Leak Dari Gua Gajah 3
Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Itu melepas senjata mujijat berupa sinar berkilat. Serasa disambar geledek Wijono memegangi kepalanya dan sinar itu tetap bermain di mukanya. Kali ini tak dapat tiada ia tentu akan roboh pingsan, kalau saja tidak ada suara-suara yang seolah-olah menariknya ke alam kesadaran kembali,
"Eh, kakukah ini, bung Wijono? Membikin kaget saja. Kenapa kau di sini?"
Ya Tuhan, terima kasih... Wijono memuji syukur di dalam hatinya. Kiranya Bahrudin orang ini. Suara itu bagaikan angin yang mengusir mendung ketakutan yang tadi menguasai hati Wijono. Ia tersedak, menarik napas panjang dan segera merangkul Bahrudin.
"Bung Din...! Ah, kiranya engkau. Hampir mati aku karena kengerian. Aduh, banyak kualami malam ini. Siapa duga, kaulah orangnya yang berada di dalam gua..."
Anjing itu membaung lagi, lebih keras kini. Bahrudin memutar tubuh dan menyorotkan lampu batrenya ke atas gua.
"Setan anjing itu!"
Wijono memungut batu dan menyambit.
"Membikin aku ketakutan saja!"
Anjing yang disambit itu lari tunggang-langgang sambil menyalak-nyalak dari jauh. Bahrudin tertawa.
"Aku mencari Pak Basri. Apakah kau melihat dia? Dan bertemukah kau dengan si jaket hitam? Aku sedang menyelidiki sejak tadi. Nih, kau lihat!"
Suaranya bangga.
"Suara yang kau dan Ktut dengar sore tadi di dalam gua adalah suara yang keluar dari sebuah pengeras suara, yang secara cerdik dipasang di dalam gua dan dengan kabel-kabel kecil sekali dihubungkan dengan luar gua, sebelah belakang. Benar dugaanku, Leak Gua Gajah tidak ada, yang ada hanya manusia belaka yang agaknya hendak mempermainkan engkau."
"Bukan main-main, bung Din. Aku tadi melihat Pak Basri... aneh sekali, dia mencurigakan benar, sama mencurigakan dengan si jaket hitam..."
Pegangan tangan Bahrudin pada lengan Wijono mengeras.
"Apa katamu? Apa yang kau lihat? Di mana Pak Basri?"
"Baru saja aku melihat dia dan mengikutinya. Ia menuju ke sebuah pondok kecil di sebelah barat gua, kira-kira dua kilometer dari sini, bertemu dengan seorang kakek tua bongkok. Aneh, bung Din, dia ternyata pandai berbahasa Bali! Orang itu benar-benar mencurigakan dan... dan... aku melihat sebuah topeng setan pula tergantung di dalam pondok."
"Kemudian bagaimana? Apa yang ia lakukan di rumah Nyoman Batuh?"
Cepat-cepat Bahrudin mendesak. Wijono tak dapat melihat wajah Bahrudin di dalam gelap, akan tetapi ia dapat merasa dari suara sahabatnya ini betapa Bahrudin benar-benar tertarik sekali.
"Nyoman Batuh? Siapa itu?"
Wijono balas bertanya.
"Eh... oh ya, kau belum tahu. Aku sudah menyelidiki sebelumnya. Orang tua itu, yang bongkok dan tinggal di pondok seperti yang kau katakan tadi, dia itu adalah seorang dukun, namanya Nyoman Batuh. Apa yang dilakukan Pak Basri di sana?"
Suara Bahrudin agak gemetar saking tegangnya.
"Aku mana tahu? Mereka hanya bercakap-cakap saja dan aku tidak dapat mengerti sedikitpun. Kemudian Pak Basri keluar dan berjalan cepat sekali sehingga aku tak dapat mengejarnya. Kemudian... aku melihat si jaket hitam dari belakang bersepeda dan tertawa-tawa seperti iblis!"
Wijono bergidik. Bahrudin lalu mengajak Wijono keluar ke jalan besar.
"Bung Wijono, kau lekaslah pulang. Tidak ada perlunya kita berdua di sini. Ktut tidak ada yang mengawani. Biar aku melanjutkan penyelidikanku, kau percayalah, aku pasti akan dapat menangkap... Leak itu."
"Apakah tidak lebih baik kita melapor saja kepada polisi?"
Bahrudin merangkul pundaknya.
"Jangan! Marilah kita main detektif-detektifan, kita berdua. Belum waktunya melapor polisi. Kau pulanglah dan jangan ceritakan kepada siapapun juga tentang peristiwa malam ini."
"Apa kau tidak pulang sekalian? Bukankah tadi Pak Basri menjemputmu dengan taxi? Kenapa dia bisa meninggalkanmu dan di mana taxinya?"
Bahrudin tertawa lagi, pendek saja.
"Dia bilang taxinya mogok, tuh di depan sana. Katanya hendak mencari monteur, ahli mobil ke Gianyar. Kiranya aku dibohonginya saja, sebentar hendak kuperiksa apakah benar-benar taxi itu ada kerusakan. Kau pulanglah dulu, sebentar aku menyusulmu."
Karena maklum bahwa sahabatnya ini agaknya memiliki kelebihan dalam hal melakukan penyelidikan, juga karena ia merasa kuatri kalau-kalau Ktut Witha terancam keselamatannya, Wijono lalu meninggalkannya.
"Eh, bung Wij..."
Wijono berhenti, membalik.
"Ada apa, bung Din?"
Bahrudin melangkah mendekati.
"Melihat kejadian-kejadian yang kau alami... eh... yang kebetulan kau alami bersama Ktut... aku mendapat kesan bahwa agaknya Leak Gua Gajah ini membencimu... hemmm, dihubungkan lagi dengan dongeng itu... agaknya setan atau manusia itu mengira bahwa kau... saling mencinta dengan Ktut. Betulkah itu?"
Wijono merasa mukanya panas. Apa yang harus dijawabnya? Memang ia mencinta Ktut Witha dan hal ini takkan disangkalnya terhadap siapapun juga!
"Ah, kami baru saling berkenalan dua hari saja, bung."
Ia mencela juga karena teringat akan penuturan Ktut Witha bahwa Bahrudin juga mencintai gadis itu.
"Dua hari cukup lama untuk membiarkan hati roboh oleh seorang wanit secantik Ktut. Kalau kau tidak mencintainya, bagaimana kau sampai begini bersusah payah hendak mencari setan yang mengganggunya?"
Tak dapat lagi Wijono menyembunyikan perasaannya.
"Memang kuakui, aku amat tertarik dan suka kepadanya, bung. Apa hendak dikata, hati telah tertawan..."
Ia mencoba berkelakar.
"...Dan dia juga mencintaimu?"
"Ah..., hal itu... ah, mana aku tahu? Sudahlah, bukan waktunya bagi kita bicara tentang ini, bung Bahrudin. Selamat malam."
"...Malam...!"
Dan merekapun berpisahan. Dalam perjalanan kembali ke rumah Ktut Witha, Wijono melihat taxi Pak Basri di pinggir jalan. Di sepanjang jalan sunyi dan ia bergegas menuju ke dusun tempat tinggal Ktut Witha. Ia disambut oleh Ktut Witha dengan gembira. Hatinya berdebar ketika gadis itu memegang tangannya dan berkata,
"Aduh, mas Wijono. Kenapa kau lama amat? Aku menanti-nanti tak sabar dan gelisah. Mari masuk, kita makan, sudah lama kami menanti-nantimu."
"Di mana Pak Basri? Apakah dia sudah datang?"
Langsung Wijono bertanya.
"Dia? Sudah, malah sudah kusuruh makan lebih dulu tadi. Katanya hendak mencari monteur, pergi lagi. Mari mas, eh, kenapa kau begini pucat?"
Sepasang mata bulan itu menatapnya ketika mereka sudah masuk ke dalam dan wajah Wijono tersorot cahaya lampu.
"Tidak apa-apa."
Hatinya tenang ketika gadis itu tidak bertanya tentang Bahrudin. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini lebih memperhatikan dia daripada sahabatnya itu. Diam-diam Wijono sudah menganggap sahabatnya itu seorang saingan. Saingan cukup berat! Ayah-ibu Ktut Witha menyambutnya dengan ramah pula, malah ibu Ktut Witha bertanya tentang Bahrudin, kenapa tidak pulang bersama.
"Dia... eh, dia sedang mencoba untuk membetulkan kerusakan taxi. Sebentar dia tentu datang."
Makin gembira hati Wijono ketika orang tua itu mempersilahkan dia makan dan ternyata yang menemaninya makan hanya Ktut Witha seorang karena katanya ayah-ibunya sudah makan tadi. Mereka makan berdua!
"Apakah tidak menanti kembalinya bung Bahrudin?"
Kata Wijono menyembunyikan rasa girangnya.
"Ah, tak usah. Biar dia nanti makan kalau sudah datang, kami sudah menyediakan untuknya."
Dua orang muda itu makan tanpa banyak cakap, hanya pandang mata mereka sering kali saling beradu. Anehnya, tiap kali Wijono memandang penuh kekaguman dan kemesraan, gadis itu tersenyum malu-malu, menundukkan mukanya dan makannya menjadi agak sungkan, perlahan-lahan mengunyah nasi tanpa membuka bibir. Kemudian, untuk menghilangkan keadaan serba canggung, gadis itu memaksa-maksa Wijono mengambil daging, menambah nasi, dan lain-lain. Mesra sekali terasa oleh Wijono dan perasaan kasihnya makin mendalam.
"Di mana pamanmu, I Made Darma tadi, dik Ktut? Kenapa tidak mengajak beliau makan sekalian?"
"Dia sedang sibuk di pura dalam, untuk mempersiapkan pesta besok malam yang akan diadakan di pura subak. Aku diminta menari, pasanganku Ayu Puspa puteri Pedande Gianyar. Kau harus nonton, mas."
"Tentu saja! Eh, pura dalam dan pura subak, apakah maksudnya semua itu dan apa perbedaannya?"
Dengan kerling mata yang amat menakjubkan dan yang membuat Wijono kadang-kadang lupa menyuap nasi, gadis itu menerangkan,
"Pura dalam adalah pura yang dipergunakan untuk menyembahyangi arwah yang sudah meninggal. Di sini disatukan dengan pura desa, yaitu pura di mana penduduk mengadakan upacara agama. Adapun pura subak adalah pura tempat kita memuja Dewi Sri. Masih banyak pura-pura yang khusus dibangun untuk keperluan tertentu, seperti pura hutan, pura gunung, pura segara dan lain-lain."
Sehabis makan, Ktut Witha mengajak Wijono untuk menyusul pamannya di pura dalam untuk melihat persiapan pesta tarian. Waktu itu sudah jam delapan malam lewat seperempat. Baru saja mereka tiba di luar, terdengar suara mesin mobil dan taxi hitam itu meluncur datang dan berhenti di depan rumah Ktut Witha. Bahrudin turun dari taxi dan pada saat itu juga dari jurusan lain datanglah Basri. Malam itu gelap, akan tetapi rama orang hilir-mudik, agaknya para penduduk yang maklum akan adanya pesta, ikut pula sibuk. Anjing menggonggong ramai, menyalak-nyalak seperti marah. Terutama anjing peliharaan Ktut (Lanjut ke Bagian 03)
Leak dari Gua Gajah (Cerita Lepas) - Bagian 03.
Karya , Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 03.
Witha dan beberapa ekor anjing sebelah. Melihat Basri, Bahrudin segera menegur.
"Waah, bagaimana, Pak Basri? Setelah sampai di sini, aku sendiri yang repot. Kau bilang mobil mogok tidak dapat membetulkan. Masa seorang sopir berpengalaman seperti kau ini tidak tahu akan penyakitnya? Tadi kubongkar dan ternyata sproeier-nya di carburator buntu, tentu saja mesin tidak dapat keluar dan mati. Sekarang sudah baik lagi. Susah payah aku mencari sendirian tadi."
"Terima kasih kalau begitu, tadi aku tidak mencari ke bagian itu, kukira delco-nya,"
Jawab Pak Basri tak acuh. Bahrudin nampak marah-marah dan baru reda marahnya ketika melihat Ktut Witha dan Wijono.
"Eh, kalian mau ke mana?"
"Hendak melihat persiapan pesta di Pura dalam,"
Jawab Ktut Witha.
"Mas Din, kau masuklah dan makanlah dulu, sudah kami sediakan."
Kemudian gadis itu menggebah anjingnya,
"Kssst, Hitam, diamlah! Kenapa sih kau ribut-ribut begitu?"
Akan tetapi anjing hitam itu, juga anjing para tetangga, masih menggonggong terus, menimbulkan suara bising. Seorang laki-laki datang mendekat dan Wijono kaget sekali ketika mengenal laki-laki ini. Bukan lain adalah si jaket hitam yang datang ini, wajah orang ini tersenyum-senyum, dan jaketnya lebih hitam daripada yang tampak di waktu siang. Saking kagetnya karena tidak menduga sebelumnya, keluar teguran dari mulutnya,
"Eh, kau...? Kau mau apa...?"
Kemudian ketika merasa bahwa pertanyaan yang keluar tiba-tiba ini terlalu kasar, ia menyambung cepat, nada suaranya lebih halus,
"Saudara mencari siapa?"
Orang itu tersenyum lebar, giginya yang putih berkilat di balik kumis tipis. Orang ini tampan dan tegap, usianya takkan kurang dari tigapuluh tahun, sikapnya tenang dan sinar matanya tajam. Sebelum menjawab ia memandang ke kanan-kiri, lalu berkata halus,
"Selamat malam dan maafkan kalau saya mengganggu. Saya mendengar bahwa di sini akan diadakan pesta besok malam. Dapatkah saudara-saudara memberitahu di mana akan diadakan pesta itu dan untuk kepentingan apakah? Saya seorang pelancong dari Denpasar."
Wijono makin curiga. Logat bicara orang ini seperti orang Bali, bukan seperti orang asing dari luar pulau. Juga Bahrudin memandang dengan tajam penuh selidik, hanya Basri yang memandang acuh tak acuh. Ktut Witha mendengar pertanyaan ini segera menjawab,
"Betul saudara. Besok malam diadakan pesta tari-tarian di Pura Subak, di tepi dusun sebelah timur. Pesta ini selain untuk memenuhi permintaan dan menghormat kedatangan pembesar bagian pertanian yang akan meninjau juga untuk minta berkah kepada Dewi Sri agar panen musim ini berhasil baik."
"Ah, begitukah? Terima kasih, nona. Saya mendengar bahwa nona Ayu Puspa puteri Pedande di Gianyar ikut menari, kabarnya bersama seorang nona lain bernama Ktut Witha yang sejak dahulu menjadi kembang di antara para seniwati dusun ini. Betulkah?"
"Nona ini adalah Ktut Witha! Saudara agaknya ingin tahu sekali. Hemm, apakah maksud saudara sebenarnya?"
Tiba-tiba Bahrudin berkata dengan suara marah. Orang itu membungkuk-bungkuk sambil melangkah mundur.
"Ah, kiranya begitu? Maaf... maaf, dan selamat malam. Biarlah besok malam saya menikmati keindahan tarian nona."
Sebelum orang lain sempat menjawab, si jaket hitam yang penuh rahasia ini sudah pergi menghilang di dalam gelap. Sejenak empat orang itu diam saja. Akhirnya Wijono memecah kesunyian,
"Orang aneh... dan mencurigakan..."
"Tentu dia mengandung maksud hati yang tidak baik,"
Kata Bahrudin.
"Kurasa dia orang Bali asli, anak kota yang biasa menjal aksi dengan sepeda motornya,"
Sambung Ktut Witha tertawa.
"Dia tidak apa-apa, jangan terlalu curiga kalian."
Sementara itu, Basri sudah pergi menghampiri taxinya, menghidupkan mesin dan memasukan taxi itu ke dalam pekarangan.
"Pak Basri, malam ini aku mau tidur di mobil saja. Enakan tidur di luar dan aku tidak mau menyusahkan Ktut,"
Kata Bahrudin.
"Piihhh, mengapa begitu, mas Din? Sudah disediakan sebuah kamar tidur untuk kalian bertiga."
"Biarlah Pak Basri dan bung Wijono saja tidur di kamar, aku lebih senang tidur di dalam taxi, atau mungkin juga aku nanti kembali ke Denpasar, gampang besok kembali lagi untuk menonton pesta."
Bahrudin nampak gugup dalam pandangan Wijono dan Ktut Witha lalu mempersilahkan Bahrudin untuk makan dulu. Kemudian gadis itu bersama Wijono melanjutkan perjalanan ke Pura Dalam karena Bahrudin tidak ikut dan menyatakan lelah hendak beristirahat.
* * *
Ketika tiba di Pura Dalam, ternyata di situ sudah sunyi. Agakya pekerjaan persiapan itu sudah selesai. Tiga orang pemuda menjaga pura itu dan semua alat untuk pesta besok malam juga sudah terkumpul di situ, malah Wijono melihat topeng setan besar yang tadinya berada di rumah I Made Darma sekarang telah berada di dalam pura ini. Ktut Witha bercakap-cakap sebentar dengan para menjaga yang menyambutnya dengan ramah dan hormat. Kemudian ia mengajak Wijono untuk keluar lagi.
"Paman I Made Darma tadi berada di sini, sekarang telah keluar dan mereka tak tahu pergi ke mana. Heran aku kenapa paman tidak datang ke rumahku, mungkin juga ia diundang oleh Bapak Pedande. Mas Wij, mari kita melihat-lihat Pura Subak di mana besok malam diadakan tari-tarian."
"Baiklah, dik Ktut. Jauhkah tempatnya?"
"Tidak, tuh di ujung dusun. Di sana belum dibuatkan pesiapan, biasanya kalau akan diadakan pertunjukan pada malam harinya, pada paginya barulah mulai disiapkan. Ah, sudah lama sekali aku tidak masuk ke pura itu, dan dahulu entah sudah berapa lama aku menari di sana."
Suara gadis itu penuh gairah, agaknya teringat akan masa kecilnya dahulu yang penuh kegembiraan. Mereka berdua berjalan di dalam gelap. Makin jauh makin sunyi sampai akhirnya mereka tidak pernah bertemu dengan penduduk seorangpun. Namun hati Wijono tidaklah sunyi. Kadang-kadang tanpa disengaja, dalam berjalan itu tangannya bersentuhan dengan tangan Ktut Witha dan ini saja sudah mendatangkan denyut yang amat menyenangkan hatinya. Dengan amat gembira dia mendengarkan kata-kata gadis itu yang menerangkan ini-itu tentang pesta tari-tarian. Tiba-tiba perhatiannya terbangkit ketika tanpa disengaja gadis itu menyebut-nyebut nama Putusari.
"Jadi dengan I Putusari kah kau dahulu menari di Pura Subak itu?"
Wijono menegas dan kembali terbayang ia akan hal-hal aneh yang tadinya hampir ia lupakan dalam kegembiraannya berjalan-jalan dengan gadis ini.
"Dik Ktut, kau dahulu pernah bercerita tentang Putusari dan tunangannya. Sebetulnya pemuda tunangannya itu orang manakah?"
"Kasihan I Putusari!"
Ktut Witha menghela napas.
"Tunangannya itu seorang pemuda seniman dari Ubud. Seorang pelukis muda yang katanya juga berasal dari Jawa dan di Ubud ia tinggal bersama bibinya. Akan tetapi karena semenjak kecil tinggal di Bali, maka iapun seperti anak sini."
"Hemmm... malang benar nasib mereka. Dik Ktut, apakah pembunuhan terhadap mereka itu tidak pernah tersingkap rahasianya? Apakah pembunuhnya belum tertangkap?"
"Tidak... mana bisa ditangkap...? Pembunuhan bukan dilakukan oleh manusia..."
Suara gadis itu gemetar dan tanpa disengaja tangan mereka bertemu. Ktut Witha tidak melepaskan tangan Wijono, sedangkan pemuda ini yang merasa betapa tangan gadis itu dingin dan agak gemetar, juga segera menggenggamnya.
"Dik Ktut... biarlah kita tidak bicara tentang itu."
Tahu-tahu mereka sudah sampai di depan Pura Subak yang besar dan berpekarangan luas itu. Gelap di situ, akan tetapi agaknya Ktut Witha sudah hafal benar akan jalan masuknya, Wijono yang masih menggandeng tangan gadis itu, merasa ragu untuk masuk, akan tetapi karena Ktut Witha menariknya, iapun segera melangkah masuk. Malam itu udara penuh bintang sehingga remang-remang dapat ia melihat keadaan pura ini. Di bagian samping dan depannya terdapat ruangan terbuka yang luas dan dinding-dinding rendah dihias ukiran-ukiran amat indahnya.
"Mas Wij, banyak patung dan ukiran di sini adalah buatan tunangan Putusari..., pemuda yang malang itu..."
Gadis itu menghentikan kata-katanya dan kembali tubuhnya menggigil ketika terdengar suara anjing meraung-raung dari jauh. Wijono menariknya mendekat.
"Jangan bicara tentang mereka, dik Ktut. Mari kita pulang saja."
Tapi tiba-tiba suara anjing meraung-raung itu makin mendekat, datang dari arah barat seakan-akan anjing-anjing yang meraung itu berlari ke arah mereka. Ktut Witha berdiri terpaku di tengah ruangan terbuka di depan pura. Wijono menariknya untuk keluar. Jantung pemuda inipun berdebar tegang. Ketika mereka tiba di dekat pintu pura, mendadak Ktut Witha menjerit dan merangkul Wijono.
Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda inipun terkejut sampai mukanya menjadi pucat sekali ketika ia memeluk tubuh gadis itu karena tahu-tahu di depan mereka tampak topeng setan yang amat mengerikan. Topeng Leak Gua Gajah yang pernah dilihatnya berkali-kali! Lidah topeng itu panjang bergerak-gerak, sepasang matanya mendelik dan muka itu seakan-akan mengeluarkan cahaya. Setelah beberapa saat abrulah ia dapat melihat bahwa "iblis"
Itu bertubuh seperti manusia, hanya pakaian yang aneh seperti pakaian penari topeng iblis dalam tari-tarian Calon Arang yang pernah ditontonnya di stadion Sriwedari di Solo dahulu. Wijono sudah siap untuk melawan kalau iblis itu menyerang ktut Witha. Akan tetapi makhluk mengerikan itu tidak maju menyerangnya, hanya berdiri tegak lalu terdengar suara di balik kedok, yang bicara dalam bahasa Indonesia dengan dialek Bali,
"Kalian jangan takut... pulanglah..."
Setelah berkata demikian, si topeng setan ini memutar tubuh dan berjalan pergi dengan langkah gontai dan gerakan seperti dalam tarian, menghilang ke dalam gelap. Raungan anjing masih terdengar dari jauh akan tetapi perlahan-lahan siraplah. Malam sunyi kembali. Ktut Witha masih berada dalam rangkulan Wijono.
"Tenanglah, Ktut... jangan takut. Aku akan melindungimu dari ancaman siapapun juga..."
Berkali-kali Wijono menghiburnya dan tanpa disengaja tangannya mengusap-usap rambut kepala yang menempel di dadanya itu.
"Mas Wij... di dekatmu aku merasa aman..."
Wijono mempererat pelukannya.
"Aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku, dik..."
Ia menunduk dan mencium rambut yang melingkar di atas dahi yang kuning halus itu.
"Ah, mas Wij..."
Bisik gadis itu sambil meramkan kedua matanya. Beberapa menit lamanya sepasang orang muda ini terbuai dalam ayunan gelombang yang mulai menggelora di dalam hati.
"Mari kita pulang, dik."
Ahirnya Wijono dapat menguasai hatinya.
"Mas... dia tadi... dia itu paman..."
"I Made Darma...?"
"Betul, mas, aku mengenal suaranya, mengenal gerak-geriknya."
"Tapi... kenapa dia berbuat demikian? Kenapa menakut-nakuti kita?"
"Entah, aku tidak tahu. Sebelum menjadi pemangku (pembantu pedande), paman seorang penari ulung. Jika mengenakan pakaian dan kedok itu, dia memiliki kekuatan ilmu sihir, mas. Entah apa maksudnya, mungkin juga untuk melawan pengaruh jahat yang mengancam kita. Mari kita pulang saja, dengarlah, raungan anjing makin menjauh. Agaknya benar paman telah mengusir si jahat menjauhi kita."
Wijono mengangkat alisnya. Diam-diam ia tidak dapat menerima semua ketahyulan ini. Ia lebih percaya akan pendapat Bahrudin bahwa ada seorang jahat yang berpura-pura menjadi iblis Leak. Tadipun ia melihat sendiri I Made Darma yang menjadi iblis, sungguhpun tidak berniat buruk terhadap mereka. Ia makin bingung. Apakah artinya semua ini dan apakah yang akan terjadi selanjutnya?
Di antara semua perasaan bingung dan kuatir ini, terdapat cahaya terang yang amat mebahagiakan hati Wijono. Sikap Ktut Witha tadi! Takkan terlalu berlebihan kiranya kalau ia menduga bahwa gadis itupun "ada hati"
Kepadanya. Biarpun mereka belum membuka rahasia hati masing-masing secara berterang, namun terasalah tadi olehnya bahwa dalam hal cinta kasih, ia tidak bertepuk sebelah tangan. Ktut Witha, gadis bermata bulan yang menjatuhkan hatiya itu, suka kepadanya. Akan tetapi karena merasa belum waktunya, Wijono dalam perjalanan pulang ini tidak menynggung-nyinggungnya dan ia merasa cukup puas dapat menggandeng tangan Ktut Witha sampai di rumahnya. Mereka melihat bahwa Bahrudin sedang berbaring di dalam taxi. Melihat kedatangan mereka, Bahrudin bangun membuka pintu mobil.
"Bagaimana persiapannya?"
Tanyanya.
"Sudah selesaikah?"
"Sudah,"
Jawab Ktut Witha.
"Aku lelah dan maafkan, mas Wij dan mas Din, aku masuk dulu."
Gadis itu segera berjalan masuk ke dalam rumah. Wijono segera menceritakan pengalamannya, tentu saja urusan dia dengan Ktut Witha tidak ia ceritakan.
"Banyak keanehan memang kudapati di Bali ini, bung Bahrudin. Apa sih keanehan I Made Darma mengenakan pakaian dan topeng mengerikan itu untuk menakuti kami? Aku benar-benar tidak mengerti."
Bahrudin mengangguk-angguk.
"Hemm, begitukah? Kiranya I Made Darma pun pandai bermain Leak. Sudahlah, kita tidur dulu, bung Wijono, biar besok aku akan melakukan penyelidikan lagi. kau tidurlah di dalam bersama Basri."
"Tidak, bung Din. Bagaimana aku bisa tidur berdua saja dengan dia dalam sebuah kamar? Lebih baik aku tidur saja di sini, dalam taxi bersamamu."
Bahrudin tertawa.
"Kau takut?"
"Takut sih tidak. Akan tetapi, kita sudah menaruh curiga kepadanya. Kalau aku harus tidur berdua sekamar dengannya, kurasa semalam suntuk aku takkan dapat pulas."
Bahrudin tertawa lagi.
"Kalau begitu, biarlah kita yang tidur di dalam dan kusuruh Basri tidur saja di sini karena akupun hendak menyuruh dia pagi-pagi besok ke Denpasar mengambil kopor pakaianku di kamar hotel."
Mereka lalu memasuki rumah dan langsung menuju ke kamar samping yang disediakan untuk kamar tamu. Basri ternyata juga belum tidur, masih duduk di pembaringan sambil menghisap rokok.
"Pak Basri, aku dan bung Wijono akan tidur di sini, sebaiknya kau tidur di taxi sambil menjaga taximu dan besok pagi-pagi sekali pergilah ke hotel mengambil koporku di kamar. Ini kunci kamarnya."
Ia menyerahkan sebuah kunci. Sopir itu menerima kunci dan menggumamkan kata-kata,
"Baik."
Lalu keluar berkerudung sarung. Dua orang muda ini segera merebahkan diri.
"Aku mengantuk sekali,"
Kata Bahrudin dan kata-kata ini merupakan isyarat bagi Wijono untuk tidak banyak bicara. Akan tetapi akhirnya Bahrudin sendiri yang memecah kesunyian,
"Bung Wij, kau tidak berjumpa dengan si jaket hitam?"
"Tidak."
"Hemm, orang itu aneh. Agaknya ia tergila-gila kepada Ktut. Awas dia, kalau berani mengganggu Ktut, ku... bunuh dia..."
"Eh, apa katamu, bung Din?"
Wijono agak terkejut.
"...Hem, tidak apa-apa, bung. Aku hanya tak senang kepada orang itu..."
Kemudian sunyi dan terdengar sebentar lagi Bahrudin mendengkur. Wijono gelisah akan tetapi menjelang tengah malam, dapat juga ia tidur pulas.
* * *
Suara hiruk-pikuk disusul kegaduhan luar biasa membangunkan Wijono dari tidurnya. Ia melihat Bahrudin pun baru saja bangun. Kedua orang muda ini terkejut dan terheran-heran. Apakah yang terjadi. Setelah cepat-cepat mengenakan pakaian sepantasnya, keduanya lalu berlari keluar, Bahrudin di depan disusul Wijono. Kiranya Pak Basri yang menimbulkan keributan itu. Tak jauh dari rumah itu, kira-kira sejauh duaratus meter di sebelah timur, taxi itu yang dikemudikan Pak Basri menyelonong memasuki selokan dan menabrak pohon kecil. Ketika dua orang muda itu berlari-lari ke tempat itu, mereka melihat Pak Basri sedang ditolong oleh orang-orang, ditarik keluar. Ia pingsan akan tetapi hanya mendapat luka ringan di kepala dan pundak. Taxi itu sendiri medapat kerusakan di depan, spatbord kanan melesek dan radiatornya juga pecah.
Baiknya mesinnya tidak apa-apa. Roda depan sebelah kanan copot! Ramai orang membicarakan kecelakaan ini. Masih untung, kata orang banyak, kecelakaan tidak mengambil korban nyawa manusia. Bahrudin dan Wijono cepat menolong pak Basri, digotong ke rumah Ktut Witha yang juga sudah berlari ke tempat kecelakaan bersama ayah-ibunya. Kepala desa dan beberapa orang polisi desa sudah berada di situ pula mengadakan pemeriksaan. Malah tak lama kemudian datang sebuah jip polisi dari Gianyar, di antaranya dua orang petugas lalu-lintas yang mengadakan pemeriksaan pula. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu mengatakan bahwa pagi tadi mereka melihat taxi itu seperti dikemudikan seorang mabok, menyelonong ke kanan-kiri dan kemudian terbanting ke kanan, masuk selokan dan menabrak pohon! Kejadian aneh! Bahrudin bertukar pandang dengan Wijono.
"Tentu dia melarikan mobil cepat-cepat,"
Komentar Bahrudin.
"Kalau tidak, bagaimana bisa menyelonong ke selokan?"
Pada saat itu, dari arah barat datang seorang laki-laki berlari-lari, wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah. Laki-laki ini langsung menemui kepala desa yang sedang bercakap-cakap dengan para polisi dari Gianyar, lalu berkata-kata dengan suara gugup. Wijono tidak mengerti apa yang dikatakannya, akan tetapi ia kaget ketika Bahrudin memegang lengannya dan berbisik,
"Dia melaporkan bahwa dukun Nyoman Batuh telah kedapatan mati tercekik di dalam gubuknya!"
Mereka saling pandang, lalu menengok ke belakang ke arah rumah Ktut Witha di mana Pak Basri berada.
"Kiranya ia tadi hendak melarikan diri..."
Bahrudin berkata perlahan dan Wijono segera berlari menghampiri komandan polisi yang masih bercakap-cakap dengan si pelapor tadi.
"Pak..."
Katanya terengah-engah.
"Sopir taxi ini... Pak Basri, harus ditangkap... dia mencurigakan sekali, mungkin dialah yang membunuh dukun itu!"
Polisi tadi memandangnya tajam.
"Saudara siapa dan apa alasan kata-kata Saudara tadi?"
Ditanya dengan pandang mata tajam, Wijono agak gugup.
Baiknya Bahrudin segera datang dan dengan lancar menceritakan betapa Wijono malam tadi melihat sopir itu mengunjungi pondok Nyoman Batuh, betapa sopir itu amat mencurigakan sikapnya, berpura-pura tidak pandai berbahasa Bali akan tetapi oleh Wijono didengarnya bercakap-cakap dalam bahasa daerah ini dengan Nyoman Batuh. Polisi itu mengangguk-angguk, memberi perintah kepada anak buahnya untuk menahan Pak Basri sedangkan dia sendiri bersama kepala desa dan beberapa orang petugas lain mengendarai jip untuk memeriksa pembunuhan di rumah Nyoman Batuh. Pak Basri yang sudah sadar dari pingsannya, kaget ketika polisi yang dua orang itu menyatakan bahwa ia ditahan. Bahrudin melangkah maju dan dengan pandang mata marah berkata,
"Kembalikan kunci kamarku, huh, siapa kira kau seorang penjahat, pak Basri!"
Sopir itu masih bingung, apalagi melihat betapa semua orang memandangnya penuh kebencian.
"Aku... aku tidak mengerti..."
Katanya gagap sambil menyerahkan kunci yang tadi dikantonginya kepada bahrudin.
"Aku... tidak mengerti, mobilku tiba-tiba saja tak dapat kukemudikan dan masuk solokan... aneh sekali. Tapi... tapi kenapa aku ditahan? Kulihat tadi tidak menabrak seorangpun..."
"Kau ditahan karena didakwa membunuh Nyoman Batuh."
Seorang di antara dua petugas keamanan itu berkata singkat. Wajah Pak Basri menjadi pucat seperti kertas mendengar ini.
"...Membunuh... Nyoman Batuh? Dia... terbunuh? Mati...?"
"Malam tadi dibunuh orang!"
Bahrudin berkata dengan lagak seakan-akan dia yang telah memecahkan rahasia ini, seperti lagak detektif.
"Kau benar licin, Pak Basri. Malam tadi kau berpura-pura mogok sehingga aku repot mencari kerusakan mobil sedangkan kau sendiri pergi entah ke mana. Kiranya pergi membunuh orang."
"Aku sendiri melihatmu ke rumah dukun itu dan bercakap-cakap. Kemudian pagi ini kau hendak melarikan diri, membalapkan mobil dan Tuhan agaknya tidak mengijinkan kau pergi tak terhukum. Sudah lama kami mencurigaimu, pak Basri."
Kata Wijono pula. Sepasang mata sopir itu meliar, kemudian ia menunduk dan berkata perlahan,
"Baiklah, tangkaplah..., biar nanti kuceritakan kepada kepala polisi di Gianyar..."
Ia nampak seperti orang yang runtuh semangatnya ketika dua orang polisi itu membelenggu kedua tangannya dan menggiringnya keluar dari rumah. Ktut Witha tahu-tahu sudah memegang tangan Wijono. Pemuda ini menoleh, tersenyum dan menepuk-nepuk lengan gadis itu sebagai isyarat supaya kekasihnya ini tenang.
"Mas, benarkah dia membunuh orang..."
Gadis itu berbisik. Wijono mengangguk.
"Agaknya dialah yang selama ini melakukan pengacauan. Akan tetapi Tuhan adalah adil, dik. Sebelum ia lari, mobilnya mendapat kecelakaan dan dia ditangkap. Sekarang agaknya iblis itu akan lenyap pula bersama Pak Basri."
Ktut Witha mengerutkan kening di atas alis yang hitam lentik.
"Tapi... tapi dia kelihatan begitu baik, pendiam..."
"Menilai seseorang tak dapat dilihat dari luarnya, dik."
"Ha-ha, betul sekali kata-kata bung Wijono!"
Bahrudin yang agaknya mendengar ucapan ini maju mendekat dan berkata agak keras.
"Dan ucapan itu berlaku bagi siapa saja, bukan bung Wij?"
Wijono memandang heran dan Ktut Witha mengerutkan keningnya. Apakah di balik kata-kata ini? Namun Wijono segera dapat meraba. Sudah mulai tampak sekarang persaingan antara dia dan Bahrudin. Jelas bahwa Bahrudin merasa iri hati dan cemburu akan sikap manis Ktut Witha kepadanya. Hatinya tak enak dan dilepaskannya gandengan tangannya. Betapapun juga, Bahrudin adalah seorang yang baik dan cerdik, tidak patut kalau ia secara berterang melukai perasaannya. Pada saat itu terdengar deru mesin motor dan si jaket hitam meluncur lewat, lalu berhenti di dekat taxi yang masih terguling miring di solokan.
"Hemm, dia lagi. Mari kita ke sana,"
Ajak Bahrudin. Tiga orang muda ini lalu berjalan menghampiri tempat kecelakaan di mana Pak Basri berada pula di bawah pengawasan dua orang polisi tadi. Tak lama kemudian jip polisi yang tadi pergi ke rumah pembunuhan, sudah datang pula. Pak Basri lalu dinaikkan jip yang segera berangkat ke Gianyar setelah komandan polisi meninggalkan pesan untuk kepala desa, tidak hanya mengenai kecelakaan dan pembunuhan, akan tetapi juga persiapan menyambut datangnya pembesar pertanian. Lalu jip itu dihidupkan mesinnya. Wijono sempat mendekati jip dan bicara kepada komandan polisi,
"Pak, maaf... saya harap bapak juga mengamat-amati pengendara sepeda motor berjaket hitam itu, sejak kemarin dia megikuti kami saja..."
Komandan polisi memandang heran, menengok ke arah si jaket hitam, lalu mengangguk dan memerintahkan sopir jip untuk berangkat. Si jaket hitam memandang ke arah Wijono sambil tersenyum, kemudian menghidupkan motornya dan berangkat pula menyusul jip. Ia sempat melambaikan tangannya ke belakang, entah kepada Wijono ataukah kepada Ktut Witha atau Bahrudin, akan tetapi terdengar Bahrudin menyumpah dan hati Wijono merasa cemburu juga. Agaknya dia itu seorang pemuda berandalan yang hendak main gila dan lambaian tangan tadi tentu ditujukan kepada Ktut Witha.
Ia tidak akan membunuhnya seperti ancaman Bahrudin, akan tetapi kalau pemuda itu muncul kagi dan mengganggu Ktut Witha, ia akan menghadapinya! Siang itu tidak terjadi sesuatu. Ktut Witha sibuk di Pura Dalam untuk berlatih tari-tarian yang hendak dipertunjukkan malam nanti. Beberapa kali Wijono berusaha menemui I Made Darma untuk bicara tentang sikap aneh orang tua itu semalam, akan tetapi ternyata I Made Darma terlalu sibuk dan tidak mau menjumpainya. Ingin Wijono mendengar dari mulut orang tua itu sendiri tentang sikapnya dan tentang hasil daripada usahanya kalau memang betul dia itu berusaha melindungi Ktut Witha. Apakah semua perbuatan itu ada hubungannya dengan Pak Basri? Siang itu Bahrudin pergi ke Denpasar untuk mengambil pakaian.
"Aku akan kembali ke sini malam nanti, bung Wijono. Apakah kau hendak ikut ke Denpasar?"
Tentu saja Wijono tidak mau ikut dan ketika ia menyatakan tidak, Bahrudin tersenyum berkata,
"Wah, kali ini benar-benar hatimu telah tersangkut, bukan? Hati-hati, bung, kembang Bali banyak durinya. Jari terluka duri masih tidak mengapa, kalau hati terluka, berat kata orang!"
Merah muka Wijono.
"Bukan begitu, bung Din. Tapi aku lebih senang di sini daripada di Denpasar. Setelah menyaksikan keramaian di sini, aku hendak berpesiar ke Ubud dan tempat-tempat lain."
Tentu saja jawaban ini hanya untuk alasan saja, sebetulnya memang ia merasa berat meninggalkan Ktut Witha. Dengan kepergian Bahrudin leluasalah Wijono mendekati Ktut Witha setelah gadis itu pulang pada sore harinya dari Pura Dalam. Ia nampak lelah akan tetapi penuh kegembiraan.
"Sudah lama aku tidak menari, akan tetapi begitu mendengar gamelan dan melihat teman-teman menari, teringatlah semua yang pernah kupelajari dan tidak kaku,"
Katanya.
"Tak mungkin kau kaku dalam tarian, dik. Biarpun tak sedang menari, setiap gerak-gerikmu bagiku seperti bidadari menari saja."
Ktut Witha tersenyum manis dan mengerling manja. Mereka duduk di bawah pohon cempaka di samping rumah sehabis mandi. Sebelah luar tertutup dinding batu bata dilumur lumpur sehingga mereka dapat bercakap-cakap tanpa gangguan dan tidak terlihat dari luar. Ayah dan ibu Ktut Witha masih belum pulang, sibuk membantu di Pura Subak untuk persiapan pesta malam nanti. Rombongan tamu agung telah tiba, siang tadi diantar oleh kepala desa dan orang-orang penting di dusun itu, meninjau sawah-ladang dan perairan. Wijono melihat Ktut Witha memungut sebuah kembang yang rontok, memasangnya di rambut. Gerakan ini lemah gemulai dan menakjubkannya.
"Kau cantik sekali, dik."
"Piihh, jangan memuji, mas..."
Biarpun bibir menyatakan demikian, namun kerling mata menyatakan lain, terang bahwa dia senang dengan pujian itu. Juga kulit pipi yang memerah membayangkan betapa dalam kesan yang ditimbulkan oleh kata-kata tadi.
"Ktut...,"
Suaranya terhenti di kerongkongan. Gadis itu agaknya dapat menangkap perasaan di balik kata-kata yang menggetar ini, maka ia tetap menundukkan muka, tidak berani memandang, hanya menjawab lirih,
"...Hemmm...?"
"Dik Ktut, sebetulnya tidak patut apa yang hendak kukatakan ini... akan tetapi, apa hendak dikata... tak dapat pula aku menahan-nahannya, dik... malam tadi... kau bilang bahwa kau merasa aman di dekatku, betulkah itu, dik?"
Gadis itu mengangguk perlahan, mengerling sekilat tanpa memperlihatkan mukanya yang menunduk.
"Dik, aku akan mempertaruhkan jiwa ragaku demi keselamatanmu, demi kebahagiaanmu, tidak hanya untuk sementara, tidak hanya karena sekarang kau terancam, tapi... tapi untuk selamanya, dik."
Gadis itu mengangkat muka sedikit, mengerling agak lama, lalu menunduk kembali, tangan kiri di atas pangkuan, tangan kanan meremas-remas saputangannya. Wijono meraih tangan kiri itu, digenggamnya.
"Maafkan aku, dik... maafkan kelancanganku, tapi... tapi... biarpun kita baru beberapa hari berkenalan, timbul keyakinanku bahwa aku... aku cinta padamu, dik..."
Hening sejenak. Wijono menggenggam tangan kiri itu di kedua tangannya, memandang penuh harapan. Gadis itu menunduk, tangan kanan yang memegang saputangan kini bergerak, membawa saputangan itu ke depan muka untuk menghapus air matanya yang menitik turun.
"Maaf, dik, apakah aku menyinggung perasaanmu? Kenapa kau menangis?"
Ktut Witha tetap diam saja, air matanya makin deras.
"Dik Ktut, katakanlah... apakah kau sudah mempunyai pilihan hati? Adakah orang lain yang sudah mengisi hatimu?"
Suara Wijono gemetar, penuh kegelisahan. Muka itu diangkat, sepasang mata bulan yang basah menatapnya, lalu kepala itu menggeleng perlahan, kemudian menunduk kembali. Mata Wijono bersinar, wajahnya berseri penuh harapan, kedua tangannya yang menggenggam jari-jari tangan kiri itu makin erat.
Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dik, kalau begitu... ah, dik Ktut. Aku cinta padamu, dik. Peristiwa-peristiwa aneh yang kita alami bersama, kengerian dan ketegangan bersamamu, ah, semua itu... semua itu menimbulkan cinta kasihku kepadamu. Kau tak percaya, dik? Aku bersumpah... aku bersumpah biar dimakan Leak Gua Gajah kalau aku membohong..."
Tiba-tiba Ktut Witha menarik tangan kirinya, bangkit berdiri dengan muka pucat.
"Jangan...! Aku... aku tajut, mas...!"
Dan diapun berlari pergi dengan langkah-langkah lemas. Wijono cepat mengejar. Dalam lima langkah saja ia dapat menyusul, meraih gadis itu dan merangkulnya.
"Dik, jangan takut, ada aku di sini!"
Untuk sesaat gadis itu menangis dalam rangkulan Wijono, kemudian ia berbisik.
"Mas, aku takut... aku teringat akan nasib Putusari dan kekasihnya... aku takut kalau-kalau kau akan mengalami nasib buruk, dikutuk oleh..."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan merapatkan mukanya yang basah air mata di dada Wijono. Wijono mendekapnya, berdongak dan tertawa.
"Kau maksudkan Leak dari Gua Gajah? Ha-ha, dik Ktut, bohong, semua itu. Agaknya si jahat Basri pula yang melakukannya dan sekarang si pembunuh itu telah ditangkap. Tak perlu kau takut lagi, dik."
Ktut Witha merenggutkan dirinya terlepas dari rangkulan Wijono dan berkata, wajahnya pucat.
"Tidak, mas... hatiku tidak enak... aku mendapat firasat buruk... agaknya bahaya masih mengancam kita. Mas Wij... jangan bicara tentang... cinta..."
Wijono penasaran. Dengan tangan masih memegangi tangan kiri gadis itu ia berkata,
"Dik, mengapa kita harus meributkan soal tahyul? Kita adalah orang-orang terpelajar dan tak perlu kau takut. Kalau memang ada pengaruh jahat itu, aku akan melawan dengan taruhan nyawa. Untuk membelamu, aku tidak sayang berkorban kiw ragaku, dik. Aku cinta padamu. Baiklah, aku tidak akan mengulang persoalan ini, akan tetapi dik, setidaknya jawablah, apakah kau dapat menerima perasaanku ini? Apakah aku bukannya mengharapkan sesuatu yang kosong belaka? Dik Ktut, cintakah kau kepadaku?"
Kembali Ktut Witha menangis dan tidak melawan ketika dipeluk pemuda itu yang mengusap-usap rambut kepalanya.
"Bagaimana, dik...?"
Ktut Witha mengangkat muka, matanya yang berkaca-kaca itu menatap wajah Wijono dan ia menagngguk! Malah suaranya lirih menambah,
""Begitu bertemu, aku... cinta padamu, mas..."
Hampir saja Wijono bersorak saking girangnya. Dengan penuh keharuan ia menciumi dahi gadis itu, lalu dilepaskan pelukannya dan digandengnya Ktut Witha duduk kembali di bawah pohon. Jari-jari tangan gadis yang dipegangnya diciuminya berkali-kali penuh cinta kasih, penuh keharuan dan penuh kehormatan.
"Ktut... kau memberi kebahagiaan kepadaku, kau dewi pujaan hatiku, matahari penerang jiwaku..."
"Ssttt, mas, cukuplah. Kita saling mengetahui perasaan masing-masing, cukuplah. Kuharap kau jangan bicara tentang ini... kelak saja di Jawa. Di sini jangan, mas..."
Melihat bahwa kekasihnya betul-betul takut, Wijono menarik napas panjang.
"Baiklah, dik, baiklah. Aku akan segera memberitahu orang tuaku, meresmikan pertalian kita. Aku ingin segera membawamu ke tempatku, jauh daripada segala keanehan mengerikan di sini."
"Sudah, mas. Kita bersikap seakan-akan tidak ada apa-apa di antara kita, seperti kemarin. Ah, kau tidak tahu, mas... kau tidak dapat merasai pengaruh yang mencekam hatiku sebagai seorang anak Bali... aku bukan seorang yang bertahyul... tapi..."
"Baiklah, dik. Aku dapat mengerti... dan terima kasih, dik, akan kepercayaanmu kepadaku."
Ktut Witha tersenyum manis, memandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan, lalu menyentuh tangan pemuda itu perlahan.
"Kau baik sekali, mas, kasih sayangmu terasa benar di hatiku."
Dua orang itu saling pandang dan mereka tergetar sampai ke dalam kalbu, dapat merasakan dan menangkap cinta kasih yang menggelora di hati mereka, yang pada detik-detik itu mendatangkan kebahagiaan yang sukar dilukiskan. Tiba-tiba Ktut menarik tangannya dan pandang matanya yang tadinya mesra berubah ketakutan ketika dengan terbelalak ia menengok ke kiri. Wijono mengikuti pandang mata itu dan iapun terkejut melihat sepasang mata mengintai mereka dari lubang pagar dinding di luar.
"Kurang ajar!"
Serunya dan dengan sigap ia meloncat ke arah pagar bata itu untuk melihat siapa orangnya yang berani mengintai. Akan tetapi ia tidak melihat siapa-siapa di luar, hanya mendengar suara motor dan dari jauh tampak seorang pengendara motor menoleh ke arahnya. Si jaket hitam! "Siapa, mas?"
Tanya Ktut Witha.
"Tidak ada siapa-siapa, dik, barangkali hanya anjing atau kucing yang di sana tadi."
"Ahhh..., nah apa kataku, mas? Kau berhati-hatilah. Sudah mulai gelap, aku harus siap-siap berangkat ke Pura Subak."
"Baiklah, mari kuantar kau, dik."
Ktut Witha masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian dan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pesta tari nanti. Sementara itu Wijono menanti di luar. Seorang laki-laki masuk melalui pintu pekarangan dan Wijono segera mengenal orang itu sebagai pembantu rumahtangga sahabatnya di Denpasar. Seorang laki-laki muda tanggung membawa surat Waluyo untuknya.
"Dari Pak Waluyo, harus saya sampaikan kepada bapak sendiri,"
Kata anak tanggung itu menyerahkan surat bersampul. Setelah Wijono menerimanya, anak tanggung itu berpamit karena ia harus pulang ke Denpasar sore hari itu juga.
"Wij, Aku sudah mendengar semua peristiwa yang kau alami. Biarpun Pak Basri sudah tertangkap, jangan tinggalkan kewaspadaan dan jagalah sahabatmu baik-baik. Bahaya tetap mengancam tapi percayalah akhirnya akan dapat dihancurkan. Sahabatmu, Waluyo."
Wijono membaca surat itu berulang-ulang dengan penuh keheranan.
Dari siapa Waluyo mengetahui itu semua dan apa artinya bahwa bahaya tetap mengancam biarpun Pak Basri sudah tertangkap? Apa artinya ini semua? Ingin ia bertemu dengan Waluyo dan menanyakan hal ini, akan tetapi tak mungkin sekarang ia pergi ke Denpasar. Pula, tak dapat ia meninggalkan Ktut Witha seorang diri. Benar pula pesan Waluyo, ia harus menjaga dia baik-baik, karena agaknya bayangan ancaman itu mengarah Ktut Witha, atau... dia juga? Wijono cepat mengantongi surat itu ketika Ktut Witha keluar. Gadis itu mengenakan gaun merah jambu, membawa tas berisi alat-alat berhias nanti. Lenyaplah segala kekuatiran hati Wijono ketika ia melihat kekasihnya berdiri berseri-seri dan gilang-gemilang di depannya. Ingin ia memeluknya, akan tetapi mengingat akan perkataan Ktut Witha tadi, ia hanya berdiri memandang mesra dan berkata perlahan,
"Dik Ktut... kau... kau hebat!"
Ktut Witha tersenyum dan sepasang mata bulannya bersinar-sinar, tanda bahwa hatinya amat gembira menerima pujian pemuda pujaannya itu. apalagi ketika Wijono cepat-cepat mengoper bawaannya yang agak berat, ia memandang mesra dan manja. Keduanya lalu berjalan keluar menuju ke Pura Subak. Biarpun amat gembira dapat mengantarkan kekasihnya, jalan berdua seakan-akan gadis itu tidak merahasiakan lagi kepada umum bahwa dia telah mendapatkan pilihan hatinya, namun Wijono tetap bersikap waspada.
Pandang matanya tak pernah melewatkan sesuatu yang kiranya mencurigakan dan seluruh urat dalam tubuhnya siap menghadapi apa saja untuk membela kekasihnya. Jalan yang biasanya sunyi itu sekarang ramai sekali, penuh orang yang hilir-mudik, akan tetapi lebih banyak yang berjalan menuju ke Pura Subak. Ktut Witha sibuk menjawab salam dan sapa mereka. Semua penduduk di situ mengenalnya, siapa tidak mengenal Ktut Witha yang dahulu sebelum melanjutkan sekolah ke Jawa menjadi bintang penari di samping mendiang I Putusari? Bermacam perasaan mengaduk hati Wijono ketika ia melihat betapa semua orang wanita yang bertemu di jalan memandangnya dengan penuh selidik dan kagum, sedangkan yang laki-laki memandangnya dengan iri hati.
Ah, karena Ktut Witha ia menjadi perhatian orang, seakan-akan ia "membonceng"
Ketenaran nama gadis itu di dusunnya. Hemm, kalau dia sudah menjadi "punyaku"
Dan kubawa ke Solo, takkan begini jadinya, pikirnya penasaran. Makin dekat ke Pura Subak, makin ramailah orang dan mulai terdengar suara gamelan. Di depan pura itu sendiri tampak beberapa buah mobil diparkir di pinggir jalan dan karena tari-tarian belum dimulai, agaknya mobil-mobil mewah ini sudah merupakan tontonan yang cukup menarik, terutama bagi kanak-kanak yang merubungnya. Wijono melihat beberapa orang sopir mobil-mobil sedan mewah itu mengusiri anak-anak yang terlalu mendekat pada mobil, agaknya anak-anak itu ingin sekali merasai kelicinan kulit mobil mengkilap itu dengan sentuhan jari-jari tangan.
Ktut Witha mengajak Wijono memasuki pura melalui pintu samping dan ternyata di belakang pura itu telah dibuat bangunan darurat untuk tempat para pemain dan penari berdandan. I Made Darma sendiri menyambut kedatangan Ktut Witha, diikuti seorang gadis cantik jelita yang bukan lain adalah Ayu Puspa yang terus saja merangkul Ktut Witha dan dua orang gadis itu dengan ramai bercakap-cakap sambil tertawa-tawa. Agaknya Ayu Puspa menggoda Ktut Witha sambil mengerling tajam ke arah Wijono yang tidak mengerti apa yang mereka percakapkan. I Made Darma dengan muka serius mengangguk kepada Wijono lalu bercakap-cakap dengan Ktut Witha. Gadis ini lalu menghampiri Wijono dan berkata lirih,
"Mas Wij, harap kau sekarang keluar dan menonton dari luar. Kau duduklah di kursi barisan terdepan. Aku dengan teman-teman di sini dan tentu saja tak baik kalau kau berada di sini pula, karena di sini adalah tempat para pemain."
Wijono mengangguk, lalu memberi hormat dengan anggukan kepala kepada I Made Darma dan Ayu Puspa, kemudian melangkah keluar. Ia melihat betapa di dalam bangunan darurat itu penuh dengan orang-orang yang berpakaian beraneka ragam, ada yang sedang berdandan dan tampak kesibukan luar biasa sehingga ia merasa tidak enak sendiri memang kalau berdiam di situ. Akan tetapi ia tidak berjalan memutar keluar, melainkan berdiri di belakang pura, dalam pekarangan belakang yang luas dan penuh pohon-pohon besar.
Aku harus menjaga di sini, pikirnya, apalagi kalau ia teringat akan isi surat Waluyo. Biarpun pada saat itu Ktut Witha berada dengan kawan-kawan, akan tetap Wijono tetap sangsi dan tetap hendak menanti di situ. Ia malah memilih sebuah tempat yang enak untuk menunggu, yaitu di bawah sebatang pohon besar dan duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar. Tempat itu gelap dan hawanya nyaman sekali. Ia bersandar pada batang pohon, dari tempat gelap ia dapat melihat keluar, agak jauh ia melihat betapa orang-orang hilir-mudik di depan pura yang disinari lampu-lampu petromax. Suara gamelan terdengar jelas dari situ, iramanya naik-turun, kadang-kadang bising, kadang-kadang mengalun lambat, gamelan yang amat asing dan aneh bagi pendengarannya, namun mendatangkan keseraman.
Wijono sudah pernah menonton tari Bali dan mendengar gamelannya dan ia harus mengakui bahwa setiap gerak tari, setiap irama gamelan, semua mencerminkan dinamika yang kuat. Para tamu berdatangan, baik tamu para pembesar dari Gianyar dan Denpasar yang segera disambut dan mendapatkan tempat duduk yang layak, maupun para tamu tak diundang, yaitu para penduduk yang berdatangan dan sudah merasa puas untuk berdiri di luar pura, yang belakang berusaha memanjangkan leher agar dapat menonton cukup jelas. Tarian dimulai dan suara gamelan makin menggelora. Wijono tadinya enak saja duduk di bawah pohon. Akan tetapi karena maklum bahwa Ktut Witha ikut menari, tak kuat ia menahan keinginan hatinya untuk menonton tarian kekasihnya itu.
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo