang kelihatannya aman. Pada saat itu, cuaca sudah remang-remang dalam pergantian antara senja dan petang. Hutan karet yang berada dipinggir jalan tampak sunyi, gelap dan menyeramkan. Apalagi sore hari itu mendung saja, dan angin yang bertiup kencang mendatangkan hawa yang tidak enak. Biasanya kalau hawa udara nyaman, apalagi pada malam minggu, hutan kecil ini menjadi tempat rekreasi (hiburan) para muda, malah akhir-akhir ini disinyalir adanya gejala demoralisasi yang timbul diantara pertemuan "dua-duaan"
Ditempat gelap bawah pohon-pohon karet itu!
Akan tetapi sekarang keadaannya benar-benar sepi. Tamu-tamu yang biasanya terdiri daripada orang-orang muda keluarga "the haves" (sikaja) dari Jakarta tentu tidak mau singgah untuk kemudian di siram air hujan. Betapapun juga, masih ada sebuah sedan Fiat hitam berparkir dipinggir jalan. Penghuni sedan itu kosong. Hal yang begini sudah terlalu biasa terjadi dijalan itu sehingga tidak menarik perhatian lagi. Tak seorangpun diantara para penumpang kendaraan yang lewat disitu menaruh perhatian, bahkan menolehpun tidak. Padahal disitu terjadi hal yang aneh. Ketika Fiat itu tadi berhenti dari jurusan Jakarta, kemudian menanti saat sepinya lalu-lintas yang kadang-kadang, bcberapa menit sekali, terjadi, dua orang laki-laki turun bergegas dari dalam mobil.
Anehnya, orang yang turun lebih dulu mukanya pucat, tubuhnya gementaran sedangkan orang kedua yang bertubuh gemuk pendek mengikutinya dari belakang sambil menodongkan sebuah pistol. Mereka bergerak memasuki hutan karet sampai diujung, dipinggir jurang dan cukup jauh sehingga tak kelihatan dari jalan raya. Laki-laki yang ditodong itu wajahnya persis seperti yang digambarkan oleh Siauw Jin, akan tetapi, tepat seperti dugaan Bharoto, ia kini tak berkumis lagi. Mukanya pucat dan matanya liar ketakutan. Sebaliknya, laki-laki gemuk pendek yang menodongnya, gerak-geriknya tenang, mulutnya yang kaku tarikannya dan matanya yang berapi kejam itu menandakan bahwa ia amat marah.
..". Ampunkan saya..."
Tiba-tiba si muka pucat itu menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya seperti orang menyembah.
"Ampunkan saya, Pak Abas... sungguh mati, saya hanya ingin membuktikan"
Kesempurnaan uang itu..."
"Jahanam...! Kau mengacaukan rencanaku!"
Sebuah tendangan kilat menyambar dan ujung sepatu hitam itu mengenai dagu, membuat si muka pucat mengaduh dan terjengkang. Ia merangkak bangun, sekali lagi tendangan yang keras dan terlatih menghantam arah perutnya. Ngekk! Orang itu melingkar-lingkar sambil menekan perutnya.
..". Ampun... Pak Abas... saya... saya... tidak menerima uang... saya... ditipu oleh Siauw Jin... isi bungkusannya hanya kertas koran..."
"Jahanam! Siapa butuh uang sebegitu? Tahu kau apa hukumannya bagi yang berani menghianati aku? Kenal betul kau siapa Abas Dinamit?"
Rasa takut mengalahkan rasa nyeri. Orang itu berlutut-lutut dan menyembah ujung sepatu.
"Ampun, Pak Abas... karena contoh itu dianggap kurang sempurna... dan sayang kalau dibakar... maka saya... saya pikir lebih baik..."
"Kepala kerbau! Goblok kau! Apa perintahku kepadamu? Kuperingatkan kau membakar contoh-contoh yang tidak baik itu dan memerintahkan mencoba lagi dengan tinta baru. Eh, kau berani mengedarkan contoh gagal itu keluar. Kau mau membongkar rahasia, ku?"
"Tidak... tidak..., ampun!"
"Tidak ada ampun bagimu!"
Mendengar kata-kata penuh geram ini, orang yang tadinya berlutut menyembah-nyembah, yang kesemuanya itu hanyalah akal bajingannya saja, tiba-tiba menerjang dengan pukulan kearah perut gendut dan dibawahnya. Biarpun si gendut yang bernama Abas Dinamit itu memegang pistol, kalau serangan kearah bagian tubuh yang berbahaya ini berhasil, Kiranya ia akan roboh seketika itu juga. Akan tetapi benar-benar mengagumkan bagaimana tubuh pendek gendut yang pantasnya lamban gerakannya itu dengan gerakan kaki yang tangkas lincah dapat mengelak kekiri sehingga terjangan si muka pucat itu mengenai tempat kosong. Dalam kenekatan dan rasa takutnya, kembali si muka pucat membalik dan menerjang, matanya liar terbelalak merah, napasnya terengah-engah, mukanya berubah seperti muka setan, penuh ketakutan bercampur kebencian dan kengerian.
"Heh-heh, kau berani melawan, ya?"
Abas Dinamit berkata, dengan tenang ia malah memasukkan pistolnya kedalam saku jasnya, sekali kakinya menyambar kedepan, kembali lawannya roboh terjengkang.
Orang yang terancam bahaya maut memang dapat timbul kenekatannya, demikian pula si muka pucat itu. Ia cukup mengenal Abas Dinamit, pentolan gangster yang tak mengenal ampun. Ia tahu bahwa merengek minta ampun tiada artinya, dan bahwa ia tentu akan dibunuh. Oleh karena itu dengan nekat tanpa memperdulikan rasa nyeri akibat tendangan itu, ia bangkit dan menyerbu lagi tanpa menggunakan teori perkelahian lagi, kedua lengannya diangkat, jari-jari tangannya seperti kuku harimau hendak mencengkeram. Namun Abas Dinamit sambil terkekeh-kekeh menerima setiap terjangan dengan sebuah tendangan yang keras dan tepat. Agaknya si gemuk pendek ini memang jago tendang, setidaknya tentu dia pernah berlatih main bal. Akan tetapi kedudukan kaki dan gerakan tubuhnya jelas menyatakan bahwa kepala penjahat ini memang mahir ilmu pencak silat.
Lawannya jatuh bangun dan pada saat itu, diantara suara gemuruh dan sambaran kilat, hujan mulai turun. Keadaan didalam hutan itu mulai gelap, namun pertempuran mati-matian itu berlangsung terus. Sebetulnya bukan merupakan pertempuran lagi, lebih tepat disebut penyiksaan, setiap kali si muka pucat itu bangun, ia segera roboh kembali oleh tendangan-tendangan keras dibarengi suara ketawa mengejek. Memang luar biasa si pendek gemuk ini. Tak pernah ia menggunakan kedua tangannya. Hanya kedua kakinya saja yang bergerak dan lawannya dibuat jatuh bangun! Penyiksaan itu baru berhenti sesudah sebuah tendangan keras pada pangkal telinga membuat si muka pucat itu tak dapat bangun kembali, mukanya matang biru, tulang-tulang iganya patah-patah.
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo