Ceritasilat Novel Online

Karena Wanita 1


Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01a

   "Crok! Crok! Crok!"

   Entah sudah keberapa ratus kalinya cangkul itu diayun kembali ke atas kepalanya dan diluncurkan ke bawah dengan kepastian yang tak dapat disangkal pula, menghantam belahkan tanah merah di depan kakinya. Tanah merah basah itu menanti pukulan penyerangnya dengan penuh kesabaran, menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan dan membiarkan sebagian tubuhnya dibelah, diungkit, dan dibuka. Hanya suara crok-crok berirama bunyi percik air berlumpur itulah yang memprotes. Air yang selalu mudah tersinggung dan suka marah itu memprotes dengan suara dan perbuatan.

   Setiap kali mata cangkul itu datang menyerang, ia memercik ke atas melontarkan lumpur kearah penyerangnya. Bagian muka kedua kaki Yitna telah berlumur lumpur setinggi paha. Tapi tanah yang menjadi sasaran utama cangkul Yitna diam saja. Tanah tak pernah menaruh dendam. Ia tak pernah marah. Ia memberikan seluruh yang ada padanya dengan tulus ikhlas, bebas adripada kehendak mendapat jasa maupun pembalasan. Ia tidak meminta dan tidak akan pernah meminta, karena dalam membisunya itu ia maklum dengan penuh keyakinan bahwa semua itu akan kembali kepadanya. Cepat atau lambat. Tanah selalu sabar menanti. Asyik benar Yitna mencangkul. Matanya menentang mengukur tanah, lengan tangannya menggerak hidupkan cangkul, dan kakinya mengatur langkah menjaga jarak antara cangkul dan kaki.

   Mata, tangan, dan kakinya bergotong royong, bekerja di bawah pimpinan perasaan. Seluruh perhatiannya tercurah penuh kepada barang-barang yang dilihatnya. Tanah, air, mata cangkul. Tanah, air, mata cangkul. Hanya tiga macam benda itu, yang lain tak masuk hitungan. Perubahan warna pada tanah yang membentang di hadapannya tak terlihat olehnya. Sejam yang lalu tanah itu masih nampak kelabu kehitam-hitaman. Kini berwarna coklat kemerah-merahan. Perubahan bunyi-bunyian pun tidak terdengar olehnya. Sejam yang lalu, ketika ia mulai mencangkal, bunyi percik air di depan kakinya masih berselang-seling dengan bunyi kokok ayam jantan dan bunyi kerik jengkerik kini kokok dan kerik makin berkurang, terganti oleh bunyi kicau dan nyanyi burung.

   Alangkah gembira makhluk-makhluk kecil bersayap itu menyambut datangnya fajar. Kegembiraan asli, tidak dibuat-buat. Puja-puji yang suci sesuci-sucinya kepada Tuhan Maha Pengasih. Demikianlah sepatutnya makhluk yang tahu menerima dan menghargai pagi. Adakah di dunia ini puja-puji yang lebih utama dan suci daripada sifat tahu menerima dan tahu menghargai pemberianNya? Dari arah kebun kelapa di seberang sawah terdengar suara burung perkutut diantara bunyi-bunyi burung lain. Cangkul yang telah diayun di atas kepala itu tiba-tiba ditahan dan diturunkannya kembali perlahan-lahan. Yitna menggerakkan kepala untuk menghadapkan telinga kirinya kearah suara perkutut itu.

   "Perkutut celaka! kutuknya dan dilepaskannya cangkul dari tangan kanan. Tangkai cangkul itu berdiri miring seperti seorang kakek yang sudah bungkuk. Telah dua minggu burung itu dikenal mereka. Mula-mula pak Kromo yang mendengar suaranya.

   "Dengar Yit, manggungnya benar-benar kung! Alangkah nyaringnya. Aku harus menangkap burung itu!"

   Demikian kata ayahnya memuji, dan semenjak saat itu, ayahnya tergila-gila benar kepada bunyi perkutut itu.

   "Burung bedebah!"

   Diulangi kutuknya. Diam-diam iapun mengakui bahwa suara perkutut itu memang merdu, keras, dan panjang-panjang pula. Tapi sungguh edan untuk menjadi tergila-gila kepada bunyi-bunyian kosong itu. Malu ia ketika mendengar pernyataan ayahnya kemarin yang disetujui juga oleh kawan-kawannya. Katanya,

   "Anggung seekor perkutut keramat lebih sedap didengar daripada suara nyanyian yang manapun. Tiada terlawan! Tiada teralahkan. Suara Maduraras bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan suara perkutut yang baik."

   Gila benar! Suara Maduraras, ledek (penyanyi, penari) Sragen dengan suara peraknya itu kalah oleh suara perkutut?!? Sejak didengarnya bunyi burung itu, segala daya upaya telah di jalankan oleh ayahnya untuk menangkap. Tapi burung itu ternyata tidak mudah ditangkap.

   "Perkutut keramat memang tak mudah dipikat,"

   Berkata pak Kromo setengah menghibur hati sendiri. Tapi setelah dua minggu kemudian burung keramat itu belum juga berkenan memasuki perangkap yang disediakan untuknya, kesabaran meninggalkan hati pak Kromo dan tempatnya segera diduduki oleh kemarahan.

   Sebutan bagi perkutut itupun berubah pula dimulut pak Kromo. Bukan perkutut keramat lagi, tapi perkutut setan, perkutut bedebah, perkutut neraka, dan lain sebutan yang tak menguntungkan lagi. Yitna meluruskan tubuhnya dan menggerak-gerakkan tubuh atasnya ke kanan kiri mengusir pegal. Lalu diisapnya hawa pagi yang sejuk segar itu melalui hidung dan mulutnya. Dalam-dalam dan banyak-banyak. Sebanyak ruang dadanya dapat menerima. Dadanya melebar dan pada saat hawa terakhir memasuki tubuhnya, ia seakan-akan merasa bahwa ada sesuatu terbawa masuk ke dalam tubuhnya, sedetik sebelum hawa di dalam tubuhnya keluar kembali ke tempat asal. Sesuatu yang tenggelam ke dasar lautan dalam dirinya dan yang tinggal terletak di situ, yang membawa rasa bahagia dan kepuasan.

   Pada saat itu hidungnya menikmati bau tanah yang sedap. Ia memandang tanah sekelilingnya. Telah lebih setengah sawahnya tercangkul. Dua hari lagi, maka akan siaplah tanah merah subur ini menerima bibit-bibit padi dan menjaga memeliharanya sampai tumbuh dan besar. Ia memandang puas. Ditengoknya ayahnya yang tadi mencangkul di sawah sebelah, tapi ternyata pak Kromo telah meninggalkan cangkulnya. Ia maklum kemana ayahnya pergi dan sekali lagi ia menengok kearah kebun kelapa dari mana suara perkutut tadi terdengar. Ia menghela napas sekali. Dalam-dalam, tapi kali ini tiada membawa sesuatu yang tenggelam ke dasar lautan di dalam dirinya. Lalu diambilnya kembali cangkulnya dan diayunkannya ke atas kepala, kemudian diluncurkan ke bawah dengan keras.

   "Crok! Crok!"

   Dan air memercik-mercik ke atas membawa lumpur mengotori mata kakinya.

   Belum juga sepuluh kali ia mengayun cangkulnya tiba-tiba ia berhenti bekerja pula. Seperti tadi, ia menggerakkan sedikit kepalanya untuk menghadapkan telinganya kearah jalan yang menuju ke rumahnya. Dari jauh terdengar suara tembang (nyanyian). Yitna tersenyum. Dikenalnya habis-habis suara itu suara yang dulu mendendangkan lagu setiap malam mengantar ia ke alam mimpi... Sekali lagi Yitna melepaskan cangkulnya dan sekali lagi ia tersenyum ketika ia mengarahkan pandangannya ke tempat suara. Sepagi ini ibunya telah menembang. Pangkur Palaran pula, pikirnya. Ia bangga mempunyai lbu seperti ibunya. Mbok Kromo pandai menyanyi dan suaranya merdu. Memang ia seorang ledek sebelum menjadi mbok Kromo.

   Ketika itu namanya masih Ngatinem, ledek muda yang mulai terkenal di desa Pungkruk. Banyak lelaki tua muda berlomba untuk mendapatkannya, dengan cara yang sah maupun tidak. Hampir saja Ngatinem yang masih perawan tak kuat bertahan menghadapi bujukan dan rayuan yang disertai umpan uang dan perhiasan. Mujur baginya, pada waktu yang berbahaya itu, datanglah pemuda Rejowinangun yang bernama Pardiman ke desanya, menjatuhkan hatinya dengan kejujuran sinar matanya dan kebersihan senyumnya. Memang mujur bagi Ngatinem, karena diantara sekian banyak lelaki yang membujuk-pikatnya, belum tentu ada seorang yang sesungguh-sungguh Pardiman cintanya. Pardiman membawanya ke Rejowinangun, sebuah desa di kaki gunung Lawu. Mereka menjadi suami isteri yang hidup rukun. Setahun kemudian lahirlah Yitna.

   Seperti kebiasaan umum di desanya, Pardiman mengganti pula nama kecilnya menjadi Kromosentono. Orang-orang menyebutnya pak Kromo dan Ngatinem dengan sendirinya menjadi mbok Kromo. Tentu saja dulu mereka disebut kang Kromo dan yu Kromo. Sesungguhnya ibunya patut dibanggakan, pikir Yitna sambil memandang kearah ibunya mendatang. Cantik dan setia. Ya ibunya memang cantik. Kembang desa Pungkruk, kata ayahnya bangga. Bahkan sekarangpun masih cantik. Dan setia pula. Sungguh! Ia lulus dengan baik dalam ujian kesetiaaan ketika selama Jepang menguasai Indonesia ayahnya menjadi korban "romusha"

   Yang pada ketika itu disebut pekerjaan kebaktian tanah air. Tiga tahun mbok Kromo ditinggalkan suaminya. Ia hidup berdua dengan Yitna yang baru berusia tujuh tahun.

   Ia masih muda, cantik pula. Godaan-godaan berupa cumbu-rayu lelaki kehausan nafsu datang berduyun-duyun menguji keteguhan imannya. Tapi mbok Kromo dapat mengatasi semuat itu dengan hati setia, seperti Dewi Anggraini isteri Raden Palgunadi. Yitna bangga be ribu ibunya. Dipandangnya sosok tubuh ibunya yang kini telah dekat. Seperti Ibu Pagi sendiri berjalan perlahan, membawa sebuah keranjang gantung di tangan kiri. Di belakangnya nampak matahari merah bercahaya lembut tersembul di balik gunung. Sinarnya indah kuning kemerahan melingkungi seluruh tubuhnya, mendatangkan bayang-bayang menakjubkan. Pangkur telah habis dinyanyikan. Mbok Kromo menurunkan keranjang gantungnya di atas tanggul sawah dan memandang Yitna dengan wajah tersenyum.

   "Pagi benar engkau telah datang, mbok,"

   Berkata Yitna yang merupakan salam pagi, karena sesungguhnya, mereka tak mengenal salam seperti "Selamat pagi," "Selamat malam,"

   Dan lain-lain

   "Selamat"

   Sebagainya.

   "Dan engkau, sudah banyak benar engkau mencangkul sepagi ini, Yit,"

   Jawab ibunya yang merupakan salam pagi yang menyenangkan pula. Salam desa yang bersifat saling memuji ini lebih menggembirakan mereka agaknya daripada "Selamat pagi"

   Kita yang lazim.

   "Mana bapakmu, Yit?"

   "Biasa saja mbok, perkutut itu lagi tentu,"

   Jawabnya tak menengok. Mbok Kromo memandang kearah kebun kelapa dan menghela napas.

   "Burung itu mempermain-mainkan bapakmu sungguh."

   Dan ia lalu pergi menyusul suaminya. Yitna menghampiri keranjang gantung dan duduk di dekatnya, di atas tanggul sawah dimana tanah telah mongering putih.

   Ia mengeluarkan sekalian isi keranjang, dua buah cangkir kosong yang telah menguning karena tuanya dan sebuah cerek penuh air teh yang telah menghitam pantatnya karena dijilat api setiap hari. Sedap dan berjasa benar air teh panas bagi seseorang pada pagi hari sedingin ini, pikirnya, sambil menikmati harum teh yang menyengat memasuki kerongkongnya. Ditiup-tiupnya teh panas di dalam cangkir yang dipegangnya untuk mengurangi panasnya dan kadang-kadang dicucupnya sedikit. Ibunya memang seorang isteri sejati. Mencintai suami. Dan seorang ibu sejati pula. Cintanya kepadaku melebihi cintanya kepada bapak. pikirnya sambil meneguk tehnya sekali lagi. Masih teringat olehnya betapa hebat ibunya membela kalau ayahnya sedang marah dan hendak memukulnya. Bagaikan Dewi Arimbi membela puteranya, ditentangnya segala, pantang mundur.

   "Seorang anak harus menurut kepada orang tuanya karena cinta, bakti, dan taat, bukan menurut karena takut akan pukulan,"

   Demikian ia mengalahkan suaminya. Dan kalau sudah melihat isterinya memandang kepadanya dengan mata basah dan dada menahan gelombang nafsu amarah, sedangkan di dalam matanya tiada terdapat lagi kemesraan sebagaimana biasanya terdapat kalau mata itu sedang memandangnya, maka menunduklah pak Kromo.

   Ia takluk tak bersyarat. Jika isterinya sudah demikian, maka merasalah ia akan kelebihan isterinya. Memang mbok Kromo lebih terpelajar daripada pak Kromo. Ia sampai di kelas lima sekolah desa, sedangkan suaminya hanya sampai di kelas tiga. Kelebihan dua tahun di bangku sekolah ini sewaktu-waktu membuat pak Kromo menghargai buah pikiran isterinya. Bagi pak Kromo sendiri terlampau lama bersekolah adalah tidak perlu. Menghabiskan waktu saja, katanya. Maka ketika Yitna telah menamatkan pelajarannya di sekolah rakyat desa pada tujuh tahun yang lalu menyatakan keinginannya hendak melanjutkan sekolahnya kesekolah menengah di Sragen, ayahnya menentang keras.

   "Apa? Sekolah lagi? Kurang banyakkah waktu yang enam tahun engkau habiskan dengan sia-sia di sekolah itu? Hendak sekolah lagi katanya! Hasil apakah yang kau dapat dari sekolahmu? Engkau sudah pandai membaca, menulis, dan menyanyi. Mau belajar apa lagi? Apa engkau dapat menghasilkan padi yang gemuk dengan membaca atau menulis atau menyanyi? Apa gunanya pensil, pena, dan buku? Hanya untuk membuang-buang waktu. Alasan untuk dapat bermalas-malasan. Coba tengok peganganku, cangkul, arit, dan luku. Dapatkah orang hidup tanpa yang tiga itu?"

   "Tapi pengetahuanku masih rendah, pak. Meskipun aku sudah dapat membaca, namun banyak yang belum kumengerti. Lebih terasa kekuranganku ketika kemarin kubaca koran pak lurah yang dibawa oleh Jana. Banyak terdapat kata-kata yang tak kumengerti maksudnya. Lebih-lebih mengenai politik."

   "Politik, katamu? Engkau mau belajar polirik? Hendak memolitik siapakah engkau? Hanya bajingan-bajingan saja yang suka molitik orang."

   Marahlah pak Kromo mendengar bahwa anaknya hendak mempelajari politik, sebuah kata yang dibencinya, yang menurut anggapannya dan juga anggapan hampir semua kawan-kawan di desanya, berarti sebuah pengertian curang penuh daya-upaya busuk dan mencelakakan.

   "Engkau salah paham, pak. Yang kumaksud dengan politik adalah politik negara. Misalnya politik pemerintah kita sekarang ini terhadap lain-lain negara, dan politik blok kanan atau blok kiri, dan..."

   "Persetan sama segala politik-politikan!"

   Pak Kromo membentak marah.

   "Kalau engkau ingin belajar politik, nanti kuajar engkau bagaimana caranya memolitik tanah. Engkau bisa molitik tanah sesuka hatimu, dan hasilnya akan memuaskan hati. Aku tidak mengerti sedikitpun tentang politik yang pasti sekali tidak baik itu."

   "Tapi orang sekarang dianggap bodoh dan ketinggalan jaman kalau tidak mengerti tentang politik, pak."

   "Lebih baik bodoh dan ketinggalan jaman daripada pandai dan maju tapi penuh akal busuk. Ya, begitulah politikmu itu akal busuk belaka."

   Ia mengangguk-angguk senang mendapatkan kata-kata baru itu untuk menggambarkan kejelekan politik yang tak dimengerti dan tak disukainya.

   "Kalau memang pemerintah kita membutuhkan politik seperti yang kau maksudkan itu, serahkanlah saja politik itu kepada para pemimpin. Bagian merekalah itu! Bagianmu ialah mentaati pemerintah, dan politikmu tak lain ialah yang mengenai pekerjaanmu!"

   "Tapi, pak..."

   "Cukup! Engkau tidak sekolah lagi, dan habis perkara. Sudah sepatutnya engkau membantu aku di sawah. Umurmu sudah tiga belas, dan ingat, Yit, sekolah ke Sragen itu memakai uang dan bapakmu bukanlah orang kaya, mengerti?"

   Lalu dengan marah pak Kromo berangkat ke kebun, memanggul cangkulnya. Yitna menahan air matanya yang sudah hampir jatuh dari kelopak matanya. Mbok Kromo datang mendekat dan menaruh kedua tangannya di atas pundak anaknya. Sentuhan tangan yang mesra ini bagaikan mendorong air mata Yitna, tapi ia mengatupkan bibirnya dengan keras supaya jangan keluar sedu sedan yang sudah memenuhi kerongkongan itu dari mulutnya.

   "Yit, bapakmu benar. Pengertianmu sudah cukup banyak. Aku sendiri takkan senang kau tinggalkan. Lebih baik engkau mulai belajar tani agar kelak engkau bisa menjadi petani yang pandai dan kaya."

   Ia tak mau bicara tentang politik yang sesungguhnya tak dimengertinya sama sekali, walaupun ia pernah duduk di bangku kelas lima sekolah desa. Dan Yitna terpaksa menurut. Ia melanjutkan sekolahnya di sawah. Melepas pena memanggul cangkul. Ayahnya puas, ibunya senang, dan ia sendiri??

   "Aku tidak beruntung,"

   Bisik Yitna kepada diri sendiri. Digeleng-gelengkan kepalanya dan dituangkannya kembali teh panas ke dalam cangkirnya yang telah kosong. Ayahnya memang berwatak keras. Lebih-lebih sekarang, sejak tergila-gila kepada perkutut setan itu. Tidak, lebih lama lagi, semenjak ia menyatakan maksudnya hendak mengembara sebulan yang lalu. Maksudnya itu menimbulkan geger ( ribut- ribut) dalam rumah. Masih teringat olehnya perbantahan mereka bertiga tentang maksudnya mengembara itu.

   "Engkau gila!"

   Memulai ayahnya ketika mendengar akan maksudnya.

   "Pergi mengembara? Meninggalkan kampung halaman dan sawah? Engkau gila! Mencari pekerjaan di kota, katamu? Di sinipun tak kekurangan pekerjaan. Sawah terbentang luas dan tanah menanti untuk dikerjakan setiap saat."

   "Tapi tanah orang lain, pak,"

   Bantahnya.

   "Apa bedanya? Bukankah kita juga mendapat upah?"

   "Tapi alangkah kecilnya, pak."

   "Kecil, katamu? Yitna, engkau tidak menaruh penghargaan kepada tenaga kita. Upah kecil yang didapatkan oleh tenaga kita itu cukup untuk mengisi perut kita bertiga setiap harinya! Biar aku dimakan setan kalau itu kecil namanya."

   "Memang benar bahwa upah yang kita dapatkan itu cukup untuk mengisi perut kita setiap harinya, pak. Tapi masih terlampau kecil untuk dapat membeli sarung baru yang kau inginkan dihari Lebaran yang lampau dan jauh terlampau kecil pula untuk dapat membeli kain baju simbok. Dan aku aku kepingin membeli sepeda."

   "Dan engkau dapat mencari pekerjaan dengan upah besar?"

   "Tentu, pak."

   Katanya gembira.

   "Aku akan bekerja di kota. Gajiku besar dan akan kubelikan sarung plekat untukmu dan kemeja, dua tiga setel akan terbeli olehku, dan kain baju untuk simbok dan sepedaku"

   "Biar aku dimakan setan! Alangkah sombongnya anakmu ini, mbok. Dengar baik-baik, Yitna. Aku tidak suka engkau pergi mengembara. Mbokmu pun tidak. Kami tidak perkenankan engkau pergi meninggalkan kami. Dan... rupa-rupanya... buku-buku sekolahmu itulah yang merusak pikiranmu. Pelajaranmu itu telah memupuk nafsu angkara murkamu sehingga engkau menjadi haus tak kenal puas. Memang, upah kita tidak cukup untuk memenuhi kehendak nafsu kita, tapi, dimanakah di dunia ini ada upah yang cukup besar untuk dapat memenuhi dan memuaskan nafsu orang?"

   Mbok Kromo yang semenjak mendengar kehendak anaknya telah bermerah mata dan air matanya tinggal jatuhnya saja, membantu suaminya mengoposisi kehendak Yitna, dan berkata,

   "Yitna, ingatlah, nak. Orang tuamu telah tua. Kalau engkau pergi mengembara, siapa pulakah yang menjadi andalan orang tuamu? Siapa yang akan menjagamu dan merawatmu nanti bila engkau sakit di kampung orang? Dan, jika aku mati nanti..."

   Kata-katanya terhenti karena kerongkongannya tersumbat sedu-sedan yang keluar dari dadanya, air matanya jatuh menitik.

   "Siapakah yang akan memikul ke makam?"

   "Ah, engkau berkata yang bukan-bukan, mbok,"

   Menghibur Yitna.

   "Pendeknya bagaimana juga, engkau tak kuperkenankan pergi merantau,"

   Berkata lagi ayahnya.

   "Aku tidak suka engkau menjadi rusak seperti orang-orang kota. Tak dapat tiada engkau akan rusak kalau bercampur gaul dengan segala orang-orang busuk di kota."

   "Apa salahnya orang kota, pak?"

   "Apa salahnya orang kota? Biar mereka dimakan setan! Darimanakah datangnya segala bajingan, tukang copet, dan penipu jahat? Dimanakah orang-orang kampung dan petani yang tadinya jujur menjadi rusak, laki-laki menjadi buaya dan perempuan menjadi jalang? Dimana lagi kalau bukan di kota? Dan engkau hendak pergi ke tempat macam itu? Tidak! Biar aku dimakan setan, aku tak suka engkau pergi!"

   "Betul, nak, jangan engkau pergi. Kasihanilah mbokmu yang sudah tua ini. Yit. Banyak jeleknya daripada baiknya yang akan kau dapat jika engkau pergi mengembara. Tidak teringatkah engkau akan dongeng Dampoawang itu? Bagaimana berbakti ia kepada ibunya sebelum pergi mengembara. Tapi setelah ia menjadi kaya di dalam perantauan, ia melupakan ibunya. Ia malu mengaku ibu kepada ibu kandungnya sendiri. Malu karena kemiskinan ibunya. Ia menjadi buta karena harta benda yang didapatkannya di kota, nak. Dan akhirnya ia kena kutuk, mendapat celaka. Jangan engkau menjadi seperti Dampoawang, Yitna,"

   Dengan menggunakan ujung bajunya, mbok Kromo mengeringkan pipinya yang basah. Demikianlah, telah sebulan ia menahan kehendak hatinya. Tak pernah ia menyinggung-nyinggung perkara mengembara itu di depan ayah-ibunya. Tapi ayahnya rupa-rupanya maklum bahwa keinginan itu masih dikandungnya. Dan ibunyapun maklum.

   "Aku tidak beruntung,"

   Bisik Yitna kepada diri sendiri untuk kedua kalinya. Diletakkannya cangkirnya ke dalam keranjang kembali dan dengan hampir marah ia berdiri lalu menghampiri cangkulnya. Kemudian ia melepaskan kekesalan hatinya kepada tanah di depannya. Dicangkulnya kuat-kuat dan dalam-dalam, seakan-akan tanah jua yang membuatnya tidak beruntung. Ia mendapat ketika membalas sakit hatinya kepada tanah. Dan tanah diam saja, sabar menanti! Ia tidak mendengar ayah bundanya mendatangi.

   "Yit, berhentilah dulu. Mari kita minum teh dan mengobrol sebentar."

   "Tadi aku sudah minum, mbok,"

   Jawabnya, tapi ia berhenti juga mencangkul, menghampiri mereka dan duduk di atas tanggul di belakang ayahnya.

   "Biar dimakan setan perkutut neraka itu, belum pernah kujumpai burung yang sesukar itu dipikat,"

   Merongseng ayahnya sambil menerima cangkir yang sudah diisi penuh dengan air teh oleh ibunya.

   "Ah, engkau ini hanya memikirkan burung saja, pak,"

   Mencela mbok Kromo.

   "Seolah-olah tiada yang lebih penting daripada burung itu."

   Ketika pak Kromo menjenguk ke dalam keranjang, mbok Kromo berkata dengan suara menyatakan menyesal dan minta maaf,

   "Tidak ada apa-apa, pak. Ubi kita sudah habis."

   "Tapi nanti siang kita makan dengan bakmi,"

   Ia segera menyambung bicaranya dengan suara menghibur ketika dilihatnya pak Kromo menghela napas.

   "Malam tadi yu Darmo mendapat kiriman dari menantunya di Sragen dan aku diberinya sebungkus."

   "Bakmi? Digodok saja, mbok, jangan digoreng. Digodok lebih segar dan lezat,"

   Mbok Kromo mengangguk tertawa.

   "Akupun mengerti kesukaanmu, pak,"

   Katanya dan pak Kromo tertawa pula. Mbok Kromo melihat Yitna tunduk saja lalu memberi isyarat kepada suaminya sambil memandang Yitna. Pak Kromo mengangguk dan lalu menggerakkan tubuhnya menghadapi anaknya.

   "Yit, tahukah engkau, sudah berapa umurmu?"

   Ia menanya. Yitna menggerakkan kepalanya dan memandang mata bapaknya dengan heran, tapi ia menjawab juga,

   "Dua puluh, kalau aku tak khilaf, pak."

   Pak Kromo mengangguk-anggukkan kepalanya yang sudah mengelabu di atas telinga.

   "Dua puluh tahun tidak kecil lagi,"

   Katanya perlahan seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, lalu disambungnya, kini melihat kepada anaknya,

   "Sungguh, Yit. Dua puluh tahun bukan kecil lagi namanya. Dulu bapakmu ini kawin ketika masih berumur delapan belas tahun."

   Yitna tidak melepaskan pandangnya dari muka ayahnya.

   "Apa maksudmu, pak?"

   "Begini, Yit,"

   Menyambung mbok Kromo untuk menolong suaminya yang nampak seakan-akan malu dan sukar untuk menjawab.

   "bapakmu dan aku sekarang sudah tua dan sudah sepantasnya mempunyai menantu."

   "Bahkan sudah patut mempunyai cucu!"

   Menambah pak Kromo.

   "Karena itu"

   Menyambung ibunya.

   "Sudah sepatutnya engkau kawin dan menurut pandanganku dan bapakmu, Sutinah adalah seorang gadis yang sehat dan rajin, pantas menjadi menantuku."

   "Bahkan cukup cantik!"

   Menambah pula pak Kromo.

   Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sutinah? Di sekolah dulu ia bodoh dan paling gembeng (suka menangis)! Ah, mbok, aku tidak ingin kawin."

   Ia tidak berani menentang wajah ayah maupun ibunya.

   "Tapi bapakmu dan aku sudah ingin mempunyai menantu, Yit."

   "Aku tidak suka... aku benci melihat Sutinah!"

   Ia hampir marah karena malu. Pak Kromo berdiri.

   "Anak bedebah! Sombong! Engkau tidak suka dan benci kepada Sutinah? Engkau? Engkau sudah mempunyai seorang gendak barangkali! Hayo katakan, jalang mana yang mengeretmu!"

   Mbok Kromo berdiri pula dan menentang suaminya,

   "ALLAH tobaat! Engkau sudah kemasukan setan barangkali, pak. Tiada hujan tiada angin engkau memaki-maki. Kita harus berunding perlahan-lahan. Dan itu tak mungkin kalau engkau hanya marah-marah saja."

   Lalu ia menghadapi anaknya kembali dan suaranya berbeda benar dengan ketika ia berkata kepada suaminya.

   "Yit, bilanglah padaku, mengapa engkau tidak senang kepada Sutinah? Apakah barangkali engkau sudah mempunyai pilihan gadis lain?"

   Yitna menggeleng-gelengkan kepala, matanya memandang tanah.

   "Mbok,"

   Katanya kemudian perlahan.

   "Aku sungguh heran mengapa tiba-tiba saja simbok dan bapak menghendaki supaya aku kawin. Sudah banyakkah uang simpanan bapak maka ingin mengawinkan aku?"

   Dipandangnya ayahnya dengan berani dan tampak olehnya pak Kromo menghindari pandangan matanya.

   "O, tidak sekarang, Yit."

   Mbok Kromo segera membela suaminya.

   "Bapakmu dan aku akan cukup merasa puas jika engkau sudah mau menerima dan kami akan segera mengajukan lamaran kepada kang Danu. Soal hari kawinnya mudah diatur belakangan. Tentu saja kita harus hemat-hemat memakai uang dan sedari sekarang mengumpul-ngumpulkan uang."

   "Dan pula,"

   Menyambung bapaknya.

   "Kalau engkau sudah mempunyai pacangan (tunangan), engkau tak mudah tergoda oleh segala jalang!"

   Yitna menahan-nahan gelombang marah yang bergulung-gulung dari dalam dadanya hendak menyerbu keluar. Gatal-gatal lidahnya dan bibirnya hendak meneriakkan bahwa ia telah dapat menangkap rahasia pikiran ayah-ibunya, bahwa ia telah maklum mengapa ayah-ibunya menghendaki supaya ia kawin, bahwa sebenarnya ayah-ibunya hanya ingin supaya ia terikat di kampung ini, kawin, kemudian menjadi bapak dari anak-anak, seorang, dua orang, tiga, empat, bahkan sampai enam orang anak seperti pak Wiryo itu, dan sementara itu, setiap hari mencangkul, meluku, mengerjakan tanah yang bukan tanahnya, menerima upah yang hanya cukup untuk mengisi perut lain tidak, lalu menjadi tua, mati hidup di kampungnya, sampai berkarat di situ juga, menerima nasib, dapat sedikit makan sedikit, dapat banyak makan banyak, seperti bapaknya...

   "Tidak! Tidak mungkin! Tidak!"

   Pikiran yang terakhir ini diucapkan keras-keras dan iapun larilah meninggalkan bapak ibunya yang saling memandang, kehabisan akal. Yitna menjatuhkan dirinya di atas rumput hijau yang masih berselimut embun pagi. Rumput tebal dan basah itu mendinginkan dadanya yang terasa panas dan membiasakan pula napasnya yang terengah-engah karena debaran kencang aliran darah dalam urat-urat di tubuhnya ketika ia berlari keras. Perlahan-lahan rumput dingin sedap dan kesunyian tempat itu menenteramkan kembali pikirannya dan menyejukkan hatinya. Ia membalikkan tubuhnya menjadi telentang. Baru sekarang terdengar olehnya bunyi riak air mengalir, bersenda-gurau dengan batu-batu dalam alirannya,

   Seakan-akan selalu bergembira-riang, mendendangkan lagu tak kunjung putus, lagu kebebasan abadi. Alangkah nikmatnya berbaring di situ, pikirnya. Bertilam rumput sedap. Ia memutar-mutarkan pandangan matanya. Alangkah indahnya di dunia ini. Pohon, daun, kembang, langit biru, awan putih, sinar matahari yang menembus celah-celah daun pohon, burung-burung, semua itu seakan-akan merupakan kelambu besar nan indah melindungi tubuhnya yang telentang di atas tanah. Ia merasa bebas, terlepas dari segala yang menyusahkan hatinya. Bebas merdeka! Yitna bangun duduk tersentak. Bebas merdeka! Itulah yang dibutuhkan. Ayah-ibunya menghendaki ia terikat di kampung. Hendak membuat ia menjadi seperti seekor katak di dalam sumur, sampai tua dan mati di situ pula, tak sempat menikmati keindahan dunia di luar sumur.

   Sutinah sudah sepantasnya menjadi menantunya, kata ayah-ibunya. Cukup cantik untuk menjadi menantunya. Mereka sudah ingin benar bermenantu dan bercucu. Mereka sudah sepantasnya bermenantu. Bermenantu! Ya, itulah sebenarnya yang terpenting bagi ayah-ibunya. Bermenantu! Soal bermenantu yang lebih penting, menjadi soal pertama, berkawin hanya merupakan akibat dari soal pertama. Ia harus menurut dan taat, tak berhak suara, karena ini adalah soal ayah-ibu ingin bermenantu, bukan soal ia ingin kawin! Sutinah! Hah! Ia tertawa keras-keras, mengalahkan bunyi riak air, ganjil terdengarnya di tempat sesunyi itu. Sutinah! Gadis genit itu. Dan dulu ketika sedang menonton wayang kulit di rumah pak lurah ia melihat bagaimana Sutinah dicubit oleh pak lurah dari belakang, dan gadis yang hendak dijadikan bininya itu hanya terkekeh genit!

   Yitna memandang air jernih anak sungai yang mengalir di hadapannya. Alangkah gembiranya air itu. Dan alangkah senangnya menjadi daun-daun kering yang terbawa oleh alirannya. Celakalah daun kering yang terhalang batu menonjol di tengah-tengah sungai itu. Diam dan membusuk di situ! Dan ia harus menjadi seperti sebuah daripada daun-daun yang berlomba menurutkan aliran air, bukan seperti daun berdiam membusuk di belakang batu. Ia harus bergerak. Ia bebas. Ia harus pergi! Lapang rasa dadanya ketika dua jam kemudian kakinya melangkah tetap menuju pulang. Keragu-raguannya lenyap, keputusannya telah tetap. Sedikit gangguan yang merupakan rasa kasihan kepada ayah-ibunya dihilangkan oleh sebuah tuntutan pikiran bahwa ayahnya telah mempunyai ibunya dan ibunya telah mempunyai ayahnya dan mereka tak boleh merampas kemerdekaannya!

   * * *

   Senjakala menghilang dan malam datang menyelimuti segala yang nampak dengan tirai hitamnya. Semua insanpun menghormat dan taatlah kepada kehendak alam ini. Pekerjaan ditinggalkan dan dicarilah tempat beristirahat melepaskan lelah tnbuh dan pikiran. Sesungguhnya, telah menjadi hukum alam bahwa orang diharuskan beristirahat dimalam hari. Mereka yang memaksakan diri bekerja, tentu akan melanggar sebuah daripada tiga peraturan yang dipakai orang, yaitu peraturan Tuhan, peraturan pemerintahan, atau peraturan kesehatan. Tapi setengah orang menderita pula di dalam istirahatnya itu, seakan-akan kegelapan malam menggelapkan juga pikiran mereka.

   Lebih-lebih bagi orang-orang kampung yang miskin. Bayang-bayang kecemasan karena memikirkan kebutuhan esok hari yang belum tersedia, dan esok harinya lagi, dan lusa... dan hari-hari datang tak kunjung habis, dan malam-malam datang pula membawa bayang-bayang kecemasan dan kesengsaraan, terbawa ke dalam mimpi, memburu, menyergap, mencekik. Sejak malam belum masuk dan matahari masih memuntahkan sisa cahayanya sebelum memulai tugasnya dilain muka dunia, Yitna telah berada di kebun kelapa. Ia tengah duduk di atas sebuah batang pohon kelapa yang rebah melintang dan tengah melihat-Iihat ke atas. Malam itu adalah malam ketiga ia berada di dalam kebun dengan maksud hendak mendapatkan perkutut yang digilai ayahnya.

   Ia ingin memberi sesuatu kepada ayahnya sebelum ia pergi meninggalkan kampungnya. Kini ia telah tahu dimana tempat burung itu bermalam, dan akan dicobanya malam ini daya upaya yang baru. Tadi siang ia pergi kerumah Jamin meminjam perkutut dengan ku- rungnya sekalian. Dan sekarang kurung itu tergantung di atas, diantara cabang-cabang pohon manggis, satu-satunya pohon bukan kelapa dalam kebun itu. Perkutut Si Jamin bertengger di dalam kurung, sebelah kakinya terikat untuk menjaga ia terbang keluar dari pintu kurung yang terbuka. Di dalam kurung telah dipasangnya jerat dan celakalah burung luar kurung yang berani memasukinya. Yitna tahu bahwa perkutut yang hendak dijerat itu telah berada pula di dalam kumpulan daun-daun pohon. Tiba-tiba ia tersentak berdiri dari duduknya. Suara menggelepar di atas pohon itu.

   "Rasakan olehmu sekarang, setan!"

   Teriak suara hatinya. Segera ia menarik tali menurunkan kurung. Hatinya berdebar girang. Perkutut keramat telah terjerat.

   Kakinya terikat, hasil kerja per bambu yang dipasangnya. Lihat ia memukul-mukulkan sayapnya membuat perkutut Si Jamin menggelepar-gelepar pula ketakutan. Diambilnya perkutut keramat dan dimasukkannya ke dalam sebuah kurung yang telah disediakan sejak dua hari dimuka. Malam itu juga ia mengembalikan kurung dan burung Jamin. Perkutut baru di dalam kurung masih saja menggelepar-gelepar, takut dan bingung, tak mengerti apa yang telah menimpa dirinya. Kurungnya lalu digantungkan di belakang rumah. Lalu Yitna memasuki biliknya. Tempat tidur bambunya berkereot menerima berat badannya. Kokok ayam jantan bersahut-sahutan, menghidupkan suasana, yang sunyi-mati dan mengabarkan kepada sekalian orang bahwasanya malam dingin gelap telah pergi.

   Yitna membuka matanya dan dengan perlahan-lahan ia keluar dari biliknya menuju ke sumur belakang. Sekembalinya ke dalam bilik ia segera mengumpul-ngumpulkan pakaian dan membungkus semua itu dalam sehelai kain sarung. Semua ini dilakukan di dalam gelap dan dengan cepat pula, karena pakaiannya tak banyak. Lalu dikeluarkannya dari dalam saku celananya sehelai kertas yang telah ditulisinya beberapa hari yang lalu dan diletakkannya kertas bersurat itu ke atas meja. Kemudian ia berdiri menghadapi bilik yang memisahkan kamarnya dengan kamar ayah-ibunya yang masih sunyi karena mereka masih tidur.

   "Selamat tinggal, mbok. Selamat tinggal, pak,"

   Demikian bibirnya bergerak seakan-akan berdoa dan lalu kedua kakinya yang telah hafal benar keadaan biliknya mencari jalan keluar.

   Yitna melangkahkan kaki menuju kejalan. Ditengoknya sekali lagi gubuk bapaknya. Dua puluh tahun ia terkurung di situ. Kini ia terlepas dari kurungan. Bebas merdeka seperti daun kuning mengikuti aliran air yang hidup. Ia teringat akan perkutut yang terkurung di belakang rumah. Biar ia merasa, burung keramat itu, pikirnya. Kemarin pagi ia masih menyanyi gembira di atas dahan daun kelapa. Pagi nanti ia akan menyanyi duka, atau diam berkabung menyesali untungnya. Kini telah tiba gilirannya untuk menikmati kemerdekaan, pikirnya. Peduli apa perkutut setan itu. Memang sudah seharusnya demikian. Suka dan duka, dua saudara sepupu itu berselang-seling menghias hidup, memasak jiwa. Di dalam suratnya ia menjanjikan bahwa ia takkan melupakan ayah-ibunya, bahwa kalau sudah mendapat hasil ia tentu akan membelikan barang-barang keinginan mereka.

   Dan lain-lain lagi alasan-alasan mengapa ia hendak mengadu untung dirantau orang. Penghabisannya ia mengharap agar ayah-ibunya tidak menjadi marah kepadanya dan terutama jangan terlampau bersedih. Ah, semua itu telah lalu. Tak perlu kupusingkan lagi, pikirnya. Jalan raya membentang panjang di hadapannya. Angin pengarak pagi menghembus sepoi-sepoi, menggerakkan kabut putih perlahan-lahan naik menuju bukit disebelah kiri jalan. Udara mulai menjernih. Kokok ayam mulai menghilang, kini hanya terdengar sayup sampai di belakangnya. Burung-burung di atas pohon sepandiang jalan yang dilaluinya menyanyi pagi ria gembira, seakan-akan lagu selamat berjuang baginya. Hawa dingin sejuk menyegarkan dan menjernihkan otaknya.

   Karena dingin jua perutnya mulai berbunyi dan terasa lapar. Perut tak tahu diri, celanya dan mempercepat langkahnya. Dari saat ini ke atas engkau harus tahan berpuasa, katanya sambil menepuk-nepuk perutnya dengan tangan kiri. Uang bekalnya hanya sepuluh Rupiah, tak kurang tak lebih. Hasil simpanannya selama dua bulan ini, semenjak Lebaran yang lalu. Sedianya uang simpanannya itu dimaksudkan untuk pembeli pakaian dihari Lebaran nanti. sepuluh Rupiah tidak banyak, ya, memang tidak banyak pada waktu nilai uang serendah itu. Tapi cukup kiranya untuk belanja selama ia belum bekerja. Barangkali dapat bertahan untuk seminggu, kalau berhemat benar-benar. Matahari telah mulai nampak tersembul dibalik gunung di belakangnya, merupakan bundaran merah indah, mengintai di kiri puncak.

   Kicau burung makin ramai dan makin gembira pula hati Yitna. Indah benar pemandangan pagi hari itu. Sunyi bersih menyedapkan mata. Di sawah-sawah pun sunyi karena bibit padi telah tersebar. Di sebelah kiri jalan, sejauh mata memandang, nampak sawah mendatar luas. Kepunyaan beberapa orang saja, ini Yitna tahu benar. Di sebelah kanan jalan, tanaman serat nanas menghijau, runcing-runcing daunnya bagaikan ribuan ujung pedang terhunus, siap digunakan untuk memarang musuh. Tak lama kemudian dijumpailah olehnya orang pertama di pagi hari itu. Seorang laki-laki sebaya ayahnya yang memikul kelapa. Suara bambu pikulannya berkereat kereot, mengingatkan Yitna akan bunyi bale tempat tidurnya. Mereka berjumpa di jalan perempatan pertama dan menuju sejurusan.

   "Ke pasar, pak?"

   Salam tanya Yitna.

   "Ya,"

   Jawabnya pendek. Yitna harus mempercepat langkahnya karena orang itu berjalan cepat dan secepat itu pula pikulannya terayun.

   "Pasar mana, pak?"

   "Sragen,"

   Keluar pula jawaban pendek. Penjual kelapa itu makin cepat saja jalannya, seakan-akan tergesa-gesa.

   "Mengapa bercepat-cepat benar engkau, pak?"

   "Berlumba."

   Yitna menengok ke belakang, tapi tak melihat seorangpun. Ia kembali memandang kawan seperjalanannya dan menanya heran.

   "Berlumba katamu, pak? Dengan siapa?"

   "Dengan Batara Surya!"

   Yitna ternganga tak mengerti.

   "Dengan matahari maksudmu, pak?"

   "Ya, dan kalau engkau menanya saja, biniku akan terpaksa berpisah dengan kainnya yang penghabisan."

   "Apa maksudmu, pak? Maaf kalau aku terlampau cerewet, tapi sesungguhnya keteranganmu itu teka-teki belaka bagiku."

   Orang itu memandangnya dan pandangan mata mereka beradu. Yitna melihat sepasang mata bersalut keriput, mata orang tua biasa. Orang itu tiba-tiba saja berhenti melangkah. Diturunkannya pikulan dari pundak. Yitna melihat kulit pundak itu telah menebal di kanan kiri, seperti kulit tebal pantat kera.

   "Anak muda,"

   Katanya dengan suara kesal disabarkan.

   "Engkau sukar mengerti maksud orang. Nah, dengarlah. Kalau Batara Surya itu lebih dahulu daripadaku sampai ke pasar Sragen, berarti aku kesiangan. Dan penjual kelapa bukan aku sendiri. Dan sekarang harga hasil desa makin menurun. Kalau aku datang kesiangan kelapaku ini akan kehabisan harga baik sehingga terpaksa akan kujual murah supaya dapat pulang hari ini. Dan pendapatan uang yang sedikit itu tak cukup pembayar utang. Dan, akhirnya, semua itu berarti malang bagi biniku, karena baju dan kain yang tinggal satu-satunya itu terpaksa digadai pula. Nah, mengerti engkau sekarang, anak muda?"

   Yitna mengangguk maklum. Tentu saja ia mengerti. Hal-hal demikian itu tidak asing baginya. Lagu lama, lagu pak tani miskin di desa. Setelah meludah sekali di atas tanah berdebu tak beraspal itu dan membakar ujung sebatang rokok kertas koran yang dijepitnya di ujung mulut, ia mengangkat kembali pikulannya ke atas pundak kanan dan segera berlari anjing melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Yitna jauh terbelakang.

   Setelah melalui Blimbing yang terkenal dengan serat nanasnya, banyaklah orang-orang yang seperjalanan dengan Yitna. Tujuan mereka semua hanya satu, pasar Sragen. Hari itu hari pasaran Sragen seperti terjadi tiap lima hari sekali, yaitu tiap hari Paing. (Di Jawa Tengah orang mempunyai lima hari pasaran, yaitu, Paing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi). Hanya Yitna seorang diantara mereka yang tidak membawa barang dagangan, hanya mengepit bungkusan pakaiannya. Kawan-kawan seperjalanannya semua membawa dagangan hasil kampung. Kayu bakar, ubi, lombok, daun jati, daun pisang, kangkung, dan segala macam daun-daun lagi yang dapat disayur. Bahkan ada beberapa orang anak membawa bambu kecil pendek berisi jengkerik. Anak-anak kota paling suka mengadu jengkerik. Mereka berani membayar setalen untuk seekor jengkerik.

   Yitna berjalan perlahan, tidak tergesa-gesa seperti mereka. Ia tidak berlumba dengan matahari. Ia hendak menikmati pagi pertama dari hari kebebasannya. Sekalian orang-orang kampung itu setengah berlari-larian, sehingga Yitna tertinggal di belakang untuk segera tersusul pula oleh yang mendatangi kemudian. Ia tidak khawatir akan dikenal orang, karena sekalian orang itu orang lain kampung belaka. Orang di desanya jarang berdagang ke Sragen. Terlampau jauh. Desa Blimbing jauh di belakang sudah. Perut Yitna berbunyi kembali, cacing perutnya menggeliat-liar. Tiba-tiba bau sedap bawang digoreng menyerang hidungnya. Cacing perutnya rupa-rupanya mencium pula bau sedap itu, ternyata dari geliatnya yang makin menjadi. Tak disengaja benar, jari-jari tangannya telah memasuki saku celananya dan mempermain-mainkan uang yang berada di dalamnya.

   "Alangkah sedapnya,"

   Pikirnya.

   "pedagang ketupat tahu rupanya."

   "Orang bekerja untuk mencarikan isi perut, kata bapak. Sekarang perutku menagih, mengapa aku ragu-ragu? Kalau tidak sekarang, nantipun harus kuisi, sama saja. Lebih baik makan sekarang, uang habis dan soal besok, ya... perkara besok sajalah itu."

   Dengan pikiran itu masih mendorong bujuk di dalam telinganya, ia mempercepat langkahnya menuju ke warung nasi di pinggir jalan yang menantang setiap orang lapar. Seorang perempuan muda menyambutnya dan menyilahkannya duduk dengan pandangan matanya. Yitna melihat tiga orang tengah duduk mengobrol menghadapi cangkir kopi. Dari pakaian ketiga orang itu ia dapat menduga bahwa mereka tentu pegawai pabrik serat. Pak Kerto di desanya yang menjadi mandor pabrik serat di Blimbing pernah pulang dalam pakaian seperti itu. Yitna lalu mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku bambu tua menghitam.

   "Sarapan (makan pagi) apa, mas?"

   Tanya perempuan muda itu, diiringi senyum paksa penjual.

   "Apa sajakah yang ada?"

   Balas tanyanya.

   "Nasi pecel, nasi tumpeng, ketupat tahu..."

   "Baiklah, tolong beri ketupat tahu sepiring dan minumnya..."

   "Teh, kopi, limun...?"

   "Kopi manis secangkir,"

   Jawabnya dan menundukkan kepala untuk menyembunyikan kalamenjingnya berloncat naik ketika ia menelan air liurnya. Perempuan itu mengangguk manis lalu menyiapkan semua pesanan itu dengan berdiri membelakangi tamu-tamunya.

   "Ramping juga pinggangnya, kulitnya kuning dan senyumnya manis,"

   Pikirnya menjumlahkan pendapatan tafsiran mata jantannya. Kemudian iapun duduk menyandarkan punggung dan melonjorkan kaki dengan hati senang.

   "Memang sesungguhnya, seperti bumi dan langit jauh perbedaan antara keadaan kita dijaman Belanda dulu dan dijaman merdeka sekarang ini."

   Yitna menengok dan ternyata suara parau kasar itu keluar dari belakang kumis tebal seorang yang bertubuh besar panjang, seorang daripada tiga mandor tadi. Wajah yang serem kejam, pikirnya. Kini mata besar diliputi urat-urat merah itu mengerling liar kearah tubuh bawah pelayan yang bulat besar itu.

   "Dulu aku tak lebih tak kurang hanya seorang kuli biasa, tapi sekarang..."

   Kembali mata liarnya mengerling pelayan.

   "Gaji cukup, ditambah jaminan keluarga, jaminan, sosial, belum dihitung penghasilan luar. Ah, memang enak hidup dijaman kita ini!"

   "Memang sudah sepantasnya begitu,"

   Membenarkan mandor kedua, seorang berkepala botak, agak lebih muda sedikit daripada si kumis tebal.

   "Kita telah berjuang mati-matian melawan penjajah Belanda. Kita sudah cukup lama menderita. Tiga ratus enam puluh tahun! Setelah kini merdeka sudah sepatutnya kita hidup makmur. Sekarang kita telah merdeka, seratus prosen. Tanah Indonesia ini tanah kita, semua yang berada di Indonesia ini milik kita sendiri."

   Ia melihat berkeliling untuk mengetahui pengaruh kata-katanya. Berubah pandangan Yitna kepada mereka. Orang-orang pandai kiranya mereka ini, pikirnya. Iapun tidak berani makan cepat-cepat. Dikunyahnya tahu dan ketupat satu-satu, dengan bibir tertutup, hanya urat gerahamnya di kanan kiri saja yang bergerak-gerak. Cara bersopan makan ini ditirunya dari orang- orang di desanya ketika mereka makan di hadapan pak lurah yang sedang mengadakan perayaan sunat anaknya. Ia harus bersopan diri pula di hadapan orang-orang cerdik pandai macam mandor- mandor itu.

   "Memang kita tidak boleh ketinggalan jaman,"

   Berkata pula si kumis tebal mengangguk-anggukkan kepalanya yang besar.

   "jaman ini jaman kita. Kita berada di rumah sendiri. Di tanah sendiri. Tanah tempat kaki kita berpijak ini tanah kita, kawan. Tanah ini dan semua yang berada di atasnya."

   Jari telunjuknya menunjuk ke bawah. Yitna yang sejak tadi telah tertarik hatinya kini menjadi heran. Tanah ini semua tanah kita? Berarti tanahnya diuga? Ah, main-main ia tentunya! Iapun mengerling kepada pemilik warung itu. Perempuan muda itu memandang kepada si kumis tebal dan berkata dengan suara menuntut memperingatkan,

   "Warung ini kepunyaanku."

   Mandor kumis itu nampak kaget lalu tersenyum lebar, memperlihatkan dua buah gigi emas dibarisan atas.

   "O, ya, tentu tentu, manis. Tapi pernyataanku tadi tidak mengenai warung ini, tidak kumaksudkan warungmu ini, tapi mengenai tanahnya dan..."

   "Dan tanah ini milik pak haji Jaelani,"

   Berkata pula perempuan itu.

   "Ya..ya... akupun tahu pula..."

   Si kumis mengangguk-angguk dan seakan-akan kehabisan akal diminumnya kopi dari cangkirnya.

   "Maksudku tanah semua, bukan khusus tanah tempat warungmu berdiri. Tanah air Indonesia, yang telah kita bela dengan darah mengalir, ini semua milik kita. Milikmu, milikmu, milikmu, dan... milikku!"

   Katanya sambil menunjuk dengan telunjuknya berganti-ganti kepada Yitna, lalu kepada perempuan itu, lalu kepada mandor botak, lalu mandor yang seorang lagi, dan lalu kepada dirinya sendiri. Yitna tak dapat menahan sabar lagi. Sejak isi piringnya telah habis, pindah ke dalam perutnya, diikuti secangkr kopi pahit-manis hangat-hangat, telah gatal-gatal bibirnya hendak menanyakan sesuatu. Kini terdorong oleh pernyataan si kumis tebal yang mengatakan bahwa tanah semua ini termasuk miliknya juga, ia memberanikan diri berkata,

   "Maafkan kelancanganku, saudara."

   Tadinya ia hendak menyebut den, tapi mengingat bahwa orang-orang pandai lebih suka disebut Bapak atau Saudara, maka ia menggunakan sebutan terakhir itu.

   "Saya masih belum faham benar akan maksud saudara mengatakan bahwa semua tanah yang terbentang luas ini adalah milik kita. Setahuku, tanah di desaku adalah milik perseorangan, dan saya sendiri, belum pernah merasakan kenikmatan mempunyai tanah sendiri, walaupun hati saya sangat beringin. Barusan saudara mengatakan bahwa tanah semua ini milik kita bersama, termasuk saya sendiri pula, tapi rasanya tak masuk akal..."

   Semua orang kini memandang kepadanya, membuat ia malu dan kata-katanyapun terhenti. Lebih-lebih ketika dilihatnya mata si kumis yang besar dan seram itu memandangnya dengan tajam dan bibir bawahnya yang tak tertutup kumis berkerenyut dalam senyum menghina. Ia menundukkan muka, kemalu-maluan. Ia hanya menanti jawaban si kumis.

   "Memang bagi seorang yang tak pernah mengikuti perjuangan kemerdekaan, tak mungkin pula mengharap memperoleh ganjaran,"

   Katanya.

   "Dan seorang yang terbatas jejak langkahnya oleh tanggul sawah tentu tak mungkin pula dapat berjuang. Ketahuilah olehmu, anak muda, bahwa tidak sembarang orang dapat menikmati kemerdekaan kita. Lebih-lebih tidak, orang-orang yang tidak ikut berjuang melawan penjajah."

   "Tapi ayah saya pernah menjadi romusha,"

   Berkata Yitna yang teringat cerita orang desanya bahwa romushapun merupakan sebuah pekerjaan bakti tanah air.

   "Romusha?? Ha, ha! Menjadi romusha dijaman Jepang bukan berjuang namanya. Bahkan satu pekerjaan yang memalukan bangsa kita. Menjadi anjing Jepang! Bah, romusha Dan engkau anak romusha, ya? Ha, ha. Lihatlah aku ini. Baru seorang pejuang namanya. Ketika Indonesia sedang bergolak, revolusi memecah, bamboo runcing mengamuk, aku berjuang mati-matian dan menjadi..."

   "Perampok!"

   Menyambung perempuan muda pemilik warung. Bekas pejuang mati-matian itu kaget dan menengok memandang perempuan yang berani berlancang mulut sedemikian kepadanya.

   "Apa katamu?"

   Tanyanya, kedua matanya disipitkan.

   "Kataku engkau berjuang menjadi perampok, penggedor, pembakar rumah!"

   Berkata perempuan muda itu dengan berani, matanya tajam menentang musuhnya, bibirnya ditajamkan, sangat manis dalam pandangan Yitna.

   "Engkau berani berkata begitu?"

   Suara parau itu heran menggetar.

   "Mengapa tidak? Karena itu memang kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa engkau dulu merampok di Sragen? Menjadi romusha jauh lebih mulia daripada menjadi penggedor. Bapakku dulu juga seorang romusha, bahkan mati di tempat romusha pula! Engkau menghina pekerjaan romusha, tapi adakah yang lebih hina daripada pekerjaan merampok?"

   "Engkau salah paham, manis,"

   Si kumis berkata sabar. Tak mudah baginya untuk marah kepada gadis semerah itu pipinya dan semanis itu bibirnya.

   "Engkau tidak mengerti. Perampokan yang kulakukan dahulu itu termasuk perjuangan juga. Aku merampok Belanda dan Tionghoa, bukankah itu perjuangan jua namanya?"

   "Cis! Tak bermalu! Biar merampok siapa juga, sekali perampok tetap perampok hina."

   
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kulit muka si kumis memerah seperti udang direbus.

   "Tini! Engkau keterlaluan. Kalau bukan engkau yang berkata begitu, sudah kusobek bibirnya. kau kira engkau perempuan tercantik? kau kira aku tak dapat mencari yang lebih ayu? Jangan engkau sombong, Tini. Kalau aku sudah marah, mudah saja aku menangkap menciumi bibirmu yang lancang itu. Siapa akan membelamu? Engkau akan ku..."

   Ia maju menghampiri. Tini menjadi pucat ketakutan dan mundur menjauhi. Kedua kawan mandor itu mencegah,

   "Sudahlah, Singo. Mari kita ke pabrik."

   Tapi si kumis tak memperdulikan mereka. Ia melangkah maju, matanya yang besar memerah, hidungnya berkembang-kempis.

   "Hm, belum puas rasa hatiku kalau belum mencium mulut manis lancang kurang ajar ini."

   Tiba-tiba perempuan muda itu lari mengelilingi meja dan berdiri di belakang Yitna.

   (Lanjut ke jilid 01b)

   Karena Wanita (Non Cersil)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01b

   "Tolonglah, mas. Tolonglah aku,"

   Bisiknya dan Yitna merasa lengan tangannya terpegang oleh jari-jari halus dengan erat sekali. Ia berdiri perlahan melepaskan pegangan Tini. Dengan sekali lompat, Singo sudah berada di hadapannya.

   "Minggir!"

   Dengusnya.

   "Jangan menghalangi atau akan rusakkan mukamu yang licin ini, petani busuk!"

   Diamang-amangkan tinjunya di dekat hidung Yitna.

   "Tadi kusangka bahwa Tuan adalah seorang pejuang nan cerdik pandai dan gagah perwira,"

   Berkata Yitna.

   "Tapi ternyata..."

   "Ya...?"

   Tanya Singo mengandung ancaman.

   "Ternyata tak lebih tak kurang Tuan hanya seorang perampok dan bajingan pengganggu wanita. Lelaki hina, tak bermalu..."

   Secepat tinju lengan besar berbulu itu diayunkan kearah dagunya, Yitna menghela sigap ke kiri.

   "Dahuluilah lawanmu,"

   Nasehat Pak Ramaji, guru pencak yang pernah mengajarnya di desa dulu, masih teringat benar olehnya dan nasehat itupun dipraktekkan sekarang. Tinju kanannya yang keras menyambar hantam menumbuk dada kanan Singo yang belum dapat menarik kembali lengannya.

   "Buk!"

   Dan dengan mengeluarkan suara tertahan di dada, mandor tinggi besar berkumis itu terpental dan roboh menimpa bangku bambu. Pukulan Yitna sekali itu keras benar, terdorong tenaga besar yang diperolehnya ketika mengerjakan tanah. Singo terbatuk-batuk dan merayap bangun. Tapi Yitna mendahuluinya pula dengan ayunan kakinya, telak menendang kearah leher. Kembali terdengar suara mengaduh tertahan dan Singo roboh untuk kedua kalinya. Malang baginya kepalanya membentur ujung meja kayu jati yang berat dan keras. Tapi ia merayap kembali, matanya bagaikan mata setan memandang Yitna. Mukanya makin seram karena darah mengalir dari kepala menurun dahinya.

   "Bangsat keparat! Rasakan pembalasanku!"

   Tini memekik kecil ketika melihat tangan kanan Singo mencabut pisau dari ikat pinggangnya.

   "Larilah, mas... ! Lari... !"

   Bisiknya, tapi Yitna tak mempedulikannya, karena seluruh tubuhnya telah terasa panas karena marah. Ia melompat ke depan. Disambarnya sebuah botol limun yang berisi penuh. Ketika Singo melompat mengayun pisau, botol limun dilemparkan oleh Yitna kearah mukanya. Suara botol pecah dibarengi suara mengerang kesakitan diikuti oleh berdebuknya badan Singo yang jatuh tersungkur. Dari keningnya mengalir darah.

   Yitna pucat. Timbul khawatirnya kalau-kalau musuhnya tewas. Kedua kawan Singo yang tadi hanya menjadi penonton saja kini maju menolongnya. Singo tak berdaya, tangan kiri, memegang kaki meja dan tangan kanan meraba-raba keningnya. Tapi bibirnya masih ramai memaki-maki, menyumpah-nyumpah. Yitna menghela napas. Lenyaplah rasa khawatirnya. Ia memandang keluar pintu. Banyak orang telah datang melihat perkelahian itu. Banyak diantaranya memandangnya dengan heran. Bahkan ada suara-suara orang sedang mempercakapkan dan mengagumi keberaniannya melawan pak Singo yang terkenal seorang jagoan. Ia menengok memandang Tini yang sedang duduk menangis, menutup mukanya dengan kedua tangannya. Lalu diambilnya bungkusan pakaiannya dan menghampiri perempuan yang tengah menangis itu.

   "Berapa aku harus bayar, dik?"

   Tanyanya kepada Tini, tapi yang ditanya tak menjawab. Menengokpun tidak. Bahkan isaknya makin menjadi. Yitna mengeluarkan sehelai uang kertas lima rupiah, ialah setengah daripada seluruh hartanya dan meletakkan itu di atas meja. Lalu ia melangkah kearah pintu. Tiba-tiba sebuah tangan yang berjari halus menyentuh lengannya.

   "Mas, ambillah kembali uangmu ini. Engkau telah menolongku. Terima kasih banyak akan budimu, budi yang takkan kulupakan seumur hidupku."

   Perempuan muda itu mengembalikan uangnya, tapi Yitna tidak mau menerimanya.

   "Simpanlah saja, dik. Untuk pembayar ketupat tahu dan kopi dan selebihnya sekedar pengurang jumlah kerugianmu."

   Ia menunjuk kepada pecahan botol, dan lalu pergilah ia keluar cepat-cepat. Dipanjangkannya langkahnya. Matahari sudah naik tinggi. Ia harus cepat-cepat sampai ke Sragen. Tapi, apakah yang akan dilakukan di Sragen? demikian pikirnya bimbang. Mencari pekerjaan? Tapi, Sragen bukanlah kota idamannya. Terlampau kecil dan terlampau dekat dengan desanya. Kurang ramai pula. Ia harus bekerja di sebuah kota yang besar dan ramai. Sekurang-kurangnya di Solo.

   

Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini