Goda Remaja 2
Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Kemana saja kau pergi mas Johan?"
"Ke Jakarta, jeng. Wah, bukan main ramai Jakarta sekarang. Jalan raya Jakarta by-pass, jembatan daun-semanggi, air mancur berwarna, gedung Senayan, Hotel Indonesia, Sarinah... wah, pendeknya terlalu banyak dan semua hebat-hebat. Ibukota kita cantik benar, jeng Rin. Sayang kau tidak melihatnya."
Dengan senyum masih menghias wajahnya, Rini menjawab,
"Sudah sepatutnya kita menjadi bangga, baru mendengar saja aku sudah bangga, mas Jon."
Rini lalu menoleh kepada bibinya yang menghempaskan diri keatas kursi, nampaknya Ielah sekali, keningnya berkerut dan kedua matanya dipejamkan, rambutnya kusut. Bibinya nampak lebih tua dan layu. Melihat sikap yang muram ini, Rini dapat menduga bahwa bibinya tentu telah kalah berjudi lagi.
"Bi, tadi piringnya pecah satu. Tak sengaja kujatuhkan..."
Serentak bibinya bangun dan memandang penuh kemarahan.
"Piringku pecah satu? Hemmm, kau tidak tahu berapa harganya piring sekarang? Mahal sekali, kau tahu? Apa kau tidak bisa lebih berhati-hati,Rin? Kalau tiap hari kau pecahkan sebuah piring, tak lama lagi warungku bisa gulung tikar!"
Selama beberapa hari ini bibinya memang sering kali marah-marah, terutama sekali kalau kalah berjudi, akan tapi kali ini kata-katanya benar dirasakan amat menusuk hati Rini.
"...Baru satu kali ini kupecahkan piring..."
"Tentu saja baru satu kali! Kalau sudah terlalu sering, aku tentu sudah bangkrut dan menjadi pengemis!"
Untuk sedetik Rini menatap wajah bibinya dengan mata terbelalak, kemudian ia menunduk, mengigit bibir dan berkata lirih,
"Maafkan aku bi..."
Kembali bibinya menjatuhkan diri diatas kursi, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala
"Sudahlah... sudahlah..., ditambah tangis lagi. Lebih baik ambilkan minum untuk nak Johan!"
Rini mengusap airmatanya lalu menyiapkan minuman untuk Johan tanpa berkata apa-apa. Ia mendengar Johan tertawa kecil dan berkata,
"Aah, bi War, kenapa urusan sebuah piring pecah saja marah-marah? Biarlah besok kuganti selosin untuk piring yang dipecahkan jeng Rin."
Rini yang merasa nelangsa hatinya, teringat keadaannya yang tidak ada pembela dan pelindung mendengar pembelaan ini, tak dapat ditahannya lagi airmatanya bercucuran. Ia cepat menaruh gelas teh didepan Johan, lalu berlari masuk menahan isak. Beberapa menit kemudian ketika bibinya memasuki kamar, Rini masih rebah menangis diatas pembaringan, memeluk bantal yang sudah basah airmata. Hatinya menjerit-jerit bersambat kepada ayahnya yang sudah tiada. Ikut ibu sengsara, ikut bibi nelangsa. Ah, nasib. Berganti-ganti terbayang didepan matanya hal-hal yang amat tidak menyenangkan. Peristiwa malam-malam di Kudus disusul bayangan Hirman bergandeng tangan dengan Mience, lalu bibinya marah-marah. Aneh sekali, kenapa antara tiga hal tidak menyenangkan itu, yang paling menonjol dihatinya adalah bayangan Hirman berserimbit dengan Mience?
"Sudahlah, jangan kau menangis, Rini. Maafkan bibimu, aku tadi memang sudah membawa kemarahan dari tempat judi."
Rini memang berperasaan halus. Ia bangun dan dirangkulnya bibinya, lalu ia menangis didada bibinya yang mengelus-elus rambutnya.
"Diamlah, diamlah, malu terdengar nak Johan"
"Akulah yang bersalah, bi. Aku kurang hati-hati, biar lain kali aku akan menjaga benar supaya tidak terulang lagi..."
"Sudahlah!"
Bibinya tersenyum dan mereka duduk berhadapan diatas pembaringan.
"Rin, aku ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu."
Rini segera mendengarkan dengan penuh perhatian sambil memandang wajah bibinya. Ada apa lagi ini?
"Rin, bagaimana pendapatmu tentang nak Johan? Bukankah dia itu amat baik sikapnya terhadapmu? selalu ramah, selalu melindungi?"
Rini mengangguk lambat.
"Memang dia baik sekali bi. Ada apakah?"
Bibi War menarik napas panjang.
"Tidak hanya terhadapmu dia bersikap manis dan ramah. Malah aku telah berhutang budi banyak sekali kepada nak Johan. Kalau tidak ada dia yang menolongku, entah sudah berapa kali aku kehabisan modal dan harus menutup warungku..."
Kembali dia menarik napas panjang. Rini memandang tajam,
"Kenapa kau ceritakan semua itu kepadaku, bi?"
"Begitu baik dia kepada kita, Sampai-sampai sebagian besar daripada ongkos yang kukeluarkan untukmu, uang sekolah, pakaian-pakaian baru, sebagian besar adalah pemberiannya..."
"Bi War...!"
Rini berseru perlahan, menutup mulutnya, wajahnya memucat.
"Memang dia baik sekali, Rin. Oleh karena itu kuharap saja kau takkan menjadi orang yang tidak kenal budi. Tidak apa kau selalu bersikap dingin kepadanya selama ini, karena memang kau masih muda remaja, dan sudah sewajarnya kau menahan harga seperti kukatakan dahulu. Akan tetapi, tidak baik kalau terlalu lama menahan diri, akan menimbulkan benci, akan menyakitkan hati. Tak baik menyakiti hati laki-laki yang begitu baik kepada kita, Rin..."
"Apa... apa maksudmu, bi...?"
Suara Rini gementar.
"Tidak apa-apa, diapun tidak bermaksud buruk. Malam ini dia sudah mendapatkan karcis undangan untuk pemutaran film, dia mendapatkan dua karcis. Maksudnya untuk kau sehelai."
Ketika dilihatnya wajah keponakannya itu memperotes, cepat-cepat Bi War menyambung,
"Ini kan malam Minggu, Rin. Dan tidak aneh kalau seorang gadis seperti engkau menonton film dikawal oleh seorang teman laki-laki. Dan Johan adalah teman baik, teman dan penolong kita. Apa salahnya sekali-kali pergi menonton bersamamu.
"Ah... aku... aku malu, bi. Malu kepada teman-teman..."
"Hanya karena malu kepada teman-teman kau akan menyakiti hati Johan kalau kau selalu menolak tawarannya, Rin. Dia sampai malu dan tidak berani mengajakmu langsung, akan tetapi tadi karena kasihan kepadamu, ia setengah memaksaku untuk membujukmu. Dia tidak bermaksud buruk, dia sopan dan nontonnya hanya sampai jam setengah sepuluh malam. Kali ini saja kau jangan menolak, Rin, Kalau bukan untuk Johan, sedikitnya kau lindungilah muka bibimu. Aku sudah berhutang budi banyak sekali, kalau kau menolak kali ini, akulah yang akan merasa tak enak sekali..."
Untuk beberapa menit Rini termenung. Anehnya, kembali terbayang Hirman dan Mience berjalan bersama-sama didepan warung, berserimbit mesra. Hatinya panas.
"Baiklah, bi, Suruh dia menunggu sebentar."
Berseri wajah Bi War. Diciumnya pipi Rini.
"Kau anak manis!"
Dan berlarilah Bi War keluar dari kamar, menuju kewarung dimana Johan menanti penuh harap.
"Kita jalan kaki saja, mas Jon. Aku tidak Mau membonceng scooter... Lebih enak jalan kaki, sambil jalan-jalan."
Johan tak menjawab, tak sempat menjawab karena tiada habisnya ia bengong mengagumi Rini yang muncul dengan gaun merah-muda. Bukan main manisnya! Disisimu, manis, jangankan baru berjalan kaki ke gedung bioskop, biarpun mendaki gunung Merapi aku sanggup, pikirnya gembira.
"Masukkan saja scootermu, nak Jon,"
Bi War mencampuri.
"Baiklah,"
Jawab Johan! Memang tidak seaksi kalau boncengan, dengan lengan yang halus itu memeluk pinggangnya seperti yang seringkali ia impikan. Akan tetapi kalau dipikir-pikir lagi, lebih senang berjalan kaki, karena akan lebih lama ia dapat berduaan dengan Rini.
Bagi Rini sendiri, bukan semata-mata karena ia tidak suka membonceng, melainkan karena ia ingin berjalan disisi Johan lewat didepan rumah Hirman. Ingin ia supaya Hirman melihat dia berjalan disisi Johan sambil bercakap-cakap seperti tadi ia melihat Hirman dan Mintarsih. Akan tetapi kecewalah hatinya. Percuma saja ia bersikap manis, bicara sambil tersenyum kepada Johan ketika lewat didepan rumah Hirman, karena rumah itu sunyi saja, tidak kelihatan siapapun juga diluar, segera sikapnya terhadap Johan berubah dingin. Namun Johan tidak merasai perubahan ini. Hatinya terlampau girang dan bangga. Biarpun bangga dua-tiga bulan Rini menjadi ratu kembang diwarung gudeg, dara jelita ini dikagumi semua orang muda, namun ia telah terkenal sebagai seorang gadis yang dingin dan sukar didekati.
Semua godaan dan pancingan selalu diterimanya dengan dingin. Maka amatlah membanggakan hati kalau sekarang ia berhasil membawa gadis itu nonton, memamerkan kepada orang-orang muda bahwa dialah yang berhasil meruntuhkan hati sigadis manis! Malam itu Johan bersikap manis dan sopan. Telah banyak ia mendengar pesan nasihat Bi War bahwa terhadap Rini ia harus bersikap halus dan sopan karena gadis itu pernah mengalami kekejutan luar biasa ketika ayah tirinya hendak mengganggu sehingga menimbulkan kebencian kepada laki-laki yang tertarik kepadanya. Tentu saja kalau menurutkan bisikan nafsu hatinya, ingin ia mengajak Rini berpelesir, berdansa agar ia dapat memeluk pinggang yang ramping Itu, agar dapat menyentuh kulit yang halus dan mencium rambut yang harum.
Akan tetapi kecerdikannya membuat Johan bersikap sebaliknya, ramah-tamah dan sopan. Senang juga hati Rini melihat sikap Johan. Film yang ditonton malam itu memang bagus. Pulangnya mampir minum es "Mambo"
Dan Johan membeli beberapa buah majalah Selecta dan Varia untuk Rini. Malam itu Johan pulang dengan hati puas dan harapan besar untuk dapat menangkan hati Rini akhirnya. Harapannya memang besar. Bi War sudah pasti akan membantunya, pasti dan harus. Takkan sia-sia ia mengorbankan uang untuk janda itu, dan bukan tiada artinya sekian lamanya ia mendekati janda setengah tua yang masih manis menarik itu. Apalagi sekarang Bi War terjatuh kedalam cengkeraman iblis judi. Ah, mudah! Makin sering Rini melihat Mience lewat didepan warungnya dan menuju kerumah Hirman.
Beberapa kali ia melihat pemuda itu pergi bersama Mience. Makin panas hatinya. Hubungannya dengan Johan makin baik, akan tetapi hal ini tidak melenyapkan ketidak senangan hatinya melihat Hirman dan Mience. Sudah dicobanya untuk mengusir perasaan cemburu yang tak berdasar ini, namun sia-sia. Mintarsih atau Mience, orang apa itu? Tukang dansa, dimana-mana dipercakapkan orang-orang muda, dijadikan bahan sendau-gurau, namanya menjadi buah-bibir pemuda-pemuda cross-boys, gadis genit kebarat-baratan yang sudah hampir kehilangan kepribadiannya sendiri. Bayangkan saja. Rambutnya disasak sampai tinggi, mukanya seperti kertas dilukisi, pakaiannya ketat membayangkan bentuk tubuh yang sexy (menggairahkan), ketawanya menggema lepas ditempat umum, kelewat kenes, genit! Nama yang sudah baik-baik Mitarsih, nama pemberian ayah-bundanya, dirobah menjadi Mience.
Bicaranya juga campur-campur diselingi bahasa Inggeris. Gadis yang begitu menjadi pilihan Hirman? Butakah mata pemuda itu? Ataukah saking bodohnya tukang cetak muda itu? Makin panas hati Rini. Pernah ia melihat Mintarsih membonceng scooter Johan. Tangan gadis itu erat-erat memeluk pinggang Johan sambil tertawa-tawa ketika scooter lewat cepat didepan warung. Akan tetapi Rini hanya mencibirkan bibir sama sekali tidak timbul perasaan tidak enak atau marah. Memang ia tahu bahwa Mintarsih mengenal semua pemuda, apalagi pemuda seperti Johan. Pagi hari itu, hari Minggu, Bi War berada warung. Agak gembira sikapnya, mungkin malam menang judi. Ketika Rini sedang membersihkan lodong-lodong (stopfles) tempat makanan dengan lap bersih. Tiba-tiba terdengar suara sepatu dari luar.
"Hallo, Rin. You tinggal disini?"
Rini menengok, tersenyum heran.
"BetuI, Mien. Duduklah. Dari manakah kau?"
Kemudian memandang pakaian gadis itu yang indah mewah, akan tetapi terlalu menyolok. Potongan didada terlampau rendah, gaun tak berlengan itu terlampau lebar dibagian bawah lengan, bagian bawahnya amat sempit sehingga mencetak pinggul dan pinggang. Pendeknya, gaun yang amat indah, dari kain yang mahal, akan tetapi terlampau "berani"
Atau menantang mata pria!
"Ah, hanya kebetulan lewat dan I melihat you dari luar."
Ia memandang Bi War yang nampak kagum dan heran.
"She is Bi War, isn't she? (Dia ini Bi War, bukan)? Sudah lama saya mendengar nama Bi War dan warung gudeg ini,"
Katanya sambil mengangguk pada Suwarni.
"Aah, warung kecil saja, nak. Duduklah. Rin, Siapakah nak ini?"
"Dia Mintarsih, bi, temanku bermain bulutangkis"
"Ah, begitukah? Duduklah, nak Mintarsih. Tempatnya sempit dan kotor"
"Tidak apa, bi. Panggil saja aku Mience, semua temanku menyebut begitu,"
Kata Mintarsih sambil mengebutkan saputangannya keatas kursi yang sudah bersih sehingga bau minyak wangi berhamburan kemana-mana. Bi War mengangkat alisnya.
"Apa? Min-ca?"
"Mience,"
Mintarsih menerangkan.
"Lha ija, Min-ca."
Memang sukar bagi orang yang tidak dapat berbahasa Belanda untuk menyebut Akhiran nama "ce"
Ini yang merupakan singkatan daripada bunyi ce dan je.
"Sudahlah, bi, sebut Min saja cukup,"
Kata Mintasih sambil tertawa. Rini juga tertawa, sebagian besar kebenciannya terhadap Mintarsih lenyap ketika melihat keramahan gadis ini.
"He, Rini, hari ini Sunday (Minggu), kenapa di rumah saja? Jangan menyia-nyiakan masa mudamu, dong!"
Rini tersenyum.
"Dirumah aku bekerja, Min. Kurasa pekerjaan sama sekali tidak menyia-nyiakan masa muda. Kau mau minum apa, Min? Kopi susu, atau teh manis?"
"Ah, sudahlah jangan repot-repot. Dirumah aku sudah breakfast (sarapan). Laginya, ini kan warung. Masa mesti suguh tamu?"
"Tidak apa, nak Min. Jangan sungkan, kau kawan baik Rini?"
"Hajolah, Min. Jangan tolak rejeki."
Rini berkelakar, gembira oleh sikap Mintarsih yang ramah dan gembira.
"Baiklah kalau mau traktir. Kopi susu pun okay (baik)."
"Kau macak (berpakaian indah) sepagi ini hendak kemanakah?"
Rini bertanya setelah menaruh gelas kopi susu diatas meja.
"Itulah, ku-ulangi lagi kata-kataku tadi. Tak baik menyia-nyiakan masa muda. Bekerja ya bekerja, akan tetapi jangan lupa bersenang-senang. Mumpung (selagi) kita masih bebas, belum ada ikatan. Kalau kelak sudah terikat rumah-tangga, kan tidak sebebas sekarang?"
Merah wajah Rini, merasa tersindir.
"Aku harus membantu bibiku disini, pula... akupun tidak suka berpelesir."
"Aaah, nonsense (omong kosong)! Mana ada orang muda tidak suka pelesir? Dan lagi, I yakin bibimu tidak akan begitu kejam untuk memperkuda keponakannya sendiri, disuruh bekerja seperti slave-girl (budak belian). Bukankah begitu. Bi? Kan bibi tidak keberatan kalau Rini kuajak pelesir dihari Minggu ini.
Memang pandai sekali Mintarsih bicara. Ditanya begitu, mana mungkin orang menyangkal lagi? Bi War yang biasanya pandai bicara, sekarang menghadapi Wintarsih kehabisan akal. Pula, memang ia tidak keberatan kalau Rini kadang-kadang pergi dengan teman-temannya. Bukankah ini pula kehendak Johan, yaitu agar Rini jangan menjadi terlalu "dusun"?
"Aku tak pernah melarang. Memang orang muda harus sekali-kali mencari kesenangan dengan teman-teman. Kau pergilah kalau ingin pelesir dengan nak Min, Rin."
Hati Rini tertarik, akan tetapi ia masih ragu-ragu. Tak disangkanya sama sekali, Mintarsih yang biasanya pendiam dilapangan bulutangkis, yang biasanya nampak sombong, dan yang dibencinya karena sikapnya terhadap Hirman, ternyata begini ramah, begini baik. Memang orang harus bergaul secara karib kalau hendak mengenal watak seseorang.
"Pergi kemanakah, Min?"
"Kemana saja, kan banyak tempat pelesir. Ke Sriwedari atau ke Bengawan, ke Balekambang. Mau nonton film pun boleh, atau... kurasa kita akan lebih gembira kalau pergi saja ke si Deddy. Disana ada band berlatih dan biasanya diadakan dance (dansa)."
Rini mengerutkan keningnya.
"Kau maksudkan si Deddy teman... mas Johan itu?"
Teringatlah dia akan keributan diwarung ketika teman-teman Johan, diantaranya si Deddy, ribut-ribut dengan Hirman.
"Betul dia, kenapa sih?"
Merah wajah Rini.
"Ah, tidak apa-apa. Hanya aku... aku tidak bisa dance..."
Mintarsih membelalakkan matanya, nampaknya terheran-heran seperti seorang ibu mendengar tentang seorang gadis yang tidak bisa menanak nasi.
"Ah, masa...?? Sedikit-Sedikit bisa, tentu."
"Sungguh, Min. Aku tidak bisa sama sekali."
"Terrible! (Mengerikan!) Seorang SMA-er (murid SMA) tingkat terakhir, a would be student (calon mahasiswi), dan... tidak pandai dance? Malu dong! Bukan calon mahasiswi kalau tidak pandai dance!"
Makin merah muka Rini.
"Aneh sekali ucapanmu itu, Min. Apa hubungannya dance dengan kemahasiswaan?"
"Iihh, tentu saja ada tali-temalinya!"
Jawab Mintarsih genit sambil mainkan biji matanya."
Seperti juga pakaian modern menjadi ukuran orang beradab, dance menjadi ukuran orang intelek (terpelajar)."
"Jadi kalau tidak pandai dance berarti bukan intelek?"
"Begitulah! Atau lebih tepatnya, belum complete (lengkap). Bayangkan saja, didalam pertemuan orang sopan, orang-orang tergolong kaum intelek, tentu diadakan dance, dan kalau tidak pandai dance yang menjadi sopan-santun pergaulan tingkat tinggi, kan malu?"
Ia bangkit berdiri dan berkata,
"Hajo, kau gantilah pakaian dan ikut aku. Nanti kuajak kau ketempat orang-orang muda bergembira. Kan boleh, bi?"
"Tentu saja boleh. Pergilah Rin, ganti pakaian. Hari ini aku tidak keluar. Kau pergilah bersama nak Min."
Menghadapi keramah-tamahan yang penuh daya pengaruh mendesak ini, Rini tak dapat bertahan lagi. Ia memasuki kamar, berganti pakaian dengan hati debar. Memang senang bergaul dengan orang-orang muda seperti Mintarsih. Pula..., agaknya perlu ia belajar tentang cara hidup modern karena... bukankah Hirman pun tertarik kepada Mintarsih? Tentu saja karena Mintarsih ultra-modern, tidak seperti dia yang masih hijau, masih bodoh, masih "dusun"!
* * *
"Didalam Dunia, ada dua jalan,
Lebar dan sempit, boleh kau pilih.
Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang lebar api, jiwamu mati,
Tapi yang sempit, hidup berglori."
Memang, kebenaran besar terkandung dalam nyanyi gereja ini. Segala sesuatu yang bersifat BURUK, selalu amat INDAH tampaknya dan amat MUDAH dilakukannya. Sebaliknya yang bersifat BAIK, selalu terlihat JELEK tampaknya dan amat SUKAR dilakukannya.
Misalnya perjudian yang sudah terang amat buruk sifatnya, namun dapat mendatangkan hiburan dan kesenangan, serta amat mudah dilakukan tak usah belajar lagi. Sebaliknya, pengajian ilmu dan agama yang amat baik sifatnya, ternyata menimbulkan enggan, bosan, dan pula sukar dipelajari. Tanpa belajarpun orang dapat menjadi ahli judi, sebaliknya biarpun sudah diajar bertahun-tahun belum tentu orang dapat menjadi ahli ilmu dan agama! Karena kesenangan duniawi yang menjadi ke daripada keburukan itulah, maka hanyak orang tersesat. Kesenangan merupakan daya-penarik hebat yang dipergunakan iblis untuk menyeret manusia kedalam neraka. Karena buta oleh kesenangan, manusia melalui jalan raya yang lebar dan indah, menikmati kesenangan yang tersedia disepanjang jalan raya baru ini, sama tidak tahu atau tidak perduli bahwa ujung atau akhir jalan raya itu merupakan jurang yang amat dalam.
Pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita sudah menjadi keharusan pada dewasa ini. Jaman yang sudah modern ini tidak memperbolehkan adanya pemisahan-pemisahan tradisionil antara laki-laki dan wanita tidak sesuai lagi dilakukan peraturan yang mengekang kaum wanita, membuat mereka itu terkurung didalam kamar, tak boleh sembarangan bertemu muka kaum pria. Sejarah itu maju, jaman itu masih selalu terjadi perubahan kearah kemajuan. Tak boleh sekali-kali kita mundur, karena kalau kita mundur atau mandeg (berhenti), kita yang akan terseret jaman. Akan tetapi, disamping menyesuaikan diri demi kemajuan jaman, jangan sekali-kali kita lupa ada garis pemisah antara pergaulan sopan dan pergaulan mesum.
Karena, bukan hal aneh apabila kita mendekatkan minyak dan api lalu timbul bahaya kebakaran. Demikian pula, apabila laki-laki dan wanita bergaul dengan bebas, timbullah bahaya-bahaya pelanggaran susila. Memang tak dapat disangkal lagi, amatlah menyenangkan pergaulan bebas ini, karena memang diantara kedua fihak sudah ada daya penarik satu kepada yang lain. Memang jaman menghendaki kemajuan, yang modern menghendaki pencurahan perasaan secara terbuka dan tidak mau mengekangnya dibalik segala macam sopan-santun kuno. Akan tetapi waspadalah, hai kaum muda, bahwa dalam pergaulan bebas ini, seperti api dekat minyak, dapat bahaya besar. Kita boleh mengikutinya, akan tetapi dengan kewaspadaan besar, dengan kesadaran mendalam agar jangan sampai minyak terjilat api. Harus kita gariskan selalu batas-batas kesopanan yang sudah menjadi dasar daripada kepribadian bangsa kita.
Boleh bergaul bebas dalam urusan olah-raga. urusan sosial, urusan pelajaran, bahkan urusan politik, karena ini adalah kehendak atau tuntutan emansipasi kaum wanita yang sudah sepatutnya disejajarkan dengan kaum pria dalam urusan keduniaan. Namun, dalam urusan lain yang bukan dinas, seperti urusan pesta, piknik dan lain-lain yang bersifat bersenang-senang, harus kita adakan garis pembatas agar jangan terjadi pelanggaran kesusilaan yang dilakukan tanpa kesadaran karena orang-orang muda sudah mabok oleh anggur pergaulan bebas! Kewajiban ayah-bundalah, kewajiban guru-guru dan saudara-saudara tua, untuk selalu mengingatkan para remaja akan bahaya ini, bahaya anggur yang nikmat dan mabokkan tanpa disadarinya. Sungguh kasihan bagi Rini. Ayah tiada, ibu jauh dan bibinya sendiri menjadi permainan iblis-judi.
Tak seorangpun menasihatinya dan sekali ia ikut bersama Mience, disusul kedua kali, ketiga kali dan makin sering pula. Tak dapat disangsikan pula, dasar kepribadian Rini, seperti sebagian besar dasar kepribadian gadis-gadis remaja kita, amat kuat. Memang, Rini dapat menjaga diri, tak mudah terseret kedalam gelombang yang menyesatkan. Namun, sekali ia memasuki pergaulan baru ini berarti ia membiarkan dirinya diancam seribu satu macam bahaya. Senang dan nikmat membuat Rini hampir melupakan bayangan Hirman. Sekarang ia menjadi sahabat karib Mintarsih, malah dengan John huhungannya makin akrab. Bukan hal aneh lagi baginya kalau ia menonton berdua saja bersama Johan atau kawan lainnya. Lumrah (jamak) bagi orang muda modern, bagi seorang calon mahasiswa! Perduli apa pandang mata dan kata-kata orang-orang lain, orang-orang kuno bukan intelek.
Pokoknya asal dia bisa senang dan tentang jagadiri, dia sanggup! Rini mulai malas belajar, malah agak malas membantu bibinya. Kadang-kadang ada rasa malu. Seorang gadis terpelajar seperti dia kok menjaga warung nasi gudeg? Akan tetapi terpaksa ia lakukan karena seluruh hidupnya sekarang tergantung kepada bibinya, berarti tergantung kepada sumber nafkah yang dihasilkan oleh warung itu. Makin banyak teman-temannya. Cross-boys dan cross girl yang dulu ia anggap orang-orang muda setengah gila sekarang baginya merupakan teman-teman yang lucu-lucu, yang modern, yang menyenangkan. Karena mendapatkan seorang guru seperti Mience yang all-round (segala dapat) dalam waktu sebulan-dua bulan saja Rini sudah pandai berdansa barat, dari waltz sampai twist! Seringkali Mience bermalam dikamarnya, malah gadis modern ini sudah dianggap seperti saudara kandungnya diri.
Sore hari itu hujan turun. Sejak siang tadi hujan turun. Warurg sepi. Rini sudah mandi, seorang diri menjaga warung. Bibinya, kemana lagi kalau tidak berjudi? Rini belum sembahyang magrib, atau lebih tepat, tidak sembahyang. Makin jarang ia bersembahyang, tadinya hanya karena kelupaan, kemudian karena malas, Akhirnya menjadi kebiasaan. Hujan turun terus. Warung makin sepi karena jalan tidak kelihatan orang berjalan. Rini sudah memanaskan gudeg, sambal-goreng dan lain-lain diatas api untuk dijual besok. Ia sudah bersiap-siap untuk menutup warung, biarpun baru jam tujuh. Banyak pelajaran harus dihafal malam ini. Akhir-akhir ini ia malas belajar, pelajaran nya banyak mundur. Baru saja Rini hendak menutup daun pintu, Tiba-tiba dari dalam gelap muncul Hirman. Pakaian pemuda ini basah-kujup.
"Sesore ini hendak tutup, dik Rin?"
Pemuda itu memasuki warung, lalu menggunakan saputangan untuk menghapus air dari mukanya, kemudian duduk diiatas sebuah kursi. Rini tidak jadi menutup daun pintu, lalu surut kembali dan berdiri dibelakang meja warung.
"Dimana Bi War, kok sepi amat diwarung?"
"Kopi saja, dik. Bukan main dinginnya."
"Tidak makan?"
"Tidak."
Rini membuatkan segelas kopi, setelah menaruhnya diatas meja, ia memandang pemuda itu. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Hirman.
"Hampir sebulan kau tidak kelihatan. Kemana saja, mas Hirman?"
Hirman agak lambat menjawab. Pemuda ini sedang mengamat-amati Rini. Alangkah banyak perubahan pada diri gadis ini. Bentuk rambutnya yang tinggi bibirnya diberi pemerah-bibir tipis-tipis, gaunnya berpotongan ketat.
"Kau belum menjawab, mas."
"Oh..., maaf, dik. Aku baru saja pulang hari ini. Pamanku yang tinggal di Semarang sakit keras, aku menengok dan menjaganya disana."
"O, begitukah?"
Rini memperhatikan Hirman. Agak kurus pemuda ini. Masih pendiam biarpun perkenalan mereka sudah berjalan agak lama, masih nampak sungkan bicara dengannya. Hirman beberapakali memandang, kadang-kadang menarik napas panjang, keningnya selalu berkerut.
"Dik Rin...,"
Ia memandang gadis itu, sikapnya sungguh-sungguh.
"Ada apakah, mas?"
Rini mengangkat alis, kebiasaan yang ia tiru dari Mintarsih.
"Ada sesuatu hendak kubicarakan denganmu..."
Sepasang mata gadis itu memandangnya penuh pertanyaan. Akan tetapi Rini tak dapat mengeluarkan kata-kata karena debar jantungnya naik ketenggorokannya seakan-akan mencekik.
"Sebetulnya sudah lama aku hendak bicara denganmu, jauh sebelum aku berangkat ke Semarang bulan yang lalu. Keadaanmu Akhir-akhir ini, beberapa bulan Akhir-akhir ini... hemmm, dik Rin, terpaksa aku membuka mulut dan terpaksa aku harus mengajak kau bicara. Ia berhenti sebentar, pandang matanya yang tajam itu menentang wajah Rini dengan tenang dan berwibawa. Rini merasa seakan-akan berhadapan dengan seorang guru, atau seorang kakak, atau seorang ayah yang hendak memarahinya. Debar jantungnya mengeras.
"Apa maksudmu"
Ia bertanya, menenangkan hatinya sambil melepas senyum mengejek. Senyum yang seakan-akan berkata.
"Kau ini tukang cetak biasa hendak memberi kuliah apa? "
"Pertama-tama tentang bibimu, dik Rin. Aku tahu, bibimu makin dalam terjerumus kedalam jurang perjudian. Segala barang dijual untuk dihabiskan meja judi. Demikian maboknya sampai-sampai tidak segan memakai uang siapapun juga, dengan kondisi apapun juga, asal ada modal untuk bermain judi..."
Merah wajah Rini, matanya bersinar marah.
"Perduli apa kau dengan urusan bibiku?"
Ia bertanya setengah berteriak.
"Tentu saja aku perduli karena disini ada engkau!"
Hirman pun setengah berteriak Sampai-sampai membuat Rini kaget dan heran setengah mati kenapa muda ini mendadak bersikap begini luar biasa.
"Kalau tidak ada engkau disini, biar dia akan berjudi selama hidup, siapa akan perduli? Dia menyeretmu kedalam bahaya! "
"Apa... apa maksudmu...?"
Rini bertanya lirih sekarang, saking marah, heran dan terkejut.
"Itu soal pertama. Soal kedua lebih hebat lagi yaitu tentang dirimu sendiri. Kau gadis remaja yang masih hijau, dengan membuta kau memasuki pergaulan yang kotor dan berbahaya. Bergalang-gulung dengan orang-orang macam Mience, macam Johan, Deddy dan sebangsanya..."
Rini menudingkan telunjuknya kedepan hidung Hirman, marahnya tak dapat dikendalikannya lagi
"Lancang mulut! Kau perduli apa dengan urusanku?!?"
Hirman menepuk meja sampai sendok wedang kopi berkerontangan jatuh dari atas gelas.
"Tentu saja aku perduli! Kau seorang gadis remaja yang murni bersih, sekarang berubah hampir menjadi cross-girl berdansa-dansi, nonton film dengan teman laki-laki, pulang malam, bertingkah yang tak pantas...!"
"Kurang ajar kau!"
Rini hampir menjerit.
"Kau perduli apa dengan itu semua? Kau ini tukang cetak biasa, berani memberi kuliah macam ini kepadaku? Apa kau dosen, mahasiswa, ataukah propesor? Iih tak tahu diri. Kau iri hati... hah, kau iri!"
Hirman menggeleng kepalanya.
"Aku memang orang biasa, akan tetapi aku lebih tua dari padangan dik Rin. Dan aku tidak iri, melainkan... kasihan kepadamu. Aku... aku tak sampai hati melihat kau tertimpa malapetaka hebat. Percayalah kepadaku, dik. Sebelum terlambat, tinggalkan tempat berbahaya ini. Aku sudah mendengar banyak tentang dirimu, dari Bi War. Pulanglah saja ke Kudus, kerumah ibukandungmu sendiri. Disana kau akan lebih selamat dalam pengawasan orang-tua sendiri."
Mendengar ini, Tiba-tiba Rini menangis tersedu-sedu. Seperti diingatkan ia akan keadaan dirinya yang sudah ada tiada berayah dan biarpun masih beribu, namun seakan-akan sudah tidak beribu lagi. Akan tetapi hanya sebentar. Segera ia mengangkat mukanya dan kembali sinar kemarahan membayang dimatanya.
"Mas Hirman. Kau benar-benar bermulut lancang. Kau sombong sekali, bersikap seolah-olah kau seorang terpelajar. Kau kira seorang anak-kecil? Aku seorang terpelajar, tahu? Aku dapat menjaga diri. Kalau orang mau rusak, biarpun dikurung didalam kamarpun akan rusak. Sebaliknya kalau memang orang pandai menjaga diri, biarpun berada diantara orang-orang yang sesat, akan tetap bersih."
"Kau keliru, dik Rini. Pendidikan dan pergaulanlah yang menentukan rusak tidaknya jalan hidup seorang. Terutama sekali pergaulan karena pendidikan hanya merupakan dasar penguat batin. Tidak ada orang yang terlahir menjadi penjudi, atau menjadi pelacur. Hanya pergaulan dan keadaan sekelilingnya yang menentukan. Kau berada didekat seorang bibi yang menjadi penjudi mabok, dan bergaul dengan teman-teman yang tidak baik pula. Keadaanmu amat berbahaya...
"
"Sombong! Darimana kau mendapatkan filsafat-filsafatmu ini? Dari mesin cetakmu? Dari fakultas? Dari pengalaman? "
"Dari buku, dik Rin. Sekali lagi kutekankan, berbahaya sekali pergaulanmu dengan teman-temanmu itu."
Makin panas hati Rini. Orang ini menganggap dirinya siapakah berani bicara macam itu kepadanya? Ia tersenyum penuh ejekan.
"Hemmm, jadi kalau menurut buku-bukumu itu, kalau aku tidak pergi dari sini, aku akan menjadi tersesat pula...?"
Dadanya penuh hawa amarah yang hendak meledak. Andaikata bukan Hirman yang bicara macam itu padanya, kiranya takkan semarah ini dia.
"Betul, dik. Tidak hanya tersesat, malah kau akan menjadi rusak binasa. Dan aku...
"
"Plak.. pranggg...!"
Pipi kanan Hirman berdarah. Ia meraba pipinya dan memandang kepada cangkir yang pecah berantakan diatas meja setelah tadi menghantam pipinya, dilontarkan oleh gadis yang marah itu. Rini berdiri membelalak. Kaget akibat perbuatannya sendiri. Pucat dan bengong ia menatap wajah Hirman. Pemuda itu berdiri perlahan.
"Dan aku..."
Ia melanjutkan kata-katanya sambil mengusap darah yang mengucur terus dari pipinya dengan tangan.
"Dan hatiku akan terluka, jauh lebih hebat daripada luka dipipiku ini. Akan hancur dan tak berarti hidupku kalau melihat kau dalam keadaan mengerikan itu dik... Semoga Tuhan melindungimu dan mengingatkanmu akan jalan sesat itu..."
Dengan langkah lambat Hirman keluar dari warung. Hujan masih mengucur deras, dijalan masih sunyi lagi gelap.
"Mas Hirman... tunggu...,!"
Hirman tersentak kaget, hampir tak percaya, membalikkan tubuh dan berdiri didalam hujan. Gadis itu sudah berlari mengejarnya dan kini berdiri didepannya sambil menangis terisak-isak.
"Mas., maafkan aku tadi, mas... aku terburu nafsu... Biarkan kucuci luka itu, mas, kuberi obat-merah agar jangan infeksi.."
Dengan mesra terdorong oleh perasaan hati pada saat itu, jari tangan Rini menyentuh pipi Hirman yang terluka. Tapi Hirman surut selangkah dan berkata halus,
"Tak usah, Rin, Biarkanlah. Bukan aku yang perlu obat, melainkan engkau, Rin, obat batin..."
Rini terisak.
"Mas Hirman, mengapa seaneh ini sikapmu kepadaku...? Mengapa sekejam ini kata-kata mu...? Kau cela pergaulanku dengan Mintarsih, akau tetapi... kenapa kau sendiri gulang-gulung dengan dia...?"
Didalam gelap Hirman tersenyum.
"Setiap teman laki-laki dia bujuk, tak terkecuali aku. Akan tetapi...,aku takkan terbujuk, Rin. Masuklah, pakaianmu basah-kujup, masuk-angin kau nanti..."
Hirman lalu pergi menuju kerumah pondoknnya sendiri. Rini berdiri mematung, memandang sampai bayangan pemuda itu lenyap ditelan air hujan dan gelap. Sambil terisak ia lalu kembali kewarungnya, menutup warung dan tanpa berganti pakaian ia melempar diri diatas pembaringan, menangis.
* * *
Ujian terakhir sudah dekat. Rini belajar dengan penuh semangat, namun ia selalu gagal. Keadaan pelajaran nya banyak mundur tanpa ia sadari. Hari itu kembali ia gagal dalam latihan ujian ilmu alam, Pak Lukman memberi nasihat dengan kening berkerut,
"Melihat angka nilaimu, kau amat menurun, Rin. Atau perlukah kau menambah dengan latihan khusus? Kalau perlu, aku sanggup setiap sore memimpinmu barang satu jam dirumahmu."
Pandang mata guru muda yang penuh kasih itu tak terlepas dari perasaan Rini. Ia dapat merasa dengan hati-wanitanya bahwa guru muda inipun termasuk seorang diantara mereka yang jatuh-hati kepadanya.
"Terima kasih, pak. Sudah tidak ada waktu lagi sekarang. Pula, saya harus membantu bibi, pekerjaan banyak sekali."
Ketika bubaran sekolah, mereka bertemu lagi di depan sekolah.
"Mau kuboncengkan, Rin? Aku ada keperluan, lewat didepan warung bibimu,"
Kata Lukman. Rini menggeleng kepala, tersenyum malu.
"Jangan pak. Teman-teman suka mengejek dan menggoda. Saya malu. Biar saya berjalan kaki saja. Bapak amat baik terima kasih."
Pada saat itu, pandang mata Rini tertarik kepada seorang yang berjalan dikaki-lima depan sekolah.
"Mas Hirman..."
"Oh, dik Rin. Baru pulang?"
Rini bergegas menyeberang jalan menghampiri Hirman yang jalan seorang diri. Pemuda ini tidak berpakaian tukang, melainkan pakaian biasa dan tangan kanannya membawa beberapa buah buku. Tanpa bemufakat lebih dulu, keduanya jalan berdampingan diatas kaki-lima.
"Darimana, mas? Kitab-kitab filsafatkah itu?"
Merah wajah Hirman.
"Ah, kitab bacaan biasa, dik."
"Eh, Bung Hirman!"
"Hallo, bung Lukman!"
"Kapan kau mengadakan pameran? Kudengar hendak kau adakan di Balai Rakyat?"
"Tunggu sajalah, bung Lukman. Belum lengkap."
Lukman tersenyum, menaiki sepedanya dan ketika ia lewat didekat mereka, ia berkata kepada Rini,
"Kiranya kau sudah kenal dengan pelukis kita ini, Rin, pelukis yang alim."
"Kami tetangga, pak..."
Jawab Rini, Lukman hanya tertawa dan melanjutkan perjalanan.
"Tak kusangka kau seorang pelukis, mas Hirman."
Wata Rini memandang berseri-seri. Tak tahan Hirman menatap wajah yang berseri, cantik dan aju itu. Ia memalingkan muka dan menjawab sederhana,
"Aku hanya baru belajar, dik."
"Ohhh, kau di A.S.R.I. (Akademi Seni Rupa Indonesia), mas?"
Hirman mengangguk sunyi.
"Masih setengah tahun lagi, dik."
Dia tidak melihat betapa pipi gadis itu sebentar pucat sebentar merah. Betapa hati Rini takkan berdebar tidak karuan? Pemuda yang dianggapnya hanya tukang cetak biasa, yang dulu pernah dimakinya sebagai seorang yang kurang terpelajar, yang pernah ia pameri bahasa Inggerisnya dengan Johan pada malam pertemuan pertama, kiranya adalah seorang mahasiswa tingkat terakhir! Betapa ia takkan merasa malu oleh tingkahnya sendiri, seperti katak dalam sumur. Dan mahasiswa ini begini sederhana dan pendiam. Alangkah jauh bedanya dengan Johan, dengan Deddy dan pemuda-pemuda lain. Dan Mience? Pantas saja mereka mengenal satu kepada yang lain. Kiranya satu fakultas. Mience juga di A.S.R.I., hanya baru ditingkat dua.
"Kau sudah payah berkuliah, kenapa masih... bekerja disore harinya, mas?"
Hirman tetap menunduk.
"Aku perlu uang untuk biaya semua itu. Pula, bekerja adalah sehat dan menambah pengalaman."
"Tapi sebagai tukang cetak?"
Lupa Rini bahwa dia sendiri hanyalah seorang "penjual nasi gudeg!"
Hirman menatap tajam.
"Segala macam pekerjaan adalah mulia, dik. Tergantung daripada sipekerja. Aku akan jauh lebih memuliakan seorang tukang cetak yang memenuhi tugasnya daripada seorang direktur yang menyalah-gunakan kedudukannya."
Merah pipi Rini, teringat akan pekerjaan bibinya.
"Maaf, mas. Kau benar dan..."
"Teettt..., tettt...!"
Sebuah scooter berhenti di dekat mereka. Johan menahan scooter dengan kakinya,
"Baru bubar sekolah, Rin? Mari sini, kuboncengkan pulang!"
Rini menggeleng kepala.
"Tidak, mas Jon. Terima kasih. Aku mau jalan kaki saja bersama mas Hirman."
Johan membelalakkan mata, merengut dan menggerak-gerakkan alisnya. Dengan nada mengejek ia berkata
"What?? Do you mean walking home together with this... fool? (Apa? Kau maksud hendak berjalan pulang bersama sigila ini?)"
Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua pipi Rini menjadi merah sampai ketelinganya. Ia mengerling kearah Hirman yang hanya tersenyum dingin saja. Sudah tentu saja Hirman tahu akan arti bahasa Inggeris yang diucapkan Johan tadi. Bukan main malunya Rini. Malu, mendongkol dan benci kepada Johan.
"Mas Jon, jen wis lali bahasa Indonesia, lha mbok ya nganggo basa Jawa wae. Bocah Jawa wae kok ndadak Inggris-Inggrisan barang. (kalau sudah lupa berbahasa Indonesia, pakailah saja bahasa Jawa. Anak Jawa saja kok pakai Inggris-Inggrisan segala...!) Johan melongo, pringas-pringis seperti monyet mencium terasi. Bibirnya gementar, bergerak-gerak aneh.
"What... (Apa...)? Eh,...piye... jeng Rin, apa kau sudah menjadi gila...?"
Rini dan Hirman tertawa, lebih-lebih Hirman. Enak sekali ia tertawa. Johan cepat membesarkan gas, memasukkan versnelling dan scooternya meluncur pergi meninggalkan debu mengebul. Ketika tiba diwarungnya, dan Hirman terus pulang kerumahnya, tak lama kemudian Johan berkunjung kewarung. Keningnya berkerut, tanda ia marah. Begitu datang ia menegur Rini,
"Rin, apa maksudmu dengan omongan tadi? Kalau memang kau tidak suka berbahasa Inggeris, bilanglah, jangan membikin malu aku dimuka umum."
Rini memang sudah merasa menyesal. Ia tidak bisa mempersalahkan sikap Johan tadi. Memang pemuda ini suka sekali berbahasa Inggeris. Ia tadi agaknya sengaja membikin malu karena ada Hirman disana, dan terutama sekali karena Hirman disebut fool (sigila).
"Salahmu sendiri, mas Jon. Kau bicara bahasa Inggeris, mencela dan memaki orang. Kau kira mas Hirman tidak mengerti? Dia itu mahasiswa A.S.R.I. tingkat terakhir, tahukah kau?"
Johan melengak heran.
"Betulkah itu? Kenapa dia bekerja menjadi tukang cetak?"
"Dia miskin, harus mencari uang untuk kuliah..."
Johan masih terheran-heran, kemudian ia memukul pahanya sendiri.
"Ah, pantas saja kalau begitu."
"Pantas bagaimana?"
"Pantas si Mience tergila-gila kepadanya...!"
Rini membuang muka, tidak mau dia terlihat orang lain akan perasaan hatinya yang mungkin terbayang pada mukanya. Ucapan Johan tadi amat menusuk perasaannya dan kembali timbul perasaan yang dulu ketika untuk pertama kali ia melihat Hirman serimbit dengan Mience. Cemburu!
"Rin, kau sudah tak marah lagi kepadaku kan?"
Johan membujuk. Rini menggeleng kepala.
"Tidak, kenapa mesti marah? Tadipun aku tidak marah."
"Sukurlah kalau begitu. Rin, ada kabar baik. Minggu depan ini teman-teman mau berweek-end (berhari minggu) ke Tawangmangu. Dari sini naik scooter dan sepeda motor, kemudian di Tawangmangu disambung kuda ke Sarangan, bermalam di Sarangan. Berangkali hari Sabtu, pulang Minggu sore. Waah, tanggung hebat dah! Banyak mau memboncengku. si Mience juga, tapi semua kutolak, aku sudah punya partner (pasangan) sendiri, kaulah orangnya, Rin."
Kalau saja hati Rini tidak sedang dirusak cemburu kiranya diapun akan tertarik oleh ajakan ini. Memang dapat ia bayangkan betapa akan gembiranya pergi berpiknik dengan teman-teman ke Tawangmangu, pelesir, bernyanyi-nyanyi, dance, senda-gurau tertawa-tawa.
"Kau ajaklah Mience. Aku tidak pergi."
"Eh, jeng Rin. Kenapa? Aku sudah janji kepada teman-teman...
"
"Bagaimanapun juga, aku tidak ikut pergi, mas Jon."
Suara Rini yang tegas menyatakan kepastian penolakan ini membuat Johan marah dan penasaran. Keningnya berkerut, matanya tajam memandang Rini.
"Rin, kenapa kau tidak mau pergi? Kenapa?"
"Pertama, aku harus berada dirumah membantu bibi. Kedua, aku tidak mau pergi sampai bermalam dilain tempat"
"Aku bisa mintakan ijin kepada bi War. Kutanggung dia tidak keberatan."
"Tidak, mas Jon. Aku tidak mau. Jangan memaksa, kau ajaklah saja Mintarsih."
Johan marah. Dengan kasar ia keluar dari warung menghidupkan mesin scooternya dan terdengar ia berkata,
"Kau berubah setelah dekat dengan Hirman!"
Panas telinga Rini, akan tetapi ia tak sempat menjawab karena scooter itu sudah meluncur pergi. Rini termenung. Masih terngiang ditelinganya kata-kata Johan,
"Pantas si Mience tergila-gila kepadanya..."
Kemudian disusul kata-kata terakhir "Kau berubah setelah dekat dengan Hirman."
Kenapa hatinya tak senang mendengar Mience tergila-gila kepada Hirman? Kenapa pula hatinya berdebar aneh ketika dikatakan Johan bahwa ia berubah setelah dekat dengan Hirman? Hari Sabtu berikutnya ia melihat Johan boncengan dengan Mience, beserta lima buah kendaraan lain ramai-ramai lewat didepan warungnya. Mereka berteriak-teriak memanggil namanya dan melambaikan tangan, nampak gembira sekali. Setiap orang pemuda memboncengkan seorang pemudi, berpasang-pasangan. Untuk beberapa detik timbul perasaan kepingin dihatinya.
Alangkah senangnya, alangkah gembiranya. Akan tetapi, kcinginan ini lenyap ketika ia melihat Mience membonceng dibelakang Johan, memeluk pinggang Johan dengan lengan kanan, tertawa-tawa dan menempelkan pipi dipunggung pemuda itu. Lenyap kcinginannya hendak ikut malah ia merasa girang dan puas melihat pasangan Johan dan Mience. Ia tidak sudi menggantikan tempat duduk Mience! Setelah deru suara sepeda motor itu lenyap, Rini duduk termenung. Tak sabar ia menanti datangnya senja, datangnya saat Hirman keluar dari percetakan dan makan nasi gudeg seperti biasanya disitu. Hatinya berdebar aneh. Tidak ada kcinginan yang lebih dari pada kcinginan melayani Hirman makan disaat itu. Jam enam lewat sedikit, tepat seperti yang dinantikan oleh Rini, Hirman memasuki warung. Disitu sudah ada dua orang tamu yang sedang makan nasi gudeg, agaknya suami-isteri.
"Biasa, mas?"
Rini bertanya singkat. Hirman mengangguk. Pesanan biasa baginya setiap petang adalah nasi-gudeg sepiring dan segelas teh panas manis. Ada kalanya, kalau perutnya lapar benar ia minta tambah setengah porsi, akan tetapi hal ini jarang terjadi. Jantung Rini berdebar lebih cepat. Biasa pula hal ini. Memang, tanpa diketahui sebabnya, tiap kali ia melayani Hirman makan diwarung, dadanya berdebar debur tidak karuan. Akan tetapi karena mereka tidak banyak bicara, lain orang tidak dapat mengira apa yang terjadi didalam hati kedua orang muda ini.
"Silahkan, mas."
"Terima kasih."
Ucapan-ucapan inipun ucapan-ucapan yang sudah biasa mereka keluarkan. Kemudian Rini kembali kebelakang meja-warung, pura-pura mengerjakan ini-itu. Tapi kerlingnya selalu menyambar dan meleret kearah meja Hirman. Suami-isteri yang usianya sudah empat puluh tahunan itu saling pandang, tersenyum. Bagi mereka ini, kerling mata antara Rini dan Hirman yang hanya sekali-kali itu sudah cukup membuat mereka mengerti akan isi hati dua orang muda itu. Dengan senyum-senyum maklum mereka lalu membayar harga makanan dan keluar dari warung.
"Kau tidak ikut tamasya ke Tawangwangu, dik Rin?"
"Eh, kau kok tahu, mas?"
"Aku melihat mereka tadi. Sukur kau tidak mau ikut, dik."
"Mience juga ikut tadi mas, membonceng mas Jon."
Hirman mengerutkan kening.
"Hemmm..., dia tidak seperti kau. Tidak mau mendengar nasihatku."
Keduanya diam beberapa lama. Hirman melanjutkan makannya. Rini melamun. Sukar menjenguk isi hati pemuda ini, pikirnya.
"Mas, kapan kau hendak membuka pameran lukisan?"
"Seminggu lagi, dik. Hari Senin di Balai Rakyat. Aku... ah, sebetulnya ingin sekali aku minta tolong kepadamu. Tapi... aku khawatir kau tidak ada waktu dan...
"
"Minta tolong apa, mas? Katakanlah, masa tidak ada waktu."
"Selama hidupku, seperti setiap orang pelukis muda aku selalu mengimpikan datangnya saat membuka pameran lukisan, dik. Baru sekarang terlaksana dan... aku gelisah bukan main. Takut kalau-kalau gagal, takut menghadapi kritik di surat-surat kabar. Dan aku... aku tiada kawan, dik. Aku... akan senang sekali, akan tabah hatiku kalau... kalau sekiranya kau suka mengawaniku, membantuku menjaga di Balai Rakyat, untuk sehari saja, dik."
Tertegunlah Rini. Permintaan yang tak disangka-sangkanya sama sekali. Bagaimana ia dapat memutuskan begitu mendadak?
"Tentu saja setelah kau pulang dari sekolah, Kubuka dari jam lima sore sampai jam sembilan malam. Sukakah kau menolongku?"
Setelah hening sejenak, Akhirnya Rini menjawab pasti sambil mengangguk,
"Baiklah, mas. Aku akan bilang kepada bibi."
"Ah, terima kasih... terima kasih, dik Rin. Kalau ada kau... aku takkan... takut lagi."
Rini tertawa lirih, giginya yang berbentuk indah berkilau ditimpa cahaja lampu dua puluh lima watt.
"Aneh sekali kau, mas."
Kemudian pipinya menjadi merah dan ia nampak tersipu. Untuk menutupi perasaan ini, Rini segera melanjutkan kata-katanya.
"Sudah banyakkah lukisanmu, mas?"
"Banyak, dik. Lumayanlah, ada tiga puluh lebih. Marilah kau berkunjung ketempatku, ingin kumendengar keritikmu pertama-tama sebelum pameran diadakan."
"Aah, aku mana bisa mengeritik, mas? Kalau melihat saja, tentu aku suka. Indah-indah tentu lukisanmu, mas?"
"Kau lihatlah sendiri, dik. Mau kau berkunjung ke gubukku?"
"Baiklah, besok atau lusa sore kalau bibi berada diwarung."
Hirman kelihatan girang sekali. Wajah yang biasanya pendiam itu kini nampak berseri-seri. Entah mengapa setelah melihat pemuda itu bersikap demikian, timbul perasaan kasihan dihati Rini. Benar-benar aneh.
* * *
Tiga hari kemudian Bi War berada diwarung dan baru juga jam lima lebih, Hirman sudah berada di warung itu.
"Eh, nak Hirman. Kau tidak ngelembur?"
Tegur Bi War yang semalam pulang marah-marah karena menderita kekalahan besar.
"Tidak, bi. Hari ini aku prci. Aku hendak mengajak dik Rin melihat lukisan-lukisan yang hendak kupasang dipameran. Dimanakah dik Rin, bi?"
Sebelum Janda Suwarni menjawab, Rini sudah muncul dari pintu dalam, sudah mandi dan wajahnya nampak segar. Wajahnya tidak memperlihatkan bekas-bekas airmata yang semalam ia tumpahkan setelah ia mendapat marah besar dari bibinya. Semalam bibinya pulang jam sepuluh lebih, datang-datang marah besar karena Rini tidak mau ikut Johan pergi berpiknik ke Tawangmangu.
"Kau betul-betul membikin malu orang-tua, Rin! Kurang baik bagaimana nak Johan? Kau benar-benar tak kenal budi orang. Diajak piknik saja kau tidak mau, Sampai-sampai nak Johan mengajak nak Min. Kau benar-benar tidak tahu untung, menolak rejeki. Malah mendekati orang macam Hirman. Uhhh, benar tulang kere (pengemis)!"
Rini diam saja, hanya menangis seorang-diri setelah bibinya pulas. Besok paginya, seperti biasa, bibinya sudah tidak marah lagi dan Rini sepulang sekolah bekerja seperti biasa. Sore hari itu ketika Hirman muncul, Rini segera berkata kepada bibinya,
"Bi, aku sudah janji dengan mas Hirman akan melihat lukisan-lukisannya dirumahnya. Sebentar saja, boleh kan, bi?"
Rini tidak perdulikan pandang mata bibinya yang penuh kemarahan. Hirman cepat menyambung,
"Tidak lama, bi War. Hanya melihat lukisan-lukisanku yang akan dipamerkan, pula dekat tempatku dari sini, paling lama satu jam."
Tak enak juga bagi Suwarni kalau menolak begitu saja. Ia mengangguk dan menjawab kepada Rini,
"Sesukamulah, tapi jangan terlalu lama, lho. Aku mau pergi!"
"Baik, bi."
Dan cepat-cepat Rini keluar dari warung bersama Hirman. Dijalan ia berkata lirih.
"Semalam dia kalah, marah-marah. Sudah biasa dia begitu, kalau kalah marah-marah."
Hirman hanya menarik napas panjang.
"Kasihan kau, dik."
"Jeng Rin...! Kemana kau...??"
Rini dan Hirman berhenti melangkah dan menoleh. Mereka sudah tiba didepan rumah Pak Sastro dalang, tempat pondokan Hirman. Dari depan kini datang berlari-lari Johan, Deddy dan tiga orang pemuda lain yang bersikap berandalan. Hirman bersikap tenang, akan tetapi Rini menjadi gelisah sekali. Ia mengenal mereka itu sebagai kawan-kawannya, kawan-kawan baik yang cukup ia kenal sebagai pemuda-pemuda yang paling suka berkelahi. Tiga orang yang datang bersama Deddy itu adalah jagoan-jagoan diantara mereka.
"Hallo, mas Jon. Hallo, Ded."
Ia mengangguk tertawa kepada tiga yang lain.
"Aku hendak pergi melihat-lihat lukisan mas Hirman."
Johan menyeringai, memandang kepada Hirman dengan pandang mata mengejek.
"Kau tidak boleh pergi bersama hidung-belang ini!"
Katanya mendekati Rini. Hirman adalah seorang yang sabar, akan tetapi kali ini ia menjadi panas hatinya. Dipandangnya Johan dengan mata bersinar.
"Ada hak apakah kau melarang dik Rin pergi denganku?"
Akan tetapi bukan Johan yang menghadapi dia, melainkan Deddy yang segera melangkah maju dan membusungkan dadanya.
"Rini adalah teman kami, dan kami berhak melarang dia menjadi korban nafsumu!"
Berkerut kening Hirman, pandang matanya berbahaya.
"Tahan lidahmu, kawan. Apa yang kau maksudkan?"
Deddy tertawa, diikuti tiga orang temannya yang sudah mengurung Hirman. Johan menarik tangan Rini menjauhi dan gadis itu yang ketakutan tidak melawan. Tentu saja ia takut mendekat kalau orang-orang itu hendak berkelahi. Akan tetapi setelah agak jauh, dia merenggutkan tangannya yang dipegang Johan dan memandang kearah Hirman penuh kekhawatiran.
"Didepan Rini kau hendak membersihkan dirimu yang kotor? Aha, seorang laki-laki tidak perlu membohong. Kau sudah berlaku tak pantas kepada Mience, bukan?"
"Tak pantas bagaimana?"
Hirman bertanya, penasaran.
(Lanjut ke Bagian 03 -Tamat)
Goda Remaja (Modern Drama)
Karya, Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 03
"Kau melukis dia dalam keadaan telanjangbulat!"
Sepasang mata Hirman makin bersinar-sinar dan ia nampak marah sekali.
"Andaikata benar begitu, kau perduli apa?"
"Keparat! Mience adalah teman-baik kami, tak boleh kau menyimpan gambarnya. hayo lekas berikan gambar itu kepada kami!"
Hirman mengedikkan kepalanya, membusungkan dadanya.
"Aku yang melukis, dia yang menjadi model, enak saja kau mau minta. Sudahlah, harap kalian pergi saja, jangan mengganggu aku dan dik Rin..."
"Kau ingin mampus!"
Deddy memukul dada Hirman. Cepat Hirman yang sudah siap menangkis, akan tetapi tiga orang lainnya segera mengeroyoknya. Terjadilah perkelahian hebat, seorang melawan empat. Rini berdiri agak menggigil. Dengan mata terbelalak dilihatnya betapa dengan gigih Hirman melakukan perlawanan. Ia membagi-bagi pukulan yang berat dan tepat dan sudah dua orang pengerojok dihantam roboh, mengaduh-aduh dan belum dapat mengeroyok lagi. Dilain saat Deddy juga terkena hantaman pada pangkal telinganya, membuat pemuda ini berpusing dan roboh. Melihat hal ini, Johan marah sekali.
"Pelukis jembel!"
Makinya dan Johan menyerbu. Johan pernah berlatih tinju dan serangannya yang mendadak tak dapat dihindarkan oleh Hirman. Sebuah pukulan mengenai dada Hirman. Pemuda ini terhujung kebelakang. Seorang "jagoan"
Teman Johan menubruk dan memukul dengan besi krakeling yang mengalung dijari-jarinya.
"Cratt!"
Kening Hirman mengucurkan darah banyak sekali. Rini menjerit. Untung bagi Hirman dia masih tenang dan sadar sehingga ia dapat mengelak dari sambaran sebuah rantai sepeda yang kalau mengenai mukanya dapat mendatangkan luka parah. Hirman lalu melompat berdiri dan dengan muka berdarah-darah ia melawan lagi. Beberapa orang tetangga datang berlari-larian, juga Pak Sastro dalang. Mereka mencoba untuk melerai, namun lima orang pemuda-pemuda itu tidak mau berhenti. Baru stelah beberapa orang tukang becak datang dengan sikap mengancam hendak memukul, mereka surut dan melarikan diri. Rini memburu kearah Hirman dan pemuda ini roboh pingsan! Pak Sastradalang dibantu Rini membawa Hirman memasuki pondoknya dan merebahkan pemuda itu diatas pembaringannya. Rini menggunakan saputangan membalut luka dikening yang masih terus mengeluarkan darah.
"Kau tunggu dia sebentar, nak, aku beli obat luka dan pembalut di toko,"
Kata Pak Sastro dalang yang bersikap tenang sekali. Ia tahu bahwa Rini adalah gadis penjaga warung nasi gudeg disebelah.
Rini hanya mengangguk dan menatap wajah pemuda yang masih pingsan itu dengan hati terharu. Ketika Pak Sastro dalang sudah pergi, Rini melihat kesekelilingnya. Didalam kamar itu penuh lukisan. Lukisan-lukisan yang indah. Ada lukisan tamasya-alam, kumpulan binatang-binatang, ada pula lukisan orang-orang-tua, kanak-kanak dan wanita. Semua lukisan amat indah, baik gurat, corak maupun warnanya, membuatnya kagum sekali. Tiba-tiba matanya melihat sebuah lukisan besar dipojok. Lukisan ini masih tertutup kain merah, agaknya dipisahkan dari pada yang lain. Hatinya amat tertarik. Mungkin tertarik oleh keadaan lukisan itu sendiri, atau boleh jadi karena ia teringat akan ucapan Dedy tentang Mience. Perlahan-lahan ia menghampiri lukisan itu dan tangannya agak gemetar ketika ia membuka kain merah penutupnya. Ia merasa seperti seorang pencuri hendak mengambil sesuatu dari pemiliknya yang sedang tidur.
"Rrrtt."
Kain penutup terbuka dan.. Rini membelalak menatap sebuah lukisan. Seorang wanita cantik, dengan lekuk lengkung tubuh yang amat menggairahkan, tubuh yang hanya memakai sepasang pakaian-mandi, amat kecil model Bikini.
Inilah Mience, dalam pakaian mandi yang tak tahu malu, dan dalam keadaan seperti itu dilukis oleh Hirman! Sekaligus naik sedu-sedan dari dada kelehernya, mukanya terasa panas sekali dan tanpa menoleh lagi Rini berlari keluar meninggalkan kamar itu. Ia tidak tahu bahwa baru saja ia keluar, Hirman siuman kembali. Pemuda ini bangkit duduk, tidak melihat Rini disitu dan kebetulan sekali pandang matanya tertarik oleh lukisan Mience yang sudah terbuka kain penutupnya, malah kain penutup itu masih bergerak-gerak seperti baru saja dibukakan orang. Setengah berlari Rini pulang kewarung bibinya. Ia mendengar suara Johan. Pemuda itu bicara seperti orang marah-marah. Rini memperlambat jalannya, menghampiri warung dengan langkah ringan. Didengarnya Johan sedang memarahi bibinya.
Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang baik bagaimana aku kepada kalian? Kurang banyakkah uang yang kuhamburkan untukmu dan kebaikan-kebaikan yang kau terima dariku bertahun-tahun lamanya? Dan semua itu kau balas apa? Kau tahu aku cinta jeng Rin, tapi kau tidak mau membantu, malah membiarkan dia pergi bersama Hirman. Agaknya kau cemburu, ya cemburu! Nenek-nenek tak tahu diri!"
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo