Karena Wanita 5
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Chevrolet baru, nak Yitna?"
"Ya, pak. Mobil NV."
"Ah, engkau telah maju benar. Syukur, nak."
Ratna dengan tak berkata apa-apa pergi masuk ke dalam. Harjo lalu menanyakan riwayatYitna sejak meninggalkan mereka, dan Yitna lalu menceritakan pengalamannya dengan ringkas. Akhirnya pembicaraan Harjo menuju ke soal pokok.
"Seperti telah kukatakan, nak, aku akan merasa seperti menebus dosa kalau engkau suka mengikat kembali rantai yang kupatahkan dahulu."
"Maksudmu... melamar Ratna, pak? Tapi, apakah Ratna setuju"
"Hal itu sudah terang bagiku. Pokoknya, bagaimana pikiranmu, nak"
"Sebenarnya, pak. Cintaku kepada dik Ratna tak pernahhilang. Hanya aku masih ragu-ragu, apakah ia masih... mau menerimanya. Sikapnya kepadaku meragu-ragukan."
"Baiklah kita berterang-terangan saja, nak. Aku ingin mendapat kepastian secepatnya. Setujukah engkau kalau ia kupanggil?"
Yitna mengangguk. Tapi Harjo tak perlu memanggil, karena pada saat itu Ratna keluar dari dalam membawa nampan terisi cangkir minuman dan piring makanan yang lalu diaturnya di atas meja. Tapi sedikitpun ia tidak memandang kepada tamunya. Bibirnya dirapatkan, sikapnya ditenangkan.
"Ratna, duduklah."
"Perlu benarkah itu, ayah?"
"Duduklah, nak. Aku hendak berbicara penting padamu."
Ratna duduk di sebelah kanan Yitna dan memandang kepada ayahnya dengan mata menanya. Yitna tunduk saja.
"Ratna, tak perlu aku berpanjang cerita. Kita sama-sama mengetahui apa yang telah terjadi. Engkaupun tahu betapamulia nak Yitna telah berbuat akan guna kita. Sekarang... nak Yitna ingin menyambung kembali tali pengikat kamu berdua yang terputus dahulu."
Ratna hendak membuka bibir membantah, mukanyamerah, tapi ayahnya segera mengangkat tangan.
"Nanti dulu, Rat. Jangan memotong. Dengarkanlah dulu sampai habis. Aku tahu bahwa kamu berdua dahulu saling mencinta dan nak Yitna sekarang pun masih mencinta padamu. Maka, sekarang terserah kepadamu, Rat. Biarlah kamu membicarakan soal ini berdua."
Ia bangun berdiri hendak meninggalkan mereka, tapi Ratna segera ikut berdiri dan berkata kaku,
"Aku... dengan bekas... pencuri?"
Tiba-tiba ia menangis dan akan berlari masuk.
"Ratna, jangan pergi!"
Berkata Yitna tiba-tiba. Suaranya tetap dan keras. Ratna menengok heran mendengar suara yang memerintah itu.
"Pak Harjo. Sekarang aku menuntut kepadamu untuk menceritakan hal pencurian dahulu itu sebenar-benarnya."
PakHarjo duduk kembali, dan Ratna makin heran dan iapun duduk mendengarkan.
"Tentang... pencurian? Apa maksudmu, Yit?"
"Tiada gunanya bapak menyembunyikan hal ini lebih lama pula. Ternyata Ratna masih mencurigai padaku. Menyangka bahwa sungguh-sungguh aku yang melakukan pencurian itu. Seharusnya bapak telah menceritakan hal itu kepadanya. Dengarlah, pak. Aku telah berjumpa dengan Tarmi dan tentang pencurian buatan itu..."
Pak Harjo memotong,
"Ya, ya... Yit. Aku akan menceritakan."
Ia memandang kepada anaknya dengan muka kemerah-merahan.
"Ratna, ayahmu telah berbuat dosa besar kepada Yitna. Dan... kepadamu juga, nak. Dulu ketika aku mengetahui bahwa engkau dan Yitna saling mencinta, aku merasa tidak senang sekali. Siapakah orangnya yang suka melihat anaknya bercinta dengan tukang kebun? Lalu timbul niatku untuk menceraikanmu berdua dan untuk membikin engkau membenci Yitna. Maka, pencurian itu adalah... perbuatanku, Rat. Aku yang melakukan pencurian itu."
Ia menghela napas.
"Yitna tak bersalah, dan ia telah terhukum dua tahun. Aku menyesal. Aku menyesal, Rat, tapi semua itu telah terjadi. Dan, dengan melupakan fitnahanku dahulu, Yitna bahkan telah menolongku. Aku maklum, ini semua adalah karena cintanya kepadamu. Maka, pengharapanku sekarang hanya ingin melihat kamu berdua dapat hidup beruntung bersama-sama."
Ia berdiri perlahan dan meninggalkan mereka. Ratna sejak mendengarkan ayahnya telah duduk diam bagaikan patung mati. Yang nampak bergerak hanya air mata yang mengalir turun membasahi pipinya.
"Engkau sekarang mengerti, Rat?"
Bisik Yitna. Tiba-tiba Ratna menjatuhkan diri berlutut di depan Yitna dan menangis.
"Yitna... maafkan aku dan ayah..."
"Tiada yang harus dimaafkan, Rat. Peristiwa itu bahkan mendatangkan untung padaku. Telah sejak mula-mula aku tidak menyesal."
Harjo berjalan masuk dan duduk di kursinya kembali.
"Nah, Rat. Engkau sudah mengerti dan yakin benar sekarang akan kemuliaan nak Yitna?"
Ratna yang telah duduk kembali dan masih menghapus-hapus matanya dengan sapu tangan hanya mengangguk.
"Dan... dan kauterimakah lamaran Yitna?"
Ratna memandang kepada Yitna yang tersenyum. Kembali ia mengangguk, tapi kerutan kulit diantara alisnya yang kecil tebal itu tak lepas dari pandangan Yitna. Harjo nampak girang.
"Demikianlah baru puas rasa hatiku. Nak Yitna, jangan lama-lama ditunda. Lebih cepat perkawinan dilangsungkan, lebih baik. Bukankah begitu, Rat?"
Gadisnya hanya tunduk memerah muka. Yitna pun tidak menjawab, hanya tersenyum bahagia.
"Kalau kalian setuju, kita langsungkan dalam ini bulan juga,"
Berkata Harjo dengan gembira.
"Mengapa begitu terburu-buru, ayah"
"Menanti apa lagi? Engkau sudah berusia dua puluh dua dan nak Yitna berapakah usiamu, nak"
"Dua puluh lima."
"Nah, nak Yitna sudah dua puluh lima. Sudah agak terlambat kedua-duanya. Bagaimana keputusan Ratna."
"Saya menurut saja bagaimana keputusan Ratna."
"Dan engkau, bagaimana, Rat?"
Ratna menjawab perlahan,
"Saya menurut bagaimana keputusan ayah dan mas Yitna saja."
Harjo ketawa keras.
"Bagus... bagus...! Dalam ini bulan juga. Sekarang tanggal dua, nanti tanggal lima belas adalah hari Minggu. Nah, nanti tanggal lima belas saja, nak Yitna."
"Baik, pak. Dan terima kasih."
* * *
Perkawinan mereka berlangsung dengan penuh kegembiraan. Hanya ketidak hadiran ayah bundanya agak mengecewakan hati Yitna. Ibunyamenyurat bahwa ayahnya sedang menderita sakit dan ia tak dapat meninggalkan suaminya. Hanya pesan ibunya, setelah perkawinan dilangsungkan, ia diminta segera datang ke desa membawa isterinya. Sejak upacara di jalankan, Yitna heran melihat sikap Ratna. Dingin dan seakan-akan tidak gembira. Bahkan agak pucat. Tapi keheranan agak terhibur oleh banyaknya tamu dan suara musik yang merdu. Setelah semua tamu pergi dan ia mendapat ketika untuk beristirahat, ia memasuki kamar pengantin. Hatinya berdebar girang dan bau harum menyambutnya ketika ia melangkahkan kaki memasuki kamar itu. Dilihatnya Ratna sudah berbaring ditempat tidur, menghadapi tembok.
"Dik Ratna..."
Bisiknya perlahan. Tiada jawaban.
"Dik... dik Ratna..."
Diulangnya agak keras. Tapi isterinya tetap membisu. Yitnamenukar pakaian dengan baju tidur.
"Dik..."
Kembali ia memanggil dan memegang bahu isterinya. Ternyata Ratna sudah tidur. Maka dengan perlahan iapun mebaringkan diri di belakang isterinya dan mengatupkan mata. Ratna sudah menjadi isterinya. Gadis pujaannya itu kini berbaring di dekatnya. Beruntungkah ia? Senangkah Ratna menjadi isterinya? Yitna tidak ragu-ragu lagi akan cinta isterinya kepadanya. Ia membalikkan tubuh menghadapi punggung Ratna. Dijamahnya rambut yang hitam halus dan harum itu dengan jari-jari menyayang. Tapi, mengapa sejak siang tadi Ratna nampak tidak gembira. Tak sehatkah? Yitna ingin menanya, ingin memeluk, tapi ia tidak mau mengganggu Ratna dari tidurnya. Akhirnya iapun pulaslah di belakang isterinya... Telah tiga hari mereka kawin. Tapi Ratna selalu bersikap dingin dan seakan-akan acuh tak acuh kepadanya.
(Lanjut ke jilid 02c - Tamat)
Karena Wanita (Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02c (Tamat)
Tak pernah mengajak gurau, bahkan jelas sekali nampak usahanya hendak menghindarinya. Yitna makin heran. Perlayanan Ratna sebagai isteri hanya dalam mengatur meja makan dan menyediakan pakaian mandi. Lebih dari itu tiada! Mula-mula ia menganggap bahwa Ratna tentu malu-malu. Tapi ternyata bahwa seakan-akan Ratna ingin menjauhinya selalu. Kesabaran Yitna diuji keras. Setiap malam Ratna tentu mendahuluinya tidur dan seperti dimalam pertama, ia tertidur di belakang isterinya, tak mau mengganggu. Pada malam keempat Yitna sengaja berbaring di tempat tidur sebelum Ratna memasuki kamar. Telah penat ia menanti tapi tak juga Ratna datang. Setelah jam berbunyi sebelas kali, ia kehabisan kesabaran dan lalu pergi keluar mencari. Ternyata Ratna sedang duduk seorang diri di dalam kamar baca. Kepalanya menunduk di atas meja. Menangis.
"Dik Ratna..."
Ratna diam saja.
"Dik, mengapa tidak pergi tidur?"
Ratna mengangkat muka dan memandangnya dengan mata merah.
"Engkau memerintah aku untuk pergi tidur?"
Suaranya kaku.
"Memerintah? Mengapa dik? Aku hanya menanya, dan... mengapa engkau menangis?"
"Bukan urusanmu!"
Yitna terkejut. Apakah artinya ini.
"Eh, mengapa engkau marah, dik? Apa salahku?"
"Aku tidak marah,"
Bantahnya pendek dan lalu pergi menuju ke kamar. Yitna mengikuti dari belakang. Isterinya terus saja naik dan berbaring membelakanginya. Yitna duduk di kursi dekat tempat tidur. Beberapa menit ia tak dapat berbicara. Pikirannya kacau.
"Dik... ada apakah? Mengapa sikapmu begitu? Tidak sukakah engkau menjadi isteriku?"
Ratna diam saja.
"Ratna, bilanglah terus terang. Menyesalkah engkau menjadi isteriku? Tidakkah engkau cinta kepadaku?"
Ratna berduduk cepat mengejutkan.
"Tidak ada soal suka atau tidak bagiku. Aku adalah hambamu. Aku siap untuk menjalani segala perintahmu. Seorang budak belian seperti aku ini akan taat dan tunduk kepada segala perintahmu dan takkan membantah diperlakukan bagaimanapun."
Yitna tersentak berdiri.
"Ratna Apa artinya ini? Budak belian? Apa maksudmu?"
"Bukankah engkau sudah membeli diriku dari ayah? Sudahlah, pcndeknya engkau hendak memerintah apa? Aku siap untuk menjalani perintah tuanku."
"Ratna! Mengapa engkau begini? Bukankah engkau ini isteriku?"
Ia menghampiri dan memeluk. Ratna tak menolak dan tinggal diam dingin di dalam pelukan lengan suaminya.
"Memang aku isterimu. Isteri belian."
Yitna memandang wajah Ratna yang nampak sedih dengan mata tertutup. Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya, turun dari tempat tidur. Hatinya merasa sedih dan pikirannya makin kacau. Lalu timbul kekerasan hatinya.
"Baiklah, Rat. Kalau engkau tidak suka aku berada di sini, aku akan pergi saja. Sekarang juga."
Tanpa berkata-kata lagi ia mengganti pakaian, mengisi kopor pakaiannya dengan pakaian lalu membawa itu keluar. Ia tak menengok pula dan tidak mendengar bisikan Ratna perlahan,
"Oo... mas Yitna..."
Di ruang tengah Harjo memandangnya heran.
"Engkau hendak kamana, Yit? Malam-malam begini hendak pergi?"
"Saya perlu sekali pergi ke Semarang, ayah. Ada panggilan dari NV. Penting sekali, tak dapat ditunda."
Beberapa menit kemudian ia mengendarai mobilnya memasuki pekarangan hotel "Rahayu."
Satu malam yang tak menyenangkan dan penuh impian buruk dideritanya di dalam kamar hotel.
Setiap orang yang pernah meninggalkan kampung halaman tentu pernah merasa betapa rindunya kepada kampung halamannya dikala hati menderita kesedihan. Demikianpun Yitna, perasaan sedih dan bingung membuat ia terkenang dan rindu kepada orang tua dan desanya. Esok harinya, pagi-pagi benar, Yitna mengendarai mobilnya menuju Sragen. Hatinya yang sedih agak terhibur karena pemandangan disepanjang jalan yang membangkitkan kenang-kenangan lampau. Seperti ketika berangkatnya dahulu, ia berhenti mampir di depan pasar dan membeli es sirop. Tiada bedanya Sragen dulu dan sekarang. Pasarnya masih itu-itu juga. Penjual es masih sama.
Kalau akan membicarakan tentang perbedaan, barangkali hanya sikap dan perlayanan penjual es kepadanya yang berbeda. Kini nampak sangat hormat dan peramah. Gara-gara mobil dan pakaiannya, pikir Yitna. Orang-orang perempuan yang keluar masuk meramaikan pasar masih seperti dulu juga. Perempuan desa masih berpakaian serba hitam sawo dan kotor. Bapak-bapak desa masih banyak yang tak berbaju memperlihatkan lengan tangan kurus kuat dan perut besar. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Rejowinangun. Ia tersenyum senang ketika melihat warung nasi Tini masih berdiri di pinggir jalan, seperti dulu juga. Dihentikannya mobilnya dan iapun menghampiri warung yangmeninggalkan kenangan tak mudah dilupakan. Tini menyambutnya dengan malu-malu, matanya terbelalak heran mengapa seorang demikian gagah sudi memasuki warungnya yang kecil bersahaja itu.
"Tolong minta kopi secangkir dan tahu kupat sepiring, dik."
Tini memandangnya dengan hormat, dan permintaan Yitna dilayaninya dengan cekatan. Yitna tersenyum senang. Masih manis gadis ini. Bahkan lebih cantik daripada dahulu. Sudah kawinkah ia? Ah, tentu ia tak dapat membedakan Yitna berdasi mengendarai mobil dengan Yitna berbaju usang berjalan kaki dulu.
"Dik, bagaimana kabarnya dengan pak Singo?"
"Pak Singo"
Tini memandang heran dan ragu-ragu untuk menjawab.
"Ya, pak Singo perampok itu. Masih hidupkah ia?"
Tini mengangguk.
"Masih. Kenalkah tuan kepadanya?"
Yitna tersenyum.
"Kalau luka di kepalanya karena tertimpa botol limunmu dulu itu masih berbekas, tentu akan kukenal ia."
Mata yang lebar jernih itu makin melebar.
"Tuan... tuankah orang muda penolongku dahulu itu? Ya benar, aku mengenalmu sekarang. Engkaulah anak muda gagah itu. Aku tak pernah melupakan, tapi dalam pakaian seperti itu dan.. mobil itu..."
"Memang akulah orang muda petani dulu itu. Dan aku sekarangpun masih sama dengan pemuda dulu itu, dik."
Tini tak dapat berkata-kata, hanya memandangnya dengan makin terheran. Seorang anak laki-laki berjalan terhuyung-huyung dari dalam, tertawa gembira dan mulutnya yang kecil berkata,
"Mbok... mbok..."
Tini mengangkatnya dan menciumi pipinya yang montok.
"Anakmukah itu, dik?"
"Ya, mas. Ayahnya sedang berbelanja ke Sragen."
"Beruntungkah hidupmu"
"Mendapat pangestumu, mas."
Yitna meneguk habis kopinya dan lalu mendekati anak yang digendong ibunya itu. Dipegangnya dagunya, dikeluarkan uang kertas seratus rupiah dari saku dan diberikannya kepada anak itu. Sikecil tertawa gembira dan segera menangkap gambar itu.
"Ah, jangan mas... tak-usah..."
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah, dik. Aku sayang kepada anakmu. Serupa ibunya benar."
."..Terima kasih, mas. Engkau sungguh mulia. Tak berubah sejak dulu."
"Dan engkau makin cantik, dik. Seorang isteri dan ibu yang cantik dan baik. Berbahagialah suamimu."
Dengan hati agak terhibur karena perjumpaan itu, Yitna melanjutkan perjalanannya.
Karena rumah ayahnya berada di dalam sebuah jalan kecil, maka ia menghentikan mobilnya di muka jalan itu. Hatinya berdebar-debar girang. Telah bertahun-tahun ia meninggalkan desanya. Tapi seakan-akan baru kemarin ia pergi. Tidak banyak terlihat perubahan. Rumah pak Wiro di dekat pohon Waringin besar masih tetap kecil dan condong. Heran ia mengapa rumah itu sedemikian tahan menghadapi serangan angin dan hujan. Masih tetap condong namun belum nampak tanda-tanda akan roboh. Ia berhenti tidak jauh dari rumah ayahnya. Dilihatnya ibunya tengah duduk di depan rumah di atas sebuah bale bambu. Sedang mengupas bawang merah rupanya. Rumah gubug dahulu kini telah bertukar bentuk. Dinding papan jati, genting baru, pintu dicat hijau. Dan besar pula. Ia menghampiri ibunya dengan perlahan.
"Mbok..."
Tegurnya. Mbok Kromo menengok kaget dan matanya terbelalak menatap pakaian Yitna, tapi ketika pandangannya beralih ke atas dan bertemu dengan pandangan anaknya, mulutnya bergerak-gerak diantara tawa dan tangis. Matanya yang telah dikelilingi keriput mulai membasah. Jari-jari yang memegang pisau gemetar dan pisaunya dengan tak terasa terlepas jatuh diikuti oleh sebutir bawang merah yang menggelinding seperti gundu. Ia berdiri perlahan dan matanya tak lepas memandang anak muda yang berdiri di depannya. Kaki ibu dan anak bagaikan tertarik maju dengan tak terasa.
"Yitna... anakku... !"
"Mbok... !"
Mereka berpelukan, kedua-duanya mengalirkan air mata terharu dan girang.
"Yitna... engkau anak nakal. Lama sekali aku menanti-nanti kedatanganmu."
Yitna menciumi tangan ibunyayang berbau bawang.
"Maaf, mbok. Engkau sehat-sehat saja bukan"
Ia memandang ibunya dengan penuh perhatian. Hatinya terharu ketika melihat rambut putih telah menghias kepala ibunya di kanan-kiri.
"Mana bapak, mbok"
"Ia disawah. Dan mana mantuku, Yit?"
Hati Yitna terpukul.
"Ia... ia belum dapat ikut, mbok."
"Sayang. Mengasolah, Yit. Kamarmu berada ditempat dulu. Itu... di belakang kamar bapakmu. Aku akan memasak untuk kamu berdua."
Suaranya gembira dan senyumnya menyegarkan wajahnya yang masih nampak nyata rautan yang cantik. Yitna segera memasuki kamarnya dan membawa kopornya. Di dalam kamarnya telah tersedia lengkap untuknya. Tempat tidur sederhana, sebuah lemari, sebuah meja dan tiga buah kursi. Ia melepaskan pakaiannya dan dengan hanya bercelana pendek dan berbaju dalam ia keluar pula. Sebuah caping (topi tani) yang tergantung di ruang tengah dipakainya dan ia lalu menuju ke dapur.
"Cangkulku dimana, mbok?"
Ibunya kaget melihatnya dan tersenyum.
"Engkau masih serupa dulu benar. Hanya kulitmu agak kekuning-kuningan. Itu cangkulmu di dekat lemari,"
Ia tertawa dan air matanya berlinang pula ketika melihat anaknya keluar dengan memanggul cangkul. Pak Kromo asyik mencangkul. Walaupun sawahnya berbahu-bahu, kerbaunya empat ekor dan banyak tenaga buruh tani membantunya, tapi ia enggan melepas cangkulnya. Tak puas hatinya kalau kedua lengannya tak ikut mencangkul sendiri. Ia berhenti dan menggunakan tangannya menekan-nekan pinggang. Ah, tubuh tua ini tak tahu diri, pikirnya. Pinggangnya tak sekuat dulu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang mencangkul di belakangnya. Ia menengok dan melihat seorang sedang mencangkul dengan kuatnya dan berdiri membelakanginya. Melihat kedua kaki yang kotor itu tentu telah sejak tadi orang itu membantunya, tapi baru sekarang ia mendengar suara cangkul membelah tanah.
"He... ! Kemana Siman? Dan engkau ini..."
Yitna menengok tersenyum dan berkata, seperti dulu,
"Kalau lelah, mengasolah, pak. Biarkan aku yang menyelesaikan."
"Yitna... !!"
Kromo melempar cangkulnya dan berlari menghampiri.
"Bila engkau datang"
Dipegangnya kedua bahu anaknya dan ditatapnya wajahnya.
"Engkau makin tegap, sayang kulitmu terlampau putih. Mana mantuku?"
Yitna terpukul untuk kedua kalinya.
"Ia... ia belum dapat ikut kesini, ayah,"
Katanya menunduk.
"Ah, aku ingin benar melihat mantuku. Cantikkah ia?"
Yitna hanya mengangguk dan menyembunyikan kekecewaannya dibalik senyum paksaan.
"Bagaimana dengan perkutut keramat itu, pak? Makin nyaringkah anggungnya?"
Pak Kromo menghela napas.
"Ah, burung itu telah kulepas pula."
"Dilepas? Mengapa?"
"Ibumu selalu menangis kalau mendengar suaranya. Mengingatkan akan anaknya pergi tanpa pamit. Terpaksa kulepaskan..."
Yitna hanya menghela napas dan kasihan kepada ibunya yang sangat mencintanya.
"Hayo kita pulang, Yit. Kita mengobrol di rumah sambil menikmati masakan ibumu."
Dengan memanggul cangkul keduanya berjalan dengan langkah kuat bagaikan dua orang kesatria menang perang.
"Yit, sejak engkau datang, aku merasa bahwa seakan-akan ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Ada apakah, nak?"
Bertanya mbok Kromo pada suatu malam, tiga hari kemudian.
"Ah, tidak apa-apa, mbok."
"Ya, akupun melihat bahwa wajahmu sering menunjukkan kedukaan. Apakah engkau tidak puas dengan usahaku? Uang kirimanmu dahulu kubelikan sawah, kerbau dan untuk membuat rumah ini. Selebihnya kupakai untuk membantu pendirian koperasi desa yang dipimpin oleh pak lurah sendiri."
"O, sekali-kali tidak, pak. Engkau pandai benar menggunakan uang itu. Semua usahamu baik bagiku dan aku bergembira benar."
"Habis, apakah yang kau susahkan?"
Mendesak ibunya.
"Katakan terus terang, Yit. Apakah yang kau kecewakan? Hidupmu kini makmur, menjadi direktur, uang cukup, kedudukan terhormat, isteri cantik terpelajar, mau apa lagi?"
Menyambung bapaknya. Yitna menundukkan kepala dan tidak menjawab.
"Yitna,"
Berkata pula mbok Kromo.
"ketahuilah, nak. Bukan keadaanmu yang kaya dan kedudukanmu itu yang dapat memberuntungkan aku. Walaupun bagaimana juga kalau engkau tidak beruntung, akupun ikut menderita. Tahukah engkau, betapa sedih hatiku mengenangmu ketika engkau belum datang ke desa. Berita dari kekayaanmu takkan dapat membahagiakan hatiku seperti berita dari keberuntunganmu, Yit. Maka, ceritakanlah, apa yang menyusahkan hatimu itu?"
Karena di desak-desak, akhirnya dengan suara pilu Yitna menceritakan sikap Ratna yang sangat menyusahkan hatinya.
"Aku cinta kepadanya, mbok. Dan iapun cinta kepadaku. Aku bermaksud suci dan baik, tapi mengapa ia berbalik seakan-akan membenci. Ia menyindir-nyindir mengatakan bahwa aku telah membeli dirinya, bahwa ia adalah seorang isteri belian. Sungguh aku bingung, pak."
Pak Kromo dan isterinya hanya saling memandang.
"Mengapa ia begitu bodoh, Yit?"
Mencela ibunya penasaran.
"Aku tidak mengerti mengapa ia bersikap demikian. Ganjil benar adatnya."
"Sebenarnya ia seorang berhati mulia, mbok,"
Membela Yitna cepat-cepat.
"Tapi... ah, aku tak mengerti..."
Dengan hati sedih Yitna bangun berdiri dan pergi ke kamarnya. Esok harinya, dengan duduk di tanggul sawah berdua sambil melihat orang membajak sawah, Kromo berkata kepada Yitna,
"Yit, benar-benar puaskah engkau melihat caraku berusaha?"
"Sungguh, pak. Aku puas dan gembira. Lebih-lebih tentang koperasi desa itu, sungguh itu sebuah usaha yang sangat mulia. Kemarin aku berjumpa dengan pak lurah dan mendengar bahwa usaha koperasi itu sungguh merupakan pertolongan besar bagi petani-petani miskin yang hidupnya hanya mengandalkan tenaga dan cangkul."
"Memang, dengan adanya itu, maka agak lumayanlah keadaan hidup petani di desa ini. Bahkan kita sudah merencanakan hendak mendirikan sebuah sekolah baru di sini, khusus bagi mereka yang tak mampu."
"Itu bijaksana sekali, pak."
Setelah berdiam selama beberapa menit, Kromo berkata pula, tiba-tiba,
"Yitna. Engkau mempunyai uang, bukan"
Anaknya memandang heran, dan mengangguk.
"Berapa banyak?"
"Berapa yang dibutuhkan, pak?"
"Engkau sekarang memang pandai membaca pikiran orang. Begini, Yit. Kalau aku meminta pertolonganmu untuk menyediakan sejumlah uang tapi dengan syarat engkau tak boleh menanya panjang lebar tentang usaha apa yang hendak kulakukan dengan uang itu, sanggupkah engkau memberi?"
"Berapa, pak?"
"Dua puluh ribu rupiah."
Kromo menatap wajah anaknya dengan tajam.
"Asalkan untuk usaha kebaikan, bagiku mudah saja untuk menyediakan, pak. Sekarangpun aku ada membawa uang cek."
"Bagus! Percayalah kepada bapakmu. Uang itu takkan terbuang percuma."
"Baik, dan bila engkau memerlukannya?"
"Sekarang juga, Yit."
Setelah menerima uang dari Yitna, pak Kromo meninggalkan desanya. Ia berkata bahwa ia harus menukar cek itu ke kantor bank di Solo dan kemudian akan pergi ke Sragen. Ia berpesan bahwa urusan yang diurusnya di Sragen itu belum tentu selesai pada hari itu juga dan mungkin ia akan bermalam.
Yitna tinggal di rumah dengan ibunya.
"Yitna,"
Berkata mbok Kromo dengan suara menyesal.
"kalau saja engkau kawin dengan gadis desa, tentu engkau akan lebih berbahagia."
"Tapi... aku hanyamencinta seorang gadis, yaitu Ratna, mbok."
"Cantik benarkah ia?"
"Aku ada membawa gambarnya, mbok."
Yitna baru teringat dan ia segera mengeluarkan sebuah foto Ratna dari dompet uang dan memberikan itu kepada ibunya.
"Memang cantik. Sungguh tak mudah mendapatkan isteri secantik ini,"
Katanya sambil memperhatikan gambar itu.
"Alangkah baiknya kalau ia tidak seangkuh itu."
"Ia tidak angkuh, mbok. Aku yakin, kalau engkau telah berjumpa dengan ia, pasti engkau akan menyayangi pula."
Ibunya hanya tersenyum.
"Dan ia cinta padaku ketika aku masih miskin, mbok."
Ibunya mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan engkau dapat berbaik kembali dengan isterimu, nak."
Esok sorenya pak Kromo kembali. Pada wajahnya yang menghitam panas matahari itu terbayang kepuasan.
"Beres, Yit. Akan berhasil sempurna usahaku kali ini."
Yitna hanya tertawa, ikut senang melihat kegembiraan ayahnya. Ia betah tinggal di kampung kelahirannya. Terasa benar ketenangan kampung, kesegaran hawanya, kebersihan daripada debu-debu kota. Namun hatinya risau bila teringat kepada Ratna. Ia telah menyurat kepada Ho Jin untuk meminta perlop selama dua bulan. Sering ia pergi ke pinggir anak sungai dimana untuk pertama kalinya ia mendapat ilham untuk pergi merantau. Dipandangnya daun-daun kering terbawa air. Didengarnya dendang anak sungai melagukan irama sunyi. Hatinya makin sedih. Rindunya makin mendalam. Berkali-kali pada saat seperti itu jiwanya meratap,
"Ratna... Ratna... Ratna..."
Dengan penuh rasa rindu. Memang tiada daun yang terbawa air terlepas daripada rintangan perjalanannya. Terlepas dari batu ini, mungkin akan tersangkut di batu depan. Batu-batu penghalang bertaburan di sepanjang anak sungai. Tak terbilang banyaknya. Dan rintangan dalam hidup, bagaikan batu-batu itu, berdiri dimana-mana.
* * *
"DATANGLAH MINGGU DEPAN, KAMI MENANTI, PENTING SEKALI."
Demikianlah bunji telegram dari Ratna. Yitna hampir tak mempercayai bunyi telegram itu. Benarkah ini dari Ratna? Ia diminta datang dan dinanti-nanti. Hatinya tiba-tiba terasa segar gembira, bagaikan setangkai mawar layu tersiram embun pagi. Jiwanya bersorak, penuh kepuasan dan pengharapan.
Tak sedikit juga ia memperhatikan apa yang nampak di sepanjang jalan dimana ia melarikan mobilnya dengan cepat menuju Solo. Yang nampak hanya wajah Ratna membayang di kaca depan. Ketika mobilnya berhenti di depan rumah Ratna, alangkah herannya melihat rumah itu telah terhias dengan bunga dan kertas berwarna seperti ketika mereka kawin dulu. Ratna sendiri menyambutnya dengan senyum manis. Alangkah cantiknya. Bajunya biru laut berkembang kuning menambah kehalusan kulitnya. Kainnya berkembang batik Solo menurun lurus sampai ke tumitnya yang menginjak kelom Tasikmalaya. Rambutnya yang hitam panjang tergelung rendah menutup leher. Setangkai mawar merah segar menghias dada menambah kegemilangan. Di situlah ia berdiri, bibir gendewanya mementang, mata bintangnya sayu memandang, penuh kasih.
"Engkau baru tiba, mas?"
Alangkah merdu suaranya. Alangkah jelitanya. Yitna merasa tergetar seluruh urat-urat tubuhnya.
"Dik Ratna... alangkah cantiknya engkau..."
Isterinya hanya tersenyum, lebih manis dengan dibarengi kerling bergaya aleman. Mereka memasuki rumah dengan berbimbingan tangan.
"Mengapa rumah dihias, dik?"
"Engkau pelupa. Tak ingatkah hari ini tanggal lima belas Juni?"
"Oooo... alangkah bodohku. Hari lahirmu! Ah, biarkan aku pergi dulu mencari sesuatu untuk hadiah."
Tapi Ratna menahan dan memegangi lengannya.
"Tak perlu, mas. Kawan-kawan sudah menanti di dalam."
Mereka memasuki ruangan dalam dan disambut oleh beberapa orang pemuda pemudi yang menyanyikan lagu "Selamat Hari Lahir."
Ratna masih berbimbingan tangan dengan Yitna ketika mereka berdua bersama-sama meniup padam api lilin sebanyak dua puluh tiga buah, dan lalu memotong kue di bawah seruan dan tempik sorak kawan-kawannya. Setelah semua tamu pergi, Yitna menarik lengan isterinya dan memeluk.
"Dik Ratna, alangkah beruntungku. Ternyata engkau... masih mencinta padaku."
"Aku selamanya mencintaimu, mas."
"Istriku sayang..."
"Hush... nanti dulu, mas. Aku ada satu soal yang hendak kuselesaikan dengan engkau."
Yitna melepaskan pelukannya.
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Soal? Tiada soal diantara kita, Rat."
Ratna hanya tersenyum dan lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam lemari. Bungkusan dibuka dan setumpuk uang kertas terletak di atas meja.
"Hitunglah uang itu, mas. Dua puluh lima ribu rupiah. Uang penebus rumah ini."
Yitna terlonjak bangun berdiri.
"Uang penebus rumah?"
Ratna tersenyum.
"Ya! Ini uang pinjaman kami kepadamu. Terimalah dan utang kami lunas sudah."
Kulit muka Yitna yang tadinya bersinar gembira menyuram dan mengeras. Ia menghampiri uang itu, ditimang-timang di tangannya.
"Dari siapa engkau mendapatkan uang ini?"
Tanyanya kaku. Ratna tersenyum kembali, tapi dalam pandangan Yitna, walaupun senyum itu masih semanis tadi, kini seakan-akan menyembunjikan ejekan di dalamnya.
"Itu... engkau tak perlu tahu, mas..."
"Jadi... sudah impas kita sekarang, Rat!"
Isterinya mengangguk puas.
"Ya, sudah impas. Sudah lunas,"
Lalu ia membalikkan tubuh menghadapi kaca untuk mengatur rambut di keningnya yang terlepas.
"Dan... dengan begini engkau sudah... bebas dariku? Tak terikat?"
Ratna memutar tubuhnya dengan cepat, wajahnya pucat,
"Tidak... bukan begitu..."
"Dan engkau kini bukan seorang budak belian lagi? Dan... aku tak berhak lagi menjadi suamimu? Engkau boleh berbuat sesuka hatimu sendiri?"
"Tidak... tidak!"
"Dan engkau... orang kota tinggi hati, sombong dan angkuh... engkau... boleh memandang rendah kepadaku petani desa bodoh tak terpelajar tak pantas disebut suami seorang gadis kota, modern, cantik, terpelajar dan bangsawan seperti engkau ini..."
"Tidak! Tidak... engkau... ah..."
Ratna menutup mukanya menangis. Yitna yang seakan-akan mabok karena marah, penasaran dan sakit hati, setelah melihat Ratna menangis menjadi tersadar seakan-akan disiram air dingin. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ratna yang menangis di atas kursi. Dipegangnya tangan isterinya, dibelai-belainya.
"Ratna... biniku sayang... ampunkan aku... bukan maksudku untuk... ah... aku tadi telah gila..."
Ratna tersentak berdiri.
"Cukup! Lelaki pandir! Ooo... suami bodoh tak mengerti perasaan orang! Cukup, aku mual perutku melihatmu!"
Ia memutar tubuhnya membelakangi Yitna dan menangis terisak-isak. Yitna berdiri perlahan. Kekerasan hatinya timbul pula.
"Ya, Rat... Aku bodoh. Aku pandir. Tak pantas menjadi suamimu."
Diambilnya tumpukan uang dan dilemparkannya ke atas. Uang kertas ratusan itu berhamburan bagai daun kering melayang-layang jatuh dari pohon tertiup angin lalu.
"Nah, demikianlah. Cerai berai... berantakanlah sudah angan-angan si pandir. Biarlah si pandir tinggal di dalam kerendahannya. Si pandai terbenam di dalam kesombongannya. Biarlah, lenyaplah impian indah kosong!"
Dan tanpa menengok ia melangkah keluar dari pintu. Ia tidak melihat bagaimana Ratna memandangnya dengan mata penuh air. Tak terdengar olehnya ketika ia melemparkan uang tadi Ratna memekik,
"Mas, dengarlah dulu keteranganku!"
Dan akhirnya ia tak mendengar atau melihat bagaimana seperginya Ratna berteriak-teriak,
"Mas Yitna! Jangan tinggalkan aku pula... !"
Dan lalu terjatuh... pingsan di atas lantai!
* * *
Telah tiga bulan lebih Yitna berkeliaran di kota-kota besar. Jogya, Surabaya, Malang, bahkan sampai ke Medan. Akhirnya ia berada di Jakarta. Hatinya luka parah dan pada pikirnya ia akan mencari hiburan di kota-kota itu. Tapi usahanya gagal. Bibit cintanya kepada Ratna telah berakar terlampau dalam di kalbunya. Sebelum pergi merantau mengejar hiburan hati nan menderita, ia telah menyerahkan semua pekerjaan kepada Ho Jin. Ia menyatakan berhenti dan semua bagian uangnya diambilnya.
Ho Jin sangat bersedih mendengar kisah kawannya yang bernasib malang itu. Tapi permintaan Yitna tak dapat ditolaknya. Yitna menerima delapan puluh ribu rupiah lebih. Setengah dari pada jumlah itu ia kirimkan kepada orang tuanya, dan setengah pula ia bawa pergi merantau. Ho Jin memberikan sedan NV itu kepadanya. Kawan yang baik itu menyatakan kekecewaannya dan mengharap sewaktu-waktu Yitna akan kembali lagi untuk bekerja sama. Uang bekalnya tinggal seperempat bagian ketika Yitna berada di hotel "Nirmala"
Di Jakarta. Telah lima belas bari ia berada di hotel itu. Kerjanya hanya duduk melamun. Segala ikhtiar untuk melupakan Ratna telah di jalani. Hiburan-hiburan sehat dan tidak sehat telah dicobanya. Hasilnya kosong. Luka dihatinya makin membisul. Ia teringat akan kata-kata ahli filsafat Kahlil Gibran yang disukainya. Di dalam bukunya "The Prophet"
Pujangga itu berkata,
"Joy and Sorrow come together, and when one sits alone with you at your board, remember that the other is asleep upon your bed. When you are sorrowful, look again in your heart, and you shall see that in truth you are weeping for that which has been your delight."
(Kesenangan dan kesedihan datang bersama-sama dan bila yang satu duduk berdua dengan engkau, ingatlah bahwa yang lain sedang tertidur di atas ranjangmu. Bila engkau bersedih, lihatlah kembali ke dalam hatimu, dan engkau akan melihat bahwa sebenarnya engkau sedang menyedihi soal yang pernah membahagiakanmu.)
Memang tak dapat dibantah pula, bahwa nasib telah mempermainkan kepadanya. Ia telah mendapat kekayaan, kemuliaan dan kedudukan tinggi. Kemudian kebahagiaannya bertambah karena Ratna gadis pujaannya itu menjadi isterinya. Tapi, apakah yang dijumpai di akhir semua itu? Kekecewaan dan kesedihan! Tapi pujangga itu menyatakan bahwa kesedihan dan kesenangan muncul berganti-ganti. Ia telah mendapat kesenangan, lalu menderita kesedihan, maka tidkkah mungkin ia akan mendapat kesenangan kembali setelah penderitaan ini? Tapi di mana? Dan bagaimana? Usahanya untuk menghibur kedukaannya gagal. Tiada guna. Bahkan merusak kesehatannya. Bermabok-mabokan, beroyal-royalan.
Ah, hanya menambah besar penderitaannya saja. Hiburan macam itu hanya terbatas dampai di kulit. Kesenangan lahir. Sedangkan ia merasa bahwa penyakitnya ini tidak hanya terbatas di kulit. Badik tajam itu tak melukai kulit, tapi terus masuk menikam hati sanubarinya. Malam tadi telah dicobanya bersembahyang. Walaupun ia disebut umat Islam seperti kebanyakan orang di desanya, namun didalam hati ia mengaku bahwa sebutan itu tak pantas baginya. Membaca kitab Al Qur"an ia tak pandai. Hukum Islam tak mengerti. Bersembahyang pun tak dapat. Tanda ke-Islamannya hanya karena ia menjalani cara bersunat. Dulu ayahnya yang juga seorang umat Islam sederajat dengan ia, mengatakan bahwa tak perlu orang harus bersembahyang. Ia masih dapat mengingat perdebatan ayahnya yang sering mengucapkan untuk membantah desakan ibunya untuk bersembahyang.
"Ah, apa gunanya bersembahyang! Biar kuhafalkan do"anya, tapi kalau aku tak mengerti maksudnya, apa gunanya? Pula, bersembahyang saja percuma. Gusti ALLAH sudah cukup memberi berkahNya. Lihatlah perlengkapan anggota tubunku. Sehat kuat dan lengkap. Bukankah berkahNya ini sudah lebih daripada cukup? Lihatlah tanah subur, hawa sejuk, hujan, buah-buahan, air, api, burung, kembang dan segala apa yang dapat terlihat. Bukankah semua itu diadakan semata-mata untuk memberi kenikmatan di dalam hidup kita Perlu apa aku harus meminta-minta lagi?"
"Karena itulah maka engkau perlu bersembahyang mengucap syukur kepada Gusti ALLAH dengan rasa terima kasih,"
Menyerang ibunya.
"Mengucap syukur? Berterima kasih? Apa artinya ucapan yang hanya di bibir saja? Lebih-lebih kalau kata-kata yang dikeluarkan itu hanya hafalan semata-mata! Lihatlah. Tanah kukerjakan baik-baik. Keindahan alam kunikmati. Ini lebih baik daripada ucapan syukur yang kosong. Aku tak kecewa, aku sudah cukup menerima segala berkahNya dengan penuh rasa puas dan syukur tanpa berdoa."
"Tapi alangkah baiknya kalau engkau bersembahyang meminta keselamatan, meminta agar padi di sawah tumbuh subur, meminta agar terhindar daripada kecelakaan, dan penyakit, dan..."
"Pekerjaan bodoh! Perlu apa meminta-minta keselamatan kalau perbuatan kita sendiri menjauhi keselamatan! Keselamatan terjamin oleh laku hidup kita sendiri. Padi tak mungkin subur kalau tak dipelihara dan dijaga dengan baik. Kecelakaan takkan datang kalau kita berhati-hati dan waspada. Penyakit takkan mudah menyerang kalau kita dapat menjaga diri pula..."
"Sombong!"
Ibunya marah.
"Bukan sombong, mbok. Coba pikirkan. Gusti ALLAH bukanlah seperti pembagi dist ribusi yang membagi-bagikan segala yang baik-baik kepada sembarang orang yang meminta-minta. Berkahnya sudah cukup. Tanpa diminta berkahNya telah berlimpah-limpah diturunkan untuk kita. Kita hanya tinggal memungut. Berusaha. menjaga, dan hidup yang benar menurut kehendakNya dan..."
"Aaah... sudahlah. Aku sudah ngantuk!"
Mencela ibunya. Yitna masih ingat benar perdebatan di dalam kamar ayahnya itu. Sering terjadi dihari Jumat dan ia dapat menangkap pembicaraan itu melalui dinding bambu yang memisahkannya dengan mereka. Tapi malam tadi dicobanya juga bersembahyang. Ia berduduk diam dan mencurahkan seluruh panca indranya kepada tuhanNya dengan memohon agar diberi tenaga batin. Tiba-tiba pelayan hotel mengantarkan sebuah sampul.
"Dari pos, tuan."
Surat itu datang dari ayahnya. Dua minggu yang lalu ia menyurat ke Rejowinangun mengabarkan keadaan dan tempatnya. Segera ia membuka sampulnya. Ayahnya meminta dengan sangat agar ia suka segera pulang karena mereka sudah amat rindu untuk berjumpa. Yitna terbayang akan keindahan kampung halamannya. Mengapa tidak? Ia akan merasa lebih terhibur jika berdiam di desa.
Bertani dengan rajin mungkin akan menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi kesedihannya. Menganggur bermalas-malasan di hotel hanya memperberat penderitaannya. Tapi ia ingin benar melihat Bandung. Maka ditulisnya sepucuk surat untuk ayahnya bahwa ia akan kembali dan sampai di desanya pada tanggal lima bulan depan. Ia masih mempunyai tempo dua minggu untuk melanjutkan perantauannya. Tanggal empat sore ia tiba di Solo. Di hotel "Preanger"
Bandung telah diambilnya ketetapan bahwa ia akan menjumpai Ratna atau pak Harjo untuk memberi surat cerai. Ia tak ingin mengikat Ratna dengan perkawinan. Biarlah kalau padis itu mau kawin lagi dengan orang lain. Tapi alangkah menyesalnya ketika pak Harjo memberitahukannya bahwa Ratna telah pergi dari rumah sejak seminggu yang lalu. Ia tidak tahu kemana anaknya itu telah pergi.
"Yitna, aku menyesal. Benar-benar aku menyesal. Semua ini terjadi karena gara-gara dosaku. Soalmu dengan Ratna hanya karena salah mengerti, nak."
"Salah mengerti bagaimana, pak?"
"Engkau masih muda. Pengalamanmu belum cukup banyak Yit. Lebih-lebih mengenai sifat-sifat seorang wanita. Ratna sebenarnya mencinta kepadamu."
"Ia mencinta padaku?"
Yitna tersenyum pahit.
"Ah, tapi sikapnya tidak menunjukkan begitu, pak. Mengapa ia tadinya merasa menjadi seorang isteri belian? Seakan-akan aku tidak mencinta padanya dan seakan-akan ia kawin padaku dengan paksaan."
"Itulah karena engkau masih hijau, Yit. Ratna mencintamu dengan tulus dan suci. Maka ia menghendaki agar diantara perkawinanmu berdua tiada terdapat sedikit soalpun yang merendahkan perkawinan itu. Karena engkau menolong dengan membebaskan hypotheek rumahku, seakan-akan aku berutang kepadamu. Dan lalu lamaranmu kuterima. Itu melukai kesucian cintamu berdua, demikian anggapan Ratna. Ia merasa bahwa ia rendah dalam pandanganmu karena kamu berdua kawin seakan-akan karena pertolongan uang itu. Nah, itulah yang menjadi sebab dari sikapnyayang tak menyenangkan."
"Tapi mengapa ia tak berterus terang?"
"Ia sudah usahakan itu seperti katanya kepadaku, tapi engkau tidak mengerti."
"Lalu, mengapa ia mengembalikan uang itu dan tidak mau memberitahukan darimana uang itu diperolehnya? Seakan-akan ia menebus dirinya dan hendak melepaskan diri dariku."
"Kembali engkau salah faham. Tak terlihatkah olehmu betapa gembiranya ketika berjumpa dengan engkau dihari lahirnya? Tak tampakkah olehmu bahwa kegembiraan itu disebabkan karena ia dapat menghilangkan ganjalan hatinya dengan mengembalikan uangmu? Dengan pengembalian itu ia akan dapat mencintaimu dengan bebas dari rasa rendah karena berutang."
Yitna bagaikan terpukul hatinya. Ia mengangguk-angguk.
"Kini aku mengerti, pak. Tapi dimanakah ia sekarang?"
Pak Harjo mengangkat pundak.
"Aku tidak tahu, nak."
Yitna menutup mukanya dengan sepuluh jari tangannya. Mau ia menangis menyesali kepicikannya. Tapi semua telah terjadi. Tak mungkin diperbaiki. Ratna sekarang telah pergi, entah kemana.
.".. Aku bodoh dan berdosa, pak. Benar-benarkah... Ratna... mencintai aku seperti aku mencintainya?"
"Aku yakin akan hal itu, nak. Bukankah aku sebagai ayahnya lebih mengetahui gerak-gerik anakku sendiri?"
"Dan uang itu... uang siapa, pak?"
"Uang pinjaman dari seorang kawan."
Setelah berdiam semalam di rumah Ratna dan tidur di ranjang Ratna dengan hati penuh penyesalan, esok paginya Yitna memohon diri kepada pak Harjo.
"Aku hendak pulang ke desa, pak. Tolonglah beritahukan padaku bila dik Ratna telah datang kembali."
"Jika engkau tak keberatan, aku hendak ikut, nak? Ingin benar aku menjumpai orang tuamu."
Yitna heran tapi tak membantah. Hari masih pagi ketika Yitna menghentikan sedannya di depan jalan kecil menuju ke rumah bapaknya. Pak Kromo dan isterinya telah menanti disitu. Mbok Kromo segera memeluk anaknya dan menangis.
"Yitna, engkau begini kurus...! Ah, jangan tinggalkan aku, nak."
"Tidak, mbok. Aku akan tetap tinggal di sini."
"Yit,"
Berkata ayahnya, suaranya bersungguh-sungguh seperti dulu ketika mencegah ia pergi merantau.
"Engkau dahulu seorang anak yang menurut kata-kata orang tua. Sekarang, karena aku dan mbokmu sudah tua, hanya sebuah permintaan yang kami minta supaya engkau mentaati."
"Permintaan apakah, pak?"
"Bicaralah, mbok,"
Berkata pak Kromo. Selalu kalau menghadapi soal penting ia menyerahkan kepada isterinya untuk membuka jalan.
"Yitna, anakku. Bapakmu dan aku telah memilihkan seorang gadis untuk menjadi isterimu."
"Tapi, mbok!"
Membantah Yitna sambil memandang kepada pak Harjo yang menunduk saja.
"Tidak ada tapi, Yit!"
Membentak bapaknya.
"Kali ini engkau harus menurut. Ini permintaanku yang terakhir sebelum aku mati. Dengar, rumah sekarang sudah penuh tamu. Sekarang juga engkau harus menjalani upacara kawin. Pengantin perempuan sudah menanti."
"Tapi bagaimana dengan Ratna, pak."
"Engkau akan menceraikannya, bukan?"
Memperingatkan Harjo.
"Ketika itu aku belum mengetahui bahwa ia masih mencintai aku,"
Bantah Yitna.
"Sudahlah, Yit. Jangan membantah,"
Berkata ibunya.
"Kalau engkau sayang kepada orang tuamu, turutlah dan jangan membikin malu nama orang tua. Aku berani tanggung bahwa engkau tentu akan menyetujui pilihan kami ini."
"Dan aku berjanji, jika engkau tidak suka, boleh kau ceraikan ia besok. Pendeknya, sekarang engkau harus menurut, jangan membikin malu. Tamu-tamu sudah menanti."
"Tapi pakaianku...?"
"Pakaian ini cukup gagah untuk dipakai seorang pengantin."
"Bagaimana ini, pak?"
Yitna bingung dan menanya kepada mertuanya. Harjo mengangkat pundak, acuh tak acuh.
"Seorang anak harus menurut kehendak orang tua. Dan, seperti kata ayahmu tadi, kalau engkau tidak suka, besok boleh kau ceraikan ia."
Yitna melihat ibunya memandang dengan mata penuh permohonan. Ayahnya memandang dengan mata tetap tak mau dibantah. Ia menghela napas. Ada-ada saja rintangan menghalang daun kering hampir membusuk seperti aku ini, pikirnya.
"Baiklah..."
Akhirnya ia berkata lemah. Ibunya karena girang lalu memeluk dan menciumi pipinya. Yitna merasa air mata ibunya menitik membasahi lengannya. Ia heran. Tak pernah ibunya berbuat demikian sejak ia masuk sekolah. Kemudian ia dibimbing oleh ayah ibunya menuju ke rumah. Pak Harjo berjalan di belakangnya. Suara gamelan menyambut kedatangannya seakan-akan menyesuaikan irama dengan tindakan kakinya. Yitna merasa mukanya panas karena malu..nak- anak mengerumuninya dan berteriak-teriak,
"Pengantin datang! Pengantin akan bertemu!"
Rumah ayahnya dihias daun-daun janur dan kertas merah putih. Di luar pintu depan berdiri dua batang pohon pisang. Dari dalam keluar pengantin perempuan. Yitna mengerling, tapi, berbeda dari kebiasaan, pengantin perempuan ini memakai kerudung hitam di depan mukanya. Potongan badannya tak mengecewakan, pikirnya. Ketika dilakukan upacara menginjak telor seperti lazimnya pengantin di desanya, ia menunduk melihat bagaimana kakinya yang terkena telor itu dicuci oleh sepasang tangan yang halus. Cincin telah disediakan dan ketika Yitna memasangkan cincin di jari manis tangan kanan pengantin perempuan, ia melihat air mata jatuh menitik dari balik tirai hitam itu, membasahi lengannya dan jari manis yang dipegangnya itu gemetar.
Yitna teringat kepada Ratna. Hampir saja ia meloncat pergi dan lari jauh meninggalkan tempat itu. Tapi perasaan terharunya ditahan-tahan. Ia tak hendak mernbuat malu kepada orang tuanya. Besok pun mudah diceraikan pikirnya. Tamu-tamu berangsur pergi. Yitna duduk dengan pengantin perempuan di kamar pengantin. Ia bangun berdiri dan melepas jasnya yang menyebabkan keringat membasahi tubuhnya yang telah terasa panas sejak tadi. Ia merasa marah karena perbuatan orang tuanya yang ganjil dan terburu-buru ini. Ia menengok kepada pengantin perempuan yang masih duduk tak bergerak dan menundukkan muka. Ingin ia menyingkapkan tabir yang menutupi muka. Tapi ia tak mau melakukannya. Apa perlunya? Apa artinya baginya jika perempuan ini cantik atau tidak? Bagaimana juga, ia tak ingin memperisterikannya. Hatinya sudah tertambat kuat-kuat kepada Ratna.
"Dik... aku kasihan kepadamu. Ini semua adalah salah tindak dari orang tuaku. Tanpa bertanya aku dipaksa mengawinimu. Maafkan aku, dik. Aku tak dapat membantah kehendak mereka. Jangan engkau bersakit-hati. Aku... Aku tak mungkin dapat menjadi suamimu atau suami siapapun juga."
Pengantin perempuan itu tak menyahut, hanya makin menunduk dalam.
"Tentu engkau merasa terhina, tapi apa boleh buat. Aku terpaksa mengaku terus terang. Aku tidak mau membuka penutup mukamu, karena kala itu kulakukan, tentu engkau akan menyangka bahwa aku menampik karena wajahmu. Maka aku tidak mau membuka walaupun hatiku ingin sekali melihat siapakah gadis yangmenjadi korban kebodohan orang tuaku. Aku akan menolak gadis yang mana saja untuk menjadi isteriku, karena aku... aku tak mungkin kawin dengan lain wanita."
Tiba-tiba suara isak tangis terdengar dari balik tabir. Yitna heran dan makin kasihan.
"Kasihan engkau, dik. Ampunkanlah aku. Aku yakin kata-kataku ini menusuk perasaanmu. Tapi... ah, baiklah aku berterus-terang agar engkau dapat mempertimbangkan keadaanku. Aku... aku telah beristeri, dik. Dan aku mencinta padanya dengan sepenuh jiwaku. Walaupun kami sekarang terpisah, dan seandainya tak mungkin kami berjumpa kembali, namun selama hidupku aku takkan kawin lagi dengan lain wanita. Bagiku wanita yang menjadi biniku hanya seorang itu... saja. Untuk selama-lamanya, dan..."
Suaranya makin lemah karena terharu.
"jika seandainya ia tak kembali... aku akan menanti sampai datang ajalku..."
Tangis pengantin perempuan makin menjadi dan kini disertai bisikan-bisikan lemah. Yitna yang mendengar bisikan itu bangun berdiri dari kursinya, tak bergerak seakan-akan patung. Pengantin perempuan itu masih terus saja menangis dan mengeluh dalam bisikan,
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh mas... suamiku... aku... aku berdosa besar kepadamu... mas Yit..."
"Ratna...!!"
Yitna maju menubruk, berlutut dan merenggut tabir penutup muka itu. Ratna memandangnya dengan mata setengah terkatup.
"Mas... mas Yit..."
"Ratna... isteriku sayang! Tidak mimpikah aku?"
"Tidak, mas... ini benar-benar Ratnamu..."
Yitna memeluk dengan penuh kasih sayang dan berbisik,
"Terima kasih, Gusti..."
"Mas, uang itu... kudapat dari bapak..."
"Dari ayahku?"
Ratna mengangguk dan membuka matanya. Yitna memandang mata itu dengan kagum. Alangkah indahnya! Bagaikan bintang pagi. Dan bibir itu tersenyum manis. Ia dapat melihat kasih yang suci berpancaran dari seluruh wajah itu.
"Mengapa orang-orang tua itu berlaku seganjil ini, dik?"
Ratna memerah muka, menambah kejelitaannya. Suaranya perlahan sekali ketika membuat pengakuan,
"Aku... yang meminta mereka..."
"Engkau... suamiku...!"
"Ratna... isteriku sayang..."
Tasikmalaja, akhir Oktober 1958.
T A M A T
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo