Pendekar Gunung Lawu 2
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Ternyata usaha Pamadi ini berhasil baik di kemudian hari, karena beberapa tahun kemudian beragsur-angsur lenyaplah keangkeran makan itu dan orang-orang bahkan mulai menganggapnya makam keramat dan banyak orang datang menabur kembang memohon berkah! Kemudian Pamadi melanjutkan perjalanan menuju ke Solo. Pemuda manakah yang tidak tertarik hatinya akan permainan pencak silat? Sungguhpun jarang yang bersabar hati untuk tekun dan rajin mempelajari, bahkan banyak pula yang tiada minat sama sekali untuk mepelajarinya, namun kiranya tidak ada pemuda yang tidak tertarik dan gembira melihat ilmu ini dimaikan orang. Karena sesungguhnya permaianan pencak silat adalah sebuah olah raga yang mengandung banyak unsur-unsur kebaikan.
Selain merupakan olah raga yang baik, pencak silat merupakan juga semacam seni tari yang indah pula. Sedap dipandang mata dan menyehatkan tubuh. Selain itu, para peminatnya aan bertambah kewaspadaannya terhadap sesuatu, membikin ia menjadi tabah, berani dan bijaksana. Namun, sebagaimana keadaan segala macam di mayapala ini, ada kebaikannya tentu ada pula keburukannya, sungguhpun baik ataupun buruk ini pada hakekatnya hanya tergantung kepada si penganggap masing-masing. Demikianpun dengan permaianan pencak silat. Banyak orang yang baru dapat bermain silat sedikit saja, lalu menjadi sombong, adigang adigung adiguna, menganggap diri sendiri yang terkuat dan tiada lawan, lalu berlaku sewenang-wenang kepada mereka yang lebih lemah! Hukum satu-satunya yang dikenal orang-orang macam ini hanyalah hokum riba, siapa kuat ia menang!
Perkumpulan pencak silat "Garuda"
Di solo ketika mulai dibuka, mendapt sambutan ini dibentuk dan dipimpin oleh Raden Hamali, seorang ahli pencak dari Priangan, yakni daerah Parahyangan yang terkenal memiliki banyak putera-putera ahli pencak jagoan. Raden Hamali melatih anak-anak muda dengan biaya rendah dan ia terkenal ramah serta tiada putusnya memberi petuah-petuah kepada para muridnya disertai tindakan-tindakan bengis kepada tiap murid yang melangar disiplin. Peraturan-peratugan keras diadakan, di antaranya yang paling di utamakan: Tidak boleh berkelahi selama menjadi murid atau anggota perkupulan "Garuda"! Tapi sayang seribu sayang, dua tahun kemudian semenjak "garuda"
Berdiri dan mendapat nama baik, tiba-tiba datanglah melapetaka yang mengubah nama baik perkumpulan itu menjadi sebuah nama yang ditakuti orang! Bagaimana asal mulanya?
Pada suatu malam terang bulan, seperti biasa Raden Hamali melatih para murid di halaman belakang rumahnya yang luas. Tiga orang murid berdiri di tengah-tengah halaman itu sambil bergerak-gerak dengan langkah teratur dan seluruh tubuh penuh terisi tenaga yang dikerahkan dengan penuh perhatian mengikuti gerakan Raden Hamali yang memberi contoh di depan mereka. Beberapa jurus kemudian, ketiga murid itu diganti oleh tiga orang murid lain dan latihan dimulai lagi dari semula. Demikianlah Raden Hamali dengan sabar dan rajin melatih murid-muridnya. Di sudut duduk tiga orang murid yang memukul gendang, kenong dan tambur. Suara gamelan yang mengiringi gerakan-gerakan itu riuh rendah teratur dalam susunan irama gagah. Orang-orang di kapung itu sudah biasa mendengar suara gamelan yang bagi mereka terdengar merdu karena sudah biasa.
Kemudian datang giliran murid-murid yang agak tinggi tingkatnya. Mereka ini disuruh pencak berpasangan, saling memperhatikan ketangkasan masing-masing. Kesalahan betapa kecilpun dalam melakukan serangan atau pembalasan, selalu menegur dan memberi petunjukpetunjuk. Tiba-tiba terdengar suara kaki berdebuk ketika seorang tinggi besar meloncat turun dari tembok bata yang mengeliligi halaman itu! Semua orang menengok, tak terkecuali pemukul gamelan hingga tiba-tiba saja gamelan menjadi diam. Keadaan menjadi sunyi ketika orang itu beranjak maju dengan tindakan kaki gagah dan dada terangkat. Raden hamali maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang cabang atas, karena caranya orang itu menurunkan kakinya ketika meloncat dari tembok tadi tampak tegap dan kuat. Segera ia menjura memberi hormat,
"Selamat malam, saudara yang terhormat,"
Katanya, tapi "Tamu"
Itu hanya mengangguk sombong. Kemudian setelah menengok ke sana ke mari seakan-akan seorang panglima memriksa bariannya, ia menyerigai lebar. Pada saat itu semua murid-murid Raden Hamali yang berjulah sebelas orang telah datang berkerumun di belakang gurunya. Ha, ha. Sudah lama saya menengar nama Raden Hamali yang tersohor, guru pencak cabang atas yang tinggi ilmunya. Kebetulan sekali malam ini saya dapat bertemu muka, bahkan melihat caranya mengajar pencak. Ha, ha!"suara itu besar dan keras serta mengandung penuh ejekan. Raden Hamali yang berwatak sabar itu merendah,
"Ah, berita itu berlebih-lebihan, saudara. Saya hanya mengerti sedikit ilmu pukulan."
"Hem, kalau hanya mengerti sedikit tentu tak berani mengajar."
Murid-murid Raden Hamali mulai panas mendengar kata-kata orang yang kurang ajar itu. Tamu tinggi besar itu agaknya melihat juga sikap mereka, maka ia bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang paling tinggi tingkanya?"
Parlan, murid terkecil yang sangat bangga akan kepandaian Slamet, segera menunjuk Slamet sambil berkata,
"Mas Slamet inilah yang paling pandai!"
Raden Hamali mengerling tajam hingga Parlan segera tutup mulutnya. Tamu itu memandang slamet, seorang pemuda bertubuh tegap yang berdiri di sebelah kiri gurunya,
"Pantas, pantas! Nah, anak murid, maukah kau coba-coba bersilat melawan aku?"
Slamet sangat panas hatinya, tapi ia takut kepada gurunya, maka tanpa menjawab ia melirik kearah gurunya.
"Aku hanya akan main-main saja, gurumu pasti tidak keberatan,"
Kata tamu itu lebih lanjut. Terpaksa Raden Hamali menganggukkan kepalanya kearah Slamet yang segera melangkah maju ke tengah halaman dengan tenang. Tamu itu sungguhpun tubuhnya besar tapi mukanya kecil dan matanya bersinar taja. Ia berbaju lengan panjang tak berleher, dan sarung plekatnya diikatkan di pinggang. Celananya hitam panjang sampai di bawah lutut. Melihat sikap Slamet, ia tersenym menyerigai pemuda itu.
"Nah, silakan menyerang, anak muda!"
Katanya dengan senyum sindir dan sikap acuh tak acuh. Slamet segera pasang kuda-kuda dan mulai melagkahkan kaki kearah kanan sejauh dua tindak. Tamu itu bukannya ikut langkahnya, bahkan bertindak maju selangkah tanpa memasang kuda-kuda pertahanan. Slamet merasa dipandang rendah sekali, maka tak ragu-ragu pula ia bergerak cepat sekali melayangkan kepalan tangan kanan kearah iga lawan! Pukulan ini sebelum sampai ke sasaran segara ditarik mundur, diganti dengan pukulan kiri yang sebenarnya merupakan serangan sesungguhnya. Pukulannya sangat keras dan cepat, dibarengi teriakan,
"Heeitt!"
Tangan kanan yang ditarik kini menjaga di bawah siku kiri. Raden hamali puas melihat gerakan Slamet yang sempurna ini. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia lihat tamu itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit hingga pukulan slamet tepat mengenai dadanya. Terdengar suara "Bukk!"
Dan terdengar teriakan slamet mengaduh disusul dengan jeritan semua murid Raen Hamali, karena pada saat itu tangan kanan tamu melayang dan sebuah tamparan kerasa tepat mengenai pipi kiri slamet hingga berbunyi nyaring! Slamet terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap pipinya, dan ketika Raden Hamali memburu untuk menolongnya, ternyata pipi itu telah menjadi biru dan dari mulut anak muda itu mengalir darah! Bukan main marahnya Raden hamali ia maju mendekati tamunya dan mnuding
"He, saudara maka berani bertindak sewenang-wenang di sini? apakah salah kami maka kau datang mengacau?"
"Ha, ha! Hamali! Muridmu kalah olehku karena ia masih dangkal pengetahuannya. Dan ia bodoh karena kau kurang pandai memimpinnya! Setelah muridmu terpukul karena kebodohanmu, mengapa sekarang marah padaku? Seharusnya kau sesalkan diri sendiri yang tidak becus mengajar murid!"
"Ha, sombong betul kau, kawan! Kau anggap bahwa kau seorang yang pandai? Sama sekali tidak hebat kalau sudah dapat mengalahkan seorang pemuda yang belum tahu apa-apa."
Tamu itu memandang tajam dan sinar matanya memancarkan kekejaman.
"Hamali! Jangan bertingkah. Majulah kalau kau berani."
"Kita tidak pernah bermusuhan, tapi kau sengaja memancing-mancing dan menantang berkelahi. Sebenarnya siapakah kau dan ada keperluan apa kau atang ke sini?"
"Aku tak pernah sembunyikan nama. Orang panggil aku Brojo dan tempatku di Kudus. Sengaja aku datang ke sini karena mendengar namamu, dengan maksud hendak berguru. Tapi siapa sangaka bahwa namamu itu kosong belaka."
"Kalau kau anggap bahwa aku tidak pantas menjadi gurumu, sudahlah jangan berguru, akupun belum tentu suka mempunyai murid seperti aku!"
"Hm, hm, Hamali. Sekarang aku sudah pindah ke Solo dank arena aku ingin menjadi orang sini, maka mau tak mau aku harus mencoba kepandaianmu. Kalau kau tidak dapat mengalahkan aku, jangan harap menjadi guru pencak silat di kota ini, mengerti!"
Merah juga telinga Raden Hamali yang sabar itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia menuju ke tengah halaman.
"Marilah, kalau kau hendak main-main,"
Katanya. Brojo meloncat ke halaman dan memasang kuda-kuda, Raden Hamali tahu bahwa lawannya itu adalah seorang ahli pencak Cimande. Ia bernapas lega, karena ia sendiri adalah ahli pencak cimande dan pernah mempelajari pencak cabang ini secara mendalam. Brojo tiba-tiba menyerang sambil menggereng keras! Kepalan tangan kanannya yang sebesar kelapa muda itu meninju kearah leher Raden Hamali. Tapi guru silat yang telah berusia lima puluh tahun dan bertubuh kurus padat itu hanya miringkan sedikit tubuhnya sambil menyampok lengan lawan dengan kepretan tangan, berbareng sebelah tangan lain menyodok perut lawan bagian lambung kiri!
Brojo ternyata selain bertenaga kuat juga cukup gesit, karena ia segera dapat menarik kembali kepalan tangan yang memukul angina dan gunakan tangan kiri menangkis sodokan Raden Hamali, kemudian mundur selangkah lalu mengayun kaki menandang! Hamali cukup waspada lalu berkelit bahkan geserkan kaki mendekat dan gunakan tenaga tangan yang dimiringkan menghamtam leher Brojo. Juga pukulan ini dapat ditangkis oleh Brojo. Demikianlah mereka saling serang, saling keluarkan pancingan-pancingan, umpan-umpan, dan gunaka seluruh kesigapan dan kehebatan mereka untuk menjatuhkan lawannya, Brojo menang tenaga tapi ia kalah gesit. Beberapa kali pukulan Raden Hamali tepat mengenai badannya, tapi ia hanay mundur terhuyung-huyung beberapa tidak lalu maju pula menyerang dengan lebih nekad! Ternyata tubuh Brojo kuat sekali, maka Raden Hamali segera merobah siasat.
Kini ia melancarkan pukulan-pukulan berbahaya dan memilih tempat-tempat lemah seperti lambung tenggorokan, ulu hati dna mata lawan. Ia gunakan pencak Cikalong yang terkenal cepat dan tak terduga gerak-geriknya. Setalah berkelahi berpuluh-puluh jurus dengan hebat, akhirnya Brojo terdesak juga. Pada suatu saat, dalam keadaan terdesak sekali, kepalan kiri Raden Hamali menyambar kearah lambungnya. Karena tiada ketika untuk berkelit, ia gunakan tangan kanan menangkis, tapi tak terduga sekali bahwa pukulan itu hanya umpan belaka, karena segera pukulan itu diganti dengan tangan kanan yang melayang kearah ulu hatinya! Brojo melihat datangnya bahaya. Ulu hatinya pasti akan tertumbuk yang berarti bahaya besar baginya. Maka ia ambil keputusan untuk berlaku nekad... ia angkat kaki kanannya menendang ke arah bawah perut lawan.
Raden Hamali tak mau mengadu jiwa karena jika ia teruskan pukulannya, belum tentu ia dapat melepasakan diri dari tendangan maut itu. Ia egera menarik kembali pukulannya, menggeser kaki ke kiri menghindari tendangan dan ketika kaki Brojo menyambar lewat, secepat kilat ia tangkap pergelangan kaki lawan dan menyetaknya ke atas sepenuh tenaga! Tak tertahan lagi tubuh Brojo yang tinggi besar itu bagaikan terapung ke atas terbawa angina puyuh dan terjengkang ke belakang, jatuh dengan suara berdebuk bagaikan buah nangka besar busuk terjatuh dari tangkainya. Tubuhnya yang berat membuat jatuhnya itu semakin hebat. Untuk beberapa detik ia tak dapat bangun, hanya mendengar sorakan murid-murid Raden Hamali dengan wajah merah karena malu. Akhirnya dapat juga ia merayap bangun lalu bertindak pergi terhuyung-huyung setelah mengeluarkan ancaman,
"Hamali, awas akan datang pembalasanku!"
Pada keesokan harinya, tiba-tiab saja Raden hamali menutup tempat belajarnya. Ia tidak mau mengajar penak lagi, bahkan terus pindah ke Kartasura dan membeli sawah, menjadi petani. Hal ini ia lakukan bukan karena ia takut kepada pebalasan Brojo, tapi karena ia khawatir kalau-kalau keluarganya terbawa-bawa. Raden Hamali hidup dengan seorang isteri dan Patimah, gadis tunggalnya yang telah berusia delapan belas tahun. Semenjak perkumpulan "Garuda"
Ditutup, di Sala lalu timbul nama "Garuda"
Pula, tapi dalam bentuk lain. Garuda yang terakhir ini adalah nama sebuah perkumpulan yang dikepalai oleh Brojo.
Ia sengaja menggunakan nama ini untuk merusak nama perkumpulan Raden Hamali. Disana tidak aneh bahwa sebuah perkumpulan yang dikepalai oleh orang seperti Brojo itu mempunyai anggota-anggota yang terdiri dari buaya-buaya pula. Nama mereka sangat disegani dan ditakuti orang, bahkan fihak yang berkewajiban mulai ikut-ikut campur tangan, karena terjadinya kerusuhan dna kejahatan yang dilakukan oleh anggota-anggota perkumpulan itu. Hingga akhirnya Perkumpulan Garuda itu menjadi perkumpulan gelap yang bergerak secara rahasia. Beberapa bulan telah berlalu semenjak Raden Hamali sekeluarga pindah ke Kartasura. Pada suatu malam, dengan naik andong, yakni dokar roda epat yang ditarik dua ekor kuda, bersama-sama dengan Patimah gadisnya, Raden Hamali menuju pulang ke rumahnya di Kartasura.
Mereka berdua kembali dari mengunjungi pesta perkawinan seorang kenalan di Purwosari. Isternya tidak ikut karena merasa kurang enak badan. Ketika kendaraan itu lewat di jalan raya yang agak gelap dan sepi, tiba-tiba di tenah jalan nampak berdiri tiga bayangan orang yag mengangkat tangan menyuruh kendaraan itu berhenti. Si kusir menghentikan andongnya. Raden Hamali menjuluran leher ke luar untuk melihat siapakah yang menyetop kendaraan mereka itu. Hatinya agak berdebar ketika cahaya dikenalnya. Wajah kejam menyerigai dan yang membentak kusir supaya turun. Raden hamali menghibur puternya yang menggigil ketakutan mendengar suara kasar yang mengandung maksud tidak baik itu, lalu ia turn dengan tenang.
"Ha-ha! Hamali, telah sejak tadi kunanti kamu di sini."
"Saudara Brojo! Apakah maksudmu dengan menanti aku di sini? Kalau ada perlu, datanglah ke rumah, aku akan menerimamu dengan senang hati."
"hem, pengecut! Kau sudah maklum apa maksudku mencarimu? Jadi kalau di sini kau tidak berani, ya? Ketahuilah, aku datang menjumpaimu untuk menagih hutangmu!"
"Aku tidak merasa berhutang padamu."
"Tidak? Sudah lupa? Tidak ingtkah ketika kau mebuat aku malu dulu itu? Kau berhutang beberapa pukulan. Sekarang aku hendak membalas, ayuh, bersedialah!"
"Jadi maksudmu mengajak aku berkelahi? Di sini?"
"Habis, apa lagi? Tapi tidak seperti dulu, kawan. Kita harus mengambil langkah terakhir, bukan dengankepalan tapi dengan ini!"
Brojo menutup kata-katanya dengan mencabut sebilah keris yang di malam gelap itu nampak hitam menyeramkan. Raden Hamali hendak mejawab, tapi Brojo tak memberi kesempatan padanya, karena orang tinggi besar itu segera mengayun kerisnya ke arah perut Raden Hamali sambil mengeram.
"Mampus kau!"
Raden Hamali gesit dan mengelak sambil meloncat ke kiri. Iapun mulai marah, maka terdengar bunyi "Sing!"
Dan kerisnya pun telah dicabutnya pula dari sarungnya.
"Kalau darah yang kau kehendaki, majulah, Brojo!"
Katanya dengan gagah karena sudah timbul sifat satrianya.
"Bagus!"
Teriak Brojo yang segera menyerang kembali. Serangan kearah dada ini ditangis hingga dua mata keris beradu menerbitkan suara nyaring dan memancaran bunga api.
Ternyatalah bahwa kedua senjata itu sejata ampuh. Setelah mundur dan berputar-putar mencari sasaran baik, tiba-tiba raden Hamali menusuk dada lawan dengan cepat. Brojo tidak menangkis atau mengelak, bahkan ia membiarkan adaanya dan ketika ujung keris Raden Hamali membentur dada, tiba-tiba senjata itu melesat ke samping. Terkejut sekali Raden Hamali. Ia maklum bahwa lawannya telah menggunakan Ilmu kekebalan "Si Landak", dan teringat pula ia bahwa kabarnya Brojo mempunyai guru bernama Kyai Bajul Putih yang terkenal sakti. Tentu buaya ini mendapat wejangan ilmu ini dari gurunya itu, pikiirnya. Mau tak mau ia menjadi gentar juga, tapi sebagai seorang pendekar tua berpengalaman, Raden Hamali segera dapat menenangkan hatinya. Masih ada jalan baginya untuk melawan musuh kebal ini. Brojo tertawa gelak-gelak.
"Ah, keras kulitku, bukan? Aku bukanlah brojo yang dulu itu, Hamali. Bersiaplah untuk mampus malam ini!"
Teriaknya yang dibarengi dengan tikaman kilat. Raden Hamali harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya utuk melayani lawan yang kuat ini. Ia keluarkan seua kemahirannya memainkan senjata itu dan mengerahkan semua serangannya ke bagian lemah dan berbahaya. Sibuk juga Brojo ketika lawannya selalu menyerang bagian mata, tenggorokan, dan bawah perut, tempat-tempat yang bagi ilmu weduknya tidak berlaku dan menjadi pantangan! Tiba-tiba seorang kawab Brojo yang semenjak tadi menonton saja kini ikut menyerbu dengan sebuah pedang di tangan. Tentu saja kawan ini bukannya penjahat semabarangan, tapi juga seorang ahli pencak, hingga kemudian Raden Hamali terdesak.
Pada saat itu, Raden Hamali mendengar pekik Patimah dari dalam andong. Cepat ia melompat kearah kendaraan, tapi dua musuhnya mengalang-halangi dan alagkah cemasnya ketika ia melihat bahwa penjahat yang seorang lagi turun dari andong sambil memondong gadisnya yang tampak lemah tak berdaya! Kecemasan dan kemarahannya membuat ia berlaku nekat dan permainan pencaknya menjadi kacau karenanya. Tiga tusukan keris telah hamper di kulitnya membuat bajunya yang putih menjadi compangcamping dan berwarna merah. Pada suatu saat, tanpa merasakan sakit karena luka-luka itu, Raden Hamali mengirim tusukan hebat kearah tenggorokan Brojo dan ketika brojo mengelakkannya sambil meloncat mundur, Raden Hamali merendahkan tubuh untuk menghindari sebetan pedang lawan kedua, lalu dari bawah kaki menendang lambung lawan.
Terdengar suara "ngek"
Keluar dari rongga dada lawan itu yang segera terpelanting jatuh untuk bangun lagi. Tapi saat itu digunakan oleh Brojo untuk maju menubruk dan kerisnya menyabar dada Raden Hamali. Guru pencak tua ini masih berusaha menghindarkan dadanya dari tikaman, namun datangnya ujung keris terlampau cepat, dan pula ia sudah mulai lemah karena luka-lukanya, maka biarpun ia sudah mengelak, ujung keris Brojo masih dapat menancap di bahu Raden Hamali! Berbareng dengan itu kaki Brojo menenang dada, hingga Raden Hamali terlempar dan pingsan! Brojo agaknya sudah mata gelap dan kemasukan iblis. Ia meloncat menghampiri tubuh Raden Hamali yang sudah rebah terlentang tak berdaya itu, lalu dengan suara tertawa menyeramkan, ia mengangkat kerisnya, dan diayunkan kearah dada Raden Hamali!
Tapi pada saat yang sangat berbahaya bagi jiwa huru silat tua itu, tiba-tiba tampak berkelebat sesosok bayangan putih dan dengan gerakan cepat bagakan kilat menyambar, bayangan itu menggerakkan sebuah benda lemas ke arah keris Brojo yang terayun menuju dada Raden Hamali. Brojo hanya merasakan ada sesuatu menahan tangan dan kerisnya dan matanya menjadi gelap karena gerakan itu demikian cepat hingga mengaburkan matanya. Ketika ia lihat, ternyata di depannya telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba putih dan benda yang dipakai menahan kerisnya itu tak lain hanyalah sehelai sarung! Ketika teringat akan kerisnya, barulah Brojo tahu bahwa kerisnya itu telah terampas oleh pemuda ini dan kini entah berada di mana! Selagi ia keheranan, pemuda itu yang tak lain ialah pemuda pendekar kita, membuka Brojo lalu memberikan keris itu kepadanya sambil tersenyum!
"Inilah yang kau cari?"
Tanyanya perlahan. Brojo sangat marah dipemainkan begini.
"Bangsat kecil kau berani mempermainkan aku?"
Segera ia merampas kerisnya dan menyerang dengan buas. Brojo maklum bahwa ia menghadapi seorang ahli, maka segera ia memanggil-manggil kawannaya yang tadi tertendang oleh Raden hamali dan yang kini telah apat bangun kembali. Kawan itu memungut pedangnya dan mereka berdua segera maju menyerang Pamadi yang bertangan kosong.
Tapi bersamaan dengan saat kedua lawan itu mengangkat tangan untuk mengayun senjata, Pamadi maju dan menggunakan kedua tangannya merampas senjata mereka. Gerakannya sangat cepat dan tenaganya luar biasa hingga dalam merampas senjata itu ia bertindak seakan-akan seorang dewasa merampas barang mainan dari tangan dua orang anak kecil! Kemudian degan sekali kepal, terdengar suara "kresk, krek"
Dan kedua senjata itu patah berkeping-keping! Brojo dan kawannya melihat dengan mata membelakak lebar-lebar seakan-akan mereka melihat setan di tengah hari. Kemudian bagaikan mendengar komando, mereka mengambil langkah seribu gingga jatuh bangun di tempat gelap! Pamadi segera menghampiri Raden Hamali yang masih rebah. Tapi Raden Hamali segera menunjuk kearah utara dan berkata lemah,
"Lekas! Lekas... tolong anakku, ia diculik bajingan tadi... ke sana..."
Pamadi cepat berdiri dan sekali melompat bayangannya berkelebat kearah yang ditunjuk oleh orang tua itu. Tak lama kemudian ia mendengar suara wanita menjerit-jerit. Ia percepat gerakannya dan di depan tampaklah olehnya seorang laki-laki memondong seorang gadis muda sambil berlari. Tapi karena gadis itu meronta-ronta dan memukul-mukul kedua tangannya, maka gerakan bangsat itu menjadi tertahan dan larinya tak dapat cepat. Tiba-tiba bangsat itu merasa tulang pundaknya sakit sekali bagaikan hamper terlepas. Ternyata di gadis telah menggunakan giginya yang kuat untuk mengigit! Terpaksa laki-laki itu melepasakan pelukannya dan tubuh gadis itu terbanting ke atas tanah. Sambil menyumpah-nyumpah, bangsat itu mengangkat kepalan tangan untuk menampar, tapi sebelum kepalan tangannya terayun, tiba-tiba sebuah tangan lain yang sangat kuat menahannya dari belakang.
Ia cepat berpaling. Ketika melihat bahwa yang menahan tangannya itu hanya seorang pemuda kurus dan tampak lemah, ia segera membalikkan tubuh dan mengayun kepalan memukul dada Pamadi. Tapi Pamadi hanya berdiri sambil tersenyum. Ketika kepalan yang besar itu menumbuk dada, terdengar si pemukul berteriak kesakitan! Ia memandang pemuda baju putih itu dengan mata terbelalak heran, tapi rasa sakit di tangannya makin menghebat hingga sambil merintih-rintih ia pegangi tangan kanannya dengan tangan kiri, lalu lari pontang-panting bagaikan dikejar setan. Patimah membuka sepasang matanya yang lebar dan indah itu, memandang Pamadi dengan wajah takut. Ia sangka bahwa pemuda itu juga kawan penjahat itu. Pamadi tersenyum ramah dna berkata,
"Jangan takut, nona. Saya diperintah oleh ayahmu untuk datang menolong."
Patimah teringat ayahnya.
"Ayah... ayah..., bagaimana dia?"
"Ayahmu mendapat luka, marilah kita ke sana."
Karena malam gelap dan jalan itu tidak rata, penuh pohon-pohon berduri hingga mereka hanya dapat berjalan dengan perlahan sekali, maka timbul kekhawatiran Pamadi kalau-kalau terlapau lama mereka sampai di tempat orang tua yang terluka itu. Karena ini, ia mengajukan usul kepada Patimah dengan suara lemah dan ragu-ragu,
"Nona... maafkan saya jika usulku ini kau anggap luka dan kita harus segera sampai di sana, maka... jika nona tidak keberatan, marilah saya gendong supaya saya dapat berlari."
Gadis itu menahan tindakan kakinya dan hatinya berdebar. Digendong? Oleh seorang pemuda yang tidak dikenalnya? Ah, ia malu. Tapi, bukankah tadi ia pun digendong dengan paksa oleh bangsat itu? Dan ayahnya... mungkin luka berat. Kemudian sambil mengigit bibir ia menatap wajah Pamadi dan menganggukkan kepala tanpa menjawab. Isarat ini sudah cukup bagi Pamadi yang lalu memondong Patimah. Lengan kiri memeluk punggung. Kemudian ia gunakan ilmunya dan berlari cepat sekali. Karena malu, Patimah hanya memejamkan kedua mata hingga ia tidak tahu bahwa pemuda yang mengendongnya itu berlari dengan luar biasa cepatnya. Patimah tiba-tiba merasa tubuhnya diturunkan dan ia membuka mata.
Ketika melihat ayahnya rebah berlumur darah, ia segera menubruknya sambil menangis. Pamadi menghiburnya dan segera mengangkat tubuh Raden Hamali ke dalam andong. Karena kusir andong telah pergi entah ke mana, terpaksa Pamadi menggantikannya dan menjalankan andong itu kejurusan yang ditunjuk oleh Patimah. Ia tidak merasa Khawatir dengan luka yang diderita oleh Raden Hamali karena tadi sebelum berangkat, ia telah mengambil tanah liat untuk menutup luka-luka itu. Setibanya di rumah Raden Hamali, mereka disambut oleh isteri Raden Hamali dengan cemas dan binggung. Tapi dengan kata-kata sopan Pamadi menghiburnya sambil mengangkat tubuh Raden Hamali ke dalam rumah. Kemudian, pemuda itu memberi nasihat-nasihat kepada Patimah bagaimana cara mengobati luka ayahnya, dan setelah melihat keadaan Raden Hamali sekali lagi, ia berpamit.
"Nanti dulu, den. Duduklah dulu dan minum dulu!"
Cegah ibu Hamali.
"Terima kasih, bu. Sudah jauh malam, lain kali saja mungkin kita dapat berjumpa lagi."
Patimah berdiri di ambang pintu kamar ayahnya sambil melayangkan padangan sayu. Kedua matanya berlinang air mata karena ia merasa terharu dan berterima kasih sekali. Kalau tidak ada pemuda itu, bagaimana jadinya dengan dirinya?
"Sudah, dik. Saya permisi pulang..."
Pamadi mengangguk hormat. Patimah melangkah maju.
"Tapi, mas, kau belum memperkenalkan diri... kami ingin tahu siapa penolong kami dan di mana tempat tinggalnya?"
Pamadi menjadi gugup dan segera menggeleng-gelengkan kepala.
"Tak perlu, dik, hal itu tidak berarti, bukan pertolongan... sudahlah, ijinkan saya pergi..."
Sekali lagi ia mengangguk dan segera melangkah ke luar. Patimah memburu ke luar, tapi di luar sudah tak tampak bayangan pemuda itu. Tiba-tiba saja ia merasa kecewa tapi ibunya memandangnya dengan heran karena orang tua itu juga ikut memburu ke pintu.
"Nak, tidak anehkah ini?"
"Apa yang aneh, bu?"
"Pemuda itu baru saja keluar, tapi tak nampak bayangannya."
Patimah menengok keluar kembali dan ia pun merasa aneh.
"Jangan-jangan ia bukan manusia, nak."
"Bukan manusia? Ah, tak mungkin, bu. Ia betul-betul manusia ketika mengendong aku tadi."
"Kau...? Digendong olehnya...?"
Tersipu-sipu Patimah segera menceritakan semua pengalamannya tadi hingga ibu Hamali menjadi kagum.
"Oh, tentu ia seorang pengeran muda...,"
Katanya menarik napas panjang. Tapi Patimah diam saja, lalu pergi ke kamar ayanya dan duduk di pinggir ranjang sambil termenung. Ayahnya tidur dengan nyenyak. Brojo mengadu kepada gurunya dengan menangis. Gurunya adalah seorang tua yang disebut orang Kyai Bajul Putih dan terkenal sakti. Ia adalah murid tunggal dari Eyang Brewok, seorang pertapa suci yang bertapabrata di puncak Gunung Tengger. Ketika turun gunung, Kyai Bajul Putih mentaati pesan gurunya dan hidup menjalani drama-brata, yakni tenaganya menolong sesame hidup. Tapi ternyata pada suatu saat ia dikalahkan oleh setan yang berupa nafsunya sendiri, dan melakukan pantangan berat dengan menggunakan aji guna sakti terhadap seorang wanita yang datang memohon obat padanya.
Perbuatan biadab ini akhirnya pecah uga dan pandangan orang-orang padanya mulai berubah. Karena merasa telah terlajur, pula karena dengan perbuatannya itu diperbudak kembali oleh nafsu, ia menjadi tersesat. Kesaktian yang didapatnya dengan susah payah itu dibelokkan kearah perbuatan-perbuatan sesat, hingga ia ditakuti orang-orang yang diam-diam membencinya. Tapi banyak juga orang yang suka padanya, yakni orang-orang yang memang mempunyai keinginan kotor. Mereka ini datang padanya untuk minta bantuan sambil tak lupa membawa belak berupa uang maupun barang berharga. Brojo adalah murid kesayangannya, karena orang ini tak sayang-sayang mengeluarkan banyak uang dan apa saja untuk memuaskan gurunya.
"Bapak guru,"
Demikian tangis Brojo kepada gurunya.
"nama saya dan nama baik guru hancur luluh karena Hamali dan pembantunya pemuda yang mahir pencak itu. Balaskanlah sakit hati ini, bapak guru! Kalau tidak terbalas Hamali tentu mentertawakan kita, guru dan murid."
Kyai Bajul Putih tersenyum menyeringai.
"Tenanglah, anakku, perkara membalas dendan itu mudah sekali, sama mudahnya dengan mebalikkan telapak tanganku. Apakah betul-betul kau sudah tidak sanggup mengalakannya dengan tenaga kasar? Bukankah kau sudah kuberi Aji Kedut Si Landak?"
"Hamali sendiri tidak kuat melawan saya, bapak guru, tapi pemuda itu sungguh kuat dan pandai. Keris saya dan pedang Hardo dipatahkan begitu saja dengan tangannya."
"Hm, memang berat melawan kalau ia sedemikian kuat. Tapi, sebenarnya ada apakah maka si Hamali berani memusuhimu?"
Tanya guru yang selalu membenarkan murid ini.
"Sebetulnya saya... saya cinta kepada anak gadisnya, bapak guru. Tapi Hamali menolak bahkan menghinaku. Karena itulah maka kami bermusuhan."
"Ho, ho, begitukah? Sekarang, apa yang kau ingin kuperbuat?"
"Kalau mungkin, singkirkan Hamali dari dunia ini dan datangkan Patimah anakku yang cantik itu padaku, bapak guru."
"Ha, ha! Mudah, mudah... tapi untukku sendiri, apa?"
"Apa saja yang bapak guru butuhkan, tentu aya aan Bantu mencarikan,"
Brojo menyanggupi.
"Ah, tidak, aku tidak butuh apa-apa muridku."
Tapi Brojo maklum bahwa dibalik kata-kata ini tersembunyi suatu kehendak yang pasti akan dikemukakan bila usahanya berhasil.
"Bagaimanakah usahamu, bapak guru?"
Kyai Bajul Putih bermenung sejenak, lalu berbatuk-batuk kecil an berkata,
"Tiga hari lagi kebetulan malam Jum"at Kliwon. Datanglah kau ke sini menyambut pergantianmu dan merayakan malam kematian musuhmu."
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata-kata ini diucapkan dengan suara pasti dan tetap hingga Brojo menghela napas lega. Segera ia berpamit untuk mengaso setelah meninggalkan uang beberapa puluh ringgit. Tiga hari kemudian. Malam itu udara hanya diterangi oleh ribuan binatang dengan cahayanya yang suram. Malam Jum"at Kliwon yang ditakuti orang-orang, lebih-lebih mereka yang tebal tahyulnya. Dari tiap celah-celah bilik rumah mengepul asap kemenyan hingga di mana-mana orang mencium bau harum yang mendatangkan rasa seram itu. Tiada sedikitpun angin mengganggu ketenangan malam itu, hingga pohon-poon yang tinggi dan besar merupakan raksasa-raksasa hitam dan iblis-iblis bertangan panjang berdiri menanti datangnya mangsa.
Dikatakan orang bahwa pada tiap malam Jum"at Kliwon, Ratu Iblis Batari Durga melepas pantangan bagi semua iblis dan siluman dan memperbolehkan mereka berkeliaran semalam penuh mencari mangsa di antara mausia-manusia yang lalai dan lalim. Maka para lelembut keluar dari tempat persembunyian masing-masing, kuburan-kuburan ditinggalkan penghunipenghuninya, dan alam yang tadinya bersih itu dikotorkan oleh berbagai mahluk halus yang berpesta-pora menikmati hidangan manusia berupa asap kemenyan yang bagi mereka sangat lezat dan sedap itu! Suara burung hantu dan walangkekek ditambah nyanyian kutu-kutu walang ataga merupakan gamelan yang sengaja menghibur para dedemit itu, hingga jarang tampak manusia berani keluar pintu pada saat seperti itu. Di rumah Raden Hamali terdengar isak tangis tertahan.
Tangis itu keluar dari pada ibu Hamali dan gadisnya yang duduk di pinggir pembaringan Raden Hamali. Orang tua itu berbaring sambil kadang-kadang merintih. Telah tiga hari ia menderita sakit dada hebat. Satu-satunua dokter di Solo yang memeriksa sakitnya hanya menggeleng kepala dan memberi obat, tapi sia-sia saja. Beberapa orang dukun telah dipanggil tapi semua menyatakan bahwa Raden Hamali terkena gangguan guna-guna yang jahat sekali. Mereka juga tak dapat menolong. Raden Hamali hanya merasa dadanya seakan-akan terusuk-usuk dan sukar bernapas. Pada malam Jum"at Kliwon itu, penyakitnya bertambah berat. Wajahnya membiru dan matanya terbalik. Dari mulutnya mengalir busa putih dan napasnya tinggal satu-satu! Isterinya dan Patimah sudah habis harapan dan hanya dapat mengisak tangis.
"O, Patimah. Apakah dosa kita hingga Gusti Allah menghukum kita dengan penderitaan sehebat ini?"
Kata ini Hamali sambil merangkul anaknya. Patimah memperhebat tangisnya.
"Ibu... ibu... ini tentu perbuatan para buaya yang dulu..."
Ibunya teringat.
"Semoga Gusti Allah Yang Agung mengutuk mereka! Ah... kalau saja datang penolong seperti dulu..."
Tiba-tiba Patimah tersentak bangun. Ia teringat akan pemuda naju putih itu. Mungkin ia bukan manusia, kata ibunya dulu. Benarkah? Kalau begitu, ia pasti dapat menolong kita jika ia dipanggil.
Betapa tidak? Ia segera gabu dan lari ke belakang. Ibunya memandang heran tapi ia tidak mau meninggalkan suaminya yang agaknya telh mendekati sakaratul maut itu. Patimah tergesa-gesa mengambil pedupaan dan membawanya ke belakang. Ketika membuka pintu belakang, ia merasa bulu tengkuknya meremang, karena ia ingat bahwa malam itu adalah malam Jum"at kliwon yang terkenal keramat. Tapi pada saat seperti itu ia tidak takut akan segala iblis dan setan, maka segera ia langsung ke luar dari pintu. Di tempat terbuka ia berjongkok dan membakar kemenyan yang tadi dibawanya. Ia tidak perduli akan lembab dan kotornya tanah yang telanjang itu, tapi duduk bersila memandang asap kemenyan yang mulai mengepul bergulung-gulung ke atas. Seekor burung hantu melayang di atasnya, menggerak-gerakkan sayap hingga berbunyi,
"Plek, plek!"
Tapi hal itu tidak menggoncangkan semangat Patimah yang tekun mengumpulkan pancainderanya serta menyatukan segala perasaan di tubuhnya itu untuk ditujukan ke arah satu, yakni kearah banyangan Pamadi sambil mencipta kedatangan pemuda itu secepat mungkin. Daya cipta disertai permohonan yang penuh gairah dan rayu hingga dari sepasang matanya mengalir ke luar air mata, seakan-akan seorang anak kecil yang memenohon sesuatu dari orang tuanya sambil merengek-rengek. Setengah jam lebih ia duduk bersila seperti patung, dan tiba-tiba saja kelebat bayangan putih yang merupakan diri seorang pemuda baju putih. Pemuda itu tidak lain adalah Pamadi yang kini telah berdiri di belakang sambil berkata halus,
"Nona, masuklah ke dalam. Hawa sangat dingin di luar, nona."
Patimah bagaikan sadar dan ia tidak terkejut melihat pemuda itu karena semenjak tadi memang ia telah merasa bahwa pemuda itu telah berada di situ, demikian tekun dalam muja samadhinya. Mengapa Pamadi dapat tiba-tiba datang ke situ? Sebenarnya ia tadi sedang duduk Samadhi di rumah penginapannya di Kampung Laweyan. Seperti biasa, tiap malam sebelum tidur ia bersamadhi dan ada kalanya sampai jauh malam. Malam itu karena malam Jum"at Kliwon itu sunyi sepi hingga sesuai sekali untuk bersamadhi dengan tenang, ia seakan-akan mati dalam hidup.
Seluruh gua garba tertutup dan panca indera bagaikan mati, hingga semangat dan daya ciptanya membubung di angkasa mencari persatuan dengan asalnya. Tiba-tiba ia merasa sesuatu memanggil dan panggilan ini demikian kuatnya hingga ia sadar dari samadhinya. Ia mengumpulkan ingatan, lalu ke luar dari pintu kamarnya. Kemudian ia menurutkan suara hatinya dan menggunakan ilmunya bergerak secepat angin menuju Kartasura. Betul saja, di belakang rumah Raden hamali ia dapatkan gadis Patimah sedang bermuja Samadhi dengan tekunnya. Ia mendengar pula tangis Ibu Hamali. Pamadi mengikuti Patimah masuk ke kamar Raden Hamali. Ibu Hamali heran memandang pemuda yang mengangguk dengan hormat kepadanya itu. Lalu ia megalihkan pandangannya kepada Patimah engan penuh pertanyaan.
"Maaf, ibu. Saya kebetulan lewat di sini dan melihat adik ini menangis, maka saya lalu mampir."
Kemudian ia mendekati kamar Raden Hamali di mana orang tua itu terengar-engah. Pamadi memusatkan mata batinnya memandang. Dilihatnya awan hitam menyelubungi tubuh Raden Hamali. Ia menggunakan tangan kirinya meraba dada orang tua itu dan jari-jari tangannya yang halus bergerak di dada orang itu. Tiba-tiba sekujur tubuh Raden Hamali gemetar dan Pamadi berkata dengan suara tetap dan memerintah,
"Cepat, dik. Ambil air bening!"
Patimah yang berdiri di dekatnya lari ke belakang dan sebentar kemudian membawa barang yang diminta pemuda itu. Pamadi memandang air putih di cangkir itu, meniupnya tiga kali dan menggunakan tenaga batinnya yang dihirupkan melalui hawa dari dadanya kearah dada Raden Hamali.
Lalu dengan perlahan ia membuka mulut si sakit dan meminumkan air itu. Beberapa detik dengan sunyi Patimah dan ibunya memandang tubuh Raden Hamali sambul menahan napas. Tiba-tiba Raden Hamali menarik napas dalam tubuhnya bergerak-gerak. Matanya yang tadi mendelik ke atas kini tertutup dan perlahan-lahan kelopak matanya bergerak-gerak lalu terbuka. Agaknya ia terheran ketika melihat ketiga orang yang berdiri di situ. Ketika pandang matanya tertuju kepada Pamadi, ia segera menggerakkan tubuhnya dan bangun duduk. Tapi, tiba-tiba ia muntah dan dari mulutnya menyembur darah hitam. Cepat-cepat Patimah menggunakan kain menyeka darah itu dan ibunya segera maju pula membantu Raden Hamali batuk-batuk dan setelah itu ia kelihatan sehat kembali, hanya tubuhnya masih sangat lemah.
"O... kau, nak...,"
Katanya kepada Pamadi.
"Silakan duduk... maaf... bapak tak dapat menyambut sepantasnya..."
"Tidak apa, pak. Berbaringlah, aku masih lemah. Dik, buatlah bubur encer,"
Katanya kepada Patimah yang segera menjalankan perintanya dengan patuh sekali. Raden Hamali berbaring dan sebentar kemudian ia memejamkan mata. Agaknya penderitaan tadi membuatanya letih sekali.
"Bu, bapak diganggu orang. Tolong ambilkan mangkuk putih, adakah?"
"Ada, nak tunggu sebentar."Ibu Patimah masuk ke kamar lain dan keluar pula membawa mangkuk.
"Tolong isi dengan air putih, bu,"
Kembali ibu Hamali melakukan permintaan Pamadi. Pamadi menaruh mangkuk itu di atas pembaringan dekat kepala Raden Hamali dan berpesan,
"Bu mangkuk ini jangan diganggu-ganggu. Tunggu saja sampai besok dan besok pagi barulah mangkuk ini boleh diangkat. Tapi jangan kaget kalau melihat isinya."
Ibu Hamali mengangguk-angguk, kini sinar matanya memandang pemuda itu penuh hormat dan kagum, bagaikan mata seorang anak murid memandang gurunya. Pamadi lalu naik ke tempat tidur dan duduk bersila di dekat Raden Hamali. Tiba-tiba tercium bau masakan hangus dari arah dapur. Ibu hamali segera menuju ke dapur di mana Patimah tadi masak bubur. Mendadak Pamadi sadar dari samadhinya karena mendengar ibu Hamali menjerit-jerit,
"Ya, Gusti! Patimah! Patimah...!! Kau ke mana?"
Pamadi meloncat kearah dapur dan si situ ia melihat ibu Hamali berlari ke luar dan masuk lagi dengan wajah pucat dan binggung, sedangkan panci bubur di atas anglo mengepulkan asap berbau sangit! Pamadi yang bersikap tenang segera mengangkat dna menurunkan panci yang panas itu, kemudian ia bertanya,
"Bu, mengapakah ibu berteriak-teriak?"
"Ya, Allah! Anakku... Patimah..."
"Tenanglah, bu. Ada apakah dengan anakmu?"
"O, Allah, nak! Entah mengapa si Patimah itu. Ketika aku masuk ke sini tadi, ia berdiri bengong di ambang pintu sambil memandang ke luar. Aku hendak menegurnya karena bubur telah hangus, tapi ia berpaling memandangku. Ya, Gusti, hampir aku pingsan melihat wajahnya. Pucat dan matanya seakan-akan mata orang mati! Lalu ia lari keluar, nak... ia lari keluar...! Ibu Hamali yang sangat terganggu perasaannya itu hampir saja jatuh pingsan, tapi Pamadi segera memegang lengannya dan berkata dengan suara berpengaruh,
"Tenang, ibu. Ingatlah, ada saya di sini pembela ibu. Nah, sekarang masuklah ke kamar dan jaga suamimu. Perkara anakmu, serahkan saja kepada Tuhan dan saya akan mencarinya. Jangan gelisah, anakmu pasti kembali dengan selamat."
Suara yang tenang dan berpengaruh itu benar merupakan benar-benar merupakan obat mujarab, karena ibu Hamali segera berkata,
"Terima kasih, nak, terima kasih..."
Lalu ia berjalan masuk ke kamar suaminya. Pamadi mengerutkan dahinya.
"Hm, permaianan apa pula ini?"
Bisiknya dan ia meloncat ke luar. Tak lama ia mencari. Di jalan yang sunyi dan gelap itu tampak olehnya Patimah berjalan perlahan dengan tindakan kaki yang kuat, seakan-akan kaki itu dipaksa orang berjalan maju walaupun ia sebenarnya mimpi bergerak atau sebuah mayat hidup! Pamadi sengaja lewat di depannya, tapi gadis itu seakan-akan tak melihatnya dan biji matanyapun tidak bergerak seperti lakunya biji mata orang hidup! Pemuda itu menganggukanggukan kepala lalu mengamat-amati gadis itu dari tempat agak jauh. Ternyata Patimah berjalan menuju ke sebuah kampong yang agak jauh juga dari rumahnya sendiri dari rumahnya sendiri dan langsung gadis itu menhampiri sebuah rumah besar. Karena pntu depan rumah itu terbuka hingga tampak asap kemenyan tebal bergulung-gulung ke luar dari pintu, gadis itu dengan mudahnya memasuki rumah.
"Bagus, bagus! Kau datang, anak manis? Masuklah, masuklah pengantin lelaki telah menantimu!"
Suara ini terdengar parau dan lembut, terdengar suara tertawa yang pasti akan dianggap orang suara hantu jika tidak keluar dari sebuah rumah orang. Patimah memasuki sebuah kamar dalam rumah itu di mana telah menanti Brojo.
"Ha, ha, Patimah yang manis! Duduklah, dik..."
Dan Patimah duduk di atas pembaringan yang berada di situ. Gadis itu kini memejamkan mata, tampaknya lelah sekali. Rambutnya kusut dan kini kedua pipinya merah, hingga di bawah cahaya lampu minyak itu, ia nampak manis dan cantik sekali. Brojo menggerakkan lengannya dan tangan kirinya hendak meraba gadis itu, tapi tiba-tiba ia merasa tangan kirinya bagaikan terpukul palu!
Ia mengaduh kesaktian dna ketika dilihat, tangan itu berbekas biru dan yang memukulnya ternyata hanya sebutir bata merah yang tak lebih sebesar kacang hijau! Ia heran sekali, tapi ia anggap itu hanya kebetulan saja dan bahwa memang sejak siang tadi tangannya terpukul sesuatu yang tak dirasanya. Kembali ia gerakkan tangannya, kini yang kanan, tapi sebelum ia dapat menjamah lengan gadis yang hendak dipegangnya itu, kembali sebutir bata kecil memukul tanganya. Sekarang bahkan lebih sakit daripada tadi. Ia menjadi gemas. Apakah gadis ini punya ilmu? Ataukah karena suci dan bersihnya, maka ada malaikat menjaganya? Tak mungkin! Kini ia menggunakan kedua lengannya hendak memeluk, tetapi kali ini ia berteriak kesakitan sambil meloncat mundur, karena sebutir bata yang sebesar ibu jari melayang dan membuat kepalanya bengkak!
"Bangsat mana yang berani menggangguku? Aku tidak takut, biar kau setan sekalipun!"
Teriaknya. Sebenarnya teriakan ini keras sekali, tapi tidak terdngar oleh yang tadi menyambut kedatangan Patimah dengan kata-kata seram itu.
Ia adalah seorang tua yang duduk bersila menghadapi penuh kemenyan dan didekatnya kelihatan sebuah tengkorak kecil. Karena Kyai Bajul Putih, yakni orang tua itu, sedang mengerahkan seluruh tenaga batinnya yang bejat itu untuk merampas jiwa Raden Hamali, maka ia bagaikan orang tak sadar dan tak mendengar teriakan-teriakan Brojo. Brojo berteriak-teriak, tapi tiada seorangpun menjawab teriakannya. Tetapi, tiap kali ia hendak menjamah Patimah, tentu ada bata kecil terbang menghantamnya! Akhirnya ia duduk bersila di kursi dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantra, karena ia hendak menggunakan ajinya kekebalan Si Landak! Setelah ajinya masuk ke tubuh terbukti dari rasa hangat panas di dadanya ia berdiri kembali dna menghampiri Patimah yang maih duduk memejamkan mata di atas pembaringan.
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo