Karena Wanita 3
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Ah, jangan bicara tidak karuan, Tar."
Ratna makin pucat dan diam-diam ia mengerling kearah gelap di belakang lemari dimana seorang maling mungkin menyembunyikan diri.
"Lekas beritahukan kepada ayah."
Pak Harjo nampak tenang dan sabar.
"Ada pencuri, Rat? Apa saja yang dicurinya?"
"Kotak perhiasan, ayah. Dan semua perhiasanku berada di situ. Malam tadi sepulangku dari pesta di rumah Pak Wignya semua perhiasan kulepas dan kumasukkan ke kotak."
"Dan dimana kau simpan kotakmu itu?"
"Di atas meja rias itu, ayah."
"Mengapa tidak ditaruh di dalam lemari? Sudah kau cari dimana-mana?"
"Sudah, ayah, tapi tiada terdapat."
Ratna menunduk, takut ayahnya akan marah.
"Malam tadi sudah engkau kunci kamarmu?"
Ia menghampiri pintu dan meraba-raba kenopnya.
"Sudah, ayah. Tapi tadi kudapati pintu sudah terbuka."
"Heran, bagaimana pencuri bisa masuk? Bukankah hanya ada sebuah kunci untuk pintu ini?"
Ratna mengangguk, pikirannya bingung.
"Tarmi!"
Berkata Pak Harjo kepada pelayan yang masih berdiri ketakutan itu.
"engkau betul-betul tidak tahu tentang kehilangan ini?"
"Bagaimana saya bisa tahu, ndoro?"
"Malam tadi engkau tidak masuk kesini?"
"Ya ALLAH, ndoro... bagaimana saya berani masuk kesini? Apa ndoro mendakwa saya...?"
"Bukan mendakwa, karena siapa lagi yang biasa memasuki kamar Ratna? Pencuri ini tentu bukan orang luar. Mana Yitna?"
"Mas Yitna...? Ia tadi telah pergi, ndoro."
"Pergi? Kemana?"
"Bukankah ayah kemarin menyuruhnya mencari bibit Dahlia?"
"O ya ndoro. Tadi mas Yitna bilang kepada saya bahwa ia hendak mencari bibit kembang."
Pak Harjo mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Biarkan semua begini, Rat, jangan diraba-raba. Aku mau menelepon polisi."
"Perlukah itu, ayah?"
"Perlu? Tentu saja. Habis, apakah harus kubiarkan saja barang-barangmu hilang dicuri orang tanpa dicari?"
Ratna tidak membantah pula, tapi di dalam hatinya terbit gaduh dan cemas. Polisi ditelepon dan setengah jam kemudian Inspektur Barja sendiri datang memeriksa. Pak Harjo telah kenal baik dengan inspektur itu.
Setelah memeriksa kamar dan pintunya, Inspektur Barja mengetahui bahwa pintu kamar Ratna telah dibuka orang dengan menggunakan kunci palsu dan bahwa maling itu telah kenal benar akan keadaan dalam rumah itu. Lalu ia menyatakan akan memeriksa semua kamar-kamar pelayan, yaitu kamar Yitna, kamar Tarmi, dan tempat tinggal Sukro sopir yang terletak tak jauh dari rumah Pak Harjo. Pada saat itu Yitna datang dengan membawa bibit Dahlia seikat. Wajahnya yang bergembira berubah cemas ketika melihat mobil polisi di pekarangan depan. Ia membatalkan maksudnya hendak mengambil cangkul untuk menanam bibit kembang itu, lalu berjalan dengan cepat mencari Tarmi. Tiba-tiba Pak Harjo keluar dari dalam dan memanggilnya. Yitna makin heran tercampur cemas melihat Inspektur Polisi berada di situ.
"Engkau yang bernama Yitna?"
Tanya Inspektur Barja.
"Prayitna, Pak."
"Hm, Prayitna. Engkau sepagi ini pergi kemana?"
"Saya pergi membeli bibit Dahlia, Pak."
Jawabnya sambi memandang Pak Harjo, tapi orang tua itu seakan-akan menghindari pandangannya. Pak Harjo memotong,
"Maaf, inspektur. Bolehkah saya menerangkannya?"
Inspektur Barja mengangguk.
"Begini, Yitna. Ratna telah kecurian. Maling malam tadi memasuki kamarnya dan mencuri kotak berisi perhiasannya. Kami tidak menyangka siapa-siapa, tapi untuk memenuhi pemeriksaan maka semua kamar-kamar bujang akan diperiksa."
"Ooh..."
Yitna kaget dan memandang Ratna dengan khawatir. Gadis itu juga memandangnya dengan wajah pucat.
"Silahkan, pak,"
Katanya kemudian.
"Kamu berdua tak boleh pergi kemana-mana,"
Berkata Inspektur Barja kepada Yitna dan Tarmi. Kemudian mereka beramai-ramai mengikuti Inspektur itu yang mulai memeriksa kamar Tarmi. Tiada sesuatu didapatkan di dalam kamar Tarmi, kecuali barang-barangnya sendiri yang berupa beberapa potong pakaian dan uang simpanan sebanyak Lima puluh Rupiah. Kemudian kamar Yitna mendapat giliran. Ratna dan Tarmi tidak ikut masuk. Inspektur Barja membuka bungkusan itu dan... Yitna dibongkar-bongkar. Tiba-tiba ia menjenguk ke bawah bale dan mengulurkan tangannya ke dalam.
"Apakah ini?"
Katanya sambil menarik keluar sebuah bungkusan. Yitna memandang dengan heran dan menggerakkan pundaknya.
"EntahIah, Pak. Kemarin belum ada di situ,"
Ia mengenali bahwa pembungkus itu adalah bajunya sendiri. Bajunya yang kotor dan belum dicuci. Ia tidak mengerti mengapa bajunya bisa berada di situ. Inspektur Barja membuka bungkkusan itu dan... Yitna merasa seakan-akan kamarnya berputar ketika melihat sebuah kotak kaju kecil dikeluarkan dari bungkusan itu.
"Inikah?"
Menanya Inspektur Barja sambil menengok memandang Ratna yang telah ikut masuk. Ratna terbelalak memandang kepada kotaknya dan lalu memandang kepada Yitna yang berdiri dengan pucat dan terheran.
"Ya benar, inilah kotak perhiasan anakku."
Menjawab Pak Harjo. Inspektur Barja membuka kotak itu dan berkata kepada Ratna,
"Cobalah periksa, nona. Masih lengkapkah?"
Ratna memeriksa dengan jari-jari gemetar. Ia lalu berkata pelahan,
"Masih lengkap."
Inspektur Barja lalu menghadapi Yitna dengan mata menyala,
"Keterangan apakah yang akan kau berikan mengenai ini, anak muda?"
Yitna yang sejak tadi memandang kepada Ratna dengan mata memohonkan pembelaan, kaget mendengar pertanyaan ini. Hatinya berdebar keras.
"Pak, sungguh mati saya tidak mengerti mengapa kotak itu bisa berada di sini. Saya tidak melakukan itu, pak."
"Percuma saja engkau menyangkal, Yit. Bukti-bukti sudah ada yang menyatakan bahwa engkaulah yang... mengambil perhiasan Ratna. Tak kusangka engkau dapat sejahat ini,"
Berkata Pak Harjo dengan suara menyesal.
"Tapi, Pak... bisakah engkau percaya bahwa saya mencuri? Nona Ratna! Percayakah engkau bahwa aku mencuri perhiasanmu? Aku? Ini tentu fitnahan keji belaka. Aku bukan pencuri. Mana dik Tarmi...? Tarmi...!"
Matanya mencari-cari dan akhirnya ia melihat Tarmi berdiri di belakang Ratna.
"Engkau sudah mengenalku dengan baik. Bukankah aku tak pernah berbuat jahat kepada siapa juga? Bilanglah, engkau tentu mengetahui siapa yang berlaku sekeji ini?"
Tapi Tarmi hanya menunduk. Tak seorangpun membelanya. Ia melihat ke kanan kiri seperti seekor harimau terkurung dan ingin melarikan diri dari bahaya yang mengancam. Tapi ia tak berdaya.
"Sudah, hayo ikut ke kantor polisi. Tak perlu berdebat di sini!"
Berkata Inspektur Barja.
"Tapi, Pak, aku bukan pencuri! Nona Ratna, bilanglah aku bukan pencuri!"
Ratna memandangnya dengan air mata memenuhi pelupuk matanya. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengatakan apa yang dipinta oleh Yitna. Mau ia meneriakkan bahwa Yitna bukan pencuri, tapi pikirannya mencegah, karena bukti-bukti telah dilihatnya sendiri. Hatinya hancur dan dengan isak tertahan ia lari ke dalam menuju ke kamarnya. Yitna masih dapat menangkap kata-kata keluar dari bibir gadis itu.
"Engkau... pencuri!"
Mendengar tuduhan Ratna itu lemaslah seluruh tubuhnya Ratna juga menuduhnya! Ia menjadi penasaran. Dengan mengangkat dada ia berkata keras-keras, hampir berteriak,
"Aku bukan pencuri! Biar aku miskin, aku belum begitu rendah untuk mencuri!"
Ia berkata keras-keras mengharap Ratna keluar, tapi gadis itu tidak menampakkan diri lagi. Ia menangis di atas tempat tidurnya. Air matanya membanjir membasahi bantalnya dan bibirnya berkali-kali membisikkan kata-kata,
"Engkau pencuri... pencuri...!"
Tiba-tiba Pak Harjo yang masih mencari-cari menemukan sebuah kunci di sudut kamar, di bawah peti kosong. Kunci itu adalah kunci palsu yang sama benar dengan kunci pintu kamar Ratna. Yitna makin heran dan dengan diketemukannya kunci itu di kamarnya, maka makin beratlah bukti-bukti menekannya. Dengan tak berdaya Yitna digiring ke kantor polisi dan untuk menunggu pemeriksaan ia dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Pak Harjo menghampiri Ratna yang masih menangis.
"Sudahlah, Ratna. Jangan menangis. Engkau masih beruntung dapat terlepas dari pemuda tak setia itu sebelum terlambat,"
Katanya memegang-megang pundak Ratna. Ratna duduk dan memandang ayahnya dengan mata se dih,
"Beruntung? Oh... ayah..."
Kembali ia menangis.
"Ayah, kasihanilah Yitna. Perhiasanku belum ada yang hilang. Bebaskanlah ia, ayah..."
"Engkau sungguh aneh, Rat. Orang macam ia harus mendapat hukuman. Biar ia tidak berani mencuri lagi. Apa kataku dulu, Rat. Engkau jangan terlampau mudah terpikat oleh kata-kata manis. Orang desa tak terpelajar macam ia, tak mungkin jujur. Tidak boleh dipercaya. Pantaskah ia menerima cintamu?"
"Ayah... jangan diulangi lagi soal ini. Aku tahu bahwa pilihanku keliru, tapi... tapi, bagaimana juga, aku... masih cinta padanya..."
"Aah... engkau bodoh dan keras kepala!"
"Jangan salah sangka, ayah. Ayah boleh merasa girang karena tentu aku tak mau kenal lagi padanya. Tapi rasanya takkan mudah namanya hilang dari dasar hatiku. Aku kasihan padanya, ayah. Bebaskanlah ia..."
"Tak mungkin. Selain dari aku tidak mau membebaskannya, polisi pun takkan membiarkan kejahatan tak terhukum."
Lalu ia meninggalkan gadisnya yang masih menangis dengan sedihnya. Ratna merasa tubuhnya lemah lunglai, pikirannya kacau. Hatinya bimbang ragu memikirkan Yitna. Ia pencuri! Pikiran ini berkata berulang-ulang menyesakkan dadanya.
Yitna, kekasihnya itu mencuri? Ah, mengapa... mengapa? Mungkinkah pemuda seperti Yitna itu mencuri? Hampir ia berteriak mengatakan tidak percaya! Gerak-gerik dan sikapnya yang sopan. budi-bahasanya yang halus, matanya yang menyinarkan kejujuran dan keberanian, semua itu menyatakan bahwa tak mungkin ia mau mencuri. Dan mencuri perhiasannya pula. Ah, ia percaya akan cinta Yitna yang murni kepadanya. Tapi kotak perhiasannya berada di bawah balenya! Dan terbungkus oleh bajunya. dan kunci palsu... Betulkah ia seorang palsu? Betulkah bahwa cintanya itu hanya karena menginginkan harta? Ah, kalau benar demikian, aku benci padanya! Aku benci padanya! Dengan pikiran yang makin mengeruhkan hatinya ini Ratna menjatuhkan dirinya memeluk bantal dan menangis pula dengan sedihnya.
* * *
"Saya tidak merasa mencuri, pak. Biar dihukum mati sekalipun saya tak dapat mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan,"
Demikianlah Yitna menjawab tuduhan hakim di dalam sidang pengadilan. Tiga bulan ia berada di dalam tahanan polisi dan selalu ia menyangkal bukti-bukti pencurian dengan jawaban tersebut. Walaupun diancam, dibujuk bahkan dipukul beberapa kali, polisi tak dapat memaksanya untuk mengaku.
"Engkau keras kepala!"
Berkata hakim tak senang.
"Bukti-bukti sudah cukup dan engkau masih berani menyangkal. Mengakulah saja agar meringankan hukuman dan memudahkan pemeriksaan."
"Haruskah saya berbohong kepada Bapak dan membuat pengakuan palsu?"
Yitna berkata dengan keras. Hakim diam saja dan lalu berbisik-bisik dengan jaksa yang duduk di kanannya. Ratna yang berada di situ pula dengan ayahnya mendengarkan kata-kata Yitna dengan perasaan terharu dan kagum. Ia terharu melihat Yitna berpakaian kusut, rambutnya panjang, wajah pucat dan tubuh kurus. Ia kagum akan keberanian Yitna. Ia dan ayahnya berada di situ untuk memberikan keterangan mereka sebagai saksi-saksi. Saksi pertama dipanggil menghadap. Pak Harjo berdiri dan pergi duduk di depan meja hakim, di sebelah Yitna. Setelah disumpah, ditanya nama dan lain-lain, ia lalu diminta untuk menerangkan apa yang diketahuinya. Pak Harjo menceritakan semua hal yang terjadi, diakhiri dengan pernyataannya demikian,
"Yitna telah tiga bulan bekerja di rumah saya. Biasanya ia berkelakuan baik, dan nampaknya jujur. Tak saya sangka bahwa ia sebenarnya menanti saat baik untuk melakukan pencurian!"
Hakim memberi tanda supaya ia kembali keternpat semula, dan saksi kedua lalu dipanggil. Ratna bertindak perlahan menuju ke kursi bekas ayahnya dan duduk. Yitna yang duduk di sebelahnya mengerling dengan ujung matanya. Hatinya berdebar. Ia merasa seakan-akan menjadi pengantin! Kalau saja hakim tua itu dapat bertindak sebagai penghulu! Ratna pun mengerling ke kiri sebentar, lalu memandang kepada hakim. Ia mengucapkan sumpahnya perlahan, menurutkan pengambil sumpah yang memegang sebuah Quran di atas kepalanya. Kemudian, setelah menerangkan nama dan lain-lain, ia menjawab pertanyaan hakim,
"Tuan Hakim,"
Suaranya mengharukan hati Yitna.
"Tentang terjadinya kehilangan kotak berisi perhiasanku adalah seperti apa yang telah diceritakan ayah tadi. Tentang pencurian sebenarnya saya tidak percaya bahwa... Saudara Yitna ini yang mencurinya, namun bukti-bukti yang terdapat di dalam kamarnya... ah, saya tak dapat mengerti..."
"Mengapa nona tidak percaya bahwa Yitna yang mencuri?"
Menanya hakim. Yitna berdebar-debar bangga mendengar pengakuan dan pernyataan Ratna, tapi Pak Harjo memandang kepada anaknya dengan marah.
"Mengapa? Ya... karena biasanya ia bekerja dengan baik dan jujur. Sikapnya tidak sekali-kali menggambarkan bahwa ia mungkin dapat melakukan perbuatan rendah itu."
Hakim tersenyum.
"Kalau begitu, siapakah yang kau sangka melakukan pencurian ini, nona?"
Ratna menjadi bingung, di dalam kebingungan ia memandang Yitna yang pun sedang memandangnya. Pandangan mata mereka beradu, dan Ratna makin bingung melihat Yitna tersenyum!
"Saya... saya tidak menyangka siapa juga, Tuan,"
Ia terpaksa menjawab.
"Ada hubungan apakah antara nona dengan terdakwa?"
"Hubungan...? Apa maksud Tuan? Tidak ada hubungan apa-apa kecuali bahwa ia adalah pegawai ayah!"
Suaranya terdengar marah.
"Tidak lebih mendalam?"
"Tuan hakim! Pertanyaan ini bukan semestinya diajukan kepada anak saya. Tidak pantas! Hanya orang gila yang menyangka anak saya mempunyai hubungan dengan seorang pencuri rendah!"
Pak Harjo membantah marah.
Ia tidak mempedulikan kepada hakim yang mengangkat tangan menyuruh ia diam. Ratna menunduk, air matanya mengalir. Yitna merah padam wajahnya. Ia yakin akan kebaikan Ratna yang hendak menolongnya, dan ia merasa seakan-akan mendapat pukulan pada mukanya mendengar kata-kata Pak Harjo yang menghinanya. Ia menengok memandang Ratna. Kasihan ia melihat gadis itu yang menitikkan air mata. Ia maklum bahwa hal yang diperbantahkan tadi dapat merusak nama baik Ratna. Mempunyai hubungan dengan seorang pencuri rendah! Ia seorang pencuri rendah? Biar bagaimana juga, bukti-bukti mengatakan demikian. Mengaku atau tidak, ia akan dihukum. Tiba-tiba ia kaget ketika mendengar pertanyaan hakim.
"Prayitna! Bagaimana sekarang, kamu masih membandel dan menyangkal?"
"Bapak hakim!"
Ia sengaja terus menyebut "bapak"
Walaupun dari pandangan mata hakim itu ia maklum bahwa hakim itu tidak menyukai sebutan "bapak"
Dan lebih senang panggilan "Tuan."
"Saya tidak pernah membandel dan tidak pernah menyangkal. Sejak didalam pemeriksaan polisi saya selalu berkata dengan sebenarnya. Tapi rupa-rupanya kebenaran itu bukan soal penting bagi pengadilan. Yang terpenting bukti, dan bukti-bukti mudah sekali dibuat oleh orang-orang lain. Tak perlu saya berpanjang jawab, kalau sekiranya sudah terang kesalahan-kesalahan saya, yakni menurutkan bukti-bukti yang ada, maka hukumlah saya. Saya akan menerima hukuman itu, tapi untuk mengakui pencurian, tidak! Seluruh dunia boleh menganggap saya seorang pencuri, tapi hanya Tuhan ALLAH yang mengetahui bahwa saya tidak berdosa."
Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan bernapsu, Yitna tidak banyak cakap lagi. Ratna pergi dan duduk kembali di dekat ayahnya. Hakim lalu memutuskan hukuman dua tahun. Yitna mendengar itu dengan tenang. Ia tidak melihat bahwa Ratna hampir jatuh pingsan mendengar putusan itu. Wajahnya pucat dan matanya memandang sayu kearah Yitna. Pak Harjo menundukkan kepala. Dengan tak banyak rewel lagi Yitna menanda-tangani keputusan itu. Sebelum ia dibawa pergi keluar dari tempat sidang ia masih sempat berkata kepada Pak Harjo dan Ratna,
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pak, selamat tinggal dan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang telah dilimpahkan kepada saya. Ratna, selamat tinggal, Rat. Maafkan aku akan segala yang terjadi. Aku kini tak berharga untukmu. Namaku telah ternoda. Tapi, kita akan berjumpa kembali kelak, Rat."
"Pergi engkau, pencuri!"
Membentak Pak Harjo dengan marah. Yitna tersenyum dan berkata,
"Terima kasih, Pak."
Pak Harjo akan memaki pula, tapi Ratna mencegahnya,
"Ayah, sudahlah, kang Yitna, selamat berpisah..."
Kata-kata ini dibarengi isak tangis dan air mata membanjir. Yitna menggunakan kepalan tangan kanannya untuk mengusir dua butir air yang keluar dari sepasang matanya, lalu ia digiring ke penjara. Aku akan kembali, Rat. Aku pasti kembali!! Demikian pikirnya.
* * *
Yitna hanya berdiam empat bulan di dalam penjara Solo, lalu dipindahkan ke penjara Semarang. Di dalam tempat hukuman itu ia menjumpai bermacam-macam orang dan mendengar bermacam-macam cerita. Diantara ratusan orang hukuman, hanya Mangun, Slamet, Ho Jin dan Dadang yang menjadi kawan baiknya. Mereka berlima tinggal bersama-sama di dalam sebuah kamar segi empat. Sebulan setelah ia memasuki kamar itu, mereka menjadi kawan-kawan baik yang bersimpati kepadanya setelah mendengar nasibnya. Sambil menghisap rokok cengkeh yang keluar dari saku Ho Jin, mereka duduk bercakap-cakap. Makan malam berupa sepiring nasi dengan ikan asin dan sayur kangkung baru saja habis dimakan dan masih menekan berat di dalam perut mereka.
"Engkau beruntung, Jin,"
Kata Mangun sambil mengebulkan asap rokoknya dan matanya yang dikelilingi keriput itu memandang ke atas, seakan-akan sedang menghitung jumlah tusuk genteng.
"Engkau beruntung masih mempunyai seorang saudara yang mempedulikan dan bahkan mengirim rokok. Bagiku, tiada seekor setanpun yang akan peduli."
Ia menghela napas dan menggaruk-garuk rambutnya yang panjang penuh uban.
"Bagiku asal setiap hari mendapat nasi cukuplah. Yang lain-lain tak kupeduli. Lebih-lebih kalau nasi itu cukup banyak dan dikawani ikan asin dan akhirnya disempurnakan pula dengan asap rokok kretekmu! Dulu tidak setiap hari mulutku dapat menikmati kesedapan nasi. Jarang perutku dapat merasa sepuas ini."
Ditepuk-tepuknya perut yang gendut itu, satu-satunya yang gemuk diantara anggauta-anggauta tubuhnya yang tipis kecil.
"Ceritakanlah mengapa engkau menjadi penghuni kamar ini, pak Mangun,"
Meminta Yitna. Mangun menghela napas kembali.
"Aku dihukum sembilan tahun karena membunuh."
Yitna memandang tak percaya. Bagaimana seorang selemah pak Mangun ini dapat membunuh?
"Sekarang tinggal enam tahun lagi,"
Menyambung Mangun tak mempedulikan pandangan ganjil Yitna.
"Tapi apakah aku akan dapat menahan nyawaku tinggal di dalam tubuh rusak ini sampai selama itu, hanya Tuhan yang menentukan. Dulu aku seorang petani, petani busuk kata kau m priyayi."
"Sama dengan aku,"
Menyambung Yitna.
"Engkau? Mungkin, melihat tubuhmu yang kuat. Tapi mukamu terlampau cakap, tak pantas menjadi petani busuk."
"Dan engkaupun tak pantas menjadi seorang pembunuh,"
Membalas Yitna. Mangun memandangnya dan mengangguk-angguk.
"Memang, begitulah dimana-mana. Lain luar lain dalam."
"Teruskanlah ceritamu, pak Mangun,"
Meminta Ho Jin.
"Orang sedesaku semua petani. Hidup serba kurang. Biasa saja, habis panen menjual padi untuk keperluan lain dan beberapa bulan kemudian setiap hari makan gaplek."
Ia memandang kepada Yitna yang mengangguk-angguk maklum.
"Tapi karena kebiasaan atau mungkin karena mulut pun menyerah kepada keadaan yang memaksa, nasi gaplek atau campuran jagung dan ubi itu buktinya tertelan juga dan bahkan dapat memelihara hidup. Tentu saja mulut dan perut tidak sepuas kalau bertemu dengan nasi tulen. Semua berjalan dengan baik di dalam desaku. Walaupun kekurangan namun cukup puas dan seperti biasa dilakukan oleh nenek moyang kita, kami sedesa selalu menerima nasib. Kami tidak mengiri melihat den Danu dan pak Haji Ramli yang hidup mewah dan sawahnya berpetak-petak."
"Lalu datanglah malapetaka menimpa desa kami, merupakan diri seorang pemuda bernama denmas Giman dari kota, keponakan den Danu. Tutur sapanya sopan, gerak geriknya halus, sikapnya manis dan pandai bicara. Ia membicarakan tentang prasi-prasi atau apa namanya entah, aku sudah lupa lagi. Maksudnya untuk mengadakan persatuan petani. Karena tertarik oleh janji-janji baik, harga hasil sawah yang tinggi, pembelian keperluan sehari-hari dengan murah dan lain-lain, kami lalu mengangkatnya menjadi ketua."
"Mula-mula baik juga hasilnya. Pekerjaan terbagi dengan adil dan pendapatan penjualan padi dan lain-lain yang dilakukan oleh denmas Giman ternyata lebih tinggi daripada kalau kami menjualnya masing-masing. Barang-barang kebutuhan kami didatangkan dari kota dan memang lebih murah. Tapi setelah berjalan setahun, ternyata keadaan kami makin jelek. Harga hasil sawah menurun, dan bahkan padi yang kami setorkan kepada denmas Giman sering kurang banyak timbangannya. Tidak tahunya, denmas Giman berlaku koresi..."
"Maksudmu barangkali korupsi, pak?"
Membenarkan Ho Jin.
"Ya korupsi. Padi kami dikurangi timbangannya. Harga penjualan dan pembelian bahan-bahan dicatut. Dan celakanya, setelah mendapat pengaruh ia mulai bertindak bergila-gila. Gadis-gadis kampung kami dijadikan korban, termasuk juga... Asih."
"Siapakah Asih, pak?"
Menanya Dadang.
"Asih adalah anakku... anak tunggal. Setelah kuketahui akan hal itu, aku lalu pergi menjumpainya dan menuntut supaya ia suka mengawini Asih, tapi ia hanya ketawa menghina. Aku naik darah dan memakinya. Kami berkelahi. Hampir saja aku dapat menghancurkan kepalanya dengan linggisku, tapi kawan-kawan datang memisah. Asih yang mendengar bahwa bangsat itu tidak sudi mengawininya bahkan telah berkelahi dengan aku, menjadi sangat bersedih dan seminggu kemudian, malam-malam... ia lenyap..."
"Lenyap? Kemana, pak?"
Menanya Slamet.
"Ia... ia menceburkan diri ke dalam sungai di desa kami..."
Mangun menunduk dan memandang ke atas lantai.
"Lalu... besok paginya, ketika kawan-kawan sedang mengangkat mayat Asih dari sungai ke rumahku, aku mencari Giman dan kutanamkan golokku dalam-dalam diperutnya."
"Itu bagiannya!"
Berkata Slamet dengan puas.
"Kasihan si Asih..."
Berbisik Dadang.
"Sayang maksud koperasi yang mulia itu tercemar oleh korupsi."
Ho Jin ikut mengomentar. Yitna berdiam saja. Teringat ia akan kata-kata bapaknya. Bapaknya dulu berkata,
"Orang-orang kota busuk-busuk. Biar mereka dimakan setan! Darimanakah datangnya segala bajingan-bajingan, tukang copet, dan penipu jahat? Dimanakah orang-orang kampung dan petani yang tadinya jujur menjadi rusak, laki-laki menjadi buaya dan perempuan menjadi jalang? Dimana lagi kalau bukan di kota?"
Kata-kata ini masih berdengung di telinganya kalau ia kenangkan. Benarkah kata-kata ayahnya? Baru beberapa bulan itu tinggal di kota sudah difitnah orang sehingga masuk penjara. Dan Giman jahat itupun orang kota yang mengacau desa. Tapi Ratna? Ia orang kota juga. Yitna ragu-ragu.
"Sekarang aku hanya tinggal menanti nyawaku meninggalkan tubuhku yang bobrok ini. Aku mengharapkan mati di sini. Karena kalau aku keluar dari sini, hendak kemana?"
"Sebetulnya maksud koperasi itu baik sekali,"
Berkata Ho Jin pula. Ia nampak kecewa dan sangat menyayangkannya.
"Sayangnya yang memegangnya kurang jujur. Dan terlebih sayang pula tiada pengawasan dan bimbingan pemerintah. Alangkah baiknya kalau pemerintah yang mengaturnya. Tentu pak tani akan makin terangkat derajat hidupnya."
Slamet mengutarakan pendapatnya.
"Percuma saja biar pemerintah akan membimbingnya sekalipun."
Semua mata memandang Dadang dengan pandangan menanya.
"Biarpun pemerintah bermaksud mulia, tapi kalau yang diberi tugas merusaknya dengan berkorupsi, tetap saja pak tani akan menggigit jari. Memang semua itu salah pak tani kita sendiri. Mereka terlampau lemah, Telah mendalam benar perasaan mengalah dan menerima nasib. Bisanya hanya meraba-raba dada sendiri sambil menyebut nama ALLAH. Persatuan mereka hanya terbatas kepada bergotong-royong bermanis-manisan di dalam soal-soal kecil. Di dalam perkawinan, khitanan, kematian, paling tinggi di dalam soal meronda malam. Kalau persatuan itu dibangunkan kearah perbaikan nasib bersama, melawan fihak pemeras keringat mereka, tentu tak seorang koruptor berani bermain gila pula."
"Tapi harus ada yang pandai dan terpelajar diantara mereka,"
Berkata Ho Jin.
"Karena bapak-bapak tani yang masih buta huruf itu demikian mudah ditipu."
"Memang sulit. Nasib bapak dan ibu tani bergantung kepada pembelaan anak-anak muda desa yang kini telah mulai maju di dalam mengejar ilmu. Tapi celakanya, mereka yang sudah menjadi orang terpelajar kebanyakan tak suka bertani, kehendaknya lari ke kota saja,"
Berkata Slamet menghela napas.
"Mudah-mudahan keadaan akan berubah..."
Mendoa pak Mangun.
"Mudah-mudahan..."
Kawan-kawannya membantu. Tapi Yitna diam saja. Pikirannya dilamun perbandingan-perbandingan antara desa dan kota dan keadaan dirinya sendiri.
"Apakah kemajuanku yang dapat tercapai jika aku tinggal bertani di desa?"
Pikirnya. Dan ia ragu-ragu pula.
(Lanjut ke jilid 02a)
Karena Wanita (Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02a
"Sekarang giliranmu untuk bercerita, Jin,"
Mendesak Mangun. Lim Ho Jin berbatuk-batuk kecil. Ia pergi duduk ke atas tikar kertas yang berserakan di lantai. Malam itu hawa agak panas, dan mereka lebih senang duduk di bawah. Dengan matanya yang tidak sipit benar ia memandang kepada kawan-kawannya berganti-ganti, lalu tersenyum lebar hingga gigi mas di sudut kiri dalam mulutnya nampak.
"Sebenarnya aku hendak merahasiakan riwayatku yang memalukan ini, tapi melihat Saudara-saudara demikian berterus terang, maka apa boleh buat. Nah, dengarlah."
"Enam belas tahun yang lalu, ketika aku masih berusia dua puluh, aku kawin dengan Mimiati, bekas kawan sekolahku dulu di H.I.S. Keluarga kami semua memprotes, lebih-lebih ayahku yang masih berdarah totok, menentang keras. Hanya ibuku seorang yang juga be ribu Indonesia, menyetujui. Aku kawin dan diusir oleh ayahku. Tapi bagiku hal itu tidak kusedihkan benar karena aku dan Mimi saling mencinta. Pula, akupun sudah berpenghasilan cukup dengan berdagang cita di pasar."
"Kemudian datanglah penyeranganJepang. Seperti saudara-saudara pun tentu masih ingat, penyerangan Jepang itu berakibat bermacam-macam malapetaka kepada rakyat Indonesia. Perampok-perampok menggunakan saat-saat kacau-balau itu untuk berpesta merajalela. Polisi-polisi tidak ada, karena mereka lari ketakutan akan Jepang. Di kotaku banyak terjadi perampokan. Akupun mengalaminya. Barang-barangku habis dan aku ditawan oleh perampok-perampok itu. Mimi yang hendak menolongku bahkan dihina. Di depan mataku sendiri Mimi dipukul karena berani melawan hendak menolongku. Aku tidak tahan melihat isteriku dimaki dan dipukul. Aku berontak melawan, tapi ber puluh- puluh tangan dan kayu memukulku. Hanya karena aku disangka telah mati dan ditinggalkanlah yang menolongku daripada kematian. Aku masih hidup, tapi Mimi dibawa mereka ke hutan. Aku menyusul mencari, tak mempedulikan tubuhku yang lebih mendekati mati daripada hidup itu. Akhirnya kudapat menemukan isteriku yang kucintai itu. Tapi dalam keadaan bagaimana?"
Ho Jin memandang kawan-kawannya seorang demi seorang.
"Ia telah mati! Ya, saudara-saudara, isteriku, Mimiku yang tercinta itu telah mati dalam keadaan yang sangat menyedihkan"
Ho Jin berhenti bercerita, menutupkan matanya dan menghela napas dalam-dalam. Pendengar-pendengarnya tiada yang membuka mulut, mereka menghormati kenang-kenangan sedih dari kawannya itu.
"Saudara-saudara, tak perlu kiranya kujelaskan. Tentu saudara-saudara mengetahui atau dapat menduga mengapa isteriku mati dalam keadaan demikian. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hatiku. Kupeluki mayat Mimi dan aku jatuh pingsan di sebelah mayatnya untuk berjam-jam karena sedih, sakit hati dan badan. Setelah aku tersadar, hari telah gelap. Kuangkat mayat Mimi dan kukuburkan dengan sederhana. Sejak saat itu hatiku dipenuhi kebencian. Kebencian yang dahsyat dan sakit hati yang mendalam. Aku harus membalas dendam. Tapi kepada siapa?"
"Saudara-saudara, kalau hanya barang-barangku saja yang dihabiskan, aku takkan bersedih benar. Takkan sehebat itu sakit hatiku seperti ketika aku kehilangan Mimi. Dan penghinaan kepada tubuh isteriku itu Ah, pikiranku menjadi gelap, pertimbanganku patah oleh kedukaan yang hebat. Aku menjadi tersesat. Aku hanya ingin menjadi kaya-raya. Tak peduli dengan jalan apa. Aku lalu menjadi penyebar uang palsu. Uang palsu Jepang kusebar semau-mauku. Seperti tadi telah kukatakan, aku menjadi gelap mata dan pikiran. Tak kupeduli siapa yang akan menderita akibat pekerjaanku yang terkutuk itu. Aku benar-benar menjadi kaya raya. Jauh lebih makmur daripada ketika jaman Belanda. Tapi kebahagiaanku musnah. Aku bermain gila. Tidak ada kejelekan yang tak kukerjakan. Melacur, berfoya-foya, berjudi. Segala! Ya, aku, orang lemah iman ini, batinku dibutakan oleh rasa duka kehilangan Mimi. Aku bermain gila. Tidak ada kejelekan yang tak kukerjakan, tak kudengarkan. Aku nekat. Pada pikiranku kematian bukan apa-apa bagiku, itu hanya akan mempercepat perjumpaanku dengan Mimi."
"Kemudian datanglah revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Tapi semua itu tidak merobah kelakuan. Kini uang republiklah yang kupalsukan. Aku maklum bahwa itu adalah perbuatan yang jahat, tapi aku tidak peduli. Akhirnya aku tertangkap. Aku tidak peduli lagi. Nasihat-nasihat keluargaku yang dekat hukum mati, demikian pikirku ketika tertangkap. Atau setidak- tidak aku akan disiksa. Aku mengakui segalanya. Tapi ternyata... aku diperlakukan dengan baik Hanya dihukum tujuh tahun!! Aku heran. Tak kusangka aku akan menemui kebijaksanaan seperti itu. Kukira tadinya semua orang akan memperlakukan padaku, sejahat perampok-perampok itu. Aku mulai bimbang, mulai timbul pertimbanganku. Dan setelah aku berjumpa dan bergaul dengan saudara-saudara, barulah aku tersadar."
Ho Jin menghela napas dalam-dalam dan memandang kepada kawan-kawannya untuk melihat bagaimana sikap mereka. Tapi Mangun hanya mengepul-ngepulkan asap rokoknya. Slamet bertopang dagu. Dadang menggigit-gigit kuku jari, dan Yitna memandangnya dengan kasihan. Baru ia berani melanjutkan ceritanya,
"Aku insyaf akan kesesatanku. Bukan aku saja yang menjadi korban peperangan. Dimana ada perang, disana tentu timbul bermacam-macam kehancuran dan kekacauan. Orang-orang jahat mengacau, mendapatkan ketika baik. Dan bukan di Indonesia saja, dimana-mana di seluruh dunia ini terdapat pula orang-orang jahat dan pengacau seperti itu. Dan juga bukan hanya dilain-lain negeri terdapat orang-orang terpelajar dan berbudi, di Indonesia pun banyak.
"Kini aku yakin akan hal ini. Aku menjadi malu, malu sekali. Malu kepada Indonesia, dimana aku diiahirkan dan dibesarkan. Malu kepada Tiongkok, dimana nenek-moyangku yang menurunkanku tinggal. Dan yang lebih-lebih sekali, aku malu kepada Mimiku. Ia tentu menangis sedih melihat suaminya menjadi rusak dan hina. Ah, kalau saja Mimi masih hidup, tentu takkan begini kesudahannya."
Ho Jin tak dapat menahan pula kesedihannya dan segera menutup mukanya dengan kedua tangannya, menangis. Kawan-kawannya, lebih-lebih Yitna menjadi sangat terharu. Mangun memegang pundak Ho Jin.
"Sudahlah, Jin. Setiap orang pernah bertindak keliru dalam hidupnya. Engkau masih muda. Sekeluarmu dari sini, masih banyak tempo bagimu untuk menebus dosa. Engkau dapat berbuat banyak guna kebaikan masyarakat dan pemerintah."
Setelah dihibur-hibur, Ho Jin tenang kembali.
"Nah, sekarang engkau, Dang, giliranmu bercerita,"
Berkata Mangun.
"Ah, aku malu menceritakan,"
Berkata Dadang. Kawan-kawannya tertawa, juga Ho Jin wajahnya mulai terang kembali.
"Lihat anak perawan ini, kemalu-maluan disuruh kawin,"
Menggoda Mangun. Mereka mendesak dan dengan wajahmerah Dadang mulai bercerita,
"Aku dihukum karena... lari dengan gadis kekasihku."
Kawan-kawannya tertawa kembali, kini Ho Jin pun ikut tersenyum.
"Teruskan, teruskan"
Mendesak Mangun.
"Aku mempunyai seorang kecintaan, anak gadis kepala kantorku. Tapi orang tua gadis itu tak menyetujui karena mereka adalah masih keturunan Raden Mas dari Solo, sedangkan aku hanya seorang pegawai kecil, lagi keturunan Sunda biasa bukan menak. Tapi, Yati kekasihku itu mencinta pula padaku dan tidak mempedulikan segala keningrat-ningratan. Akhirnya kami berdua mencari akal, karena ternyata Yati dipaksa hendak dikawinkan dengan lain orang, seorang Raden pula dan calon dokter. Kami bermufakat untuk lari bersama-sama. Setelah minggat selama seminggu, Yati pulang dan mengaku bahwa telah menjadi isteriku, walaupun belum syah."
Kawan-kawannya tertawa pula, kini lebih keras.
"Dan engkau... sudah... ?"
Bertanya Mangun. Dadang menggelengkan kepala.
"Tentu saja belum! Kami hanya bersiasat. Kami takkan melanggar kesopanan Timur yang menjadi pusaka tiap pemuda Indonesia. Ketika Yati pulang, akupun mengantarkannya. Ayahnya marah, hampir aku dipukulnya, tapi tidak jadi. Barangkali takut melihat tubuhku yang nampak kuat ini. Ibunya menangis seperti seorang anak nakal minta dibelikan es. Lalu aku dituntut dan masuk penjara."
"Dan kalau engkau sudah bebas, bagaimana"
Dadang memandang kepada kawan-kawannya dan tersenyum gembira
"Kawin dengan Yati!"
Semua tertawa kembali dengan ramai dan Ho Jin bahkan memukul-mukul bahu Dadang dan berkata,
"Engkau hebat!"
Yitna pun tertawa gembira. Tapi diam-diam ia berpikir. Cerita Dadang itu hampir sama dengan keadaannya sendiri. Ratna dan ayahnya. Bagaimana kalau ia meniru siasat Dadang? Tapi sekarang tidak mungkin. Ia sudah menjadi orang hukuman. Dan Ratna? Ratna seorang gadis cantik terpelajar dan kaya pula, pantaskah dilarikan Ratna tentu akan menolaknya. Dan ia sendiripun masih ragu-ragu apakah pelanggaran macam itu benar. Malam itu Yitna gelisah tak dapat tidur. Wajah Ratna terbayang jelas jika ia menutupkan matanya dan suara Ratna berkemandang di telinganya. Akhirnya, menjelang pagi ia tertidur juga, penuh dengan impian tentang Ratna.
"Aku lebih jahat daripada kamu semua,"
Berkata Slamet memulai riwayatnya. Semua mata memandangnya agak tak percaya. Mana bisa seorang pemuda sehalus Slamet gerak-geriknya itu menjadi seorang yang sangat jahat. Slamet maklum akan pandangan kavan-kawannya dan menghela napas.
"Benar, saudara-saudara. Aku adalah seorang jahat. Seorang pengacau negara yang gila karena iri hati dan karena kebodohan mudah ditipu orang. Aku dimasukkan penjara karena menjadi anggota gerombolan."
Ia diam memandang kawvan-kawannya kembali. Mereka memandang keheranan.
"Aku menjadi anggota gerombolan "Membalas Sakit Hati"
Yang disingkat "MSH."
Dahulu aku adalah seorang pejuang dikala revolusi empat puluh lima. Tapi setelah Indonesia Merdeka, dan diadakan penyortiran dikalangan tentara, aku dan beberapa orang kawanku dipecat karena buta huruf.
"Setelah dipecat aku menjadi kecewa dan bingung. Mau bekerja, bekerja apa? Aku tidak berpengalaman, sedangkan untuk bekerja kasar aku merasa malu. Masak seorang bekas tentara pejuang menjadi kuli. Untuk bekerja halus aku tak mampu. Hidupku makin sukar. Lebih-lebih sedih hatiku ketika aku berjumpa dengan seorang gadis yang menarik hatiku. Tapi ia miskin seperti aku pula. Perasaanku terhadap ia hanya terkurung di dalam hati. Tak berani aku meminangnya. Karena uang tiada. Keluargaku hanya seorang ibu yang sudah tua. Kemudian ibuku meninggal dunia. Aku demikian mskin sehingga untuk penguburan jenazah ibuku pun baru dapat dilakukan setelah mendapat sumbangan dari beberapa orang tetangga. Pukulan kedua menghancurkan benar-benar hatiku, yaitu ketika gadis pujaanku itu diserobot dan dikawin orang lain."
"Telah ada usaha dari Persatuan Bekas Pejuang di kotaku untuk menolongku dengan menjual gambar atau mencari pemasangan iklan. Aku berjalan dari kota ke kota. Membekal beberapa buku bacaan, majalah dan sebuah buku tulis untuk mencatatkan sumbangan-sumbangan dan pemasangan iklan. Beberapa bulan lamanya usaha ini baik juga hasilnya. Sambutan masyarakat, terutama toko-toko dan perusahaan-perusahaan amat baiknya. Penghasilanku, yakni kelebihan uang yang kusetorkan ke pusat, cukup kupakai makan dan membeli pakaian. Dari pemasangan iklan kumendapat keuntungan dua puluh lima persen. Lumayan juga."
"Tapi sayang, itu tak berjalan lama. Beberapa bulan kemudian tak seorangpun mau membeli buku, jangan katakan memasang iklan."
Ia berhenti dan menghela napas. Matanya bersinar menunjukkan kekesalan dan kemarahan.
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa"
Yitna bertanya. Ia heran mendengar cerita ini. Belum pernah ia mendengar hal-hal demikian.
"Karena kecurangan beberapa orang jahanam! Kalau tadinya masyarakat menerima usahaku dengan senyum senang melihat usaha bekas pejuang yang jujur, akhirnya masyarakat menerima kedatanganku dengan pandangan membenci dan tidak percaya. Begini, saudara-saudara, usaha seperti yangkujalankan itu, lama-kelamaan banyak pula dilakukan oleh bekas-bekas pejuang seperti aku. Tapi itu tidak mengapa, yang celaka sekali, pemuda-pemuda malas dan bajingan-bajingan mengaku bekas pejuang dan menjalankan pula pekerjaan itu."
"Aku pernah melihat seorang pemuda berusia kira-kira dua puluh tahun berjalan meminta sumbangan dan mengaku bekas pejuang,"
Berkata Ho Jin.
"Padahal ketika revolusi meletus ia paling banyak baru berusia delapan tahun."
"Ya, begitulah,"
Slamet melanjutkan ceritanya.
"itu sebenarnya tidak mengapa. Yang mendatangkan celaka dan mematikan mata pencaharianku yakni beberapa orang yang mengaku bekas pejuang itu bertindak seakan-akan penjahat atau perampok. Mereka meminta dengan ancaman dan paksaan. Dan juga pemasangan-pemasangan iklan yang sudah terbayar itu tak pernah dimuat karena memang mereka itu kolportir-kolportir palsu. Nah, sejak manusia-manusia begini ini berkeliaran, maka orang tak suka lagi menerima dan membantuku. Yang pernah menjadi korban kehilangan kepercayaan kepada semua pemungut iklan dan akupun tidak dipercaya lagi. Pakaian kami habis dimasukkan ke perut."
"Gara-gara korupsi lagi,"
Mencela Mangun.
"Ya, memang itupun merupakan korupsi setengah penipuan. Karena keadaan yang makin sukar itu, timbul kembali rasa sedih hatiku yang dulu. Mengapa aku tersia-sia?"
"Nah, ketika rasa penasaran dan sengsara di dalam hatiku sedang memuncak, aku berjumpa dengan seorang kawanku seperjuangan dulu. Ia telah menjadi sersan gerombolan "MSH."
Dibujuk-bujuknya aku, dibakarnya hatiku, dan kemudian diberinya aku janji-janji indah. Aku tertarik, lebih- lebih ketika ia memberikan uang dan pakaian kepadaku. Uangnya banyak benar, membayangkan kemakmuran hidupnya. Tak mengerti aku darimana ia memperoleh uang sebanyak itu.
"Sejak hari itu, aku masuk menjadi anggota gerombolan. Merampok, membakar rumah, pendeknya, mengacau negara. Dalam hati kecilku aku berkeyakinan bahwa yang kukacau itu bukannya negara Indonesia yang kucinta, tapi adaIah bapak-bapak gemuk makmur yang tidak mempedulikan nasib rakyatnya."
"Tapi lama kelamaan aku melihat beberapa gejala-gejala yang tidak sehat di dalam gerombolanku. Pembunuhan rakyat yang tak berdosa, hanya berdasarkan sentimen perseorangan. Dan lebih kecewa lagi aku ketika timbul kecurigaanku bahwa kapten kami rupa-rupanya mempunyai hubungan dengan pengacau Belanda. Aku bimbang ragu. Lebih-lebih ketika kumendengar suara radio dimana Bung Karno berpidato."
"Dimana engkau dapat mendengarkan radio"
Menanya Dadang.
"Di hutan. Kami merampas sebuah radio dengan accunya. Setelah mendengar pidato Bung Karno yang sejak dahulu kuanggap satu-satunya pemimpin sejati yang kuketahui, aku lalu timbul keinginan hendak lari, kembali ke masyarakat seperti yang dianjur-anjurkan oleh Bung Karno. Tapi aku tidak berani, takut akan pembalasan kawan-kawanku, dan pula bayangan-bayangan kesengsaraan di kota tanpa pekerjaan membimbangkan kehendakku.
"Akhirnya, aku dan beberapa orang kawanku terjebak di dalam perangkap T.N.I. Banyak kawan-kawanku mati. Aku dan beberapa orang kawan tertangkap. Sekarang aku menyesal. Setelah mendapat nasehat-nasehat dari mayor yang menemuiku ketika aku tertangkap, aku menjadi insyaf akan kesesatanku. Lapangan pekerjaan banyak bagiku, asal aku mau bekerja. Biarpun pekerjaan kasar."
"Memang tiada pekerjaan yang hina,"
Berkata Yitna.
"Tapi, bagaimana juga, seperti telah kukatakan di depan mayor itu, aku belum puas melihat perhatian pemerintah yang masih sangat kurang terhadap pemuda-pemuda terlantar seperti aku ini."
Mangun yang sejak tadi mendengarkan sambil menundukkan kepala, berkata dengan suaramenghibur,
"Sabarlah, Slamet, Kuatkan imanmu. Jangan mudah pengaruh oleh bujukan jahat. Engkau masih muda. Tenagamu masih kuat. Mudah bagimu untuk mencari pekerjaan."
"Tapi aku tak berkepandaian,"
Jawabnya menghela napas.
"Kedua lenganmu masih kuat. Dan banyak orang yang lebih bodoh dan lebih lemah daripadamu dapat juga bekerja."
Slamet menunduk.
"Mungkin engkau benar."
Kelima orang itu berdiam diri, masih terpengaruh oleh cerita Slamet yang mengecewakan hati itu. Lalu Ho Jin berkata sambil tersenyum,
"Nah, kawan-kawan. Sekarang kita telah mengerti keadaan masing-masing. Setiap orang mempunyai kekecewaan dan kesengsaraan sendiri. Lihat Yitna ini. Tak bersalah apa-apa, namun di penjara juga! Memang hidup ini banyak kekecewaan. Banyak kepalsuan. Tapi, marilah bergembira, tak perlu engkau bermuram durja, bung Slamet."
Kemudian Ho Jin membuka bungkusan hantaran saudaranya siang tadi.
"Ini, kue masih ada. Hayo kita makan. Masih adakah tehnya, Dang?"
Dadang berdiri lalu pergi mengambil tempat air teh dan menyediakan cangkir yang hanya ada dua buah itu untuk kawan-kawannya dan ia sendiri. Mereka makan kue, minum teh sambil bercakap-cakap sampai jauh malam.
* * *
"Daryo menginjak rem prahotonya dan mengoper persneling. Dan prahotonya berhenti di pinggir jalan dan ia keluar menemui polisi lalu lintas yang menyetopnya. Daftar angkutan barang telah siap ditangannya.
"Selamat pagi, pak."
Salamnya.
"Pagi. Muat apa ini?"
"Biasa saja, pak,"
Katanya sambil menyerahkan daftar angkutan. Lalu ia pergi memeriksa ban belakang dan berjongkok.
"Ban kiri agak kempis, Na."
Katanya kepada keneknya. Yitna segera menghampiri.
"Tadi sudah ditambah angin, mas Daryo,"
Katanya membela.
"Bawa berapa ton, bung"
"Paling banyak empat ton, pak. Barang ringan sih..."
Polisi itu membungkuk memeriksa per.
"Mana bisa empat ton. Pernya sampai melengkung gitu."
"Betul pak, hanya empat ton. Pernya memang sudah lemas sih..."
Setelah memeriksa barang-barang angkutan dan mencocokkan dengan daftar angkutannya, polisi itu mengembalikan daftar angkutan kepada Daryo.
"Terima kasih, pak,"
Berkata Daryo.
"Hayo, Na. Sudah siang ini!"
Yitna meloncat ke belakang prahoto dengan cekatan dan duduk di atas sebuah peti muatan dengan memegangi tali yang besar kuat itu. Prahoto berjalan lagi. Suara mesinnya menderu-deru karena diberi gas sebanyak-banyaknya oleh Daryoyang ingin meninggalkan tempat itu secepat-cepatnya. Prahoto berjalan dengan kencangnya. Yitna melanjutkan lamunannya yang tadi telah terganggu oleh penyetopan itu.
Telah lima bulan semenjak keluar dari penjara ia bekerja sebagai kenek di Perusahaan Angkutan "Hasil"
Dan diperbantukan kepada Daryo. Ia keluar dari penjara meninggalkan Mangun, Ho Jin dan dua orang baru yang menggantikan tempat Slamet yang telah keluar setahun yang lalu dan Dadang yang telah keluar lebih dulu pula. Setibanya di luar penjara, ia merasa seakan-akan terlahir kembali. Ia bingung. Sebuah kopor terisi pakaian dan uang sebanyak seratus rupiah adalah kawan satu-satunya. Semua itu dikirimkan oleh Pak Harjo ketika ia masuk penjara. Hendak kembali ke Solo, ia malu. Kemudian ia mengelilingi kota Semarang mencari pekerjaan dan akhirnya ia diterima di Perusahaan Angkutan "Hasil"
Itu. Pekerjaannya berat. Sangat berat. Kadang-kadang pada jam sembilan malam ia masih terayun-ayun di atas truk.
Jam lima pagi sudah harus siap untuk jalan lagi. Hidupnya hanya dilewatkan di sepanjang jalan antara Semarang dan Jakarta tiap harinya. Tapi penghasilannya lumayan juga. Gaji seratus lima puluh rupiah. Uang makan sehari se puluh. Dan pembagian uang catut dari Daryo kadang-kadang sampai dua puluh lima. Boleh juga! Tapi itu semua belum begitu menggirangkan hatinya seperti apa yang ia dapatkan dari pengalamannya. Daryo baik hati. Ia diberi kesempatan belajar mengemudi. Kini ia telah pandai menyopir. Prahoto chevrolet yang membawa muatan enam ton mudah saja ia jalankan. Kadang-kadang, dan ini sering terjadi, kalau merasa lelah dan mengantuk karena malam habis bermain-main dengan perempuan jalang semalam penuh, Daryo memanggilnya duduk di depan dan ia disuruh menggantikan menyopir.
Daryo pula yang menolongnya sehingga ia dapat mengikuti ujian untuk mendapatkan Kartu Pengemudi. Sebetulnya, menurut peraturan, sebelum mengikuti ujian B-satu, ia harus mempunyai rijbewijs A terlebih dulu. Tapi karena Daryo mempunyai hubungan baik dengan orang-orang atasan, dapat juga Yitna mengikuti ujian itu. Ia harus mengeluarkan uang lima ratus rupiah. Habis perkara, tak banyak cekcok. Kemarin ia telah mengecap jari di atas Kartu dan seminggu lagi ia akan menerimanya. Lalu ia akan menjadi sopir seperti Daryo! Yitna merasa dirinya sudah maju. Calon sopir! Dan ia tahu betapa baiknya penghasilan seorang sopir. Gajinya memang tidak besar. Paling banyak empat ratus rupiah dan uang makan paling banyak dua puluh lima rupiah sehari. Tapi catutannya! Ia mengerti pula bahwa seorang sopir seperti Daryo itu sedikitnya dapat menerima penghasilan seribu lima ratus rupiah sebulan.
Tentu saja uang itu habis tak keruan bagi Daryo karena seperti kebanyakan sopir-sopir lain, Daryo mudah sekali menghambur-hamburkan uang di hotel-hotel. Tapi aku tidak demikian pikirnya. Akan kuperhemat. Kumpul-kumpulkan uang dan kalau sudah banyak lalu... lalu... Tiba-tiba prahoto dihentikan dengan tiba-tiba. Yitna harus kuat-kuat memegang tali agar tak sampai terbanting keluar. Segera ia meloncat turun. Ternyata di depan truk ada sebuah mobil hitam. Yitna mengenal mobil itu yang terkenal diantara sopir-sopir sebagai harimau pengangkutan. Lalu lintas! Mereka tercegat di tapal batas kota Pekalongan. Dua orang berpakaian putih dengan garis-garis kuning di bahu turun dari mobil dan pergi mendapatkan sopir. Daryo nampaknya tenang-tenang saja. Dua buah prahoto lain telah berhenti pula di situ.
"He, kenek! Coba bantu angkat timbangan ini!"
Memerintah seorang dari mereka. Yitna lari menghampiri dan bantu mengangkat timbangan. Prahoto "Hasil"
Ditimbang. Setelah menghitung-hitung, ternyata kelebihannya satu setengah ton dari maksimum muatan yang dipergunakan
"Wah, berat benar muatanmu, pak,"
Berkata seorang pemeriksa yang berkacamata.
"Ya, tuan. Karena kepalang sih... Barang muatan ini hanya satu party dan pemiliknya meminta barangnya dimuat sekaligus. Terpaksa saya angkut semua."
Seperti biasa Daryo menggunakan alasan ini.
"Mana nummerbewijs"
Inspektur Lalu-lintas itu berkata.
"Wah, diteruskan sajakah, pak?"
Menanya Daryo dan lupa sebutan tuan. Tapi ia masih tersenyum-senyum, matanya memandang penuh harapan minta diampuni.
"Tentu"
Jawab yang ditanya. Nummerbewijs diberikan dan ia mendapat sehelai tanda penerimaan sebagai gantinya. Lalu ia naik kembali, dan setelah mengangguk memberi hormat. truknya melanjutkan perjalanan memasuki kota Pekalongan. Peduli amat, dendanya toh akan dibayar oleh majikan Setelah mengisi bensin dan angin untuk ban, Daryo mengajak Yitna berhenti makan di warung langganannya. Warung itu disuka benar oleh para sopir, karena pelayannya seorang gadis genit. Cantiknya tak seberapa, tetapi genitnyalah yang terutama sekali membikin warung ibunya laku keras. Gaya penariknya hanya terletak kepada kebusungan dadanya yang tinggi. Senyumnya murah, tidak semahal nasi ramesnya. Tahu menerima kata-kata sindiran yang berarti. Pandai pula membalas olok-olok dengan kata-kata yang penuh sindiran genit.
"Wah, engkau makin cantik saja, Yem. Seperti mawar merah waktu pagi. Sayang banyak durinya,"
Menggoda Daryo. Kadang-kadang Yitna heran melihat Daryo sedemikian berani dan pandainya bila berhadapan dengan wanita. Tentu karena pengalamannya, pikir Yitna. Setahunya, Daryo beristeri dua orang. Seorang di Semarang, yakni ibu dari empat orang anaknya, isteri pertama. Dan seorang pula di Jakarta, seorang perempuan muda genit dan cantik yang didapatnya memungut dari pinggir jalan. Belum lagi di jalan-jalan sering benar Daryo bermain gila dengan perempuan lain. Inikah gerangan yang membuat ia demikian pandai berlagak di depan wanita
"Mas Daryo"
Menegus Wagiyem dan segera gadis itu melepas kerling matanya yang lebar berikut senyumnya yang dapat menjatuhkan hati setiap langganannya.
"Engkau baru tiba? Kusangka masih pulas di Jakarta. Maklumlah, enak benar tidur di Jakarta, biar hawanya panas kaya neraka, tapi bagimu sorga belaka!"
Terdengar suara ketawa beberapa orang sopir yang sudah berada di situ sejak tadi.
"Memang, mas Daryo pemah berkata bahwa baginya hawa di Jakarta itu terlampau dingin, hingga biarpun sudah berselimut tebal masih juga kedinginan,"
Menggoda seorang sopir bernama Mijan. Sopir truk "Berkah"
Dari Semarang juga, dan truknya pada ketika itupun berada di depan warung.
"Aah, engkau bisa saja, Jan. Yang kuherankan, mengapa kembang seindah ini belum juga ada yang memetiknya, ya?"
Kembali ia menggoda.
"Sayang kembang indah terpetik oleh tangan yang kurang pandai merawatnya,"
Menyambung Wagiyem dengan masih tersenyum.
"Aduuh lagaknya! Minta ditempatkan dimana? Kalau roda trukku masih dapat berputar, aku sanggup mengadakan tempat yang terindah untuknya,"
Menyindir Daryo.
"Bagaimana juga, yang berbicara itu sudah memelihara dua tiga kembang."
"Apa salahnya? Biar kutambah dengan setangkai mawar lagi biar lebih sedap dipandang dan harum dicium."
Kembali mereka tertawa gembira.
"Kumbang selalu pandai berlagak, tapi sangat berbahaya,"
Membalas Wagiyem.
"Jangan cemberut, Yem. Tolong siapkan dua piring rames. Perutku sudah lapar benar. Yang pedas, ya? Sini Na, jangan diluar saja."
Yitna masuk dan duduk di dekat Daryo.
"Pemuda cakap ini betul-betul masih jejaka, Yem. seratus persen tulen. Ia pemalu dan nampaknya lemah, walau sebenarnya tenaganya melebihi kerbau."
Wagiyem mengerling dan tersenyum kepada Yitnayang menunduk malu.
"Wagiyem lebih menyukai yang sekuat kuda daripada kerbau."
Menyindir seorang sopir dengan olok-oloknya. Wagiyem tersenyum saja. Setiap menghadapi olok-olok yang agak kasar ia tak pernah marah. Tapi ia tidak mau melayaninya sehingga akhirnya yang berolok-olok berhenti dengan sendirinya.
"Ia boleh diadu dengan kuda sekalipun,"
Memuji Daryo.
"Coba saja, kemarin dulu di Bekasi aku hampir dikeroyok mati oleh pencoleng karena seorang diantaranya kutempeleng ketika ia hendak menyerobot tasku. Dan apa yang diperbuat oleh Yitna."
Yitna menyentuh lengan Darjan.
"Aah... tak perlu diceritakan hal itu, mas."
"Teruskan, mas Daryo! Teruskan. Aku ingin sekali mendengarnya."
Daryo memandang kepada Yitna dan matanya berkata,
"Tidak apa-apa. Seorang diantaranya, yakni kepalanya, bercambang galak berkata.
"Kamu berani memukul orangku"
Sikapnya sangat menakutkan, tapi aku tidak takut. Sebelum aku menyahut, Yitna melangkah menghalangi di depanku dan berkata,
"Orangmu hendak mencuri, tentu saja dipukul!"
Kepala pencoleng memandang Yitna dengan marah dan menghardik,
"Pergi kamu atau akan kupatahkan batang lehermu"
Anak muda inimenantang,
"Cobalah!"
"Nah, lalu tanpa berkata apa-apa, kepala pencoleng itu menyerang kearah leher Yitna hendak mencekik. Dan, apa yang dilakukan oleh Yitna."
Daryo diam menghirup tehnya. Orang-orang makin tertarik, tapi Yitna beberapa kali menjentuh kaki Daryo menyuruh diam.
"Yitna lalu berkelit dengan berjongkok dan dari bawah melayangkan tinjunya yang kuat keras menghantam perut lawan. Terdengar suara "hek"
Dan kepala pencoleng kumisan itu jatuh tersungkur. Tak dapat bangun kembali. Hanya berduduk mengaduh-aduh dan memegangi perutnya. Rupa-rupanya usus buntunya kena benar. Kawan-kawannya mengeroyok, tapi kami berdua lalu mengamuk. Lebih-lebih Yitna. Diangkatnya seorang daripada mereka ke atas dan dilontarkannya kearah kawan-kawannya, bagaikan kamu orang melontarkan seekor kucing ringannya. Mereka lari tunggang langgang. Tak seorangpun yang tak makan pukulan kami. Memang, anak muda ini jagoan benar!"
Semua mata memandang kepada Yitna dengan kagum. Yitna tunduk saja, ia merasa malu karena sesungguhnya Daryo amat menyombong tadi. Tak diceritakannya bagaimana sebelah mata Daryo menjadi bengkak biru dan bibir Yitna berdarah di dalam perkelahian itu. Tapi ia tak mau mengecewakan Daryo dengan membantah.
"Kelihatannya pendiam tapi..."
Berkata Wagiyem dengan kagum dan memandang Yitna dengan mesra.
"Diam-diam air dalam..."
Meneruskan Mijan.
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah orangnya yang pantas memetik mawar warung ini..."
Menggoda sopir kasar tadi yang segera diam kembali ketika Yitna memandangnya.
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo