Ceritasilat Novel Online

Goda Remaja 3


Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Dengan kata-kata ini Johan keluar dari warung, naik Scooternya dan membalapkan kendaraan itu. Ia tidak melihat Rini, saking marahnya ia tidak melihat kekanan-kiri lagi ketika keluar dari warung. Ketika Rini memasuki warung, ia melihat bibinya menangis terisak-isak. Melihat keadaan bibinya, ia merasa kasihan sekali. Didekatinya bibinya dan dirangkulnya.

   "Bi, kenapa mas Johan berani kurang ajar kepadamu?"

   Janda itu mengangkat muka, menghapus airmata dan berkata marah,

   "Kaulah gara-gara ini semua! Sebelum kau datang dia tidak pernah marah kepadaku!"

   Rini melengak dan surut mundur. Akan tetapi baiknya pada saat itu masuk dua orang yang hendak makan, maka bibinya tidak melanjutkan kemarahannya. Rini yang akhir-akhir ini sudah biasa menerima kemarahan bibinya, melihat bibinya berjalan masuk, segera melayani dua orang penjajan itu. Hatinya perih sekali dan dengan susah-payah ditahannya kesedihan yang menyesakkan dadanya. Bibinya yang menjadi pengganti ibunya, yang dulu amat ia harapkan akan menjadi orang-tua dan kawan yang akan melindunginya, ternyata sekarang mulai berubah. Berubah banyak sekali. Apakah semua itu akibat judi? Dan apakah sebetulnya hubungan antara bibinya dan Johan?

   Sekarang bibinya selalu marah-marah kepadanya. Disamping ini, hatinya perih kalau teringat akan Hirman. Tak dapat disangkalnya bahwa Hirman memang belum pernah menyatakan perasaan hatinya, akan tetapi melihat segala gerak-geriknya, mendengar pula ucapan-ucapannya ketika menasihatinya dimalam hari itu, tak dapat tiada pemuda itu pasti menyintanya seperti dia...sendiri menyinta Hirman. Sekarang ia merasa yakin akan hatinya sendiri. Dia menyinta Hirman semenjak mula-mula berjumpa, sama sekali bukan karena Hirman seorang mahasiswa. Bukan. Dia sudah mempunyai perasaan ini sebelum ia tahu akan keadaan Hirman, ketika ia masih mengira bahwa Hirman hanya seorang tukang cetak biasa, seorang yang tidak terpelajar, Dan pada saat ia hendak mendekati Hirman, pada saat hubungan mereka sudah hampir baik, terlihat kenyataan pahit itu.

   Hirman melukis Mintarsih dalam keadaan hampir telanjang! Memang tidak telanjang bulat seperti dituduhkan Deddy, akan tetapi apa bedanya? Berbaju mandi Bikini, berdua saja dikamar. Makin panas hatinya. Perduli apa Hirman! Biar dia menjadi "apanya"

   Mience, masa bodoh. Apa dia sendiri tidak bisa mempunyai teman lain? Banyak temannya, pemuda-pemuda tampan dan gagah, terpelajar, modern dan kaya. Rini membusungkan dada, akan tetapi tak dapat ditahannya dua butir airmata yang panas mengalir turun. Ujian makin mendekat. Rini makin sibuk. Ia banyak ketinggalan dalam pelajaran nya. Diam-diam diakuinya sendiri bahwa harapan untuk lulus ujian amat tipis baginya. Ia menjauhkan diri dari Hirman, malah tidak menjawab ketika Hirman bertanya mengapa dia pergi ketika itu. Akhirnya Hirman tidak muncul lagi, merasa betapa dinginnya sikap Rini.

   Rini juga tidak mau perduli, yakni dilahir, karena didalam hatinya, tak pernah ia dapat melupakan pemuda itu. Dicobanya menghibur diri dengan teman-teman lainnya, namun tetap saja tidak bisa ia mendapatkan kegembiraan. Juga Johan lama tak muncul. Ia hanya mendengar bahwa Hirman tidak jadi membuka pameran, kabarnya diundurkan, entah kenapa. Hal ini mula-mula amat menarik perhatiannya, ingin ia mengetahui apa sebabnya. Akan tetapi karena Hirman tidak muncul, iapun pura-pura tidak perduli lagi. Pada suatu hari, ketika Rini pulang dari sekolah, ia heran melihat Mience sudah berada diwarung, menangis sedih sekali diatas bangku. Bibinya mencoba menghibur. Biarpun Mience segera menutup mulutnya ketika Rini datang, namun Rini masih dapat mendengar kata-kata terakhir dari Mience sebelum ia muncul diambang pintu, kata-kata yang amat mengagetkan hatinya, begini,

   "...Daripada menanggung malu besar, aku lebih baik mati saya, bi War..."

   "Jangan putus harapan, nak Min. Biar aku mencoba untuk membujuknya..."

   Keduanya terdiam ketika Rini muncul.

   "Eh, Min. Kenapa kau menangis?"

   Mintarsih menyusuti mukanya dan menggeleng kepala.

   "Tidak apa-apa, Rin."

   Ia lalu berdiri, menyambar tasnya dan berpamit terus keluar dari warung. Kebetulan diwarung tidak ada tamu. Rini berdiri termangu-mangu memandang Mience yang berjalan menuju kerumah... Hirman. Hatinya tidak enak.

   "Bi, dia kenapakah?"

   Bibinya nampak tak senang juga, keningnya berkerut. Agaknya ia berpikir masak-masak lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Rini. Akhirnya ia menjawab,

   "Dia... mengandung, hampir dua bulan..."

   Dengan kata-kata ini bibinya lalu keluar dari warung, di pintu berkata,

   "Aku pergi, Rin."

   Tentu saja pergi berjudi. Rini pucat, berdiri seperti patung, matanya bergerak kearah perginya Mintarsih tadi.

   Mintarsih mengandung? Hirman! Terbayang lukisan Mintarsih dikamar Hirman. Dengan lemas Rini menjatuhkan diri diatas bangku, termenung. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk, mukanya pucat akan tetapi tidak ada airmata keluar. Untung baginya tamu yang hendak makan siang berangsur datang sehingga lamunannya tidak berlarut-larut. Kedua tangannya bekerja melayani pesanan para tamu seperti tangan yang digerakkan mesin saja, serba otomatis tanpa dipikirkan lagi. Pikirannya melajang tidak karuan, membayangkan Mience, Hirman, dan lukisan didalam kamar. Perlahan-lahan timbul rasa benci dihatinya, benci kepada Mience, benci kepada Hirman. Rasa muak dan jijik. Akan tetapi, ketika warung sudah ditutup dan malam harinya ia membaringkan diri didalam kamar, Rini tak dapat tidur dan semalam suntuk ia menangis!

   Rini pulang dengan wajah pucat dan dada berdebar. Berita yang didengar disekolah tadi benar-benar mengejutkan hatinya. Mience mati. Mintarsih membunuh diri, terjun dari atas jembatan Bengawan Sala. Kedapatan mati dibawah jembatan Jurug itu. Sala gempar. Mengapa seorang gadis cantik, mahasiswi, anak orang cukup pula, melakukan perbuatan yang begitu nekad? Orang-orang saling bertanya. Hanya Rini di sekolahnya yang tahu apa sebabnya. Mience sudah mengaku didepan bibinya, tentu karena keadaannya itu lah Mience berlaku nekad. Membunuh diri karena telah mengandung diluar perhubungan yang sah, mengandung karena perbuatan jina! Hampir berlari Rini memasuki warungnya. Ketika dilihatnya warungnya kosong tidak ada pembeli, ia lari menubruk bibinya.

   "Bi... dia membunuh diri...!"

   Dan Rini menangis.

   "Eh, kenapa kau? Ada apa?"

   "Membunuh diri, bi. Terjun dari jembatan Jurug...! Aduh, kasihan kau, Mience..."

   Bi War membelalakkan matanya.

   "Apa? Nak Min membunuh... membunuh diri?"

   Mukanya menjadi pucat ketika Rini mengangguk membenarkan. Keduanya duduk bengong, terbenam dalam lamunan masing-masing, lamunan yang mengerikan. Akhirnya Bi War memecah kesunyian,

   "Itulah akibatnya kalau gadis terlalu menjual murah dirinya..."

   Rini hanya mendengarkan sambil tunduk, hatinya merasa ngeri dan tidak berani ia memandang bibinya.

   "Laki-laki memang begitu. Semua sama saja. Yang berandalan, yang pendiam dan alim, yang tua yang muda, sama saja. Maunya enak sendiri, suka mempermainkan tidak berani bertanggungjawab!"

   Bibinya nampak bernafsu. Rini tetap menunduk. Tahu bahwa tentu yang dimaksudkan bibinya dengan orang yang pendiam dan alim itu adalah Hirman. Ia dapat membenarkan ucapan bibinya sekarang. Bukankah ayah tirinya juga seorang pendiam, malah seorang yang beribadat? Dan Hirman?

   "Semua laki-laki sama kataku. Yang salah adalah nak Min, terlalu menjual murah! Karena itu, Rin, lebih baik kau Iekas kawin saja."

   Rini kaget, mengangkat muka memandang bibinya. Bibinya mengangguk-angguk,

   "Lekas kawin Iebih baik, tidak menanggung resiko lagi. Sudah berkali-kali Johan menyatakan maksudnya ini, aku hendak menemui ibumu di Kudus untuk bicarakan soal ini. Tinggal mendapatkan persetujuannya dan Johan tentu akan mengajukan pinangan resmi."

   "Tidak Aku tidak mau, bi! Aku sama sekali tidak ada niat untuk... untuk... kawin!"

   Rini memperotes keras.

   "Kalau kau tetap menolak, akupun tidak mau lagi kau disini, Rin. Akulah yang bertanggungjawab. Bagaimana kalau terjadi seperti... seperti si Min? Kau pikirkan baik-baik, kuberi waktu sebulan. Sementara itu, aku akan menemui ibumu..."

   Dengan kata-kata ini, Bi War lalu pergi meninggalkan warungnya. Dalam beberapa hari berikutnya, Bi War selalu membujuknya.

   "Masih kurang apa mempunyai suami seperti nak Johan? Tampan, terpelajar, kaya. Untuk apa pilih-pilih lagi? Laki-laki dimana-mana akan sama saja. Paling perlu terjamin hidupmu, tidak seperti aku dulu, masih muda pamanmu menyia-nyiakan aku, meninggalkan dan menceraikan aku. Huh!"

   Tentu saja Bi War tidak bercerita bahwa suaminya itu menyia-nyiakannya, menceraikannya karena dia sendiri telah menyeleweng, melakukan perbuatan hina dengan laki-laki lain! Akan tetapi Rini berkukuh dalam pendiriannya.

   "Aku belum ingin menikah, bi."

   Ia sudah nekad. Kalau bibinya memaksa, ia lebih baik terusir pergi dari pada menikah, dengan Johan lagi!

   Ia masih merasa bingung kemana ia akan pergi kalau bibinya mengusirnya. Masih ada seorang pamannya, adik ibunya yang tinggal di Madiun, akan tetapi sudah bertahun-tahun pamannya itu tidak pernah menghubungi ibunya. Betapa pun juga, kalau keadaan memaksa, ia dapat mencoba mendatangi pamannya di Madiun itu, atau dapat juga ia pulang ke Kudus. Siapa tahu, ayah tirinya sudah "sembuh"

   Dari "gilanya."

   Dalam beberapa hari semenjak itu Rini kelihatan pucat dan kurus. Malam hari itu, sekira jam tujuh, warung sudah sepi. Rini duduk seorang diri, memikirkan nasibnya. Duduk dengan muka sedih. Tiba-tiba ia tersentak keget ketika tahu-tahu Hirman muncul didepannya. Hirman yang kurus, pucat dan berambut kusut dan panjang. Dengan sepasang mata yang kelihatan lebar karena mukanya kurus, Hirman memandang Rini.

   "Dik Rin..."

   Rini diam saja, hanya balas memandang penuh kebencian. Hirman menerima pandang mata ini dengan sedih.

   "Dik Rin, kau pucat, kau sakit... ah, dik Rin, kenapa kau menyiksa diri sampai begini? Kenapa kau menjauhkan diri daripadaku, membenciku tanpa alasan? Apakah salahku, apa dosaku kepadamu, dik?"

   "Aku tidak sakit! Sedikitnya tidak sakit karena memikirkan engkau! Kaulah yang sakit. Huh, tengok dirimu, kurus pucat. Ketakutan! Ya, kau takut akan dosamu yang mengerikan, kau laki-laki keji, kau... kau... pembunuh!"

   Hirman kelihatan kaget dan bengong.

   "Apa... apa maksudmu? Pembunuh...?"

   "Hah, jangan pura-pura tak mengerti. Tak usah bersandiwara, aku sudah tahu semua!"

   Rini mengejek.

   "Kau pembunuh Mience!"

   Hirman makin kaget. Ia maju selangkah mendekati bangku warung.

   "Apa maksudmu? Rini, jangan bicara tidak karuan. Mience membunuh diri dan sampai sekarangpun aku tidak tahu mengapa dia senekad itu. Kenapa sekarang datang-datang kau menuduhku membunuhnya?"

   Rini menjadi marah. Ia melangkah keluar dari belakang meja warung, dan dengan langkah tegap ia menghampiri Hirman, berdiri didepannya, pandang matanya berapi-api, bibirnya mengejek. Hirman sampai surut selangkah kebelakang melihat gadis yang sikapnya seakan-akan hendak menyerangnya itu.

   "Kau laki-laki palsu, masih pura-pura lagi! Kau kira aku belum tahu akan semua kekejianmu? Kau pura-pura alim, hah, benar Bi War. Kau bersikap alim pendiam, tak tahunya harimau bertopeng domba. Ini namanya diam-diam makan dalam! Kau dekati Mience, kau gambar dia, kau pikat dia dengan lukisan-lukisanmu, dengan sikap alimmu, kau... kau sekamar dengan dia... setelah dia mengandung kau tidak berani bertanggung jawab! Dia putus asa, malu... Lalu membunuh diri.

   "Tidak...! Kaulah yang membunuhnya, perbuatanmu yang keji yang membunuhnya..."

   "Diam! Rini, kau sudah jadi gila!"

   "Kau laki-laki jahanam, keji..."

   "Bodoh!"

   Hirman maju selangkah dan menangkap kedua lengan Rini dengan erat.

   "Bodoh dan menyiksa diri sendiri. Kau tahu aku tidak serendah itu. Kau... kau menjadi gila karena cemburu. Ya, kau cemburu kepada Mience, aku tahu itu. Kau dulu pergi setelah melihat lukisan Mience. Kau cemburu dan itu berarti... kau cinta padaku. Ya, kau cinta kepadaku, akan tetapi kau tidak mau mengaku itu, kau gila karena cemburu, kau... kau..."

   Entah siapa yang gila pada saat itu, Hirman ataukah Rini, karena tanpa mereka sadari, Hirman sudah memeluk Rini dan gadis itu sudah menangis sambil menyandar kan kepalanya diatas dada Hirman yang bidang!

   "Dia disini...!"

   Suara ini menyadarkan Hirman dan Rini yang segera melangkah mundur memisahkan diri. Mereka saling pandang dan hanya beberapa detik dua pasang pandang mata yang amat mesra bertemu, akan tetapi segera mata Rini membelalak penuh kemarahan lagi ketika melihat diambang pintu muncul beberapa orang. Johan, Deddy dan dua orang polisi reserse.

   "Kau... kau laki-laki keji...!"

   "Betul, jeng Rin, memang dia keji. Dia menyebabkan kematian Mience."

   Johan menyambung. Hirman membalik marah kepada Johan akan tetapi dua orang polisi rwserse menodongkan pistol,

   "Saudara Hirman, harap jangan melawan."

   "Apa...? Apa artinya ini...?"

   Hirman membelalak kaget.

   "Ikut saya dengan kami kekantor dan kau akan tahu sendiri."

   "Bapak maksudkan saya... saya ditangkap...?"

   "Ya, hayo ikut kami."

   Hirman menoleh kepada Rini seperti orang minta bantuan, akan tetapi Rini membuang muka menyembunyikan airmata yang mengucur dari kedua matanya. Setelah Hirman digiring pergi, Johan dan Deddy tertawa puas dan duduk diatas kursi.

   "Jeng Rin, kau agaknya tidak tahu apa sebabnya dia ditangkap? Ternyata menurut pemeriksaan dokter yang memeriksa jenazah Mience untuk penyelidikan sebab-sebab pembunuhan diri, Mience telah... mengandung dua bulan! Orang-tuanya tidak terima, mengadukan hal ini kepada polisi dan menuntut supaya orang yang membuat Mience yang malang membunuh diri dicari dan ditangkap. Dan mudah saja diduga. Mience sering berkunjung kerumah Hirman, dilukis telanjang dan..."

   "Cukup! Aku tidak mau dengar lagi!"

   Rini berlari memasuki kamarnya untuk menyusuti airmatanya, kemudian ia keluar lagi dengan mata menjadi merah.

   "Kenapa kau menangis?"

   Johan menuntut, pandang matanya penuh selidik.

   "Aku kasihan kepada Mience..."

   Akan tetapi didalam hatinya Johan dapat menduga bahwa airmata yang dikeluarkan Rini adalah untuk Hirman, dan hatinya mendongkol bukan main.

   "Ded, hayo ajak kawan-kawan. Kita minum sepuasnya. Penangkapan atas diri si sombong Hirman itu harus kita rajakan."

   "Okay!"

   Dan keduanya pergi keluar dari warung, meninggalkan Rini yang cepat-cepat menutup pintu warung, lalu gadis ini menangis terisak-isak diatas tempat tidurnya.

   "Mas Hirman..."

   Keluhnya sambil terisak.

   "Mas Hirman..., betulkah kau tidak bersalah...? ah, Mas Hirman..."

   Air matanya bercucuran seperti air hujan yang berdetakan menjatuhi genteng diatas kamarnya. Hawa amat dingin, keadaan sunyi kecuali suara bancet yang berbunyi diselokan belakang. Suara bancet ini membuat hati Rini makin terharu dan bersedih. Hirman ditangkap, tentu dihukum karena perbuatannya yang biadab itu. Tadinya, sebelum Hirman ditangkap, ia merasa benci dan marah kepada Hirman. Akan tetapi sekarang, timbul perasaan kasihan. Nama baiknya akan rusak, seorang pemuda pelukis yang mempunyai masa depan dan harapan gilang gemilang, menjadi rusak binasa. Kalau terbayang olehnya muka yang kurus, rambut yang kusut panjang itu, ia menjadi makin gelisah dan terharu. Hirman menyintanya, seperti ia menyinta Hirman. Tepat seperti dikatakan oleh Hirman tadi. Ia menyinta Hirman, semenjak bertemu untuk pertama kali dan ia cemburu, hampir gila karena cemburu.

   "...Rini..., tok-tok..."

   Sajup sampai terdengar suara orang memanggil namanya dan bunyi ketokan pada pintu warung. Bunyi ketokan dan suara panggilan itu hampir tak terdengar, campur dengan suara bancet dan suara rintik hujan.

   "Mas Hirman...!"

   Bagaikan tersentak Rini meloncat turun dari pembaringannya.

   "Mas Hirman, kau sudah dibebaskan...?"

   Setengah berlari ia pergi kedepan, bergesa-gesa membuka pintu warung. Sesosok tubuh laki-laki menyelinap masuk.

   "Mas Jon... kau...?"

   Bukan-main kaget dan kecewanya hati ketika melihat bahwa orang itu adalah Johan yang memakai jas hujan. Kegaduhan suara hujan membuat ia tadi tidak dapat membedakan suara Johan. Apalagi karena pemuda ini datang tidak berkendaraan scooter rupanya.

   "Ya, aku, jeng Rin. Jangan takut, jeng. Jahanam itu sudah dimasukkan sel tahanan. Ha-ha-ha, dia takkan dapat merampasmu lagi. Aku datang untuk mengawanimu, untuk menghiburmu, adikku yang manis."

   Rini belum pernah melihat orang mabok dan bau minuman keras yang berhamburan keluar dari mulut Johan memuakkan. Melihat sikap Johan yang tertawa-tawa, suaranya yang tidak seperti biasa, malah sekarang mendekat dan hendak memegang lengannya, Rini menjadi marah.

   "Mas Jon, kau pergilah! Warung sudah tutup dan bibi tidak ada. Tak patut kau masuk kesini. Pulanglah!"

   Ada sesuatu yang amat menakutkan hati Rini, membuat kedua kakinya gementar.

   "Ha-ha-ha. memang kusuruh berjudi semalam suntuk dia. Kuberi modal sore tadi. Ha-ha-ha, dia takkan pulang sebelum habis uangnya. Rini, aku cinta padamu, Rini..."

   Johan sudah melepaskan mantel hujan, dilemparkan begitu saja disudut ruangan dan ia maju memegang lengan Rini.

   "Plakk!"

   Rini menampar mukanya.

   "Jangan kurang ajar. Keluar!"

   "Ha-ha-ha, jangan pura-pura malu, Rin. Kita kan sahabat baik, biasa kita dance bersama kan? Kau akan menjadi isteriku, akan kusuruh ibu melamarmu. Adikku manis, sayang..."

   Johan merangkul.

   "Jahanam kau!"

   Rini melawan, memukul mencakar, menggigit sambil menangis ketakutan. Akhirnya Johan marah.

   "Gadis liar!"

   Bentaknya dan tangannya menampar kepala Rini, membuat gadis itu terpelanting roboh. Beberapa lama ia nanar dan setengah pingsan. Ketika sadar kembali ia mendapatkan dirinya sudah berada didalam kamarnya dalam keadaan terikat! Bukan main kaget dan takutnya.

   "Tolooongg..."

   Ia menjerit, akan tetapi jeritnya tertahan ketika telapak tangan Johan membungkamnya. Suara jeritannya tadipun tertutup suara hujan. Rini meronta-ronta. Pada saat itu terdengar panggilan,

   "Rini...!"

   Suara bibinya! Karena mengetuk-ngetuk pintu depan tidak dibukai, bibinya menyelinap kebelakang, keluar pintu dapur. Memang seringkali bibinya masuk dari pintu dapur yang ada dua buah kuncinya. Selalu bibinya membawa kunci ini agar sewaktu-waktu dapat masuk tanpa membangunkan Rini. Pintu dapur dibuka dan kembali bibinya memanggil,

   "Rini...!"

   "Rin..."

   Suara bibinya sudah diluar pintu kamarnya. Untung tadi Johan dalam tergesa-gesa tidak mengunci pintu kamar. Rini hendak menjawab, namun tak dapat ia mengeluarkan suara karena mulutnya dibungkam. Ia tetap meronta-ronta.

   "Rini...!"

   
Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suara bibinya sudah diluar pintu kamarnya. Untung tadi Johan dalam tergesa-gesanya tidak mengunci pintu kamar. Daun pintu bergerak. Johan melompat kebelakang lemari. Daun pintu terbuka dan... Bi War berdiri membelalak melihat Rini terikat.

   "Rin...!"

   Ia melangkah maju dengan pucat, hendak menolong gadis itu.

   "Awas, bi...!"

   Rini menjerit namun terlambat. Johan sudah melompati bi War dengan pisau belati ditangan. Sekali pisau terajun, wanita itu menjerit dan roboh terpelanting. Darah bercucuran keluar. Rini menjerit ngeri tapi tak berdaya karena kedua tangannya masih terikat. Johan kelihatan terbelalak, bingung dan ketakutan sendiri setelah melihat darah, akibat perbuatannya sendiri. Pada saat itu dari luar pintu menerobos masuk seorang laki-laki setengah tua.

   "Ayah...!"

   Kembali Rini berseru, suaranya gementar, mukanya menjadi makin pucat. Namun laki-laki setengah tua yang berpeci hitam itu tidak menjawab, melainkan dengan sigapnya menendang lengan kanan Johan. Pisau belati terlepas dari tangan Johan dan dilain saat laki-laki itu sudah memukul rahang Johan. Johan mengaluh kesakitan, tubuhnya terhujung kebelakang menabrak lemari. Laki-laki itu tidak memberi kesempatan kepadanya. Sekali lagi ia memukul, kini tepat mengenai leher Johan, membuat pemuda itu terpelanting. Laki-laki itu menjambak rambut Johan dan diseretnya pemuda itu keluar kamar, lalu terdengar suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur dijemur. Rini mengumpulkan tenaga dan menjerit sekuatnya, lalu pingsan.

   * * *

   Ketika Rini siuman kembali, ia mendapatkan dirinya rebah dikamarnya, ditunggu beberapa orang tetangga wanita. Juga Pak Sastro dalang duduk dikursi dekat ranjangnya. Begitu siuman, Rini bangkit duduk, akan tetapi Pak Sastro dalang lalu berdiri dan berkata halus,

   "Tenang dulu, nak. Tidak apa-apa, selamat semua..."

   Rini memandang kekanan-kiri. Lantai kamarnya sudah bersih, tidak ada tanda darah. Bibinya juga tidak kelihatan. Mimpikah dia? Mimpi yang amat mengerikan?

   "Mana bibi...?"

   Tanyanya lemah, harap-harap cemas bahwa semua itu hanya mimpi belaka. Pak Sastro dalang menjawab, tetap halus menghibur,

   "Bibimu selamat, sudah tertolong dan dirawat di rumah sakit pusat."

   Ketika melihat Rini memandang kekanan-kiri seakan-akan mencari orang, ia menyambung.

   "Mereka berdua sudah ditangkap oleh polisi."

   "Mereka? Siapa...?"

   "Pemuda berandalan dan orang yang mengaku sebagai ayahmu itu, yang katanya bernama Hamidi orang Kudus..."

   Pak Sastro dalang memandang dengan sinar mata bertanya. Rini menunduk.

   "Memang dia ayahku, ayah tiriku..."

   Ia lalu turun dari pembaringan. Ternyata hari telah pagi.

   "Saya hendak menengok bibi, saya tidak apa-apa. Terima kasih atas pertolongan bapak dan bibi sekalian."

   Pak Sastro dalang yang melihat gadis itu benar-benar kuat dan tidak apa-apa, mengangguk. Ia memberi isarat kepada orang-orang supaya bubar karena orang-tua ini maklum bahwa pada saat itu amat tidak baik kalau membiarkan Rini dihujani pertanyaan bermacam-macam dari para tetangga yang selalu ingin tahu segala hal. Dalam hal ini, Rini amat berterima kasih kepada Pak Sastro dalang. Ingin sekali ia bertanya tentang Hirman, namun kesempatan tidak ada dan ia segcra bergegas untuk mandi, tukar pakaian dan pergi kerumah-sakit umum. Ia melihat bibinya rebah miring dan airmata mengucur deras dari mata bibinya ketika ia datang.

   "Nak, tinggalkan kami sebentar..."

   Bibinya berkata kepada jururawat yang mengangguk maklum dan pergi dengan langkah ringan.

   "Rin..."

   Bibinya tersedu ketika Rini berlutut didekat dipan. Ia mengelus rambut keponakannya.

   "Bibimu berdosa besar, Rin..."

   "Tidak, bi,"

   Jawab Rini terharu.

   "Malah bibi telah menolongku..."

   "Dia memang manusia biadab!"

   Bi War berkata penuh nafsu.

   "Sejak kau belum disini, dia sudah menggangguku, sudah menyeretku melakukan perbuatan mesum. Ah, aku bermata buta, Rin, semenjak dulu aku sudah buta. Aku tak dapat bersetia kepada suamiku... ah, aku menyesal sekali Aku terjerumus kejurang perjudian, dan dia... pemuda keparat itu, karena ingin mendapatkan kau, dia malah mendorong-dorongku, memberi uang... Ah, Rini, malam kemarin hatiku memang sudah merasa tak enak. Dia sudah lama tak mau perduli lagi kepadaku, tak mau memberi uang. Akan tetapi sore hari itu, setelah nak Hirman ditangkap, dia memberi uang banyak dan menyuruh aku pergi berjudi. Aku curiga, pulang dan..."

   Rini menjadi gemas sekali, marah dan mendongkol kepada Johan.

   "Sudahlah, bi. Baiknya Tuhan masih melindungi kita dan kau dapat tertolong...

   "

   "Aku harus membalasnya, Rin. Harus! Pemuda biadab itu harus diberi rasa!"

   "Dia sudah ditangkap, ditahan polisi bersama ayah."

   Mata Bi War membelalak.

   "Apa? Ayah tirimu di tangkap pula? Mana bisa jadi? ayahmu menolong kita..."

   "Tentu saja polisi tidak mau percaya, bi. Dia orang asing disini."

   "Kalau begitu lekas kau pergi kekantor polisi, kau sebagai saksi berilah penjelasan bahwa ayahmu tidak berdosa. Dan lagi... Bi War berhenti sejenak.

   "Ah, besar dosaku terhadap nak Hirman. Karena bujukan dan ancaman sikeparat itu aku menutup mulut. Kau sekalian beritahukan polisi bahwa nak Hirman tidak berdosa. Mience dengan mulutnya sendiri mengaku kepadaku dahulu bahwa yang membuat dia mengandung adalah Johan! Di Tawangmangu dulu..."

   Bagaikan disengat kelabang Rini kaget dan bangkit berdiri. Wajahnya pucat dan airmata berlinang dikedua pipinya. Hirman tidak berdosa! Ya Tuhan, terima kasih. Hirman tidak berdosa! Seketika Rini membalikkan tubuh dan berlari keluar.

   "Heee, kau kemana?"

   Bibinya berseru.

   "Kekantor polisi, bi..."

   Jawab Rini tanpa menoleh. Bibinya tersenyum dengan airmata masih berlinang-linang, akan tetapi kemudian ia mengeluh karena punggungnya sakit.

   "Johan keparat..."

   Juru rawat segera datang dan menolongnya, mengganjalkan bantal dipunggung. Rini minta berkali-kali kepada tukang-becak supaya mempercepat becaknya. Begitu tiba didepan kantor polisi, dia membayar becak dan berlari memasuki halaman kantor polisi. Setibanya diruang depan dimana beberapa orang anggauta polisi berjaga, dia memperlambat langkahnya dan berdebarlah hatinya ketika melihat bahwa disitu sudah berkumpul Pak Sastro dalang, seorang laki-laki tua kurus, dan yang seorang lagi... Hirman! Mereka semua memandang kepadanya dan hampir Rini tak dapat menahan airmatanya ketika ia bertemu pandang dengan Hirman. Baiknya komandan jaga yang baru keluar dari dalam bertanya,

   "Ada keperluan apakah, nona?"

   Rini membasahi bibir dengan lidah, menelan ludah dan mengumpulkan ketenangan. kembali ia mengerling kearah Hirman.

   "Anu, pak... saya mempunyai dua urusan... emmmm, maksud saya, dua laporan. Pertama..."

   Polisi itu tersenyum sabar.

   "Duduklah, duduklah... dan tenang saja, nona."

   Rini duduk diatas bangku menghadapi meja tulis komandan itu dan kembali ia melirik kearah Hirman yang duduk disebelah kanan. Pemuda itupun nampak terheran.

   "Nah, sekarang jawab dulu. Siapa nama nona, umur dan tempat tinggal?"

   "Nama saya Pusparini Basuki, umur... sembilan belas tempat tinggal diwarung nasi gudeg Bi War..."

   Komandan polisi itu mengangkat muka memandang tajam.

   "Ahh, urusan semalam itukah? Nah, ceritakan apa yang nona ingin laporkan."

   Mengenai diri seorang laki-laki bernama Hamidi yang ditahan oleh polisi, pak. Dia itu adalah ayah tiri saya dari Kudus. Dia tidak bersalah apa-apa dalam peristiwa semalam, malah dialah yang menolong kami, maksud saya, dia menolong bibi dan saya. Dia yang menyerang dan menghajar... orang jahat itu. Andaikata tidak ada ayah tiri saya, ahh..."

   Komandan itu nampak tertarik, lalu mengangguk-angguk.

   "Ah, begitukah? Bagus sekali. Kamipun sudah mendengar pengakuannya, akan tetapi karena dia orang asing, kami tak dapat percaya. Baiknya kau menjadi saksi utama, nona. Baiklah, kalau begitu dia segera akan dibebaskan."

   "Saya minta supaya dia dibebaskan sekarang juga, pak. Dia tidak berdosa..."

   Komandan itu mengangguk-angguk.

   "Yaaa..., tapi dia juga menyiksa orang sampai setengah mati. Dia harus dituntut didepan pengadilan."

   "Terserah kepada bapak, hanya saya minta supaya dia jangan ditahan, karena dia bukan penjahat, malah dia penolong..."

   Kembali komandan itu mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada seorang penjaga,

   "Bawa tahanan sel empat kesini."

   Setelah penjaga itu pergi, ia bertanya lagi kepada Rini,

   "Dan apakah laporan kedua?"

   Rini melirik kearah Hirman yang memandang dengan terharu. Kiranya dengan berbisik, Pak Sastro dalang sempat menceritakan secara singkat tentang peristiwa semalam dirumah Bi War.

   "Anu, pak... Ini perkara lain lagi. Mengenai perkara... perkara mendiang nona Mience..."

   Komandan itu kembali tercengang dan dari sebelah kanan terdengar seruan.

   "Nona, kau tahu apa tentang Mience anakku...?"

   Yang bicara ini adalah laki-laki tua yang duduk disebelah Pak Sastro dalang dan Hirman. Kiranya dia ayah Mience, pikir Rini. Sebelum dia menjawab pertanyaan orang-tua ini, komandan jaga menoleh kepadanya dan berkata tegas,

   "Harap bapak jangan mencampuri laporan ini."

   Orang-tua itu menunduk, dan komandan bertanya lagi kepada Rini,

   "Nah, nona teruskanlah."

   Ia sudah siap lagi dengan ballpointnya untuk mencatat laporan Rini.

   "Sebelum Mience meninggal, dia pernah membuat pengakuan didepan bibi saya bahwa yang bertanggung jawab atas diri dan keadaannya itu adalah... Johan."

   "Bajingan..."

   Ayah Mience memaki. Komandan menoleh kepadanya dengan pandang mata menegur, dan orang-tua itu kembali menundukkan kepala, dua butir airmatanya menitik turun.

   "Nona Pusparini, keterangan ini amat penting. Apa sungguh-sungguh keteranganmu itu?"

   "Saya baru saja mendengar dari bibi, pak. Kalau bibi sudah sembuh dari lukanya, tentu dengan senang hati bibi sendiri akan membuat kesaksian ini. Saya... saya menyampaikan sekarang karena... karena jangan sampai ada orang lain yang tak berdosa dipersalahkan."

   Rini menunduk dan ujung matanya melirik kearah Hirman. Tak berani ia memandang langsung. Komandan itu tersenyum dan mengangguk-angguk, Ialu berkata kepada Hirman.

   "Saudara lihat sendiri, siapa yang tidak berdosa tentu akan dibela orang lain. Baru saja saudara dilepaskan karena pembelaan Pak Sastro dalang dan ayah sikorban sendiri, sekarang muncul nona ini yang lagi-lagi membela saudara."

   Hirman tidak menjawab, hanya tersenyum lemah. Tiba-tiba ayah Mience berdiri dan sambil mengangkat tangan kanannya dikepal, ia berteriak-teriak,

   "Bajingan Johan itu harus dihukum. Dihukum gantung! Hutang nyawa bayar nyawa, Dia yang sudah membunuh anakku Mience... dia harus dihukum mati. Aahhh... Mience..., Orang-tua itu menangis! Dengan airmata berlinang Rini memandang dan kagum ia melihat Hirman dengan tenang dan sabarnya merangkul orang-tua itu, mendudukannya kembali dan menghibur.

   "Sabar dan tenanglah, pak. Yang berwajib pasti akan mengadilinya secara bijaksana."

   Akan tetapi komandan polisi itu marah-marah. Sambil memandang kepada orang-tua itu dengan pandang mata tajam ia berkata,

   "Mudah saja bapak memaki-maki dan menyalahkan orang lain. Apa bapak tidak sadar bahwa yang menyebabkan malapetaka menimpa diri anak bapak itu sebagian besar adalah bapak sendiri?"

   Orang-tua itu mengangkat muka, memandang tak mengerti dan penasaran. Komandan itu mengangguk-angguk, sinar matanya makin tajam.

   "Banyak orang-tua, seperti bapak ini, hanya mengira bahwa kewajiban orarg tua hanyalah memberi makan, memelihara, memberi pakaian, menyekolahkan dan mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya. Kalau anak hanya cukup dipelihara saja, apa bedanya dengan memelihara kucing atau anjing? Semua kebutuhan hidup jasmani hanyalah sekunder (tingkat kedua) saja apabila dibandingkan dengan kebutuhan primer (tingkat pertama) anak itu, yakni pendidikan mental. Bapak membiarkan anak bapak yang sudah remaja puteri itu menempuh hidup bebas luar biasa, ultra modern sampai melupakan kesusilaan dan kepribadian bangsa kita sendiri, bangsa yang terkenal sebagai bangsa yang luhur budinya, yang menjunjung tinggi kesusilaan dan kesopanan, yang amat kuat dasar jiwanya. Bapak membiarkan anak gadis bapak berfoya-foya, pergi pesiar sampai bermalam digunung-gunung, bebas lepas bersama teman-teman pria, tanpa pengawasan sama sekali. Dan sikap yang begini ini oleh sebagian orang-tua dianggap sebagai sikap bijaksana, menyenangkan hati anaknya! Huh, saya lebih suka mengatakan bahwa orang-tua yang demikian itu malah mendorong dan menjerumuskan anaknya sendiri kedalam jurang yang amat berbahaya. Sekarang, setelah anak bapak terjeblos dan berakibat malapetaka ini, bapak hanya bisa menyalahkan orang lain!"

   Komandan polisi itupun hanya seorang manusia biasa, seorang bapak biasa yang mempunyai beberapa orang anak perempuan pula. Dia seorang bapak yang mempunyai kekhawatiran yang sama, maka ia tadi lupa diri dan menjadi gemas melihat ayah Mience yang ia anggap sebagai penyebab kecelakaan anak sendiri. Makin lama makin rendah kepala orang-tua itu menunduk. Airmatanya mengalir menuruni pipinya yang kempot. Kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata lirih terisak,

   "Aku salah..., aku salah... ah, kalau saja aku miskin, takkan begini Mience..."

   Rini tak dapat menahan airmatanya menyaksikan ayah yang berdukacita itu. Baiknya pada saat itu muncul Hamidi, orang setengah tua berpeci hitam yang malam hari kemarin menolong Bi War dan Rini, diikuti oleh agen polisi tadi.

   "Rini..."

   Hamidi berdiri, ragu-ragu memandang Rini.

   "Ayah..."

   Rini cepat maju menghampiri dan memberi hormat dengan sembah.

   "Rini...!"

   Orang setengah tua itu memegang ke dua pundak Rini, matanya basah.

   "Syukur alhamdulillah... kau selamat, anakku..."

   Biarkan kedua ayah dan anak-tiri ini tidak menyatakan dengan mulut, namun jelas bagi Rini betapa mata ayah tirinya memohon maaf sebesarnya kepadanya, mohon maaf tentang peristiwa malam hari beberapa bulan yang lalu di Kudus. Dan bagi Hamidi jelas pula bahwa anak gadis itu memaafkannya dengan tulus ikhlas.

   "Rini..., ibumu menangis saja, rindu kepadamu. Aku berangkat ke Sala mencari. Mendengar keadaan bibimu, sengaja menanti malam itu sampai bibimu pulang. Dia masuk dari pintu belakang, aku mengikutinya dan ahh... baiknya aku masuk tidak terlambat..."

   "Silahkan duduk, saudara Hamidi."

   Komandan polisi berkata. Hamidi dan Rini duduk diatas bangku.

   "Sekarang setelah nona ini memberikan kesaksiannya yang cocok dengan keterangan saudara, kami merasa tidak perlu lagi untuk menahan saudara. Berikan alamat saudara yang terang agar sewaktu-waktu kalau kami menanggil, saudara dapat datang."

   Setelah semua beres, Hamidi dibebaskan. Juga Hirman dibebaskan karena memang sebelum Rini datang dengan kesaksiannya tentang Mience, sudah lebih dulu datang Pak Sastro dalang yang memberi kesaksian bahwa selama Mience bergaul dengan Hirman dirumahnya, ia dan anak-anaknya menjadi saksi bahwa tak pernah terjadi sesuatu yang tidak sopan.

   Malah diwaktu Mience menjadi model, dilukis oleh Hirman dengan pakaian mandi, selalu ditonton oleh anak-anaknya, jadi tak mungkin terjadi hal-hal yang kurang sopan. Pak Sastro dalang lebih dulu memberikan keterangan disertai sumpah kepada ayah Mience, dan Akhirnya Pak Sastro dalang berhasil membujuk orang-tua itu supaya suka bersama dia menghadap kekantor polisi untuk minta pembebasan Hirman. Karena disitu terdapat banyak orang, antara Rini dan Hirman tidak ada kesempatan menyatakan kata-kata, namun dua pasang mata itu bicara banyak, banyak sekali. Mata Rini penuh penyesalan, penuh kemesraan dan penuh pengharapan. Mata flirman penuh kebanggaan, penuh kemesraan dan penuh pengharapan pula, senyumnya menyatakan selaksa maaf kepada gadis itu.

   * * *

   Johan dijatuhi hukuman Iima tahun. Hamidi dijatuhi hukuman tiga bulan karena penyiksaan terhadap Johan. Rini menangis ketika ia memeluk ayah tirinya.

   "Ayah,"

   Bisiknya.

   "Orang macam dia pantas dipukuli, kenapa kau dihukum juga? Kita protes, ayah..."

   Hamidi dengan Iinangan airmata mengusap rambut Rini.

   "Anakku... kau anakku... biarlah, Rini, hitung-hitung untuk menghukum kegilaanku dahulu. Baru Iega hatiku kalau sudah dihukum duniawi..."

   "Ayah..."

   Rini memandang ayahnya dibawa pergi polisi dengan mata bercucuran airmata. Ibunya yang juga datang menghadiri pengadilan itu, merangkul Rini dan beramai-ramai, bersama Bi War yang sudah sembuh, mereka keluar. Rini bersama ibunya tinggal dirumah Bi War, menanti sampai Hamidi bebas dari hukuman. Hanya seminggu sekali ibunya pulang ke Kudus untuk membereskan rumah.

   Bi War tidak berjudi lagi, dan mendapat bantuan dari ibu Rini. Warungnya diperbesar dan banyak langganan baru datang menikmati nasi-gudeg Bi War. Hirman masih seperti biasa, setiap sore tentu datang makan disitu. Selalu Rini yang melayaninya. Mereka masih tak banyak bicara, hanya senyum dan kerling mereka yang makin lama mengikat sampai masing-masing takkan mungkin dapat melepaskan diri lagi. Hanya sewaktu-waktu kalau Bi War dan ibu Rini "sengaja"

   Menjauhkan diri kebelakang kalau Hirman datang, dua orang muda ini bercakap-cakap, berbisik-bisik entah apa yang dibicarakan. Bi War dengan suara bisik-bisik pula memberi penjelasan dan "Memperkenalkan"

   Hirman kepada ibu Rini yang tentu saja menjadi bangga dan girang mendengar dari Bi War bahwa puterinya telah bertukar kasih dengan seorang "Mahasiswa seniman lukis yang setia dan jujur."

   Seringkali, sehabis makan, Rini minta petunjuk Hirman tentang beberapa mata pelajaran dalam menghadapi ujiannya. Petunjuk dan penjelasan yang diberikan Hirman amat terang dan mudah dimengerti sehingga dalam beberapa minggu saja ia mendapatkan banyak kemajuan. Entah karena bimbingan Hirman ini, entah karena kebahagiaan hatinya, ketika di adakan ujian, Rini lulus walaupun hanya dengan nilai sedang! Kegirangan hati karena lulus ujian ini ditambah lagi dengan keluarnya Hamidi dari penjara. Rini, ibunya, Bi War dan Hirman menunggu diluar penjara dan airmata membanjir ketika Hamidi keluar dari pintu besar penjara, disambut orang-orang yang menyintanya. Hamidi nampak lebih gemuk, dan kulitnya agak pucat, tapi dia sehat-sehat saja. Senyumnya lebar ketika Rini menyampaikan berita tentang lulusnya ujian sekolahnya.

   "Bagus! Kalau begitu, mari kita Iekas pulang ke Kudus!"

   Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Rini melirik kearah Hirman, lalu berkata,

   "Ayah, aku tidak bisa ikut pulang sekarang karena..., karena aku sudah berjanji dengan mas Hirman untuk membantunya dalam pameran lukisan minggu depan. Boleh ya, yah?"

   Tanyanya manja. Ayahnya memandang Hirman, lalu tertawa. Sebelum masuk penjara iapun sudah mendengar tentang ikatan kasih antara kedua orang muda itu.

   "Tentu saja boleh. Kalau begitu aku dan ibumu pulang dulu. Kemudian kau menyusul bersama... nak Hirman, atau... Lebih baik lagi bersama orang-tua nak Hirman. Ha-ha-ha!"

   Rini dan Hirman saling pandang, tersenyum dan tersipu-sipu, akan tetapi dengan hati girang bukan main.

   "Biarlah nanti kuantar ke Kudus, akupun sudah ingin sekali mwlihat Rumah-kapal di Kudus dan berziarah ke Gunung Muria,"

   Kata Bi War. Hari Senin berikutnya pameran lukisan Hirman di buka, di Balai Rakyat. Karena percetakan dimana Hirman bekerja mencetak surat-kabar, maka redaktur surat-kabar sudah mengenal Hirman dan membantu pemuda itu dengan memberitakan pameran itu disurat kabar. Banyak sekali pengunjung pameran, bahkan ada pula orang-orang dari luar-kota Sala.

   Sibuk Rini dan Hirman melayani para pengunjung, menerima pesanan, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang lukisan. Hirman mulai dikenal orang, lukisan-lukisannya mulai dikagumi orang. Pada hari ketiga, hari terakhir pameran itu. Diantara tiga puluh enam buah lukisan, dua puluh enam sudah dipesan orang! Rini sampai melongo keheranan menyaksikan betapa lukisan-lukisan itu dipesan orang dengan harga begitu tinggi. Tak pernah sebelum ini terpikir olehnya bahwa lukisan akan berharga sedemikian mahalnya. Pada hari ketiga itu, seorang pengunjung Tionghoa memandangi lukisan yang dipasang dipojok. Lukisan seorang laki-laki tua yang berwajah sabar dan tersenyum jenaka, bermata terang. Karena pengunjung pada siang hari itu sudah berkurang, kwtika Rini ditanyai orang Tionghoa itu tentang lukisan kakek, Hirman menghampiri.

   "Apakah lukisan ini sudah dipesan orang?"

   Tanya orang Tionghoa itu.

   "Yang ini belum, tuan,"

   Jawab Rini.

   "Kalau begitu, harap nona tuliskan dalam buku. Saya mau membeli lukisan ini. Nama saya...,"

   "Nanti dulu! Lukisan itu sudah saya beli lebih dulu..."

   Tiba-tiba terdengar suara orang berkata, suaranya lantang dan suara ketawa yang mengiringi seruannya itu terdengar gembira. Rini, Hirman dan orang Tionghoa itu menoleh.

   "Ayah... Hirman bergegas maju dan menyembah.

   "Bocah gemblung (anak tolol) kau mau menjual kakekmu sendiri?"

   "Kakek? Aku belum pernah melihat kakek atau fotonya sekalipun."

   Hirman membantah.

   "Lha itu siapa kalau bukan kakekmu?"

   Ia menoleh kepada orang Tionghoa tadi dan berkata.

   "Maaf lho, tuan. Itu gambar kakeknya, masa dijual!"

   Orang Tionghoa itu memandang gambar, lalu menatap wajah orang yang baru datang ini, lalu tertawa lebar.

   "Maaf, maaf, memang tak salah kata-kata tuan, Agaknya putera tuan ketika melukis selalu teringat kepada tuan."

   Juga Rini melihat sekarang. Goresan, muka kakek itu memang serupa benar dengan goresan muka orang yang menjadi ayah Hirman ini. Muka ayah Hirman ini nampak selalu riang, selalu jenaka dan lucu. Hanya lekuk didagunya yang membayangkan kekerasan hati, seperti lekuk pada dagu Hirman.

   "Ayah, ini Pusparini Basuki, dia... eh, dia ini sahabat-baikku."

   Orang-tua itu memandang Rini penu.h perhatian dan ketika gadis itu memberi hormat menyembah, ia mengangguk-angguk.

   "Dik Rin, harap kau pulang dulu. Kita tutup saja pameran ini. Nanti aku bersama ayah datang kesana..."

   "Apa ibumu tak boleh ikut kesana?"

   Sambung ayahnya.

   "Ibu... Dimana ibu?"

   "Menanti dilosmen, bersama adikmu."

   "Wati?"

   Wajah Hirman nampak gembira sekali dan sekarang banyak persamaan dengan wajah ayahnya.

   "Kalau begitu, aku pulang dulu, mas. Kau harus lekas-lekas menemui ibumu, biarlah lain hari kita dapat bertemu pula."

   Gadis ini dengan hormatnya berpamit kepada ayah Hirman yang memandang sambil mengangguk-angguk. Setelah Rini pergi jauh, ia menggumam,

   "Pilihan hatimu?"

   Hirman menjadi merah mukanya.

   "Ayah selalu tajam pandangan. Biarlah nanti didepan ibu kuceritakan semua."

   * * *

   Dua hari kemudian, sebuah mobil sedan berhenti didepan warung Bi War. Rini dan Bi War yang sudah diberitahu Hirman bahwa hari itu mereka hendak dijemput untuk bersama-sama Hirman dan ayah bundanya pergi ke Kudus, telah siap. Sebentar Hirman memperkenalkan Bi War dan Rini kepada ibunya dan adiknya, Wati yang berusia sepuluh tahun. Kemudian mobil dijalankan, dia sendiri yang menyetir, Rini disebelahnya. Ayahnya dibelakang bersama ibunya, dan Bi War.

   Bukan main bahagianya hati Rini. Tak salah lagi, pikirnya dengan hati berdebar tidak karuan, akibat rasa gembira campur malu dan jengah, tak salah lagi, tentu ayah-ibu Hirman akan mendatangi orang-tuanya untuk mengajukan pinangan! Lucunya! Datang meminang kok bersama orang yang hendak dipinang. Disepanjang perjalanan, ayah Hirman banyak berkelakar sehingga suasana selalu gembira. Bi War yang kagum melihat Hirman menyetir mobil berkata,

   "Tidak dinyana nak Hirman pandai nyopir. Kalau sewa mobil dari Sala ke Kudus sampai berapa, ya nak?"

   Hirman tersenyum.

   "Harap Bi War tanya kepada ayah. Ayah yang menyewa, bukan saya."

   Ayah Hirman tertawa.

   "Kalau menyewa, mbakju? Paling mahal lima ratus rupiah."

   "Lima ratus rupiah?"

   Bi War terheran, lalu disambungnya lega,

   "Ah, tentu lima ratus ribu kalau begitu. Lima ratus rupiah uang baru."

   Ayah Hirman tertawa membenarkan.

   "Banyak yang bingung dengan hitungan uang nilai baru, padahal lebih mudah, tidak terlalu banyak."

   Ayah-ibu Rini menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan gugup. Sama sekali mereka tidak mengira akan kedatangan tamu yang hendak melamar anak mereka. Kalau lebih dulu tahu, tentu sudah.di sediakan untuk suguhan yang agak pantas.

   "Waah, tidak usah repot-repot, mas dan mbakju. Kita kan orang sendiri? Kami nanti bermalam dilosmen dan yang paling penting kan urusan kita? Pinangan sudah diajukan, sudah diterima, kedua fihak sudah cocok dan senang. Mau apalagi? Hebatnya lha wong datang melamar kok bersarna dengan gadis yang dilamar. Opo tumon (belum pernah ada yang begini)?"

   Percakapan diseling gelak-tawa dan meskipun suguhan hanya sederhana dan seadanya, namun kedua belah fihak sudah merasa senang. Setelah perjanjian soal pernikahan masak. Hirman dan orang-tuanya pergi ke losmen dan besoknya terus kembali ke Pekalongan, kerumah orang-tua Hirman. Mereka yang pulang dan mereka yang ditinggalkan di Kudus hanya mempunyai waktu sebulan lagi untuk bersiap-siap, karena pernikahan akan dilangsungkan satu bulan lagi. Akhirnya hari yang dinanti-nanti tiba. Hirman datang sebagai mempelai. Bertemu dengan Pusparini Basuki sebagai mempelai. Hamidi mengerahkan segala yang dimilikinya untuk merajakan hari pernikahan anak-tirinya, atau anak-tunggalnya karena dari dia sendiri, ibu Rini tidak memperoleh anak. Hamidi berbahagia. Berbahagia karena merasa bahwa anak-tirinya dengan ikhlas dan tulus betul-betul mau memaafkannya.

   Memang demikianlah. Rini juga melihat betapa ayah tirinya itu amat menyesal dan sudah berubah sama Dalam waktu sebulan saja tinggal serumah, ia telah memperoleh seorang ayah baru, seorang ayah yang betul-betul menyayangnya seperti seorang ayah aseli. Diapun berbahagia, ibunyapun berbahagia. Memang kebahagiaan baru dapat dicapai dimana tidak ada nafsu-nafsu merajalela. Rini menyembah kepada ibu kandungnya din ayah tirinya ketika Hirman yang menjadi suaminya hendak membawanya ke Pekalongan. Ia menyembah dan mencucurkan airmata, airmata bahagia dan keharuan. Ayah tirinya dan ibu kandungnya juga mencucurkan airmata. Kali ini mobil hanya diisi mereka berdua. Hirman yang menyetir. Biarpun penuh dugaan-dugaan, namun Rini tidak bertanya seperti Bi War dahulu apakah ini mobil sewaan.

   Ia hanya menyandarkan kepala dibahu suaminya yang kadang-kadang memegang setir dengan tangan kanan saja, tangan kirinya dipergunakan untuk merangkul atau membelai rambut isterinya. Tentu saja hal ini dilakukannya kalau mobil mereka melalui jalan sunyi. Sesampainya di Pekalongan, mobil memasuki pekarangan sebuah rumah gedung yang besar. Ayah-ibu Hirman menyambut, berikut adiknya dan beberapa orang pelajan. Semua nampak gembira, berseri dan tertawa-tawa. Rini memandang dengan bengong. Sampai bingung ia menerima sambutan meriah ini dan setelah memberi hormat kepada ayah-bunda mertuanya, ia dituntun suaminya kedalam gedung dimana sebuah kamar yang indah sudah menanti mereka, disediakan semenjak kemarin. Didalam kamar yang indah itu berdua, Rini tak kuasa menahan hatinya yang penuh keheranan.

   "Mas, ini rumah siapa?"

   Hirman merangkulnya dan tersenyum.

   "Kau kira rumah siapa? Rumah kita tentu, rumah ayah-ibu juga."

   Rini memandang suaminya, sinar matanya mengandung penuh pertanyaan.

   "Jadi mobil-mobil yang dipakai ke Sala dan yang kita pakai tadi, semua milik ayah sendiri?"

   Dengan masih tersenyum Hirman mengangguk.

   "Yang besar itu milik ayah dan yang kita pakai tadi milik kita."

   Dengan suara aneh dan agak ragu Rini berkata,

   "Mas Hirman, kalau begitu kau... kau kaya raya..."

   Hirman menangkap keraguan dan kecemasan dalam suara isterinya. Ia mencium pipi isterinya lalu berkata sungguh-sungguh,

   "Mari kita duduk, jeng. Sudah tiba saatnya kau mendengar segala-segalanya."

   Ia membimbing tangan isterinya, dengan penuh kasih sayang dan mesra ia mendudukkan isterinya diatas tempat tidur sedangkan dia sendiri lalu duduk diatas kursi menghadapi isterinya.

   "Ayah seorang saudagar batik yang cukup keadaannya. Kami amat sayang satu kepada yang lain, akan tetapi juga agaknya sama-sama memiliki kekerasan hati. Kami bercekcok tentang kelanjutan studiku. Ayah menghendaki supaya aku memasuki fakultas ekonomi, karena katanya semenjak kakekku, keluarga kami adalah keluarga saudagar. Akan tetapi aku lebih suka menuruti hatiku, memperdalam ilmu melukis yang menjadi kegemaranku. Akhirnya ayah berkata marah bahwa seorang pelukis akan mati kelaparan kelak. Aku juga marah dan menyatakan bahwa tak usah menanti kelak, sekarangpun selagi menjadi pelajar pelukis aku takkan mati kelaparan. Demikianlah, aku memasuki A. S. R. I dengan tekad bulat untuk membiayai sendiri sekolahku itu. Ayah tahu akan hal ini, akan tetapi ayah sengaja membiarkan aku demikian, untuk latihan hidup, katanya. Memang ayah benar. Aku amat berterima kasih untuk sikapnya itu. Andaikata ayah dahulu berubah sikap dan mengirimi uang sebanyaknya, belum tentu sekolahku jadi, mungkin aku akan hidup berfoya-foya dan berojal-rojalan seperti pemuda-pemuda, lain yang orang-tuanya kaya."

   Bukan main bangga dan kagumnya hati Rini.

   "Mas, kau hebat...!"

   Hirman tertawa, berpindah duduk, kini didekat Rini diatas ranjang.

   "Kau lebih hebat lagi, jeng. Sebagai seorang gadis remaja, kau dikelilingi godaan, dikelilingi iblis berupa pergaulan modern yang bebas dan liar. Namun, biarpun kau seorang yang keadaan hidupnya sederhana, kau tidak terpikat oleh semua kemewahan itu, dan kau teguh menjaga kesucian dan kehormatan."

   "Mas, jangan terlalu memuji. Aku masih berkidik, meremang bulu-tengkukku kalau teringat betapa hebatnya dan besarnya bahaya yang mengelilingi para remaja. Goda remaja bukan main berbahayanya, amat licin. Sekali saja tergelincir... ah, kasihan Mintarsih."

   "Syukur kau sendiri dapat tahan uji, isteriku..."

   "Ah, mas, tidak berapa selisihnya. Kalau tidak ada kau, mas..."

   Suaminya memandang dengan senyum menggoda.

   "Aku? Ahh, nasihat-nasihatku malah kau terima dengan lemparan cangkir!"

   Rini mengangkat tangan dan jari-jarinya yang halus membelai pipi Hirman ditempat yang dulu dilukai oleh lemparan cangkir.

   "Sudah tidak ada bekasnya, mas... aku memang bodoh. Hampir saja aku terpikat oleh hidup mewah-mewahan, gila-gilaan, dansa-dansi, mengukur kemodernan dengan gila barat, ah, mas, untung ada kau, mas."

   "Lho, kan nasihatku tidak kau turut?"

   "Bukan nasihatmu, mas, melainkan engkau. Dirimu, pribadimu, engkaulah yang menolongku. Karena selalu bayanganmu mengikuti hatiku, karena... ah, masa tidak mengerti, mas?"

   Dengan manja Rini menyandarkan diri kedada suaminya. Hirman tersenyum, pura-pura tak mengerti.

   "Sungguh, bagaimana sih? Karena apakah?"

   "Karena... karena semenyak kau makan diwarungku bersama dua orang kawanmu..."

   "Ya? Bersama Purnawan dan Sardi? Lalu?"

   "Semenjak itu, aku... aku tak dapat melupakan engkau..."

   "Hanya tak dapat lupa?"

   "Semenjak itu aku... aku menyintamu, mas..."

   Tersipu-sipu Rini menyembunyikan muka didada suaminya.

   "Aha, hanya begitu saja? Apa kau kira hanya engkau yang bisa menyinta? Hemmm, akupun pada waktu itu sudah jatuh cinta kepadamu, seratus kali lebih hebat daripada cintamu!"

   "Ah, masa? Bohong..."

   "Sungguh!"

   "Sumpah?"

   "Sumpah!"

   "Sumpah apa?"

   "Biar... selamanya tidak akan kawin lagi kalau aku bohong!"

   Keduanya tertawa, tertawa penuh bahagia. Awal kehidupan suami-isteri yang mesra. Dan semoga selamanya akan demikianlah. Hanya cinta kasih yang bersih daripada daya tarik nafsu semata, yang didasarkan atas simpati dan persesuaian watak, yang berlandaskan kekuatan batin untuk saling menjaga, saling menghormat, dan saling menghargai, hanya cinta kasih yang murni seperti inilah yang akan kekal, tahan lama sampai mereka menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek. Cinta kasih seperti ini takkan mudah luntur, tidak semudah lunturnya pemerah bibir dan bedak. tidak seperti cinta kasih yang dipungut dari lantai dansa, diantara sentuhan dan senggolan pergaulan bebas yang penuh di liputi hawa nafsu yang dibiarkan meliar.

   Dan dengan demikian tamatlah cerita ini, ditutup harapan pengarang semoga kisah ini dapat membuka kesadaran kaum remaja agar tabah dan hati-hati mengarungi samudera hidup yang penuh batu karang, dan dapat memperingatkan ayah-bunda agar jangan lengah dan membantu putera-puteri mereka mengarahkan biduk kepantai cita dan tidak kandas ditengah jalan.

   Surakarta, awal Maret 1966.

   TAMAT

   Kategori : Lepas/Modern Drama

   Penerbit/Pencetak : CV GEMA-Solo

   Cetakan Tahun : 1966

   Pelukis : Sriwidjono

   Sumber Buku & Image : Gunawan Aj

   Konversi ke Teks : Eddy

   Posting : Djan M

   Edit ke DOC, PDF, TXT (E-Book) : Cersil KPH

   


Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini