Ceritasilat Novel Online

Geger Solo 1


Geger Solo Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Nama-nama para toko dalam cerita ini hanyalah khayalan belaka. Persamaan nama dengan siapapun juga hanya merupakan suatu kebetulan yang tak disengaja.

   Pengarang

   KATA Pengantar

   Para pembaca yang budiman,

   Untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah pada 13 tahun yang lalu dimana kota Solo dan sekitarnya dilanda banjir bandang yang amat dahsyat, kami persembahkan buku "Geger Solo"

   Ini kepada Anda semua yang ditulis oleh pengarang kesayangan kita, yaitu Bapak Asmaraman S. Kho Ping Hoo.

   Memang cerita ini hanya khayal belaka, akan tetapi toh lakar belakangnya adalah kejadian yang nyata. Air telah menghancurkan ratusan rumah, menghayutkan ribuan ternak dan ribuan kepala keluarga menderita hebat akibat mengamuknya Bengawan Solo itu. Kerugian ditaksir ribuan milyard rupiah dan untuk kota Solo sendiri setiap harinya telah dikerahkan 4000 orang yang bekerja non-stop selama 24 jam untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat banjir bandang ini. Empat tanggul jebol, dan yang terpanjang jebolnya mencapai 191 m. Sungguh luar biasa!

   Dan ini masih belum termasuk kota-kota sekitarnya seperti Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Sragen dan Klaten. Bahkan untuk Klaten, tanggul Sungai Wedi, Dengkong dan Mlese putus sepanjang 1700 m dan jalan-jalan yang rusak tercatat sepanjang 50 km! Dan di Sukoharjo sendiri, sebuah dukuh yang bernama dukuh Jumetro lenyap disambar air bah! Demikianlah menurut beberapa catatan yang kami peroleh.

   Dari sini saja dapatlah kiranya Anda bayangkan betapa luar biasanya musibah itu, malapetaka yang tidak kepalang tanggung dan yang telah menelan kerugian yang amat besar. Banjir bandang yang terjadi pada hari Rabu 16 Maret 1966 pada 13 tahun yang lalu itu benar-benar amat dahsyat sekali dan secara resmi telah dinyatakan sebagai suatu Bencana Nasional oleh Kepala Negara.

   Dan kini, untuk mengenang kembali peristiwa itu, kami sajikan kepada Anda buku ini yang ditulis secara mengasyikkan oleh pengarang kesayangan Anda. Bengawan Solo telah menghayutkan banyak harta, dan sekarang Anda kami ajak untuk "dihayutkan"

   Oleh buku "Geger Solo"

   Hasil karya Bapak Asmaraman S. Kho Ping Hoo ini!

   Selamat menikmati!

   PENERBIT

   *----------** G E G E R S O L O **------*

   (Banjir Bandang)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   TANGGAL 16 MARET 1966! Tepat tengah malam mulainya. Sekira jam duabelas tengah malam Solo geger! Bukan geger karena perbuatan manusia jahat, melainkan geger karena bencana alam yang luar biasa. Seluruh kota madya Surakarta, kecuali hanya sedikit bagian utara barat, diamuk banjir yang datang menyerbu secara liar dan tiba-tiba.

   "Whrrrr"".. krasak krasak krasak".. whrrrrr""whrrrr"..!"

   Suara air bah yang datang bergulung-gulung, air merah kekuningan yang mengerikan, datang menyerbu kota Solo bagaikan barisan maut yang ganas menyeramkan.

   "Seperti suara ombak-ombak Segara Kidul,"

   Kata seorang.

   "Seperti air Gerojogan Sewu di Tawangmangu,"

   Kata yang lain.

   "Seperti express malam,"

   Kata yag lain pula. Pendeknya, suara yang menderu, kemersak, menggerosok itu amat mengerikan, apalagi ketika suara dahsyat ini menelan pekik jerit tangis manusia-manusia yang hanya terdengar sayup-sayup,

   "Tolong""

   Toloooonggg"". tolooonggg""."

   "Tung-tung-tung-tung".. tung-tung-tung-tung".tung-tung-tung-tung."

   "Tok-tok-tok-tok-tok"". tok-tok-tok-tok""

   Tok-tok-tok-tok".!"

   Bunyi kentongan empat kali tanda banjir membuat suasana menjadi makin seram, makin geger. Namun masih kalah oleh suara air yang makin lama makin keras itu. Penduduk kota Solo yang daerahnya belum terlanda banjir, menjadi bingung dan panic mendengar suara kentongan bertalu-talut itu.

   "Dari selatan""!"

   "Lho, itu di barat juga"..!"

   "Eh, kok ada kentong titir dari timur"""

   "Dan di utara"..!"

   Memang hebat! Setiap orang penduduk merasa seakan-akan diancam malapetaka dari semua penjuru, membuat bulu tengkuk meremang. Apalagi setelah suara air yang merobohkan rumah-rumah, menghayutkan balok-balok ratusan kilogram, makin menggeroso seakan-akan air laut kidul sudah berpindah meluap sampai di kota Solo!

   Olah terjang penduduk yang panik ketakutan seperti gabah diinteri, berlari-larian ke barat ke timur, ke selatan ke utara mencari tempat yang menurut perhitungan masing-masing merupakan tempat aman. Ada yang mencari anaknya, ada yang pergi mengungsi seanak bini membawa tikar bantal. Ada yang menangis karena belum berjumpa dengan kerabat serumah. Rumah-rumah loteng menjadi sasaran, merupakan tempat yang paling membesarkan hati, dianggap sebagai tempat yang paling aman. Semua keributan dan geger-geger ini terjadi di tengah malam. Lebih hebat lagi kepanikan penduduk ketika aliran listerik diputuskan, sengaja diputuskan oleh yang berwajib, sebuah tindakan yang amat tepat pada saat itu.

   Bayangkan saja kalau hal ini tidak cepat-cepat dilakukan. Banyak tiang listerik roboh tumbang, kabel listerik malang melintang. Kalau semua itu masih mengandung aliran listerik""! Tanggul tinggi yang melindungi kota Solo terhadap amukan Bengawan Solo di musim hujan, bobol di lima tempat! Peristiwa bersejarah yang mengerikan, yang belum pernah dialami oleh wong Solo, baik yang sudah kakek-kakek berusia lima enam puluhan tahun sekalipun, apalagi yang muda-muda! Ada penduduk dekat tanggul bobol yang begitu mendengar suara ribut-ribut, terjaga dari tidur, meloncat ke""

   Air yang sudah menerobos memasuki rumahnya selagi ia masih enak tidur! Dan hebatnya, beberapa menit kemudian ia harus berenang di depan rumah yang tadinya merupakan pekarangan, untuk mencari tempat aman.

   Ada yang bangun sudah melihat dalam rumah ada air setinggi lutut, dan begitu membuka pintu, air dari luar membanjir masuk, membuat ia hanyut dan terjengkang-jengkang! Ada pula (dan ini banyak sekali) orang-orang tua yang bersitegang tidak mau diajak mengungsi oleh yang muda-muda karena katanya, berpuluh tahun mereka tinggal di Solo, belum pernah terjadi banjir sampai air merendam rumah. Air sudah berada di ambang pintu dikatakan bahwa tak mungkin air akan setinggi meja, air sudah setinggi lutut dikatakan tak mungkin air akan sampai di leher. Setelah air betul-betul sampai mendekati mulut dan hidung barulah kakek-kakek ini menjerit-jerit dan mau dinaikkan getek atau rakit dari batang pohon pisang, untuk pergi mencari ke tempat aman. Ah, memang banyak terjadi hal-hal lucu menyedihkan.

   Lebih banyak lagi terjadi hal-hal yang amat mengharukan hati, hal-hal yang menyeramkan dan menyedihkan hati. Selain mereka yang tidak ada kesempatan lagi untuk lari dari air yang datang secara mendadak itu dan hanyut oleh air bah, banyak yang harus bergulat mati-matian dengan cengkeraman maut yang merupakan air merah kekuningan itu. Ada ayah bunda yang karena sibuk berusaha menyelamatkan harta benda sampai lupa kepada anak mereka yang masih kecil dan baru tahu setelah anak itu menjerit-jerit minta tolong karena diseret oleh air. Sia-sia saja mereka menjerit-jerit dan mengejar, karena air amat santer (deras). Ada yang kukuh tidak mau keluar meninggalkan rumahnya karena sayang akan harta benda sampai air datang dan memenuhi semua kamar sehingga dia mati ditelan air di dalam kamarnya.

   Ada yang menyelamatkan diri naik ke atas pian (langit-langit), yakin bahwa tak mungkin air sampai mencapai tempat setinggi itu, namun". Kelak orang-orang hanya akan mendapatkan dia mati di tempat itu karena air sudah menutup seluruh langit-langit dan dia yang bersembunyi atau menyelamatkan diri ke tempat itu seperti tikus-tikus dalam kurungan perangkap lalu dimasukkan air sampai mati! Ada pula yang dengan anak isterinya naik ke atas genteng. Makin tinggi air naik seakan-akan sengaja mengejar mereka, makin tinggi mereka memanjat terus ke atas genteng, namun air terus mengejar sampai tidak ada tempat lagi untuk naik ke tempat yang lebih tinggi karena kerpus genteng sudah tertutup air! Ada yang selama sehari dua malam harus memeluk cabang pohon, tak dapat turun, tidak makan dan hanya minum air bah yang merah kekuningan dan amat kotor itu.

   Takkan ada habisnya kalau diceritakan penglaman setiap orang penduduk Solo yang mengalami banjir bandang yang maha dahsyat ini, pengalaman yang hebat, yang satu lebih mengerikan daripada yang lain. Anehnya, dan terutama sekali penulis karangan ini yang merasainya pada malam hari itu, angkasa raya nampaknya indah berseri, bintang kilau-kemilau, langit bersih, demikian tenteram, demikian damai, demikian indah berseri seakan-akan menikmati tontonan di bawah, tontonan yang mungkin sekali mereka anggap sebagai bukti daripada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Adil, yang berhak mencipta, berhak memelihara dan berhak merusak. Tuhan yang bersifat Rahman dan Rahim, penuh berkah, penuh welas asih, penuh anugerah, akan tetapi juga ada kalanya penghukum yang tak dapat ditawar-tawar lagi!

   Penduduk geger dan selama DUA MALAM SATU HARI air terus menaik. Baru pada hari Jum"at air mulai menurun dan makin lama makin cepat menurun seakan-akan air bah itu mempunyai nyawa dan bergesa-gesa setelah berpesta pora di kota Solo. Semua itu terjadi seperti dalam mimpi.

   Penulis mengajak para pembaca yang pernah mengunjungi kota Solo nan indah untuk membayangkan sebentar. Bayangkan saja, Pasar Gede di pusat kota Solo itu telah menjadi telaga sedalam dua meter! Bayangkan saja, alun-alun keraton telah menjadi lautan dengan airnya berombak-ombak. Pasar Tri-windu berikut alun-alun Mangkunegaran telah menjadi muara! Jalan-jalan besar seperti pasar Pon, Coyudan, Pasar Kliwon, Warung Palem, Ketandan dan seluruh daerah pertokoan semua telah berubah menjadi sungai-sungai yang deras airnya! Sukar sekali dipercaya, bukan? Ratusan, bahkan ribuan milyard ludas dalam malapetaka ini. Hampir semua toko, kiranya takkan berlebihan kalau dikatakan tujupuluh lima prosen, terendam air dan semua dagangan dalam toko habis, rusak binasa. Air bah itu luar biasa sekali, selain kota membawa lumpur yang merah kekuningan, juga meninggalkan bau yang amat busuk.

   Pendeknya, malapetakan 16 Maret 1966 di Solo itu membuat kota Solo lumpuh, terutama sekali di bidang perdagangan. Namun, hal ini penulis yakin benar, tidak akan melumpuhkan semangat wong Solo yang terkenal tahan uji, sabar tawakal, setia dan "nrimo"

   Itu. Buktinya? Lebih banyak tersenyum dilontarkan daripada keluh-kesah. Dan beberapa hai kemudian Solo yang tadinya setengah mati sudah hidup kembali, sungguhpun tentu saja, kotanya sendiri masih "berkabung"

   Memperlihatkan wajah yang sedih dan buruk, di mana-mana kuning kotor, jalan-jalan rusak, dan berbau tak sedap.

   Mari kita kembali pada tanggal 16 Maret 1966 tengah malam, sekira jam dua malam sewaktu banjir sedang hebat-hebatnya karena baru tiba dan menggegerkan penduduk yan tidak bersiap sedia dan tidak menyangka-nyangka. Penduduk yang rumahnya belum kebanjiran, cepat mengadakan usaha pertolongan sedapatnya. Para anggauta Hanra segera bertindak, tanpa menanti komando lagi. Para pemuda, tak perduli dia itu siapa dan dari golongan mana, segera turun tangan tanpa diminta lagi.

   Tepat sekali ucapan suci yang berbunyi.

   "Bahagialah orang yang menderita". Di dalam penderitaan manusia selalu mendekati Tuhan, manusia selalu bersatu, permusuhan apapun juga lenyap terganti oleh rasa kasih-mengasihi, tolong-menolong, dan di dalam menghadapi malapetaka, inilah perikemanusian menonjol sekali. Dan setiap malapetaka besar yang ditimbulkan oleh bencana alam, muncul pahlawan-pahlawan yang heroik. Demikianpun dalam bencana banjir Solo yang dahsyat ini. Demi perikemanusian mereka ini telah gugur, hanyut oleh arus banjir ketika mereka tengah berusaha menolong para korban. Mereka ini patut diingat sebagai pahlawan perikemanusian dengan perbuatan dan pengorbanan mereka yang heroik. Di antara mereka ini adalah Soetandyo Saranto, seorang pemuda mahasiswa, anggauta Mahasura di Surakarta.

   Rumah Sukardi termasuk wilayah Kelurahan Gandekan, bagian yang rendah, maka paling hebat menderita akibat bencana alam itu. Sukardi belum lama tinggal di situ, baru setahun lebih. Isterinya memang orang Solo, akan tetapi Sukardi sendiri adalah orang dari Ciamis di Jawa Barat. Mereka baru tiga tahun menikah dan baru mempunyai seorang anak laki-laki berusia setahun lebih.

   Seperti juga sebagian besar tetangganya, Sukardi dan Nuryati, isterinya, juga tidak mau percaya bahwa air bah akan sampai di kampung mereka, maka merekapun enak-enak saja di malam hari itu, tidak pergi mengungsi seperti halnya beberapa orang yang tadinya dianggap "terlalu penakut". Malah Sukardi dan isterinya baru terjaga dari tidur mereka ketika Iryanto anak mereka menjerit-jerit dan menangis. ula-mula Nuryati yang terjaga lebih dulu. Segera ibu muda ini memeluk dan menepuk-nepuk anaknya, gerakan otomatis seorang ibu muda dan dalam keadaan bagaimanapun juga. Padahal ia merasa kaget dan terheran-heran karena mendengar suara yang tidak keruan, hiruk-pikuk yang seakan-akan ada seribu ekor ular berdesis-desis di bawah ranjangnya. Keadaan gelap sekali.

   "Kak".. ! Kak Kardi""! Kak, bangunlah, kak. Lampunya mati!"

   Bisiknya disusul dengan panggilan nyaring dan mengguncang-guncang pundak suaminya.

   "Emmmm"."

   Sukardi mengulet.

   "".. aya naon, Nur? Mani ngareureuwas"

   Aeh geuning lampuna pareum".! (Ada apa, Nur? Membikin kaget saja". Eh, kok lampunya padam)."

   "Pasang lilin di atas meja toilet, kak. Lekas, suara apa sih ini?"

   Nuryati mulai ketakutan.

   "Oke-oke, sabarlah."

   Sukardi meloncat dari atas tempat tidur dan"..

   "byuur"..!"

   Ia terjatuh ke dalam air.

   "Masya Allah, Nur""

   Apa in"..? Lho". Kok di mana-mana air?"

   Terdengar dalam gelap Sukardi jalan menggerobok air, menggagapi meja mencari lilin dan korek api. Baru saja korek api dinyalakan belum sempat menyalakan lilin, pandang mata Sukardi dan Nuryati sudah melihat keadaan kamar mereka. Api segera padam lagi namun sudah cukup mereka melihat.

   "Masya Allah".!"

   Seru Sukardi.

   "Aduh celaka, kak""

   Banjir! Cepat ". hayo lari"."

   Nuryati tergesa-gesa menggendong Iryanto yang tidak menangis lagi, agaknya kaget heran dan bingung mendengar ayah ibunya. Sekarang baru terdengar jelas oleh mereka. Suara air yang mengamuk, suara orang-orang minta tolong, suara kentong, seakan-akan dunia hendak kiamat rasanya. Tiba-tiba terdengar suara keras,

   "Mas Kardi".. mas Kardi".. tolonglah aku".!"

   Suara minta tolong ini disusul jerit wanita dan tangis anak-anak.

   "Itu suara Pak Wignyo".. isteri dan anak-anaknya"..! Nur, aku harus melihat di luar dan menolong mereka"""

   Di dalam gelap terdengar Sukardi berlari mengerobok air menuju ke pintu depan.

   "Kak".. jangan tinggalkan aku, kak". aduh, bagaimana ini".?"

   Nuryati mengeluh ketakutan ketika ia turun menggendong Iryanto, ternyata air sudah melebihi lututnya membuat ia cepat-cepat naik kembali ke atas tempat tidur dengan panik. Tapi suara Nuryati ditelan suara hiruk pikuk di luar rumah seperti suara rumah ambruk dibarengi jeritan-jeritan dan tangisan-tangisan yang menyayat hati.

   "Kak Kardi"..!"

   Nuryati masih mencoba memanggil suaminya, suaranya terdengar kecil lemah di antara suara-suara dahsyat dari luar itu. Terdengar pintu dibuka dan keluhan Sukardi. Memang Sukardi yang membuka pintu depan dan ia diserbu air yang mengalir masuk. Sebentar saja air di dalam rumah sudah naik!

   "Nur, aku harus tolong mereka".."

   Terdengar suara Sukardi, disusul cebar-cebur orang mengerobok di air.

   "Kak".. aku takut".. aku ikut"..!"

   Nuryati nekat turun dari tempat tidur. Hampir ia menjerit ketika terasa olehnya betapa air sudah naik sampai ke pahanya. Namun ia bergerak terus, keluar dari kamar tidur, menggerayangi dalam gelap, keluar mengandalkan kebiasaan kedua kakinya yang kini terendam air sampai sepaha, dengan tubuh menggigil bukan karena dingin yang tak terasa olehnya di saat itu melainkan karena bingung dan takut.

   "Kak Kardi".!"

   Sampai juga Nuryati akhirnya ke pintu rumahnya. Terengah-engah ia menahan tekanan air yang menyesakkan dada ketika ia tiba dibagian yang rendah sehingga air sampai di perutnya. Karena ambang pintu depan rumahnya agak tinggi, maka ia dapat bernapas agak lega. Akan tetapi, apa yang ia lihat di luar rumah, di antara kegelapan malam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit, membuat ia terbelalak penuh kengerian. Hendak menjerit sekuatnya saking ngeri dan takut, namun lehernya serasa tercekik. Ia harus berpegangan pada kusen pintu agar tidak roboh karena seketika ia merasa pening dan arus air yang luar biasa derasnya, di depan rumah hampir-hampir menyeret kedua kakinya yang sudah terlindung kusen-kusen pintu.

   "Ya Allah".."

   Kata-kata inipun hanya keluar dengan napasnya yang tersedak-sedak. Masih dapat matanya melihat di antara kesuraman yang mengerikan, seorang laki-laki bersusah payah dalam usahanya melepaskan diri dari pada himpitan kayu-kayu dan bambu-bambu sisa rumah pak Wignyo yang ternyata telah ambruk. Akan tetapi ketika laki-laki itu akhirnya berhasil melepaskan diri, arus air bah yang datang menyerbu menangkapnya dan menghanyutkan dengan tenaga yang sukar dilawan lagi. Tenaga mujijat, bukan tenaga manusia.

   "Tolong". Nur".!"

   Tadinya Nuryati dengan penuh kengerian melihat pemandangan yang amat menakutkan ini, melihat seorang laki-laki bergulat dengan maut. Sama sekali tak disangkanya bahwa laki-laki itu adalah suaminya. Maka begitu mendengar suara orang itu, seketika wajahnya menjadi makin pucat.

   "Kak Kardi"..!! Toloooonggg"..!!"

   Ia menjerit-jerit minta tolong dan matanya dibuka selebarnya mengikut bayangan Sukardi yang kini sudah lenyap ditelan kegelapan malam, dan telinganya dibuka selebarnya untuk menangkap suara suaminya, namun tidak ada suara yang amat dikenalnya itu kecuali suara tolong-tolong dari sana-sini. Tubuhnya seketika menjadi lemas, kakinya menggigil dan ia terpeleset anak tangga rumah. Pada saat itu, rupanya air yang amat kuatnya telah merenggut kusen pintu sehingga daun pintu yang didorong-dorong oleh air tidak kuat lagi, engselnya terlepas dan daun pintunya roboh. Saking kaget karena hampir jatuh, membungkuk dan".. gendongan yang tadi dilakukan secara tergesa-gesa terlepas".. byurr". Anaknya terlepas dari gendongan jatuh ke dalam air!

   "Yanto".. Iryanto". Aduh, tolooooggg".! Iryanto"..!"

   Bagaikan seekor harimau betina yang marah melihat anaknya diganggu, Nuryati meloncat ke depan, menerkam ke arah anaknya yang sudah hanyut. Namun tubuh kecil itu hanyut cepat sekali. Nuryati gelagapan, minum air kotor dua tiga teguk, akan tetapi ia pernah belajar berenang.

   "Yanto"..! Yanto".., tungguuu"..! Allah".. tolooonggg".!"

   Nuryati berenang sedapatnya mengejar anaknya yang sudah tak kelihatan lagi, seperti suaminya tadi ditelan gelap. Bahkan tangisnya juga tidak terdengar lagi, kalah oleh suara air yang menderu-deru dan suara robohnya rumah-rumah bilik diseling suara minta tolong dan jerit tangis.

   "Yanto".!"

   Sementara itu, di rumah Prayitno, di lain bagian dari kota Solo, yaitu bagian selatan, juga terjadi geger akibat banjir ini. Sudah semenjak sore tadi rumah Prayitno dijadikan tempat pengungsian oleh penduduk yang berbondong-bondong mengungsi dari selatan yang sudah lebih dulu terlanda banjir. Seperti juga rumah-rumah yang agak besar di daerah ini, rumah Prayitno menampung pengungsi kurang lebih tigapuluh orang yang memenuhi ruangan depan, tengah dan belakang. Biarpun amat repot dan rumah menjadi penuh tak enak ditempati lagi, namun semua penghuni rumah itu, Prayitno, ayah bundanya dan kakeknya, nampak gembira sekali. Memang, tidak ada kebahagian di dunia ini yang melebihi bahagianya orang mendapat kesempatan menolong orang lain yang menderita sengsara.

   Apalagi bagi mbah Setro, kakek Prayitno, amat terasa kebahagian itu. Sambil duduk di atas kursi malasnya yang panjang mbak Setro menghibur para pengungsi. Yang paling mengkal hatinya mendengar obrolan-obrolan mbah Setro adalah Prayitno sendiri. Sudah tentu saja pandangan-pandangan kakeknya itu tidak sesuai dengan pendapat Prayitno, seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun! Hanya karena kesopanan juga pemuda ini terkandang harus ikut mendengarkan obrolan-obrolan kakeknya tanpa membantah, biarpun di dalam hatinya ia menyangkal dan membantah keras. Lebih-lebih mengkal hatinya kalau di antara para pengungsi ada yang menyambut obrolan-obrolan itu dengan segala macam cerita tahyul yang ada hubungannya dengan banjir.

   "Kalian yang tenang saja, mengungsi di sini pasti aman. Biarlah kita bergotong royong, makan seadanya. Kita harus menerima nasib. Banjir bukan buatan manusia, melainkan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa semata. Tak dapat dielakkan lagi, manusia tinggal menerima nasib".."

   Hmmm, pikir Prayitno, akan celakalah kalau kita selalu harus menerima nasib tanpa berdaya. Banjir terjadi karena hujan lebat dan Bengawan Solo yang menampung air kurang dalam atau tanggulnya kurang kuat. Kalau bengawan diperdalam atau diperlebar, kalau tanggulnya tinggi dan kuat, sudah pasti takkan banjir. Tentu saja semua ini hanya terucapkan di dalam hati Prayitno belaka.

   

   "Semua ini sudah kehendak Tuhan,"

   Demikian kakeknya melanjutkan sambil mengebulkan asap rokok cengkeh yang harum gurih.

   "Apa kataku dulu? Ketika ada tanda ajaib di langit sebelah timur empat bulan yang lalu, tanda lintang kemukus (bintang beruap), aku sudah bilang tentu akan ada malapetaka yang hebat, Tuhan telah memberi tanda, tapi manusia yang buta. Hemmm".."

   "Betul, memang semua yang dikatakan mbah Setro itu betul belaka,"

   Sambung seorang pengungsi, seorang laki-laki setengah tua yang kening di antara kedua matanya selalu berkerut seperti seorang ahli pikir yang besar.

   "Memang sebelumnya sudah ada tanda-tanda itu. Tidak hanya lintang kemukus yang sudah agak lama, baru kemarin-kemarin ini ada peristiwa ular besar".. hiiiih, masih meremang bulu tengkukku kalau teringat akan hal itu"."

   Semua orang, lebih selosin yang berkumpul di ruang depan sekeliling kursi malas mbah Setro, memandang pembicara ini, penuh perhatian dan dengan mata berseri seperti biasanya orang menceritakan atau mendengar hal-hal yang aneh dan sensasionil. Pembicara itu tanpa ditanya maklum bahwa semua orang ingin sekali ia melanjutkan penuturannya. Ia tersenyum bangga dan senang, sedapatnya hendak ia perhemat ceritanya agar panjang dan lebih menarik.

   "Belum pernah orang melihat ular yang demikian besarnya. Ular-ular di Sriwedari yang paling besar tidak ada seperempat besarnya. Matanya mencorong seperti lampu senter, berenangnya cepat dengan leher diangkat tinggi. Bukan ular biasa. Yang demikian itu tentu".. amit-amit (maaf-maaf)". Utusan dari Segara Kidul".."

   Ia sengaja berhenti dan menatapi para pendengarnya satu-satu.

   "Lalu bagaimana? Teruskan". teruskan"."

   Embah Setro mendesak, tertarik sekali. Si pencerita makin senang.

   "Ular atau naga itu berenang di tengah-tengah Bengawan Solo, cepat sekali, menurun ke hilir. Banyak orang-orang muda melihatnya. Maklum orang-orang muda tak kenal takut, dilemparinya ular itu dengan batu, akan tetapi ular itu seakan-akan tidak merasa daan berenang terus. Setelah lemparan ketiga kalinya mengenai kepala, ular itu tiba-tiba membalik, berenang cepat sekali, naik mudik ke hulu sungai. Sebentar saja lenyap. Nah, agaknya dia marah sekali lalu mendatangkan bencana banjir".."

   Semua orang yang mendengar penuturan ini merasa seram dan tak seorangpun mengeluarkan suara. Prayitno mengkal sekali hatinya. Sudah banyak ia mendengar ceriera-ceritera angin macam ini. Ingin ia membekuk batang leher orang yang menyebar-nyebarkan ceritera sensasi bohong ini, akan tetapi celakanya, selalu ia mendengar dari orang yang ia tahu betul adalah orang-orang yang tak berdosa, orang-orang yang hanya karena bodohnya maka percaya akan segala macam cerita tahyul seperti ini. Sekarangpun ia melihat kakeknya sudah mengangguk-angguk, seakan-akan "sudah mengerti akan maksud semua itu"! Ia makin penasaran.

   "Apakah paman melihat sendiri ular itu?"

   Tiba-tiba ia bertanya sambil menatap tajam. Orang itu menentang pandang matanya dengan berani.

   "Banyak sekali orang yang melihatnya."

   "Perduli banyak orang itu, yang perlu: Apakah paman melihat ular itu dengan mata kepala sendiri?"

   Prayitno mendesak lagi. Si pencerita tadi menjadi merah mukanya. Sedetik ditentangnya pandang mata Prayitno, lalu dia menunduk dan menggeleng kepala.

   "Melihat sendiri sih tidak".. hanya".. hanya banyak orang melihatnya dan banyak orang menceritakan hal itu. Malah".."

   Ia bersemangat lagi.

   Geger Solo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "malah pak lurah sendiri juga melihatnya"."

   Pada saat itu sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba dari luar terdengar ribut-ribut, yang paling jelas adalah teriakan-teriakan keras,

   "Air makin besar! Sudah mulai naik cepat sekali!!!"

   Semua orang di dalam rumah itu kaget. Si pencerita diikuti oleh orang-orang lain cepat keluar, di belakang Prayitno yang sudah melompat lebih dulu. Benar saja, air sudah sampai di depan pintu rumah! Dan masih terus bergerak maju hendak memasuki rumah. Di jalan kampung yang sudah penuh air itu nampak orang hilir-mudik, berbondong-bondong pergi mengungsi, tergesa-gesa membawa buntalan berisi pakaian dan apa saja yang masih dapat mereka bawa serta.

   "Celaka".. kita harus mengungsi"..!"

   Seru orang yang tadi bercerita tentang ular. Yang lain-lain juga menyatakan demikian dan sibuklah mereka berkemas, untuk pergi mengungsi kedua kalinya.

   "Tenanglah""

   Tenanglah kalian"."

   MBah Setro menghibur mereka dan berusaha sedapatnya mencegah mereka pergi mengungsi.

   "Biarpun banjir membesar, air takkan memasuki rumah ini"."

   "Airnya sudah masuk kok, mbah!"

   Jawab seorang pengungsi yang sibuk mengikat tikar bantal.

   "Masuk juga hanya untuk membasahi lantai ini, takkan tinggi"."

   Bentak mbah Setro.

   "Ah, kami harus pergi mengungsi,"

   Kata si pencerita ular tadi.

   "air tentu akan sampai kesini"."

   Lalu dilanjutkan perlahan kepada seorang pengungsi lain.

   "".. habis utusan Ratu diperolok sih"."

   MBah Setro mendengar ini dan ia menjatuhkan diri di atas korsi malasnya lagi, maklum bahwa dia takkan dapat menahan mereka. Ia hanya bisa mengangguk setiap kali serombongan pengungsi meninggalkan rumah itu, membawa pergi kebanggaan dan kegembiraannya.

   "Bodoh".."

   Gerutunya.

   "mana bisa air naik ke sini? Selama hidupku belum pernah aku mengalami banjir sampai naik ke sini! Huh, dasar penakut bodoh".!"

   Sementara itu, suara kentong makin ribut, suara orang mengungsi makin berisik dan suara air mulai terdengar bergemuruh datang. Prayitno yang sejak tadi keluar, datang berlari-lari, terengah-engah mendapatkan ayah bundanya yang juga mulai berkuatir.

   "Bagaimana, Yit?"

   Tanya pak Gunawan tenang. Pak Gunawan adalah ayah Prayitno, seorang kepala guru S M P. Mereka serumah hanya empat jiwa, kakek Setro, pak Gunawan suami isteri dan Prayitno. Kelima dengan seorang pembantu rumah tangga.

   "Kita harus mengungsi ayah. Cepat-cepat, waktunya tinggal sedikit. Air menaik cepat bukan main, kabarnya". Tanggul bobol."

   "Tanggul bobol??"

   Ayahnya menegas penuh perhatian.

   "Ah, berbahaya kalau begitu. Bune, cepat berkemas, kita mengungsi."

   Prayitno cepat meloncat ke dalam kamarnya sendiri, berganti pakaian Hanra. Dia komandan Hanra di kampungnya, menghadapi keadaan seperti ini sudahlah menjadi kewajibannya untuk mengerahkan kawan-kawannya memberi bantuan kepada para korban banjir. Tentu saja lebih dulu ia harus menyelamatkan keluarganya sendiri. Ketika keluar dari kamar ia hampir bertumbukan dengan ayahnya. Air sudah memasuki rumah, semata kaki lebih.

   "Wah, eyangmu memang sukar diurus, Yit. Tidak mau pergi mengungsi. Bagaimana baiknya?"

   "Mari, pakne, air makin naik dan deras. Aku takut".!"

   Kata ibu Gunawan yang sudah menggendong tas pakaian.

   "Mari kugendong, bu. Bapak dan ibu mengungsi lebih dulu bersama bik Yam (pembantu). Biarlah nanti aku yang membujuk eyang. Lekas, pak, airnya makin naik!"

   Tanpa ragu-ragu lagi Prayitno yang bertubuh kuat menggendong ibunya, gendong belakang menyeberangi air yang sudah hampir selutut, pergi keluar dari kampung menuju ke jalan besar yang lebih tinggi dan masih belum tercapai air.

   "Aku dan ibumu akan mengungsi ke Jebres, ke rumah pamanmu, Yit. Hati-hatilah kau, jangan main-main. Banjir Bengawan Solo biasanya amat berbahaya. Jangan lupa eyangmu lekas-lekas susulkan ke Jebres,"

   Begitu pesan pak Gunawan setelah tiba di tempat kering dan melanjutkan perjalanannya berserta isterinya dan pembantu rumah tangganya.

   "Jangan terlalu lama dengan tugasmu, Yit. Lekas ajak eyang menyusul ke Jebres. Aku sendiri tidak tenang kalau tidak melihat kau dan eyang di dekat kami,"

   Pesan ibunya. Sekembalinya ke rumahnya, dengan kaget Prayitno mendapat kenyataan bahwa air sudah mencapai lututnya! Alangkah cepat. Belum ada lima menit ia mengantar ayah bundanya keluar dari jalan kampung. Didapatinya para pengungsi yang tadinya berada di rumahnya sudah pergi semuanya. Malah para tetangganya juga sudah pergi mengungsi, kecuali beberapa orang laki-laki muda yang sibuk mengurusi barang-barangnya. Mereka itu tentu saja tak perlu dikuatikan, karena tentu pandai berenang atau setidaknya kuat untuk menyelamatkan diri.

   "Eyang, mari kita pergi mengungsi! Lihat, air sudah naik setinggi lutut."

   Prayitno membujuk-bujuk eyangnya. mBah Setro masih enak-enak duduk bersandar di atas kursi malasnya, menyedot roko kretek Menara yang memberobot seperti yang senapan mesin sambil memercikkan api ke atas baju kakek itu, membuat kakek itu tergugup menepuk-nepuk bunga api yang mengancam bajunya. Lalu ia menarik napas panjang, melirik ke bawah, memandang air, mulutnya yang ompong mengejek.

   "Aah, kenapa mesti ketakutan mengdahapi air? Paling tinggi juga selutut atau sepaha. Nanti juga kalau sudah tiba saatnya akan turun sendiri. Mengapa harus pergi mengungsi? Tidak, Yitno, aku tidak mau pergi. Kalau kau takut seperti yang lain-lain, pergilah kau. Biar aku menunggu rumah."

   "Tapi, eyang, air terus naik. Berbahaya"..!"

   "Tak mungkin, paling-paling bisa naik sampai ke paha. Apa bahayanya?"

   "Tapi"

   Tanggulnya bobol, eyang"."

   Oleh kekuatan air korsi malas yang diduduki mbah Setro miring. Kakek itu segera pindah duduk di atas meja yang agak tinggi, memandang cucunya sambil tersenyum mengejek.

   "Masa tanggul kok jebol? Sudahlah, Yit, jangan ribut tidak karuan. Kalau kau takut, lebih baik kau duduk-dudk dekat aku di sini. Biar nanti aku baca mantera, air pasti akan turun"."

   Prayitno jengkel sekali. Kalau bukan kakeknya yang amat ia hormati dan sayang, tentu akan dipaksanya kakek itu keluar dari rumah, dibawa pergi mengungsi tanpa banyak berdebat lagi.

   "Eyang, kenapa kukuh dan bersikeras? Keadaan betul-betul berbahaya sekali, eyang harus segera ikut dengan saya pergi menyusul ayah ke Jebres. Semua tetangga juga sudah pergi, eyang!"

   "Aaah, Yitno, kau tahu apa? Eyangmu sudah hidup puluhan tahun di Solo, sebelum engkau lahir. Sekarang eyangmu ini sudah enampuluh tahun lebih hidup dan tinggal di Solo. Memang, Bengawan Solo setiap rendeng (musim hujan) membanjir, akan tetapi belum pernah banjir sampai ke sini. Paling-paling air yang masuk rumah kita ini hanya sekian itu, takkan menaik"."

   Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang-orang memanggil.

   "Mas Yitno! Mas Yitno! Bagaiman ini, kenapa kau bersembunyi saja?"

   Yitno segera keluar, mengerobok air yang sudah mencapai pahanya. Ternyata empat orang pemuda berpakaian Hanra (Pertahanan Rakyat) telah berada di depan rumah menunggang getek-getek dari pada batang pohon pisang dan bambu. Mereka membawa tambang dan para pemuda ini kelihatan tegang.

   "Bung Yit, tanggul jebol, banyak korban."

   "Baik, aku segera pergi bersama kalian. Oya, coba kalian berdua pergi ke belakang rumah ini, ambil batang-batang pohon pisang yang agak banyak untuk getek. Bambu juga ada di belakang, ambil saja secukupnya. Ini ada tambang besar, bawa serta. Kau Siang, kau pergilah ke toko-toko yang mempunyai drum-drum kosong minta pinjam untuk membuat pengapung-pengapung yang kuat. Aku akan segera menyusul setelah mengungsikan eyangku. Barjo, kau bantu Hok siang mencari pinjaman drum-drum kosong!"

   Setelah membagi-bagi tugas kepada para Hanra itu Prayitno lalu memimpin teman-teman yang diserahi tugas mengumpulkan gedebog pisang dan bambu. Karena air sudah tinggi dan deras alirannya, agaknya sukar juga mengerjakan semua itu. Akan tetapi tak lama kemudian banyak sudah mereka mengumpulkan bahan-bahan getek yang mereka ikat menjadi satu dengan tambang untuk ditarik ke tempat kering dan dibuat getek. Ketika Prayitno kembali memasuki rumahnya, hampir ia berteriak kaget. Air sudah naik begitu tinggi sehingga ia harus berenang. Tak mungkin berjalan mengerobok lagi karena air sudah hampir sampai di lehernya!

   "Eyang"..!"

   Ia memanggil ketika berenang memasuki pintu rumahnya. Tidak ada jawaban. Yitno terus memasuki rumah dan dilihatnya korsi malas dan meja yang tadi dipakai eyangnya sudah terapung terombang-ambing di sudut ruangan.

   "Eyang""!!"

   Prayitno memanggil makin keras, penuh kekuatiran. Timbul penyesalannya kenapa tadi ia tidak memaksa saja eyangnya pergi mengungsi dan kenapa ia tinggalkan. Ia merasa bertanggung jawab dan wajahnya menjadi pucat.

   "Eyang""!!"

   Terdengar batuk-batuk disusul jawaban,

   "Aku di sini."

   Yitno menjadi girang hatinya. Cepat ia berenang memasuki ruangan dalam dan"

   Eyangnya telah duduk di atas lemari makan yang besar dan tinggi! Nampaknya masih tenang-tenang saja. Akan tetapi begitu Prayitno muncul, mbah Setro menegur keras.

   "Yitno, kau tadi bilang apa ketika orang bercerita tentang utusan Ratu Kidul? Nah, inilah jadinya. Air ini bukan wajarnya, kau tahu? Selama hidupku belum pernah aku melihat yang seperti ini. Celaka benar, tentu akan banyak korban manusia"."

   "Saya dan kawan-kawan saya akan segera pergi memberi pertolongan, eyang. Marilah eyang saya antar dulu pergi menyusul ayah ke Jebres"."

   "Apa kau bilang? Mengungsi pergi sedangkan banyak orang terancam bahaya? Tidak! Kaukira hanya kalian orang-orang muda yang bisa berenang? Huh, aku dulu juara berenang, tahu?"

   Setelah berkata demikian".. byurrr! Kakek enampuluh tiga tahun usianya itu terjun ke air dan dengan ringannya berenang keluar dari rumah! Dengan amat cekatan kakek Setro menaiki getek lalu bersama Prayitno dan para anggauta Hanra lainnya, kakek ini ikut membuat getek-getek dan pergi ke daerah yang dekat tanggul. Kalau tadinya ada perasaan mangkel dan jengkel dalam hati Prayitno terhadap kakeknya yang keras kepala dan penuh tahyul, perasaan-perasaan itu sekarang tersapu bersih oleh sikap kakeknya yang gagah berani dan cekatan. Ia memang amat sayang kepada kakeknya dan sekarang ia malah bangga mempunyai seorang kakek seperti mbah Setro!

   Sekitar jam dua malam Prayitno dan kawan-kawannya sudah banyak memberi pertolongan kepada para korban dekat tanggul di daerah kelurahan Gandekan. mBah Setro, Barjo dan dua Hanra lain tengah sibuk menolong keluarga Liem Seng Jin yang besar. Liem bersama isteri dan tujuh orang anaknya berada di atas genteng rumah yang sudah makin dekat saja dengan air merah yang selalu naik. Seperti juga para korban lain yang tak sempat meninggalkan rumah, keluarga Liem ini dapat diselamatkan, diangkat dengan getek-getek ke tempat yang aman.

   Prayitno dan beberapa orang kawan lain yang dianggap pandai berenang, bekerja seorang diri menggunakan getek kecil menyusup ke daerah-daerah yang berbahaya, menolong orang-orang yang sudah terjebak air dan sukar ditolog oleh rombongan besar karena air terlampau deras. Kebetulan sekali Prayitno lewat di kampung yang ditinggali Sukardi. Di situ banyak rumah roboh, karena banyak terdapat bilik yang amat lemah bangunannya. Memang, air tidak berapa dalam di daerah kampung yang agak tinggi letaknya ini, akan tetapi karena dekat tanggul, maka air amat deras dan kuat alirannya. Tiba-tiba ia mendengar jerit mengerikan di antara suara-suara minta tolong yang sudah sejak berjam-jam terdengar tak kunjung berhenti itu.

   "Yanto"..! Tolooonggg". anakku".. Yanto".!"

   Prayitno cepat menggerakkan geteknya yang terbuat daripada dua batang gedebog pisang itu menuju ke arah suara tadi. Di dalam keadaan yang suram muram ia melihat seorang wanita berenang sambil menjerit-jerit,

   "Yanto". ! Anakku". tunggu". Yanto".!"

   Tanpa ragu-ragu lagi Prayitno lalu terjun ke dalam air, siap membawa tambangnya. Ia berenang menyongsong wanita itu dan bertanya,

   "Di mana mbak (kak) ". di mana anakmu itu".?"

   Melihat ada orang berenang mendekatinya, timbul harapan wanita itu yang bukan lain adalah Nuryati.

   "Aahhh".. anakku". hanyut tadi di depan situ". tolonglah""

   Prayitno memandang ke kanan kiri. Tidak tampak bayangan anak hanyut. Ia mencoba berenang, malah dengan tabah ia menyeberangi arus yang amat deras di bagian yang tadinya merupakan jalan kampung. Hampir ia terbawa hanyut kalau tidak cepat-cepat berpegang pada cabang sebatang pohon.

   "Di mana mbak? Aku tidak melihat ada anak"."

   Tanyanya cemas.

   "Aduh Yanto".! Yanto"., tunggu ibumu".!"

   Nuryati dengan nekat berenang terus, biarpun kaki tangannya sudah amat lelah dan hampir tak bertenaga lagi. Ia tiba di tempat yang deras arusnya dan tak tertahankan lagi ia terseret hanyut.

   "Yanto".!"

   Prayitno cepat berenang dan berhasil menyambar rambut Nuryati yang terlepas dari sanggulnya dan riap-riapan. Baiknya wanita itu berambut panjang sekali sehingga dapat tertolong.

   "Mbak, jangan".., percuma. Tidak kelihatan lagi anak itu"..., lebih baik kau menyelamatkan diri dulu, biar nanti aku dan kawan-kawanku mencarinya"."

   Prayitno berusaha menarik lengan Nuryati menuju ke pinggir, ke dekat rumah-rumah di mana aliran air tidak deras.

   "Tidak".! Lepaskan aku, lepaskan"..! Aku harus menyusul anakku".!"

   

Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini