Ceritasilat Novel Online

Goda Remaja 1


Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya, Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 01

   Nama-nama para tokoh dalam cerita ini hanyalah khajalan pengarang belaka, persamaan nama dengan siapapun juga hanya merupakan suatu kebetulan yang tak disengaja.

   Pengarang.

   "Walaaah... Rin, jangan jual-mahal, ah! Kita ini kan class-mates (teman sekolah)...!"

   "Masa kau tidak tahu, Har, biasanja anak baru memang jual-mahal. Heh-heh-heh..."

   "Hush, bukan jual-mahal dia itu. Dia... eh, malu-malu kucing. Betul tidak, Rin?"

   Gadis remaja itu hanya menundukkan muka dan meneruskan langkah kakinya. Sebal hatinya mendengar godaan-godaan itu, godaan tiga orang pemuda, tiga diantara mereka yang menjadi teman-teman sekelasnya di SMA. Baru seminggu dia menjadi murid disitu dan sudah seminggu dia harus menghadapi semua godaan ini. Tatapan pandang mata penuh gairah dan kurang ajar, ucapan-ucapan tidak sopan, kadang-kadang tidak senonoh. Seorang diantara tiga penggoda itu bernyanyi lagu Goro-gorone, akan tetapi hanya bagian yang mengandung sindiran. Dua orang kawannya segera mencontohnya dan sambil tertawa-tawa terdengarlah nyanyian mereka,

   "Pura pura tidak tahu, belum ditanya sudah mau, karena nona suka sendiri..."

   Tiga orang pemuda itu tertawa-tawa gembira dan nafsu mereka untuk menggoda dan mempermainkan gadis manis pendiam ini makin memuncak.

   "Heci, Rini, hayo malam nanti nonton bersama aku. Dibioskop Puspa ada film bagus."

   Rini tetap berjalan sambil tunduk. Tidak menjawab.

   "Film apa sih, Har?"

   "Film, You're always in my heart, Rini!"

   Jawab Harlan dengan bahasa Inggerisnja yang patah dan kaku.

   "Hi-hi, betul juga. You're always in my heart, Rini (Kau selalu berada dihatiku, Rini)."

   Dan bergelak-tawalah tiga orang pemuda itu.

   "Ah, besok kan hari Minggu. Lebih baik pergi bersama kita bertiga ke Tawangmangu! Disana kita berempat berallnight (semalam-suntuk). Hebat, kan? Kau tentu bisa dance (berjoget) bukan, Rin?"

   "Aaah, tentu saja, dara Kudus sudah modern!"

   Makin sebal hati Rini. Ingin ia cepat-cepat sampai di warung bibinya, akan tetapi iapun ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan gangguan itu, maka langkahnja tetap seperti tadi, tidak tergesa-gesa. Bibirnya dikatupkan, matanya memandang ujung kedua sepatunja, tangan kanan memegang tas-buku yang tergantung dipundak, tangan kiri memegang saputangan.

   Di usapnya dahi yang tidak berpeluh, untuk menyembunyikan usapan sebenarnya, usapan pada kedua mata yang mengandung airmata. Terbayang semua pengalaman hidupnja yang paling pahit, yang paling berkesan, paling dalam menggores jantungnya... Peristiwa yang terjadi kurang-lebih sebulan yang lalu, dirumah ibu-kandungnya, di Kudus. Ayahnya sudah tiada. Meninggal ketika ia masih kecil, baru sembilan tahun. Sudah lupa lagi ia akan wajah ayahnya, dan wajah didalam foto yang selalu tersimpan dalam dompetnya, adalah wajah seorang laki-laki yang hampir-hampir asing baginya, wajah ayah-kandungnya yang hampir tak pernah dikenalnya. Ibunya menikah lagi. Ia berayah tiri. Semenjak belasan tahun, atau tepatnya semenjak ia berusia tiga belas tahun, sudah mulai ia mengalami hal-hal yang amat menyakitkan hatinya.

   Hal-hal yang timbul dari pada sikap ayah tirinya. Mulai terasa olehnya belaian dan kasih-sayang yang di perlihatkan ayah tiri itu terhadap dirinya. Ganjil amat, menggelikan, bahkan kemudian memuakkan dan mengerikan. Namun pandai dia menghindar, pandai mengelakan bahaya yang tidak dimengertinya, namun dapat dirasainya. Kemudian tibalah saat yang sial dimalam itu. Sebulan yang lalu. Malam jahanam. Ayah tiri jahanam. Dia menjerit-jerit. Percekcokan hebat antara ibu dan ayah tirinya. Geger dirumah itu. Caci-maki yang kotor-kotor berhamburan keluar dari mulut ibunya... Otomatis tangan kiri Rini diangkat dan saputangannya mengisap dua butir airmata yang tak tertahankan lagi berjatuhan keatas pipinya. Ketawa dan sindiran tiga orang teman sekelas tadi masih terdengar, namun tidak diperhatikan.

   Seluruh pikirannya sedang dibuai oleh kenangan sebulan yang lalu. Lega dadanya kalau teringat betapa ia sudah terhindar dari bahaya, terhindar dengan selamat. Sukur ia dapat mengelakkan bahaya, sukur ibunya keburu datang. Keesokan harinya, setelah berhujan tangis bersama ibunya, ia pergi ke Sala, mondok dirumah bibinya, bibi Suwarni yang sudah janda, yang membuka sebuah warung nasi. Benci ia mengenang muka ayah tirinya. Mata itu, yang menatap penuh gairah, bersinar-sinar ganjil kurang ajar. Heran, agaknya mata setiap orang laki-laki seperti mata ayah tirinya itulah. Sampai-sampai mata tiga orang pemuda ini, tiga orang teman sekelasnya. Makin sebal hati Rini. Timbul sekarang takutnya. Alangkah ngerinya kalau semua laki-laki seperti itu, seperti ayah tirinya, seperti serigala buas. Makin deras airmatanya bertitikan keluar dan cepat-cepat diusapnya.

   "Sungguh tidak patut pemuda-pemuda menggoda seorang dara ditengah jalan, apalagi teman sekelas!"

   Tiba-tiba terdengar celaan dari seorang laki-laki yang menuntun sepedanya. Rini melirik. Kiranya Pak Lukman yang menegur pengganggu-pengganggu itu. Pak Lukman guru ilmu alam, juga dosen fakultas kedokteran. Orangnya masih belum tua benar, paling banyak tiga puluh tahun.

   "Kami... kami tidak menggoda Rini, pak."

   HarIan membantah sedangkan dua orang kawannya hanya tersenyum-senyum malu. Melihat sikap mereka yang gagap-gugup dan kelihatan amat malu itu, secara aneh timbul perasaan belas-kasihan dihati Rini. Mereka masih kanak-anak, pikirnya. Laki-laki memang seperti kanak-anak yang... nakal.

   "Jangan membohong kamu,"

   Kata Pak Lukman marah.

   "Lihat itu Rini sampai menangis! Dimana kesopanan kalian? Apakah kalian ingin menjadi cross-boys?"

   "Ti...tidak, pak..."

   Tak tega hati Rini. Sebetulnya, andaikata dia tidak teringat akan peristiwa di Kudus, gangguan mereka itupun tidak akan menyakitkan hati benar. Dan mungkin sekali dia malah akan membalas dengan olok-olok lain.

   "Sebetulnya mereka tidak apa-apa, pak. Dan saya tidak menangis karena mereka goda..."

   "Kalau begitu, kenapa kau menangis, Rin?"

   Suara Pak Lukman melunak. Rini tak dapat menjawab, hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah.

   "Anu, pak..."

   Harlan membantunya.

   "Tadi kami bertanya mengapa Rini selalu nampak berduka dan pendiam. Dia tak menjawab, diam saja, kami tak tahu kalau sebetulnya dia menangis..."

   Pandang mata Lukman berpindah-pindah dan tiga orang pemuda itu kepada Rini. Ketika Rini memandang Harlan, ia melihat sinar mata nakal pemuda ini. Tersenyumlah Rini.

   "Memang demikian, pak. Pertanyaan mereka itu mengenangkan saja akan hal-hal yang menyedihkan..."

   "Hal apakah?"

   Ketika Rini menunduk tak menjawab.

   "Terkenang akan... ayahmu?"

   Sebagai gurunya, tentu saja Lukman sudah tahu bahwa Rini tak berayah lagi. Rini mengangguk. Tiga orang teman-sekelas bernapas lega. Pak Lukman terkenal galak. Angka-angka mereka untuk ilmu alam bisa menurun banyak hanya karena kejadian ini kalau Pak Lukman menyangka buruk.

   "Mari kuboncengkan, Rin. Kebetulan aku akan lewat depan warung bibimu."

   Anak nakal. Laki-laki semua anak nakal. Pak Lukman ini mungkin sama juga. Akan tetapi, kasihan tiga pemuda itu kalau tidak dilenyapkan syak-wasangka dari hati Pak Lukman.

   "Terima kasih, pak."

   Rini mengangguk, lalu duduk dibelakang sepeda Pak Lukman. Berseri mata guru muda itu ketika ia menggenjot sepedanya. Terasa ringan muatan dibelakangnya, seringan hatinya. Tak terlihat olehnya betapa Harlan dan dua orang kawannya mengamang-amangkan tinju dibelakang punggungnya, mencibir dan mengejek. Rini melihat hal ini ketika mengerling kebelakang. Diam-diam ia merasa geli hatinya dan duduk dengan hati-hati agar jangan sampai menyentuh tubuh guru muda itu.

   * * *

   Seperti biasa, sehabis sembahyang magrib, Rini ke luar menggantikan bibinya menjaga warung. Tak pernah Rini melupakan kewajibannya bersembahyang. Hasil pendidikan ayah tirinya yang juga amat patuh akan kewajiban dalam agamanya. Ayah tirinya!

   Bermacam perasaan timbul dikepalanya setiap kali Rini teringat akan ayah tirinya. Sesal yang amat besar mengalahkan kebenciannya. Sepanjang ingatannya, ayah tirinya adalah seorang yang amat saleh, seorang yang beribadat, sikapnya, tutur-katanya, perbuatannya, selalu baik-baik dan bersih belaka. Hanya... yang satu itu! Sifat tidak senonoh yang tadinya disembunyikan, makin lama makin nampak, kemudian meletus menjadi peristiwa dimalam hari itu. Tak habis-habis heran dia, tidak mengerti dia mengapa seorang seperti ayah tirinya, yang mengajarnya bersembahyang, yang mengajarnya banyak tentang amal dalam Islam, yang sering bercerita tentang Hadis dimana tersimpul banyak contoh-contoh, wejangan-wejangan dan ilmu-ilmu kebajikan, bisa melakukan hal sehina itu terhadapnya. Heran...!

   "Bik War, mandilah, sudah lewat magrib. Biar aku yang menjaga warung."

   Suwarni, janda berusia empat puluh tahun, masih nampak muda. Hitam manis bergigi emas, tersenyum. Rini mengenal baik senyum ini, senyum menggenit yang sudah menjadi watak dan bukan dimaksudkan untuk bergenit.

   "Apa tidak banyak hafalan malam ini Rin?"

   Rini menggeleng kepala.

   "Besok kan Minggu, Banyak waktu untuk belajar. Kau mandilah selagi warung sepi. Kalau terlalu ramai aku masih gugup melayani mereka, pula harga penganan macam-macam itu belum hafal olehku harganya."

   "Biarkan mereka ambil dan makan. Cukup kau perhatikan dan hitung saja, Rin. Perkara harga, biar aku yang akan menghitungnya. Yang pentiing jangan ada yang ngabuk (menipu mengurangi jumlah yang dimakan)."

   Keduanya tertawa. Rini suka kepada bibinya, adik ayahnya ini. Peramah dan tak pernah marah. Mudah-mudahan begitu seterusnya. Ia belum mengenal betul watak bibinya. Belum sebulan ia berkumpul, hidup serumah dengan adik ayahnya. Dahulupun, ketika ayahnya masih hidup, hanya beberapa bulan sekali ia bertemu dengan bibi Suwarni atau yang biasa ia panggil "Bi War"

   Ini. Semenjak ayah-kandungnya meninggal, tak pernah lagi ia bertemu dengan bibinya. Ketika ia datang diantar ibunya, pertamakali bertemu ia mendapatkan kesan baik akan bibinya, yang mendengarkan dengan sabar tangis ibunya. Kemudian bibi War mengangguk-angguk dan berkata,

   "Baiklah, dik. Pusparini adalah keponakanku sendiri dan karena akupun tidak mempunyai anak, Pusparini boleh juga disebut anakku sendiri. Memang banyak terjadi kesulitan seperti kau hadapi itu, akan tetapi bersabarlah, dik. Memang begitulah laki -laki, dik, maklum dan sabarlah."

   Dan ketika sambil menangis ibunya menyatakan terima kasihnya, Bik War berkata,

   "Tidak apa, tak usah berterima kasih. Sungguh, aku girang sekali kalau Pusparini suka tinggal disini. Biar dia melanjutkan sekolah dan sore harinya bisa membantu aku."

   Sikap dan kata-kata bibinya inilah yang menimbulkan kesan baik, dan sekarang, sebulan kemudian, ia makin suka kepada bibinya. Ia suka tinggal dirumah sederhana bibinya, dengan warung nasi-gudeg yang kecil namun cukup memberi hasil nafkah bagi mereka. Dia tidak mau melihat sambil berpeluk-tangan saja bibinya bekerja keras membanting tulang. Kewajibannya pula untuk membantu, sebanyak mungkin karena bukankah hasil warung ini memberi dia makan pula, juga biaya sekolah dan lain keperluan? Dia tidak mau kembali kerumah ibunya. Bersekolah, membantu bibinya, kemudian setelah tamat sekolah, bekerja! Tiap kali Rini merenungkan masa depannya, wajahnya menjadi muram. Tentu saja iapun ingin dapat melanjutkan sekolahnya kelak, ke fakultas. Murid mana yang tidak bercita-cita demikian?

   Ia pun ingin melanjutkan pelajaran kesekolah tinggi, merenggut gelar sarjana agar lebih baik ia dapat mengabdi kepada Nusa-Bangsa. Akan tetapi... semua itu renungan hampa. Bibinya yang hanya berwarung nasi mana mampu membiayainya? Andaikata mampu sekalipun, kiranya takkan mau, bukan kewajiban bibinya, apalagi... dia sendiripun akan merasa tak enak dan malu. Mengharapkan ibu kandungnya? Disana ada ayah tirinya dan lebih baik bekerja sebagai juru tulis dikantor daripada menjadi mahasiswi atas biaya ayah tirinya! Suara sepeda motor mengganggu lamunannya. Sebuah Vespa-scooter dengan lampu mencorong terang berhenti didepan warungnya. Dua-tiga kali Vespa itu menggerung sebelum mesinnya dimatikan. Terdengar bunyi menggetrak ketika kendaraan itu disetandarkan, lalu disusul bunyi derap langkah kaki bersepatu.

   "...Hemmm, dia datang lagi..."

   Rini memandang kearah pintu, sudah tahu siapa yang akan muncul sebelum melihat orangnya. Sudah empat-lima kali dia datang dalam sebulan ini. Langganan baik bibinya. Tapi kenyataan membuktikan bahwa dia bukan datang untuk mengisi perut lapar, karena lebih banyak dia mengajak bibinya dan dia bercakap, atau bercakap-cakap disitu bersama beberapa orang temannya. Tak pernah makan nasi-gudeg, paling banyak segelas kopi susu plus dua-tiga potong pisang goreng yang dihabiskannya. Dan untuk menghabiskan jajanan yang sedikit itu, dia tinggal diwarung sampai dua-tiga jam! Tak heranlah kalau bibinya suka menaikkan harga dalam perhitungan, untuk pengganti kerugian waktu, atau untuk pendingin hati yang gemas, atau mungkin juga karena pemuda ini seorang yang kaya-raya.

   "Dia itu mahasiswa lho, Rin,"

   Demikian kata bibinya ketika untuk pertama kali Rini melihatnya.

   "Kalau tak salah, anak pensiunan direktur yang kaya-raya."

   Keterangan pertama lebih menarik daripada keterangan kedua bagi Rini.

   "Mahasiswa apa, bik?"

   "Entahlah, aku kurang tahu. Kabarnya M.A.2 gitu, entah apa artinya."

   Rini tertawa geli.

   "Kenapa kau ketawa? Apa aku keliru?"

   "Tidak, bik. Memang ada gelar M.A. (Master of Art), yaitu gelar Sarjana. Akan tetapi aku jadi teringat akan kelakar teman-teman disekolah bahwa M.A. adalah singkatan dari Mahasiswa Abadi."

   Bibinya yang belum mencapai tingkat itu pengertiannya, tidak merasakan kelucuan ini, akan tetapi ikut tertawa bersama Rini.

   "Namanya Raden Johan..."

   Ia melanjutkan.

   "Jaman sekarang sebutan raden-radenan tidak berlaku lagi, bik."

   Kalau pengertian tentang ini sudah merata, bibiknyapun sudah mengerti dan dapat memaklumi bahwa dijaman kemerdekaan ini orang-orang sudah menghapuskan segala sebutan den-mas atau ndoro-ndoroan. Akan hal ini dia tidak mau kalah, tanpa dapat memahami mengapa sampai demikian.

   "Memang, Rin. Akupun tidak menyebut raden padanya, cukup nak Johan saja."

   Kunjungan pertama itu disusul Kunjungan kedua, ketiga dan makin sering. Karena pemuda itu berjajan diwarung bibinya, dikenal baik oleh bibinya pula, sebagai keponakan bibinya, terutama sekali sebagai pelayan warung, mau tidak mau, suka tidak suka, Rini terpaksa melayaninya bercakap-cakap dan berkenalan dengan Johan yang mengganti R.M. (Raden-mas)nya dengan M.A.

   "Selamat sore, jeng Rin!"

   Johan menyalam ketika melangkah masuk. Jambul rambut yang mendahuluinya masuk mengkilap oleh pomade luar negeri dan begitu tubuhnya yang tinggi melampaui ambang intu, semerbaklah bau minyak wangi bercampuran dengan bau sedap makanan diwarung itu.

   Rini mengangguk dan menjawab lirih,

   "Sore..."

   Lalu cepat-cepat disambungnya.

   "Minum teh, kopi atau wedang jae, mas Jon?"

   Tidak terlihat oleh Rini betapa wajah pemuda itu berseri mendengar kata-kata ini keluar dari bibirnya, dan baru terlihat olehnya ketika ia lama menanti jawaban yang tak kunjung tiba, betapa pemuda itu hanya berdiri menatapnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Mata dengan sinar yang begitu-begitu juga. Rini mengerutkan alisnya.

   "Minum apa, mas Jon?"

   Ia mengulang, suaranya kering.

   "Eh... ah... sampai semlengeren (terkesima, hilang akal) aku! Bukan main, jeng Rin..., bukan main...!"

   Kerut disekitar alis Rini mendalam.

   "Apanya yang bukan main?"

   Pandang mata pemuda itu menjelajahi seluruh tubuh Rini.

   "Duhai... manisnya, kewesnya! Bukan main luwesnya! Sungguh.... hampir pangling (tak kenal) aku, jeng Rin."

   Merah wajah Rini. Memang senang dipuji. Siapa orangnya, apalagi kalau dia wanita, takkan berbahagia mendengar pujian orang bahwa dia cantik manis, kewes luwes? Tapi mata itu! sinar mata itu serupa benar dengan sinar mata ayah tirinya. Sinar mata laki-laki yang amat dibencinya. Rini merengut kaku.

   "Ah, aku tak membutuhkan pujian, mas Johan. Bukankah kau datang ini hendak berjajan?"

   "Ya... ya, hemmm,"

   Agak gagap juga Johan menghadapi serangan ini. Tidak biasa ia melihat gadis dipuji bersikap seperti ini.

   "Eh, dimana Bik War, jeng?"

   Sebutan "jeng Rin"

   Ini semenjak mula sudah memualkan perut Rini. Apanya sih dia ini, menyebut-nyebut jeng segala. Ceriwis benar!

   "Bibi sedang mandi. Minum apa?"

   "Oh... ya, sampai lupa aku. Anu, jeng... kopi saja."

   Johan menggunakan saputangannya mengebut kursi sebelum duduk menghadapi meja. Tujuh kursi lain ditempat itu, didepan warung menghadapi dua meja, kosong.

   Matanya tak pernah melepaskan Rini, segala gerak-gerik dara itu diikuti dengan pandang matanya, seakan-akan ia hendak menelan bulat-bulat dara yang denok ayu itu. Memang pada sore hari itu Rini tidak memakai gaun seperti biasa, melainkan ia mengenakan kain dan baju yang sederhana, pemberian bibinya akan tetapi yang benar-benar membuat ia amat manis dan sedap dipandang. Pakaian daerah ini melenyapkan sifat kanak-kanak yang masih ada pada diri seorang gadis berusia delapan belas tahun, membuat ia nampak dewasa benar. Pakaian itu membuat dia nampak lebih masak. Untuk menyembunyikan perasaannya yang tidak karuan, yang membuat matanya, tak pernah dapat melepaskan gerak-gerik Rini, pemuda itu bersiul menyanyikan lagu-lagu barat. Ketika Rini mengantarkan segelas kopi kepada Johan, menaruhnya diatas meja, pemuda itu berbisik,

   "Jeng Rin, hayo kita nonton malam ini. Banyak film Bagus, malam Minggu pula..."

   Akan tetapi Rini menggeleng kepala dan cepat meninggalkan Johan, kembali duduk dibelakang meja dagangan. Johan tersenyum lebar.

   "Setiap hari kau sibuk bersekolah dan membantu bibimu. Kau seorang gadis modern, bersekolah, kaupun berhak untuk mendapat liburan. Apa salahnya menonton bersamaku?"

   Tak mungkin bagi Rini untuk bersikap dingin terus tanpa alasan. Ia menggeleng kepala Iagi dan menjawab,

   "Bersekolah dan membantu Bi War, merupakan hiburan dan kesenangan bagiku. Aku tidak ingin menonton, mas Jon. Kau ajaklah teman-teman lain, bukankah banyak temanmu?"

   "Memang banyak, akan tetapi aku tidak ingin pergi bersama gadis lain kecuali kau. Ah, bagaimana kalau besok pagi kujemput kau dan kita pergi saja pelesir naik scooter? Ke SaIatiga, ke Tawangmangu atau ke Prambanan? Oya, ke Prambanan, lalu ke Kalasan, makan di mbok Berek!"

   Suara Johan penuh pikatan ketika ia menambahkan,

   "Mungkin kalau pergi malam hari kau merasa tidak enak, jeng Rin. Kalau pergi pada siang hari kan tidak apa-apa, tidak melanggar kesopanan?"

   Hemmm, kau masih mau bicara tentang kesopanan, pikir Rini. Pergi siang atau malam tiada bedanya, yang perlu ditinjau adalah dengan siapa seorang gadis pergi berdua. Dan pergi berdua dengan seorang dengan pandang mata seperti pandang matamu itu, seperti pandang mata ayah tirinya, amatlah berbahaya, tidak perduli diwaktu malam ataupun diwaktu siang.

   "Aku tidak ingin pergi pelesir. Besok harus banyak menghafal. Terima kasih atas kebaikan hatimu, mas Jon."

   Bukan main gemas hati Johan. Belum pernah sesukar ini ia memikat hati teman-teman wanitanya. Ia hendak mendesak terus, akan tetapi pada saat itu bibi Suwarni muncul dari dalam. Segar berseri sehabis mandi, masih mengusap-usap kedua pipi untuk menghapus bedak. Bi War memang masih gemar berdandan. Bukan pesolek, tidak berlebihan, pakaiannya sederhana bersih, penghalus rambut hanya minyak baceman (minyak kelapa. dimasak dengan bunga-bunga), bedaknya buatan sendiri, pemerah bibir hanya kinang. Namun Bi War selalu nampak resik berseri dan memiliki daya penarik tersendiri yang membuat setiap orang mudah menaruh rasa suka dan serta-merta menyebutnya "Bi War"

   Dengan senyum dibibir.

   "Wee-lah... nak Johan to yang berada disini. Pantas kudengar tadi siulnya dari dalam. Sudah lama, nak Jon?"

   "Baru saja, bi. Ini lho, berdebat dengan jeng Rini. Aku kasihan melihatnya, tekun belajar dan bekerja keras. Aku mengajaknya nonton film, dia tolak. Kuajak dia pelesir-pelesir naik scooter besok, diapun tidak mau. Bi War, bukankah kau tidak keberatan kalau jeng Rin ikut mbonceng scooter denganku? Aku tidak bermaksud buruk..."

   Janda Suwarni tersenyum, senyumnya yang lebar bersih seperti biasa, matanya mengerling penuh arti. Tentu saja ia tahu akan isi hati orang muda itu. Tentu saja ia dapat mendengar suara hati yang tak terucapkan itu. Semua pemuda begitu.

   Semua laki-laki begitu. Senang berdekatan dengan wanita muda, apalagi yang cantik macam Rini. Senang kalau bisa "Membawa"

   Wanita muda cantik berpesiar, baik dengan jalan kaki, atau naik beca, atau apa saja. Yang penting dapat berdekatan itulah. Dan semua itu hanya permulaannya, nampaknya beres, murni bersih. Akan tetapi Janda Suwarni tahu betul apa bahayanya bagi seorang gadis remaja kalau sekali menuruti kehendak orang muda macam Johan. Tahu betul ia betapa jalan yang mula-mula nampak lurus lebar bersih itu kalau diikuti akan membawa sidara kepada liku-liku yang amat berbahaya. Alangkah banyaknya kisah yang timbul dari keadaan itu. Mula-mula perkenalan biasa dengan basa-basi sopan, kemudian jalan-jalan atau boncengan, lalu meningkat kepada piknik ramai-ramai keluar kota sampai kepada piknik berdua saja.

   "Tentu saja kau tidak bermaksud buruk, nak Johan. Dan tentu saja aku tidak menaruh keberatan apa-apa, kalau memang hal itu dikehendaki Rini. Kenapa kau tidak mau menerima ajakan nak Johan, Rini?"

   Dua orang wanita itu berpandangan. Berterima kasih hati Rini ketika membaca isi hati bibinya melalui sinar matanya. Bibinya tidak menyalahkan dia menolak ajakan Johan!

   Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Banyak hafalan harus kukerjakan, bi. Pula, aku memang tidak suka nonton atau pelesir-pelesir"

   "Waah, jangan membohong, adik yang manis. Pernah kulihat kau menonton film di Sriwedari bersama dua orang teman wanitamu, dan bukankah kau kemarin dulu pergi pula pesiar ke Balekambang?"

   Rini mengerutkan keningnya. Tak tahu diri benar orang ini. Ada hak apa dia mendesak terus? Diberi alasan menyimpang tak mau menerima baik.

   "Aku belum melanjutkan kalimatku, mas Johan. Yang kumaksudkan, aku tidak suka nonton atau pelesir-pelesir bersama... engkau. Kalau dengan teman-teman perempuan tentu saja suka!"

   Kecut-kecut senyum Johan.

   "Kalau dengan teman laki yang lain?"

   Rini tak mau menjawab, hanya kerut pada keningnya makin menjelas, tanda bahwa hatinya makin jemu dan tak senang.

   "Ah, nak Jon. Rini tak pernah pergi berdua dengan teman laki-laki. Tentu saja dia malu dan hal itupun... kurang baik, bukan?"

   Janda Suwarni membantu Rini.

   "Jaman sekarang lain lagi, Bi War. Pergaulan sudah bebas, pergi berdua bukan merupakan hal aneh lagi, kenapa kurang baik? Jeng Rini kan bukan anak kecil atau gadis kuno?"

   Johan membantah, tetap tersenyum kecut karena hatinya mendongkol. Akan tetapi perdebatan kecil ini terpaksa dihentikan karena masuknya tiga orang kedalam warung itu, tiga orang laki-laki berpakaian biru-biru tukang cetak.

   "Kulo nuwun...(permisi)!"

   "Monggo-monggo... (silahkan-silahkan)!"

   Jawab Bi War.

   "Wah, ngelembur to ini, dik Pur?"

   "Betul, yu (kak) War."

   Ia menghempaskan diri diatas kursi dan mengeluh "Aahhh..., beginilah beratnya orang mencari makan. Di, kau mau makan disini?"

   Temannya yang berpeci miring mengangguk, membuka pecinya dan menggaruk-garuk kepalanya. Bi War tersenyum manis,

   "Dik Sardi selalu makan disini kalau bekerja lembur. Telurnya separo, sambalnya yang banyak, minumnya kopi kental, bukan? Sediakan, Rin!"

   Yang bernama Sardi tertawa.

   "Yu War tahu saja kesukaanku. Keponakanmu ini sudah pandai sekarang, ya? Kau benar-benar mempunyai pembantu yang cakap. Untung benar!"

   "Dan kau bagaimana, dik Hirman? Mau makan disini?"

   Tanya orang yang bernama Purnawan kepada temannya yang termuda. Temannya yang bernama Hirman ini orangnya masih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun, tubuhnya tegap dadanya bidang pakaiannya sederhana, seperti dua orang temannya, pakaian dinas buruh percetakan. Kerut-merut diantara kedua matanya membuat ia nampak lebih tua, sungguhpun sepasang matanya amat tajam sinarnya.

   "Sayja minta nasi gudeg dan teh pahit saja"

   Suaranya amat tenang dalam dan Rini merasa tertarik. Ada apa-apa yang aneh dalam suara orang ini yang membuatnya menengok memandang. Ia melihat seorang pemuda yang duduk dengan mata menunduk. Heran! Semua orang, apalagi yang baru datang, selalu mengarahkan pandang mata kepadanya. Akan tetapi pemuda ini agaknya sama sekali atau sedikit sekali mau mengacuhkannya. Buktinya sinar mata yang menatapnya hanya lewat saja tidak berkesan.

   "Kalau aku tak salah lihat, bukankah sampeyan ini orang-baru yang mondok dirumah Pak Sastro dalang?"

   Bibi Su warni bertanya kepada pemuda itu,

   "Betul, bu. Saya mondok dirumahnya,"

   Jawab Hirman, menyebut "bu"

   Dengan sikap menghormat.

   "Wah, ju War ini segala apa tahu saja. Dik Hirman baru dua minggu disini, dia sudah tahu pula. Seperti detektip saja."

   Purnawan memuji.

   "Detektip itu apa, to? Pak Sastro dalang adalah tetanggaku, bagaimana aku takkan tahu? Dik Pur apa kau tidak makan sekali?"

   "Tidak, aku minta gudeg bungkus saja, hendak kubawa pulang. Wah, dijaman semahal ini. kalau aku makan diluar, jangan-jangan anak-biniku takkan bisa makan! Penghematan, mbakyu, maklumlah."

   Tiga orang itu bercakap-cakap asik dengan Bi War. Johan mengerling kearah Rini yang hanya mendengarkan percakapan itu tanpa ikut bicara, setelah ia selesai melayani permintaan para penjajan itu.

   Bukan main mendongkolnya hati Johan. Dia seakan-akan tak diacuhkan orang lagi. Dan orang-orang macam apa mereka itu? Hanya tukang-tukang rendahan, orang-orang tak terpelajar. Tentu saja dia tidak sudi mencampuri percakapan orang-orang biasa itu. Memasuki warung gudeg inipun langka ia lakukan andaikata disitu tidak ada daya penariknya. Dahulu Bik War sendiri yang menjadi sasaran matanya, biar tua lumayan untuk "Obat mata,"

   Begitu kawan-kawannya suka melucu. Apalagi sekarang ada Rini, bukan main! Hanya saja, tiap kali kesitu masuk orang-orang biasa, tukang-tukang becak, sopir-sopir, pekerja-pekerja bengkel, pendeknya orang-orang biasa dan kebetulan Johan berada disitu, pemuda intelek ini jadi mendongkol hatinya. Orang-orang ini, hemm, tak mengacuhkannya. Dipikirnya siapa aku ini, hemmm... Johan berdehem, lalu dengan lagak dibuat-buat ia berkata dalam bahasa Inggeris kepada Rini,

   "Miss Rin, are you still angry with me (masih marahkah kau kepadaku)?"

   Disamping ingin memamerkan Inggerisnya yang kaku, Johan ingin pula melampiaskan kekecewaannya kepada Rini. Biar malu dia kalau tak bisa menjawab. Anak SMA saja mana bisa menjawab lancar? Akan tetapi dalam hal ini Johan kecele. Di Kudus dahulu, ada seorang guru Inggeris menjadi tetangga ibu Rini, anak-anak guru itu pandai berbahasa Inggeris dan dengan mereka inilah Rini membiasakan diri melatih bahasa Inggerisnya dalam percakapan sehari-hari. Diapun hanya seorang muda yang masih haus akan pujian, maka mendengar pertanyaan ini, dengan lancar dan fasih ia menjawab,

   "Why should I be angry with you? (Mengapa aku mesti marah padamu?)"

   Keliru kalau orang menyangka bahwa dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada Johan dan ingin memancing pujian dari pemuda itu. Bukan, melainkan kepada tiga orang penjajan baru itulah! Mengapa begini, dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi diakuinya bahwa teristimewa ia hendak membanggakan kepandaiannya kepada pemuda bersuara halus dan dalam itu, yang bernama Hirman dan yang mondok dirumah Pak Dalang. Benar saja dugaan dan harapan Johan, ketiga orang "biasa"

   Itu saling pandang dan menghentikan percakapan mereka. Makin terasa kebanggaannya oleh jawaban Rini yang tidak marah kepadanya. Inilah kesempatan baik baginya untuk mendesak lagi, disamping memamerkan bahasa Inggerisnya kepada orang-orang biasa itu. Ia juga amat gembira ketika mendapat kenyataan betapa fasihnya Rini berbahasa Inggeris.

   "You don't hate me, do you? (Kau tidak membenciku, kan?)"

   Tanya pula Johan sambil memincingkan mata dan kepalanya dimiringkan, meniru lagak bintang film.

   "No, I hate nobody. (Tidak, saya tidak membenci siapapun)."

   "You will go out with me then? (Jadi kau mau keluar bersamaku?)"

   "No... (Tidak...)"

   "Tomorrow...? (Besok...?)"

   "No, I won't! (Tidak, saya tidak mau!)"

   Janda Suwarni yang sejak tadi mendengarkan sambil tersenyum, kini, memperdengarkan suara ketawa.

   "Eh, kalian ini omong apa kok na-no-na-no tidak karuan!"

   Purnawan dan Sardi tertawa, akan tetapi Hirman diam saja, menengokpun tidak. Mendongkol juga hati Rini. Pemuda itu tidak acuh sama sekali, apakah karena angkuhnya? Ataukah karena mondok dirumah dalang, lalu menjadi seperti dalang ngantuk? Diluar warung terdengar siulan, disusul seruan,

   "Ini scooter Johan! Dia disini tentu!"

   Suara lain yang parau menjusul.

   "Tentu saja, dimana ada nona manis, disitu ada Johan. Dan warung gudeg ini sekarang dijaga seorang bidadari jelita."

   Derap kaki bersepatu terdengar kacau dan muncullah tiga orang pemuda diambang pintu.

   "Hallo, Johan!"

   Tiga orang pemuda remaja, belum dua puluh tahun, kurus-kurus tubuhnya, tidak sehat mukanya, pakaiannya serba aneh, kemeja kotak-kotak belang-bonteng, celana sempit mencetak pinggul dan kaki, jambul rambut berjurai diatas mata yang liar menatap kearah Rini. Disamping semua ini, yang menyolok adalah sikap mereka. petentang-petenteng seperti cowboy dalam film Wild-West, akan tetapi bagi Bi War mereka itu mengingatkan dia akan Citraksi dan Citrakso, tokoh keluarga Kurawa yang paling njlelek (tidak simpatik)!

   "Hallo, fellows... apa rencana malam ini?""

   Tanya Johan,dari lagak dan sikapnya jelas nampak bahwa dia menguasai tiga orang temannya itu.

   "Kemana lagi kalau tidak kerumah Kandar? Band XYZ sengaja didatangkan, diadakan dance, kita bisa berallnight (semalam suntuk) disana!"

   Kata seorang diantara mereka yang berhidung pesek sekali sambil matanya mengerling-ngerling kearah Rini.

   "Aah, bosan aku, besoknya kaki pegal mata ngantuk,"

   Jawab Johan.

   "Mana bisa bosan? si Mience datang, tahu? Berdance dengan dia biar seminggu terus-menerus masa bosan?"

   Seorang yang lehernya panjang seperti leher angsa berkata,

   "Bi War, kopi untuk tiga temanku ini."

   Johan berkata.

   "Aah, masa kopi?"

   Si hidung pesek mencela.

   "Enak bir!"

   Janda Suwarni sudah biasa melihat orang-orang muda seperti itu, maka ia tidak tertegun seperti Rini, melainkan tersenyum-senyum.

   "Disini tidak menjual bir, hanya ada kopi, teh, atau wedang jahe."

   Akhirnja tiga orang muda itu menerima juga suguhan kopi panas.

   "Kau tadi memuji-muji Mience setinggi awan. Johan kalau kau bisa mengajak nona ini, waah, Mience takkan kebagian tempat,"

   Kata si leher panjang sambil menunjuk Rini dengan pandang matanya. Mereka semua memandang Rini, kagum berterang.

   "Lovely.."

   Pemuda ketiga yang matanya lebar memuji berterang. Merah muka Rini dan ia benar-benar merasa canggung dan bingung menghadapi pemuda-pemuda yang pecengas-pecengis seperti monyet-monyet nakal didepannya itu.

   "Sungguh tidak sopan...!"

   Rini menengok, Bibi War terkejut, dan tiga orang pemuda itu membalik dengan berang menghadapi Hirman yang tadi mengeluarkan celaan ini. Bibi War khawatir sekali. Orang-orang muda itu tukang berkelahi, sudah seringkali sengaja mencari permusuhan dengan orang lain. Kalau mereka berkelahi disini, celaka warungku. Dulu warung Pak Karto juga rusak ketika terjadi perkelahian antara orang-orang muda seperti ini. si hidung pesek melangkah maju menghadapi Hirman, keningnya berkerut, hidungnya yang pesek berkembang-kempis.

   "Kau bilang apa?"

   Bentaknya. Hirman masih duduk, sudah selesai makan. Ia tenang-tenang saja dan menentang pandang mata si hidung pesek, tersenyum kecil.

   "Aku bilang sungguh tidak sopan,"

   Ulangnya, suaranya dalam dan tenang seperti tadi.

   "Siapa yang tidak sopan?"

   Kini si leher panjang mendekat, menjulurkan lehernya sampai dekat sekali mukanya dengan muka Hirman dan menghujanlah air ludah dari mulut yang bibirnya agak cupat itu. Hirrnan mengalihkan pandang kepada si leher panjang, mengusap muka dengan lengan baju, lalu menjawab,

   "Siapalagi? Kalian bertigalah yang tidak sopan."

   "Bangsat kurang ajar!"

   Si leher panjang melajangkan tinjunya kearah muka Hirman. Akan tetapi dengan sedikit miringkan kepala, tinju itu mengenai tempat kosong dan sebelum si leher panjang tahu apa sang terjadi selanjutnya...

   "Tokkk!"

   Ujung sepatu Hirman sudah menendang tulang kakinya. Semua inil dilakukan Hirman sambil duduk saja.

   "Aduh... aduh... huhhh..."

   Si leher panjang berjingkrak-jingkrak dengan sebelah kaki sambil kedua tangan memegangi tulang kering yang tercium ujung sepatu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya sampai menjusup ketulang sumsum. Purnawan dan Sardi tak dapat menahan gelak tawa mereka. Memang lucu sekali keadaan si leher panjang itu. Bahkan Rini dan janda Suwarni sendiri, disamping kegelisahan mereka, merasa geli, akan tetapi tidak berani tertawa. si hidung pesek dan simata lebar cepat menghampiri Hirman. si hidung pesek mengeluarkan krakeling (besi kalung yang dipasang pada jari tangan), simata lebar mengeluarkan rantai sepeda. Sikap mereka mengancam sekali. Hirman berdiri dari kursinya.

   "Pengecut!"

   Purnawan berdiri menyambar kursi yang tadi menjadi tempat duduknya. Juga Sardi menyambar kursinya dan dengan kursi diangkat tinggi siap dihantamkan, mereka menghampiri dua orang pemuda itu.

   "Kalian mau main keroyokan? Majulah kalau minta remuk kepalamu oleh kursi ini!"

   Purnawan memang pemarah orangnya, dan beraninya bukar main.

   "Kalau mau berkelahi, satu lawan satu, jangan mengeroyok seperti perampok-perampok kurang ajar!,"

   Sardi ikut membentak. Dua orang pemuda itu surut, plonga-plongo, Seperti badut, gentar melihat kursi mengancam kepala mereka itu.

   "Jangan berkelahi disini.... ah, celaka..."

   Bi War berseru. Johan membentak kawan-kawannya.

   "Jangan keroyokan, Ded. Memalukan saja kalian."

   Dua orang pemuda itu, si hidung pesek dan simata lebar, bersugut-sungut, lalu berjalan keluar. Purnawan dan Sardi tersenyum, menurunkan kursinya dan duduk kembali. si leher panjang masih penasaran. Tidak mau ia menerima begitu saja setelah tulang-keringnya digajul (ditendang ujung sepatu)!

   "Majulah kalau berani!"

   Ia menantang dan memasang gerakan seperti seorang petinju, tubuhnya miring, kepalanya ikut miring, kedua lengan bergerak-gerak dengan tinju terkenal, yang kiri didepan yang kanan dibelakang, agak diputar-putar. Kalau keadaan tidak begitu tegang, kiranya Rini akan teringat lagak Bing Slamet kalau sedang melawak dan tentu, akan terasa lucunya. Hirman melangkah maju.

   "Sayang ayahmu tidak melihat engkau seperti ini..."

   Dia menarik napas panjang.

   Akan tetapi si leher panjang menjadi makin marah, menganggap kata-kata ini sebagai penghinaan. Ia menerjang maju dengan kepalan kanan-kiri memukul bertubi-tubi. Hirman hanya melangkah mundur, kemudian berhasil menangkap pergelangan tangan kanan lawannya, memuntirnya kebelakang dan tangan kirinya menekuk batang leher yang panjang itu. Maka didorongnyalah si leher panjang yang sudah tidak berdaya itu keluar, setibanya dipintu didorong keras dan dilepaskan. Orang-orang yang berada didalam hanya mendengar suara gedebag-gedebug dan si leher panjang mengaduh karena ketika terdorong ia roboh tertelungkup dan hidungnya mencium batu sampai berdarah. Ketika Hirman kembali kekursinya, Johan sudah melemparkan sehelai uang kertas keatas meja.

   "Aku pulang dulu, bi."

   "Eh, uangmu lebih, nak Jon."

   "Tidak apa, untuk bayar tiga gelas kopi itu juga"

   Jawabnya tergesa-gesa dan keluarlah dia dari warung itu. Mereka yang tinggal diwarung tidak ada yang bicara. Terdengar suara si leher panjang,

   "Awas kau.., awas kau..."

   Kemudian terdengar suara tiga orang pemuda itu mencela Johan,

   "Jon, kau kok diam saja tadi?"

   Jawaban Johan perlahan akan tetapi masih terdengar oleh mereka didalam warung,

   "Memang kalian layak dipukul! Kalau tadi kau teruskan, aku sendiri akan memukulmu. Tak boleh kalian mengganggu jeng Rin. Ingat, dia... punyaku, mengerti?"

   Terdengar suara gelak terbahak, disusul suara scooter dan tak lama kemudian pergilah mereka. Keadaan diluar sunyi.

   Malam itu, setelah warung ditutup, datang seorang wanita teman Bi War dan pergilah janda itu bersama temannya. Rini mulai gelisah. Sudah sering ia begelisah seperti ini melihat bibinya ternyata memiliki kesenangan yang amat berbahaya, yaitu berjudi! Bibinya suka sekali bermain ceki, dua-tiga malam sekali pasti pergi bersama teman-teman seperjudian, bermain judi sampai pagi. Dan Rini yang baru sebulan mondok di rumah bibinya, tidak berani menegur, tidak berani menasihati. Kesukaan bibinya bermain kartu dan dipermainkan kartu ini sudah bertahun-tahun, semenjak menjadi janda, begitu kata bibinya ketika untuk pertama kalinya menghadapi pandang mata keheranan dari mata Rini. Dan Rini harus berdiam seorang diri dirumah itu, tak dapat tidur dan gelisah, bukan takut karena sendirian dirumah, melainkan takut akan keadaan bibinya.

   * * *

   Semenjak peristiwa malam itu, Rini tak pernah dapat melupakan Hirman. Sikap pemuda itu yang sopan, yang pendiam, yang tenang, dan begitu pasti dan masak dalam setiap kata-kata dan gerak-geriknya, amat menarik hatinya, menairik tanpa ia sadari. Ia sendiri merasa heran mengapa ia harus bersikap demikian, mengapa ia sering memikirkan Hirman, Kadang-kadang ia merasa malu kepada diri sendiri. Masa dia harus memikirkan seorang pemuda buruh percetakan, seorang pemuda biasa saja yang menurut kata-kata Purnawan sendiri, gajinya "Terlalu besar untuk membiarkan seorang kelaparan, akan tetapi terlalu sedikit untuk orang dapat hidup lajak?"

   Tak perlu ia memikirkan Hirman, lagi pula, mengapa harus memikirkannya? Ada pertalian apa dengan pemuda itu? Akan tetapi, sikap pemuda itulah yang membuat Rini tak dapat melupakannya, sikap tak acuh terhadap dirinya, dingin pandang matanya. Justeru karena perbedaannya dengan laki-laki lain inilah yang membuat Rini selalu terbayang akan wajahnya dan terdengar suaranya. Semenjak terjadi peristiwa dimalam itu, Hirman setiap malam makan diwarung Bi War, kecuali hari Minggu. Kepada Rini pemuda ini tak banyak bicara hanya bicara apabila minta disediakan makan minum saja. Makannya selalu nasi gudeg, minumnya teh segelas. Tak pernah makan lauk-pauk lain, agaknya berhemat benar.

   Seminggu kemudian, dari percakapan antara Bi War dan pemuda itu, Rini sudah tahu agak banyak tentang diri Hirman. Bahwa pemuda ini berasal dari Pekalongan, bahwa pekerjaannya dipercetakan sebagai buruh cetak hanya diwaktu sore saja, dari jam dua sampai jam setengah tujuh malam. Jawaban-Jawabannya terhadap pertanyaan Bi singkat-singkat dan sederhana, malah mengandung rahasia yang agaknya hendak disembunyikan. Yang amat mengherankan hati Rini sendiri, makin sedikit pemuda itu bicara, makin banyak Rini ingin mengenal tentang dirinya. Ada sesuatu dalam diri pemuda pendiam itu yang menarik perhatiannya. Semenjak terjadi perkelahian didalam warung bibinya, ada terjadi sesuatu yang aneh dalam dadanya, sesuatu yang belum pernah ia rasai sebelumnya. Perasaan aneh sekali yang membuat ia ingin berdandan lebih cermat diwaktu sore hari,

   Yang membuat ia setiap hari mengharapkan sore segera tiba dan dengan tidak sabar menanti kemunculan Hirman diambang pintu warung yang membuat ia menjadi gelisah dan tak senang hatinya apabila satu kali saja Hirman tidak muncul diwarung itu, yang membuat dia kemudian merasa malu-malu kalau pemuda yang diharap-harapkan kedatangannya itu sudah duduk didepan meja warung. Sore hari itu Rini menjaga warung seorang diri. Sejak siang tadi bibinya tidak pulang. Sedih hati Rini alau memikirkan bibinya. Makin dalam bibinya terperosok kedalam jurang perjudian. Kadang-kadang sampai sehari semalam bibinya berjudi. Kini sikap bibinya berubah pula. Seringkali marah-marah kalau sedang menderita kekalahan. Kalau mendapat kemenangan, aneh pula. Royal bukan main mempergunakan uang, bahkan pernah menutup warung sehari lamanya.

   "Aku lelah, perlu mengaso,"

   
Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata bibinya ketika Rini menyatakan tidak setuju.

   "Lagi pula, perlu apa membanting tulang mencari uang begitu sukar? Kau lihat, semalam saja aku sudah mendapatkan hasil yang takkan didapat oleh warungku selama seminggu!"

   Dan Bi War memperlihatkan gulungan uang kemenangannya. Rini diam saja, akan tetapi didalam hatinya ia mengingatkan bibinya bahwa sebelum mendapatkan kemenangan ini, sudah berkali-kali bibinya menderita kekalahan. Sampai-sampai barang perhiasan simpanan bibinya hasil jerih payah bertahun-tahun membuka warung nasi, habis dijualnya. Akan tetapi, yang paling aneh terasa oleh Rini, hal yang paling mengecewakan hatinya dengan ditutupnya warung sehari itu adalah ketidak-hadiran Hirman!

   "Bi, kalau kau lelah, mengasolah. Biar aku sendiri yang menjaga warung. Gudeg yang kemarin masih banyak, sudah kupanaskan, Sambal gorengnya tinggal bikin, akupun sudah dapat membuat sendiri. Penganan sudah kupesan tadi kepada mbok Nem. Kau tidurlah, bi, biar aku yang mengurus warung. Sayang kalau ditutup, pula.... kasihan kepada para langganan kita..."

   Janda Suwarni tertawa, tawa genit yang sudah menjadi kebiasaannya.

   "Kau maksudkan si... Hirman? Hi hik...!"

   Rini merasa mukanya panas ketika ia menunduk untuk mengelakkan matanya dari pandang mata bibinya.

   "Mengapa mesti dia langganan kita, bi! Langganan warung kita kan banyak, bukan hanya mas Hirman yang kumaksudkan...

   "

   "Aaaah, aku tahu, Rin. Kerling matamu kepadanya membuka isi hatimu..."

   Rini terkejut sekali dan cepat menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, bi, jangan menyangka yang Tidak. Aku masih sekolah, masa aku harus berpikir tentang... tentang... itu? Harap bibi jangan menyangka yang bukan-bukan..."

   Melihat gadis itu nampak marah, bibi War tersenyum lagi, senyumnya yang genit sambil mengangguk-angguk.

   "Seyogyanya begitulah. Kalau masih sekolah terganggu, sekolahnya akan mundur. Akan tetapi kalau memang hati sudah terkait, harus pula melihat siapa yang mengaitnya. Nak Hirman hanya buruh percetakan biasa, orangnyapun tidak seperti Arjuna. Gadis jelita seperti engkau ini, Rin, jangankan baru pemuda macam Hirman, biarpun lebih tampan dan lebih terpelajar atau kaya seperti nak Johan sekalipun, masih kurang patut memetikmu...

   "

   "Bi War!"

   Rini setengah menjerit mendengar ucapan yang amat asing dan baginya dirasakan menusuk perasaan ini. Akan tetapi Janda Suwarni yang agaknya sekarang menjadi seorang manusia lain, yang amat asing bagi Rini, masih mengangguk-angguk dan berkata terus, tidak perduli akan jerit protes gadis itu,

   "Seorang gadis harus dapat menahan harga, Rin, jangan terlalu di jual murah..."

   "Bi War! Aku bukan barang dagangan!"

   Rini memprotes lagi dengan kata-kata keras.

   "Mungkin kau merasa begitu, akan tetapi mata laki-laki melihatmu sebagai barang dagangan yang hendak mereka dapatkan semurah-murahnya. Karena itu biarkan mereka menganggapmu sebagai barang dagangan, akan tetapi dagangan yang tinggi harganya, yang tidak murah-murahan..."

   "Bibi...!"

   Rini menutup mulutnya sendiri untuk menahan jeritnya. Matanya terbelalak memandang bibinya. Mabokkah wanita ini? Ataukah sudah berubah ingatannya? Ucapan aneh yang dikeluarkannya, kata-kata keji yang menginjak-injak perasaannya yang halus.

   "Betul, Rin. Kalaupun ada yang hendak membeli, harus dengan harga setinggi-tingginya, dengan cinta-kasih, dengan harta-benda, dengan kepandaian atau kedudukan, dengan jaminan bahwa selama hidupmu kau akan berbahagia dan tidak disia-siakan. Pendeknya, dari sekarang harus kau lihat betul, kau selidiki betul siapa orangnya yang akan membeli. Sedikitnya harus yang tampan terpelajar dan kaya seperti nak Johan."

   "Bibi...!"

   "Sudahlah, kelak kau akan mengerti sendiri. Aku mau tidur, kalau kau sanggup menjaga sendiri, bukalah warungnya."

   Terlalu kejam bibinya. Keji sekali ucapan-ucapannya. Rini mencoba untuk melupakan ucapan-ucapan itu akal tetapi setiap kali ia teringat kepada Hirman, ucapan itu terngiang kembali kedalam telinganya.

   Sore hari itu ia menutup sebentar warungnya untuk mandi dan bersembahyang, kemudian membukanya kembali dan ia duduk diwarung dengan rambut tersisir rapi, muka berseri dan bergaun biru muda pemberi bibinya ketika menang berjudi. Hari ini hari Sabtu, biasanya jam enam Hirman sudah pulang kerja. Kalau bukan hari Sabtu, sampai jam tujuh. Perduli amat dengan ucapan bibinya yang kembali terngiang-ngiang di telinganya. Dia tidak suka kepada Johan yang sekarang jarang datang kewarung semenjak peristiwa perkelahian dahulu itu. Pemuda bertingkah, berlagak tengil. Tidak seperti Hirman, pendiam, tenang, kuat sekali pribadinya dan berwibawa biarpun hanya buruh cetak. Seminggu yang lalu, ketika Hirman sehabis makan menanti dinginnya kopi panas yang dipesannya, secara iseng-iseng karena kebetulan tidak ada lain pembeli pada saat itu, Rini bertanya,

   "Mas Hirman, apakah dipercetakanmu itu mencetak kartu nama?"

   Sepasang mata Hirman agak melebar ketika pemuda itu menoleh kepadanya, seakan-akan mata itu menyatakan heran mengapa gadis pendiam ini sekarang mau bicara kepadanya. Memang, sudah hampir dua bulan Hirman menjadi langganan warung itu, akan tetapi baru kali inilah Rini bicara agak "panjang."

   "Tentu saja ada, dik. Ada apakah kau menanyakan...?"

   "...Anu, mas... eh, aku ingin sekali mempunyai kartu nama seperti yang dipunyai kawan-kawan disekolah, kumaksudkan... kalau sekiranya takkan mengganggumu, aku ingin pesan kepadamu. seratus buah saja, mas. Aku sudah bilang kepada bibi dan bibi setuju. Berapa harganya, mas?"

   Hirman memandang dengan melongo seperti anak bodoh. Baru kali ini ia mendapat kesempatan menatap wajah itu untuk saat yang lama. Biasanya tak berani ia melakukan hal ini, betapapun inginnya hatinya. Sekarang ia mendapat kesempatan dan ia sampai bengong terlongong ketika memandangi wajah itu, sepasang mata yang bening bersinar-sinar, hidung kecil mancung, mulut yang amat indahnya bergerak-gerak ketika bicara, bibir itu... Hirman hampir tak ingat lagi apa yang diucapkan gadis itu. Baru setelah bibir memerah delima itu berhenti bergerak, ia sadar kembali. Gagap-gugup ia menjawab,

   "Tentu bisa... tentu saja dapat, dik Rini. Biarlah, kubuatkan seribu buah seperti yang kau kehendaki..."

   "Lho, kok banyak amat? Untuk apa sampai seribu buah? Uangnyapun terlalu banyak nanti, mas!"

   "Bukan seribu? Berapa...?"

   "Aku hanya membutuhkan seratus helai. Bisakah?"

   "Bisa, bisa. Biar kubuatkan. Coba tuliskan namamnu, dik, dan alamatnya sekalian agar tidak keliru."

   Rini mengambil kertas dan pensil. Hati-hati ditulisnya nama dan alamat, dengan huruf-huruf bagus agar dikagumi tukang cetak muda itu.

   "Ini, mas."

   Catatan itu diberikan kepada Hirman.

   "Berapa harganya?"

   Akan tetapi Hirman seperti tidak mendengar pertanyaan ini. Matanya menatap kearah kertas catatan bibirnya bergerak, mengulang nama,

   "Pusparini Basuki..., Pusparini Basuki..."

   "Berapa harganya seratus buah kartu nama, mas?"

   Rini mengulang karena yang ditanya belum menjawab.

   "Apa...? Ya, nama yang indah..."

   Merah seluruh muka Rini, hatinya berdebar aneh, akan tetapi iapun merasa amat malu. Benar-benar luar biasa, lain orang memuji, kecantikannya dan ia merasa marah, kenapa sekarang Hirman hanya, memuji namanya saja ia merasa jantungnya berdetak bangga dan girang?

   "Mas Hirman, aku tadi bertanya berapa harga kartu nama..."

   Ia menegur, menyembunyikan rasa malunya. Sekarang Hirmanlah yang tersipu-sipu, merasa telah membuka rahasia hatinya.

   "Oh... ya..., harganya... ah, dik Rin. Akan kubuatkan untukmu tak usah membeli."

   Ketika melihat wajah gadis itu memperotes, cepat-cepat menyambung,

   "Kalau hanya untuk membuat seratus helai kartu nama saja, majikan cukup baik hati untuk memberi kertas strook (sisa potongan), dan kiranya takkan dimintai uang."

   "Ah tidak enak kalau begitu, mas Hirman. Disangkanya nanti aku sengaja minta dibuatkan kartu nama gratis (tidak bayar). Kau setiap hari makan disini dan membayar, masa aku harus minta dengan gratis?"

   Hirman tersenyum. Baru sekali itu Rini melihat pemuda ini tersenyum dan makin teballah simpati (rasa suka) dihatinya melihat senyum ini.

   "Lain lagi persoalannya, dik... Kau dan bibimu memang berjualan nasi, sedangkan aku kan tidak berdagang kartu nama!"

   Dengan kata-kata itu, sebelum memberi kesempatan gadis itu menolak, ia sudah pergi. Dan dua hari kemudian, jadilah kartu nama itu, seratus buah. Indah sekali, dengan huruf-huruf kembang, dengan garis-garis diatur amat artistik (mengandung seni) dan warna-warna serasi. Rini kagum bukan main, kagum dan girang dan berterima kasih.

   "Kau baik sekali, mas Hirman. Terima kasih..."

   "Hanya orang yang baik hati saja dapat menghargai sifat-sifat baik lain orang dan memaafkan sifat-sifat buruknya."

   Hanya demikian jawaban Hirman dan selanjutnya, seperti sebelum ada percakapan panjang tentang kartu nama itu, Hirman menjadi pendiam dan jarang bicara kepadanya. Sore itu Rini melamunkan semua ini. Jawaban Hirman masih terngiang ditelinganya.

   "Hanya orarg yang baik hati saja dapat menghargai sifat-sifat baik lain orang dan memaafkan sifat-sifat buruknya."

   Jawaban yang amat taktis (berakal) dari seorang yang rendah-hati. Jawaban yang sekaligus mengembalikan pujian kepada pemujinya. Rini menjadi agak gelisah ketika beberapa orang penjajan sudah mulai bergantian datang, belum juga nampak Hirman muncul diambang pintu warungnya. Banyak juga orang datang, memenuhi warung. Rini menjadi sibuk sekali. Memang semenjak dia berada disitu, makin banyak saja orang, berjajan, sebagian besar orang-orang muda. Seringkali Bi War menyatakan hal ini berterang saja. Biasanya sebelum Rini berada disitu, sampai jam sepuluh malam baru tutup warung. Sekararg, baru jam delapan kurang saja biasanya sudah kehabisan nasi dan sudah tutup!

   "Pranggg...!"

   (Lanjut ke Bagian 02)

   Goda Remaja (Modern Drama)

   Karya, Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 02

   "Wah, pecah! Hati-hati, dik Rini...!"

   Seorang pejajan menegur, disusul oleh para penjajan lainnya. Rini membungkuk dan mengambili pecahan piring yang terlepas dari pegangannya tadi. Ketika berdiri kembali, mukanya menjadi merah sekali, mungkin karena membungkuk tadilah. Matanya seperti orang hendak menangis, mungkin karena pecah piring.

   "Jangan susah, dik Rini, Bi War kiranya takkan marah kepadamu. Sudah lumrah (jamak) sekali kepecahan piring. Habis, pekerjaan begini banyak hanya kau kerjakan seorang diri,"

   Seorang laki-laki menghiburnya.

   Akan tetapi Rini tidak menjawab, takut kalau suaranya akan berubah menjadi tangis,

   Hanya matanya mengerling keluar, kearah jalan raya didepan warungnya dimana tampak olehnya perglihatan yang tadi membuat tangannya menggigil dan piring yang dipegangnya jatuh pecah. Disana, perlahan-lahan dan bercakap-cakap mesra diseling senyum, tampak Hirman berjalan disamping seorarg gadis bergaun ketat berambut sasak, gadis cantik genit bergaun merah yang menuntun sepeda. Mintarsih! Rini sudah mengenal gadis ini, karena Mintarsih adalah seorang anggauta pula dari perkumpulan bulutangkis puteri "Srikandi"

   Dimana iapun menjadi anggautanya. Mintarsih! berjalan serimbit (berpasangan) dengan Hirman, bercakap-cakap dan tersenyum-senyum mesra, lewat didepan warungnya, jangankan singgah, menengokpun tidak kearah warung! Pening kepala Rini seketika dan hampir saja sendok sambal-goreng yang dipegangnya terlepas.

   "Eh, kau kenapakah, nak Rini?"

   Seorang penjajan tua menegurnya. Rini memaksa senyum.

   "Tidak apa-apa, pak..."

   Akan tapi didalam hatinya ia menegur diri sendiri,

   "Rini... Rini..., kau kenapakah? Dia boleh serimbit dengan siapapun juga, kau perduli apakah? Dia itu apamu? Kau tak berhak menjadi... menjadi cemburu. Tak tahu malu!"

   Dengan tangan kirinya Rini pura-pura mengusap dahinya dan diam-diam ia menghapus dua butir airmata yang sudah membasahi bulu-matanya. Akan tetapi Mintarsih! Gadis genit yang menjadi bahan bisik-bisik semua teman perempuan diperkumpulan. Memang hebat. Mahasiswi A.S.R.I. (Akademi Senirupa Indonesia), seringkali naik dipanggung bermain sandiwara, pandai bermain piano, pandai bernyanyi, pandai berdansa dan pandai melukis. Pakaiannya selalu modern serba indah serba ketat, pendeknya gadis ultra modern yang mewah dan berani. Terlalu berani, bisik teman-temannya, sampai seperti laki-laki saja.

   Dengan kerling matanya Rini mengikuti mereka yang berjalan menuju kerumah Pak Sastro dalang yaitu rumah pondokan Hirman, hanya terpisah lima rumah dari warungnya. Mesra benar nampaknya, malah sekali ia melihat tadi Mintarsih atau lebih terkenal dengan sebutan "Mience"

   Bicara sambil tertawa dan menampar lengan Hirman dengan sikap genit sekali. Bergurau dan bergenit seperti itu dijalan umum! Bukan main. Akan tetapi Hirman nampak senang. Memang begitukah seharusnya seorang gadis bersikap? Apakah aku yang terlalu pendiam? Terlalu dingin terhadap Hirman? Eh, mengapa aku meributkan ini semua? Apa untung-rugi baginya kalau Mience bergenit dergan Hirman? Kenapa hatiku begitu panas, kenapa kepalaku begini pusing? Tak tahu malu...! Malam itu Bibi Suwarni datang sore-sore. Baru jam tujuh. Datangnya bersama Johan.

   "Selamat sore, jeng Rin. Wah, sudah hampir dua minggu kita tidak bertemu, sampai kangen aku."

   Menghadapi sikap yang amat ramah ini tak dapat Rini membalasnya dengan dingin. Aku terlalu dingin, terlalu pendiam. Pikiran yang ditimbulkan oleh Hirman ini terus mengganggu otaknya. Ia tersenyum, lalu manis buat Johan.

   

Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini