Pendekar Gunung Lawu 4
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Pamadi menghela napas.
"Memang serba susah, tetapi mengapa ada ayah demikian kejam? Nona,"
Katanya halus.
"Percayakah nona padaku?"
Mei Hwa mengangkat muka memandang.
"Percaya bagaimana maksudmu?"
"Maukah kau menyerahkan semua ini padaku untuk diatur?"
Untuk sejenak Mei Hwa tak dapat menjawab, hanya memandang wajah pemuda itu dengan tajam. Kemudian berkata.
"Bahwa kau bermaksud baik, aku percaya penuh, karena kau hampir serupa dengan seorang yang sangat baik dan jujur kepadaku, dan akupun suka mempercayakan semua urusanku ini padamu untuk diselesaikan secara baik, tetapi untuk percaya bahwa kau akan dapat membereskan hal ini dan menolongku, aku masih sangsi, tuan."
Walaupun kata-katanya dalam bahasa daerah itu sangat kaku dan kurang lancar, namun Pamadi malum bahwa gadis itu adalah seorang terpelajar dan cerdik.
"Terima kasih kalau kau percaya padaku. Tentang berhasil atau tidaknya, biarlah kita serahkan saja kepada Yang Maha Agung. Kau tentu percaya kepada Yang Maha Kuasa, bukan?"tanyanya dengan senyum. Mei Hwa menjadi begitu lega dan terhibur dengan keramahtamahan dan kehalusan budi Pamadi hingga untuk sesaat ikut tersenyum pula.
"Tentu saja, tuan aku seringkali memasang hio memohon berkah Yang Kuasa."
Pamadi lalu mengajak gadis itu ke luar rumah dari hutan menuju ke kota Madiun. Di tengah jalan ia membeli nasi dan sayur yang dibawanya ke tempat sepi lalu mereka makan bersama. Sepanjang perjalanan mereka itu, Mei Hwa makin suka dan percaya penuh kepada Pamadi. Berkali-kali ia berkata bahwa Pamadi mengingatkan ia akan seorang pemuda di Tiongkok yang sangat baik padanya.
"Saudara misanmu itu?"
Anya Pamadi sambil makan. Mei Hwa mengangguk. Ketika itu mereka sedang makan nasi dan sayur beralaskan daun pisang dan hanya menggunakan tidak ada sendok. Pamadi telah memberi contoh cara menggunakan sendok daun, tetapi ketika Mei Hwa mencobanya dan sangat canggung, mereka lalu menggunakan jari-jari tangan saja! Pamadi duduk di atas sebuah batu besar dan Mei Hwa duduk di atas akar pohon Trembesi di depannya. Tampaknya sedap benar Mai Hwa makan, karena sesungguhnya perutnya sejak kemarin tidak diisi apa-apa.
"Kau sungguh baik hati, tuan."
"Jangan menyebut tuan padaku."
"Kau juga menyebut nona padaku."
"Habis, aku harus menyebut apa?"
Tanya Pamadi tersenyum.
"Dan aku harus sebut apa?"
Tanya mei Hwa tertawa gembira. Pamadi senang melihat nona itu sudah dapat melupakan kesedihannya dan ternyata sifatnya gembira.
"Namaku Mei Hwa dan boleh sebut aku begitu sjaa, tanpa embel-embel!"
"Dan aku Pamadi."
"Aku... aku merasa seakan-akan kau adalah kakakku sendiri."
"Kau tidak punya kakak?"
"Tidak seorangpun saudara di sunia ini."
"Kalau begitu biarlah aku jadi kakakmu."
"Apakah sebutan kakak dalam bahasamu?"
"Seorang adik menyebut kakaknya dengan sebutan mas."
"Nah, mas Pamadi, kalau begitu biarlah aku menyebut kakaknya dengan sebutan mas."
"Nah, mas Pamadi, kalau begitu biarlah aku menyebutnya mas pula."
"Dan aku harus menyebut apa padamu?"
"di Tiongkok, kalau kiranya aku mempunyai seorang kakak, maka ia akan menyebutku Amei."
"Kalau begitu, aku akan menyebutmu Amei saja."
Keduanya lalu diam dan menghabiskan sisa makanan. Untuk minum mereka, Pamadi tadi telah membeli sebuah kelapa muda.
"Siapakah saudara misanmu tadi?"
Tanya Pamadi setelah ingat akan hal itu.
"Ia adalah Tek Han, putera pamanku, dan ia baik sekali."
Pamadi termenung sejenak.
"Hm, kau... cinta padanya, bukan?"
Wajah Mei Hwa memerah, memandang kepada Pamadi beberapa saat lalu mengangguk, kemudian ia menundukkan mukanya dan dari kedua matanya menetes turun dua butir air mata. Pamadi termenung lama.
"Kalau begitu, Amei, kau bahagia sekali."
Pamadi bangun berdiri.
"Marilah kita lanjutkan perjalanan kita. Soal itu adalah soal nanti, mudah-mudahan saja rencanaku berhasil."
Mereka lalu berjalan lagi tiada hentinya hingga setelah matahari turun ke barat, mereka memasuki tapal batas kota Madiun. Mei Hwa mulai ketakutan setelah dekat dengan rumah ayahnya, tetapi Pamadi menghiburkan dengan kata-kata halus. Langsung mereka menuju ke rumah Tan Keng Hok yang letaknya di belakang pasar. Kedatangan mereka disambut oleh Kang Hok yang kebetulan sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Melihat puteranya datang dengan seorang pemuda, hanya yang semenjak minggatnya Mei Hwa telah penuh dengan hawa marah, menjadi berkobar dan wajahnya merah.
"Perempuan rendah! Kau berani datang ke hadapanku?"
Kata-kata ini disusul dengan ayunan tangan menampar pipi Mei Hwa. Tetapi alagkah terkejutnya ketika pemuda yang mengantar anakmu itu memegang pangkal lengannya.
"Kau... kau siapa berani ikut campur? Dan kau datang bersama anakku. Hm, tentu bangsat ini yang melarikan anakku!"
Sikapnya mengancam dan matanya mendelik memandang Pamadi. Tetapi pemuda itu tetap tenang dan sabar. Sepasang matanya menatap ayah Mei Hwa yang berbadan tegap dan tampaknya kuat sekali itu.
"Sabar, tuan. Aku hanya mengantar Amei pulang."
"Amei? Bagus benar! Kau berani berlaku kurang ajar mengganggu keluargaku. Nah, rasakan ini hajaranku."
Ia lalu maju menyerang. Ternyata Tan Keng Hok ini adalah seorang yang pandai main silat. Di Tiongkok dulu ia belajar silat cabang Siauw-lim-sie untuk beberapa tahun, maka tidak heran bahwa serangannya sangat cepat dan pukulannya berat dan keras. Pamadi melihat datangnya serangan yang dilakukan dengan tangan dan kaki teratur itu berlaku hati-hati karena ia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang "Berisi". Cepat ia mengelak kle samping dan berkata lagi,
"Sabar, kawan."
Namun Keng Hok yang sudah memuncak maranya lalu menyerang lagi dengan hebatnya yang dapat dielakkan oleh Pamadi dengan mudah. Berkali-kali Pamadi hanya mengelak dan mengalah, sama sekali tidak mau membalas. Sementara itu Mei Hwa hanya berdiri sambil menangis dengan hati takut dan khawatir. Setelah diserang lebih dari dua puluh jurus dengan hanya mengelak saja dan melihat bahwa lawannya makin lama makin nekat, akhirnya Pamadi merasa perlu memberi sedikit perlawanan kepada orang bandel ini. Pukulan tangan kanan lawannya tidak dielakkan tetapi ia gunakan tangan yang dimiringan untuk menyabet pergelangan lengan itu.
"Plak!"
Dan Keng Hok menyeringai kesakitan, terhuyung-huyung sambil memegangi lengannya.
"Mas Pamadi, lekas lari. Ayah tentu mengambil senjata tajam. Ia ahli main golok, lekas lari. Ayah tentu mengambil senjata tajam. Ia ahli main golok, lekas lari, mas."
Tetapi Pamadi hanya menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. Sementara itu, Keng Hok sudah datang lagi dan keluar saja, tangan kanannya kini memegang sebuah golok yang tajam! Melihat anak perempuannya bicara dengan pemuda sambil memegangi lengan, marahnya makin menjadi. Diputarnya golok itu di atas kepala dan ia meloncat menyerbu! Mei Hwa lari ke samping dan Pamadi menunggu datangnya serangan dengan tenang-tenang saja. Ketika muduhnya membacokkan goloknya kearah leher, ia tunduk ke bawah hingga golok itu bersuitan di atas kepalanya. Keng Hok semakin gemas dan segera mengeluarkan seluruh kepandaiannya bermain golok. Sungguh hebat permaianannya, karena golok itu berputar-putar cepat hingga mengeluarkan seluruh kepandaiannya bermain golok.
Sungguh hebat permainannya, karena golok itu berputar-putar cepat hingga tampaknya ada beberapa buah golok yang mengeroyok Pamadi. Namun Pamadi bukanlah pemuda sembarangan. Ia telah terlatih bertahun-tahun, kurang lebih sepuluh tahun di bawah asuhan Kyai Lawu, seorang pertapa yang tingkatnya sudah tinggi sekali. Walaupun tidak banyak pukulan pencak silat yang dipelajari oleh Pamadi, namun karena tingginya gemblengan ilmu batin yang diterimanya, ia sangat waspada dan lincah, pula hatinya tabah dan seluruh anggota tubuhnya seakan-akan bermata. Tenaganya juga bukan tenaga manusia biasa karena penuh dorongan tenaga batin yang tak terkira kuatnya. Pada suatu saak Keng Hok yang sudah merasa pening dan matanya kabur melihat gerakan lawan yang berkelebat ke sana ke mari di antara sambaran golok, tiba-tiba berlaku nekad.
Ia menubruk maju kearah perut Pamadi sambil menggunaan tangan kiri mencengkeram! Pamadi mengelak ke samping sedikit pinggir tangannya menyabet punggung golok itu demikian kerasnya hingga golok terlepas dari pengangan Keng Hok dan menancap ke tanah sampai setengahnya lebih! Kemudian Pamadi menggunakan tangan kirinya menangkis cengkeraman Keng Hok dan ketika kedua tangan beradu, Keng Hok berteriak kesakitan. Sebentar kemudian tangan kirinya menjadi gembung karena ternyata telah salah urat! Tangan itu menjadi biru dan panas. Sakitnya bukan kepalang sehingga ia meringis-ringis mengigit bibir sambil memegangi tangan yang sakit itu. Matanya memandang Pamadi dengan heran dan takjub, baru kali ini ia dikalahkan orang semuda itu dengan cara yang sangat mudah pula! Orang muda ini bahkan berkepandaian melebihi gurunya sendiri!
Seperti biasa Pamadi yang membenci orang bermain golok atau senjata tajam untuk membunuh orang lain, segera memungut golok itu dan menggunakan jari tangannya untuk membuat golok itu patah menjadi beberapa potong! Keng Hok ternganga heran melihat betapa goloknya yang telah patah-patah itu dilemparkan ke tanah oleh Pamadi. Pada saat itu, dari jurusan selatan datang seorang tua sambil berlari. Ia berusaha kurang lebih enam puluh tahun, tetapi tubuhnya kuat bagaikan banteng. Karena tubuh atasnya tak mengenakan baju, maka tampaklah urat-uratnya yang melingkar-lingkar di dadanya yang penuh bulu. Ia memakai celana hitam dan di pinggangnya diikatkan tali pinggang berupa gulungan lawe (satu jenis benang) yang besar dan panjang hingga dua ujung tali itu bergantungan sampai di bawah lutut. Kepalanya memaki ikat kepala hitam pula. Cambangnya panjang dan melengkung ke atas hingga tampaknya gagah sekali.
"He, siapakah kamu berani-berani mengganggu mantuku? Eh, Keng Hok, kau kalah oleh anak ini?"
Suaranya bagaikan guntur menggeletar.
"He, anak muda, setelah kau kalahkan mantuku, jangan kepalang, cobalah aku Surodiro banteng Ponorogo!"
Ia sudah siap untuk menyerang.
"Sabarlah, bapak. Saya tidak mau berkelahi, marilah kita bicara dengan tenang. Bolehkah saya Tanya, bapak ini siapa agar saya dapat bicara kepada orang-orang yang bersangkutan dengan perkara ini."
Sepasang mata Surodiro melotot lebar dan bundar menakutkan.
"Eh, kau laki-laki mauda yang bicara halus seperti perempuan ini, mau bicara apa lagi? Ketahuilah aku adalah mertua dari Keng Hok suami Tukinem anakku. Hayo jangan banyak cakap, lawanlah aku."
Sebelum Pamadi sempat menjawab, Surodiro sudah menerjang dengan hebat. Melihat serangan ini Pamadi terkejut juga, karena pukulan orang tua galak ini penuh berisi tenaga tersembunyi yang berbahaya. Ia mengelak cepat dan selalu menghindari pukulan-pukulan itu. Betapapun gagahnya Surodiro, namun ia sudah tua dan napasnya sebentar saja sudah segalsengal. Ia menjadi gemas, tangannya menyaut tali ikat pinggang dan memutar-mutarnya bagikan titiran! Ini adalah ilmu yang paling diandalkan oleh Surodiro yang terkenal sebagai seorang warok cabang atas di Ponorogo. Menurut kata orang-orang yang suka mengobrol, katanya kekuatan ikat pinggang Warok Surodiro itu jika disabetkan, jangan kata tubuh manusia, biar dewa sekalipun takkan kuat menahan!
Tentang keampuhan senjata istimewa itu memang ada benarnya, karena Pamadi memang ada benarnya, karena Pamadi sendiri ketika merasa betapa angina dingin mendahului sabetan itu, segera mengelak ke sana ke mari. Ia tidak mau menangkis atau balas menyerang, karena ia saying akan merusakkan daya ilmu kakek ini. Kalau ia menangkis, tentu ia akan dapat memusnahkan tenaga hebat itu, tetapi akibatnya akan hebat pula. Sedikitnya kakek itu akan kehilangan kesaktiannya bahkan besar kemungkinan hal itu akan menewaskannya. Karena itu Pamadi selalu mengelak dan memutar otak mencari akal untuk menjatuhkan atau membuat kakek itu menyerah tanpa ada kurban. Tiba-tiba pintu kamar Keng Hok terbuka dan seorang wanita lari keluar sambil berteriakteriak,
"Bapak, bapak! Tahan, tahan pak. Jangan sembarangan mencelakakan orang."
Mendengar kata-kata itu, Warok Surodiro menahan serangannya dan berdiri dengan napas tersengal-sengal, kedua tangan menolak pinggang dan senjata hebat itu masih tergantung dari kedua tangannya. Sepasang matanya memandang Pamadi dengan marah tetapi juga heran dan kagum. Mei Hwa menggunakan saat itu untuk menubruk Warok Surodiro sambil menangis. Kakek itu menjadi makin heran. Dengan cepat dan terputus-putus Mei Hwa menceritakan segala peristiwa yang menimpanya hingga tertolong oleh Pamadi. Mendengar cerita anaknya ini, Keng Hok mulai menyesal mengapa ia dengan ceroboh dan gegabah sekali datang-datang menyerang pemuda itu, dan Warok Surodiro menganggukangguk dan berdehem-dehem sabil sebentar-sebentar melirik kearah Pamadi dan Keng Hok. Setelah Mei Hwa selesai bercerita, Kakek Surodiro berkata kepada Pamadi,
"Hm, hm... anak muda, maafkan aku orang tua yang sembrono. Tindakanmu betul sekali. Kalau aku, menjadi kau, akupun akan berbuat demikian. Yang salah adalah Keng Hok sendiri. Sekarang bagaimana baiknya hal ini diatur?"
Karena di situ mulai banyak orang berkerumun tertarik oleh perkelahian itu. Tukinem mengusulkan agar mereka semua masuk saja ke dalam rumah, yang diturut oleh mereka semua. Beramai-ramai mereka memasuki rumah dan sebelum mereka bicara lebih lanjut, Pamadi mendekati Keng Hok lalu melihat tangannya yang bengkak. Dengan beberapa kali urut ternyata sakinya hilang dan gembungnya menjadi kempes kembali.
"Pamadi dengan arak putih, besok tentu sudah sembuh,"
Kata Pamadi. Semua ini disaksikan oleh orang-orang itu dengan rasa kagum.
"Sekarang perkenankanlah saya bicara,"
Kata Pamadi sambil memandang Keng Hok dengan tajam.
"Yang sudah lewat biarlah lalu, tak perlu diurus siapa salah siapa benar. Sekarang yang penting, bagaimanakah pendirian tuan akan urusan puterimu?"
Mendengar dirinya disebutsebut, Mei Hwa yang berdiri di dekat Tukinem menutup muka dan mulai menangis. Beberapa saat Keng Hok menundukkan kepala, kemudian berkata,
"Terserah kepadanya saja. Maksudku sebagai orang tua sebenarnya hanya ingin membahagiakan sia, karena rasanya kawin dengan hartawan she Oei itu, hidupnya akan terjamin dan demikianpun hidup ibunya."
"Memang begitulah kalau dipandang dan dipikir sepintas lalu saja,"
Kata Pamadi dengan tenang dan sabar.
"Tetapi harus diingat bahwa yang akan menjalani pernikahan itu adalah anakmu, bukan kau. Maka pertimbangan seadil-adilnya ialah sepenuhnya harus diserahkan kepada anakmu pula."
Kakek Surodiro mengangguk-angguk,
"Mufakat, setuju! Dalam hal memiliki mantu, akupun menyerahkan kepada Tukinem sendiri."
Keng Hok merasa terdesak dan menarik napas panjang.
"Nah, sekrang terserah saja bagaimana kehendak Mei Hwa."
"Amei telah menyatakan kepadaku bahwa ia ingin pulang ke kampungnya di Tiongkok saja. Maka tuan, sebagai seorang ayah yang baik, seharusnya menyediakan uang untuk membiayai anak dan isterimu pulang ke Tiongkok, karena kau tokh tidak memperdulikan lagi mereka. Bagaimana pendapatmu?"
"Akur, itu baik sekali, memang seharusnya,"
Menyambung Surodiro mengangguk-angguk. Sementara itu Mei Hwa memandang Pamadi dengan air mata berlinang, karena ia maklum bahwa "kakaknya"
Ini sengaja mengatur supaya ia dapat pulang dan bertemu dengan Tek Han!
"Begitulah kehendakmu?"
Tanya Keng Hok kepada Mei Hwa dan gadis itu hanya mengangguk lemah sambil menundukkan kepala.
"Baiklah, besok akan kuatur tentang hal itu dan dalam bulan ini juga kau dan ibumu tentu dapat berlayar ke Tiongkok."
Pamadi bernapas lega. Ia bangkit berdiri dan berkata,
"Nah, saya rasa urusan ini sudah beres. Maafkan kalau saya mengganggu kalian."
Ia mengangguk kepada semua orang dan bertindak ke pintu. Tiba-tiba Mei Hwa lari menghampiri dan memegang lengannya. Pamadi menengok dan hatinya terharu melihat betapa gadis itu memandangnya dengan air mata bercucuran.
"Mas... mas Pamadi... terima kasih, mas. Kalau aku sudah pulang ke Tiongkok, kita tentu tak mungkin jumpa pula. Aku akan doakan selalu agar kau hidup bahagia."
"Bahagia??"
Mei Hwa mengangguk.
"Dulu kau katakan bahwa aku bahagia, maka aku menyalakan hio tiap malam dan memuja kepada Tuhan agar kau pun segera menemui kebahagiaanmu itu, mas..."
Pamadi menghela nafas.
"Terima kasih, Amei, kau anak baik. Selamat jalan ke kampungmu, Amei."
Kemudian mereka berjabat tangan, dan Pamadi segera melepaskan tangan Mei Hwa, tetapi sebelum ia bertindak ke luar, suara Surodiro yang besar dan keras memanggilnya,
"He! Nanti dulu, anak muda! Kau dengan tangan kosong dapat menahan serangan tali Patimargaku, siapakah namamu dan siapa pula gurumu?"
Pamadi tersenyum dan menjura tanda hormat,
"Mana saya dapat bertahan menghadapi kesaktian bapak? Tentang nama saya, biarlah, itu tak berarti. Selamat tinggal!"Kemudian ia berkelebat dan lenyap dari pandangan mereka. Surodiro menggeleng-gelengkan kepalanya yang beranbut putih.
"Anak baik! Pemuda perwira! Baiklah Tukinem buru-buru datang, kalau tidak, jika ia sampai hancur lebur karena sabetan Patimargaku ini, ah, selama hidup aku takkan dapat mati dengan mata terpejam!"
Dan mereka terbenam dalam lamunan masing-masing.
"Keng Hok,"
Kata Pak Surodiro kepada mantunya.
"Kau harus memenuhi janjimu sebagai laki-laki. Dalam bulan ini kau harus bisa memulangkan anak dan istri itu dan berilah mereka sekedar bekal hidup untuk modal di sana. Awas, Hok, aku jadi saksinya!"
Kemudian Kakek yang gagah itu meninggalkan rumah mantunya. Pada suatu malam, di Kampung Mlaten di kota Semarang terdengar suara ribut-ribut. Orang-orang berteriak,
"Kebakaran!"
Dan orang-orang kampong semua lari ke jurusan api yang berkobar-kobar memakan sebuah rumah bilik. Mereka menggunakan apa saja yang kiranya dapat memadamkan api. Di tengah-tengah keributan itu terdengar jerit berteriak ngeri,
"Anakku Daryono! Ya Allah... anakku...!"
Semua orang ikut bingung karena ternyata ternyata bahwa anak laki-laki berusia dua tahun dari wanita itu masih tertinggal di dalam rumah! Tetapi siapa yang berdaya menhadapi api menggunung itu! Api itu menjilat-jilat ke luar pintu dan lubang pintu penuh dengan asap dan nyala merah. Tiba-tiba dari arah kiri datang seorang wanita tua berlari-lari. Dirampasnya sebuah ember besar yang penuh air dari tangan pemegangnya dan ia menggunakan air satu ember itu untuk menyiram kepalanya hingga sekujur badannya basah kuyup. Kemudian, ketika orang-orang masih heran melihat perbuatannya ini, ia lari menuju ke rumah terbakar itu! Beberapa orang berteriak cemas,
"Jangan Bu Tanu, jangan...!"
Tetapi wanita itu tak memperdulikan seruan tadi, langsung menerobos api yang berkobar dan memasuki rumah melalui pintu yang berkobar-kobar. Semua orang menahan napas dan semua muka menjadi pucat. Pada saat itu, seorang pemuda baju putih datang pula ke situ dan melihat wajah orang-orang yang pucat kecemasan itu ia bertanya apa yang telah terjadi. Ketika mendengar akan kenekatan wanita tua itu hanya seorang tetangga saja dari rumah yang kebakaran, tak terasa pula kedua mata Pamadi mengalirkan air mata. Ia kagum dan terharu sekali melihat keberanian dan pengorbanan seorang wanita tua. Ketika ia hendak meloncat memasuki rumah menyusul, wanita itu keluar sambil menggendong seorang anak kecil! Ngeri! Sungguh ngeri, karena ternyata baju wanita itu telah termakan api yang berkobar di belakangnya!
Semua orang berteriak-teriak dan bersorak-sorak, tetapi pada saat itu sebatang balok besar yang tadinya melintang di atas pintu dan kini telah terbakar menyala-nyala dengan mengeluarkan suara keras jatuh menimpa di belakangnya! Semua orang berteriak-teriak dan bersorak-sorak, tetapi pada saat itu sebatang balok besar yang tadinya melintang di atas pintu dan kini telah terbakar menyala-nyala dengan mengeluarkan suara keras jatuh menimpa orang tua yang mjenggendong anak tadi! Semua orang menjerit, tetapi Pamadi dengan secepat kilat meloncat menyambar orang tua itu! Ibu si anak segera menggendong anaknya yang selamat dan menangis karena takut dan ngeri, sedangkan Pamadi segera memondong wanita tua itu setelah memadamkan api yang membakar bajunya. Atas petunjuk beberapa orang Pamadi membawa wanita itu ke rumahnya yang tak berjauhan letaknya dengan rumah terbakar itu.
Ibu si anak segera menggendong anaknya yang selamat dan menangis karena takut dan ngeri, sedangkan Pamadi segera memondong wanita tua itu setelah memadamkan api yang membakar bajunya. Atas petunjuk beberapa orang Pamadi membawa wanita itu ke rumahnya yang tak berjauhan letaknya dengan rumah terbakar itu. Ia merebahkan waniat itu di atas sebuah bale-bale bambu dan menggunakan minyak kepala memarami luka-luka terbaar pada panggung wanita tua itu. Untung lukanya tidak hebat, tetapi tenaga tua itu terlampau banyak dikerahkan hingga untuk beberapa jam wanita itu pingsan. Pamadi merawatnya dengan penuh perhatian sambil memandangi wajah tua yang dalam pandangannya tampak agung dan bijaksana. Ketika pada keesokan harinya wanita itu sadar dan melihat seorang pemuda duduk di dekatnya, ia menjadi heran.
Kau... kau siapa, nak?"
"Saya orang yang kebetulan lewat dan kagum padamu, bu."
"Kau... kau yang menolong aku ketika balok itu datang menimpa?"
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pamadi mengangguk.
"Itu tidak berarti, bu. Kaulah yang sangat hebat berani menolong anak itu..."
"Anak itu... Daryono... ia sama benar dengan anakku dulu..."
Tiba-tiba dari kedua matanya bercucuran air matanya. Pamadi menghiburnya dan selama tiga hari ia merawat wanita itu dengan penuh kasih sayang. Pada dari ke empatnya, wanita itu yang disebut orang Bu Tanu sudah dapat turun dari balebalenya dan lukanya sudah hampir sembuh. Dipandangnya wajah pemuda yang tampan itu dengan kedua matanya bersinar penuh rasa terima kasih.
"Nak, kau baik sekali. Sebetulnya siapakah kau dan di mana tempat tinggalmu!"
"Saya... saya tak mempunyai tempat tinggal tetap, bu, dan nama saya, ah... itu tidak berarti, bu. Sekarang ibu sudah sembuh, perkenankanlah saya pergi melanjutkan perjalananku."
"E, e... nanti dulu, nak. Itu, bajumu robek, mari kujahitkan."
Pamadi melirik kearah pundaknya dan ternayata bajunya benar robek hingga kulit lengannya tampak.
"Tak usahlah, bu, terima kasih."
"E, e, anak ini, banyak bantahan. Hayo, lepaskan biar kujahit sebentar. Kan malu anak muda pergi jalan dengan baju robek.
"
Pamadi tersenyum dan terpaksa menanggalkan bajunya, lalu memberikan baju putih kepada Bu Tanu. Wanita tua itu mengulurkan tangan untuk menerima baju itu, tetapi tiba-tiba saja tangannya yang terulur bagaikan kaku dan kedua matanya menatap dada Pamadi yang telanjang itu dengan tak berkedip. Mulutnya ternganga dan wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Ada apa, bu?"
Tanya Pamadi cepat. Bibir wanita itu bergerak-gerak seakan-akan sukar mengeluarkan kata-kata.
"Kau... kau..."
Ia berdiri dan terhuyung ke belakang, lalu maju pula mendekati Pamadi, kedua matanya masih terus memandang warna hitam sebesar kuku jari yang menghias dada Pamadi sebelah kanan.
"Kau... kau Pamadi??"
Pamadi semenjak belajar ilmu di bawah asuhan Kyai Lawu telah dapat meneguhkan hatinya dan belum pernah merasa kaget. Tetapi kali ini ia benar-benar kaget, hingga tak dapat segera menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
"Kau Pamadi... dari Taman Harapan di Solo?"
Kembali Pamadi merasa dadanya berdebar dan ia hanya mengangguk lagi.
"Pamadi...!"
Suara ini keluar langsung dari jeritan kalbu Bu Tanu dan serta merta ia menubruk serta memeluk Pamadi sambul menangis tersedu-sedu. Pamadi heran dan baru kali ini ia merasa bingung.
"Pamadi, anakku...! Anakku...!"
Kata-kata ini bagaikan sinar terang menyambar dan menerangi pikiran Pamadi. Ia sadar bahwa ia berada dalam pelukan ibunya sendiri. Tak terasa dadanya menjadi penuh sesak dengan keharuan yang hebat, ia tak dapat menguasai dorongan kalbunya dan air mata bercucuran dari kedua matanya. Bagaikan dalam mimpi ia gunakan kedua lengannya balas memeluk dan sembunyikan mukanya yang basah oleh air mata ke dalam leher dan rambut ibunya.
"Ibu... ibuku..."
Suara ini seperti suara anak kecil yang hampir lupa dengan sebutan ibu, sebutan yang dibuat kenangan dan dibawa dalam setiap mimpi beberapa tahun yang lalu. Diam-diam ia menyebut nama Tuhan Yang Rahman dan Rahim, yang telah mempertemukannya dengan ibunya. Lama mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan berkali-kali Bu Tanu menciumi muka dan kening puteranya. Akhirnya Pamadi dapat juga menguasai perasaannya dan ia membimbing tangan ibunya untuk duduk berdua di atas bale-bale.
"Pamadi, anakku sayang.. Aku mengucap syukur kepada Gusti Yang Maha murah bahwa akhirnya aku dapat juga berjumpa denganmu. Ahh, kini biar datang maut mengambil nyawaku, aku tidak akan merasa kecewa, nak. Pamadi anak nakal, ke mana saja kau selama ini? Berkali-kali aku mencarimu di Solo tetapi tak berhasil. Tak seorangpun tahu ke mana kau pergi."
"Ibu, kenapa... kenapa ibu tinggalkan aku hidup seorang diri?"
Kata-kata ini walaupun diucapkan dengan tenang bagaikan berkata kepada diri sendiri, namun bagi Mintarsih atau Ibu Tanu, merupakan tuntutan yang menusuk hati dan membuat air matanya menderas turun. Kemudian ia menceritakan riwayatnya yang tadinya bagi Pamadi merupakan rahasia yang selalu timbul di dalam pikirannya. Dahulu Ibu Tanumiharja bernama Mintarsih dan ia kawin dengan seorang pemuda bernama Suseno yang setelah kawin namanya menjadi Suseno Tanumiharja.
Suseno adalah seorang suami yang baik dan ia seorang terpelajar serta masih berdarah ningrat. Bertahun-tahun mereka hidup bahagia di kota Semarang. Tetapi setelah Mintarsih melahirkan seorang putera yang diberi nama Pamadi, datanglah awan gelap menghalangi cahaya kebehagiaan itu dan membuat hidup Mintarsih selanjutnya menjadi gelap dan penuh derita. Suseno telah menjadi kurban guna-guna asmara yang dilepas oleh seorang perempuan genit bernama Madusari yang bekerja sebagai pemain wayang orang pemegang peran Harjuna. Suseno tak berdaya dan mabok dalam buaian mesra dan sama sekali tidak memperdulikan isterinya. Akhirnya ia bahkan demikian kejam mencerakan Mintarsih dan mengusir isteri muda belia itu dari rumanya. Mintarsih pergi terlunta-lunta dengan puteranya yang ketika itu baru berusia satu tahun.
Ia merasa malu untuk pulang ke kampungnya di Jepara, maka ia hidup berkelana ke sana ke mari tak tentu arah tujuan hingga boleh dikata terlantar. Akhirnya ia tinggal di Solo dan bekerja memburuh batik. Beberapa tahun kemudian, setelah Pamadi berusia lima tahun, seorang kawan kerja di pembatikan yang bernama Mulyadi dan yang bersikap baik sekali kepada Muntarsih dan bahkan yang menolongnya mendapatkan pekerjaan di situ, melamarnya. Mintarsih adalah seorang wanita yang pada saat itu masih sangat muda dan tentunya masih haus akan kesenangan dan rindu akan rumah tangga bahagia. Maka perasaan hati Mulyadi itu diterimanya dengan hangatnya. Hanya sebuah hal yang sangat menyakitkan hati janda muda itu, ialah syarat dari Mulyadi yang tidak mau menerima Pamadi. Pemuda itu minta agar ia titipkan saja anaknya di Panti Asuhan Taman Harapan.
Setelah terjadi perang tanding dalam lubuk hatinya akhirnya cintanya kepada Mulyadi dan bayangan-bayangan mimpi indah dapat mengalahkan cintanya kepada anaknya. Ia menyerah dan menitipkan anak yang baru berusia lima tahun itu kepada Taman Harapan. Setelah terjadinya perang tanding dalam lubuk hati akhirnya cintanya kepada Mulyadi dan bayangan-bayangan mimpi indah dapat mengalahkan cintanya kepada anaknya. Ia menyerah dan menitipkan anak yang baru berusia lima tahun itu kepada Taman Harapan. Kemudian ia kawin dengan Mulyadi dan hidup bahagia. Saying bahwa dalam perkawinan ini mereka tidak mendapat turunan. Hal ini menyakitkan hati Mulyadi yang sangat cinta padanya, hingga timbul rasa iri hati orang muda ini kepada Pamadi. Semenjak bertahun-tahun yang lalu, ia melarang keras istrinya untuk mengaunjungi Pamadi di Panti Asuhan itu.
Sepuluh tahun kemudian, karena menderita sakit batuk darah, Mulyadi meninggal dunia dan meninggalkan Mintarsih seorang diri yang kembali menjadi janda. Mulyadi tidak meninggalkan warisan berharga hingga kembali hidup Mintarsih terancam. Ia segera pergi mencari anaknya di Taman Harapan, tetapi alangkah terkejut dan kecewanya ketika mendengar bahwa Pamadi telah pergi dari situ beberapa bulan yang lalu tanpa meninggalkan berita. Hancur luluh rasanya hati Mintarsih. Ia kini hidup seorang diri di dunia yang penuh derita dan nestapa ini, ditinggal suami dan anak. Ia bersumpah takkan kawin lagi dan hidup dari kota ke kota sambil memburuh, dan akhirnya ia pindah ke Semarang dan tinggal di Kampung klaten. Kini telah berusia kurang lebih lima puluh tahun dan kebakaran hebat di kampungnya itu membuat ia dapat berjumpa kembali dengan puteranya.
"Pamadi, anakku. Sekarang kau sudah tahu akan tindakan ibumu yang tidak bijaksana, yang telah menyia-nyiakan putera tunggalnya. Aku seorang ibu yang jahat, anakku..."
Kembalilah ia terisak sedih. Tetapi Pamadi tidak menyesal atau membenci ibunya. Ia bahkan iba melihatnya karena ia mklum betapa hebat penderitaan ibunya. Kalau penderitaan itu boleh dianggap hukuman, maka sudah lebih dari cukuplah hukuman itu untuk menebus dosanya yang telah melepas anak sendiri untuk mengejar kesenangan hidup pribadi. Maka dipeluknya ibunya dengan kasih sayang.
"Tidak, ibu. Kau tetap ibuku yang bijaksana. Aku bangga dapat mengaku anakmu, ibu. Kau seorang mulia."
Kini tiba giliran Bu Tanu untuk minta keterangan kepada puteranya tentang keadaan Pamadi selama pergi meninggalkan Taman Harapan. Dengan singkat Pamadi bercerita bahwa ia pergi berkelana dan mengejar ilmu di Gunung Lawu di mana ia berguru kepada Kyai Lawu. Kemudian ia tanyakan ibunya tetang ayahnya, Suseno Tanumijaya. Ibunya menarik napas panjang.
"Entahlah, kabarnya ia telah bercerai pula dengan perempuan yang merampasnya dariku dulu. Dan ada orang menceritakan bahwa ia telah tersesat jauh bahkan kini menjadi kepala rampok di daerah Hutan Roban dekat Pekalongan."
Pamadi merasa sedih mendengar hal ini. Ia mengambil keputusan untuk pergi mencari ayahnya itu. Setelah tinggal bersama ibunya kurang lebih satu bulan, ia minta diri dari ibunya untuk pergi merantau pula. Ibunya menahannya sambil menangis, tetapi Pamadi menghiburnya dengan kata-kata bahwa tak lama lagi tentu ia akan kembali. Terpaksa ibunya melepaskan pergi.
Hutan Roban terkenal hutan yang angker dan liar. Tidak hanya binatang-binatang liar yang banyak terdapat di situ, bahkan bangsa dedemit, siluman dan setan banyak pula terdapat di hutan itu, sehingga timbul sebutan umum "Setan Roban"
Yang maknanya setan dari Hutan Roban. Hutan Roban itu liar sekali dan pohon-pohon besar dan tua memenuhinya. Menurut cerita orang-orang yang berdekatan di situ kabarnya dulu ketika Bangsa Belanda membuat jalan raya dan jalan kereta api yang melalui hutan itu, maka "Babat hutan"
Dilakukan dengan sukar sekali serta makan banyak korban jiwa. Seakan-akan tiap pohon besar yang ditebangnya pasti terdapat penghuni pohon atau mbaureksa yang mengamuk dan terjadi hal-hal gaib seperti penebangnya tiba-tiba pingsan, sakit atau tertimpa cabang pohon menemui ajalnya. Akhirnya para pekerja masing-masing karena takut hingga pekerjaan tertunda.
Orang-orang Belanda yang mengepalai pemababatan hutan itu menjadi bingung dan tak mengerti harus berbuat bagaimana. Dan menurut cerita orang, katanya Belanda lalu menyebar uang picis dan talenan di tempat-tempat yang perlu dibabat. Akal ini ternyata berhasil dan orang-orang yang melihat uang disebar itu lalu mengambil parang dan golok, mulai membabat alang-alang dan pohon-pohon untuk mencari uang-uang logam itu! Mungkin cerita ini hanya kiasan saja dan arti kata-kata "membayar uang"
Dapat juga dimaksudkan membayar upah sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya untuk menyampaikan maksud membuka jalan itu. Pada waktu cerita ini terjadi, maka hal itu belum terjadi. Dan keadaan Hutan Roban kala itu memang sangat ditakuti orang. Boleh dikata "Jalma mara, jalma mati"
Atau orang yang masuk hutan itu akan binasa dan tak mungkin keluar hidup-hidup!
Karena selain binatang-binatang buasa dan setan-setan jahat, akhir-akhir ini di hutan itu kabarnya terdapat segerombolan penjahat yang kejam, perampok-perampok yang berani dan dikepalai oleh seorang penjahat dakti. Peneknya, Hutan Roban dijadikan sarangbagi mereka karena memang hutan yang lebat itu cocok sekali dijadikan tempat persembunyian. Pada suatu pagi, Pamadi masuk ke dalam hutan itu dan mengagumi keadaan hutan yang masih aseli, belum rusak oleh sentuhan tangan-tangan manusia. Karena tiada terdapat lorong dalam hutan itu, maka ia gunakan kedua lengannya untuk menolak tetumbuhan dan alang-alang yang menghalangi jalannya. Setelah berjalan beberapa jam ia tiba di satu tempat yang agak lega. Bahkan di depannya terbentang lapangan rumput yang bersih dari tetumbuhan berduri. Tiba-tiba ia mendengar suara seruan nyaring dan halus,
"Bangsat kurang ajar kau sudah bosan hidup?"
Pamadi segera menuju kearah suara itu dan dari belakang sebuah pohon besar ia melihat peristiwa yang mengherankan. Seorang lelaki tinggi besar tengah berkelahi beradu golok dengan seorang gadis cantik! Gadis itu berpakaian seperti laki-laki dan bersenjata keris. Rambutnya yang hitam panjang terurai ke belakang tertiup angin hutan berkibaran. Laki-laki yang selalu mundur karena serangan-serangan hebat itu bersenjata sebuah golok. Tampaknya laki-laki itu mengalah dan hanya menangkis sambil mundur.
"Dewi, jangan marah..."
Kata laki-laki itu sambil menangkis tusukan keris. Pamadi diam-diam kagum akan kegesitan permaianan pencak gadis itu yang ternyata pandai sekali.
"Bangsat, kau berani menghinaku, ya?"
Gadis itu berkata marah dan memperhebat serangannya. Sementara itu, di sekitar kedua orang yang sedang berkelahi itu berdiri beberapa belas orang yang berwajah kejam dan bertubuh kuat. Mereka hanya melihat saja tetapi tak berani memisah, karena yang sedang berkelahi itu, yang wanita adalah Sridewi anak angkat dan kesayangan kepala mereka, sedangkan yang laki-laki adalah pemimpin mereka yang menjadi tangan kanan dan orang kepercayaan kepala gerombolan itu. Sugondo, demikian nama pemimpin itu, telah lama jatuh hati kepada Sridewi. Pada satu saat ia tak dapat menahan gairah hatinya dan sambil menyatakan cintanya pula, ia berani dengan cara lancang membelai tangan gadis itu, hingga Sridewi menjadi marah dan mencabut keris lalu menyerangnya matimatian.
Sridewi sungguhpun seorang wanita, namun sejak kecil suka sekali mempelajari ilmu berkelahi ayah angkatnya sendiri yang terkenal jagoan. Hal ini memang tidak aneh, karena Sridewi hidup di tengah-tengah hutan dan berkawan dengan kaum kasar yang hanya mengutamakan kedigdayaan dan perkelahian. Pula, binatang-binatang buas yang terdapat di dalam hutan yang mengingatkan ayahnya betapa perlunya puteri yang dicintanya itu mempelajari olah raga dan ilmu menjaga diri kalau-kalau terserang binatang buas. Biarpun hidup dan besar di tengah-tengah hutan, namun Sridwi mempunyai perasaan yang halus dan ia benci sekali jika ada seorang anggota perampok yang bicara atau berlaku urang ajar padanya. Maka, setelah ia menjadi dewasa, ia berantas perlakuan perampok-perampok itu terhadap wanita-wanita yang terculik.
Dengan berkeras ia memperjuangkan peraturan baru hingga akhirnya ayahnya mengalah dan mengadakan larangan bagi para anggotanya untuk merampok dan menculik kaum wanita. Semenjak itu, hal yang rendah ini hanya dilakuan oleh para begal itu dengan diam-diam dan di luar pengetahuan Sridewi. Pernah ada seorang anggota perampok dihajar habis-habisan oleh Sridewi bahkan hampir mati dibunuhnya kalau ayahnya tidak datang menolong. Kemarahan gadis ini timbul tak lain karena melhat penjahat itu menculik seorang wanita dari kampung. Tidak heranlah bahwa ketika Sugondo berani menjamah tanganya dan berlaku kurang ajar, ia menjadi marah sekali dan dengan penuh nafsu ia menyerang orang kepercayaan ayahnya itu! Dalam hal kepandaian pencak dan memainkan senjata, sebenarnya Sridewi lebih unggul daripada Sugondo, tetapi ia kalah tenaga dan keuletan.
Kelebihannya ia memang gesit dan serangan-serangannya teratur sekali. Karena desakan-desakan yang tak kenal ampun itu lambat laun Sugondo menjadi panas dan marah, lalu ia membalas menyerang. Senjata Sugondo yang berupa golok itu lebih panjang dan berat, hingga akhirnya Sridewilah yang terdesak. Tiba-tiba golok Sugondo menyambar cepat kearah leher Sridewi. Para anak buah perampok yang melihat hal itu menahan napas karena takut kalau-kalau biah hati kepala mereka akan mendapat celaka. Pamadi memungut sebuah batu kecil dan siap mencegah sesuatu pertumpahan darah. Tetapi Sridewi selain gesit pun cerdik sekali. Melihat datangnya golok meyambar, ia menurunkan tubuh dan bergulingan di tanah, tetapi tangannya tidak tinggal diam, dengan cepat sekali ia meraup segenggam pasir dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring,
Ia melomcat bangun lalu tangan yang menggengam pasir itu akan menggunakan tipu berbahaya dan tak terduga ini, dan sejata berupa pasir itu tepat mengenai mukanya dan tiba-tiba ia merasai kedua matanya perih dan pedas sekali! Ia memejamkan kedua mata dan menggunakan tangan kiri menggosok-gosoknya, tetapi karena pasir itu kaar, membuat matanya makin sakit hingga ia mundur sambil menggosok-gosok matanya. Sridewi yang sudah menjadi marah dan benci, melompat maju dan mengayun kerisnya ke arah dada lawannya itu. Tetapi, tiba-tiba gadis itu menjerit kecil dan kerisnya terlepas dari pegangan tangannya. Ia merasakan pergelangan lengannya sakit sekali. Ternyata dalam waktu yang tepat sekali Pamadi melayangkan batu kerikilnya untuk mencegah terjadinya pembunuhan itu. Bersamaan dengan terjatuhnya keris dari tangan Sridewi, Pamadi keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata,
"Sudahlah, nona. Jangan bunuh dia!"
Ia sama sekali belum tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan perampok Hutan Roban yang ditakuti orang! Gadis itu menengok cepat dan matanya bercahaya marah ketika ia melihat seorang pemuda menegurnya, dan otaknya yang cerdik itu seketika maklum bahwa pemuda itulah yang mencegahnya tadi karena ia pun tahu bahwa pergelangan lengannya terpukul oleh kerikil kecil yang dilemparkan orang. Beberapa belas anak buah perampok itu keheranan melihat ada orang berani memasuki hutan itu, bahkan berani menegur dan mencegah Sridewi, singa betina itu. Sridewi merasa malu karena di hadapan anak buahnya ia dibikin tak berdaya oleh seorang yang masih muda dan asing, maka tiba-tiba ia berteriak marah sambil berpaling kepada orangorangnya,
"Mengapa kalian bengong saja? Hayo tangkap bangsat cilik ini!"
Beberapa belas orang kuat dan yang rata-rata tinggi besar serentak maju sambil mencabut senjata, tetapi terdengar perintah Sridewi,
"Jangan gunakan senjata! Untuk tangkap kambing lemah ini saja kalian hendak menggunakan senjata? Sungguh menyebalkan. Tangkap ia hidup-hidup dan hadapkan kepada ayah?"
Penjahat-penjahat itu dengan patuh memasukkan kembali senjata mereka di sarung dan ikat pinggang, kemudian mereka maju menghampiri Pamadi. Pemuda itu heran sekali, kini ia baru timbul dugaan bahwa orang-orang ini tentu Perampokperampok yang disohorkan orang-orang kampong sekitar hutan itu. Apakah ayahnya menjadi kepala dari perampok-perampok kasar ini, pikirnya. Mereka hendak menangkapnya. Ah, kebetulan, memang iapun hendak mencari ayahnya. Siapa tahu barangkali kepala mereka inilah ayahnya yang dicari-cari itu. Karena itu, dia menurut saja ketika perampok-perampok itu menggunakan tali mengikat kedua lengannnya. Ia lalu didorong-dorong menghadap Sridewi. Gadis itu dengan sepasang mata burungnya memandang-mandang Pamadi bagaikan seorang tengkulak ternak seekor lembu jantan, menimbang-nimbang dan menaksir-naksir. Kemudian Sridewi bertanya sombong,
"Kaukah yang menggunakan kerikil tadi?"
Pamadi yang sejak tadi tersenyum saja, menjawab dengan anggukan kepala. Dengan gemas Sridewi mengayun tangannya menampar pipi Pamadi hingga menerbitkan suara nyaring! tetapi Pamadi hanya tersenyum saja dan matanya memancarkan sinar gembira. Sridewi melihat betapa kulit pipi pemuda yang putih dan cakap itu menjadi kemerah-merahan kena tamparannya dan ia menjadi menyesal sekali. Lebih-lebih ketika melihat pemuda itu tersenyum manis dan berkata perlahan,
"Maafkan aku, nona..."
Ah, hati gadis itu berdebar. Alangkah bedanya pemuda ini dengan orang-orang kasar yang mengelilinginya tiap hari. Ia menjadi malu akan kekasaran sendiri dan hatinya penuh penyesalan mengapa ia menampar seorang yang demikian halus tindak-tanduk dan tutur sapanya? Tiba-tiba ia memalingkan muka dan menahan keluarnya dua butir air mata yang hendak memaksa diri ke luar dari sepasang matanya yang bening!
"Nona, bukan laku seorang wanita utama dan gagah seperti kau untuk membunuh seorang yang tak berdaya,"
Kata Pamadi lagi sambil memandang kearah Sugondo yang kini duduk di atas tanah sambil menggunakan ujung sarungnya membersihan dari pasir kedua matanya. Karena mata itu sangat perih maka terus-terusan megalirkan air, hingga ia tampak seperti seorang anak kecil yang sedang menangis. Melihat sikap orang itu, Sridewi tertawa geli dan hilanglah kemarahannya.
"Sugondo, jangan kau berani berlaku seperti tadi. Lain kali aku tak mau memberi ampun dan kali ini aku tinggal diam. Tetapi awas, sekali lagi kau berlaku kurang ajar, pasti akan kusampaikan kepada ayah dan kepalamu takkan tertolong lagi. He, kamu mengapa diam saja? hayo bawa tawanan ini kepada ayah!"
Pamadi lalu digiring menuju ke tengah hutan dan pada suatu bagian yang dekat dengan pantai laut kelihatan sebuah perkampungan kecil di mana terdapat beberapa buah rumah dari bilik bertihang jati dan beratap alang-alang. Ternyata itu adalah perkampungan perampok yang dipimpin oleh Pak Seno. Di pantai kelihatan beberapa buah perahu dan beberapa helai layer tengah djemur di atas pasir. Seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus keluar dari pondok yang terbesar dan menyambut kedatangan rombongan itu. Perampok-perampok itu lalu berdiri merupakan sebuah linkaran dan Pamadi dilepas di tengah-tengah. Sridewi menghampiri ayahnya dan sambil memegang lengan orang tua itu, ia bicara berbisik-bisik. Pak Seno mengangguk-angguk, lalu berjalan menghampiri Pamadi yang memandang padanya dengan tajam serta penuh perhatian.
"Anak muda, siapa kau begitu berani memasuki daerahku ini? Dari mana datangnya dan hendak ke mana?"
Pamadi masih termenung memperhatikan orang itu. Inikah ayahnya? Orang tua kepala rampok yang berwajah sedih ini? Bemarkah ia mempunyai ayah kepala rampok serendah itu??
"He, anak muda. Jawablah!"
Bentak Pak Seno. Pamadi sadar dari lamunan dan menjawab angkuh, senyumnya menghilang.
"Tiada perlunya kalian ketahui namaku, aku datang dari tempat jauh dan hendak menuju ke mana suara hatiku membawaku."
Sridewi maju dua langkah ke hadapan Pamadi lalu menuding,
"Orang muda hijau seperti kau ini berani benar bertingkah di depan Bapak Seno, Raja Hutan Roban yang disegani semua orang! Jangan kau main-main, kawan, jiwamu berada di dalam tangan kami, mengerti?"
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo